4. Lapkas Anastesi Ika

48
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat. 1,2 Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. 2 Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving. Diharapkan 1

Transcript of 4. Lapkas Anastesi Ika

Page 1: 4. Lapkas Anastesi Ika

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika

Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000

kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan

lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera

kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi

dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin

meningkat.1,2

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif

antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan

perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,

disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir

separuh dari seluruh kematian akibat trauma.2

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap

petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis

untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving. Diharapkan dengan

penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya.

1

Page 2: 4. Lapkas Anastesi Ika

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TRAUMA KAPITIS

2.1.1 Penatalaksanaan Trauma Kapitis

Adapun penatalaksanaan trauma kapitis meliputi:4

1. Jalan nafas dan ventilasi

- Intubasi trakea. Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan

nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua pasien trauma

dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan sering juga mendapat trauma

servikal, tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal

dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi.

- Intubasi nasal juga menambah resiko pada pasien yang menderita fraktur basis

kranii karena masuknya benda terkontaminasi ke otak. Fraktur basis kranii diduga

ktika terjadi perdarahan dari kavum timpani, otorrhea, petekiae pada prosesus

mastoideus (Battles’s sign), dan petekiae disekitar bola mata (Panda sign).

- Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi.

- Ventilasi mekanik. Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi

diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mmHg. Hiperventilasi agresif

(PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali herniasi transtentorial dicurigai.

Jika terdapat hipoksemia, harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif,

suction bronkus dapat dilakukan.

2. Stabilisasi kardiovaskular

Hipotensi sistemik merupakan salah satu kontributor mayor terhadap jeleknya

prognosa pada pasien trauma kepala. Penilaian tanda-tanda vital harus disesuaikan

dengan umur pasien. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan evaluasi dan

penangan pasien dengan tepat.

2

Page 3: 4. Lapkas Anastesi Ika

- Resusitasi cairan

Hipovolemia sering tertutup oleh tekanan darah yang relatif stabil sekunder akibat

hiperaktivitas simpatis atau respon refleks terhadap peningkatan TIK. Karena itu,

resusitasi cairan harus dilakukan tidak hanya berdasarkan tekanan darah namun juga

oleh urine output dan CVP.

Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik dan larutan

koloid dapat diberikan untuk menjaga volume intravaskular yang adekuat.

Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai hematokrit yang

rendah membutuhkan tranfusi untuk mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit

idealnya dipertahankan diatas 30%.

Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang mengandung

glukosa sebaiknya dihindarkan karena hiperglikemia dihubungkan dengan

perburukan neurologis. Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani

hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya dicapai. Kadar plasma

diatas 200 mg/dL

- Inotropik dan vasopresor

Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan,

pemberian inotropik dan vasopresor secara intravena mungkin diperlukan. Infus

fenilefrin atau dopamin direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion

Pressure diatas 60 mmHg.

3. Penilaian neurologis

- Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan diterima

secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien

dengan trauma kepala.

1. Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat

2. Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang

3. Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan

3

Page 4: 4. Lapkas Anastesi Ika

- Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris ekstremitas harus

secepatnya dinilai.

4. Penilaian cedera organ lain

Pasien trauma sering menderita yang berasal dari cedera pada sistem organ

multipel. Perhatian terutama ditujukan untuk menentukan ada tidaknya

perdarahan intratoraks atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai,

eksplorasi toraks maupun abdomen harus dilakukan segera.

Penanganan terhadap peningkatan TIK.

- Hiperventilasi.

Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien dengan trauma

kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2 sebesar < 30 mmHg karena

hiperventilasi dapat dengan cepat dan efektif menurunkan TIK.

- Terapi diuretik

Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit pada pasien

dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas serum dijaga dan tidak

boleh melebihi 320 mOsm/L.

- Posisi

Menaikkan posisi kepala 30-45o memfasilitasi drainase CSF dan menurunkan

TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan dimana tekanan darah

sistemik menurun.

