4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keamanan Pangan...

28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil kondensasi asap tempurung kelapa melalui proses pirolisis pada suhu sekitar 400 0 C. Asap cair mengandung berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan ester (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Guillen et al. 2001). Berbagai komponen kimia tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikroba serta memberikan efek warna dan citarasa khas asap pada produk pangan (Karseno et al. 2002). Namun, salah satu komponen kimia lain yang dapat terbentuk pada pembuatan asap cair tempurung kelapa adalah Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) dan turunannya. Beberapa diantara komponen tersebut bersifat karsinogenik (Stolyhwo & Sikorski 2005). Benzo[a]pirene merupakan salah satu senyawa PAH yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Kazerouni et al. 2001; Stolyhwo & Sikorski 2005). Saat ini, asap cair telah banyak digunakan oleh industri pangan sebagai bahan pemberi aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk pangan, seperti daging, ikan, dan keju (Soldera et al. 2008). Di Indonesia, asap cair sudah digunakan oleh industri pembuatan bandeng asap di Sidoarjo (Hadiwiyoto et al. 2000), sedangkan pada skala laboratorium, asap cair tempurung kelapa telah digunakan pada ikan cakalang (Haras 2004), belut (Febriani 2006), dan mie basah (Gumanti 2006). Berdasarkan informasi tentang manfaat dan penggunaan asap cair tersebut, asap cair tempurung kelapa berpotensi menjadi bahan pengawet alternatif, di samping dapat memberikan aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk pangan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian tentang keamanan pangan asap cair tempurung kelapa, sehingga dapat menjadi bahan pengawet alternatif yang aman. Metode yang digunakan adalah identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa dengan Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) dan uji toksisitas akut asap cair tempurung kelapa untuk menentukan nilai LD 50 .

Transcript of 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keamanan Pangan...

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa

Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil kondensasi asap tempurung

kelapa melalui proses pirolisis pada suhu sekitar 400 0C. Asap cair mengandung

berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan

ester (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Guillen et al. 2001). Berbagai

komponen kimia tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikroba

serta memberikan efek warna dan citarasa khas asap pada produk pangan

(Karseno et al. 2002). Namun, salah satu komponen kimia lain yang dapat

terbentuk pada pembuatan asap cair tempurung kelapa adalah Polycyclic Aromatic

Hydrocarbons (PAH) dan turunannya. Beberapa diantara komponen tersebut

bersifat karsinogenik (Stolyhwo & Sikorski 2005). Benzo[a]pirene merupakan

salah satu senyawa PAH yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa

ditemukan pada produk pengasapan (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000;

Kazerouni et al. 2001; Stolyhwo & Sikorski 2005).

Saat ini, asap cair telah banyak digunakan oleh industri pangan sebagai

bahan pemberi aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk pangan, seperti

daging, ikan, dan keju (Soldera et al. 2008). Di Indonesia, asap cair sudah

digunakan oleh industri pembuatan bandeng asap di Sidoarjo (Hadiwiyoto et al.

2000), sedangkan pada skala laboratorium, asap cair tempurung kelapa telah

digunakan pada ikan cakalang (Haras 2004), belut (Febriani 2006), dan mie basah

(Gumanti 2006).

Berdasarkan informasi tentang manfaat dan penggunaan asap cair tersebut,

asap cair tempurung kelapa berpotensi menjadi bahan pengawet alternatif, di

samping dapat memberikan aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk

pangan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian tentang keamanan pangan asap cair

tempurung kelapa, sehingga dapat menjadi bahan pengawet alternatif yang aman.

Metode yang digunakan adalah identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa

dengan Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) dan uji toksisitas akut

asap cair tempurung kelapa untuk menentukan nilai LD50.

26

4.1.1. Identifikasi Komponen Asap Cair Tempurung Kelapa

Tempurung kelapa merupakan bahan organik yang mengandung

hemiselulosa, selulosa, dan lignin (Bintoro et al. 2000). Senyawa tersebut

berpotensi terhadap pembentukan senyawa-senyawa penyusun asap cair setelah

dilakukan pirolisis. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-260 0C.

Dekomposisi selulosa terjadi pada suhu 260-310 0C. Pada suhu rendah atau di

bawah 300 0C, selulosa terdekomposisi membentuk karbonil, karboksil,

hidroperoksida, CO, CO2 dan sisa arang. Dekomposisi di atas 300 0C akan

menghasilkan komponen volatil dan gula sederhana (Fine et al. 2002).

Dekomposisi lignin pada suhu di atas 300 0C menyebabkan reaksi polimerisasi

menghasilkan guaiakol, 2-metoksi fenol, metanol, aseton, dan asam asetat

(Simpson et al. 2005).

Salah satu komponen kimia yang bersifat karsinogenik dan dapat

terbentuk selama proses pirolisis tempurung kelapa adalah benzo[a]pirene. Oleh

karena itu, perlu dilakukan identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa

menggunakan GC-MS. Komponen diidentifikasi berdasarkan waktu retensi dan

mass spectra dibandingkan dengan pustaka. Komponen volatil asap cair

tempurung kelapa disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane

No. Waktu

retensi Nama komponen

Keton 1 3.184 2-Methyl-2-cyclopentenone 2 3.771 3-Methyl-2-cyclopentenone 3 4.525 2-Hydroxy-1-methylcyclopenten-3-one 4 4.728 2,3-Dimethylcyclopenten-1-one 5 5.358 4,5-Dimethyl-4-hexen-3-one 6 5.793 3-Ethyl-2-hydroxy-2-cyclopenten-1-one 7 5.984 Cyclohexanone 8 6.909 2-Ethylcycloheptanone Furan dan turunan pyran 9 3.213 2-Acetylfuran 10 3.702 5 Methyl Furfural

27

Tabel 5 (lanjutan)

No. Waktu retensi Komponen

Karbonil dan asam 11 7.532 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde 12 7.994 2,3-dihydroxy-benzoic acid 13 8.549 3-methoxybenzoic acid methyl ester 14 9.180 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester Fenol dan turunannya 15 3.917 Phenol 16 4.979 2-Methylphenol 17 5.260 3-Methylphenol 18 5.716 2,6-Dimethylphenol 19 6.260 2,4-Dimethylphenol 20 6.492 3-Ethylphenol Guaiakol dan turunannya 21 5.458 2-Methoxyphenol (guaiacol) 22 6.617 3-Methylguaiacol 23 6.699 p-Methylguaiacol 24 6.776 2-methoxy-4-methylphenol 25 7.717 4-Ethyl-2-methoxyphenol 26 8.442 Eugenol 27 8.684 Vanillin 28 9.415 Acetovanillone 29 9.682 Methyl vanillate Siringol dan turunannya 30 7.313 2,6-Dimethoxyphenol 31 8.285 3,4-Dimethoxyphenol 32 10.410 4-(2-Propenyl)-2,6-dimethoxyphenol 33 10.840 Syringyl aldehyde 34 11.570 Acetosyringone 35 11.876 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid Alkil aril eter 36 6.077 1,2-Dimethoxybenzene 37 7.197 2,3-Dimethoxytoluene 38 7.915 1,2,3-Trimethoxybenzene 39 9.112 1,2,4-Trimethoxybenzene 40 9.767 5-Methyl-1,2,3-trimethoxybenzene

Tabel 5 menunjukkan kelompok senyawa yang teridentifikasi dari asap

cair tempurung kelapa, terutama berasal dari degradasi termal karbohidrat kayu

seperti keton, karbonil, asam, furan dan turunan pyran. Selain itu, asap cair

tempurung kelapa juga mengandung kelompok senyawa yang berasal dari

degradasi termal lignin, seperti fenol dan turunannya, guaiakol dan turunannya,

siringol dan turunannya, serta alkil aril eter.

