31
-
Upload
safran-hasibuan -
Category
Documents
-
view
176 -
download
0
Transcript of 31
PENDIDIKAN ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA GELANDANGAN
(Studi Kasus di Pekojan Kelurahan Jagalan Kecamatan Semarang Tengah)
SKRISI
Diajukan dalam rangka menyelesaikan Studi Strata I
untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Nama : Ika Setyaningsih
Nim : 1214000023
Program Studi : Pendidikan Luar Sekolah S1
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI S E M A R A N G
2 0 0 5
ABSTRAK
Ika Setyaningsih, Nim:1214000023, Fakultas Ilmu Pendidikan, Jurusan
Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Tahun 2005.
Pendidikan Anak di Lingkungan Keluarga Gelandangan (studi kasus di Pekojan
kelurahan Jagalan Kecamatan Semarang Tengah).
Salah satu masalah masyarakat yang sejak dahulu tidak dapat teratasi oleh
pemerintah yaitu adanya “Gelandangan”. Karena meledaknya urbanisasi, kota tidak
mampu menyediakan fasilitas sosial serta lapangan pekerjaan, itu semua awal dari
adanya gelandangan. Gelandangan ini datang ke kota guna untuk mengadu nasib
mereka, padahal rata-rata mereka tidak berbekal pendidikan yang cukup setara dan
mereka juga tidak mempunyai bekal keterampilan yang mereka kuasai. Banyaknya
pengangguran di kota mengakibatkan orang menggelandang sehingga mereka
membuat pemukiman tersendiri dan bertempat tinggal yang dilarang oleh
pemerintah.
Permasalahan yang diteliti yaitu(1)Bagaimana seorang gelandangan tersebut
memandang anaknya(2)Bagaimana pandangan seorang gelandangan terhadap
pendidikan formal anaknya,(3)Upaya apa yang dilakukan gelandangan dalam
mendorong anak memperoleh pendidikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian yaitu
daerah pekojan kelurahan Jagalan Semarang Tengah. Fokus penelitian pada
bagaimana pandangan gelandangan terhadap anak mereka, pendidikan formal anak
mereka beserta upaya apa yang dilakukan oleh gelandangan dalam pendidikan anak
mereka. Data diperoleh dari sumber data berupa subjek penelitian yang terdiri dari 5
keluarga yang semuanya ada 11 subjek, semua kepala keluarga bekerja sebagai
pemulung. Melalui metode pengamatan langsung, metode wawancara dan metode
dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gelandangan memandang anak memang
mempunyai segi ekonomi itu setelah anak tersebut sudah cukup umur dan
mempunyai bekal pendidikan yang cukup, gelandangan tidak menginginkan anak
mereka yang masih kecil untuk bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah,
gelandangan menginginkan anak yang masih kecil diberi kebebasan untuk menikmati
masa kanak-kanak mereka. Gelandangan juga memandang pendidikan anak sangat
penting, terbukti dengan salah satu dari subjek atau dari anak gelandangan tersebut
yang sudah dapat menyelesaikan di bangku sekolah teknik menengah. Upaya
gelandangan dalam mendorong anak memperoleh pendidikan dengan jalan bekerja
keras serta menyekolahkan anak mereka ke desa yang mereka anggap lebih baik
lingkungan dan pergaulannya.
Kesimpulannya gelandangan memandang anak sebagai penerus generasi dan
dapat membantu orang tua dalam mencari nafkah nantinya, pada intinya anak
merupakan investasi orang tua di hari tua. Dengan begitu anak harus memiliki
pengetahuan yang luas baik dengan pendidikan formal maupun pendidikan non
formal bila anak mereka sudah besar nantinya. Gelandangan juga harus mendorong
anaknya untuk memperoleh pendidikan salah satu caranya yaitu gelandangan jangan
malas bekerja
PENGESAHAN
Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang.
Pada hari : Jumat
Tanggal : 11 Februari 2005
Ketua Sekretaris
Drs. Siswanto Drs. Sawa Suryana, M.Pd. NIP. 130515769 NIP. 131413302
Penguji I Penguji II
Drs. Zudindarto, Bd.H. Dr. Tri Joko Raharjo, M.Pd. NIP. 130345749 NIP. 131485011
Penguji III
Drs. Achmad Rifai, RC. M.Pd. NIP. 131413232
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Dibalik kekalahan, kesusahan, pasti ada arti tersendiri. Jadi terimalah sesuatu dengan
ikhlas dan tak lupa bersyukur kepada-Nya.
Seseorang yang melakukan seribu kali kesalahan pasti seseorang tersebut pernah
melakukan kebaikan.
Kupersembahkan.
• Ayah dan Ibu tercinta
• Adikku Santo dan Tiyan
• Keluarga besar Bpk Jamin yang memotivasi aku selama ini
• Sahabatku Ani (mami) yang selama ini ikut memotivasi aku
• Almamaterku tercinta UNNES
KATA PENGANTAR
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh
gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Semarang. Dalam pembuatan skripsi
ini tidak lepas dari kendala dan kesulitan bila tanpa bimbingan, saran dan dukungan
serta bantuan dari semua pihak yang berkaitan dengan penyusunan skripsi ini. Oleh
karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya pada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Drs. Siswanto yang telah memberikan ijin
penelitian ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Drs. Ahcmad Rifai RC, M. Pd yang
telah memberikan wacana keilmuan untuk penambahan wawasan kepada kami.
3. Dr. Tri Joko Raharjo, M.Pd. selaku dosen pembimbing I, yang telah tulus,
ikhlas serta tidak henti-hentinya memberikan motivasi, membimbingan dan
pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.
4. Drs. Ahcmad Rifai RC, M.Pd. selaku dosen pembimbing II, yang telah tulus
ikhlas serta tidak henti-hentinya memberikan motivasi, membimbingan dan
pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Kepala Kelurahan Jagalan Semarang Tengah yang telah memberikan ijin
penelitian.
6. Kepada semua pihak yang telah membantu semoga Tuhan Yang Maha Kuasa
selalu melimpahkan berkat dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari adanya keterbatasan kemampuan dalam penyusunan skripsi
ini, sehingga penulis harapkan adanya sumbang dan saran yang konstruktif demi
perbaikan skripsi ini serta penelitian lanjutan sangat diharapkan.