- Kortikosteroid

Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat dalam

mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada pasien dengan trauma

kepala. Namun, beberapa laporan terakhir menunjukkan perburukan pada

pasien yang diberikan terapi kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak

berperan dalam penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma

spinal.

4

Page 5: 4. Lapkas Anastesi Ika

2.2. Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Trauma Kapitis

2.2.1. Primary Survey

A: Airway: Bebaskan jalan nafas

1. Penilaian

a. Mengenal patensi airway

b. Penilaian cepat adanya obstruksi

2. Pengelolaan airway

a. Melakukan triple airway manuever (chin-lift, head till, dan jaw thrust)

b. Membersihkan airway dari benda asing

c. Memsang pipa naso-faring atau oro-faringeal

d. Memasang airway definitif

- Intubasi oro-atau naso-trakeal

- Krikotiroidotomi dengan pembedahan

e.Melakukan jet insufflation dari airway dan mengetahui bahwa tindakan ini

bersifat sementara

3.Menjaga leher dalam posisi netral, bila perlu secara manual, bila melakukan

tindakan untuk membebaskan airway.

4. Fiksasi leher dengan berbagai cara

B: Breathing: ventilasi dan oksigenasi

1. Penilaian

a. Bebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala

b. Tentukan laju dan dalamnya pernafasan

c. Inspeksi dan palpasi leher dan leher untuk adanya deviasi trakea, ekspansi

thoraks simetris atau tudak simetris, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda

cedera lainnya

d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor

e. Auskultasi toraks bilateral.

5

Page 6: 4. Lapkas Anastesi Ika

2. Pengelolaan

a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi

b. Ventilasi dengan alat bag-value-mask

c. Menghilangkan tension pneumothoraks

d. Dressing open pneumothoraks

e. Memasang sensor C2 dari kapnograf pada ETT

f. Memasang pulse oximetry

C : Circulation: kontrol perdarahan

1. Penilaian

a. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal

b. Mengetahui sumber perdarahan internal

c. Nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoxus

d. Warna kulit

e. Tekanan darah

2. Pengelolaan

a. Tekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal

b. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta

konsultasi bedah

c. Memasang 2 kateter IV ukuran besar

d. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes

kehamilan, golongan darah dan cross match, dan analisis gas darah

e. Memberikan cairan dengan cairan RL yang di hangat kan dan pemberian darah

f. Memasang pneumatic anti shock garment atau bidai pneumatik untuk kontrol

perdarahan

g. Cegah hipotermi

6

Page 7: 4. Lapkas Anastesi Ika

D : Disability: pemeriksaan neurologis singkat

1. tentukan tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS

2. nilai pupil, besarnya, isokor dan reaksi

E : Exposure/ Environment: buka pakaian penderita dan cegah hipotermia

2.2.2 Secondary Survey

B1 : Breath (nafas): sistem respirasi

a. Pola nafas

b. Tanda-tanda obstruksi

c. Pernafasan cuping hidung

d. Frekuensi nafas

e. Pergerakan rongga dada à simetris/tidak

f. Suara nafas tambahan à (-) pada obstruksi total

g. Udara nafas yang keluar dari hidung

h. Sianosis pada ekstremitas

i. Auskultasi à wheezing, ronki

j. Pasien sadar à tanyakan adakah keluhan pernafasan :

(-) à cukup berikan O2

Tanda-tanda obstruksi (+) à terapi sesuai kondisi (aminofilin,

kortikosteroid, tindakan triple manuver airway)

B2 : Blood (darah): sistem kardiovaskuler

a. Tekanan darah

b. Nadi

c. Perfusi perifer

d. Status hidrasi (hipotermi – syok)

e. Kadar Hb

B3 : Brain (otak) à sistem SSP

7

Page 8: 4. Lapkas Anastesi Ika

a. Menilai kesadaran pasien

b. Dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale)

c. Perhatikan gejala kenaikan TIK.

