(4) Perspektif Etika Dalam Pemasaran

31
PERSPEKTIF ETIKA DALAM PEMASARAN MAKALAH KELOMPOK Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi yang dibina oleh Bapak Unti Ludigdo, SE., M.Si, Ak., Dr OLEH Putri Mayang A.D.S (115020300111049) Claudia Elisabeth L (115020300111079) Edwina Liony Putri (115020300111082) Putri Husnah A (115020300111089)

Transcript of (4) Perspektif Etika Dalam Pemasaran

19

PERSPEKTIF ETIKA DALAM PEMASARAN

MAKALAH KELOMPOK Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis dan Profesiyang dibina oleh Bapak Unti Ludigdo, SE., M.Si, Ak., Dr

OLEH Putri Mayang A.D.S(115020300111049)Claudia Elisabeth L (115020300111079)Edwina Liony Putri(115020300111082)Putri Husnah A(115020300111089)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANGFAKULTAS EKONOMI DAN BISNISJURUSAN AKUNTANSIMaret 2014

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSalah satu slogan dalam dunia bisnis yang biasa kita dengar adalah The customer is a king ; yang berarti bahwa pelanggan harus dilayani dan dijadikan tujuan utama dalam kegiatan produsen. Pelanggan menduduki posisi kunci untuk menjamin kesuksesan dalam suatu bisnis, atau dengan kata lain : agar suatu bisnis dapat berjalan secara berkesinambungan, diperlukan pelanggan yang memakai serta membeli produk atau jasa tersebut secara teratur. Di lain sisi, seorang produsen atau penyedia jasa memiliki kewajiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari terjadinya kerugian yang diderita oleh konsumen. Namun pada kenyataannya, walaupun mendapat gelar sebagai raja, kuasa seorang konsumen sangatlah terbatas. Konsumen tidak mempunyai keahlian maupun waktu untuk secara seksama menyelidiki tepat tidaknya mutu dan harga dari banyaknya produk yang ditawarkan. Konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen. Kenyataan bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara etis, nampaknya masih belum terlaksana dengan baik.Di lain sisi, kuantitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan sangatlah besar, sehingga diperlukan cara untuk menarik pembeli (konsumen). Selain itu dengan adanya sistem ekonomi pasar, dimana persaingan dan kompetisi merupakan unsur yang hakiki, iklan dianggap sebagai cara yang ampuh untuk menjadi menonjol dalam persaingan tersebut. Fenomena periklanan ini menimbulkan berbagai masalah yang berbeda, salah satunya adalah periklanan yang dilatarbelakangi oleh suatu ideologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ideologi konsumerisme. Ada dua persoalan etis yang terkait dalam hal periklanan. Yang pertama menyangkut kebenaran dalam iklan, dan yang kedua adalah memanipulasi publik melalui upaya periklanan. Menurut pandangan etika bisnis, memanipulasi orang lain (melalui periklanan atau yang lain) jelas-jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap prinsip etis.Melalui makalah ini, kami akan membahas masalah etis yang berkaitan dengan konsumen, yaitu antara lain meliputi : hak-hak konsumen, teori-teori mengenai hubungan produsen dan konsumen, kewajiban moral bagi seorang produsen, serta etika periklanan.

1.2 Rumusan Masalah1. Apa saja hak-hak yang dimiliki seorang konsumen ?2. Bagaimana teori-teori mengenai hubungan antara produsen dan konsumen ?3. Apa saja kewajiban moral seorang produsen terhadap konsumen ?4. Bagaimana hubungan antara etika periklanan dengan konsumen ?

1.3 Tujuan Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberi penjelasan tentang hak-hak konsumen dan teori-teori pendukung mengenai hubungan antara produsen dan konsumen. Selain itu, penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk menjelaskan kewajiban moral seorang produsen serta etika di dalam periklanan.

1.4 ManfaatBagi PenulisPenulis dapat menambah wawasan mengenai masalah etis yang berkaitan dengan konsumen, yang nantinya akan sangat berguna sebagai acuan atau landasan moral ketika penulis mulai terjun ke dalam dunia bisnis.

