4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa
Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil kondensasi asap tempurung
kelapa melalui proses pirolisis pada suhu sekitar 400 0C. Asap cair mengandung
berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan
ester (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Guillen et al. 2001). Berbagai
komponen kimia tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikroba
serta memberikan efek warna dan citarasa khas asap pada produk pangan
(Karseno et al. 2002). Namun, salah satu komponen kimia lain yang dapat
terbentuk pada pembuatan asap cair tempurung kelapa adalah Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH) dan turunannya. Beberapa diantara komponen tersebut
bersifat karsinogenik (Stolyhwo & Sikorski 2005). Benzo[a]pirene merupakan
salah satu senyawa PAH yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa
ditemukan pada produk pengasapan (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000;
Kazerouni et al. 2001; Stolyhwo & Sikorski 2005).
Saat ini, asap cair telah banyak digunakan oleh industri pangan sebagai
bahan pemberi aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk pangan, seperti
daging, ikan, dan keju (Soldera et al. 2008). Di Indonesia, asap cair sudah
digunakan oleh industri pembuatan bandeng asap di Sidoarjo (Hadiwiyoto et al.
2000), sedangkan pada skala laboratorium, asap cair tempurung kelapa telah
digunakan pada ikan cakalang (Haras 2004), belut (Febriani 2006), dan mie basah
(Gumanti 2006).
Berdasarkan informasi tentang manfaat dan penggunaan asap cair tersebut,
asap cair tempurung kelapa berpotensi menjadi bahan pengawet alternatif, di
samping dapat memberikan aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk
pangan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian tentang keamanan pangan asap cair
tempurung kelapa, sehingga dapat menjadi bahan pengawet alternatif yang aman.
Metode yang digunakan adalah identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa
dengan Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) dan uji toksisitas akut
asap cair tempurung kelapa untuk menentukan nilai LD50.
26
4.1.1. Identifikasi Komponen Asap Cair Tempurung Kelapa
Tempurung kelapa merupakan bahan organik yang mengandung
hemiselulosa, selulosa, dan lignin (Bintoro et al. 2000). Senyawa tersebut
berpotensi terhadap pembentukan senyawa-senyawa penyusun asap cair setelah
dilakukan pirolisis. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-260 0C.
Dekomposisi selulosa terjadi pada suhu 260-310 0C. Pada suhu rendah atau di
bawah 300 0C, selulosa terdekomposisi membentuk karbonil, karboksil,
hidroperoksida, CO, CO2 dan sisa arang. Dekomposisi di atas 300 0C akan
menghasilkan komponen volatil dan gula sederhana (Fine et al. 2002).
Dekomposisi lignin pada suhu di atas 300 0C menyebabkan reaksi polimerisasi
menghasilkan guaiakol, 2-metoksi fenol, metanol, aseton, dan asam asetat
(Simpson et al. 2005).
Salah satu komponen kimia yang bersifat karsinogenik dan dapat
terbentuk selama proses pirolisis tempurung kelapa adalah benzo[a]pirene. Oleh
karena itu, perlu dilakukan identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa
menggunakan GC-MS. Komponen diidentifikasi berdasarkan waktu retensi dan
mass spectra dibandingkan dengan pustaka. Komponen volatil asap cair
tempurung kelapa disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane
No. Waktu
retensi Nama komponen
Keton 1 3.184 2-Methyl-2-cyclopentenone 2 3.771 3-Methyl-2-cyclopentenone 3 4.525 2-Hydroxy-1-methylcyclopenten-3-one 4 4.728 2,3-Dimethylcyclopenten-1-one 5 5.358 4,5-Dimethyl-4-hexen-3-one 6 5.793 3-Ethyl-2-hydroxy-2-cyclopenten-1-one 7 5.984 Cyclohexanone 8 6.909 2-Ethylcycloheptanone Furan dan turunan pyran 9 3.213 2-Acetylfuran 10 3.702 5 Methyl Furfural
27
Tabel 5 (lanjutan)
No. Waktu retensi Komponen
Karbonil dan asam 11 7.532 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde 12 7.994 2,3-dihydroxy-benzoic acid 13 8.549 3-methoxybenzoic acid methyl ester 14 9.180 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester Fenol dan turunannya 15 3.917 Phenol 16 4.979 2-Methylphenol 17 5.260 3-Methylphenol 18 5.716 2,6-Dimethylphenol 19 6.260 2,4-Dimethylphenol 20 6.492 3-Ethylphenol Guaiakol dan turunannya 21 5.458 2-Methoxyphenol (guaiacol) 22 6.617 3-Methylguaiacol 23 6.699 p-Methylguaiacol 24 6.776 2-methoxy-4-methylphenol 25 7.717 4-Ethyl-2-methoxyphenol 26 8.442 Eugenol 27 8.684 Vanillin 28 9.415 Acetovanillone 29 9.682 Methyl vanillate Siringol dan turunannya 30 7.313 2,6-Dimethoxyphenol 31 8.285 3,4-Dimethoxyphenol 32 10.410 4-(2-Propenyl)-2,6-dimethoxyphenol 33 10.840 Syringyl aldehyde 34 11.570 Acetosyringone 35 11.876 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid Alkil aril eter 36 6.077 1,2-Dimethoxybenzene 37 7.197 2,3-Dimethoxytoluene 38 7.915 1,2,3-Trimethoxybenzene 39 9.112 1,2,4-Trimethoxybenzene 40 9.767 5-Methyl-1,2,3-trimethoxybenzene
Tabel 5 menunjukkan kelompok senyawa yang teridentifikasi dari asap
cair tempurung kelapa, terutama berasal dari degradasi termal karbohidrat kayu
seperti keton, karbonil, asam, furan dan turunan pyran. Selain itu, asap cair
tempurung kelapa juga mengandung kelompok senyawa yang berasal dari
degradasi termal lignin, seperti fenol dan turunannya, guaiakol dan turunannya,
siringol dan turunannya, serta alkil aril eter.