B4 : Bladder (kandung kemih): sistem urogenitalis

a. Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urin à mencerminkan kadar

elektrolit

b. Untuk menilai :

1. Apakah pasien masih dehidrasi

2. Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi à acute renal failure, transfusi

hemolisis

B5 : Bowel (usus): sistem gastrointestinalis

a. Tanda-tanda dilatasi lambung

b. Tanda-tanda cairan bebas

c. Distensi abdomen

d. Perdarahan lambung postoperasi

e. Obstruksi à hipoperistaltik, gangguan organ lain, mis: hepar, lien, pankreas

f. Dilatasi usus halus

B6 : Bone (tulang): sistem muskuloskeletal

a. Tanda-tanda sianosis

b. Warna kuku

c. Perdarahan postoperasi

d. Gangguan neurologis à gerakan ekstremitas

2.2.3 Rehidrasi

8

Page 9: 4. Lapkas Anastesi Ika

Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan

rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan

Cara rehidrasi9

1. Nilai status dehidrasi , banyak cairan yang diberikan (D) = derajat dehidrasi (%) x

BB x 1000 cc

2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam

atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)

3. Pemberian cairan :

dehidrasi berat dan sedang bolus 20 – 40 cc/kg/ 30-60 mnt dan dapat diulang 20

cc/kg/30-60 menit. Sisanya dibagi 50% 8 jam pertama dan 50 % 16 jam kedua

ditambah kebutuhan basal, cairan yang masih hilang dan adanya febris ditambah

10 % tiap kenaikan 1 derajat celcius

a. 6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M

b. 18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M

2.3. Tatalaksana Kegawatdaruratan dalam Fraktur Tibia - Fibula

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan

kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun

fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan

dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi Airway,

Breathing, Circulation, 2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera iskemia-

reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.

Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi

sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan tulang

dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.1

1. Survey Primer

9

Page 10: 4. Lapkas Anastesi Ika

Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah

mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,

Circulation, Disability Limitation, exposure).1,2

A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran

jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda

asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus

memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien

dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan

pemasangan airway definitif.

B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin

ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik,

dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur

ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat

non-rebreathing mask dengan reservoir.

C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini

adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi

permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka.

Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan

menyebabkan pendarahan yang hebat. Patah tulang femur dapat menyebabkan

kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III.

Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung

dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level

tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata

dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar

patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat

menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting

disamping usaha menghentikan pendarahan.

10

Page 11: 4. Lapkas Anastesi Ika

D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat

terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan

reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal. GCS merupakan

sistem skoring yang sederhana namun dapat meramalkan kesudahan pasien terutama

perkiraan motorik terbaiknya.

E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting

bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia. harus dipakaikan selimut

hangat, ruangan yang cukup hangat, dan diberikan cairan intravena yang hangat agar

pasien tidak hipotermia. pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma

muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan

radiologi.

Imobilisasi Fraktur

Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam

posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah

fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas

dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan

membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan

jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah

fraktur.1,2

Pada dislokasi sendi umumnya perlu dilakukan pembidaian dalam posisi

sebagaimana ditemukan. pemasangan bidai harus dilakukan sedini mungkin, namun

tidak boleh mengganggu resusitasi yang merupakan prioritas utama. setelah

pemasangan bidai dan meluruskan fraktur maka harus dilakukan pemeriksaan status

neurovaskular. Fraktur tertentu dapat dipasangi bidai khusus. Long Spine Board

11

Page 12: 4. Lapkas Anastesi Ika

digunakan untuk pasien trauma multiple dengan dugaan trauma spinal yang tidak

stabil, namun karena dasar yang keras apalagi bila dipakai tanpa bantalan dapat

menyebabkan dekubitus pada oksiput, scapula, sacrum, dan tumit. karena itu sesegra

mungkin pasien dipindahkan secara hati-hati ke tempat yang lebih lembut, dengan

memakai scoop stretcher atau cara log-rolling.1,2

Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.

Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di

proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan

bokong, perineum dan pangkal paha. fraktur kolum femoris akan merasa lebih

nyaman jika menggunakan traksi kulit atau traksi sepatu busa dengan posisi lutut

sedikit fleksi. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah

dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips

dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. tungkai tidak boleh dilakukan

imobilisasi dalam ekstensi penuh, melainkan dengan flexi kurang lebih 10 derajat

untuk menghindarkan tekanan pada struktur neurovaskular. Fraktur tibia sebaiknya

dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter,long leg splint. jika

tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan

pergelangan kaki. fraktur ankle diimobilisasi dengan bidai bantal atau karton dengan

bantalan, dengan demikian menghindari tekanan pada daerah tulang yang menonjol.1,2

12

Page 13: 4. Lapkas Anastesi Ika

Pemeriksaan Radiologi

umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari survey

sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan ditentukan oleh

hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto

pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan

hemodinamik dan pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat

ditentukan.1,2

2. Survey Sekunder

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah

anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera

cedera lain yang

mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.

Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat

AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan

Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk

ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh

pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary

survey, misalkan pasien yang mengalami kecelakaan mobil dan duduk di kursi

pengemudi kemungkinan mengalami cedera tulang belakang atau abdomen apabila

mengalami tabrakan dari depan dan menggunakan sabuk pengaman. Selain riwayat

13

Page 14: 4. Lapkas Anastesi Ika

AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum

pasien sampai di rumah sakit.2

Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi

adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi

neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara

pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai

warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi

dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu

pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi

menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah

yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma

kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa

daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita

memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal. Pasien dengan rasa sakit, nyeri

tekan, dan gerakan abnormal maka diagnosis fraktur hampir sudah dapat dipastikan.

Tetapi usaha untuk menunjukkan krepitasi dan gerakan abnormal tidak dianjurkan

sehingga kita dapat menilai tanda tanda fraktur melalui rasa sakit, nyeri tekan,

pembengkakan dan deformitas. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba

pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari

kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi

mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat

mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang

normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya

gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Pemeriksaan ankle/brachial index

yaitu membandingkan tekanan sistolik di tungkai yang cidera dibagi tekanan sistolik

lengan yang tidak cidera dapat memperkirakan adanya cedera arteri. Batas dari ankle

brachial index yang normal adalah diatas 0.9 dan pemeriksaaannya menggunakan

doppler. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari

luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.1,2

14

Page 15: 4. Lapkas Anastesi Ika

Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumper – sumber

yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat

dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur

dengan kasa steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada kasa. Berikan

vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat

diberikan adalah Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4

kali sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo. Aminoglikosid (antibiotik

untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan

untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari)

dapat ditambahkan untuk mengatasi kuman anaerob. Pemberian antibiotik dapat

dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup. Debridement luka di kamar operasi

juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya

sepsis pasca trauma.1,2

Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu

hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam

pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular,

maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia

yang memadai.1

Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur

ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle

fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk

manipulasi, splintage dan transfer pasien. Tindakan ini memiliki kontraindikasi pada

pasien yang kemungkinan mengalami pneumothorax atau cedera kepala. Entonox

juga tidak baik digunakan pada pasien yang mengalami syok sirkulasi karena

mengandung campuran 50/50 nitrous oxide dan oxigen.1

Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang

digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri akut,

sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat.3 Opioid seperti

morfin Intravena dapat menyediakan analgesia yang sangat efektif. Pemberiannya

15

Page 16: 4. Lapkas Anastesi Ika

harus dititrasi dan juga diberikan anti mual berkaitan dengan efek sampingnya.