Semarang, 2005
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................... ii
PERSETUJUAN .......................................................................................... iii
PENGESAHAN ........................................................................................... iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Permasalahan ........................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 6
BABII KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan ............................................................................ 8
1. Pengertian Pendidikan .................................................... 8
2. Ruang Lingkup Pendidikan ............................................ 9
a. Pendidikan Informal ................................................. 10
b. Pendidikan Formal ................................................... 10
c. Pendidikan Non Formal ........................................... 10
B. Pendidikan Anak .................................................................. 11
C. Pengertian Lingkungan ........................................................ 12
1. Lingkungan Budaya ....................................................... 13
2. Lingkungan Fisik ........................................................... 13
3. Lingkungan Sosial .......................................................... 13
4. Lingkungan Bermain Anak ……………………………. 14
D. Pendidikan Keluarga ............................................................ 14
Unsur-unsur Pendidikan Keluarga
1. Pemupukan Rasa Tanggung Jawab ................................ 15
2. Pemberian kebebasan pada Batas-batas tertentu ............ 15
3. Dorongan Keberanian yang Diberikan Kepada
Anaknya Untuk Dapat Berbuat Sesuatu yang Positif .... 15
E. Gelandangan ......................................................................... 18
1. Pengertian Gelandangan ................................................. 18
2. Karakteristik Gelandangan ............................................. 22
a. Gelandangan yang masih berhubungan
dengan masyarakat normal ...................................... 22
b. Gelandangan berkelompok dan mempunyai
Organisasi tertutup dan tegar. .......................................... 22
c. Gelandangan yang tidak mempunyai kelompok ...... 22
d. Gelandangan Tidak Mau Tatap Muka ...................... 22
3. Mengapa Menggelandang .............................................. 23
BABIII METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian .......................................................... 26
2. Lokasi Penelitian .................................................................. 26
3. Fokus Penelitian ................................................................... 27
a. Anak .............................................................................. 27
b. Pendidikan Formal Anak .............................................. 27
c. Upaya Orang Tua Dalam Memotivasi Anak ................ 27
4. Tahap-tahap Penelitian ......................................................... 27
a. Tahap Pra Lapangan ....................................................... 27
b. Tahap Penelitian/Pelaksanaan ........................................ 28
c. Tahap Akhir Penelitian .................................................. 29
5. Sumber Data ......................................................................... 29
6. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 31
a. Teknik Pengamatan ........................................................ 31
b. Teknik Wawancara ......................................................... 31
c. Teknik Dokumentasi ...................................................... 32
7. Kriteria Data Teknik Keabsahan Data ................................. 32
8. Teknik Analisis Data ............................................................ 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Gelandangan di Kota Semarang ............. 35
B. Gambaran Umum Daerah Penelitian ................................... 38
1. Letak dan Luas Kelurahan Jagalan ................................ 38
2. Sejarah Terjadinya Pemukiman Gelandangan ............... 38
3. Kependudukan ................................................................ 39
4. Tingkat Pendidikan ........................................................ 39
5. Jumlah Penduduk Menurut Agama…………………… 40
6. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ………. 40
C. Hasil Penelitian ..................................................................... 41
D. Pembahasan .......................................................................... 54
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................
A. Simpulan .............................................................................. 69
B. Saran ..................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran hasil wawancara
2. Lampiran surat ijin penelitian dari Pemerintah Kota
3. Lampiran foto dari hasil wawancara.
4. Lampiran peta daerah penelitian atau wilayah kelurahan Jagalan
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar wawancara dengan informan pertama…………………… 44
2. Gambar wawancara dengan informan kedua………………………48
3. Gambar wawancara dengan informan ketiga………………………50
4. Gambar wawancara dengan informan keempat……………………54
5. Gambar wawancara dengan informan kelima……………………...56
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan moderen, Indonesia telah berkembang dengan pesat.
Beberapa fasilitas infra struktur, seperti gedung, jalan bebas hambatan, jalan raya
dan taman, telah dibangun dengan mantap dan indah. Akan tetapi hal tersebut
mengalami hambatan bagi bangsa Indonesia yang dalam tahap berkembang,
hambatan tersebut dimulai sejak adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan
sehingga bangsa Indonesia pada masa sekarang masih menghadapi pemasalahan
yang cukup kompleks, meliputi aspek politik, ekonomi, budaya, pendidikan serta
sosial
Minimnya Pendidikan Formal masyarakat Indonesia merupakan suatu
hambatan bagi bangsa Indonesia untuk berkembang maju. Berdampak negatif
terhadap keluarga tidak mampu atau keluarga golongan bawah. Dampak negatif
tersebut antara lain kemampuan keluarga dalam membiayai sekolah anaknya.
Bagi keluarga gelandangan, permasalahan yang dialami itu bersifat multi
demensional sehingga mengakibatkan kehidupannya semakin terpuruk.
Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial
budaya yang menarik. Gejala sosial ini kebanyakan dikaitkan dengan
perkembangan lingkungan perkotaan, karena didaerah kota sampai saat ini relatif
masih membutuhkan tenaga yang murah, kasar dan tidak terdidik dalam
mendukung proses perkembangannya.
Kondisi semacam ini membuktikan bahwa semakin kuatnya dikotomi antara
kehidupan yang "resmi" kota dan kehidupan lain yang berbeda atau
berseberangan dengan kontruksi kehidupan yang resmi tersebut. Pada
kenyataannya Indonesia pada saat ini merupakan salah satu negara sedang
berkembang yang ketinggalan jauh dibandingkan dengan negara lainnya, seperti
Jepang, Korea, Cina, Malaysia dsb. Keterbelakangan itu menyangkut di bidang
ekonomi, teknologi maupun bidang pendidikan. Guna menanggula-ngi hal
tersebut khususnya dibidang pendidikan, pemerintah berupaya mengadakan atau
lebih menekankan program Pendidikaa Wajib Belajar 9 Tahun. Karena kita
sadari pendidikan diajarkan sejak anak masih kecil, jadi bahwasannya anak
adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu mendapatkan
pendidikan yang layak serendah-rendahnya setingkat SLTP sebagai bekal yang
berguna bagi masa depannya kelak, di samping itu anak dapat menikamati masa
kecilnya secara wajar dalam lingkup pergaulan yang layak. Hal ini perlu
diperhatikan agar anak dapat tumbuh dan mengembangkan kepribadianya seiring
dengan bertambahnya usia sampai berusia 16 tahun. Program tersebut
berlangsung dari tahun 1990. Program Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun yaitu
setiap anak minimal harus memiiki ijazah sampai Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) bukan hanya sekedar sampai bangku sekolah dasar.
Kenyataanya program tersebut hanya dapat dinikmati atau dilaksanakan
pada masayarakat golongan keluarga yang mampu, lain halnya dengan keluarga
yang tidak mampu (keluarga gelandangan), bagi mereka untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja mereka sudah kurang, apalagi harus untuk
memikirkan biaya akan pendidikan bagi anaknya. Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan negara kita semakin terbelakang, karena Sumber Daya Manusia
(SDM) yang rendah itu menjadi salah satu faktor utama mengakibatkan kita
terpuruk. Keterpurukan itu berdampak negatif pada masyarakat, misal semakin
sulitnya seseorang mencari suatu pekerjaan, karena semakin sempit serta
semakin sedikitnya lapangan kerja yang ada sehingga rakyat sebagian hidup
dalam keadaan yang tidak memiliki daya, sehingga menjadi suatu penyakit
masyarakat yaitu Gelandangan.
Masalah gelandangan merupakan salah satu dari penyakit masyarakat yang
dari dahulu tidak dapat ditemukan jalan keluarnya. Contoh dari masalah itu
misalnya pemerintah sudah berupaya mengentaskan gelandangan tersebut dari
keadaan. Kenyataannya keadaan itu akan kembali lagi seperti semula. Masalah
tersebut akan terselesaikan apabila si gelandangan serta pemerintah berupaya
penuh akan pengentasan kemiskinan tersebut.
Masalah ini berkaitan erat dengan beberapa faktor penyebab gelandangan
yang paling dominan antara lain:
1. Kemiskinan
Kemiskinan baik kemiskinan kelembagaan maupun kemiskinan pribadi.
2. Lingkungan
Lingkungan juga merupakan salah satu faktor terjadinya gelandangan.
Yang paling utama dalam masalah ini adalah gelandangan yang sudah
mempunyai keluarga serta mempunyai anak. Dari sinilah sudah tampak baik
secara langsung maupun tidak langsung adanya "regenerasi" dari gelandangan itu
sendiri.