Kelompok keton yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa

terdiri dari senyawa-senyawa 2-Methyl-2-cyclopentenone, 2-Hydroxy-1-

28

methylcyclopenten-3-one, 2-Ethylcycloheptanone, 3-Methyl-2-cyclopentenone,

2,3-Dimethylcyclopenten-1-one, 4,5-Dimethyl-4-hexen-3-one, 3-Ethyl-2-hydroxy-

2-cyclopenten-1-one, dan Cyclohexanone. Kelompok furan dan turunan pyan

terdiri dari senyawa 2-Acetylfuran dan 5- Methyl Furfural. Kelompok karbonil

dan asam terdiri dari senyawa-senyawa 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde, 2,3-

dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-

benzoic acid methyl ester. Kelompok senyawa tersebut dihasilkan oleh degradasi

termal selulosa dan hemiselulosa dan juga terdapat pada asap cair komersial

(Guillen et al. 1995; Guillen & Ibargoitia 1998; Guillen et al. 2001), asap kayu

Vitis vinivera L. (Guillen & Ibargoitia 1996a,b) dan asap komersial yang

digunakan sebagai pemberi aroma (Guillen & Manzanos 1996a,b; Guillen &

Manzanos 1997).

Kelompok fenol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa Phenol, 2-

Methylphenol, 3-Methylphenol, 2,6-Dimethylphenol, 2,4-Dimethylphenol, dan 3-

Ethylphenol. Senyawa-senyawa dalam kelompok fenol ini juga terdeteksi pada

asap cair komersial (Guillen et al. 1995; Guillen & Ibargoitia 1998) dan asap cair

dari kayu Salvia lavandulifolia (Guillen & Manzanos 1999). Kelompok guaiakol

dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa 2-Methoxyphenol (guaiacol), 3-

Methylguaiacol, p-Methylguaiacol, p-Methylguaiacol, 2-methoxy-4-methylphenol,

4-Ethyl-2-methoxyphenol, Eugenol, Vanillin, Acetovanillone, dan Methyl

vanillate. Kelompok siringol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa 3,4-

Dimethoxyphenol, 2,6-Dimethoxyphenol, 4-(2-Propenyl)-2,6-dimethoxyphenol,

Syringyl aldehyde, Acetosyringone, dan 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic

acid. Terdapatnya 2,6-Dimethoxyphenol dan 3,4-Dimethoxyphenol

mengindikasikan penggunaan kayu keras sebagai bahan baku untuk membuat asap

cair. Kayu keras termasuk tempurung kelapa banyak digunakan untuk

memproduksi asap cair karena komposisi kayu keras yang terdiri dari lignin,

selulosa, dan metoksil memberikan sifat organoleptik yang baik (Soldera et al.

2008).

Berdasarkan sejumlah senyawa yang teridentifikasi dari asap cair

tempurung kelapa, fenolik menjadi senyawa yang dominan dari asap cair

tempurung kelapa. Guillen dan Ibargoitia (1998) menyatakan bahwa fenolik

29

bertanggung jawab terhadap flavor dari asap cair. Senyawa-senyawa fenolik

tertentu seperti guaiacol, 4-methyl guaiakol, dan 2,6-dimethoxyphenol dan

syringol menentukan flavor dari bahan pangan yang diasap dimana guaiacol akan

memberikan rasa asap dan syringol memberikan aroma asap (Espe et al. 2004;

Serot et al. 2004; Cardinal et al. 2006).

Selain itu, kelompok alkil aril eter juga terdapat dalam asap cair

tempurung kelapa yang terdiri dari senyawa-senyawa 1,2-Dimethoxybenzene, 2,3-

Dimethoxytoluene, 1,2,3-Trimethoxybenzene, 1,2,4-Trimethoxybenzene, dan 5-

Methyl-1,2,3-trimethoxy benzene. Kelompok alkil aril eter ini juga teridentifikasi

dalam asap cair komersial (Guillen & Manzanos 1997) dan asap cair kayu oak

(Quercus sp.) (Guillen & Manzanos 2002).

Komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba dari asap cair

tempurung kelapa adalah fenol dan turunannya serta senyawa asam (Munoz et al.

1998; Sunen et al. 2001; Sunen et al. 2003; Muratore & Licciardello 2005; Milly

et al. 2005; Gomez-Estaca et al. 2007; Kristinsson et al. 2007; Soldera et al.

2008). Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal

karena mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengkoagulasi SH group

dan NH group protein (Karseno et al. 2002). Davidson et al. (2005) menjelaskan

bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan turunannya meliputi reaksi

dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran

sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraselular sel, inaktivasi enzim-enzim

esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional materi genetik.

Asam-asam organik lemah seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-

methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester yang

terdapat dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba

terutama karena pembentukan ion H+ bebas. Senyawa asam dalam bentuk tidak

terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme.

Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur

membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri.

Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-

enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson et al. 2005).

30

Guillen et al. (1995) menjelaskan bahwa benzo[a]pirene merupakan salah

satu senyawa polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang diketahui bersifat

karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan. Hasil analisis

menunjukkan bahwa senyawa-senyawa PAH termasuk benzo[a]pirene tidak

ditemukan pada asap cair tempurung kelapa. Asap cair yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan hasil kondensasi asap yang berasal dari pembuatan arang

tempurung kelapa pada suhu di bawah 400 0C. Faktor yang menyebabkan

terbentuknya senyawa PAH adalah suhu pengasapan dan benzo[a]pirene tidak

terbentuk jika suhu pirolisis dibawah 425 0C (Guillen et al. 2000; Stolyhwo &

Sikorski 2005).

