4 Cedera Pelvis_finish Oke

download 4 Cedera Pelvis_finish Oke

If you can't read please download the document

description

penangana fisioterapi pada cedera pelvis

Transcript of 4 Cedera Pelvis_finish Oke

CEDERA PELVISFraktur pelvis menyebabkan kurang dari 5% pada semua cedera rangka, tetapi cedera ini sangat penting karena tingginya insidensi cedera jaringan lunak yang menyertainya dan resiko kehilangan darah yang hebat, syok, sepsis serta sindroma gangguan pernapasan pada orang dewasa (ARDS). Seperti halnya cedera berat lain, cedera ini membutuhkan pendekatan gabungan dari para ahli dari berbagai bidang. Sekitar dua periga fraktur pelvis terjadi dalam kecelakaan lalu lintas termasuk pejalan kaki; lebih dari 10% pasien akan mengalami cedera viseral, dan dalam verkelompok ini angka kematian mungkin lebih dari 10% (Peltier, 1965; Eid, 1981). Anatomi bedah Cincin pelvis terdiri dari dua tulang inomnata dan sakrum, berartikulasi di depan simfisis pubis (jembatan anterior atau jembatan pubis) dan bagian posterior di sendi sakro-iliaka (jembatan posterior atau jembatan sakro-iliaka). Struktur mirip cekungan ini memindahkan berat dari badan ke tungkai bawah dan memberikan perlindungan pada visera,pembuluh darah dan saraf di pelvis. Stabilitas cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-tulang dan integritas ligamen yanng kuat yang mengikat tiga segmen tulang itu bersamasama pada simfisis pubis dan sendi sakro-iliak. Ligamen pengikat yang paling kuat dan palinng penting adalah ligamen sakro-aliaka dan iliolumbal; selama ligamen-ligamen itu utuh, penahanan beban akan tidak terganggu. Ini adalah faktor yang pentinng untuk membedakan cedera "stabil" dan yang "tak stabil" pada cincin pelvis. Cabang utama dari arteri iliaka komunis muncul di dalam pelvis di antara tingkat sendi sakro-iliaka dan insisura iskiadika mayor. Bersama cabang-cabang venanya, pembuluh-pembuluh itu mudah terkena cedera bila fraktur melalui bagian posterior cincin pelvis. Saraf pada pleksus lumbalis dan sakralis juga menghadapi resiko cedera pelvis posterior. Kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis. Trigonum dipertahankan pada posisinya dengan ligamen laterallis kandung dan pada pria, dengan prostat. Prostat dipertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari levator ani, sedangkan dibagian anterior terikat erat pada tulang pubis oleh ligamen puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan forniks vagina anterior. Uretra dipertahankan oleh otot dasar pelvis serta ligamen pubouretra. Akibatnya, pada wanita uretra jauh lebih mobil dan cenderung lebih sulit terkena cedera. Pada cedera pelvis yang berat uretra membranosa dapat rusak bila prostat dipaksa ke belakang sementara uretra tetap diam. Bila ligamen puboprostat robek, prostat dan dasr kandung kemih dapat banyak mengalami dislokasi dari uretra membranosa.