Kelompok keton yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa
terdiri dari senyawa-senyawa 2-Methyl-2-cyclopentenone, 2-Hydroxy-1-
28
methylcyclopenten-3-one, 2-Ethylcycloheptanone, 3-Methyl-2-cyclopentenone,
2,3-Dimethylcyclopenten-1-one, 4,5-Dimethyl-4-hexen-3-one, 3-Ethyl-2-hydroxy-
2-cyclopenten-1-one, dan Cyclohexanone. Kelompok furan dan turunan pyan
terdiri dari senyawa 2-Acetylfuran dan 5- Methyl Furfural. Kelompok karbonil
dan asam terdiri dari senyawa-senyawa 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde, 2,3-
dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-
benzoic acid methyl ester. Kelompok senyawa tersebut dihasilkan oleh degradasi
termal selulosa dan hemiselulosa dan juga terdapat pada asap cair komersial
(Guillen et al. 1995; Guillen & Ibargoitia 1998; Guillen et al. 2001), asap kayu
Vitis vinivera L. (Guillen & Ibargoitia 1996a,b) dan asap komersial yang
digunakan sebagai pemberi aroma (Guillen & Manzanos 1996a,b; Guillen &
Manzanos 1997).
Kelompok fenol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa Phenol, 2-
Methylphenol, 3-Methylphenol, 2,6-Dimethylphenol, 2,4-Dimethylphenol, dan 3-
Ethylphenol. Senyawa-senyawa dalam kelompok fenol ini juga terdeteksi pada
asap cair komersial (Guillen et al. 1995; Guillen & Ibargoitia 1998) dan asap cair
dari kayu Salvia lavandulifolia (Guillen & Manzanos 1999). Kelompok guaiakol
dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa 2-Methoxyphenol (guaiacol), 3-
Methylguaiacol, p-Methylguaiacol, p-Methylguaiacol, 2-methoxy-4-methylphenol,
4-Ethyl-2-methoxyphenol, Eugenol, Vanillin, Acetovanillone, dan Methyl
vanillate. Kelompok siringol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa 3,4-
Dimethoxyphenol, 2,6-Dimethoxyphenol, 4-(2-Propenyl)-2,6-dimethoxyphenol,
Syringyl aldehyde, Acetosyringone, dan 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic
acid. Terdapatnya 2,6-Dimethoxyphenol dan 3,4-Dimethoxyphenol
mengindikasikan penggunaan kayu keras sebagai bahan baku untuk membuat asap
cair. Kayu keras termasuk tempurung kelapa banyak digunakan untuk
memproduksi asap cair karena komposisi kayu keras yang terdiri dari lignin,
selulosa, dan metoksil memberikan sifat organoleptik yang baik (Soldera et al.
2008).
Berdasarkan sejumlah senyawa yang teridentifikasi dari asap cair
tempurung kelapa, fenolik menjadi senyawa yang dominan dari asap cair
tempurung kelapa. Guillen dan Ibargoitia (1998) menyatakan bahwa fenolik
29
bertanggung jawab terhadap flavor dari asap cair. Senyawa-senyawa fenolik
tertentu seperti guaiacol, 4-methyl guaiakol, dan 2,6-dimethoxyphenol dan
syringol menentukan flavor dari bahan pangan yang diasap dimana guaiacol akan
memberikan rasa asap dan syringol memberikan aroma asap (Espe et al. 2004;
Serot et al. 2004; Cardinal et al. 2006).
Selain itu, kelompok alkil aril eter juga terdapat dalam asap cair
tempurung kelapa yang terdiri dari senyawa-senyawa 1,2-Dimethoxybenzene, 2,3-
Dimethoxytoluene, 1,2,3-Trimethoxybenzene, 1,2,4-Trimethoxybenzene, dan 5-
Methyl-1,2,3-trimethoxy benzene. Kelompok alkil aril eter ini juga teridentifikasi
dalam asap cair komersial (Guillen & Manzanos 1997) dan asap cair kayu oak
(Quercus sp.) (Guillen & Manzanos 2002).
Komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba dari asap cair
tempurung kelapa adalah fenol dan turunannya serta senyawa asam (Munoz et al.
1998; Sunen et al. 2001; Sunen et al. 2003; Muratore & Licciardello 2005; Milly
et al. 2005; Gomez-Estaca et al. 2007; Kristinsson et al. 2007; Soldera et al.
2008). Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal
karena mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengkoagulasi SH group
dan NH group protein (Karseno et al. 2002). Davidson et al. (2005) menjelaskan
bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan turunannya meliputi reaksi
dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran
sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraselular sel, inaktivasi enzim-enzim
esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional materi genetik.
Asam-asam organik lemah seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-
methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester yang
terdapat dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba
terutama karena pembentukan ion H+ bebas. Senyawa asam dalam bentuk tidak
terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme.
Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur
membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri.
Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-
enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson et al. 2005).
30
Guillen et al. (1995) menjelaskan bahwa benzo[a]pirene merupakan salah
satu senyawa polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang diketahui bersifat
karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa senyawa-senyawa PAH termasuk benzo[a]pirene tidak
ditemukan pada asap cair tempurung kelapa. Asap cair yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan hasil kondensasi asap yang berasal dari pembuatan arang
tempurung kelapa pada suhu di bawah 400 0C. Faktor yang menyebabkan
terbentuknya senyawa PAH adalah suhu pengasapan dan benzo[a]pirene tidak
terbentuk jika suhu pirolisis dibawah 425 0C (Guillen et al. 2000; Stolyhwo &
Sikorski 2005).
4.1.2. Uji Toksisitas Akut Asap Cair Tempurung Kelapa
Uji toksisitas akut digunakan untuk menentukan dosis letal median (LD50)
suatu toksikan. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang
diharapkan akan membunuh 50% hewan percobaan. Nilai LD50 sangat berguna
untuk klasifikasi zat kimia sesuai toksisitas relatifnya. Selain itu, nilai LD50 dapat
digunakan untuk perencanaan penelitian toksisitas sub akut dan kronis pada
hewan. Namun, nilai LD50 belum dapat digunakan untuk menentukan dosis aman
suatu zat kimia tertentu yang dapat dikonsumsi setiap hari (Acceptable Daily
Intake/ADI). Penetapan ADI bagi manusia dilakukan berdasarkan NOEL (No
Observed Effect Level) dari penelitian toksisitas sub akut bersama dengan data
toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang (Lu 2006).
Meskipun demikian, uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50 merupakan
bagian penting dari data dasar toksisitas yang menyeluruh dan prosedurnya telah
diatur oleh Organization of Economic Cooperation and Development (OECD)
Guidelines for Testing of Chemicals (Barlow et al. 2002).
Penentuan LD50 dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam dan pengamatan dilakukan
selama kurang lebih 14 hari (Barlow et al. 2002). Sebelum diberi perlakuan,
mencit diaklimatisasi selama 7 hari. Hasil pengamatan perubahan berat badan
mencit pada masa aklimatisasi disajikan pada Gambar 3 dan data selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 1.
