4. Child Abuse and Neglect

download 4. Child Abuse and Neglect

of 21

description

can

Transcript of 4. Child Abuse and Neglect

CHILD ABUSE AND NEGLECT

PendahuluanKekerasan pada anak, penelantaran terhadap masyarakat dan obat-obatan, sekarang menjadi fokus perhatian publik. Kasus dugaan penganiayaan yang sering muncul di media dan berujung di pengadilan. Beberapa kasus menimbulkan pertanyaan mendalam tentang hak relatif tua, anak-anak, dan mereka yang dituduh dengan pelecehan anak. Tuduhan pelecehan seksual oleh selebriti telah menimbulkan beberapa pertanyaan privasi baik untuk mereka yang dituduh dengan penyalahgunaan dan dugaan korban-korban mereka, dan kasus-kasus kekerasan fisik yang fatal di kalangan keluarga kelas menengah telah menantang stereotip bahwa kekerasan dalam rumah hanya terjadi di kalangan orang miskin atau yang kurang beruntung.7Sejak tahun 1960, telah dibuat undang-undang di Amerika Serikat dan Kanada untuk hampir setiap profesional (istilah yang sering termasuk guru, psikolog, dan pekerja sosial, serta dokter dan perawat) diharuskan membuat laporan kepada otoritas sipil jika ia mencurigai seorang anak telah menerima ataupun penelantaran oleh orang dewasa. Pada undang-undang juga ditetapkan hukuman karena tidak melakukan pelaporan pelecehan terhadap anak, namun juga ditetapkan pada undang-undang bahwa akan memberikan kekebalan hokum kepada profesional ketika mereka melaporkan kecurigaan dengan tujuan yang baik.7Berdasarkan data dari informasi dan dokumen di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), ada sekitar 27,4 % dari 62 kasus penganiayaan terhadap anak di Sumatera Utara, dilakukan oleh orang tua sepanjang tahun 2006 meliputi 11 kasus dilakukan oleh orang tua kandung, 4 kasus oleh orang tua tiri, dan 2 kasus oleh orang tua angkat. Tentunya, jumlah tersebut bukan merupakan angka keseluruhan anak yang mengalamipenganiayaan oleh orang tua di Sumatera Utara. Fenomena seperti ini sering disebut sebagai aib keluarga sehingga tidak terbuka dan tidak melibatkan orang lain. Selain itu, anak juga merasa takut menceritakan perlakuan orang tuanya pada orang lain karena budaya di Indonesia mengharuskan anak sejak kecil patuh dan taat kepada orang tua. Anak sering dibelenggu dogma-dogma yang mengabaikan hak anak untuk mengemukakan pendapat.Penyalahgunaan zat, kemiskinan dan strata ekonomi, kemampuan dan keterampilan orang tua, dan kekerasan dalam rumah tangga yang disebut-sebut sebagai masalah yang paling sering sebagai penyebab dalam kekerasan keluarga. Kekerasan dan penelantaran anak-anak dipertimbangkan dalam perspektif ekologi, yang termasuk individu, keluarga, sosial, dan pengaruh psikologis yang datang bersama-sama untuk memberikan kontribusi terhadap masalah.7Pelecehan anak merupakan diagnosis yang sulit untuk dikelola di instalasi gawat darurat (IGD). Hal ini sebaiknya dikelola secara sistematis, dengan tim multidisiplin, dan dengan pedoman yang ditetapkan untuk menjaga objektivitas dan ketelitian. Sumber daya lokal dan kelembagaan seperti pekerja sosial, dokter ahli pelecehan anak, ahli radiologi anak, CPS, dan penegak hukum harus dikonsultasikan pada awal penilaian jika memungkinkan. Dan juga terdapat lembaga pelecehan anak yang memfasilitasi kemampuan dokter untuk dapat lebih fokus pada kebutuhan masing-masing pasien.5DefinisiPeraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan definisi ataupun pengertian atas istilah Child Abuse and Neglect dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah sempat diajukan namun belum pernah disepakati secara nasional istilah mana yang disepakati sebagai istilah pengganti Child Abuse and Neglect. Beberapa istilah tersebut adalah penganiayaan dan penelantaran anak, kekerasan terhadap anak, perlakuan salah terhadap anak atau penyalahgunaan anak.1Menurut WHO, Child Abuse and Neglect (CAN) adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.1Child Abuse and Neglect ini terdiri dari:1. Physical AbuseAdalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau tidak memiliki niat untuk menyakiti anaknya, atau cedera dapat pula merupakan hasil dari hukuman disiplin yang berlebihan.1,2,3,4,5,6,72. Sexual Abuse Adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain yang baik dari usia ataupun perkembangannya memiliki hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan; aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling), memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi. 1,2,3,4,5,6,73. Emotional AbuseAdalah meliputi kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figure primer, sehingga anak dapat berkembang secara stabil dan dengan pencapaian kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadinya dan dalam konteks lingkungannya. Kekerasan emosional dapat juga merupakan suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan dalam kendali orang tua atau orang lain dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan terhadap si anak. Beberapa contoh kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan anak, memburukkan atau mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau mentertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan.14. Penelantaran anakAdalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti: kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernanung, dan keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk didalamnya adalah kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau gangguan. Kelalaian di bidang kesehatan terjadi apabila terjadi kegagalan untuk memperoleh perawatan medis, mental dan gigi pada keadaan-keadaan, yang bila tidak dilakukan akan dapat mengakibatkan penyakit atau gangguan tumbuh kembang.Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembolehan mangkir sekolah yang kronis, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian di bidang fisik meliputi penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, penelantaran/pembiaran, pengusiran dari rumah atau penolakan kembalinya anak sepulang dari kabur, dan pengawasan yang tak memadai. Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian atas kebutuhan anak akan kasih sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak, dan pembolehan penggunaan alkohol dan narkoba oleh si anak. 1,2,3,4,5,6,75. Eksploitasi anakAdalah penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain. Hal ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan kesehatan fisik dan kesehatan mental anak, merugikan perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan sosial-emosional anak. Eksploitasi anak biasanya tidak termasuk ke dalam CAN yang dipahami oleh tenaga profesional kesehatan, sehingga selanjutnya eksploitasi anak tidak akan dibahas lagi.1EpidemiologiPada tahun 2011, 3,4 juta rujukan dibuat kepada pihak berwenang perlindungan anak di Amerika Serikat, 8,4% dari rujukan berasal dari tenaga medis. Tingkat penganiayaan anak di Amerika Serikat adalah 9,1 kasus per 1.000 anak. Tujuh puluh delapan persen dari laporan penganiayaan anak berasal dari penelantaran, 17,6% dari kekerasan fisik, dan 9,1% dari pelecehan seksual anak. Tingkat kematian anak secara keseluruhan adalah 2,1 kematian per 100.000 anak. Perempuan mewakili 53,6% dari para pelaku. Dari 2000-2008, hampir 340.000 anak-anak dirawat di Unit Gawat Darurat untuk cedera yang diterima, atau 1,3% dari semua kunjungan pasien anak. Penganiayaan anak merupakan masalah global. Kejadian yang akurat sulit untuk ditentukan, karena kurangnya penelitian yang baik di banyak daerah di dunia.5Mortalitas/MorbiditasSeorang anak yang dianiaya mungkin mengalami nyeri langsung, ketakutan, dipermalukan, luka dari berbagai tingkat keparahan, dan kehilangan harga diri. Selain dari gejala fisik potensial (misalnya, kematian, cedera otak traumatis, cacat), dampak kesehatan jangka panjang masalah penganiayaan anak dan pengalaman masa kecil yang merugikan termasuk peningkatan risiko untuk penyalahgunaan obat, mencederai diri sendiri dan perilaku bunuh diri, depresi, kecemasan, perilaku kriminal, penyakit jantung, diabetes, kanker, kematian dini, gangguan mental , obesitas dan masalah kesehatan mental lainnya.5Kematian meningkat akibat seringnya trauma yang diterima oleh anak. Pada tahun 2010, pembunuhan adalah penyebab utama ketiga kematian pada anak-anak usia 1-4 tahun dan 81,6% kematian akibat kekerasan terhadap anak adalah pada anak-anak muda dari 4 tahun.5Walaupun berbagai definisi dan ketentuan pelaporan mencegah terjadinya perbandingan rinci, orang tua yang melakukan pelecehan anak-anak mereka pernah dilaporkan kebanyakan kelompok geografis, agama, pendidikan, pekerjaan, dan sosial ekonomi. Dalam laporan tahun 1999 NCANDS, etnisitas para korban bervariasi dari titik terendah 4,4/1.000 anak korban di Asia/Kepulauan Pasifik menjadi 25,2 /1.000 korban di Afrika-Amerika. Kelompok yang hidup dalam kemiskinan mengalami peningkatan laporan kekerasan fisik karena:1. Meningkatnya jumlah krisis yang dalam kehidupan mereka (misalnya, tingkat pengangguran atau kepadatan penduduk).2. Keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial untuk dukungan selama masa stres.3. Meningkatnya kekerasan di masyarakat tempat mereka tinggal. 4. Hubungan kemiskinan dengan faktor risiko lain, seperti orang tua remaja dan tunggal dan penyalahgunaan zat.2Peningkatan insiden kekerasan fisik yang telah dicatat di pangkalan militer. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan pengawasan serta faktor risiko yang meningkat. Adanya pelecehan pasangan meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap anak. Penyalahgunaan obat seringkali ditemukan pada keluarga yang anak-anak dilecehkan. Lebih dari 90% menyalahgunakan orangtua memiliki kepribadian yang tidak psikotik ataupun kriminal. Sebaliknya, mereka cenderung menjadi kesepian, sedih, marah, orang tua tunggal yang tidak merencanakan kehamilan mereka berdekatan, hanya memiliki sedikit atau tidak ada pengetahuan tentang perkembangan anak dan kesehatan anak, dan memiliki harapan yang realistis untuk tingkah laku anak. Anak-anak keterbelakangan mental lebih berisiko terkena kekerasan dan penelantaran. Orang tua mereka dapat melukai mereka setelah dipicu oleh apa yang mereka anggap sebagai perilaku yang sebenarnya berkaitan dengan gangguan mental anak. Dari 10-40% orang tua yang kasar pernah mengalami kekerasan fisik saat anak-anak.2Kekerasan fisik adalah yang paling mungkin terjadi ketika orang tua yang berisiko tinggi yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak berisiko tinggi mengalami stres dan bereaksi terhadap stres dengan aksi kekerasan. Anak-anak berisiko tinggi termasuk bayi prematur, bayi dengan kondisi medis yang kronis, bayi kolik, dan anak-anak dengan masalah belajar dan tingkah laku. Anak tersebut mungkin saja normal namun disalahartikan oleh orangtua yang belum berpengalaman sebagai sesuatu yang sulit, tidak biasa, atau abnormal. Perilaku normal, seperti menangis, membasahi, mengotori, dan menumpahkan, dapat menyebabkan orangtua kehilangan kendali dan mencederai seorang anak. Peristiwa pemicu kekerasan tersebut mungkin berhubungan dengan krisis keluarga, seperti kehilangan pekerjaan atau rumah, perselisihan perkawinan, kematian saudara, kelelahan fisik, atau pengembangan dari suatu penyakit fisik atau mental akut atau kronis pada orang tua atau anak. Penentuan faktor risiko untuk kekerasan dan penelantaran sebaiknya mulai selama masa kehamilan dan terus berlanjut hingga masa kanak-kanak sebagai bagian dari riwayat kesehatan rutin dan dalam semua kasus cedera pada anak. Adanya faktor risiko pada orang tua atau anak harus meningkatkan dugaan kekerasan, namun ketika tindak kekerasan tidak dapat diketahui, faktor risiko yang signifikan mungkin memerlukan rujukan untuk layanan pencegahan.2Aspek Etik Dan HukumTenaga profesional kesehatan seringkali menjadi pihak pertama yang menemukan kasus CAN, baik pada saat ia melakukan prakteknya di institusi kesehatan atau di tempat praktek pribadi, atau juga pada saat ia melakukan kunjungan ke lapangan. Demikian pula tenaga profesional pendidikan, pengasuh anak, konselor, dan agamawan. Merekalah yang seharusnya dapat mendeteksi dini dan menangani atau merujuk kasus CAN sesuai dengan prosedur dalam sistem perlindungan anak yang berlaku. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa angka kejadian CAN yang dilaporkan dan tercatat di Indonesia sangatlah rendah dibandingkan dengan di negaranegara lain. Hal ini membawa asumsi bahwa kasus CAN yang tercatat adalah hanya merupakan ujung atas/ kecil dari gunung es kasus yang sebenarnya ada di dalam masyarakat (iceberg phenomenon).1Para ahli pendidikan kedokteran melihat sistem pendidikan kedokteran dan kesehatan yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja (medicalization). Padahal pada banyak kasus, termasuk kasus CAN, masalah utamanya bukanlah masalah medis, melainkan masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan multidisipliner harus diterapkan untuk dapat menangani kasus CAN secara komprehensif.1Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin lain yang terkait dengan masalah CAN, seperti aspek kesehatan masyarakat dan keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya. Pemahaman tentang aspekaspek lain di luar kesehatan dan kedokteran diharapkan akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim yang multidisipliner tersebut.1Di bawah ini akan diulas berbagai bahasan hukum dan etik profesi yang berkaitan dengan CAN secara singkat, sedangkan bunyi pasal-pasal tersebut diuraikan pada lampiran buku bahan bacaan ini.1Ketentuan Pidana Kekerasan Terhadap Anak1. Kekerasan seksual Hukum Pidana mengancam siapa saja (laki-laki) yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang anak (perempuan) berhubungan seksual dengannya (pasal 285 KUHP) atau berbuat cabul dengannya (pasal 289 KUHP). Pasal 81 dan 82 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak bahkan mengancam pelakunya dengan hukuman yang lebih berat. Seseorang juga diancam pidana apabila melakukan hubungan seksual tanpa paksaan dengan seorang anak perempuan yang usianya belum cukup 12 tahun, dan mengancam sebagai delik aduan bila usianya antara 12 15 tahun (pasal 287 KUHP). Delik biasa juga diberlakukan apabila si anak perempuan yang berusia 12-15 tahun tersebut menderita luka berat atau mati sebagai akibatnya, atau ternyata anak tersebut adalah anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawah pengawasan si pelaku (pasal 287 jo pasal 291 dan 294 KUHP). Pasal lain dalam KUHP juga mengancam pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum berusia 15 tahun, atau membujuknya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan orang lain (pasal 290 KUHP), atau dengan penyesatan atau menyalahgunakan perbawanya (pasal 293 KUHP), atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul (pasal 295 KUHP). Pidana juga diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin yang usianya belum dewasa (pasal 292 KUHP).12. Kekerasan fisikSeluruh pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan (pasal. 351, 352, 353, 354, 355 KUHP) juga berlaku bagi penganiayaan terhadap anak, bahkan memberinya pemberatan pidana (pasal 356 KUHP) bagi pelaku tindak pidana pasal 351, 353, 354, dan 355 yang merupakan orangtua korban. Pasal 80 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang lebih berat untuk itu.Pidana juga diberikan kepada mereka yang karena kelalaiannya telah mengakibatkan seseorang (anak) luka, luka berat atau mati (pasal 359, 360 KUHP), bahkan memberikan pemberatan bila dilakukan oleh orang yang sedang melakukan jabatan/pekerjaannya (termasuk pekerjaan di bidang kesehatan) (pasal 361 KUHP).13. Penculikan dan Perdagangan AnakKUHP mengancam orang yang melakukan perdagangan anak perempuan ataupun laki-laki (pasal 297 KUHP), sementara itu Pasal 83 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang lebih berat untuk itu. Penculikan anak diancam dengan pidana (pasal 328 KUHP), demikian pula bagi orang yang membawa seorang anak keluar dari kekuasaan orangtua atau walinya (pasal 330 KUHP), atau membawa lari seorang anak perempuan (pasal 332 KUHP), atau melakukan ancaman melakukan perbuatan kejahatan susila (pasal 336 KUHP).14. Penelantaran, diskriminasi dan pidana lainUU 23/2002 tentang Perlindungan Anak mengancam pidana bagi pelaku tindakan diskriminasi, penelantaran, pembiaran anak yang dalam keadaan darurat, tindakan kekerasan, jual-beli organ anak, eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, pemanfaatan anak dalam kegiatan napza, dll. (pasal 77, 78, 80, 85, 88, dan 89). Sementara itu pasal 304-308 KUHP juga mengancam pelepasan dari tanggung-jawab perawatan anak yang belum cukup usia 7 tahun.1Kewajiban moral dan kewajiban hukum tenaga kesehatanThe World Medical Association (WMA) telah mengeluarkan pernyataan (Statement on Child Abuse and Neglect), terakhir dalam sidang ke 44 nya di Marbella, Spanyol, September 1992. Dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan. Untuk mencapai peran tersebut para dokter dan tenaga kesehatan harus memperoleh pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan, serta membentuk tim yang multidisiplin guna menangani CAN. Dalam hal ini anak adalah pasiennya, sehingga segala yang terbaik buat si anak adalah perhatian utama dokter.1Dalam menemukan kasus CAN, tindakan dini yang dilakukan dapat meliputi: 1. Melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak.2. Merawat inap korban CAN yang membutuhkan perlindungan pada tahap evaluasi awal.3. Memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua anak secara obyektif tanpa bersifat menuduh.1Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya meliputi: 1. Riwayat cedera.2. Pemeriksaan fisik.3. Survei radiologis terhadap trauma.4. Pemeriksaan kelainan perdarahan.5. Pemotretan berwarna.6. Pemeriksaan fisik saudara kandungnya.7. Laporan medis tertulis resmi.8. Skrining perilaku.9. Skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah.1

Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual terhadap anak meliputi 3 hal: 1. Pengobatan trauma fisik dan psikologis.2. Pengumpulan dan pemrosesan bukti (evidence).3. Penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan seksual.1Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia mengetahuinya sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri yang mengetahui adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia menjalankan tugasnya.1Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu.1Baik pasal dalam KUHAP maupun pasal dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di atas memang belum secara tegas mewajibkan kepada setiap orang untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap anak, namun secara implisit telah menyatakannya demikian. UU No 23 tahun 2002 misalnya, kata-kata membiarkan anak dalam situasi darurat dapat dianggap telah mencakup membiarkan dengan tidak melaporkannya kepada pihak yang seharusnya atau seyogyanya dilapori.1Akhirnya, dengan merangkainya dengan isi pernyataan WMA di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa adalah kewajiban moral dan hukum bagi para profesional kesehatan yang mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk menindaklanjutinya sesuai prosedur termasuk melaporkannya ke Komisi Perlindungan Anak setempat.1Faktor RisikoPenganiayaan anak merupakan interaksi yang rumit dari tiap individu, keluarga, lingkungan, dan faktor sosial. Kekerasan bisa disebabkan oleh pengasuh dengan sumber daya yang kurang memadai untuk berinteraksi dengan anak yang yang berisiko tinggi (misalnya, anak-anak yang secara fisik, mental, temperamental, atau perilaku sulit). Meskipun tidak ada penyebab khusus, stres dan faktor-faktor dalam peningkatan risiko kekerasan terhadap anak yang terjadi.1,2,3,5,6,7