Umumnya keluarga gelandangan, khususnya orang tua tidak memikirkan
pendidikan anaknya dengan alasan kondisi miskin yang menimpa keluarga
tersebut. Orang tua tidak dapat memberikan bimbingan pada anak-anaknya,
padahal pendidikan serta bimbingan orang tua atau orang dewasa yang berada di
sekitar anak itu sangat dibutuhkan oleh anak pada usia pertumbuhan dan
perkembangan dalam hidup ini. Data tersebut merupakan gambaran umum, akan
tetapi juga banyak anak dari keluarga gelandangan yang dapat merasakan bangku
sekolahan.
Pengamatan peneliti selama ini menunjukkan bahwa peran orang tua sangat
dominan dalam pendidikan bagi anak. Lingkungan keluarga adalah lingkungan
yang berperan terhadap perkembangan diri pribadi anak. Di samping itu
kesadaran dalam diri anak untuk tetap bersekolah minimal sampai tingkat
pendidikan lanjutan pertama masih kurang.
Masyarakat golongan kurang mampu (gelandangan), pada dasarnya
gelandangan masih memiliki ketangguhan dan ketrampilan dasar, hanya karena
sebab-sebab yang unik mereka tidak dapat hidup dan berkehidupan sebagai
masyarakat yang pada umunya. Sebenarnya anak dari keluarga gelandangan
membutuhkan dunia bermain maupun belajar di bangku sekolah. Umumnya
banyak anak dari keluarga gelandangan yang tidak dapat mengenyam bangku
sekolah serta mendapatkan bimbingan dari orang tua mereka dapat dilihat
diberbagai tempat seperti halnya di traffic light disitu dapat dilihat banyak anak-
anak yang berkeliaran pada jam-jam dimana semestinya anak-anak sekolah,
disisi lain ada juga sebagian yang dari keluarga gelandangan yang anaknya dapat
sekolah. Anak-anak dari keluarga gelandangan pada umumnya malah harus
berfikir bahwa yang penting ialah untuk segera dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya yakni pangan, sandang serta papan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, masalah yang akan peneliti angkat
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pandangan orang tua (gelandangan) terhadap anak?
2. Bagaimana pandangan orang tua (gelandangan) terhadap pendidikan anak?
3. Upaya apa yang dilakukan oleh orang tua (gelandangan) dalam mendorong
anak untuk memperoleh pendidikan?
Selama ini, 10 dari anak seorang gelandangan hanya 2/3 yang bersekolah,
maka dari itulah peneliti ingin mengetahui akan peran orang tua terhadap
pandangan maupun peran serta pendidikan anaknya. Anak yang sudah mengenal
akan pergaulan yang tidak semestinya dalam kategori yang negatif, maka mereka
akan sulit menerima pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Seharusnya keadaan seperti ini sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah
Daerah guna perencanaan perkembangan suatu kota agar perkembangan yang
dicapai benar- benar berhasil. Masalah yang timbul dalam penelitian ini yaitu
"Bagaimana keluarga gelandangan menyikapi akan pentingnya pendidikan
formal anak". Penelitian ini dititik pusatkan di Jl Raya Pekojan Johar, Kelurahan
Njagalan Semarang Tengah, Jawa Tengah.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk :
1. Secara Umum
Mengetahui kehidupan sehari-hari dari gelandangan beserta anak-anak
mereka, disini dilihat dari bagaimana gelandangan tersebut memenuhi
kebutuhan hidup yang meliputi pendapatan dan pendidikan anak mereka.
2. Secara Khusus.
a. Mengetahui pandangan gelandangan terhadap anak mereka
b. Mengetahui cara pandang gelandangan terhadap pendidikan anak
mereka.
c. Mengetahui upaya apa yang dilakukan oleh gelandangan dalam
mendorong anak mereka untuk memperoleh pendidikan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat mempunyai beberapa manfaat yang antara lainnya:
1. Manfaat Teoritis:
Memberikan tambahan kajian pengetahuan tentang suatu gejala sosial
kehidupan gelandangan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis ini ada dua manfaat yang pertama: dapat memberikan
manfaat bagi pemerintah setempat yang berupa suatu gambaran untuk
perencanaan pembangunan kota serta guna menyukseskan Peadidikan Wajib
Belajar 9 Tahun. Manfaat yang kedua yaitu dapat memberikan manfaat bagi
keluarga gelandangan dalam mendidik anak.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan
1. Pengertian pendidikan
Pandangan umum tentang arti pendidikan yaitu suatu ilmu, itu
merupakan pandangan masyarakat sebagian besar, atau sering juga yang
mengartikan pendidikan merupakan kegiatan yang disengaja atau dilakukan
dengan sadar yang dilakukan oleh seseorang. Sedikit dari pengertian umum
pendidikan dapat kita jadikan suatu titik nilai yang dasar dalam arti
pendidikan. Secara Umum dan mendasar Driyakarya mengatakan bahwa :
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan
manusia ke taraf insani itulah disebut mendidik. Pendidikan ialah
pemanusiaan manusia muda (Dirjen Dikti, 1983/1984 :19).
Pengertian dalam Dictionary Of Education menyebutkan bahwa
pendidikan ialah proses seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan
bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat ia hidup, proses
sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan
kemampuan individu yang optimal (Dirjen Dikti, 1983/1984 :19).
Ki Hajar Dewantara dalam kongres Taman Siswa yang pertama pada
tahun 1930 menyebutkan : pendidikan pada umumnya berarti daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelek), dan tubuh anak, dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-
pisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
dunianya.
GBHN Tahun 1973 disebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di
dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Dari uraian di atas,
maka pendidikan dapat diartikan sebagai:
a. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan.
b. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan pada anak dalam
pertumbuhannya.
c. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu
yang dikehendaki oleh masyarakat
d. Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju
kedewasaan.
2. Ruang Lingkup Pendidikan
Ketetapan MPR No. II / MPR / 1993, tentang GBHN dinyatakan
bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam
lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan adalah
tanggung jawab bersama antara keluarga masyarakat dan pemerintah.
a) Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang
di rumah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan ini berlangsung tanpa
organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat atau ditunjuk
sebagai pendidik, tanpa suatu program yang harus diselesaikan dalam
jangka waktu tertentu, tanpa evaluasi yang formal berbentuk tujuan.
Demikian pendidikan informal ini sangat penting bagi pembentukan
pribadi seseorang.
b). Pendidikan formal
Formal terdapat kata form atau bentuk. Pendidikan formal ialah
pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu, seperti
terdapat di sekolah atau universitas yang mencakup adanya perjenjangan,
program atau bahan pelajaran untuk setiap jenis sekolah, cara atau
metode mengajar di sekolah juga formal, yaitu mengikuti pola tertentu,
penerimaan murid, homogenitas murid, jangka waktu, kewajiban belajar,
penyelenggaraan, waktu belajar dan uniformitas.
c). Pendidikan non formal.
Pendidikan non formal meliputi berbagai usaha khusus yang
diselenggarakan secara terorganisasi terutama generasi muda dan juga
dewasa yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak
berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah dapat memiliki
pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar.
Uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup
pendidikan meliputi:
(a) Pendidikan Informal
(b) Pendidikan Formal
(c) Pendidikan Non formal
B. Pendidikan Anak
Anak adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu
mendapatkan pendidikan yang layak serendah- rendahnya setingkat Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) seperti yang dianjurkan pemerintah yaitu
Wajib Belajar 9 tahun. Pendidikan sebagai bekal yang berguna bagi masa
depannya kelak, disamping itu anak dapat menikmati masa kecilnya secara wajar
dalam lingkungan pergaulan yang baik.