Pemberian intravena dipertimbangkan karena onsetnya yang cepat sehingga mampu

dengan cepat meredakan nyeri pasien. Morphine diasosiasikan dengan dengan rasa

mual, depresi nafas dan penurunan kesadaran pada dosis besar. Dosis pemberian

morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi

sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun

terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis

rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon optimal

agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari ketamine adalah

ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek

bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah dapat menimbulkan

delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan. benzodiazepine sebelumnya (0.5

– 2 mg midazolam intravena). Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik

dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya

digunakan adalah femoral nerve block.1

2.4. TEKNIK ANASTESI

2.4.1 Pelaksanaan Anestesi Umum

Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang untuk

mengevaluasi pasien selama operasi. Anestesi umum biasanya merupakan teknik

yang dipilih. Tujuan dari anestesi umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari

ventilasi dan oksigenasi, stabilitas kardiovaskuler, kontrol hipertensi intrakranial,

normalisasi asam-basa atau elektrolit dan pencegahan untuk terjadinya hipotermia

dan koagulopati. Obat-obat yang digunakan dapat berupa obat induksi, pelumpuh

otot, sedatif atau analgetik.8

2.4.2 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia

Setiap saat, ruang operasi harus selalu tersedia untuk prosedur emergensi.

ersiapan harus dilakukan secara sistematis mulai dari peralatan anestesi, peralatan

16

Page 17: 4. Lapkas Anastesi Ika

untuk jalan nafas, obat anestesi baik yang intravena, inhalasi, muscle relaxant, dan

obat resusitasi. Anamnesis untuk mendapatkan riwayat penyakitnya, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta kebugaran untuk anestesia.15

Penilaian kebugaran fisik berdasarkan The American Society of

Anesthesiologist (ASA)5-7:

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

2.4.3. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya: 5

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2. Mempelancar induksi anestesia.

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.

5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah

6. Menciptakan amnesia.

7. Mengurangi isi cairan lambung.

8. Mengurangi refleks yang membahayakan.

2.4.4. Induksi Anestesi

Preoksigenasi penting sebelum dilakukannya anestesi induksi berurutan secara

cepat. Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi

17

Page 18: 4. Lapkas Anastesi Ika

tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi

dapat dilakukan dengan intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. 5

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah

terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Salah satu contohnya adalah

ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/KgBB. Pasca anestesia dengan

ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan

menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien

dengan tekanan darah tinggi (TD>160 mmHg). Ketamin dapat menyebabkan pasien

tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. 5

2.4.5. Monitoring Perianestesia

Monitoring Perianestesia bertujuan untuk membantu anestetis mendapatkan

informasi fungsi organ vital selama perianastesia, suapaya dapat bekerja dengan

aman. Monitoring secara elektronik membantu anestetis mengadakan observasi

pasien lebih efisien secara terus menerus. Monitoring yang standar atau minimal

yaitu, stetoskop prekordial/esofageal, manset tekanan darah, EKG, oksimeter dan

termometer. Sebelum mengerjakan anestesia semua peralatan haraus diperiksa apakah

dalam keadaan yang cukup baik. 8

2.4.6. Monitoring Pascanestesia

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang

inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak

berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang

memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,

dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi

oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien yang sudah di recovery

harus terus mendapatkan suplai oksigen, harus terus di monitor airway, breathing dan

circulation-nya,dan diberikan analgesik yang dibutuhkan. 5

Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi,

kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah

18

Page 19: 4. Lapkas Anastesi Ika

disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang midazolam

(dormikum) 0,05-0,1 mg/kgBB. 5

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Anamnesa Pribadi

Nama : Kalep Kaban

Umur : 13 tahun

No MR : 51.96.79

Alamat : Jl. Jamin Ginting Kel. Lab CIH Medan Tuntungan

Tanggal masuk : 22 Juni 2012

Pukul : 23.04 WIB

19

Page 20: 4. Lapkas Anastesi Ika

3.2. Anamnesa Penyakit

Keluhan utama : Penurunan Kesadaran

Telaah : Hal ini dialami oleh pasien ± 1/2 jam sebelum masuk

rumah sakit. Pasien ditabrak oleh sepeda motor yang

sedang melaju dalam kecepatan tinggi saat hendak

menyeberang jalan. Pasien terjatuh dalam keadaan

tersungkur dan kepala pasien menghantam aspal. Pasien

pingsan dan tak sadarkan diri. Riwayat muntah proyektil

(+), kejang- kejang (-), sakit kepala (sdn).