4.1.2. Uji Toksisitas Akut Asap Cair Tempurung Kelapa

Uji toksisitas akut digunakan untuk menentukan dosis letal median (LD50)

suatu toksikan. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang

diharapkan akan membunuh 50% hewan percobaan. Nilai LD50 sangat berguna

untuk klasifikasi zat kimia sesuai toksisitas relatifnya. Selain itu, nilai LD50 dapat

digunakan untuk perencanaan penelitian toksisitas sub akut dan kronis pada

hewan. Namun, nilai LD50 belum dapat digunakan untuk menentukan dosis aman

suatu zat kimia tertentu yang dapat dikonsumsi setiap hari (Acceptable Daily

Intake/ADI). Penetapan ADI bagi manusia dilakukan berdasarkan NOEL (No

Observed Effect Level) dari penelitian toksisitas sub akut bersama dengan data

toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang (Lu 2006).

Meskipun demikian, uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50 merupakan

bagian penting dari data dasar toksisitas yang menyeluruh dan prosedurnya telah

diatur oleh Organization of Economic Cooperation and Development (OECD)

Guidelines for Testing of Chemicals (Barlow et al. 2002).

Penentuan LD50 dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang

diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam dan pengamatan dilakukan

selama kurang lebih 14 hari (Barlow et al. 2002). Sebelum diberi perlakuan,

mencit diaklimatisasi selama 7 hari. Hasil pengamatan perubahan berat badan

mencit pada masa aklimatisasi disajikan pada Gambar 3 dan data selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 1.

31

Gambar 3 Perubahan berat badan mencit selama masa aklimatisasi.

Gambar 3 menunjukkan bahwa selama masa aklimatisasi berat badan

mencit terus mengalami peningkatan. Berat rata-rata mencit pada hari pertama

adalah 23,91 gr dan setelah 7 hari naik menjadi 27,65 gr. Setelah masa

aklimatisasi, berat badan mencit dan kondisi kesehatannya telah memenuhi syarat

untuk dipergunakan pada uji toksisitas akut.

Setelah masa aklimatisasi, mencit dibagi menjadi 5 kelompok untuk 5 seri

dosis yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001, dosis yang digunakan

pada uji toksisitas akut adalah kontrol, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5.000 mg/kg

BB, dan 15.000 mg/kg BB. Perlakuan diberikan dengan cara mencekok mencit

dengan asap cair sesuai dosis sebanyak 1 ml, kemudian dilakukan pengamatan

terhadap pertambahan berat badan dan kematian mencit untuk tiap dosisnya. Hasil

pengamatan pertambahan berat badan rata-rata mencit disajikan pada Gambar 4

dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

23.00

24.00

25.00

26.00

27.00

28.00

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Hari pengamatan

Bera

t bad

an (g

r)

32

Gambar 4 Pertambahan berat badan rata-rata mencit selama pengamatan

Gambar 4 menunjukkan bahwa berat badan rata-rata mencit pada masing-

masing dosis mengalami peningkatan selama pengamatan. Hasil pengamatan

tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tidak menyebabkan penurunan

berat badan mencit, terbukti pada dosis yang paling besar yaitu 15.000 mg/kg BB,

berat badan mencit terus mengalami peningkatan. Jumlah dan persentase kematian

mencit selama pengamatan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase kematian mencit dengan dosis asap cair kontrol, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5.000 mg/kg BB, dan 15.000 mg/kg BB

Dosis Jumlah kematian Kematian (%) Kontrol 0 0 50 mg/kg BB 0 0 500 mg/kg BB 0 0 5000 mg/kg BB 0 0 15000 mg/kg BB 0 0

Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian asap cair dengan dosis maksimal

15.000 mg/kg BB tidak menimbulkan kematian pada mencit. Berdasarkan

persentase kematian tersebut, maka dapat diartikan bahwa nilai LD50 akut asap

cair tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Hal ini sesuai

dengan Peraturan Pemerintah RI No. 74 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa

suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg

BB hewan uji, maka dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik, sehingga asap

cair tempurung kelapa aman digunakan untuk pangan.

33

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa

toksisitas akut dari asap cair tempurung kelapa rendah. Bila toksisitas akut suatu

senyawa rendah, artinya pada dosis yang cukup besar saja menyebabkan hanya

sedikit kematian, atau bahkan tidak menyebabkan kematian, maka dianggap

bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat diabaikan dan LD50 tidak perlu

ditentukan ( Lu 2006).

4.2. Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa

Pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa menggunakan

Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa sebagai bakteri uji. Kedua

jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut

berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. S. aureus merupakan

bakteri Gram positif berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm dan tumbuhnya

secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang

menyebabkan keracunan dan sering ditemukan pada jenis makanan yang

mengandung protein tinggi seperti ikan, telur, daging dan sebagainya.

Enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus bersifat tahan panas dan masih aktif

setelah dipanaskan pada suhu 100 0C selama 30 menit (Fardiaz 1993). S. aureus

banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan

pangan (Sunen 1998). Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37 0C dan

dapat tumbuh pada pH 4,0-9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0-7,8. P. aeruginosa

merupakan salah satu bakteri yang sering menimbulkan kebusukan pada makanan

seperti susu, daging, dan ikan. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif,

bersifat aerob dan dapat tumbuh pada media sederhana, bentuk sel bervariasi dari

batang, koma, dan kadang-kadang bulat (Doyle et al. 2001). P. aeruginosa mudah

tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada beragam produk pangan karena

kemampuannya untuk menggunakan berbagai sumber karbon bukan karbohidrat

dan komponen nitrogen sederhana sebagai sumber energi, mampu mensintesis

sendiri vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya, dan tumbuh baik pada

suhu dingin, serta menghasilkan senyawa-senyawa penyebab bau busuk pada

pangan (Frazier & Westhoff 1988).

Penentuan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair

tempurung kelapa terhadap S. aureus dan P. aeruginosa dilakukan dengan metode

34

kontak pada medium cair. Nilai MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah

asap cair tempurung kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri

sebanyak > 90% selama inkubasi 24 jam (Cosentino et al. 1999 di dalam Sara

2004). Nilai MIC asap cair tempurung kelapa memberikan gambaran adanya

respon ketahanan yang berbeda dari kedua jenis bakteri uji. Hasil pengujian nilai

MIC disajikan pada Gambar 5 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran

4,5,6, 7 dan 8.

Gambar 5 Nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap bakteri uji

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai MIC asap cair tempurung kelapa

terhadap S. aureus sebesar 0,40% dengan penghambatan 91,11%, sedangkan nilai

MIC asap cair tempurung kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22% dengan

penghambatan 91,59%. S. aureus lebih resisten daripada P. aeruginosa terhadap

asap cair tempurung kelapa. S. aureus merupakan bakteri Gram positif dengan

dinding sel disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanil-D-

isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan interpeptida yang terdiri dari lima

unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan

oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan

struktur yang kuat, sehingga struktur ini sangat tahan terhadap kerusakan (Thorpe

1995). P. aeruginosa lebih sensitif diduga karena bakteri ini mempunyai protein

porin PAO1 dengan diameter 2 nm, lebih besar dibanding protein porin OmpF

35

dan OmpC pada E. coli K-12 dengan diameter 1.2 nm. Asap cair tempurung

kelapa dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui

protein porin tersebut (Helander et al. 1998).