Menurut Siti Rahayu Haditono cara pendidikan yang represif misalnya
cara mendidik anak dengan banyak memberikan tugas dan tututan yang dianggap
perlu bagi anak tersebut, tidak menguntungkan karena tidak bertitik tolak pada
individualitas anak hingga lalu bersifat menekan/represif (1987:150).
Kenyataannya kepentingan individu tidak selalu sesuai dengan kepentingan
masyarakat. Tetapi dalam mendidik/pendidikan anak itu memang tidaklah mudah
karena dalam hal ini agar mencapai hasil yang baik terhadap diri sang anak harus
diperhatikan atau disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak.
Ahli anak terkemuka Markum, mengatakan "Siapapun dapat mengasuh
anak secara berhasil asalkan mengerti betul tahap-tahap dan tugas-tugas
perkembangan, sehingga dalam masing-masing tugas perkembangan dapat diajak
maju dan dipacu mencapai perkembangan yang optimal"(Paulus Mujiran,
2002:38). Kita juga harus memperhatikan akan tujuan Pendidikan itu sendiri,
yang kita tetapkan sekarang : Kita senang, apabila anak-anak itu telah berdiri
sendiri secara lain pula : jika itu mereka telah belajar berfikir sendiri, berichtiar
sendiri dan berbuat sendiri (Sugarda Purbakawatja, 1970:16). Dari situlah kita
dapat melihat akan sedikit berhasil langkah yang kita tempuh dalam
pendidikan/mendidik anak. Langkah tersebut belum dapat sepenuhnya dikatakan
berhasil.
C. Pengertian lingkungan
Lingkungan dalam pengertian umum, berarti situasi di sekitar kita. Dalam
lapangan pendidikan, arti lingkungan itu luas sekali, yaitu segala sesuatu yang
berada di luar diri anak, dalam alam semesta kita. Lingkungan ini mengitari
manusia sejak manusia dilahirkan sampai dengan meninggalnya. Antara
lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, artinya lingkungan
mempengaruhi manusia, dan sebaliknya, manusia juga mempengaruhi
lingkungan di sekitamya. Lingkungan tempat anak mendapatkan pendidikan
disebut dengan lingkungan pendidikan
Supaya tidak menimbulkan salah pengertian, lingkungan sering pula
disebut sebagai faktor dalam. Lingkungan sering pula disebut dengan : Milieu,
envioronment. (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001:64) Sejak anak lahir di
dunia, anak secara langsung berhadapan dengan lingkungan yang ada di
sekitarnya. Lingkungan yang dihadapi anak, pada pokoknya dapat
dibedakan/dikelompokkan sebagai berikut:
1. Lingkungan Budaya
Lingkungan yang berwujud : kesusasteraan, kesenian, ilmu
pengetahuan, adat istiadat, dan lain-lainnya. Dalam keluarga, akan kita
temukan buku-buku : buku bacaan, buku ilmu pengetahuan dan mungkin juga
dapat kita temukan benda-benda seni, seperti : hiasan dinding yang berwujud
wayang kulit, kain tenun, anyam-anyaman, yang semuanya itu dapat
mempengaruhi jiwa anak, baik karena dari melihat orang-orang dewasa
sekitarnya memanfaatkan benda-benda itu sendiri : pengaruh itu diterima
anak.
2. Lingkungan fisik
Lingkungan alam sekitar anak, yang meliputi jenis tumbuh-
tumbuhan, hewan, keadaan tanah, rumah, jenis makanan, benda gas, benda
cair, dan juga benda padat.
3. Lingkungan sosial
Lingkungan ini meliputi bentuk hubungan antara manusia satu dengan
yang lainnya, maka sering pula disebut lingkungan yang berwujud manusia
dan hubungannya dengan atau antara manusia di sekitar anak. Termasuk di
dalamnya adalah : sikap atau tingkah laku antara manusia, tingkah laku ayah,
ibu, anggota keluarga yang lain, tetangga, teman.
Keluarga merupakan miniatur dan pada masyarakat dan
kehidupannya, maka pengenalannya, maka pengenalan kehidupan keluarga
sedikit atau banyak pasti akan memberi warna pada pandangan anak terhadap
hidup bermasyarakat. Dan juga corak kehidupan pergaulan di dalam keluarga
akan ikut menentukan atau mempengaruhi perkembangan diri anak. (Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001:65 - 66)
4. Lingkungan Bermain Anak
Anak dalam perkembangan menuju kedewasaan akan mengalami
pergaulan secara luas dan umum dalam lingkungan tempat tinggalnya, baik
dengan teman sebaya maupun dengan orang yang lebih tua. Pergaulan atau
yang lebih dikenal dengan sosialisasi merupakan lapangan pendahuluan
pendidikan.
D. Pendidikan Keluarga
Ayat 4 pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional; pendidikan keluarga merupakan
bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga
dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan
ketrampilan.
Pendidikan keluarga termasuk pendidikan informal karena pendidikan
informal adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman
sehari-hari dengan sadar ataupun tidak.
Unsur-unsur Pendidikan Keluarga
Unsur-unsur pendidikan dalam keluarga sebagaimana ditulis oleh Thamrin
Nasution dan Nurhiljah Nasution dalam Sungaripan (2000 : 9-10) adalah:
1. Pemupukan rasa tanggung jawab
Orang tua yang selalu menanamkan tanggung jawab pada anak dalam
melaksanakan suatu tindakan / pekerjaan akan mendorong anak untuk berhati-
hati dalam bertindak dan akan membentuk watak anak untuk berani
mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatannya
2. Pemberian kebebasan pada batas-batas tertentu
Kebebasan yang diberikan kepada anak di sini adalah suatu kebebasan yang
tidak melebihi batas-batas normatif, suatu kebebasan anak yang masih dalam
pantauan orang tua.
3. Dorongan keberanian yang diberikan kepada anaknya untuk dapat berbuat
sesuatu yang positif.
Dorongan semangat (support) merupakan suatu yang penting, begitu
pentingnya aspek ini sehingga jika tidak ada akan menyebabkan perilaku anak
yang salah.
Pendidikan keluarga banyak pengertiannya serta banyak para ahli yang
berpendapat. Menurut Langeveled Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam
usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah
usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa
dengan anak/yang belum dewasa.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan yang sebenanya itu
berlaku di dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak. Anak
merupakan mahkluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan penting
sekali karena mulai sejak bayi belum dapat berbuat sesuatu untuk kepentingan
dirinya, baik untuk mempertahankan hidup maupun merawat diri, semua
kebutuhan tergantung pada ibu/orang tua.
Setelah uraian pengertian Pendidikan, selanjutnya pengertian keluarga
menurut Cooley (Diknas,1980:4) Suatu kesatuan hidup yang anggota-
anggotanya mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan tujuan kesatuan
kelompok dengan rasa cinta kasih. Maksudnya dalam mencapai tujuan
kelompok dengan memperhatikan hak masing-masing anggota dan kemampuan
masing-masing anggotanya. Anggota-anggotanya berkewajiban tolong-
menolong.
Berdasarkan arti atau batasan mengenai bimbingan dan keluarga tersebut,
maka pengertian mengenai bimbingan keluarga adalah : bantuan yang
diberikan kepada keluarga untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab
anggota keluarga serta memberikan pengetahuan dan ketrampilan demi
terlaksananya usaha kesejahteraan keluarga.