1

Kolon pelvis, dengan mesenteriumnya, merupakan struktur yang mobil sehingga tidak mudah cedera. Tetapi, rektum dan saluran anus lebih erat terlambat pada struktur urogenital dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena bila terjadi fraktur pelvis. Penilaian klinik Fraktur pelvis harus dicurigai pada setiap pasien dengan cedera perut atau tungkai bawah yang berbahaya. Mungkin terdapat riwayat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian atau cedera benturan. Pasien sering mengeluh nyeri hebat dan merasa seolah-olah dia telah terpisah-pisah, dan mungkin terdapat pembengkakan atau memar pada pperut bawah, paha, perineum, skrotum atau vulva. Semua daerah ini harus diperiksa dengan cepat, untuk mencari bukti ekstravasasi urine. Tetapi prioritas utama adalah selalu menilai keadaan umum pasien dan mencari tanda-tanda kehilangan darah. Resusitasi dapat dimulai sebelum pemeriksaan selesai. Perut harus dipalpasi dengan hati-hati. Tanda-tanda iritasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraperitoneal. Cincin pelvis dapat ditekan dengan pelan-pelan dari sisi dan kembali ke depan. Nyeri tekan pad daerah sakro-iliaka sangat penting dan dapat menandakan adanya gangguan pada jembatan posterior. Pemeriksaan rektum kemudian dilakukan pada semua kasus. Koksigis dan sakrum dapat diraba dan diuji untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Kalau prostat dapat diraba, yang sering sukar dilakukan akibat nyeri dan pembengkakan, posisinya yang abnormal dapat menunjukkan cedera uretra. Tanyakan kapan pasien membuang urine terakhir kali dan cari perdarahan di meatus eksterna. Ketidak mampuan untuk kencing dan adanya darah di meatus eksterna adalah tanda klasik ruptur uretra. Tetapi, tiadanya darah di meatus tidak menyingkirkan cedera uretra, karena sfingter luar mungkin mengalami spasme, sehingga menghentikan aliran darah dari tempat cedera. Karena itu setiap pasien yang mengalami fraktur pelvis harus dianggap menghadapi resiko cedera uretra. Pasien dapat dianjurkan untuk kencing; kalau dia dapat melakukannya, uretra itu utuh atau hanya terdapat sedikit kerusakan yang tidak akan diperburuk oleh aliran urine. Jangan mencoba untuk memasukkan kateter; karena ini dapat mengubah robekan uretra sebagian menjadi robekan uretra lengkap. Kalau cedera uretra dicurigai, ini dapat didiagnosis dengan lebih tepat dan lebih aman dengan uretrografi retrograd. Ruptur kandung kemih harus dicurigai pada pasien yang tidak dapat kencing atau pada pasien yangkandung kemihnya tidak dapat diraba setelah diberi penggantian cairan yang memadai. Palpasi sering sukar dilakukan karena terdapat hermatoma dinding perut. Gambaran fisik pada awalnya dapat sedikit sekali, dengan bising usus yang normal, karena ekstravasasi urine yang steril tak banyak menimbulkan iritasi peritoneum. Hanya sebagian kecil pasien dengan ruptur kandung kemih yang mengalami hipotensi: jadi kalau pasien itu hipotensif, harus dicari penyebab lainnya. Pemeriksaan neurologik sangat diperlukan; mungkin terdapat kerusakan pada pleksus lumbalis atau sakralis.

2

Kalau pasien tak sadar, prosedur rutin yang sama diikuti. Tetapi, pemeriksaan sinar-X dini penting pada kasus ini. Sinar-X pada pelvis Segera keadaan pasien memungkinkan, foto polos anteroposterior pelvis harus diambil. Pada umumnya foto ini akan memberi informasi yang cukup untuk membuat diagnosis pendahuluan pada fraktur pelvis. Sifat cedera yang tepat dapat diperjelas dengan radiografi secara lebih rinci bila telah dipastikan bahwa pasien dapat tahan terhadap lamanya waktu yang diperlukan untuk penentuan posisi dan reposisi di meja sinar-X. diperlukan lima foto: anteroposterior, pandangan inlet (kamera sefalad terhadap pelvis dan dimiringkan 30 derajat ke bawah), foto outlet (kamera kaudal terhadap pelvis dan dimiringkan 40 derajat ke atas), foto oblik kanan dan kiri. Kalau dicurigai adanya cedera apa saja yang berbehaya, CT scan pada tingkat yang tepat sangat bermanfaat (beberapa ahli mengatakan harus dilakukan). Ini terutama berlaku untuk kerusakan cincin pelvis posterior dan utnuk fraktur asetabulum yang kompleks, yang tidak dapat dievaluasi secara tepat dengan sinarX biasa. Reformasi CT tiga dimensi terhadap foto pelvis memberi gambaran cedeera secara paling tepat; ini adalah metode pilihan bila fasilitas itu tersedia (Fishman dkk, 1989). Sinar-X pada saluran kencing Kalau terdapat bukti cedera perut bagian atas, dan pasien mengalami hematuri, dilakukan urogram intravena untuk menyingkirkan cedera ginjal. Cara ini juga akan memperlihatkan kerusakan besar pada kandung kemih atau uretra. Pada kasus ruptur uretra, dasar kandung kemih mungkin menumpang ke atas (dislokasi prostat) atau mungkin terdapat deformitas tetes airmata pada kandung kemih karena penenkanan oleh darah dan urine yang berekstravasasi (prostat in-situ). Bila diduga terdapat cedera uretra, uretrogram harus dilakukan dengan 2530 ml zat kontras yang larut dalam air dengan teknik aseptik yang sesuai. Foto harus diambil selama injeksi zat kontras untuk memastikan bahwa uretra mengembung penuh. Teknik ini akan memastikan robekan itu lengkap atau tidak lengkap. Pada pasien dengan kemungkinan ruptur kandung kemih (selama tidak ada bukti cedera uretra) harus dilakukan sistogram. Tipe cedera Cedera pelvis dibagi ke dalam empat kelompok: (1) fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh; (2) fraktur dengan cincin yang patah-ini dapat stabil atau tak stabil; (3) fraktur pada asetabulum-meskipun ini adalah fraktur cincin, terlibatnya sendi akan menimbulkan masalah khusus sehingga masalah ini perlu dibahas terpisah; dan (4) fraktur sakrokoksigis.