4.3. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa pada Bakso Ikan

Tahap pertama untuk aplikasi asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan

adalah menentukan cara pemberian asap cair berdasarkan kriteria daya awet bakso

ikan yang disimpan pada suhu kamar. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi asap

cair yang digunakan berdasarkan penerimaan konsumen.

4.3.1. Penentuan Cara Pemberian Asap Cair Tempurung Kelapa

Pemberian asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan dilakukan dengan

tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran

asap cair ke dalam adonan bakso, dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus

bakso. Tiga cara tersebut dipilih berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya

tentang penggunaan asap cair pada beberapa produk pangan. Perendaman produk

dalam asap cair telah dilakukan pada daging (Martinez et al. 2004) maupun pada

fillet salmon (Martinez et al. 2007), masing-masing selama 30 menit.

Pencampuran asap cair pada produk pangan telah dilakukan pada pembuatan

tepung asap (Darmadji 2002) serta pada pembuatan mayonaise untuk memberikan

aroma asap (Kostyra & Pikielna 2007), sedangkan pencampuran asap cair ke

dalam air perebus telah digunakan dalam pengolahan fillet ikan (Siskos et al.

2007).

Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap ini adalah kontrol, 1,0%,

1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu

timbulnya lendir pada bakso ikan. Kok dan Park (2007) menyatakan bahwa salah

satu tanda kerusakan bakso adalah terbentuknya lendir yang menandakan adanya

pertumbuhan bakteri. Bakso ikan yang telah diberi perlakuan dikemas dalam

plastik HDPE steril dan disimpan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan setiap

selang waktu 8 jam sampai bakso telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan.

Hasil pengamatan parameter fisik untuk cara pemberian asap cair disajikan pada

Tabel 7.

36

Tabel 7 Hasil pengamatan visual bakso ikan selama penyimpanan pada suhu kamar

Cara pemberian asap cair

Terbentuk lendir (jam ke-) Kontrol Ac 1,0% Ac 1,5% Ac 2,0% Ac 2,5%

Perendaman bakso dalam asap cair 16 24 24 24 24

Pencampuran asap cair dalam adonan bakso 16 24 24 24 24

Pencampuran asap cair dalam air perebus 16 24 24 24 32

Tabel 7 menunjukkan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus

lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara perendaman dan

pencampuran asap cair dalam adonan bakso memberikan hasil yang sama. Lendir

mulai terlihat pada jam ke-24 untuk konsentrasi asap cair 1,0% sampai 2,5%,

sedangkan bakso ikan tanpa penambahan asap cair telah terbentuk lendir pada jam

ke-16. Cara perendaman bakso ikan ke dalam asap cair kurang efektif karena pada

jam ke-24 bagian luar bakso masih bagus, tetapi bagian dalam sudah berlendir.

Pencampuran asap cair dalam adonan bakso juga kurang efektif karena pada jam

ke-24 bagian luar bakso sudah berlendir, tidak beda nyata dengan kontrol. Cara

pencampuran asap cair dalam air perebus lebih efektif, pada konsentrasi asap cair

2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-32. Siskos et al. (2007)

menyatakan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus akan melapisi

bagian luar filet dan meresap masuk ke bagian dalam filet. Berdasarkan hasil

pengamatan tersebut, cara pencampuran asap cair dalam air perebus digunakan

pada tahap penyimpanan bakso ikan.

4.3.2. Penentuan Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa

Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan

ditentukan berdasarkan penerimaan konsumen. Penerimaan konsumen terhadap

bakso ikan dengan penambahan asap cair ditentukan dengan uji kesukaan

menggunakan panelis tak terlatih sebanyak 30 orang. Panelis diminta

mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan

terhadap suatu produk. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

skala 9, dengan tingkat kesukaan 9 (amat sangat suka), 8 (sangat suka), 7 (suka),

37

6 (agak suka), 5 (netral), 4 (agak tidak suka), 3 (tidak suka), 2 (sangat tidak suka)

dan 1 (amat sangat tidak suka) (Rahayu 2001). Konsentrasi asap cair yang

digunakan yaitu 1,0%, 1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Penerimaan panelis terhadap bakso

ikan disajikan pada Tabel 8 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 9,

10, 11, dan 12.

Tabel 8 Nilai rata-rata mutu bakso ikan berdasarkan penerimaan panelis Konsentrasi asap cair Nilai organoleptik (rata-rata ± s.d.)

Aroma Warna Rasa Keseluruhan 1,0% 7,83 ± 0,38a 8,00 ± 0,45a 8,17 ± 0,65a 8,03 ± 0,49a 1,5% 7,60 ± 0,50a 7,37 ± 0,49b 7,23 ± 0,43b 7,17 ± 0,38b 2,0% 7,73 ± 0,45a 7,53 ± 0,51b 7,33 ± 0,48b 7,33 ± 0,48b 2,5% 7,77 ± 0,43a 7,60 ± 0,50b 7,43 ± 0,50b 7,37 ± 0,49b

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tempurung kelapa tidak

berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap aroma bakso ikan, tetapi

berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap warna, rasa, dan kesukaan

keseluruhan bakso ikan yang dihasilkan. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap

aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap

cair 1,0% masing-masing sebesar 7,83; 8,00; 8,17; dan 8,03 dengan penilaian

sangat suka. Panelis cenderung lebih menyukai bakso dengan konsentrasi asap

cair 1,0% daripada bakso dengan konsentrasi asap cair 1,5%, 2,0%, dan 2,5%.

Bakso dengan konsentrasi asap cair 1,0% mempunyai penilaian yang paling tinggi

yaitu 7,83-8,17. Sular dan Okur (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat

penilaian maka produk akan semakin disukai.

Asap cair sampai konsentrasi 2,5% masih dapat diterima oleh panelis,

meskipun secara keseluruhan berbeda nyata dengan konsentrasi 1%. Nilai rata-

rata kesukaan panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan

bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% berkisar antara 7,37-7,77. Nilai

tersebut masih tergolong tinggi dengan penilaian 7 (suka) dan 8 (sangat suka).

Persentase penerimaan panelis berdasarkan 2 standar nilai tersebut disajikan pada

Gambar 6.

38

Gambar 6 Persentase penilaian panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5%.