Bagi PembacaMenambah wawasan pembaca dan sebagai sarana informasi mengenai masalah etis yang berkaitan dengan konsumen. Selain itu, diharapkan melalui makalah ini pembaca dapat menjadi seorang konsumen yang lebih bijak dan selektif dalam memilih produk, agar ke depannya tidak lagi menjadi korban manipulasi oknum produsen.

BAB IIISI

2.1 Perhatian untuk seorang konsumenDi dalam Special Message on Protecting the Consumer Interest, Presiden John F. Kennedy telah menetapkan empat hak yang dimiliki setiap konsumen, yaitu meliputi: (a) Hak atas keamanan (the right to safety), (b) Hak atas informasi (the right to be informed), (c) Hak untuk memilih (the right to choose), serta (d) Hak untuk didengarkan (the right to be heard). Selain empat hak yang ditetapkan oleh Presiden John F. Kennedy, di dalam buku K. Bertens juga dijelaskan dua hak tambahan yang dimiliki seorang konsumen, yaitu : Hak lingkungan hidup dan Hak atas pendidikan.Semua hak konsumen ini juga sudah tercantum di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang dimiliki Indonesia sejak April 1999, ditambah beberapa hak lain seperti : hak untuk mendapatkan advokasi dan hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila produk yang dibeli tidak dalam keadaan yang semestinya. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah penjelasan mengenai hak-hak yang dimiliki setiap konsumen :a. Hak atas keamanan (the right to safety)Banyak produk yang mengandung risiko tertentu untuk konsumen, khususnya risiko yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan konsumen. Contohnya : obat yang memiliki efek samping bagi konsumen, atau produk makanan yang memiliki risiko kandungan zat pengawet atau zat pewarna yang dapat merugikan kesehatan konsumen. Pada dasarnya, konsumen berhak atas produk yang aman, yaitu produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang dapat merugikan kesehatan atau bahkan membahayakan hidupnya. Bila sebuah produk memang pada dasarnya mengandung risiko, maka risiko itu harus dibatasi hingga tingkat yang paling minimal. b. Hak atas informasi (the right to be informed)Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya, baik mengenai bahan baku, cara pemakaian, maupun risiko yang menyertai pemakaiannya. Jika suatu produk diberi garansi untuk jangka waktu tertentu, maka segala syarat dan konsekuensinya harus dijelaskan secara mendetil. Informasi yang tertera pada label produk juga harus dapat dibuktikan kebenarannya ; baik dari segi isi, berat, ciri-ciri khusus, tanggal kadaluwarsa, dan lain sebagainya.

c. Hak untuk memilih (the right to choose)Di dalam sistem ekonomi pasar bebas yang selalu disertai kompetisi, seorang konsumen memiliki hak untuk memilih di antara berbagai pilihan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsumen berhak untuk membandingkan kualitas dan harga produk sebelum mengambil keputusan untuk membeli.

d. Hak untuk didengarkan (the right to be heard)Hak untuk didengarkan ini terkait dengan pendapat konsumen mengenai selera atau keinginannya atas suatu produk / jasa. Konsumen juga memiliki hak untuk didengarkan ketika mereka menyampaikan keluhan mengenai produk atau jasa yang dibelinya.

e. Hak lingkungan hidupKonsumen boleh menuntut untuk mendapatkan produk yang ramah lingkungan. Hak ini menyangkut masa depan bersama karena dibutuhkan suatu produk yang dalam pengolahannya tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan, sehingga dapat memenuhi keberlanjutan proses alam.

f. Hak atas pendidikan Baik melalui sekolah maupun melalui media masa, masyarakat harus dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Konsumen berhak mendapatkan pendidikan mengenai haknya sebagai konsumen, sehingga kelak ia dapat menyampaikan kritik atau keluhan ketika haknya dilanggar. Dengan demikian, ia akan sanggup memberi sumbangsih kepada mutu kehidupan ekonomi dan bisnis.

Dewasa ini di banyak negara maju, gerakan konsumen menjadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan keberadaannya. Ketika ekonomi semakin bertumbuh dan daya beli masyarakat semakin besar, maka peranan gerakan konsumen juga harus semakin bertambah. Salah satu tugas pertama gerakan konsumen adalah meningkatkan kesadaran konsumen akan kepentingannya. Gerakan konsumen dapat melakukan boikot produk sebagai cara efisien untuk mencapai tujuannya. Melalui boikot terhadap produk-produk tertentu ini omzet perusahaan akan menurun drastis, sehingga perusahaan tersebut akan lebih berusaha untuk memenuhi kepuasan pelanggannya.