31
Gambar 3 Perubahan berat badan mencit selama masa aklimatisasi.
Gambar 3 menunjukkan bahwa selama masa aklimatisasi berat badan
mencit terus mengalami peningkatan. Berat rata-rata mencit pada hari pertama
adalah 23,91 gr dan setelah 7 hari naik menjadi 27,65 gr. Setelah masa
aklimatisasi, berat badan mencit dan kondisi kesehatannya telah memenuhi syarat
untuk dipergunakan pada uji toksisitas akut.
Setelah masa aklimatisasi, mencit dibagi menjadi 5 kelompok untuk 5 seri
dosis yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001, dosis yang digunakan
pada uji toksisitas akut adalah kontrol, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5.000 mg/kg
BB, dan 15.000 mg/kg BB. Perlakuan diberikan dengan cara mencekok mencit
dengan asap cair sesuai dosis sebanyak 1 ml, kemudian dilakukan pengamatan
terhadap pertambahan berat badan dan kematian mencit untuk tiap dosisnya. Hasil
pengamatan pertambahan berat badan rata-rata mencit disajikan pada Gambar 4
dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
23.00
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Hari pengamatan
Bera
t bad
an (g
r)
32
Gambar 4 Pertambahan berat badan rata-rata mencit selama pengamatan
Gambar 4 menunjukkan bahwa berat badan rata-rata mencit pada masing-
masing dosis mengalami peningkatan selama pengamatan. Hasil pengamatan
tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tidak menyebabkan penurunan
berat badan mencit, terbukti pada dosis yang paling besar yaitu 15.000 mg/kg BB,
berat badan mencit terus mengalami peningkatan. Jumlah dan persentase kematian
mencit selama pengamatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah dan persentase kematian mencit dengan dosis asap cair kontrol, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5.000 mg/kg BB, dan 15.000 mg/kg BB
Dosis Jumlah kematian Kematian (%) Kontrol 0 0 50 mg/kg BB 0 0 500 mg/kg BB 0 0 5000 mg/kg BB 0 0 15000 mg/kg BB 0 0
Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian asap cair dengan dosis maksimal
15.000 mg/kg BB tidak menimbulkan kematian pada mencit. Berdasarkan
persentase kematian tersebut, maka dapat diartikan bahwa nilai LD50 akut asap
cair tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Pemerintah RI No. 74 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa
suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg
BB hewan uji, maka dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik, sehingga asap
cair tempurung kelapa aman digunakan untuk pangan.
33
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa
toksisitas akut dari asap cair tempurung kelapa rendah. Bila toksisitas akut suatu
senyawa rendah, artinya pada dosis yang cukup besar saja menyebabkan hanya
sedikit kematian, atau bahkan tidak menyebabkan kematian, maka dianggap
bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat diabaikan dan LD50 tidak perlu
ditentukan ( Lu 2006).
4.2. Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa
Pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa menggunakan
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa sebagai bakteri uji. Kedua
jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut
berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. S. aureus merupakan
bakteri Gram positif berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm dan tumbuhnya
secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang
menyebabkan keracunan dan sering ditemukan pada jenis makanan yang
mengandung protein tinggi seperti ikan, telur, daging dan sebagainya.
Enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus bersifat tahan panas dan masih aktif
setelah dipanaskan pada suhu 100 0C selama 30 menit (Fardiaz 1993). S. aureus
banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan
pangan (Sunen 1998). Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37 0C dan
dapat tumbuh pada pH 4,0-9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0-7,8. P. aeruginosa
merupakan salah satu bakteri yang sering menimbulkan kebusukan pada makanan
seperti susu, daging, dan ikan. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif,
bersifat aerob dan dapat tumbuh pada media sederhana, bentuk sel bervariasi dari
batang, koma, dan kadang-kadang bulat (Doyle et al. 2001). P. aeruginosa mudah
tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada beragam produk pangan karena
kemampuannya untuk menggunakan berbagai sumber karbon bukan karbohidrat
dan komponen nitrogen sederhana sebagai sumber energi, mampu mensintesis
sendiri vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya, dan tumbuh baik pada
suhu dingin, serta menghasilkan senyawa-senyawa penyebab bau busuk pada
pangan (Frazier & Westhoff 1988).
Penentuan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair
tempurung kelapa terhadap S. aureus dan P. aeruginosa dilakukan dengan metode
34
kontak pada medium cair. Nilai MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah
asap cair tempurung kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
sebanyak > 90% selama inkubasi 24 jam (Cosentino et al. 1999 di dalam Sara
2004). Nilai MIC asap cair tempurung kelapa memberikan gambaran adanya
respon ketahanan yang berbeda dari kedua jenis bakteri uji. Hasil pengujian nilai
MIC disajikan pada Gambar 5 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran
4,5,6, 7 dan 8.
Gambar 5 Nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap bakteri uji
Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai MIC asap cair tempurung kelapa
terhadap S. aureus sebesar 0,40% dengan penghambatan 91,11%, sedangkan nilai
MIC asap cair tempurung kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22% dengan
penghambatan 91,59%. S. aureus lebih resisten daripada P. aeruginosa terhadap
asap cair tempurung kelapa. S. aureus merupakan bakteri Gram positif dengan
dinding sel disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanil-D-
isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan interpeptida yang terdiri dari lima
unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan
oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan
struktur yang kuat, sehingga struktur ini sangat tahan terhadap kerusakan (Thorpe
1995). P. aeruginosa lebih sensitif diduga karena bakteri ini mempunyai protein
porin PAO1 dengan diameter 2 nm, lebih besar dibanding protein porin OmpF
35
dan OmpC pada E. coli K-12 dengan diameter 1.2 nm. Asap cair tempurung
kelapa dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui
protein porin tersebut (Helander et al. 1998).
4.3. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa pada Bakso Ikan
Tahap pertama untuk aplikasi asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan
adalah menentukan cara pemberian asap cair berdasarkan kriteria daya awet bakso
ikan yang disimpan pada suhu kamar. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi asap
cair yang digunakan berdasarkan penerimaan konsumen.
4.3.1. Penentuan Cara Pemberian Asap Cair Tempurung Kelapa
Pemberian asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan dilakukan dengan
tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran
asap cair ke dalam adonan bakso, dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus
bakso. Tiga cara tersebut dipilih berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya
tentang penggunaan asap cair pada beberapa produk pangan. Perendaman produk
dalam asap cair telah dilakukan pada daging (Martinez et al. 2004) maupun pada
fillet salmon (Martinez et al. 2007), masing-masing selama 30 menit.