Menurut pendapat Bapak Pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara
(1939:71) mengenai pendidikan keluarga, bahwa dalam keluarga adalah "yang
pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adab kemanusiaan
sampai kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi
pekerti dari tiap-tiap manusia". Dan dilanjutkan mulai kecil hingga dewasa
anak-anak hidup ditengah keluarganya. Pendidikan keluarga merupakan usaha
pendidikan yang terpenting, sebab sudah dimulai, sejak manusia itu lahir dan
berada dalam lingkungan keluarganya, bahkan dapat dimulai sejak manusia
dalam kandungannya, karena keluarga merupakan komunitas pertama yang
mempengaruhi terhadap anak itu sendiri.
Menurut Suryohadiprojo, (1987:96-97) mengatakan bahwa di dalam
lingkungan keluarga juga dapat dilakukan ketiga aspek pendidikan yaitu
pendidikan mental, pendidikan fisik, dan intelektual dalam intensitas yang
cukup besar. Tetapi biasanya ketiga aspek tersebut sulit bisa berjalan sama
imbangnya dalam kehidupan pada era sekarang, ketiga aspek tersebut akan
berhasil bila lingkunganpun mendukung.
Sebuah keluarga yang paling berperan dalam pendidikan keluarga disini
ialah para orang tua lalu dibantu oleh orang dewasa yang berkewajiban dan
bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak yang berada di bawah
asuhannya. Para orang tua sebelumnya harus mempunyai niat keras untuk
mendidik anaknya untuk lebih maju dalam kehidupannya dibandingkan dengan
kehidupan orang tua sebelumnya, karena niat tersebut merupakan suatu
motivasi tersendiri dalam mendidik dan membina anak-anaknya, bila orang tua
tersebut sudah mempunyai motivasi maka dengan sendirinya akan timbul rasa
kasih sayang atau hubungan lahir batin, emosional-nasional yang bersumber
dari kekuatan Tuhan YME. Melalui rasa kasih sayang itu para orang tua
membimbing anak-anaknya, dengan memberikan pandangan tentang
kehidupan yang sudah dimulai sejak anak masih kecil (Suryohadiprojo, 1987
:97).
Sejalan dengan dua pendapat para ahli tersebut di atas, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional, di dalam pasal 13 ayat 4, disebutkan bahwa Pendidikan Luar Sekolah
meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang
sejenisnya. Kemudian pasal 10 ayat 4 berbunyi : Pendidikan keluarga
merupakan bagian dari jalur Pendidikan Luar Sekolah yang diselenggarakan
dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral
dan ketrampilan.
E. Gelandangan
1. Pengertian gelandangan
Gaya hidup pemulung jalanan atau sering disebut gelandangan sering
dianggap negatif dan kehadiran mereka dipandang sebagai suatu perma-salahan
sosial masyarakat kota. Pemerintah cenderung menyalahkan gelandangan atau
orang jalanan apabila terjadi masalah kekumuhan lingkungan kota dan
kekurang keindahan kota. Disamping itu, "kondisi hidup tidak pasti" mereka
dianggap mengurangi kenyamanan hidup masyarakat kota. Penggambaran
Murray tentang "Mitos Marginalitas" dalam kasus orang luar dan penghuni
kampung relatif cocok untuk memberi ilustrasi tentang stereotipe sebagian
besar masyarakat terhadap kelompok pemulung jalanan (Y. Argo
Twikromo,1999:5)
Kehidupan sehari-hari dikampung adalah strategi untuk bertahan hidup,
berlawanan dengan "mitos marginalitas" yang dari sudut pandang orang luar
dalam menggambarkan orang-orang, ini sebagian masa marginal yang
melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan, dan sebagai lingkungan
luar, kejam, dan kota......sumber pelacuran, kejahatan, dan ketidak amanan
"(Murray, 1994:18)
Pengertian gelandangan dalam buku yang berjudul gelandangan, LP3ES
menurut Wirosardjono (1998 : 66) adalah fenomena kemiskinan
sosial,ekonomi dan budaya yang dialami sebagai amat kecil penduduk kota
besar hingga menempatkan mereka pada lapisan sosial paling bawah
dimasyarakat kota. Walaupun mereka bekerja lebih keras, punya kegiatan
tertentu yang teratur dan pendapatan yang mendukung daya tahan mereka tetap
tinggal dikota, tetapi cara hidup, nilai dan norma kehidupan mereka dianggap
"menyimpang" dari nilai yang diterima masyarakat banyak.
Umumnya golongan masyarakat kurang beruntung seringkali dianggap
pemalas, kotor, dan tidak dapat dipercaya, hal ini teryata tidak selalu benar.
Kenyataannya, mereka mempunyai pekerjaan yang relatif tetap, misalnya
mencari puntung rokok, barang bekas (pemulung), kuli kasar, kuli pelabuhan,
dan sebagainya; mereka bekerja cukup keras dan tidak malas.
Sadli (1988:125) mengatakan bahwasanya gelandangan pada
kenyataannya tidak mempunyai tempat tinggal yang pasti atau tetap;tidak
mempunyai penghasilan yang tetap;tidak mengetahui apa yang akan
dimakan untuk hari ini; tidak dapat merencanakan hari depan dirinya
ataupun anak-anaknya; tidak dapat memberikan bimbingan kepada anak-
anak yang mereka lahirkan bukan yang dibawah asuhannya, yakni
sesuatu yang dibutuhkan oleh seseorang anak sebagai makhluk yang
masih dalam usia perkembangan tertentu di dalam proses sosialisasinya.
Kedua pengertian tersebut mengandung maksud bahwa gelandangan
adalah orang yang tidak tentu tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan arah tujuan
kegiatannya. Pengertian ini sebenarnya kurang menggambarkan kenyataan
yang ada karena kaum gelandangan sebenarnya relatif tetap dan tujuan
kegiatan yang jelas dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya salah satu
pengertian yang diberikan Muttalib dan Sudjarwo (1984:18), gelandangan
mengandung pengertian sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh
masyarakat, orang yaag disingkirkan dari kehidupan khayalak ramai, dan
merupakan cara hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan.
Menurut Sadli (1988: 131), mengemukkan bahwasannya lingkungan
keluarga yang ditandai oleh kondisi kemiskinan menghasilkan masalah anak
gelandangan. Proses sosialisasi yang berlangsung dalam lingkungan yang serba
"tidak" menyebabkan beberapa ciri khas pada anak-anak mereka.
Berbeda dengan (Rahardjo, 1988:143) "Gelandangan bukannya berasal
dari orang-orang atau keluarga gelandangan pada akhirnya bisa mengatasi
masalah mencari kerja". Mereka mencari kerja musiman, dan tidak mempunyai
tempat tinggal dan tak berhasil mendapatkan pekerjaan yang tetap, atau mereka
kemudian membuat pemukiman- pemukiman liar di kota-kota besar. Sebagian
dari mereka kemudian memilih "Pekerjaan" dengan jalan meminta-minta,
mencari barang, bekas, mengais sampah, mencopet, menjadi tukang parkir liar,
bergabung dengan kelompok-kelompok yang berbuat kejahatan, menjadi
"Penjaga keamanan" informal dengan memungut "iuran" gelap untuk tidak
melakukan kejahatan, menjadi pelacur liar dan sebagainya.