3

Fraktur yang terisolasi Fraktur avulsi Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat; fraktur ini biasanya ditemikan pada para olah ragawan dan atlet. Sartorius dapat menarik spina iliaka anterior inferioe, adduktor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat menarik bagian-bagian iskium. Semua pada pokoknya merupakan cedera otot, hanya memerlukan istirahat selama beberapa hari dan penenteraman. Nyeri dapat memerlukan waktu beberapa bulan agar hilang dan, karena sering tak ada riwayat cedera, biopsi pada kalus dapat mengakibatkan kekeliruan diagnosis dan disangka tumor. Avulasi pada aporfisis iskium oleh oto-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetsp, dan dalam hal ini reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan (Wootom, Cross dan Holt, 1990). Fraktur langsung Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat menyebabkan fraktur isikum atau ala osis ilii. Biasanya duiperlukan istirahat di tempat tidur hingga nyeri mereda. Fraktur tekanan Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan (dan serinng tidak nyeri) pada pasien osteoporosis atau osteomalasia yang berat. Yang lebih suli didignosis adalah fraktur-tekanan di sekitar sendi sakro-iliaka; ini adalah penyebab nyeri "sakro-iliaka" yang tak lazim pada oranng tua yang menderita osteopororsis. Fraktur tekanan yang tak jelas terbaik diperlihatkan dengan scan radioisotop.

Fraktur pada cincin pelvisTelah lama diperdebatkan bahwa, karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat pada cincin pasti disertai kerusakan pada tempat kedua; kecuali pada lantai pukulan langsung (termasuk fraktur pada lantai asetabulum), atau fraktur cincin pada anak-anak, yang simfisis dan sendi sakro-iliakanya masih elastis. Taetapi, patahan kedua sering tidak kelihatan-baik karena patah ini tereduksi dengan segera atau karena sendi-sendi sakro-iliaka hanya rusak sebagian; dalam keadaan pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi ke dalam fraktur cincin tunggal dan ganda. Mekanisme cedera Mekanisme dasar pada cedera cincin pelvis adalah tekanan anteroposterior, tekanan lateral, pemuntiran vertikal dan kombinasi dari semua ini.

4

TEKANAN ANTEROPOSTERIOR Cedera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal antara pejalan kaki dan mobil. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi keluar, disertai kerusakan simfisis yang disebut cedera "buku terbuka"; di bagian posterior ligamen sakroiliaka robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior ilium. TEKANAN LATERAL Tekanan dari sisi pada pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Ini biasanya akibat efek samping kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Dibagian anterior rami pubis pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur, dan di bagian posterior terdapat strain sakro-iliaka yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi yang sama seperti fraktur rami pubis atau sakro-iliaka banyak bergeser,pelvis tak stabil. PEMUNTIRAN VERTIKAL Tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertikal, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah sakro-iliaka pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi bila seseorang jatuh dari tempat tinggi pada satu kaki. Cedera itu biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan lunak yang nyata dan perdarahan retroperitoneal. CEDERA KOMBINASI Pada cedera pelvis yang hebat mungkin terdapat kombinasi dari cedera-cedera di atas. Fraktur stabil dan tak stabil Tile (1998) telah menggolongkan fraktur pelvis ke dalam cedera yang stabil, cedera yang secara rotasi tak stabil dan cedera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil. Type A stabil: ini termasuk avulasi (lihat diatas) dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau tanpa pergeseran. Type B secara rotasi tak stabil, secara vertikal stabil: daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis (cedera buku terbuka); atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral dapat menyebabkan fraktur pada rami iskopubik pada salah satu atau kedua sisi, juga disertai ceera posterior, tetapi tidak ada pembukaan simfisis (cedera buku tertutup). Type C secara rotasi dan vertikal tak stabil: terdpat kerusakan pada ligamen posterior yang keras dengan cedera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertikal pada satu sisi pelvis; mungkin juga terdapat fraktur asetabulum. Gambaran klinik Pada cedera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperlihatkan fraktur.

