45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

12
 A. PENDAHUL UAN 1. Latar Be la ka ng Dalam perj al anan sejarah kehi dupan manusi a tercat at bahwa untuk men dap atkan keb enaran, bai k keb ena ran yan g ber asa l dar i lua r mau pun dar i dalam dirinya, manusia senantiasa mempergunakan seluruh keberadaannya secara utuh dan menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya  berbagai macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam mendapatkan kebenaran yang objektif. Secara episte molo gis, Teori Penge tahuan berhu bung an deng an hakik at da ri il mu penget ahuan, pengandaian-p engandai an, da sar-d asar nya sert a  pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Epistemologi dari  bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang fi lsaf at yang berkai tan dengan asal , si fat, dan jeni s penget ahua n. (http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi). Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan ata u pen get ahuan bar u yan g ber sifat umu m. Ber keb alik an den gan pen alar an deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki kon sep yan g canggih tet api cuk up men gamati lapang an dan dar i pen gamata n lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteksi ini, teori buk anl ah sya rat mut lak tet api kec ermatan dal am men ang kap gej ala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi. Pen alar an ded ukt if ada lah suatu pro sed ur yang ber pan gka l pad a suatu  peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir  pada suat u kesi mpul an at au penget ahua n baru yang bersif at lebi h khus us . Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa 1

Transcript of 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

Page 1: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 1/12

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk 

mendapatkan kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari

dalam dirinya, manusia senantiasa mempergunakan seluruh keberadaannya secara

utuh dan menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya

 berbagai macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam

mendapatkan kebenaran yang objektif.

Secara epistemologis, Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat

dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta

 pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh

setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca

indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif,

metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Epistemologi dari

 bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah

cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi).

Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa

khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan

atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Berkebalikan dengan penalaran

deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki

konsep yang canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatanlapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteksi ini,

teori bukanlah syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan

memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.

Penalaran deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal pada suatu

 peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir 

  pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.

Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa

1

Page 2: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 2/12

khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan

atau pengetahuan baru yang bersifat umum.

  Namun demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan dan

memahami kedua jenis metode penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya

tidak terlepas dari berbagai kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik penalaran

deduktif maupun induktif mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap

sebagai keterbatasan dari keduanya.

2. Permasalahan

Berdasarkan Latar belakang di atas maka beberapa masalah yang ingin

dibahas di sini yaitu:

a. Apa kaitan antara induktivisme dan problema induksi terhadap Ilmu

Filsafat?

b. Kenapa ada ketergantungan observasi pada teori dalam filsafat ilmu.

3. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa

yang sebenarnya aliran induktivisme, problema induksi dan Kenapa ada

ketergantungan observasi pada teori dalam filsafat.

2

Page 3: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 3/12

B. PEMBAHASAN

1. Induktivisme Dan Problematika Induksi

a. Francis Bacon dan Induktivisme

Bacon adalah seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya. Menurut

 para ilmuan, Bacon dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup besar 

  pada abad ke 17. Rintisannya terkait dengan keinginan Bacon untuk 

meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru.

Menurut pemikirannya, ilmu pengetahuan lama tidak sanggup memberikan

kemajuan, tidak dapat memberikan hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat

melahirkan hal-hal baru yang berfaedah bagi kehidupan umat manusia.

Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah

etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan

dengan teologi. Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri

 pada ilmu pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan

sebagai abdi setia teologi. Perlakuan itu dianggapnya keliru, karena melalui ilmu

itulah, manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar 

  pemikiran tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is Power” (pengetahuan

adalah kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat

menguasai segalanya, namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat

dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sedangkan “kuasa”

dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya

alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa alamhanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara

memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat universalnya dan

 perkecualiannya. Dengan menaklukkan alam, Bacon sangat percaya umat manusia

dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.

Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar 

 berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi

yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-

3

Page 4: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 4/12

data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju

 penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan

kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang

harus dilakukan, yaitu:

1) Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang

 partikular, kemudian mengungkapnya secara umum.

2) Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular 

digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih

dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap

mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.

Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon

menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir,

yaitu:

1) Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas

keajekan tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak mampu

memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan pikiran orang

 banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.

2) Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi

kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif 

dikaburkan.

3) Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah

  pendapat orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan

keyakinan dan penilaiannya yang tidak teruji.

4) Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat

tradisional adalah kenyataan subyektif dari para filosofnya. Sistem ini

dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater.

Apabila seorang ilmuan sudah luput dari semua idola itu, mereka sudah

mampu melakukan penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat. Induksi

tidak boleh berhenti pada taraf laporan semata, karena ciri khas induksi ialah

4

Page 5: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 5/12

menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data partikular, berapapun

 besar jumlahnya. Dalam hal ini, pertama yang perlu dikumpulkan data heterogen

tentang sesuatu hal. Kemudian urutannya akan nampak dengan jelas, yang paling

awal adalah peristiwa konkrit partikular yang sebenarnya terjadi (menyangkut

  proses atau kausa efisien), kemudian suatu hal yang lebih umum sifatnya

(menyangkut skema, atau kausa materialnya), baru akan ditemukan dasar inti.