2.2 Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang amanTerhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, produsen dan konsumen mempunyai tanggung jawabnya masing-masing. Pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah produsen bertanggung jawab bila produknya mengakibatkan kerugian bagi konsumen ? Apa yang menjadi dasar teoritis untuk tanggung jawab tersebut ? serta Dimana persisnya tanggung jawab konsumen untuk melindungi dirinya berhenti dan tanggung jawab produsen dimulai ? Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen, telah dikemukakan tiga teori yang mengandung nuansa yang berbeda. Berikut adalah penjelasannya : 1. Teori KontrakMenurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak. Kewajiban produsen terhadap konsumen hanya didasarkan atas kontrak tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pepatah caveat emptor yaitu hendaklah si pembeli berhati-hati. Pembeli harus mempelajari keadaan produk serta ciri-cirinya sebelum produk tersebut berpindah tangan menjadi hak miliknya. Teori kontrak ini harus memenuhi tiga syarat supaya menjadi sah, yaitu : Kedua belah pihak harus mengetahui betul arti kontrak dan sifat-sifat produk. Kedua belah pihak harus memberi penjelasan dengan benar (fakta) mengenai obyek kontrak. Jika salah satu pihak dengan sengaja memberi gambaran palsu tentang obyek kontrak, maka kontrak menjadi tidak sah. Kedua belah pihak tidak boleh mengadakan kontrak karena dipaksa atau karena pengaruh yang kurang wajar, seperti ancaman.Produk yang disampaikan kepada konsumen harus mempunyai kualitas seperti yang dijanjikan atau disepakati sebelumnya. Kemudian, dalam memberi kesepakatan, konsumen harus bisa mengambil keputusan dengan kebebasan penuh. Produk yang dijanjikan harus memiliki ciri-ciri seperti yang diharapkan konsumen, yaitu : Bisa diandalkan atau dapat berfungsi seperti semestinya. Dapat digunakan selama periode waktu yang diharapkan. Dapat dipelihara atau diperbaiki apabila mengalami kerusakan. Aman dan tidak membahayakan kesehatan atau keselamatan konsumen. Walaupun teori kontrak ini mengandung unsur kebenaran, namun ada beberapa pihak yang menentang teori ini, yaitu dengan alasan sebagai berikut : Teori kontrak mengandaikan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama, padahal kenyataannya tidak demikian. Produsen mengenal seluk beluk produk hanya dalam jumlah yang terbatas, sedangkan konsumen menghadapi banyak produk sejenis dalam waktu yang bersamaan. Konsumen tidak memiliki keahlian maupun waktu untuk membandingkan dan memeriksa semua produk tersebut satu per satu. Teori kontrak mengandaikan hubungan langsung antara produsen dengan konsumen, padahal kenyatannya tidak demikian. Konsumen jarang sekali dapat berhubungan langsung dengan produsen karena banyaknya pemasok, distributor, dan pengecer di antara mereka. Akibatnya, teori kontrak menjadi kurang realistis karena tidak ada persetujuan antara konsumen dan produsen. Konsepsi kontrak tidak cukup baik dalam melindungi konsumen. Bisa saja konsumen terlanjur menyetujui kontrak, padahal di dalam kontrak itu tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan, akan berumur lama, bersifat aman, dsb.