5

Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tak dapat berdiri; dia mungkin juga tak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ala osis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anastetik sebagian karena cedera saraf skiatika dan penarikan atau pendorongan dapat mengungkapkan ketidakstabilan vertikal (meskipun ini mungkin terlalu nyeri). Cedera ini sangat hebat, sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan viseral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsisi dan ARDS; angka kematiannya cukup tinggi (Dalal dkk, 1989). SINAR-X Sinar-X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau kontralateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi sakro-iliaka atau kombinasi dari cedera-cedera itu. Foto sering sulit dimengerti dan CT scan merupkaan cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat cedera terutama kalau tersedia CT tiga dimensi. Penanganan PENANGANAN DINI Terapi tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan rinci. Prioritas perlu ditentukan dan bertindak berdasarkan setiap informasi yang sudah tersedia sementara beralih ke pemeriksaan diagnostik berikutnya. "Tata laksana dalam konteks ini adalah kombinasi penilaian dan terapi". Enam pertanyaan harus ditanyakan dan jawabannya ditangani satu demmi satu: 1.Apakah saluran napsa bersih? 2.Apakah paru-paru cukup mendapat ventilasi? 3.Apakah pasien kehilangan darah? 4.Apakah terdapat cedera di dalam perut? 5.Apakah terdapat cedera kandung kemih atau uretra? 6.Stabil atau tidakkah fraktur pelvis ini? Pada setiap pasien mengalami cedera berat, langkah yang pertama adalah memastikan bahwa saluran napas bersih dan ventilasi tak terhalang. Resusitasi harus dimulai segera dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan cepat diperiksa untuk mencari ada tidaknya cedera ganda dan,kalau perlu, fraktur yang nyeri dibebat. Satu foto sinar-X anteroposterior pada pelvis harus diambil. Kemudian dilakukan pemeriksaan yanglebih cermat, dengan memperhatikan pelvis, perut, perineum dan rektum. Liang meatus uretra diperiksa untuk mencari tanda-tanda perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa untuk mencari tanda-tanda cedera saraf. Kalau keadaan umum pasien stabil, pemeriksaan dengan sinar-X selanjutnya dapat dilakukan. Kalau dicurigai adanya robekan uretra, dapat dilakukan uretrogram secara pelan-pelan. Hasil penemuan sampai tahap ini dapat menetukan perlu tidaknya urogram intravena.