2. Karakteristik gelandangan
Lingkungan keluarga yang ditandai oleh kondisi kemiskinan
menghasilkan masalah anak gelandangan. Laporan dari penampungan anak-
anak gelandangan di daerah RS. Fatmawati, Jakarta Selatan : ciri secara umum
akan anak gelandangan ditinjau dari segi psikologis adalah :
a. Anak-anak ini lekas tersinggung perasaannya.
b. Anak-anak ini lekas putus asa dan cepat mutung, kemudian nekad tanpa
dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya.
c. Tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya mereka menginginkan
kasih sayang.
d. Anak-anak ini biasanya tidak mau tatap muka, dalam arti bila mereka
diajak bicara, tidak mau melihat orang lain secara terbuka.
e. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak mereka
sangat labil.
f. Mereka memiliki suatu ketrampilan, namun ketrampilan ini tidak sesuai
bila diukur dengan ukuran normatif kita.
Menurut pengertian dari Biro Pusat Statistik (BPS) dalam sensus
penduduk tahun 1980, bahwa gelandangan hanya terbatas pada mereka yang
memiliki tempat tinggal di dalam kehidupan rumah tangga (RT) dan kawasan
pemukiman liar yang ada, seperti di emper-emper toko, pasar, stasiun kereta
api, terminal bis, dibawah jembatan, dan tempat lainnya. Sedangkan pengertian
gelandangan menurut sensus penduduk tahun 1961 dan 1971, definisi
operasional dari gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat
tinggal "tetap" tidak termasuk dalam wilayah pencacahan atau blok sensus
yang ada (Sardjono,1984:60). Menurut tarafnya ada 3 macam kelompok
gelandangan yakni meliputi:
1) Gelandangan yang masih berhubungan dengan masyarakat normal.
Gelandangan ini masih berkelompok dengan gelandangan lainnya,
dan biasanya mereka menolak makanan yang ada di pembuangan sampah.
Mereka masih mengutamakan mandi, mencuci pakaian, tidur secara
berkelompok dan kelompoknya bersifat terbuka bagi gelandangan lain.
2) Gelandangan berkelompok dan mempunyai organisasi tertutup dan
tegar.
Mereka pada umumnya mengambil makanan dari tempat sampah,
tidak berhubungan dengan masyarakat normal, masih mengutamakan
mandi dan mencuci pakaian. Tetapi, mereka hanya akan tidur bersama
dengan sesama anggota organisasi mereka.
3) Gelandangan yang tidak mempunyai kelompok.
Biasanya mereka mengambil makanan dari tempat sampah, tidak mau
berkomunikasi dengan masyarakat normal. Mereka jarang mandi atau
mencuci pakaiannya, namun tidak selalu menyendiri dan tidak mempunyai
kelompok.
Menurut penelitian saraswati, dalam studi di kampung sawah Jakarta
dimana keadaan sosial ekonomi penduduknya mendekati dengan kategori
penduduk gelandangan, menemukan beberapa finding yang cukup menarik,
yaitu:
a). Ada perasaan ketidak pastian hidup, walaupun tidak membawa
keputusasaan dan apatisme
b). Adanya rasa solidaritas dan kemampuan adaptasi yang tinggi diantara
mereka.
c). Berfungsi sub kultur kemiskinan atau sub kultur gelandangan yang berbeda
norma nilai dan perilakunya dengan yang berlaku di masyarakat luas.
d). Sikap menerima nasib dari kehidupan yang miskin.
e). Pengagungan mereka terhadap apa yang disebut kerja bebas atau kebebasan,
yaitu pekerjaan yang tidak di kendalikan oleh orang lain.
3. Mengapa menggelandang
Masa sekarang ini gejala gelandangan cenderung dipandang sebagai
gaya hidup yang negatif. Pada umumnya gejala ini dipandang sebagai gejala
sosial yang berlawanan dengan arah perkembangan kota, dimana kaum
gelandangan merupakan kelompok masyarakat yang tersingkirkan karena
kurang bisa melibatkan dan dalam proses perkembangan kota atau tidak
mempunyai kemampuan untuk bersaing dengan kelompok masyarakat lain
dilingkungan perkotaan (Y. Argo Twikromo: 8).
Berdasarkan catatan Muttalib dan Sudjarwo (1984) menggelandang dan
gelandangan justru dipandang sebagai sarana yang tepat untuk berjuang
melawan pemerintah kolonial Belanda. Namun makna positif gaya hidup
menggelandang tersebut tidak bertahan lama. Hidup menggelandang dianggap
tidak cocok dengan norma-norma budaya masyarakat Indonesia. Dalam
konteks perkembangan kota akhir-akhir ini, kehidupan gelandangan di
konstruksikan sebagai kehidupan yang berlawanan dengan aspek-aspek
keamanan, ketertiban, kebersihan, kestabilan dan ketentraman suatu kota.
Blau (1992) menawarkan suatu interpretasi tentang gelandangan, yaitu
tidak dengan mempercayai beberapa mitos yang berhubungan dengan kondisi
gelandangan, seperti sakit mental, pemabuk dan kecanduan alkohol, dan malas,
tetapi lebih menekankan pada pilihan-pilihan yang mungkin menyebabkan
seseorang menjadi gelandangan. Pada awalnya, tidak tersedianya "ruang hidup"
bagi mereka didaerah perkotaan telah mengantarkan mereka pada suatu pilihan
hidup sebagai gelandangan. Dalam keterbatasan "ruang hidup" sebagai
gelandangan tersebut, mereka berjuang untuk sekedar dapat bertahan hidup di
daerah perkotaan dengan berbagai macam strategi, seperti menjadi pemulung,
pencopet, pencuri, pengemis, pekerja seksual, pengamen dan pengasong.
Perjuangan hidup sehari-hari mereka mengandung resiko yang cukup berat,
tidak hanya karena tekanan ekonomi, tetapi juga tekanan sosial-budaya dari
masyarakat, kerasnya kehidupan jalanan dan tekanan dari aparat ataupun
petugas ketertiban kota.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dari Poerwadarminta,
bergelandang adalah "berjalan kesana sini tidak tentu maksudnya". Sedang
orang gelandangan adalah "orang yang bergelandang (tidak tentu tempat
kediamannya dan pekerjaannya)". Orang gelandangan jadi yang meng-
gelandang mungkin tidak tentu tempat kediamannya dan pekerjaannya, tetapi
"berjalan kesana sini tidak tentu maksudnya"(Umar Khayam, 1988:149).
Gelandangan yang memungut puntung rokok, pekerja "pocokan" jalan
atau bangunan, pelacur kelas paling bawah yang melacur disela-sela gerbong
kereta api atau pangkalan becak dan sebagainya, maksud dari itu semua ialah
mencari nafkah. Meskipun demikian mempunyai kediaman tetap (bahkan
konon ada yang tinggal dikediaman cukup mapan dan menyenangkan), toh
dapat dikatakan, bahwa mereka biasa dimasukkan kedalam kategori
"gelandangan"(Umar Khayam, 1988 :149-150).
Kondisi serba tidak tetap itu sendiri, baik dari sudut tempat kediaman,
pekerjaan, pendapatan maupun perjalanan, tidak atau belum menentukan
formal kategori gelandangan. Bahkan juga dengan sendirinya unsur kemiskinan
akan menentukan predikat gelandangan. Dari berbagai alasan tersebut diatas
mengapa seseorang menggelandang
BAB III
METODE PENELITIAN
Bagian ini dipaparkan tentang: 1.Pendekatan penelitian, 2.Lokasi
penelitian,3. Fokus penelitian,4. Tahap-tahap penelitian,5. Sumber data,6.Teknik
pengumpulan data, 7. Kriteria keabsahan data, dan 8.Analisis data.