Gambar 6 menunjukkan bahwa panelis lebih banyak memberikan nilai 8

(sangat suka) terhadap aroma bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5%

sebesar 76,67%. Bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% memberikan

aroma khas asap yang sangat disukai penelis. Soldera et al. (2008) menyatakan

bahwa senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah kelompok fenolik

dengan titik didih sedang seperti siringol, isoeugenol, dan metil eugenol.

Kelompok fenolik dengan titik didih rendah seperti guaiakol, metil guaiakol, dan

etil guaiakol memiliki aroma yang tidak begitu keras. Siringol dan guaiakol

memberikan aroma pungent (pedas dan agak menyengat di hidung), aroma

terbakar, dan aroma asap (Varlet et al. 2006).

Bakso pada konsentrasi 1,0% mempunyai warna kuning kecoklatan.

Konsentrasi 1,5%; 2,0%; 2,5% mempunyai warna coklat yang semakin pekat

dengan meningkatnya konsentrasi asap. Gambar 6 menunjukkan bahwa panelis

lebih banyak memberikan nilai 8 (sangat suka) terhadap warna bakso ikan dengan

asap cair 2,5% sebesar 60%. Warna coklat terjadi karena hasil reaksi Maillard

yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan gula reduksi, waktu,

serta temperatur pemanasan ( Krokida et al. 2001). Reaksi Maillard merupakan

reaksi non enzimatis antara grup amino bebas dan karbonil yang terjadi dengan

cepat di atas suhu 100 0C (Abu-Ali & Barringer 2007). Warna pada produk

23.33

40.00

56.6763.33

76.67

60.00

43.3336.67

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

Aroma Warna Rasa Kesukaankeseluruhan

Parameter mutu

Pers

enta

se p

enila

ian

pane

lis

Nilai 7 (suka)

Nilai 8 (sangat suka)

39

pengasapan terutama bakso terbentuk karena interaksi antara senyawa karbonil

dan gugus amino dalam daging ikan (Darmadji 2002).

Parameter rasa dan kesukaan keseluruhan bakso ikan yang direbus dengan

asap cair 2,5%, lebih banyak diberi nilai 7 (suka) oleh panelis, masing-masing

sebesar 43,33% dan 36,67%. Senyawa karbonil, lakton, dan furan memegang

peranan penting dalam pembentukan citarasa asap dan disebut konstituen minor.

Senyawa tersebut memberikan citarasa manis-pedas dan rasa asap (Varlet et al.

2006). Rasa manis-pedas dari asap dan gurih dari ikan, aroma asap yang khas,

serta warna bakso yang kecoklatan, memberikan kesan yang khas pada bakso

ikan.

Berdasarkan hasil uji kesukaan tersebut, bakso dengan konsentrasi asap

cair 2,5% digunakan pada tahap penyimpanan. Konsentrasi tersebut masih disukai

oleh panelis berdasarkan parameter aroma, warna, rasa, dan kesukaan

keseluruhan. Pertimbangan lain, hasil pengamatan cara pemberian asap cair

dengan dicampur dalam air perebus menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair

2,5% dapat meningkatkan daya awet bakso ikan. Melalui pengamatan visual,

bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk lendir pada jam ke-32,

dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%; dan 2,0% yang terbentuk

lendir pada jam ke-24.

4.3.3. Total Fenol Asap Cair Tempurung Kelapa, Air Perebus Bakso, dan Bakso Ikan

Analisis total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang

terdapat pada bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% dalam air perebus.

Kurva standar fenol disajikan pada Lampiran 13 dan hasil pengujian total fenol

disajikan pada lampiran 14. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kandungan

fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 6,877%. Hasil penelitian

Tranggono (1996) terhadap asap cair kayu jati, lamtorogung, tempurung kelapa,

mahoni, kamper, bangkirai, kruing, dan glugu (pohon kelapa) menunjukkan

bahwa variasi kandungan fenolnya berkisar antara 2,0-5,13% atau sama dengan

21.000–51.300 ppm. Konsentrasi komponen fenolik pada asap cair dipengaruhi

oleh berbagai faktor seperti jenis kayu yang digunakan untuk proses pengasapan,

temperatur, dan kelembaban (Soldera et al. 2008).

40

Konsentrasi asap cair yang digunakan untuk pembuatan bakso ikan adalah

2,5% dalam air perebus. Air perebus yang digunakan sebanyak 1500 ml dan

digunakan untuk merebus 50 butir bakso ikan. Diameter bakso ikan berkisar

antara 2,2 – 2,4 cm, dengan rata-rata luas permukaan bakso ikan sebesar 34,13

cm2, perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil pengujian total fenol

menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam air perebus bakso sebesar 0,173%.

Sedangkan total fenol pada bakso ikan sebesar 0,051%. Hal ini menunjukkan

bahwa dari konsentrasi asap cair 2,5% dalam air perebus dengan total fenol

sebesar 0,173%, maka fenol yang menempel atau terserap pada bakso ikan dengan

rata-rata luas permukaan 34,13 cm2 hanya 1/3 nya.

4.3.4. Penyimpanan Bakso Ikan pada Suhu Kamar

Konsentrasi asap cair yang digunakan adalah kontrol dan 2,5%

berdasarkan hasil pengujian sebelumnya. Adonan bakso ikan direbus dengan air

sebanyak 1,5 liter selama 15 menit. Setelah itu, bakso ikan ditiriskan dan

didinginkan selama kurang lebih 15 menit, dikemas dalam plastik HDPE steril

dan disimpan pada suhu kamar (27–28 0C). Pengamatan dilakukan pada jam ke-0,

8, 16, 24, 32, dan 40. Parameter pengamatan meliputi jumlah total bakteri (TPC),

nilai pH, dan kadar air bakso ikan.

4.3.4.1. Jumlah Total Bakteri (TPC)

Kandungan bakteri dalam suatu produk merupakan salah satu parameter

mikrobiologis dalam menentukan layak tidaknya produk tersebut dikonsumsi

(Kristinsson et al. 2007). Kontaminasi mikroba pada produk perikanan dapat

terjadi saat panen, penanganan, distribusi maupun penyimpanan, dan proses

pengolahan (Wekell et al. 1994). Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan

untuk mengetahui jumlah total bakteri dalam suatu produk dan mengetahui tingkat

pertumbuhannya selama penyimpanan. Hasil pengamatan nilai TPC bakso ikan

pada penyimpanan suhu kamar disajikan pada Gambar 7 dan perhitungannya

dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, dan 18.

41

Gambar 7 Jumlah bakteri total (log CFU/g) pada bakso ikan selama

penyimpanan suhu kamar.