6

Sampai tahap ini dokter yangmemeriksa sudah mendapat gambaran yang baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cedera pelvis, ada tidaknya cedera viseral dan kemungkinan berlanjutnya prdarahan di dalam perut atau retroperitoneal. Idealnya, tim ahli masing-masing menangani tiap masalah atau melakukan penyelidikan lebih jauh. PENANGANAN PERDARAHAN YANG HEBAT Terapi syok diuraikan pada Bab 10. upaya lain yang dapat diperlukan untuk menangani perdarahan masif mencakup penggunaan pakaian antisyok pneumatik dan pemasangan segera siksator luar (Evers, Cryer dan Miller, 1989). Diagnosis perdarahan yang terus berlanjut sering sukar dilakukan, dan sekalipun tampak jelas bahwa mudah untuk menentukan sumber perdarahan itu. Pasien ddengan tanda-tanda abdomen yang mencurigakan harus diselidiki lebih jauh dengan aspirasi peritoneum atau pembilasan. Kalau terdapat aspirasi diagnostik positif, perut harus dieksplorasi untuk menemukan dan menangani sumber perdarahan. Tetapi, kalau terdapat hematoma retroperitoneal yanng besar, ini tidak boleh dievakuasi karena hal ini dapat melepaskan efek tamponade danmengakibatkan perdarahan yanng tak terkendali. PENANGANAN URETRA DAN KANDUNG KEMIH Cedera urologi terjadi pada sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin pelvis. Karena pasien sering sakit berat akibat cedera yanglain, mungkin dibutuhkan kateter urine untuk memantau keluaran urine, sehingga ahli urologi terpaksa membuat diagnosis kerusakan uretra dengan cepat. Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan besar ini akan mengubah robekan sebagian menjdai robekan lengkap. Untuk robekan yang tak lengkap, pemasukan kateter suprapublik sebagai prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar setengah dari semua robekan tak lengkap akan sembuh dan tak banyak membutuhkan penanganan jangka panjang. Terapi robekan uretra lengkap masih kontroversial. Penjajaran tulang (realignment) primer pada uretra dapat dicapai dengan melakukan sistostomi suprapublik, mengevaluasi hematoma pelvis dan kemudian memasukkan kateter melewati cedera untuk mendrainase kandung kemih. Kalau kandung kemih mengambang tinggi, ini harus direposisi dan diikat dengan penjahitan melalui bagian anterior bawah kapsul prostat, melalui parineum pada kedua sisi uretra bulbar dan difiksasi pada paha dengan plesterealistis. Suatu pendekatan alternatif yang jauh lebih sederhana- adalah melakukan sistostomi secepat mungkin, tidak berusaha mendrainase pelvis atau membedah uretra, dan menangani striktur yang diakibatkan 4-6 bulan kamudian. Metode yang belakangan ini dikontraindikasikan kalau terdapat dislokasi prostat yang hebat atau robekan hebat pada rektum atau leher kandung kemih. Pada kedua metode itu terdapat cukup banyak insidensi ppembentukan striktur, inkontinensia dan impotensi di belakangan hari. TERAPI FRAKTUR Untuk pasien dengan cedera yang sangat berat, fiksasi luar dini adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi perdarahan danmelawan syok (Enners, Cryer dan Miller, 1989). Kalau tidak ada komplikasi

7

yang membahayakan jiwa, terapi pastinya adalah sebagai berikut. Fraktur tipe A fraktur yang sedikit sekali bergeser dan fraktur pelvis yang trisolasi hanya membutuhkan istirahat di tempat tidur, barang kali dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien biasanya nyaman sehingga dapat diperbolehkan menggunakan penopang. Fraktur tipe B Asalkan dapat dipastikan bahwa pergeseran posterior tidak terjadi, cedera buku terbuka dengan celah kurang dari 2,5 cm biasanya dapat diterapi secara memuaskan dengan beristirahat di tempat tidur,; kain gendongan posterior atau korset elastis bermanfaat untuk "menutup buku". Celah yang lebih dari 2,5 cm sring dapat ditutup dengan membaringkan pasien secara miring dan menekan ala osis ilii. Cara yang paling efisien untuk mempertahankan reduksi adalah fiksasi luar dengan pen pada kedua ala osis ilii yang dihubungkan oleh batang anterior; "penutupan buku" juga dapat mengurangi jumlah perdarahan. Penempatan pen lebih mudah dilakukan kalau dua pen sementara mula-mula dimasukkan sehingga merengkuh permukaan medial dan lateral tiap ala osis ilii dan kemudian mengarahkan pen-pen pengikat itu diantara keduanya. Fiksasi internal dengan pemasangan plat pada simfisis harus dilakukan: (1) selama beberapa hari pertama setelah cedera, hanya jika pasien memerlukan laparotomi dan (2) dibelakang hari jika celah itu dapat ditutup dengan metode yang tidak begitu radikal. Pada cedera buku tertutup penggunaan kain gendongan atau korset tidak tepat. Beristirahat di tempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun biasanya memadai, tetapi, kalau perbedaan panjang kaki melebihi 1,5 cm atau terdpat deformitas pelvis yang nyata, rediuksi dengan pen pada satu krista iliaka dapat dicoba dan, kalau berhail, dipertahankan dengan menghubungkan pen-pen itu dengan pen pada sisi yang lain sehingga membentuk fiksator luar. Kerangka fiksasi biasanya diperlukan selama 6-8 minggu tetapi pada stadium yang belakangan, kalau telah nyaman pasien diperbolehkan bangun dan berjalan. Fraktur tipe C Cedera ini adalah yang palinng berbahaya dan paling sulit diterapi. Kemungkinan beberapa atau semua pergeseran vertikal dapat direduksi dengan traksi kerangka yanng dikombinasikan dengan fiksator luar; meskipun demikian, pasien perlu tinggal di tempat tidur sekurang-kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, fraktur-dislokasi dapat direduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu plat secara kompresi dinamis atau lebih. Operasi berbahaya bila dilakukan (bahayanya mencakup perdarahan masif dan infeksi) dan harus dilakukan hanya oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang ini (Matta dan Sancedo, 1989; Leung dkk, 1992). Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi luar mungkin lebih aman, meskipun malposisi mungkin akan meninggalkan nyeri di bagian posterior. Perlu ditekankan bahwa lebih dari 60% fraktur pelvis tidak memerlukan fiksasi. Fraktur pelvis terbuka ditangani dengan fiksasi luar. Kolostomi diversi mungkin diperlukan.