RPT : Tidak jelas

RPO : Tidak ada

3.3 Time Sequence

22 Juni 2012 19.00 WIB Pasien datang ke IGD RS HAM

22 Juni 2012 21.00 WIB Konsul tindakan anestesi

22 Juni 2012 23.30 WIB ACC Tindakan anastesi

23 Juni 2012 00.05 WIB Tindakan operasi di COT

3.4 Pemeriksaan Fisik PRIMARY SURVEY (pukul 19.30 WIB)

A (Airway) : unclear, gurgling (-), snooring (-), crowing (-),

B (Breathing) : Spontan, RR 28 x/menit, SP: vesikuler ka=ki, ST : -/-,

pernafasan cuping hidung (-), hematopneumothorax (-), jejas

pada thorak (+), flail chest (-)

C (Circulation) : Akral : H/M/K, Nadi: HR : 85 x/I reg, t/v cukup, TD :

120/80 mmHg, temperatur 370C.

D (Disability) : Sens : alert, pupil isokor, ki=ka, Ø : 3 mm/3 mm, RC +/+,

racoon’s eye -/-, bloody rhinore -/-, bloody otorrhoe -/-, battle

sign -/-.

20

Page 21: 4. Lapkas Anastesi Ika

E (Exposure) : cegah hipotermi

3.5 Penanganan Di IGD

• Pertahankan jalan nafas

• Pemasangan collar brace

• Berikan oksigen: 8-10 l/ menit .