Pencampuran asap cair pada produk pangan telah dilakukan pada pembuatan
tepung asap (Darmadji 2002) serta pada pembuatan mayonaise untuk memberikan
aroma asap (Kostyra & Pikielna 2007), sedangkan pencampuran asap cair ke
dalam air perebus telah digunakan dalam pengolahan fillet ikan (Siskos et al.
2007).
Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap ini adalah kontrol, 1,0%,
1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu
timbulnya lendir pada bakso ikan. Kok dan Park (2007) menyatakan bahwa salah
satu tanda kerusakan bakso adalah terbentuknya lendir yang menandakan adanya
pertumbuhan bakteri. Bakso ikan yang telah diberi perlakuan dikemas dalam
plastik HDPE steril dan disimpan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan setiap
selang waktu 8 jam sampai bakso telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan.
Hasil pengamatan parameter fisik untuk cara pemberian asap cair disajikan pada
Tabel 7.
36
Tabel 7 Hasil pengamatan visual bakso ikan selama penyimpanan pada suhu kamar
Cara pemberian asap cair
Terbentuk lendir (jam ke-) Kontrol Ac 1,0% Ac 1,5% Ac 2,0% Ac 2,5%
Perendaman bakso dalam asap cair 16 24 24 24 24
Pencampuran asap cair dalam adonan bakso 16 24 24 24 24
Pencampuran asap cair dalam air perebus 16 24 24 24 32
Tabel 7 menunjukkan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus
lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara perendaman dan
pencampuran asap cair dalam adonan bakso memberikan hasil yang sama. Lendir
mulai terlihat pada jam ke-24 untuk konsentrasi asap cair 1,0% sampai 2,5%,
sedangkan bakso ikan tanpa penambahan asap cair telah terbentuk lendir pada jam
ke-16. Cara perendaman bakso ikan ke dalam asap cair kurang efektif karena pada
jam ke-24 bagian luar bakso masih bagus, tetapi bagian dalam sudah berlendir.
Pencampuran asap cair dalam adonan bakso juga kurang efektif karena pada jam
ke-24 bagian luar bakso sudah berlendir, tidak beda nyata dengan kontrol. Cara
pencampuran asap cair dalam air perebus lebih efektif, pada konsentrasi asap cair
2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-32. Siskos et al. (2007)
menyatakan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus akan melapisi
bagian luar filet dan meresap masuk ke bagian dalam filet. Berdasarkan hasil
pengamatan tersebut, cara pencampuran asap cair dalam air perebus digunakan
pada tahap penyimpanan bakso ikan.
4.3.2. Penentuan Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa
Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan
ditentukan berdasarkan penerimaan konsumen. Penerimaan konsumen terhadap
bakso ikan dengan penambahan asap cair ditentukan dengan uji kesukaan
menggunakan panelis tak terlatih sebanyak 30 orang. Panelis diminta
mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan
terhadap suatu produk. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala 9, dengan tingkat kesukaan 9 (amat sangat suka), 8 (sangat suka), 7 (suka),
37
6 (agak suka), 5 (netral), 4 (agak tidak suka), 3 (tidak suka), 2 (sangat tidak suka)
dan 1 (amat sangat tidak suka) (Rahayu 2001). Konsentrasi asap cair yang
digunakan yaitu 1,0%, 1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Penerimaan panelis terhadap bakso
ikan disajikan pada Tabel 8 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 9,
10, 11, dan 12.
Tabel 8 Nilai rata-rata mutu bakso ikan berdasarkan penerimaan panelis Konsentrasi asap cair Nilai organoleptik (rata-rata ± s.d.)
Aroma Warna Rasa Keseluruhan 1,0% 7,83 ± 0,38a 8,00 ± 0,45a 8,17 ± 0,65a 8,03 ± 0,49a 1,5% 7,60 ± 0,50a 7,37 ± 0,49b 7,23 ± 0,43b 7,17 ± 0,38b 2,0% 7,73 ± 0,45a 7,53 ± 0,51b 7,33 ± 0,48b 7,33 ± 0,48b 2,5% 7,77 ± 0,43a 7,60 ± 0,50b 7,43 ± 0,50b 7,37 ± 0,49b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tempurung kelapa tidak
berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap aroma bakso ikan, tetapi
berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap warna, rasa, dan kesukaan
keseluruhan bakso ikan yang dihasilkan. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap
aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap
cair 1,0% masing-masing sebesar 7,83; 8,00; 8,17; dan 8,03 dengan penilaian
sangat suka. Panelis cenderung lebih menyukai bakso dengan konsentrasi asap
cair 1,0% daripada bakso dengan konsentrasi asap cair 1,5%, 2,0%, dan 2,5%.
Bakso dengan konsentrasi asap cair 1,0% mempunyai penilaian yang paling tinggi
yaitu 7,83-8,17. Sular dan Okur (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
penilaian maka produk akan semakin disukai.
Asap cair sampai konsentrasi 2,5% masih dapat diterima oleh panelis,
meskipun secara keseluruhan berbeda nyata dengan konsentrasi 1%. Nilai rata-
rata kesukaan panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan
bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% berkisar antara 7,37-7,77. Nilai
tersebut masih tergolong tinggi dengan penilaian 7 (suka) dan 8 (sangat suka).
Persentase penerimaan panelis berdasarkan 2 standar nilai tersebut disajikan pada
Gambar 6.
38
Gambar 6 Persentase penilaian panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5%.
Gambar 6 menunjukkan bahwa panelis lebih banyak memberikan nilai 8
(sangat suka) terhadap aroma bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5%
sebesar 76,67%. Bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% memberikan
aroma khas asap yang sangat disukai penelis. Soldera et al. (2008) menyatakan
bahwa senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah kelompok fenolik
dengan titik didih sedang seperti siringol, isoeugenol, dan metil eugenol.
Kelompok fenolik dengan titik didih rendah seperti guaiakol, metil guaiakol, dan
etil guaiakol memiliki aroma yang tidak begitu keras. Siringol dan guaiakol
memberikan aroma pungent (pedas dan agak menyengat di hidung), aroma
terbakar, dan aroma asap (Varlet et al. 2006).
Bakso pada konsentrasi 1,0% mempunyai warna kuning kecoklatan.
Konsentrasi 1,5%; 2,0%; 2,5% mempunyai warna coklat yang semakin pekat
dengan meningkatnya konsentrasi asap. Gambar 6 menunjukkan bahwa panelis
lebih banyak memberikan nilai 8 (sangat suka) terhadap warna bakso ikan dengan
asap cair 2,5% sebesar 60%. Warna coklat terjadi karena hasil reaksi Maillard
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan gula reduksi, waktu,
serta temperatur pemanasan ( Krokida et al. 2001). Reaksi Maillard merupakan
reaksi non enzimatis antara grup amino bebas dan karbonil yang terjadi dengan
cepat di atas suhu 100 0C (Abu-Ali & Barringer 2007). Warna pada produk
23.33
40.00
56.6763.33
76.67
60.00
43.3336.67
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
Aroma Warna Rasa Kesukaankeseluruhan
Parameter mutu
Pers
enta
se p
enila
ian
pane
lis
Nilai 7 (suka)
Nilai 8 (sangat suka)
39
pengasapan terutama bakso terbentuk karena interaksi antara senyawa karbonil
dan gugus amino dalam daging ikan (Darmadji 2002).
Parameter rasa dan kesukaan keseluruhan bakso ikan yang direbus dengan
asap cair 2,5%, lebih banyak diberi nilai 7 (suka) oleh panelis, masing-masing
sebesar 43,33% dan 36,67%. Senyawa karbonil, lakton, dan furan memegang
peranan penting dalam pembentukan citarasa asap dan disebut konstituen minor.
Senyawa tersebut memberikan citarasa manis-pedas dan rasa asap (Varlet et al.
2006). Rasa manis-pedas dari asap dan gurih dari ikan, aroma asap yang khas,
serta warna bakso yang kecoklatan, memberikan kesan yang khas pada bakso
ikan.
Berdasarkan hasil uji kesukaan tersebut, bakso dengan konsentrasi asap
cair 2,5% digunakan pada tahap penyimpanan. Konsentrasi tersebut masih disukai
oleh panelis berdasarkan parameter aroma, warna, rasa, dan kesukaan
keseluruhan. Pertimbangan lain, hasil pengamatan cara pemberian asap cair
dengan dicampur dalam air perebus menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair
2,5% dapat meningkatkan daya awet bakso ikan. Melalui pengamatan visual,
bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk lendir pada jam ke-32,
dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%; dan 2,0% yang terbentuk
lendir pada jam ke-24.
4.3.3. Total Fenol Asap Cair Tempurung Kelapa, Air Perebus Bakso, dan Bakso Ikan
Analisis total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang
terdapat pada bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% dalam air perebus.
Kurva standar fenol disajikan pada Lampiran 13 dan hasil pengujian total fenol
disajikan pada lampiran 14. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kandungan
fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 6,877%. Hasil penelitian
Tranggono (1996) terhadap asap cair kayu jati, lamtorogung, tempurung kelapa,
mahoni, kamper, bangkirai, kruing, dan glugu (pohon kelapa) menunjukkan
bahwa variasi kandungan fenolnya berkisar antara 2,0-5,13% atau sama dengan
21.000–51.300 ppm. Konsentrasi komponen fenolik pada asap cair dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti jenis kayu yang digunakan untuk proses pengasapan,
temperatur, dan kelembaban (Soldera et al. 2008).
40
Konsentrasi asap cair yang digunakan untuk pembuatan bakso ikan adalah
2,5% dalam air perebus. Air perebus yang digunakan sebanyak 1500 ml dan
digunakan untuk merebus 50 butir bakso ikan. Diameter bakso ikan berkisar
antara 2,2 – 2,4 cm, dengan rata-rata luas permukaan bakso ikan sebesar 34,13
cm2, perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil pengujian total fenol
menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam air perebus bakso sebesar 0,173%.
Sedangkan total fenol pada bakso ikan sebesar 0,051%. Hal ini menunjukkan
bahwa dari konsentrasi asap cair 2,5% dalam air perebus dengan total fenol
sebesar 0,173%, maka fenol yang menempel atau terserap pada bakso ikan dengan
rata-rata luas permukaan 34,13 cm2 hanya 1/3 nya.
4.3.4. Penyimpanan Bakso Ikan pada Suhu Kamar
Konsentrasi asap cair yang digunakan adalah kontrol dan 2,5%
berdasarkan hasil pengujian sebelumnya. Adonan bakso ikan direbus dengan air
sebanyak 1,5 liter selama 15 menit. Setelah itu, bakso ikan ditiriskan dan
didinginkan selama kurang lebih 15 menit, dikemas dalam plastik HDPE steril
dan disimpan pada suhu kamar (27–28 0C). Pengamatan dilakukan pada jam ke-0,
8, 16, 24, 32, dan 40. Parameter pengamatan meliputi jumlah total bakteri (TPC),
nilai pH, dan kadar air bakso ikan.
4.3.4.1. Jumlah Total Bakteri (TPC)
Kandungan bakteri dalam suatu produk merupakan salah satu parameter
mikrobiologis dalam menentukan layak tidaknya produk tersebut dikonsumsi
(Kristinsson et al. 2007). Kontaminasi mikroba pada produk perikanan dapat
terjadi saat panen, penanganan, distribusi maupun penyimpanan, dan proses
pengolahan (Wekell et al. 1994). Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan
untuk mengetahui jumlah total bakteri dalam suatu produk dan mengetahui tingkat
pertumbuhannya selama penyimpanan. Hasil pengamatan nilai TPC bakso ikan
pada penyimpanan suhu kamar disajikan pada Gambar 7 dan perhitungannya
dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, dan 18.
41
Gambar 7 Jumlah bakteri total (log CFU/g) pada bakso ikan selama
penyimpanan suhu kamar.
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai TPC bakso ikan kontrol selama
penyimpanan berkisar antara 1,30–8,48 log CFU/g. Nilai TPC bakso ikan
dengan asap cair 2.5% berkisar antara 1,00–6,53 log CFU/g. Berdasarkan nilai
TPC dapat dikatakan bahwa jumlah mikroorganisme cenderung semakin
meningkat dengan lamanya penyimpanan. Nilai TPC bakso ikan kontrol pada jam
ke-16 sebesar 6,35 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995
untuk produk bakso ikan yaitu 1,0x105 CFU/g atau sama dengan 5,00 log CFU/g,
maka produk bakso ikan kontrol pada jam ke-16 secara mikrobiologis sudah
ditolak. Sesuai dengan pengamatan fisik pada bakso ikan kontrol pada penentuan
cara pemberian asap cair, lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-16.
Terbentuknya lendir mengindikasikan bahwa produk tersebut sudah mengalami
kemunduran mutu akibat aktivitas bakteri dan tidak layak untuk dikonsumsi (Kok
& Park 2007; Siskos et al. 2007).
Nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada jam ke-16 dan ke-24
masih dapat diterima dengan nilai masing-masing 4,34 dan 4,61 log CFU/g. Jam
ke-32 nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% sudah melewati batas aturan
SNI, walaupun masih pada pangkat yang sama, yaitu 5,60 log CFU/g atau sekitar
4,0x105 CFU/g. Hal ini sesuai dengan pengamatan fisik pada bakso ikan yang
direbus dengan asap cair 2,5%, lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke 32.
42
Pengamatan secara keseluruhan terhadap jumlah bakteri yang tumbuh
pada bakso ikan selama 40 jam penyimpanan menunjukkan bahwa bakso ikan
yang direbus dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah
dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa asap cair dapat
memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol pada
suhu kamar (27–28 0C).
4.3.4.2. Nilai pH
Hasil pengamatan pH bakso ikan pada penyimpanan suhu kamar disajikan
pada Gambar 8 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19. Secara
umum nilai pH bakso ikan mengalami penurunan, kemudian naik pada hari
terakhir pengamatan. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai pH bakso ikan dengan
asap cair 2,5% lebih rendah daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir
penyimpanan. Hal ini disebabkan tingkat keasaman dari asap cair tempurung
kelapa dan adanya senyawa-senyawa asam seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-
methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester
berdasarkan analisis GC-MS.
Gambar 8 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar
Nilai pH bakso ikan kontrol pada awal penyimpanan sebesar 6,21,
kemudian turun sampai jam ke-24 menjadi 6,15 dan naik menjadi 6,23 pada akhir
penyimpanan. Menurut Stohr et al. (2001), penurunan nilai pH disebabkan oleh
43
metabolisme bakteri asam laktat. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada
awal penyimpanan sebesar 5,83 dan cenderung mengalami kenaikan menjadi 5,86
pada akhir penyimpanan. Menurut Goulas dan Kontominas (2005), kenaikan pH
disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk yang dapat memproduksi enzim
proteolitik. Enzim ini dapat memecah protein menjadi amonia, trimetilamin dan
komponen volatil lainnya sehingga nilai pH akan naik.
4.3.4.3. Kadar Air
Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung bahan
tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan (Martinez et al.
2007). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asap
cair terhadap perubahan kadar air bakso ikan . Hasil pengukuran kadar air bakso
ikan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 9, dan perhitungannya dapat
dilihat pada Lampiran 20 dan 21.
Gambar 9 Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).
Gambar 9 menunjukkan bahwa pada jam ke-0 kadar air bakso ikan kontrol
lebih besar (p<0,05) daripada bakso ikan dengan asap cair 2,5%. Kadar air bakso
ikan kontrol sebesar 74,56%, sedangkan kadar air bakso ikan dengan asap cair
2,5% sebesar 74,27%. Kadar air bakso ikan kontrol dan bakso ikan dengan asap
cair 2,5% pada jam ke-0 ternyata ada perbedaan yang nyata (p<0,05). Penggunaan
74.20 a
74.56 b
74.15 a
74.27 a
72.0072.30
72.6072.90
73.2073.5073.80
74.1074.40
74.7075.00
0 40
Waktu pengamatan (jam)
Kad
ar a
ir (w
b,%
)
Kontrol Asap cair 2.5%
44
asap cair dapat menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi &
Joffraud 2000; Rorvik 2000). Gomez-Guillen et al. (2003) menyatakan bahwa
tingkat keasaman asap cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging,
sehingga berakibat pada keluarnya air dari daging ikan.
Selama penyimpanan sampai jam ke-40, kadar air bakso ikan kontrol
mengalami penurunan dari 74,56% menjadi 74,20% dan bakso ikan dengan asap
cair 2,5% mengalami penurunan dari 74,27% menjadi 74,15. Kadar air bakso ikan
selama penyimpanan ternyata tidak berbeda nyata (p>0,05).
4.3.5. Penyimpanan Bakso Ikan Pada Suhu Refrigerasi Pada tahap ini konsentrasi asap cair yang digunakan sama dengan
penyimpanan pada suhu kamar, yaitu kontrol dan 2,5%. Adonan bakso ikan
direbus dengan air sebanyak 1,5 liter selama 15 menit. Setelah itu, bakso ikan
ditiriskan dan didinginkan selama kurang lebih 15 menit, dikemas dalam plastik
HDPE steril dan disimpan pada suhu refrigerasi (4±1 0C). Pengamatan dilakukan
pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, dan 20. Parameter pengamatan meliputi uji jumlah
total bakteri (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan.
4.3.5.1. Jumlah Total Bakteri (TPC)
Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan untuk mengetahui jumlah total
bakteri pada bakso ikan dan mengetahui tingkat pertumbuhannya selama
penyimpanan pada suhu refrigerasi. Hasil pengamatan nilai TPC bakso ikan
selama 20 hari penyimpanan disajikan pada Gambar 10 dan perhitungannya dapat
dilihat pada Lampiran 22, 23, dan 24. Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah
mikroorganisme pada bakso ikan kontrol cenderung meningkat dengan lamanya
penyimpanan, sedangkan jumlah mikroorganisme pada bakso ikan dengan asap
cair 2,5% meningkat pada hari ke-4, kemudian cenderung konstan pada hari ke-8,
dan terus mengalami penurunan sampai hari ke-20.
45
Gambar 10 Jumlah bakteri total (log CFU/g) pada bakso ikan selama
penyimpanan suhu refrigerasi.
Nilai TPC bakso ikan kontrol selama penyimpanan berkisar antara 1,30–
0,00 log CFU/g, sedangkan nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% berkisar
antara 1,00–3,01 log CFU/g. Nilai TPC bakso ikan kontrol pada hari ke-12
sebesar 6,17 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995 untuk
produk bakso ikan yaitu 1,0x105 CFU/g atau sama dengan 5,00 log CFU/g, maka
produk bakso ikan tanpa penambahan asap cair pada hari ke-12 secara
mikrobiologis sudah ditolak. Nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5%
mencapai nilai tertinggi pada penyimpanan hari ke-4 sebesar 3,01 log CFU/g.
Nilai TPC tersebut masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh SNI. Selama
penyimpanan sampai hari ke-20 nilai TPC bakso ikan yang direbus dengan asap
cair 2,5% mengalami penurunan dengan nilai sebesar 1,80 log CFU/g. Secara
mikrobiologis, bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20
masih layak untuk dikonsumsi. Sunen et al. (2001) menyatakan bahwa
penggunaan asap cair yang dikombinasikan dengan suhu rendah dapat bersifat
sebagai bakteristatik atau bakterisidal tergantung dari konsentrasi asap cair, suhu
yang digunakan, dan lama penyimpanan.
46
4.3.5.2. Nilai pH
Hasil pengamatan pH bakso ikan pada penyimpanan suhu refrigerasi
disajikan pada Gambar 11 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25.
Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami kenaikan selama penyimpanan suhu
refrigerasi.
Gambar 11 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi
Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai pH bakso ikan kontrol pada awal
penyimpanan sebesar 6,26, sedangkan bakso ikan dengan asap cair 2,5% sebesar
5,75. Nilai pH kedua bakso ikan tersebut naik sampai akhir penyimpanan menjadi
6,33 pada bakso ikan kontrol dan 5,80 pada bakso ikan dengan asap cair 2,5%.
Peningkatan nilai pH bakso ikan disebabkan berkembangnya bakteri psikrofil
yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil seperti amonia dan
trimetilamin (Ruiz-Capillas et al. 2001)
4.3.5.3. Kadar Air Hasil pengukuran kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu
refrigerasi disajikan pada Gambar 12, dan perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 26 dan 27. Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar air bakso ikan kontrol
pada hari ke-0 sebesar 74,56% dan kadar air bakso ikan dengan asap cair 2,5%
sebesar 74,27%. Selama penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan
kontrol mengalami penurunan menjadi 73,78%, sedangkan bakso ikan dengan
asap cair 2,5% turun menjadi 73,72% dan menunjukkan adanya beda nyata
47
(p<0.05). Penurunan kadar air bakso ikan disebabkan penguapan air pada suhu
rendah, sehingga selama pendinginan kadar air bakso ikan akan berkurang
(Hadiwiyoto 1993).
Gambar 12 Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).
4.4. Pembahasan Umum Penelitian ini mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai
bahan pengawet alternatif yang aman. Tahap pertama adalah mengkaji keamanan
asap cair tempurung kelapa dengan mengidentifikasi komponen asap cair
tempurung kelapa dan melakukan uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50
asap cair tempurung kelapa. Tahap kedua adalah menguji aktivitas antibakteri
asap cair tempurung kelapa dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory
Concentration). Sedangkan tahap ketiga adalah mengkaji penggunaan asap cair
tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan.
Hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan bahwa kelompok senyawa
yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa, terutama berasal dari
degradasi termal karbohidrat kayu seperti keton, karbonil, asam, furan dan turunan
pyran. Asap cair tempurung kelapa juga mengandung kelompok senyawa yang
berasal dari degradasi termal lignin, seperti fenol dan turunannya, guaiakol dan
turunannya, siringol dan turunannya, serta alkil aril eter. Selain itu, tidak
73.78 a
74.56 c
73.72 a
74.27 b
72.00
72.30
72.60
72.90
73.20
73.50
73.80
74.10
74.40
74.70
75.00
0 20
Waktu pengamatan (hari)
Kad
ar a
ir (w
b,%
)
Kontrol Asap cair 2.5%
48
ditemukan adanya senyawa-senyawa PAH termasuk benzo[a]pirene dalam asap
cair tempurung kelapa.
Hasil uji toksisitas akut menunjukkan bahwa nilai LD50 asap cair
tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001, suatu zat/senyawa/bahan kimia
dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB hewan uji, maka
dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman digunakan untuk pangan.
Selain keamanan pangan asap cair tempurung kelapa, parameter mikrobiologi
juga sangat diperlukan untuk menentukan daya awet bakso ikan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa untuk
mengetahui dosis yang efektif untuk diaplikasikan ke bakso ikan. Pengujian
aktivitas antibakteri dilakukan dengan menentukan nilai MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) asap cair tempurung kelapa dengan metode kontak pada
medium cair. Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus dan P. aeruginosa.
Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut
berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa S. aureus lebih resisten terhadap asap cair tempurung kelapa
dengan nilai MIC sebesar 0,40%, sedangkan nilai MIC asap cair tempurung
kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22%.
Secara umum mekanisme aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa
adalah dengan masuk melewati dinding sel dan merusak bagian membran
sitoplasma. Kerusakan pada membran sitoplasma mengakibatkan permeabilitas
membran terganggu, sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu
pembentukan asam nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap asap cair tempurung
kelapa dapat terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma,
sedangkan bakteri yang resisten kerusakan terjadi pada dinding sel. P. Aeruginosa
lebih sensitif terhadap asap cair tempurung kelapa. Bakteri tersebut merupakan
bakteri Gram negatif dengan membran luar sel berupa lipopolisakarida. Diduga
asap cair tempurung kelapa dapat menyebabkan kerusakan dinding sel,
selanjutnya berdifusi melalui membran sitoplasma dan mempengaruhi materi
genetik. Menurut Helander et al. (1998), senyawa antimikroba dapat bereaksi
dengan komponen fosfolipid dari membran sel, sehingga mengakibatkan lisis sel.
49
Tahap selanjutnya adalah aplikasi asap cair tempurung kelapa pada bakso
ikan. Diharapkan asap cair tempurung kelapa ini dapat memperpanjang umur
simpan bakso ikan pada suhu kamar dan suhu refrigerasi serta disukai oleh
konsumen. Sebelum ke tahap penyimpanan, terlebih dahulu ditentukan cara
pemberian asap cair berdasarkan kriteria daya awet bakso yang disimpan pada
suhu kamar. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi asap cair yang digunakan
berdasarkan penerimaan konsumen. Pemberian asap cair tempurung kelapa pada
bakso ikan dilakukan dengan tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair
selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso, dan
pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Dosis asap cair tempurung
kelapa yang diujikan pada tahap ini adalah kontrol; 1,0%; 1,5%; 2,0%; dan 2,5%.
Parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu timbulnya lendir pada
bakso ikan. Hasil pengamatan visual bakso ikan untuk tiga cara pemberian asap
cair menunjukkan bahwa pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam air
perebus lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara
perendaman dan pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam adonan bakso
memberikan hasil yang sama. Cara pencampuran asap cair dalam air perebus lebih
efektif, pada konsentrasi asap cair 2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada
jam ke-32. Siskos et al. (2007) menyatakan bahwa pencampuran asap cair dalam
air perebus akan melapisi bagian luar filet dan meresap masuk ke bagian dalam
filet.
Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan
ditentukan berdasarkan penerimaan konsumen. Asap cair sampai konsentrasi
2,5% masih dapat diterima oleh panelis, meskipun secara keseluruhan berbeda
nyata dengan konsentrasi 1%. Konsentrasi asap cair 2,5% digunakan pada tahap
penyimpanan bakso ikan, karena konsentrasi tersebut masih dapat diterima oleh
panelis dengan nilai antara 7 (suka) dan 8 (sangat suka). Selain itu, melalui
pengamatan visual, bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk
lendir pada jam ke-32, dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%;
dan 2,0% yang terbentuk lendir pada jam ke-24.
Hasil analisis total fenol menunjukkan bahwa bakso ikan dengan asap cair
2,5% mengandung fenol sebesar 0,051% atau 510 ppm. Konsentrasi tersebut
50
dapat diartikan bahwa setiap 1 kg bakso ikan mengandung fenol sekitar 510 mg.
Berdasarkan hasil LD50 asap cair tempurung kelapa yaitu > 15.000 mg/kg BB
mencit, kita dapat mengetahui tingkat keamanan bakso ikan dengan asap cair
2,5%. Nilai LD50 tersebut bila digunakan untuk manusia, WHO menganjurkan
faktor pengaman sebesar 100 dan telah diterima secara luas (Lu 2006). Faktor
pengaman ini diperlukan mengingat adanya perbedaan kepekaan antara hewan
dan manusia, dan juga mengingat fakta bahwa jumlah hewan yang diuji sangat
kecil dibandingkan dengan besarnya jumlah manusia yang mungkin terpajan.
Berdasarkan faktor pengaman tersebut, batas aman dari asap cair tempurung
kelapa adalah 150 mg/kg BB manusia. Misalnya bila berat badan seseorang 50 kg,
maka batas aman yang dapat dikonsumsi adalah 7500 mg. Berat rata-rata satu
butir bakso dengan diameter 2,2-2,4 cm sebesar 5 gr, misalnya satu kali makan
dapat menghabiskan 10 butir bakso, maka kandungan total fenol dalam bakso
tersebut sebesar 25,5 mg. Jumlah tersebut masih jauh di bawah batas aman yang
dapat dikonsumsi, yaitu 7500 mg. Namun perlu diingat, bahwa batas aman
tersebut bukan untuk dikonsumsi setiap hari dan dalam jangka waktu yang lama.
Penetapan ADI (Acceptable Daily Intake) bagi manusia dilakukan berdasarkan
NOEL (No Observed Effect Level) dari penelitian toksisitas sub akut bersama
dengan data toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang.
Tetapi, bila toksisitas akutnya rendah, dalam arti dosis yang paling besar saja
tidak menyebabkan kematian, dapat dianggap bahwa semua toksisitas akut yang
berbahaya dapat disingkirkan dan LD50 tidak perlu ditentukan. Pandangan ini
diterima oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (Lu 2006).
Berdasarkan hasil penelitian, tidak terjadi kematian pada hewan uji pada dosis
yang paling besar yaitu 15.000 mg/kg BB, maka asap cair tempurung kelapa aman
digunakan untuk pangan.
Tahap penyimpanan bakso ikan menggunakan konsentrasi asap cair
tempurung kelapa kontrol dan 2,5%. Selanjutnya bakso ikan disimpan pada suhu
kamar (27–28 0C) dan suhu refrigerasi (4±1 0C). Penyimpanan bakso ikan pada
suhu kamar dilakukan pengamatan pada jam ke-0, 8, 16, 24, 32, dan 40.
Sedangkan penyimpanan bakso ikan pada suhu refrigerasi dilakukan pengamatan
51
pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, dan 20. Parameter pengamatan meliputi uji jumlah
bakteri total (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan.
Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu kamar menunjukkan bahwa
bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah
dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa asap cair dapat
memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol.
Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami penurunan, kemudian naik pada hari
terakhir pengamatan. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% lebih rendah
daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir penyimpanan. Hal ini
disebabkan tingkat keasaman dari asap cair tempurung kelapa dan adanya
senyawa-senyawa asam seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic
acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester berdasarkan analisis
GC-MS. Kadar air bakso ikan kontrol dan bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada
jam ke-0 ternyata ada perbedaan yang nyata (p<0,05). Penggunaan asap cair dapat
menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi & Joffraud 2000;
Rorvik 2000). Gomez-Guillen et al. (2003) menyatakan bahwa tingkat keasaman
asap cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat
pada keluarnya air dari daging ikan. Selama penyimpanan sampai jam ke-40,
kadar air bakso ikan mengalami penurunan, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05).
Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu refrigerasi menunjukkan
bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah
dibandingkan kontrol. Secara mikrobiologis, bakso ikan dengan asap cair 2,5%
sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi. Nilai pH bakso ikan mengalami
kenaikan pada akhir penyimpanan. Peningkatan nilai pH disebabkan oleh
berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa
volatil seperti amonia dan trimetilamin (Ruiz-Capillas et al. 2001). Selama
penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan mengalami penurunan dan
menunjukkan adanya beda nyata (p<0,05). Penurunan kadar air bakso ikan
disebabkan adanya penguapan air pada suhu rendah, sehingga selama pendinginan
kadar air bakso ikan akan berkurang (Hadiwiyoto 1993).
Berdasarkan hasil pengamatan penyimpanan bakso ikan, asap cair
konsentrasi 2,5% dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan pada suhu kamar
52
maupun suhu refrigerasi. Bila dilihat dari nilai MIC tertinggi, yaitu 0,4% terhadap
S. aureus, maka konsentrasi asap cair yang efektif untuk memperpanjang umur
simpan bakso ikan sekitar 5 kali nilai MIC. Hal ini disebabkan dalam bahan
pangan terutama bakso ikan merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme yang sangat kompleks, maka diperlukan
konsentrasi yang lebih tinggi untuk memperpanjang umur simpan produk tersebut.
Secara umum, asap cair tempurung kelapa ini dapat digunakan sebagai
bahan pengawet alternatif yang aman untuk dikonsumsi. Penggunaan asap cair
tempurung kelapa dapat mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa PAH yang
bersifat karsinogenik pada proses pengasapan panas. Selain itu, kombinasi antara
asap cair tempurung kelapa dengan teknik pengawetan lain seperti pemanasan,
pengemasan, dan penyimpanan, dapat memperpanjang umur simpan serta
memberikan karakteristik sensori berupa aroma, warna, serta rasa yang khas pada
produk pangan.
Top Related