2. Teori Perhatian Semestinya (The due care theory)Teori ini tidak menyetarafkan produsen dan konsumen, melainkan bertolak dari kenyataan bahwa konsumen selalu dalam posisi lemah. Produsen memiliki jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang produk, yang sering kali tidak dimiliki oleh konsumen. Kepentingan konsumen menjadi nomor satu dalam teori ini. Produsen memiliki kewajiban untuk menjaga konsumen agar tidak mengalami kerugian dari produk yang dibelinya. Produsen bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen, yaitu menyangkut : desain produk, bahan yang dipilih untuk membuat produk, peringatan, label, atau keterangan yang ditempelkan pada produk. Dengan kata lain, produsen harus menjaga agar produk aman begitu keluar dari pabrik. Walaupun teori ini lebih memuaskan dibandingkan dengan teori kontrak, namun teori ini juga memiliki kelemahan. Pertama, adalah tidak mudah untuk menentukan kategori perhatian semestinya ; misalnya tidak bisa disangkal bahwa ada mobil yang lebih aman daripada mobil lainnya. Namun semakin aman mobil tersebut, akan semakin mahal pula harganya. Sehingga tak jarang konsumen lebih memilih mobil dengan harga yang murah dan mengambil risiko less safety. Kedua, produsen tidak selalu dapat mengetahui dampak negatif dari sebuah produk. Kadangkala, dampak negatif dari sebuah produk baru nampak setelah lama dipakai. 3. Teori Biaya SosialTeori ini menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen akibat memakai produk tersebut. Hal ini juga berlaku walaupun produsen sudah mengambil semua tindakan yang semestinya dalam merancang, memproduksi, dan memberi peringatan akan risiko pemakaian produk tersebut. Menurut teori ini, semua akibat negatif dari produk harus dibebankan kepada produsen.Walaupun teori ini paling menguntungkan untuk konsumen, teori ini juga memiliki kekurangan. Pertama, teori biaya sosial tampak kurang adil karena menganggap produsen bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak diketahui atau tidak bisa dihindarkan. Kedua, teori ini membawa kerugian ekonomis, dimana produsen terpaksa harus mengambil asuransi terhadap klaim kerugian dengan biaya yang cukup tinggi. Ketiga, pada akhirnya konsumen juga akan dirugikan, dimana banyaknya tuntutan ganti rugi akan berdampak pada harga produk yang semakin mahal.

Dari ketiga teori di atas, dapat disimpulkan bahwa teori pertama dan kedua paling penting sebagai pendasaran moral dalam berbisnis. Dalam hal ini, dua teori tersebut (teori kontrak dan teori perhatian semestinya) saling melengkapi satu sama lain. Sedangkan teori biaya sosial dianggap kurang pantas dan dianggap terlalu berat sebelah, 2.3 Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumenSelain harus menjamin keamanan produk, bisnis memiliki kewajiban moral lain terhadap konsumen, yaitu meliputi : a. Kualitas ProdukYaitu bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen (melalui iklan atau informasi lainnya) dan apa yang secara wajar boleh diharapkan oleh konsumen. Salah satu cara yang biasanya ditempuh untuk menjamin kualitas produk adalah dengan memberikan garansi, baik garansi secara eksplisit (terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk ; seperti ciri-ciri produk, masa pemakaian, dsb) maupun garansi secara implisit (secara wajar bisa diandaikan, yaitu sesuai dengan janji yang terdapat dalam promosi atau iklan tentang produk tersebut).

b. HargaMasalah harga menjadi suatu kenyataan ekonomis yang sangat kompleks karena ditentukan oleh banyak faktor. Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah dengan laba yang wajar. Harga bisa dianggap adil karena disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembentukannya. Sehingga, pengaruh pasar menjadi salah satu prinsip etis yang penting dalam menentukan harga. Selain itu, stabilitas harga juga perlu diakui sebagai prinsip untuk menentukan adil tidaknya harga. Penetapan harga menjadi tidak adil setidaknya disebabkan oleh empat faktor, yaitu : Penipuan, yaitu apabila beberapa produsen atau distributor berkolusi untuk menentukan harga dengan maksud untuk mencari untung yang tidak wajar. Perilaku ini menjadi tidak etis karena penentuan harga itu berlangsung dengan sembunyi-sembunyi. Pembeli sebenarnya diperdaya oleh penjual karena harga sudah ditetapkan secara sepihak. Ketidaktahuan, yaitu pengetahuan konsumen yang terbatas. Contoh dari praktik ini adalah : produsen mencetak harga yang lebih tinggi pada kemasan produk tanpa sepengetahuan pembeli, toko memberikan discount pada barang yang harganya sudah terlebih dahulu dinaikkan, harga makanan yang tidak tertera pada menu restoran sehingga produsen bisa memasang harga dengan seenaknya. Penyalahgunaan kuasa, salah satu contohnya adalah ketika seorang pengusaha besar memasang harga murah sehingga saingannya (produsen kecil) tergeser dari pasaran. Dengan demikian, dia memperoleh monopoli dan bisa memasang harga dengan seenaknya. Manipulasi emosi, yaitu memanfaatkan keadaan emosional seseorang untuk memperoleh untung besar. Contohnya adalah ketika pihak rumah sakit komersial menetapkan harga yang tidak proporsional kepada pasien yang bersedia membayar berapa pun demi mendapatkan kesembuhan.

