3.Ciri Penelitian Kuantitatif
-
Upload
matthew-savage -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of 3.Ciri Penelitian Kuantitatif
![Page 1: 3.Ciri Penelitian Kuantitatif](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072013/55cf99d3550346d0339f5d59/html5/thumbnails/1.jpg)
Ciri-ciri Utama Penelitian Kuantitatif
Prasetya Irawan
Beberapa ciri penelitian kuantitatif berikut ini mudah-mudahan memperjelas
pemahaman kita tentang penelitian kuantitatif. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Permasalahan penelitian terbatas dan sempit
2. Mengikuti pola berpikir deduktif
3. Mempercayai angka (statistika atau matematika) sebagai
instrumen untuk menjelaskan kebenaran.
4. Membangun validitas internal dan validitas eksternal sebaik
mungkin.
1. Permasalahan Penelitian Terbatas dan Sempit
Sejak awal peneliti kuantitatif telah berusaha membatasi lingkup penelitiannya,
dengan mengidentifikasikan satu atau beberapa variabel saja. Peneliti berusaha keras
untuk memilih variabel yang menurutnya paling penting untuk diteliti. Obsesinya
adalah menemukan sesedikit mungkin variabel, tetapi yang mungkin menjelaskan
realitas kebenaran sebanyak mungkin.
Di kalangan ilmuwan eksakta, dipercayai bahwa alam semesta ini diatur oleh
hukum-hukum yang sederhana. Jika mereka menemukan suatu penjelasan yang
melibatkan banyak variabel, mereka menjadi gelisah, dan merasa ada yang salah.
Misalnya, mereka percaya ada satu hukum "sederhana" yang menyatukan empat
kekuatan besar di alam semesta (interaksi lemah, elektromagnetik, gravitasi, dan
interaksi kuat) dalam satu hukum (mereka menyebutnya "The Grand Unified
Theory").
Jika menggunakan rumus regresi, dikenal satu pemeo "less is more". Maksudnya,
semakin sedikit prediktor (variabel X) semakin baik dan semakin besar kekuatan
memprediksi variabel Y. Pendeknya, menemukan gambaran luas dan umum tentang
sesuatu bukanlah cita-cita peneliti kuantitatif. Tetapi ia memilih satu aspek realitas yang
sangat spesifik dan "kecil" untuk diteliti.
![Page 2: 3.Ciri Penelitian Kuantitatif](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072013/55cf99d3550346d0339f5d59/html5/thumbnails/2.jpg)
2. Mengikuti Pola Berpikir DeduktifSecara umum, pola berpikir deduktif berjalan seperti ini:
Pengamatan Hipotesis Pengumpuian Data
Pengujian Hipotesis Kesimpulan
Albert Einstein percaya betul pada superioritas metode deduktif ini dan
mengatakan (dalam Suriasumantri, 1981)
Tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam. Kegagalan dalam menyadari hal ini merupakan kesalahan dasar filosofis dari banyak sekali peneliti dalam abad 19. Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori datang secara induktif dari pengalaman.
Sekedar untuk diingat, jumlah bab di dalam skripsi/tesis/disertasi pada
umumnya adalah lima. Jumlah bab ini bukan sekedar urusan administrasi, tetapi
merupakan cerminan struktur logis pengembangan sains.
3. Mempercayai Statistika atau Matematika Sebagai Instrumen Untuk Menjelaskan Kebenaran
Ketika suatu saat seseorang mengomentari Albert Einstein tentang teorinya
yang rumit (dalam bentuk hitungan-hitungan matematika) bahwa "itu hanya teori,
tidak ada gunanya bila tidak cocok dengan realitas di lapangan". Einstein menjawab
"Anda benar, hanya observasi yang mampu membimbing kita menuju ke
kebenaran. Saya tidak percaya pada matematika".
Tentu saja kita tak pernah tahu apakah dialog ini benar-benar terjadi. Tapi tak
bisa dipungkiri bahwa semua peneliti kuantitatif (termasuk Einstein) selalu
menggunakan bahasa angka untuk mengungkapkan pikiran-pikiran mereka. David
Hume pernah mengatakan, pemikiran abstrak tanpa kuantitas dan angka adalah
khayalan dan debat kusir belaka (dalam Lawrence, 1989).
Karena tradisi kuantitatif yang sangat kuat inilah, maka peneliti ilmu sosial pun
merasa "kurang ilmiah" jika tidak menjelaskan penemuan-penemuannya dalam bentuk
angka.
Tetapi kadang-kadang hal ini terjadi secara berlebihan. Banyak peneliti ilmu sosial,
misalnya, memaksakan diri menggunakan rumus regresi (y = a+bx) pada hal data yang
![Page 3: 3.Ciri Penelitian Kuantitatif](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072013/55cf99d3550346d0339f5d59/html5/thumbnails/3.jpg)
dia miliki hanya berskala ordinal atau bahkan nominal. Angka yang dihitung pasti
muncul. Tetapi angka-angka dalam rumus itu sebenarnya "statistically nonsense".
4. Membangun Validitas Internal dan Validitas Eksternal Sebaik Mungkin
Menghitung korelasi antara dua variabel adalah mudah. Tetapi meyakinkan bahwa
satu variabel benar-benar membuat variabel yang lain berubah-ubah, ini yang sangat
sulit. Validitas internal tercapai jika peneliti berhasil meyakinkan bahwa variabel Y
benarbenar dipengaruhi oleh variabel X (bukan oleh variabel W,K, atau Q).
Selanjutnya, peneliti berpikir, Apakah temuan saya ini juga berlaku di konteks
lain (selain penelitian yang saya lakukan?) Bila ternyata ya, berlaku, maka peneliti
telah mencapai validitas eksternal. Dalam hal ini, peneliti yang teliti tidak hanya
senang karena dia telah mencapai validitas eksternal dalam penelitiannya. Tetapi dia
juga khawatir terhadap kasus-kasus yang bisa mendiskonfirmasi temuannya.
Maka, sebelum orang lain yang mendiskonfirmasi temuannya, peneliti itu sendiri
mencari kasus-kasus yang berpotensi mendiskonfirmasi temuannya itu.
Dalam hal ini ada beberapa variabel penting yang berpotensi merusak validitas
internal. Variabel-variabel ini (disebut Extraneous Varable) seperti misalnya History,
Maturation, Regression Effect, dan lain-lain) harus dikontrol dengan sebaik-baiknya
oleh peneliti.