Faktor sosial ekonomi:1. Kemiskinan.2. Pengangguran.3. Seringnya berpindah tempat tinggal.4. Terisolasi.5. Lingkungan yang tidak bersahabat/kekerasan dalam rumah tangga.6. Gaya pengasuhan anak yang bersifat menghukum.7. Jaringan dukungan sosial dan praktis yang tidak memadai.1,5Faktor orang tua:1. Harga diri yang rendah.2. Penyalahgunaan anak sendiri.3. Penyalahgunaan obat.4. Masalah kesehatan mental.5. Perceraian dalam pernikahan.6. Harapan yang tidak realistis dari anak.1,5Faktor anak:1. Berusia muda.2. Gangguan perilaku.3. Masalah kesehatan.4. Persalinan prematur.5. Cacat mental atau fisik.1,5Faktor masyarakat/sosial:1. Tingkat kriminalitas yang tinggi.2. Layanan sosial yang rendah.3. Kemiskinan yang tinggi.4. Tingkat pengangguran yang tinggi.5. Adat istiadat mengenai pola asuh anak.6. Pengaruh pergeseran budaya.7. Stres para pengasuh anak.8. Budaya memberikan hukuman badan kepada anak.9. Pengaruh media massa.1Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik harus mencakup penampilan anak secara umum, tanda-tanda vital, status gizi, parameter pertumbuhan (tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala untuk anak-anak