c. Pengemasan dan Pemberian LabelSelain bertujuan melindungi produk dan memungkinkan penggunaan produk secara mudah, kemasan juga berfungsi untuk mempromosikan produk. Pengemasan dibuat menarik untuk meraih lebih banyak pembeli. Tuntutan etis dalam pengemasan adalah bahwa kemasan tidak boleh menyesatkan konsumen (misalnya : kemasan dibuat lebih besar untuk memberi kesan bahwa isinya lebih banyak, walaupun kenyataannya tidak demikian). Pemberian label dilakukan untuk memberikan informasi tentang produk (misal terkait isi, berat, tanggal kadaluwarsa produk, dsb). Tuntutan etis dalam pemberian label adalah terkait dengan kebenaran informasi yang disebutkan dalam label tersebut. Informasi yang diberikan dalam label produk juga harus jelas dan mudah dimengerti.

2.4 Fungsi periklananDalam buku-buku manajemen pemasaran, iklan dipandang sebagai upaya komunikasi antara produsen dan pasarannya, atau antara penjual dan pembeli. Dalam proses komunikasi tersebut iklan menyampaikan sebuah pesan yang bertujuan memperkenalkan sebuah produk atau jasa.Ada dua fungsi yang dikenal dalam periklanan, yaitu fungsi informatif dan fungsi persuasif. Dalam kenyataan, tidak ada iklan yang murni informatif saja ataupun murni persuasif saja, yang dominan adalah salah satunya. Seperti dalam iklan sebuah produk baru, fungsi informatif akan dominan dalam iklan tersebut. Selain itu pada iklan di sektor jasa seperti asuransi, pariwisata, dan juga iklan pada surat kabar mengenai harga produk di suatu toko swalayan. Unsur informasinya akan sangat kuat dalam iklan tersebut. Untuk produk yang mempunyai banyak pesaing di pasaran, maka unsur yang dominan dalam iklannya adalah unsur persuasif. Seperti iklan pada produk rumah, pakaian, dan makanan. Bercampurnya unsur informatif dan persuasif dalam periklanan membuat penilaian etis menjadi lebih kompleks.

2.5 Periklanan dan kebenaranDalam periklanan kerap kali terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik, yang tentu saja hal tersebut merupakan hal yang tidak etis. Karena itu hubungan iklan dengan kebenaran selalu menjadi sorotan khusus.Berbohong adalah dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar agar orang lain percaya. Perlu diperhatikan, menurut definisi ini maksud atau niat si pembicara yang dianggap sangat penting. Supaya ada pembohong, si pembicara harus bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak benar (sengaja dan tidak kebetulan) dan ia harus mengatakan hal itu dengan maksud agar orang lain percaya.Bahasa pada periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbola. Maksudnya bukan memberi informasi yang belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya dapat memikat calon pembeli. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya dengan mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Selain dengan berbohong, iklan bisa bersifat tidak etis karena mengandung unsur penipuan. Dalam konteks ini berbohong dan menipu tidak selamanya sama. Untuk mengerti hal itu, perlu kita bandingkan pembohongan dengan penipuan. Berbohong selalu berlangsung dalam rangka bahasa, entah lisan atau tertulis. Cakupan penipuan lebih luas, penipuan mempunyai konotasi keberhasilan. Sedangkan pembohongan tetap merupakan pembohongan, jika orang lain tidak percaya pada apa yang dikatakan. Pembohongan seperti itu merupakan usaha untuk menipu, tapi tidak berhasil dalam maksudnya. Karena alasan-alasan itulah, definisi penipuan harus dirumuskan menjadi lebih luas sebagai berikut: dengan sengaja mengatakan atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya dengan apa yang tidak benar, dan hal itu dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya.