8

Komplikasi di kemudian hari Nyeri sakro-iliaka menetap cukup sring ditemukan setelah fraktur pelvis yang tak stabil dan kadang-kadang mengharuskan dilakukannya artrodesis pada sendi sakro-iliaka. Cedera saraf skiatika biasanya sembuh tetapi kadang-kadang ternyata memerlukan eksplorasi. Cedera uretra yang berat dapat mengakibatkan striktur uretra, inkontinesia atau impotensi.

Fraktur asetabulumFraktur asetabulum terjadi bila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Ini disebabkan oleh pukulan pada sisi tersebut (seperti jatuh dari ketinggian) atau disebabkan oleh pukulan pada bagaian depan lutut, biasanya pada cedera dashboad dimana fermur mungkin juga mengalami fraktur. Fraktur asetabulum menggabungkan kerumitan fraktur pelvis (terutama seringnya cedera jaringan lunak yang menyertai) dengan kerusakan sendi (yaitu, kerusakan kartilago artikular, pembebanan tak sesuai dan osteoprorsis sekunder). Buku klasik tentang masalah ini adalah karya tulis Judet bersaudara dan Letournel (1964). Pola fraktur Terdapat empat tipe utama fraktur asetabulum; meskipun fraktur itu dibedakan berdasarkan dasar anatomis, penting untuk diketahui bahwa tipe-tipe itu juga berbeda dalam kemudahanreduksinya, stabilitasnya setelah reduksi dan prognosis jangka panjangnya. FRAKTUR KOLUMNA ANTERIOR Fraktur berjalan melalui bagian anterior asetabulum yang tipis yang memisahkan segmen diantara spina iliaka anterior inferior dan foramen obturatorius. Ini jarang ditemukan, tidak melibatkan daerah penahanan beban dan prognosisinya baik. FRAKTUR KOLUMNA POSTERIOR Fraktur ini berjalan ke atas dari foramen obturatorious ke dalam insisura iskiadika, memisahkan kolum tulang iskiopublik posterior dan memecahkan bagian disertai dengan dislokasi posterior pinggul dan dapat mencederai saraf skiatika. Terapi lebih mendesak dan biasanya melibatkan fiksasi internal untuk memperoleh kestabilan sendi. FRAKTUR MELINTANG Ini adalah fraktur yang tak kominutif yang berjalan melintang melalui asetabulum dan memisahkan bagian ilium di atasnya dari pubis dan bagian isikium di bawahnya. Fraktur ini biasanya cukup mudah direduksi dan dipertahankan tereduksi. FRAKTUR KOMPLEKS Sebagian besar fraktur asetabulum merupakan cedera kompleks yang merusak segmen anterior atau posterior (atau keduanya)