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai TPC bakso ikan kontrol selama

penyimpanan berkisar antara 1,30–8,48 log CFU/g. Nilai TPC bakso ikan

dengan asap cair 2.5% berkisar antara 1,00–6,53 log CFU/g. Berdasarkan nilai

TPC dapat dikatakan bahwa jumlah mikroorganisme cenderung semakin

meningkat dengan lamanya penyimpanan. Nilai TPC bakso ikan kontrol pada jam

ke-16 sebesar 6,35 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995

untuk produk bakso ikan yaitu 1,0x105 CFU/g atau sama dengan 5,00 log CFU/g,

maka produk bakso ikan kontrol pada jam ke-16 secara mikrobiologis sudah

ditolak. Sesuai dengan pengamatan fisik pada bakso ikan kontrol pada penentuan

cara pemberian asap cair, lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-16.

Terbentuknya lendir mengindikasikan bahwa produk tersebut sudah mengalami

kemunduran mutu akibat aktivitas bakteri dan tidak layak untuk dikonsumsi (Kok

& Park 2007; Siskos et al. 2007).

Nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada jam ke-16 dan ke-24

masih dapat diterima dengan nilai masing-masing 4,34 dan 4,61 log CFU/g. Jam

ke-32 nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% sudah melewati batas aturan

SNI, walaupun masih pada pangkat yang sama, yaitu 5,60 log CFU/g atau sekitar

4,0x105 CFU/g. Hal ini sesuai dengan pengamatan fisik pada bakso ikan yang

direbus dengan asap cair 2,5%, lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke 32.

42

Pengamatan secara keseluruhan terhadap jumlah bakteri yang tumbuh

pada bakso ikan selama 40 jam penyimpanan menunjukkan bahwa bakso ikan

yang direbus dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah

dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa asap cair dapat

memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol pada

suhu kamar (27–28 0C).

4.3.4.2. Nilai pH

Hasil pengamatan pH bakso ikan pada penyimpanan suhu kamar disajikan

pada Gambar 8 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19. Secara

umum nilai pH bakso ikan mengalami penurunan, kemudian naik pada hari

terakhir pengamatan. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai pH bakso ikan dengan

asap cair 2,5% lebih rendah daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir

penyimpanan. Hal ini disebabkan tingkat keasaman dari asap cair tempurung

kelapa dan adanya senyawa-senyawa asam seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-

methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester

berdasarkan analisis GC-MS.

Gambar 8 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar

Nilai pH bakso ikan kontrol pada awal penyimpanan sebesar 6,21,

kemudian turun sampai jam ke-24 menjadi 6,15 dan naik menjadi 6,23 pada akhir

penyimpanan. Menurut Stohr et al. (2001), penurunan nilai pH disebabkan oleh

43

metabolisme bakteri asam laktat. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada

awal penyimpanan sebesar 5,83 dan cenderung mengalami kenaikan menjadi 5,86

pada akhir penyimpanan. Menurut Goulas dan Kontominas (2005), kenaikan pH

disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk yang dapat memproduksi enzim

proteolitik. Enzim ini dapat memecah protein menjadi amonia, trimetilamin dan

komponen volatil lainnya sehingga nilai pH akan naik.

4.3.4.3. Kadar Air

Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung bahan

tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan (Martinez et al.

2007). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asap

cair terhadap perubahan kadar air bakso ikan . Hasil pengukuran kadar air bakso

ikan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 9, dan perhitungannya dapat

dilihat pada Lampiran 20 dan 21.

Gambar 9 Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Gambar 9 menunjukkan bahwa pada jam ke-0 kadar air bakso ikan kontrol

lebih besar (p<0,05) daripada bakso ikan dengan asap cair 2,5%. Kadar air bakso

ikan kontrol sebesar 74,56%, sedangkan kadar air bakso ikan dengan asap cair

2,5% sebesar 74,27%. Kadar air bakso ikan kontrol dan bakso ikan dengan asap

cair 2,5% pada jam ke-0 ternyata ada perbedaan yang nyata (p<0,05). Penggunaan

74.20 a

74.56 b

74.15 a

74.27 a

72.0072.30

72.6072.90

73.2073.5073.80

74.1074.40

74.7075.00

0 40

Waktu pengamatan (jam)

Kad

ar a

ir (w

b,%

)

Kontrol Asap cair 2.5%

44

asap cair dapat menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi &

Joffraud 2000; Rorvik 2000). Gomez-Guillen et al. (2003) menyatakan bahwa

tingkat keasaman asap cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging,

sehingga berakibat pada keluarnya air dari daging ikan.

Selama penyimpanan sampai jam ke-40, kadar air bakso ikan kontrol

mengalami penurunan dari 74,56% menjadi 74,20% dan bakso ikan dengan asap

cair 2,5% mengalami penurunan dari 74,27% menjadi 74,15. Kadar air bakso ikan

selama penyimpanan ternyata tidak berbeda nyata (p>0,05).

4.3.5. Penyimpanan Bakso Ikan Pada Suhu Refrigerasi Pada tahap ini konsentrasi asap cair yang digunakan sama dengan

penyimpanan pada suhu kamar, yaitu kontrol dan 2,5%. Adonan bakso ikan

direbus dengan air sebanyak 1,5 liter selama 15 menit. Setelah itu, bakso ikan

ditiriskan dan didinginkan selama kurang lebih 15 menit, dikemas dalam plastik

HDPE steril dan disimpan pada suhu refrigerasi (4±1 0C). Pengamatan dilakukan

pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, dan 20. Parameter pengamatan meliputi uji jumlah

total bakteri (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan.

4.3.5.1. Jumlah Total Bakteri (TPC)

Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan untuk mengetahui jumlah total

bakteri pada bakso ikan dan mengetahui tingkat pertumbuhannya selama

penyimpanan pada suhu refrigerasi. Hasil pengamatan nilai TPC bakso ikan

selama 20 hari penyimpanan disajikan pada Gambar 10 dan perhitungannya dapat

dilihat pada Lampiran 22, 23, dan 24. Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah

mikroorganisme pada bakso ikan kontrol cenderung meningkat dengan lamanya

penyimpanan, sedangkan jumlah mikroorganisme pada bakso ikan dengan asap

cair 2,5% meningkat pada hari ke-4, kemudian cenderung konstan pada hari ke-8,

dan terus mengalami penurunan sampai hari ke-20.

45

Gambar 10 Jumlah bakteri total (log CFU/g) pada bakso ikan selama

penyimpanan suhu refrigerasi.

Nilai TPC bakso ikan kontrol selama penyimpanan berkisar antara 1,30–

0,00 log CFU/g, sedangkan nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% berkisar

antara 1,00–3,01 log CFU/g. Nilai TPC bakso ikan kontrol pada hari ke-12

sebesar 6,17 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995 untuk

produk bakso ikan yaitu 1,0x105 CFU/g atau sama dengan 5,00 log CFU/g, maka

produk bakso ikan tanpa penambahan asap cair pada hari ke-12 secara

mikrobiologis sudah ditolak. Nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5%

mencapai nilai tertinggi pada penyimpanan hari ke-4 sebesar 3,01 log CFU/g.