2.6 Manipulasi dengan periklananMasalah kebenaran terutama berkaitan dengan segi informatif dari iklan (tetapi tidak secara eksklusif), sedangkan masalah manipulasi terutama bekaitan dengan segi persuasif dari iklan (tetapi tidak terlepas dari segi informatifnya). Manipulasi maksudnya: mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri. Tetapi ditanamkan dalam dirinya dari luar.Mempengaruhi harus dibedakan dari manipulasi. Setiap hari kita dipengaruhi oleh banyak sekali faktor, misalnya oleh teman-teman. Memang penting apa yang disebut reklame dari mulut kemulut. Dengan itu kita pasti dipengaruhi, tetapi tidak sampai dimanipulasi. Keputusan untuk membeli atau tidak tetap merupakan keputusan kita sendiri. Jika dimanipulasi, maka kebebasan akan dirampas dari kita, sehingga keputusan kita menjadi sebuah akibat. Iklan tidak mudah memanipulasi karena tidaklah mudah membuat korban permainan. Jika tidak merasa tertarik, banyak iklan dalam media cetak tidak kita baca, atau pada radio tidak kita perhatikan, atau pula di tv kita abaikan dengan pindah kesaluran lain melalui remote controller. Publik cukup menyadari bahwa itu namanya iklan dan karena itu selalu harus didekati dengan sikap kritis. Kebanyakan orang tahu membedakan suasana yang ditampilkan periklanan dengan kenyataan. Namun demikian, tidak mustahil dalam keadaan ekstrem iklan bisa memanipulasi juga, dan jika sudah begitu iklan tersebut pasti tidak etis. Lebih lanjut kita membicarakan dua cara untuk sungguh-sungguh memanipulasi orang dengan periklanan, yaitu melalui : Cara pertama adalah apa yang disebut subliminal advertising. Dengan istilah ini dimaksudkan teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tetapi tinggal dibawah ambang kesadaran (karena itu sub-liminal; dari kata latin limin= ambang). Teknik ini bisa dipakai dibidang visual maupun radio. Kalau dalam rangka visual (film atau TV), suatu pesan dimasukan sebentar saja dalam film, sehingga penonton tidak melihatnya dengan sadar bahwa dalam film tersebut ada suatu iklan. Pernah dilaporkan bahwa periklanan subliminal ini bisa sangat efektif.Kadang-kadang istilah ini dipakai juga untuk apa yang disebut periklanan subliminal dalam arti luas kalau begitu yang dimaksudkan adalah mempengaruhi konsumen melalui iklan dengan memanfaatkan faktor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, disini perilaku konsumen dipengaruhi, tetapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen tidak dihilangkan. Disini jarang muncul masalah etis, lebih banyak muncul masalah selera rendah (bad state). Periklanan subliminal harus dibedakan juga dari periklanan terselubung, yaitu iklan yang disampaikan dengan cara tidak langsung, seperti dalam film si aktor jelas jelas minum cocacola. Disinipun tidak ada masalah manipulasi. Cara periklanan kedua yang pasti bersifat manipulatif adalah iklan yang ditunjukan kepada anak. Iklan seperti itupun harus dianggap kurang etis, karena anak belum bisa mengambil keputusan dengan bebas dan sangat sensitive terhadap pengaruh dari luar. Karena itu anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Apalagi, anak tidak akan membeli produk yang diiklankan melainkan orang tuanya. Ia akan merengek rengek meminta produk itu dibelikan dan baru puas bila keinginannya terpenuhi. Rupanya iklan yang ditunjukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai selain dari manipulasi saja, dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis. Hal itu berlaku secara khusus untuk iklan yang ditayangkan melalui televisi, karena ciri khas dari media yang sangat sugestif dan prepasif ini.