9

disamping atap atau dinding asetabulum. Tidak ada manfaatnya bila membagi fraktur kompleks ini ke dalam subbagian-bagian, karena pembedahan antara berbagai tipe ini tidak begitu pening dibandingkan kesamaannya. Semuanya mempunyai tanda-tanda berikut (1) cedera bersifat lebih berat (2) permukaan sendi rusak (3) fraktur ini biasanya membutuhkan reduksi lewat operasi dan fiksasi internal dan (4) hasil akhirnya mungkin kurang sempurna. Gambaran klinik Biasanya sudah terdapat cedera berat-baik akibat kecelakaan lalu-lintas atau jatuh dari ketinggian. Fraktur lain sering menyertai dan, mungkin karena cedera-cedera itu lebih jelas, dapat mengalihkan perhatian dari cedera pelvis yang lebih mendesak. Bila femur mengalami fraktur cedera lutut yang berat atau fraktur kalkaneus didiagnosis, pinggul juga harus difoto dengan sinar-X. Pasien mungkin mengalami syok berat, dan komplikasi yang diakibatkan oleh semua fraktur pelvis harus dicari. Pemeriksaan rektum perlu dilakukan. Mungkin terdapat memar di sekitar pinggul dan tungkai dapat bearada berada dalam rotasi internal (kalau pinggul berdislokasi). Upaya menggerakkan pinggul tak boleh dilakukan.pmeriksaan neurologik yang cermat sangat diperlukan, untuk menguji fungsi saraf skiatika, femoris, obturatorius dan saraf pudendal. Sekurang-kurangnya empat foto harus diambil pada semua kasus: foto anteroposterior standar, foto inlet pelvis dan foto oblik dua derajat (untuk memperlihatkan kalumna anterior dan posetorior secara terpisah). Tipe fraktur, tingkat kominusi dan jumlah pergeseran dicatat. CT scan dan reformasi tiga dimensi dapat memperjelas diagnosis. Terapi TERAPI DARURAT hanya terdiri dari pemberantasan syok dan reduksi dislokasi. Traksi kemudain dipasang pada tungkai (10 kg sudah cukup) dan selama 3-4 hari berikutnya keadaan umum pasien diobservasi. Terapi pasti terhadap fraktur ditunda hingga pasien sehat dan fasilitas operasi tersedia secara optimal tetapi penundaan tidak boleh melebihi 7 hari. TERAPI NON-OPERATIF Ditahun-tahun belakangan pendapat ahli telah beralih lebih menyukai terapi lewat operasi untuk fraktur asetabulum yanng bergeser (Matta dan Merrit, 1988). Tetapi, terapi konservatif masih lebih baik dalam situasi tertentu: (1) fraktur asetabulum dengan pergeseran minimal; (2) fraktur dengan pergeserran yang tidak melibatkan segmen penahan beban superomedial pada asetabulum (3) fraktur pada pasien manula, dimana reduksi tertutup tampaknya dapat dilaksanakan; (4) pasien dengan kontraindikasi "media" terhadap terapi operasi (termasuk sepsis lokal). Kominusi terapi operasi, asalkan fasilitasnya memadai dan tersedia tenaga ahli. Matta dan Merrit (1988) telah membuat daftar kriteria tertentu yang harus dipenuhi kalau ingin berhasil dalam terapi konservatif: (1) bila traksi dilepaskan, pinggul terapi harus tetap konguen; (2) bagian penahan beban pada atap