• Pemasangan iv line dengan abbocath no. 18 G

• Inj. Ceftriaxon 1 gram iv , skin test

• Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

• Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam

• Inj. Tramadol 1 amp/ 8 jam

• Pasang kateter urine

3.6 Hasil Laboratorium

Darah Lengkap

Hb : 11,8g%

Ht : 35,2 %

Leukosit :18.490 mm3

Trombosit : 156.000 mm3

PT/APTT/TT/INR : 20,6(12,5) / 42,1(32,5) / 15,3(12,5) / 1,57

Na/K/Cl : 138 / 3,3 / 110 mEq/L

KGD ad random : 117,80 mg/dl

SGOT : 47 U/L

SGPT : 19 U/L

Ureum : 25,80 mg/dL

Kreatinin : 0,88 mg/dL

Urinalisa

21

Page 22: 4. Lapkas Anastesi Ika

Warna : Kuning

Glukosa : Negatif

Bilirubin : Negatif

Keton : Negatif

Berat Jenis : 1.020

PH : 6.0

Protein : Negatif

Urobilinogen : Negatif

Nitrit : Negatif

Darah : Negatif

Sedimen Urine

Eritrosit : 0-1

Leukosit : 0-1

Epitel : 0-1

Casts : Negatif

Kristal : Negatif

3.7 Hasil Foto

22

Page 23: 4. Lapkas Anastesi Ika

FOTO THORAKS CERVICAL LATERAL

SCHEDEL AP SCHEDEL LATERAL

23

Page 24: 4. Lapkas Anastesi Ika

PELVIC AP TIBIA

CT SCAN

24

Page 25: 4. Lapkas Anastesi Ika

3.8 Rencana Pre Operasi

Diagnosa pre-operasi : HI GCS 11 ec SDH + contusio bifrontal + Open

fraktur tibia fibula grade I B

Tindakan : Craniotomy Decompresi bifrontal emergency +

Debridement

PS ASA : 3E

Anestesi : GA -ETT

Posisi : Supine

3.9 Problem List Pre Operasi

Masalah Pemecahan

Pasien emergency, multiple trauma

Pasien GCS 10 dengan airway tidak

bebas, ancaman aspirasi

Perdarahan di kepala dan kaki

Pasien emergency lambung penuh,

bahaya aspirasi

- primary survey, secondary survey

- pastikan airway bebas dengan

oksigenasi dan ventilasi yang baik,

airway definitif à mencegah aspirasi

dan control ventilasi.

- hentikan perdarahan dimana kaki di

gips dan kepala ditutupi dengan

verban, resusitasi cairanà jangan

hipovolume

- intubasi

Peningkatan tekanan intracranialà

muntah

- posisi head up 30 derajat, no straining,

no bucking, no coughing à sedasi

cukup, relaksan cukup, control

25

Page 26: 4. Lapkas Anastesi Ika

3.10 Problem List Durante Operasi

• Posisi Head Up 30 derajat à cegah hiperfleksi, leher netral, drainase vena

dan CSF tetap baik

• Operasi di daerah kepala, fiksasi ett dan corrugate tube harus baik, tidak boleh

kinking, monitoring manometer, saturasi, dan alarm ventilator, precordial

stetoskop, monitoring dislodge

• Pertahankan CPP > 60 mmHg, MAP> 65

• Patikan normovolume à tidak hipovolumia, tidak overload (edema paru)

• CO2 normokarbia is the best,

• Perdarahanà siapkan darah, iv line ganda, cairan kolloid dan darah

pertahankan hematokrit 33%, pantau jumlah perdarahan dengan seksama

3.11 Problem List Post Operasi

Masalah Pemecahan

Bila buka duraà potensial sekuele

infeksi

Edema Cerebri

Nyeri

Dalam keadaan hipermetabolisme

TIK

- antibiotika menembus B3à

carbapenem

- control

- analgesia opiat dan nsaid

- kalori dan protein lebih tinggi

- Usaha2 menurunkan TIK à head

up position , manitol

26

Page 27: 4. Lapkas Anastesi Ika

3.12 Pemeriksaan Fisik di COT

Pemeriksaan Fisik di IGD Tanggal 13/02/2012 Pukul 22.40 Wib

B1 : Airway : clear, RR: 20 x/I , SP: Vesikuler, ST: -/-, snoring (-),

gurgling (-), crowing (-), PCH(-). Mallampati : 1, JMH : >6 cm, GL :

bebas , Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (-), retraksi iga (-)

B2 : Akral :H/M/K, TD:130/80, HR : 88x/i, reg, T/V: kuat/cukup, T: 37˚C

B3 : Sens :CM,Pupil: isokor Ø 3 mm ka=ki, RC +/+, Riwayat kejang (-)

B4 : UOP : (+), kateter (+), volume 30cc/jam pekat

B5 : Abdomen soepel, Peristaltik (+), MMT pkl. 12.00 WIB

B6 : fraktur di tibia fibula kiri.

3.13 Teknik Anestesi

- Posisi Head Up 30 derajat

- Connect ET ke Mesin Anestesi dgn Setting VCV, TV 360 cc, rr : 14 x/I, I:E

1:2, FiO2 50 %, O2 : Air 2lpm : 2lpm, Sevoflurane 1 %

- Setting Relaksan dengan atracurium à 10 mg/15 menit

- Setting Analgetika dengan Fentanyl bolus 100 mcg kemudian maintenance

fentanyl 50 mcg à 50 mcg/jam, monitoring

3.14 Durante Operasi

Lama Operasi : 5 jam

TD : 140-190/80-120 mmHg

HR : 108- 130x/i

RR : 13 - 17 x/i

SpO2 : 99- 100%

UOP : 800cc

Cairan :