Nilai TPC tersebut masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh SNI. Selama

penyimpanan sampai hari ke-20 nilai TPC bakso ikan yang direbus dengan asap

cair 2,5% mengalami penurunan dengan nilai sebesar 1,80 log CFU/g. Secara

mikrobiologis, bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20

masih layak untuk dikonsumsi. Sunen et al. (2001) menyatakan bahwa

penggunaan asap cair yang dikombinasikan dengan suhu rendah dapat bersifat

sebagai bakteristatik atau bakterisidal tergantung dari konsentrasi asap cair, suhu

yang digunakan, dan lama penyimpanan.

46

4.3.5.2. Nilai pH

Hasil pengamatan pH bakso ikan pada penyimpanan suhu refrigerasi

disajikan pada Gambar 11 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25.

Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami kenaikan selama penyimpanan suhu

refrigerasi.

Gambar 11 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi

Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai pH bakso ikan kontrol pada awal

penyimpanan sebesar 6,26, sedangkan bakso ikan dengan asap cair 2,5% sebesar

5,75. Nilai pH kedua bakso ikan tersebut naik sampai akhir penyimpanan menjadi

6,33 pada bakso ikan kontrol dan 5,80 pada bakso ikan dengan asap cair 2,5%.

Peningkatan nilai pH bakso ikan disebabkan berkembangnya bakteri psikrofil

yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil seperti amonia dan

trimetilamin (Ruiz-Capillas et al. 2001)

4.3.5.3. Kadar Air Hasil pengukuran kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu

refrigerasi disajikan pada Gambar 12, dan perhitungannya dapat dilihat pada

Lampiran 26 dan 27. Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar air bakso ikan kontrol

pada hari ke-0 sebesar 74,56% dan kadar air bakso ikan dengan asap cair 2,5%

sebesar 74,27%. Selama penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan

kontrol mengalami penurunan menjadi 73,78%, sedangkan bakso ikan dengan

asap cair 2,5% turun menjadi 73,72% dan menunjukkan adanya beda nyata

47

(p<0.05). Penurunan kadar air bakso ikan disebabkan penguapan air pada suhu

rendah, sehingga selama pendinginan kadar air bakso ikan akan berkurang

(Hadiwiyoto 1993).

Gambar 12 Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

4.4. Pembahasan Umum Penelitian ini mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai

bahan pengawet alternatif yang aman. Tahap pertama adalah mengkaji keamanan

asap cair tempurung kelapa dengan mengidentifikasi komponen asap cair

tempurung kelapa dan melakukan uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50

asap cair tempurung kelapa. Tahap kedua adalah menguji aktivitas antibakteri

asap cair tempurung kelapa dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory

Concentration). Sedangkan tahap ketiga adalah mengkaji penggunaan asap cair

tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan.

Hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan bahwa kelompok senyawa

yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa, terutama berasal dari

degradasi termal karbohidrat kayu seperti keton, karbonil, asam, furan dan turunan

pyran. Asap cair tempurung kelapa juga mengandung kelompok senyawa yang

berasal dari degradasi termal lignin, seperti fenol dan turunannya, guaiakol dan

turunannya, siringol dan turunannya, serta alkil aril eter. Selain itu, tidak

73.78 a

74.56 c

73.72 a

74.27 b

72.00

72.30

72.60

72.90

73.20

73.50

73.80

74.10

74.40

74.70

75.00

0 20

Waktu pengamatan (hari)

Kad

ar a

ir (w

b,%

)

Kontrol Asap cair 2.5%

48

ditemukan adanya senyawa-senyawa PAH termasuk benzo[a]pirene dalam asap

cair tempurung kelapa.

Hasil uji toksisitas akut menunjukkan bahwa nilai LD50 asap cair

tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Berdasarkan

Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001, suatu zat/senyawa/bahan kimia

dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB hewan uji, maka

dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman digunakan untuk pangan.

Selain keamanan pangan asap cair tempurung kelapa, parameter mikrobiologi

juga sangat diperlukan untuk menentukan daya awet bakso ikan. Oleh karena itu,

perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa untuk

mengetahui dosis yang efektif untuk diaplikasikan ke bakso ikan. Pengujian

aktivitas antibakteri dilakukan dengan menentukan nilai MIC (Minimum

Inhibitory Concentration) asap cair tempurung kelapa dengan metode kontak pada

medium cair. Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus dan P. aeruginosa.

Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut

berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa S. aureus lebih resisten terhadap asap cair tempurung kelapa

dengan nilai MIC sebesar 0,40%, sedangkan nilai MIC asap cair tempurung

kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22%.

Secara umum mekanisme aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa

adalah dengan masuk melewati dinding sel dan merusak bagian membran

sitoplasma. Kerusakan pada membran sitoplasma mengakibatkan permeabilitas

membran terganggu, sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu

pembentukan asam nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap asap cair tempurung

kelapa dapat terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma,

sedangkan bakteri yang resisten kerusakan terjadi pada dinding sel. P. Aeruginosa

lebih sensitif terhadap asap cair tempurung kelapa. Bakteri tersebut merupakan

bakteri Gram negatif dengan membran luar sel berupa lipopolisakarida. Diduga

asap cair tempurung kelapa dapat menyebabkan kerusakan dinding sel,

selanjutnya berdifusi melalui membran sitoplasma dan mempengaruhi materi

genetik. Menurut Helander et al. (1998), senyawa antimikroba dapat bereaksi

dengan komponen fosfolipid dari membran sel, sehingga mengakibatkan lisis sel.

49

Tahap selanjutnya adalah aplikasi asap cair tempurung kelapa pada bakso

ikan. Diharapkan asap cair tempurung kelapa ini dapat memperpanjang umur

simpan bakso ikan pada suhu kamar dan suhu refrigerasi serta disukai oleh

konsumen. Sebelum ke tahap penyimpanan, terlebih dahulu ditentukan cara

pemberian asap cair berdasarkan kriteria daya awet bakso yang disimpan pada

suhu kamar. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi asap cair yang digunakan

berdasarkan penerimaan konsumen. Pemberian asap cair tempurung kelapa pada

bakso ikan dilakukan dengan tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair

selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso, dan

pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Dosis asap cair tempurung

kelapa yang diujikan pada tahap ini adalah kontrol; 1,0%; 1,5%; 2,0%; dan 2,5%.

Parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu timbulnya lendir pada

bakso ikan. Hasil pengamatan visual bakso ikan untuk tiga cara pemberian asap

cair menunjukkan bahwa pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam air

perebus lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara

perendaman dan pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam adonan bakso

memberikan hasil yang sama. Cara pencampuran asap cair dalam air perebus lebih

efektif, pada konsentrasi asap cair 2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada

jam ke-32. Siskos et al. (2007) menyatakan bahwa pencampuran asap cair dalam

air perebus akan melapisi bagian luar filet dan meresap masuk ke bagian dalam

filet.

Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan

ditentukan berdasarkan penerimaan konsumen. Asap cair sampai konsentrasi

2,5% masih dapat diterima oleh panelis, meskipun secara keseluruhan berbeda

nyata dengan konsentrasi 1%. Konsentrasi asap cair 2,5% digunakan pada tahap

penyimpanan bakso ikan, karena konsentrasi tersebut masih dapat diterima oleh

panelis dengan nilai antara 7 (suka) dan 8 (sangat suka). Selain itu, melalui

pengamatan visual, bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk

lendir pada jam ke-32, dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%;

dan 2,0% yang terbentuk lendir pada jam ke-24.

Hasil analisis total fenol menunjukkan bahwa bakso ikan dengan asap cair

2,5% mengandung fenol sebesar 0,051% atau 510 ppm. Konsentrasi tersebut

50

dapat diartikan bahwa setiap 1 kg bakso ikan mengandung fenol sekitar 510 mg.

Berdasarkan hasil LD50 asap cair tempurung kelapa yaitu > 15.000 mg/kg BB

mencit, kita dapat mengetahui tingkat keamanan bakso ikan dengan asap cair

2,5%. Nilai LD50 tersebut bila digunakan untuk manusia, WHO menganjurkan

faktor pengaman sebesar 100 dan telah diterima secara luas (Lu 2006). Faktor

pengaman ini diperlukan mengingat adanya perbedaan kepekaan antara hewan

dan manusia, dan juga mengingat fakta bahwa jumlah hewan yang diuji sangat

kecil dibandingkan dengan besarnya jumlah manusia yang mungkin terpajan.

Berdasarkan faktor pengaman tersebut, batas aman dari asap cair tempurung

kelapa adalah 150 mg/kg BB manusia. Misalnya bila berat badan seseorang 50 kg,

maka batas aman yang dapat dikonsumsi adalah 7500 mg. Berat rata-rata satu

butir bakso dengan diameter 2,2-2,4 cm sebesar 5 gr, misalnya satu kali makan

dapat menghabiskan 10 butir bakso, maka kandungan total fenol dalam bakso

tersebut sebesar 25,5 mg. Jumlah tersebut masih jauh di bawah batas aman yang

dapat dikonsumsi, yaitu 7500 mg. Namun perlu diingat, bahwa batas aman

tersebut bukan untuk dikonsumsi setiap hari dan dalam jangka waktu yang lama.

Penetapan ADI (Acceptable Daily Intake) bagi manusia dilakukan berdasarkan

NOEL (No Observed Effect Level) dari penelitian toksisitas sub akut bersama

dengan data toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang.

Tetapi, bila toksisitas akutnya rendah, dalam arti dosis yang paling besar saja

tidak menyebabkan kematian, dapat dianggap bahwa semua toksisitas akut yang

berbahaya dapat disingkirkan dan LD50 tidak perlu ditentukan. Pandangan ini

diterima oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (Lu 2006).

Berdasarkan hasil penelitian, tidak terjadi kematian pada hewan uji pada dosis

yang paling besar yaitu 15.000 mg/kg BB, maka asap cair tempurung kelapa aman

digunakan untuk pangan.

Tahap penyimpanan bakso ikan menggunakan konsentrasi asap cair

tempurung kelapa kontrol dan 2,5%. Selanjutnya bakso ikan disimpan pada suhu

kamar (27–28 0C) dan suhu refrigerasi (4±1 0C). Penyimpanan bakso ikan pada

suhu kamar dilakukan pengamatan pada jam ke-0, 8, 16, 24, 32, dan 40.

Sedangkan penyimpanan bakso ikan pada suhu refrigerasi dilakukan pengamatan

51

pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, dan 20. Parameter pengamatan meliputi uji jumlah

bakteri total (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan.

Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu kamar menunjukkan bahwa

bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah

dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa asap cair dapat

memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol.

Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami penurunan, kemudian naik pada hari

terakhir pengamatan. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% lebih rendah

daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir penyimpanan. Hal ini

disebabkan tingkat keasaman dari asap cair tempurung kelapa dan adanya

senyawa-senyawa asam seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic

acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester berdasarkan analisis

GC-MS. Kadar air bakso ikan kontrol dan bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada

jam ke-0 ternyata ada perbedaan yang nyata (p<0,05). Penggunaan asap cair dapat

menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi & Joffraud 2000;

Rorvik 2000). Gomez-Guillen et al. (2003) menyatakan bahwa tingkat keasaman

asap cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat

pada keluarnya air dari daging ikan. Selama penyimpanan sampai jam ke-40,

kadar air bakso ikan mengalami penurunan, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05).

Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu refrigerasi menunjukkan

bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah

dibandingkan kontrol. Secara mikrobiologis, bakso ikan dengan asap cair 2,5%

sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi. Nilai pH bakso ikan mengalami

kenaikan pada akhir penyimpanan. Peningkatan nilai pH disebabkan oleh

berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa

volatil seperti amonia dan trimetilamin (Ruiz-Capillas et al. 2001). Selama

penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan mengalami penurunan dan

menunjukkan adanya beda nyata (p<0,05). Penurunan kadar air bakso ikan

disebabkan adanya penguapan air pada suhu rendah, sehingga selama pendinginan

kadar air bakso ikan akan berkurang (Hadiwiyoto 1993).

Berdasarkan hasil pengamatan penyimpanan bakso ikan, asap cair

konsentrasi 2,5% dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan pada suhu kamar

52

maupun suhu refrigerasi. Bila dilihat dari nilai MIC tertinggi, yaitu 0,4% terhadap

S. aureus, maka konsentrasi asap cair yang efektif untuk memperpanjang umur

simpan bakso ikan sekitar 5 kali nilai MIC. Hal ini disebabkan dalam bahan

pangan terutama bakso ikan merupakan media yang sangat baik untuk

pertumbuhan mikroorganisme yang sangat kompleks, maka diperlukan

konsentrasi yang lebih tinggi untuk memperpanjang umur simpan produk tersebut.

Secara umum, asap cair tempurung kelapa ini dapat digunakan sebagai

bahan pengawet alternatif yang aman untuk dikonsumsi. Penggunaan asap cair

tempurung kelapa dapat mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa PAH yang

bersifat karsinogenik pada proses pengasapan panas. Selain itu, kombinasi antara

asap cair tempurung kelapa dengan teknik pengawetan lain seperti pemanasan,

pengemasan, dan penyimpanan, dapat memperpanjang umur simpan serta

memberikan karakteristik sensori berupa aroma, warna, serta rasa yang khas pada

produk pangan.