10

asetabulum harus utuh; dan (3) fraktur dinding posterior yang menyertai harus disingkirkan dengan CT. terapi non operasi lebih cocok untuk pasien yang berumur lebih dari 50 tahun daripada untuk remaja dan orang dewasa muda. Kalau terdpat kontraindikasi medis terhadap terapi operasi, diusahakan melakukan reduksi tertutup di bawah anestesi umum. Pada semua pasien yang diterapi secara konservatif, traksi laterallongitudinal, kalau perlu ditambah dengan traksi lateral, dipertahankan selama 6-8 minggu; ini akan membantu mencegah pergeseran fraktur lebih jauh. Selama masa ini, dianjurkan melakukan gerakan pinggul dan latihan. Pasien kemudian diperbolehkan bangun, menggunakan penopang dengan pembebanan yang minimal selama 6 minggu lagi. TERAPI OPERASI Pasien dengan fraktur dinding posterior yanng terisolasi dan dislokasi pada pinggul dapat membutuhkan reduksi terbuka dan stabilisasi dengan segera. Pada kasus yang lain operasi biasanya ditunda selama 4 atau 5 hari. Matta dan Merrit telah menunjukkan hal yanng penting bahawa reduksi terbuka merupakan operasi pada pelvis dan tidak hanya pada mangkuk asetabulum. Pembukaan yang memadai sangat diperlukan, kalau mungkin melalui suatu pendekatan tunggal yang dipilih menurut tipe fraktur. Teknik yang paling bermanfaat diuraikan dalam tulisan yang dibuat oleh Matta dan Merrit. Pernapasan posterolateral dipermudah dengan menggunakan distraktor femur AO dan dengan melakukan osteotomi pada trokanter mayor (Bray, Esser dan Fulkerson, 1991). Hal ini berguna untuk memantau evoked potential somatosensorik selama operasi, untuk menghindari perusakan saraf skiatik (elektroda yang terpisah dibutuhkan untuk cabang popliteal medial dan lateral). Antibiotika profilaksis digunakan, dan setelah operasi secepat mungkin dimulai gerakan pinggul. Pasien diperbolehkan bangun, dengan pembebanan sebagian dengan kruk penopang, setelah 7 hari. Latihan dilanjutkan selama 3-6 bulan; sedangkan untuk memulihkan fungsi secara penuh diperlukan waktu setahun atau lebih. Komplikasi Trombosis vena iliofemoralis cukup sering terjadi dan secara potensial berbahaya. Tetapi diragukan apakah antikoagulasi profilaksasi rutin diperlukan. Cedera saraf skiatika dapat terjadi pada saat fraktur atau selama operasi berikutnya. Tidak perlu ada keaguan menganai prognosis, kecuali kalau saraf ditemukan tanpa cedera selama operasi. Pemantauan somatosensorik intraoperatif dianjurkan sebagai cara untuk mencegah kerusakan saraf yang berbahaya. Bila telah terjadi lesi, sebaiknya menunggu selama 6 minggu untuk mengetahui apakah terdapat tanda penyembuhan. Kalau tidak ada, saraf harus dieksplorasi untuk menetapkan diagnosis dan memastikan bahwa saraf tidak mengalami tekanan. Pembentukan tulang heterotropik sering ditemui setelah cedera jaringan lunak yang hebat dan diseksi pembedahan yang luas. Pada kasus-kasus yang diduga akan mengalami ini, indometasin profilaksasi akan bermanfaat.

11

Nekrosis avaskular pada kaput femoris dapat terjadi sekalipun pinggul tidak berdislokasi sepenuhnya. Keadaanyya mungkin terlewat dari diagnosis karena penafsiran yang keliru pada gambar sinar-X setelah fraktur terimpaksi marginal pada asetabulum (Gruen, Mears dan Tauxe, 1988). Hilangnya gerakan sendi dan osteoartritis sekunder merupakan sekuele yang sering ditemukan setelah fraktur pergeseran pada asetabulum yang melibatkan bagian sendi yang menahan beban. Keadaan ini, pada akhirnya, dapat membutuhkan penggantian sendi. Tetapi, operasi harus ditunda hingga fraktur itu telah berkonsolidasi; implan asetabulum cenderung akan melonggar jika terdapat gerakan segmen inominata.

Cedera pada sakrum dan koksigisPukulan dari belakang, atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sakrum atau koksigis, atau menyebabkan keseleo pada sendi antara keduanya. Wanita tampaknya lebih sering terkena daripada pria. Terjadi memar yanng luas dan nyeri tekan muncul bila sakrum atau koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rektum. Sensai dapat hilang pada distribusi saraf sakratis. Sinar-X memperlihatkan: (1) fraktur melintang pada sakrum yang meski jarang sekali, dapat disertai fragmen bawah terdorong ke depan; (2) fraktur kosigis kadang-kadang disertai fragmen bagian bawah yang menyudut ke depan; atau (3) suatu penampilan normal kalau cedera hanya berupa sprain pada sendi sakrokoksigeal. Kalau fraktur bergeser, sebaiknya dicoba untuk melakukan reduksi. Fragmen bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rektum. Reduksi bersifat stabil, suatu keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk melanjutkan aktivitas normal, tetapi dianjurkan untuk menggunakan suatu cincin karet atau bantalan Scorbo bila duduk. Kadang-kadang, fraktur sakral disertai dengan masalah kencing, sehingga memerlukan laminektomi sakral. Nyeri yang menetap, terutama saat duduk, sering ditemukan setelah cedera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anestetik lokal ke dalam daerah yang nyeri, eksisi koksigis dapat dipertimbangkan.

12