2.7 Pengontrolan terhadap iklanKarena kemungkinan dipermainkan kebenarannya dan kemungkinan terjadinya manipulasi merupakan hal yang rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol yang tepat agar dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pada umumnya dikatakan bahwa pengontrolan seperti itu terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini: oleh pemerintah, oleh para pengiklan sendiri, dan oleh masyarakat luas.a. Kontrol oleh pemerintahDisini terlihat tugas penting bagi pemerintah yang harus melindungi masyarakat, khususnya konsumen, terhadap keganasan periklanan. Di Indonesia iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh direktorat jenderal Pengawas Obat Dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.b. Kontrol oleh para pengiklanCara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu dilakukan dengan menyusun kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro periklanan. Di Indonesia kita memiliki tata karma dan tata cara periklanan indinesia yang disempurnakan (1998) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi perusahaan Media Luar Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Pesatuan Radio Siaan Suasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia). Versi pertama dari kode etik ini telah diberlakukan pada 1981. Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pengawasan harus diawasi juga. Janganlah kode etik menjadi sebuah formalitas saja yang tidak berpengaruh atas praktek sehari hari. Implementasi banyak kode etik menjadi kurang efektif karena tidak penah diambil tindakan sangsi terhadap para pelanggarnya. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipecayakan kepada komisi periklanan Indonesia yang terdiri atas semua asosiasi pendukung dari tata krama tersebut.c. Kontrol oleh masyarakatMasyarakat luas tentu harus diikut sertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek negative dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen yang sudah lama dikenal dinegara-negara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia, yaitu yayasan lembaga konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen di Semarang. Sebetulnya setiap kota besar pantas memiliki lembaga swadaya masyarakat yang betujuan advokasi konsumen seperti lembaga-lembaga ini. Laporan-laporan oleh lembaga-lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atau kualitasnya, dan serentak juga atau kebenaran periklanan. Jika lembaga konsumen yang berwibawa atas dasar penelitian yang melibatkan laboratorium dan ahli dibidang terkait mengeluarkan laporan negative terhadap kebenaran iklan, hal itu merupakan pukulan berat bagi produsen bersangkutan, karena dalam sekejap melenyapkan efek dari kampanye periklanan yang lama dan memakan biaya banyak.Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan iklan dalam media massa, ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Hampir semua Negara modern mengenal salah satu atau beberapa hadiah berkala yang dianugrahi kepada iklan yang paling bemutu selama periode tertentu. Memang benar, yang dinilai disini bukan saja aspek etis, tapi juga aspek estetis, komunikatif, kreatif, dan sebagainya. Namun demikian, yang penting ialah bahwa aspek etis selalu diikutsertakan. Penghargaan untuk iklan itu bisa diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sebuah majalah, atau lain lain. Di Indonesia kita mempunyai Citra Ahli Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

2.8 Penilaian etis terhadap iklanRefleksi tentang masalah-masalah etis di sekitar praktek periklanan merupakan contoh bagus mengenai kompleksitas pemikiran moral. Disini prinsip-prinsip etis memang penting, tetapi tersedianya prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk menilai moralitas sebuah iklan. Dalam penerapannya, banyak faktor lain yang ikut berperan. Refleksi tentang etika periklanan ini mengingatkan bahwa penalaran moral selalu harus bernuansa dengan menyimak dan menilai situasi kongkrit. Prinsip-prinsip etis yang penting dalam konteks periklanan sudah dipelajari sebelumnya (antara lain : tidak boleh berbohong, manusia harus dihomati, dsb). Dalam pasal terakhir tersebut, kita memandang empat faktor berikut yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, yaitu :a. Maksud si pengiklanApa yang terjadi maksud si pengiklan? Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan tau bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen, atau dengan sengaja ia menjelekkan produk dari pesaing, maka iklan tersebut menjadi tidak etis. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis.b. Isi iklanMenurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu, informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti pada laporan dari instansi netral. Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum.c. Keadaan publik yang tertujuPublik disini adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu.d. Kebiasaan di bidang periklananPeriklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar. Seperti di Indonesia, sekarang suatu iklan sudah dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya.

2.9 Beberapa kasus etika periklanana) Tiket gratis dari BouraqPada tanggal 11 dan 18 Mei 1992, Maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di harian Banjarmasin Post yang berbunyi : tukarkanlah sepuluh lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di kantor perwakilan Bouraq setempat. Tidak diberi penjelasan lain. Iklan sebesar seperempat halaman itu dipasang juga dalam jawa post (Surabaya) dan pikiran rakyat (Bandung). Seorang pengusaha di Banjarmasin kebetulan menyimpan 50 tiket bekas. Ketika dia pergi ke Kantor Bouraq setempat dengan harapan memperoleh 5 tiket gratis, ia mendapat keterangan bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat di dalam iklan dan juga tidak disebutkan bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan itu lengkap. Tempo, (6 Juni 1992)