Dalam hal dasar inti ini, pertama-tama ditemukan dasar inti yang masih bersifat

 partikular, yang keabsahannya perlu diperiksa secara deduksi. Jika yang ini sudah

cukup handal, barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin

umum dan luas. Bagi Bacon, begitulah langkah-langkah induksi yang tepat.

Berdasarkan uraian di atas, Bacon memberikan ketegasan bahwa induksi

adalah menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat

khusus. Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Jika hal

tersebut dilakukan, induksi itulah yang dianggap menyesatkan, sebab hanyalah

generalisasi yang gegabah. Agar induksi mencapai kesimpulan obyektif yang

 bersih dari idola-idola, diperlukan “contoh-contoh negatif”.

 b. Konstruksi Induktivisme Bacon

Bacon adalah seorang filosof yang sangat mencolok minatnya pada ilmu

  pengetahuan. Bahkan dia dianggap sebagai perintis filsafat ilmu pengetahuan.

Ungkapan Bacon yang terkenal adalah “Knowledge is Power” (pengetahuan

adalah kuasa). Dia sangat berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah sumber 

kemenangan dan kemakmuran manusia di dunia ini. Dengan pengetahuan,

manusia dapat menciptakan Mesiu untuk memperoleh kemenangan dalam perang.

Dengan pengetahuan, manusia juga dapat membuat Kompas yang bisa digunakan

sebagai penunjuk arah dalam mengarungi lautan atau membuat Mesin Cetak 

untuk mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan.

Melihat urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat

menguasainya. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus

mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon,

hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang

5

Page 6: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 6/12

melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini biasanya disebut

 pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat

 partikular akan menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena itu ia yakin

 bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.

2. Problem Induksi

Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan

melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya.

Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam

Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian.

a. Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali

tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif. Pengalaman

ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja.

Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan

 penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa

konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk 

dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan

yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa

hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.

b. Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia

sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme

yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera

manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan

 pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan

menyesatkan. Misalnya saja bagaimana tongkat lurus yang terendam di

dalam air akan kelihatan bengkok.

c. Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh

 bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi

sengaja dikembangkan dalam induktivisme dan empirisme untuk 

memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah.

6

Page 7: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 7/12

Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus

diuji terlebih dahulu.

Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif 

tidak merupakan argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan

argumen yang salah, walaupun premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan

observasi terhadap sejumlah besar gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata

didapat fakta gagak berwarna hitam. Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah

hitam. Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna. Namun disini

tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat

atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam

adalah salah.

Penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme

 bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan

karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun

  banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar 

dibuktikan atau salah. Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya

sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu

 bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya.

Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki

 pengetahuan atas suguhan makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan

yang diulang ulang. Ayam sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama

dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu

ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di

dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya.

Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa

majikan datang sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah

dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.

Tidak beda dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari

dari timur. Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun

mengalami pergeseran sedikit kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah

menjadikan kesimpulan bahwa matahari selalu terbit dari timur merupakan sebuah

7

Page 8: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 8/12

kebenaran mutlak. Tidak menutup kemungkinan suatu saat matahari bisa terbit

dari barat, utara atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah

  bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang

 probabel/berpeluang benar.

Disini terdapat satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi

menghasilkan kesimpulan yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita

yang bersumber dari penalaran atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan

makanan yang datang melainkan kematian. Demikianlah seperti contoh sang

ayam.

Menurut pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan

dengan sebuah korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak 

langsung terhadap dua buah kejadian yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara

induksi juga dikaitkan dengan kausalitas sebuah kejadian. Karena sedemikian

sering kejadian A diikuti oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan bahwa

kejadian A merupakan penyebab kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan

 banjir.

Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan

yang salah, namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga

kita tidak dapat mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk 

melakukan perkiraan atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar 

kita tidak dapat memastikan bahwa suatu teori/hipotesa melaui induksi itu benar,

namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu belum salah. Inilah

landasan berpikir saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan

teori/hipotesa itu, maka teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan

demikian induksi memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.

3. Ketergantungan Observasi pada Teori

Induktivisme bagian dari empirisme yang sangat menghargai pengamatan

empiris. Induktivisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari

observasi dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun

 pengetahuan ilmiah diatasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari

8

Page 9: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 9/12

keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula

cara kita mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari, yaitu dengan

cara induksi. Contohnya, sejak kecil kita memperhatikan bahwa matahari terbit di

timur. Hari berikutnya, masih demikian. Hari berikutnya, masih juga demikian.

Sampai hari ini, matahari masih juga terbit di timur. Kenyataan seperti itu

merupakan fakta khusus. Berdasarkan pengalaman ini, maka kita menyimpulkan

  bahwa “setiap hari matahari terbit ditimur”. Perhatikan cara pengambilan

kesimpulan ini. Fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini

adalah penarikan kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa

esok matahari juga terbit di timur? Tidak. Kita hanya dapat menganggap bahwa

sangat besar kemungkinannya esok hari matahari terbit lagi di timur. Hal ini

sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.

Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat

rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih

memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri

 pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan.

Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan

 pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan

(observasi), atau yang diberi istilah dengan kebenaran a posteriori.

Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka

tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh

aliran rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat

menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi,

yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke,

 berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan

 pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang

 pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang

sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah

 berupa suatu lembaran bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat

ditulis melalui pengalaman-pengalaman inderawi (McCleary, 1998). Lebih lanjut

ia berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal

9

Page 10: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 10/12

dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis

inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan

 perkembangan pikiran manusia (Brower dan Heryadi, 1986).

Tidak ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti. Yang ada

hanyalah kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran. Menurut

Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi agar generalisasi atau kesimpulan

dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan sebagai berikut : makin besar 

  jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin besar variasi kondisi

dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima tidak 

 boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya. Namun

kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmers, 1983).

Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan,

dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang

menunjukkan pengingkaran pada teori.

Ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme naif tentang

observasi, yaitu:

a. Ilmu bertolak dari observasi.

b. Observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ

 pengetahuan dapat ditarik.

Pengamatan ilmiah harus memiliki organ indera dan instrumen yang benar 

dan baik. Dua hal yang ditekankan pada observasi melalui penglihatan menurut

induktivis, yaitu pengamat dapat menangkap langsung sifat dari dunia luar selama

sifat itu terekam oleh otaknya dari tindakan melihat. Yang kedua, dua pengamat

normal memandang objek yang sama dari tempat yang sama akan melihat hal

yang sama pula.

 Namun ternyata, kenyataannya tidak demikian. Pengalaman dua pengamat

ketika memandang satu objek yang sama dari tempat yang sama dalam keadaan

fisik yang sama tidak harus mendapatkan pengalaman visual yang sama, walau

hakikat gambar yang diterima retina mata sama.

Contoh praktek dalam ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu apa

yang terlihat adalah pengalaman subyektif, tidak ditentukan oleh retina saja, tetapi

10

Page 11: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 11/12

 juga pada pengalaman, pengetahuan dan harapan secara psikologi dari pengamat.

Seperti pada membaca gambar hasil sinar X yang hanya bisa dilakukan oleh

seseorang yang memiliki pengetahuan dari pendidikan dan latihan dibidangnya.

Untuk memantapkan validitas suatu keterangan observasi memerlukan

 pertolongan teori. Makin mantap validitasnya, makin ekstensif pengetahuan teori

yang digunakan. Hal ini jelas berlawanan dengan apa yang kita harapkan dari

induktivis, yakni untuk mengukuhkan keterangan observasi, perlu keterangan

observasi yang terjamin dan mungkin hukum-hukum dapat ditarik secara induksi

dari situ, bukan pada teori. Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen,

kadang kita memerlukan atau dipancing teori yang didapat dari penelitian.

Ketergantungan observasi pada teori yang telah dibicarakan ini, menyudutkan

  para induktivis naif. Namun para induktivis modern mulai mau memodifikasi

  pandangannya. Jangkauan observasi empiris manusia yang terbatas sifatnya,

membuat observasi perlu diperkuat, dilengkapi dan ditunjang dengan penggunaan

sarana yang baik, pengandaian teoritis dan kemampuan merumuskan hasil

observasi secara logis rasional. Oleh karena itu, kedua metode penalaran deduktif 

dan induktif, yang seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan

terpisah, tetapi dalam prakteknya, keduanya berangkat dari teori atau berangkat

dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita

 berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara

fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk 

mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan

secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu wujud

 penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum

logika.

11

Page 12: 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme

5/10/2018 45551025-Makalah-Filsafat-Induktivisme - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/45551025-makalah-filsafat-induktivisme 12/12

C. PENUTUP

Kesimpulan

Induktivisme tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang

 peranan induksi dalam pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik 

ini haruslah dipandang sebagai acuan dalam mencari solusi alternatif mengatasi

kelemahan-kelemahan dalam induksi. Penggunaan pancaindera yang memiliki

keterbatasan harus dibantu dengan teknologi yang sempurna untuk 

menyempurnakan pengamatan. Metode-metode eksperimen yang dijalankan harus

ditetapkan secara benar sehingga bias karena keterbatasan pengamatan manusia

dapat diminimalisasikan.

Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran juga

harus didukung dengan teori-teori yang relevan. Bergantung pada pengalaman

 pribadi saja bisa menimbulkan subyektivitas yang tinggi. Oleh sebab itu kajian

terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada sebelumnya harus dilakukan

sehingga kebenaran yang ingin didapatkan memiliki sifat obyektivitas yang tinggi.

Pengetahuan tidak semata-mata mulai dari pengalaman saja, tetapi ia harus

menjelaskan dirinya dengan pengalaman-pengalaman itu.

Kritik terhadap induksi perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu

  pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan dalam induksi sebagai salah satu

 prosedur dari metode ilmiah, memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran

dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya kebenaran yang ada. Tetapi

sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa di luar ilmu

 pengetahuan masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian, kebenaran ilmu

 pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri, tetapi didalam membangun keharmonisan

dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu pengetahuan perlu berdampingan

dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan lain, seperti seni, etika dan agama.

Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan ilmiah perlu dipahami

 pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan atau menghasilkan

nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah.

12