1. Pendekatan Penelitian
Supaya peneliti dapat mendiskripsikan secara jelas dan rinci serta
memperoleh data mendalam dari fokus penelitian maka penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan alasan memiliki ciri-ciri tertentu
sebagaimana menurut Lincoln dan Guba (Lexy J.Moeleong, 1993: 4-8) yang
mengulas 10 ciri penelitian kualitatif yaitu:1. Dilakukan pada latar ilmiah, 2.
Manusia sebagai alat instrumen, 3. Metode kualitatif, 4. Analisis data secara
induktif,5. Arah penyusunan teori berasal dari dasar(ground theory),6. Bersifat
diskriptif, 7. Mementingkan proses dari pada hasil, 8. Ditetapkannya batas dasar
fokus, 9. Adanya kriteria khusus untuk ke absahan data, 10. Desain bersifat
sementara.
Penelitian diskriptif kualitatif memungkinkan pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat, memungkinkan mengkaji masalah-masalah normatif
sekaligus membuat perbandingan antar fenomena.
2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pekojan Johar, Kelurahan Jagalan
Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, karena wilayahnya merupakan
salah satu daerah pemukiman kumuh di kota Semarang.
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah berupa upaya masyarakat pemukiman kumuh
yang didalamnya gelandangan, dalam meningkatkan pendidikan formal anak ,
dan bagaimana seorang gelandangan mendidik anaknya dalam hal proses
belajarnya.
a. Aspek Pendidikan, terdiri dari pendidikan formal dan pendidikan nonformal
1) Pendidikan formal terakhir yang dimiliki gelandangan
2) Tingkat pendidikan anaknya sekarang
3) Tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak
dari gelandangan
4) Pembiayaan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan sarana dan
prasarana dalam pendidikan
5) Proses pelaksanaan pemenuhan kebutuhan pendidikan
4. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini meliputi tahap pralapangan, tahap pelaksanaan penelitian,
dan tahap akhir penelitian.
a. Tahap pra lapangan
Tahap ini peneliti melakukan kegiatan meliputi: 1. Konsultasi dengan
dosen pembimbing tentang tema penelitian, 2. Pemilihan lokasi (setting)
penelitian terkait dengan tema penelitian, 3. Melakukan pra survey terlebih
dahulu ke daerah yang akan diteliti, 4. Pembuatan proposal dan instrumen
penelitian, 5. Menyiapkan instrumen penelitian dengan cara membuat
formula pertanyaan yang terkait dengan fokus penelitian, 6.Mengurus
perizinan penelitian ke dinas terkait, 7.Orientasi atau eksplorasi yang bersifat
menyeluruh (grand tour observation)
Langkah berikutnya, penulis melakukan kunjungan lapangan
pendahuluan untuk mengadakan observasi mengenai sasaran penelitian yang
bersifat umum. Kunjungan lapangan penelitian diawali dengan berkunjung ke
rumah tokoh masyarakat. Hal ini diharapkan dapat memperoleh gambaran
secara umum daerah penelitian, misalnya tentang kondisi wilayah, kebiasaan-
kebiasaan, dan karakteristik penduduk. Selanjutnya, penulis juga berusaha
untuk memperkenalkan diri dan berdiskusi tentang informasi yang terkait
dengan sasaran penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dan
menentukan siapa yang akan dijadikan informan dan subyek penelitian.
Informan dipilih atas petunjuk tokoh masyarakat yang sudah mengetahui
karakteristik penduduk setempat.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini penulis melakukan kunjungan lapangan kedua. Eksplorasi
pada tahap ini lebih dilakukan pada fokus penelitian yaitu upaya masyarakat
pemukiman kumuh dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan hidup. Selain
itu, penulis juga meneliti segala gejala masyarakat yang terkait dengan
penelitian, dan mencari informasi atau data yang dapat dijangkau pada saat
pengamatan , yakni dengan cara wawancara atau berdiskusi dengan informan.
Penulis juga mencari data-data sekunder pada kantor kelurahan mengenai
kondisi daerah pemukiman kumuh dan kependudukan.
c. Tahap Akhir Penelitian
Tahap berikutnya setelah data terkumpul, data direduksi dan dianalisis
lebih intensif. Analisis data ini dilakukan secara terus menerus dengan
mengkaitkan masing-masing rincian atau detail konsep yang selanjutnya
dapat untuk mendiskripsikan suatu gejala yang ada.
Kegiatan Selanjutnya, berupa penyajian data. Kegiatan penyajian data
dapat dilakukan dengan mensintesis antara data yang berasal dari informan
(emik) dengan data penulis (etik). Penyajian data tersebut merupakan hasil
dari sintesis data yang berupa penyajian sementara yang menghasilkan suatu
simpulan.
Simpulan ini harus dicek kebenarannya. Cek data dilakukan secara
terus menerus dari awal hingga akhir penelitian dan membandingkan antara
informan yang satu dengan yang lain. Kemudian penulis baru menyusun
laporan sementara, setelah melalui evaluasi dengan jalan konsultasi dengan
dosen pembimbing, diteruskan dengan pembuatan laporan akhir penelitian
(finalisasi laporan penelitian).
5. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari kenyataan di lapangan melalui subyek penelitian.
Data subyek yang diperoleh dari subyek yang banyak mengetahui dan mempunyai
kemampuan lebih yang terkait dengan permasalahan yang menjadi tema penelitian.
Pemilihan subyek tertentu, dengan sendirinya perlu dilakukan secara purposif. Dalam
proses pengumpulan data tentang suatu topik, bila variasi informasi tak muncul atau
tidak ditemukan lagi maka penulis tak perlu lagi melanjutkannya dengan mencari
informasi baru, artinya subyek bisa sangat sedikit (beberapa orang saja) tetapi bisa
juga banyak. Terdapat tiga tahap dilakukan dalam pemilihan subyek pada penelitian
ini yaitu:
a. Pemilihan subyek awal, supaya lebih produktif dapat peroleh informasi,
melalui wawancara atau observasi.
b. Pemilihan lanjutan guna memperluas informasi dan melacak segenap
informasi yang mungkin ada, yaitu dengan menggelinding kepada subyek-
subyek lanjutan sehingga segenap macam karakteristik elemen-elemen yang
diperlukan dapat diperoleh data atau informasinya.
c. Menghentikan pemilihan subyek lanjutan, sekiranya sudah tidak muncul lagi
informasi-informasi baru yang bervariasi dengan informasi-informasi yang
telah diperoleh sebelumnya.
Proses menyebarnya sampel ini memakai snow ball sampling, suatu proses
menyebarnya sampel yang seibarat bola salju, yang pada mulanya kecil, kemudian
semakin membesar dalam proses bergulir menggelindingnya (Faisal, 1990: 56-60)
Sasaran data penelitian ini yakni masyarakat pemukiman kumuh. Informan
dalam penelitian ini yaitu gelandangan tersebut serta lingkungannya antaranya dua
penjual yang ada didepan serta pojokan gang dimana penelitian ini berlangsung.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:1. Teknik pangamatan langsung,2. Teknik wawancara 3.
Dokumentasi (Lexy J. Moleong, 1998; 100).
Pada kegiatan ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Teknik pengamatan langsung
Teknik pengamatan langsung (structured observation), observasi yakni
pengamatan yang disertai dengan kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah
diatur kategorisasinya terlebih dahulu, dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor
dalam kategori-kategori itu.
Materi observasi, isi dan luas situasi yang akan diobservasi umumnya
lebih terbatas. Sebagai alat untuk penyelidikan deskriptif, dan berlandaskan pada
perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah dan scope observasinya
dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan penelitian, cara-cara pencatatan pada
observasi ini memberikan jawaban-jawaban, responses, atau reactions yang dapat
dicatat secara teliti.
b. Teknik Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk menjaring informasi mengenai
persoalan yang dihadapi dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data mengenai upaya masyarakat yang
meliputi aspek pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.