b) Mega Pasaraya dan etika bisnisDalam rangka menarik konsumen, pada bulan Agustus-Oktober lalu, Mega Pasar Raya Blok M, Jakarta, mengadakan undian wisata belanja untuk pembelian minuman Rp 50.000 dan kelipatannya, tanpa pencantuman syarat apa pun untuk memenangkan undian. Pada penarikan yang telah dilaksanakan, ternyata saya telah memenangkan dua nomor hadiah (dari sekian puluh voucher yang dimasukkan) dan telah diumumkan serta dipampangkan pada papan pengumuman resmi dari pasaraya. Saat saya akan mengambil dua buah hadiah itu (20/11), ternyata ditolak oleh petugas bagian promosi dilantai empat dengan alasan hanya boleh mengambil satu buah. Saya tidak mempersoalkan besar atau kecilnya hadiah, namun yang saya persoalkan adalah etika bisnis dari pasaraya dengan mengiming-imingi konsumen yang ternyata hanyalah bohong belaka. Surat pembaca (Kompas, 28 November 1996)

c) Iklan Filma di RCTI yang tidak etisKalau pemirsa TV-RCTI memperhatikan siaran iklan-iklannya, ada salah satu iklan minyak goreng yang bunyinya kurang lebih: bila ibu ingin minyak goreng yang murni, jernih, lezat, sehat, gunakan akal sehat, pilihlah filma, filma membuat masakan lebih lezat dan sehat. Jadi dengan kata lain, ibu-ibu yang tidak memakai minyak goreng filma, berati tidak menggunakan akal sehat alias akalnya tidak sehat. Bukankah itu kurang atau tidak etis? Seyogyanya pihak RCTI pun lebih hati-hati dalam menyiarkan iklan yang kata-katanya kurang tepat. Surat pembaca (Kompas 29 Maret 1992.)

d) Iklan kijangSaya sangat risih mendengar iklan mobil Toyota kijang di radio maupun ditelevisi, yang melibatkan seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara tidak langsung telah mendidik anak dan keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif. Sangat prihatin, begitu banyak anak di negeri ini yang jangankan liburan ke bali dan naik kijang, untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja siang dan malam sekedar untuk makan sehari. Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta sosial dari teman teman seusianya yang terusik ditengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan kendaraan mobil kijang yang katanya ringan dan bersikeras untuk liburan ke Bali hanya karena sudah terlanjur bercerita kepada teman temannya.Eksplorasi anak-anak untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah dan konsumtif. Lalu mau dibawa kemana anak anak kita?. Surat pembaca, (Kompas 1 Mei 1995.)

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanPada hakikatnya, kepuasan konsumen adalah tujuan utama dari seorang produsen. Seorang konsumen harus diperlakukan dengan baik sesuai dengan etika bisnis yang berlaku. Namun pada kenyataannya, konsumen justru seringkali dipermainkan dan menjadi korban manipulasi produsen. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian untuk konsumen dan kenyataan bahwa produsen belum mampu menjalankan bisnis yang berbasis pada kepuasan konsumen.Sesungguhnya, menurut teori yang ada, produsen memiliki kewajiban untuk menjaga konsumen agar tidak mengalami kerugian dari produk yang dibelinya. Walau demikian, produsen dan konsumen harus bekerja sama dalam menjalankan transaksi jual-beli, yaitu tetap berbasis pada pengaruh pasar dan stabilitas harga. Dengan demikian maka akan tercipta harga yang adil, baik bagi konsumen maupun bagi produsen. Produsen juga harus menghasilkan produk yang berkualitas agar dapat mencapai kepuasan konsumen, sehingga etika dalam bisnis tersebut dapat terlaksana. Di dalam hubungan transaksi antara produsen dan konsumen, penjual dan pembeli, tidaklah terlepas dari peranan periklanan. Periklanan juga tidak dapat lepas dari peran etika. Dimana iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia, yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan. Iklan mempunyai unsur promosi, merayu konsumen, dan iklan ingin mengiming-imingi calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Masalah manipulasi yang utama adalah berkaitan dengan segi persuasif dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari segi informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar.Karena hal tersebut perlulah pengontrol dalam bisnis periklanan. Pengontrol tersebut bisa berasal dari pemerintah, dari pelaku di bisnis periklanan itu sendiri, maupun dari masyarakat. Dimana pengontrol tersebut dapat mengurangi adanya kritik-kritik dari masyarakat mengenai iklan yang ada.DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius