4 Dasar Bukti Untuk Meyakinkan Adanya Allah

download 4 Dasar Bukti Untuk Meyakinkan Adanya Allah

of 6

Transcript of 4 Dasar Bukti Untuk Meyakinkan Adanya Allah

4 DASAR BUKTI UNTUK MEYAKINKAN ADANYA ALLAH Pertama, seperti adanya hukum evolusi; bukti adanya tujuan dan kebijaksanaan. Pemahaman evolusi berkembang sepenuhnya pada dua hal; menciptakan dan melengkapi, sehingga segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT pasti mencapai kesempurnaan yang sudah ditentukan. Kedua, di jagat raya hanya ada satu undang-undang, hal selanjutnya bahwasannya dalam ciptaan Tuhan tak ada yang tak seimbang/keteraturan hukum alam. Ketiga, seluruh ciptaan di bawah satu pengawasan, keberadaan-Nya terlihat dalam jagat raya, segala sesuatunya mulai dari hal yang kecil hingga segala sesuatu yang berukuran besar tunduk pada satu undang-undang dan berada di bawah satu pengawasan, Yang Maha Mengetahui. Keempat, petunjuk yang diberikan oleh kodrat manusia: dalam jiwa manusia terdapat kesadaran tentang adanya Allah SWT. Tiap-tiap orang mempunyai sinar batin bahwa Allah SWT Maha Tahu, Maha Mencipta.

Firqah MusyabbihahFirqah MUSYABBIHAH adalah firqah dengan pemahaman yang menyerupakan Allah dengan Makhluk : - Bersifat BENDA - Punya organ tubuh (MUJASIMAH) - Mengambil tempat di tempat tertentu - Terikat dengan arah tertentu - Melakukan gerakan transposition : turun, datang. Pembahasan tentang Firqoh Musyabbihah secara lebih detail ada di kitab : - Maqolat Islamiyyin karangan Imam Abu Hasan Asyari. - Al Farq Bain Al Firaq karangan Imam Abu Qahir Muhammad Al Baghdadi. - Al Milal Wa An Nihal karangan Imam Syarastani. Siapakah kaum MUSYABBIHAH ? Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al Jami li Ahkaam Al Quran (Tafsir Qurthubi) dalam penafsirannya tentang lafadz Tsumma ASTAWA pada QS Al Baqarah : 29 menjelaskan secara ringkas : Ayat ini termasuk musykilat (sulit dipahami). Berkaitan dengan ayat musykilat ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok : Kelompok pertama : Kita membacanya dan mengimaninya, tetapi tidak boleh menafsirkannya. Kelompok kedua : Kita membacanya dan boleh menafsirkannya sesuai (dzahirnya) bahasa. Ini adalah pendapat AL-MUSYABBIHAH (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Kelompok ketiga : Kita membacanya dan boleh mentakwilkannya serta mengalihkan maknanya kepada makna yang layak bagi Allah. Penjelasan yang hampir sama dijelaskan oleh Imam Badaruddin Zarkasy (lahir : 745H wafat : 794H) menerangkan dalam kitabnya Al Burhan fi Ulumil Quran Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran : 1. Golongan pertama yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang dzahir, tidak boleh ditawilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh firqah Musyabbihah. 2. Golongan kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu mesti ditawilkan, yaitu dialihkan artinya ke arti lain, tetapi apa arti lain itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada Tuhan yang paling mengetahui, tetapi kita tetap mengitiqadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adakah aliran Salaf. 3. Golongan ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang mentawilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkankan artinya ke arti lain yang layak bagi Allah. Saat ini ada suatu kaum menyerupai kaum Musyabbihah Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhlukNya.

Mereka mengatakan bahwa Allah, bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia, Kaum Musyabbihah memfatwakan bahwa Allah bermuka dan bertangan. Mereka mengemukakakn dua dalil dari ayat al-Quran yaitu, yang artinya Dan yang kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (Ar- Rahman : 27) Tangan Tuhan di atas tangan mereka (al Fath : 10) Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa dalam ayat-ayat ini nyata benar bahwa Tuhan mempunyai muka dan itulah yang kekal dan mempunyai tangan yang lebih tinggi dari tangan manusia. Kaum Musyabbihah berpendapat bahwa Allah itu duduk/bersemayam di atas Arsy. Dalil yang dikemukakannya ialah, yang artinya Ar Rahman itu duduk / bersemayam di atas Arsy (Thaha : 5) Kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan di atas langit Dallil yang dikemukakannya ialah, yang artinya Adakah kamu merasa aman dengan yang ada di langit, bahwa kamu akan ditenggelamkan ke dalam bumi ketika ia bergoncang dengan kerasnya (al Mulk: 16) Dalam sebuah hadits yang panjang yang tersebut dalam kitab Hadits Bukhari, bahwa Saidina Umar Rda, memanggil Ibnu Abbas berkumpul bersama Sahabat-Sahabat tertua, yaitu sahabatsahabat yang menghadiri peperangan Badara. Saidina Umar bertanya kepada mereka: Artinya : Bagaimana pendapatmu tentang ayat apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan ? Jawab sebagian mereka: Kita diperintah apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan supaya memperbanyak Tahmid dan Tasbih. Sebagian sahabat yang lain tidak menjawab. Dan engkau hai Ibnu Abbas, Bagaimana pendapatmu? Jawabku: Tidak, bukan begitu, itu adalah ajal Rosulullah diberi tahukan sudah dekat. Apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan itu suatu tanda bahwa ajal engkau sudah dekat. Pada ketika itu tasbihlah, tahmidlah dan istighfarlah karena Tuhan itu penerima taaubat. Lalu Saidina Umar berkata : Saya baru sekarang mengetahui arti serupa itu (HSR Bukhari Shahih Bukhari III hal 158 ). Berkata Iman Ibnu Hajar Asqalani pada ketika mensyarahkan hadits ini, bahwa ini adalah suatu pertanda boleh mentawilkan Quran, dengan apa yang difahamkan dari isyarat-isyarat. Yang mengerjakan yang demikian adalah orang-orang yang dalam ilmunya (Fathul Bari Syarah Bukhari juz 10 halaman 367) Masalah ayat atau hadist tasybih (kesaruan makna) atau mutasyabihat dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya. 1. Pendapat Tafwidh Maattanzih 2. Pendapat Tawil Madzhab Tafwidh Maa Tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan Itiqad Tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan) Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata Numinu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya

tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah (imam hanafi). Madzhab Takwil yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan dan Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri) Dengan Takwil kita dapat pula menghindari dari kekufuran. Imam Ahmad ar-Rifai (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan: Sunu Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri

pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaanpekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya. "Artinya : Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya". [At-Takwir : 29] Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrem, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah. Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.