Pre Op : 1000cc RL

Durante Op : 1500cc RL

27

Page 28: 4. Lapkas Anastesi Ika

500cc HES 6 %

700 cc FWB

175cc PRC

200 cc FFP

200 cc Manitol

Perdarahan : +1000 cc

28

Page 29: 4. Lapkas Anastesi Ika

29

Page 30: 4. Lapkas Anastesi Ika

3.15 Post Operasi

Diagnosa post op : Post operasi craniectomy ec HI GCS E1 M1 Vt ec SDH

+ contusio bifrontal + Open fraktur tibia fibula grade I

B

3.16 Pemeriksaan Fisik Post Operasi

B1 : Airway : clear, terintubasi, RR: 12 x/I , SP: Vesikuler, ST: -/-, snoring

(-), gurgling (-), crowing (-)

B2 : Akral : H/M/K, TD:130/75 mmHg, HR : 100x/i,reguler T/V: kuat/cukup

B3 : Sens : DPO, Pupil: isokor Ø 2 mm ka=ki, RC menurun/menurun.

B4 : UOP : cateter (+), vol: 800/1,5jam, warna: kuning jernih

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+)<<, muntah (-), luka operasi tertutup

verban (simpan batok)

B6 : edema (-), fraktur dengan back slab

3.17 Rencana Post Operasi

Cek darah rutin, elektrolit, LFT, RFT, KGD, albumin, AGDA, HST

3.18 Monitoring Post Operasi

Balance Cairan

Hemodinamik

3.19 Terapi Post Operasi

Bed rest

O2 nasal canul 3 L/menit

Diet : SV 2000 Kcal/day, Protein 90 gr protein

IVFD R Sol 3 RL 1 12 gtt/i

Inf SP Fentanyl 200 mcg/50 cc (4 mcg/cc)à 6 cc/jam iv

Inf drip Farmadol 1 gr/8 jam iv

30

Page 31: 4. Lapkas Anastesi Ika

Inj. Meropenem 1 gr/8 jam iv ext 4 jam

Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam iv

Inj Fenitoin 100 mg/ 8 jam iv

Inf SP Propofol 1 % 6 cc/jam iv

Inf SP Vecuronium 0,1 % 5 cc/jam iv

Bed Rest, Head Up 30 derajat,

Mechanical Ventilator dengan Modus VCV, TV 360 cc, rr 12, I:E 1:2,

FiO2: 50 %

,

31

Page 32: 4. Lapkas Anastesi Ika

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors.

American College of Surgeon, 1997 : 195-227.

2. Trauma Kepala, Diakses dari:

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html.

3. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi Dasar

Penanganan Cidera Otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.

4. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery.

In:Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.

Lippincott.

5. American college of surgeons commite on trauma. 2004. Cedera Termal.

Jakarta: IKABI, Hal :255-263.

6. Dachlan, Ruslan., Persiapan Pra Anestesi. Jakarta: CV. Infomedika.

Fakultas Kedokteran Indonesia. 1989. 34-48.

7. Latief, SA.2001. Petunjuk Praktis Anestiologi. Jakarta : FK UI. Hal: 29-46.

8. Muhiman, Muhardi., dkk. Anestesi Umum. Jakarta: CV. Infomedika.

Fakultas Kedokteran Indonesia. 1989. 93-103.

9. Advanced Trauma Life Support. Chicago: American College of Surgeons.

Edisi ketujuh. 2004.

32

Page 33: 4. Lapkas Anastesi Ika

10. Lee C, Porter KM. Prehospital Management of Lower Limb Fracture.

Emerg Med J. 2005;22:660–663.

11. American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life

Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL :

American College of Surgeons ; 2008.

12. Mangku G, Senapathi T.G.A. eds Wiryana I.M.W, Sinardja K, Sujana

I.B.G, Budiarta I.G. Penatalaksanaan Nyeri. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Reanimasi. Jakarta Barat : Indeks. 2010.

33