Teknik wawancara ini diharapkan kejadian yang lalu dapat direkontruksi
(tatanan kota). Pertanyaan dalam wawancara ini diajukan kepada masyarakat
dengan memperhatikan pertanyaan apa, kapan, dimana, siapa, bagaimana, dan
mengapa. Pokok-pokok materi yang ditanyakan disusun sebelumnya, kemudian
dikembangkan di lapangan disesuaikan dengan kondisi riil yang berkembang di
masyarakat. Setiap selesai melakukan wawancara kemudian dicatat dalam
catatan lapangan. Teknik ini tidak digunakan secara terangan-terangan. Hal ini
untuk menghindari kekawatiran bahkan kekuatan dari informan yang selanjutnya
berpengaruh pada kualitas dari hasil jawaban.
Alat pengumpul data ini dapat dilakukan dengan cek antara informan satu
dengan yang lain. Data melalui wawancara ini dilakukan secara terus menerus
karena untuk membandingkan antara informan yang satu dengan informan yang
lain.
c. Teknik Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk memperoleh informasi, memahami dan
memecahkan masalah tentang data yang diperlukan yang sudah tersedia di
instansi terkait. Data yang diperoleh dengan teknik ini berupa data skunder yang
berhubungan dengan data wilayah dan data penduduk sesuai monografi yang ada.
7. Kriteria dan Teknik Keabsahan data
Guna menetapkan keabsahan (trust worthiness) data diperlukan teknik
pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas triangulasi.
Denzin (1978) membedakan empat macam yaitu teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam metode kualitatif (Patton, 1987: 331). Hal ini dapat dicapai dengan jalan
membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, apa yang
dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan pribadi.
Triangulasi dengan metode menurut Patton (1987: 331), terdapat dua
strategi, yaitu: pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitiaan
beberapa teknik pengumpulan data, dan pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba (1987: 307),
berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat
kepercayaannya dengan satu alat lebih teori. Dipihak lain, Patton (1987: 327)
berpendapat lain, yaitu bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu
dinamakannya penjelasan banding (rival explanation).
Penelitian ini menggunakan triangulasi teori dan triangulasi sumber, untuk
mengetahui upaya masyarakat pemukiman kumuh dalam meningkatkan
pemenuhan kebutuhan hidup di perkampungan melarat Jl Pekojan Johar,
Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah , Jawa Tengah.
8. Teknik Analisis Data
Tindakan analisis data dilakukan secara terus menerus dari awal hingga akhir.
Berdasarkan fenomena yang terjadi, di daerah tersebut data dapat diperoleh dari dua
sumber yakni data dari subyek (emik) dan data hasil pengamatan penulis (etik). Data
atau informasi yang diperoleh dari masing-masing sumber disusun berdasarkan
golongan, tema, pola, dan sekaligus diberi makna. Selanjutnya diadakan interpretasi
yakni dengan menjelaskan gejala-gejala yang ada mencari keterkaitan antara gejala-
gejala tersebut yang telah ditemukan di lapangan.
Fenomena masyarakat pemukiman kumuh, diusahakan bisa dicari melalui
informan yang dianggap tahu dan dijadikan sebagai data informan, penulis mencari
data sendiri dengan cara melakukan pengamatan langsung. Informasi dari subyek dan
data hasil penulis telah terkumpul. Setelah itu dicek dan recek antara data dari
subyek dan data pengamatan untuk dicari sintesisnya atau benang merahnya. Dari
hasil sintesis tersebut, kemudian dijadikan tulisan sementara. Hal ini, karena
terutama bila suatu saat terjadi penambahan atau perubahan, dan kedua karena
adanya penambahan-penambahan, setelah merasa cukup tidak terdapat perubahan-
perubahan dan penambahan maka dijadikanlah tulisan akhir.
Model analisis data akan disajikan dalam bagan seperti dibawah ini
Teknik Analisis Data
Pengumpulan
data
Reduksi
data
Kesimpulan
Penggambaran/verifiksi
Penyajian
data
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Gelandangan di Kota Semarang.
Kota Semarang sebagai Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah tidak jauh berbeda
dengan kota-kota lain di Indonesia, yang tidak bisa menyangkal kenyataan atas
keberadaan golongan masyarakat yang sering disebut dengan istilah kaum
gelandangan. Walaupun secara fisik keberadaan mereka di lingkungan perkotaan,
akan tetapi kehadiran mereka belum secara untuh dapat diterima sebagai bagian
dari lingkungan sosial budaya kota Semarang. Gelandangan sebagai salah satu
kehidupan yang berbeda dengan kehidupan kota yang “resmi”, cenderung
ditempatkan dalam posisi yang kurang diuntungkan, bahkan dipandang sebagai
suatu kehidupan yang bercitra negatif
Upaya-upaya untuk memecahkan permasalahan gelandangan juga sudah
banyak dilakukan, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta
seperti Dinas Sosial Propinsi sebagai aparat Gubernur, Dinas Sosial Pemerintah
kota sebagai aparat Walikota, kantor wilayah Departemen Sosial Republik
Indonesia sebagai aparat menteri sosial dan lembaga swadaya masyarakat, Dinas
Sosial juga mempunyai data jumlah para gelandangan serta para pemulung yang
ada di wilayah Semarang. Pada tahun 2004 jumlah keseluruhan kurang lebihnya
ada 1.041 orang, data tersebut sewaktu-waktu dapat berubah, dibawah ini dapat
kita lihat perincian data yang diperoleh dari Dinas Sosial antara lain :
No Kecamatan Jumlah
1 Mijen 30
2 Gunungpati 10
3 Smg Selatan 105
4 Banyumanik 51
5 Gajahmungkur 12
6 Genuk 41
7 Pedurungan 27
8 Gayamsari 57
9 Smg Timur 95
10 Candisari 30
11 Tembalang 15
12 Smg Utara 81
13 Smg Tengah 263
14 Smg Barat 67
15 Tugu 30
16 Ngaliyan 27
Jumlah 1.041
Tabel 1. Data Umum Gelandangan di Kota Semarang.
Ada beberapa upaya pemecahan masalah gelandangan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga diatas relatif sama yaitu upaya secara persuasive, represif,
kuratif dan preventif. Preventif merupakan upaya yang dilaksanakan secara
terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan pendidikan,
pemberian bantuan, pengawasaan, pembinaan lanjut, serta latihan ketrampilan.
Upaya represif dilakukan untuk mengurangi atau mencegah adanya gelandangan
yaitu dengan cara razia, penampungan dan pelimpahan: sedangkan upaya kuratif
dilakukan mulai dari motivasi, bimbingan, latihan keterampilan sampai dengan
pembinaan lanjut kepada gelandangan agar dapat hidup mandiri dalam
masyarakat.
Kita lihat secara teoritis maupun pada tatanan praktek upaya yang
dilakukan oleh instansi pemerintah ataupun swasta sangat maksimal, sehingga
tidak ada salahnya bila pemerintah kota Semarang / Propinsi mengklaim telah
mengentaskan banyak gelandangan melalui program-program pengentasan yang
ada. Namun demikian tidak sedikit gelandangan yang telah ikut program itu
kemudian kembali lagi menggelandang, hal itu diakibatkan program-program
yang dilakukan atau ditawarkan kurang menyentuh kebutuhan mereka..
Kenyataan di atas tidak lepas dari persepsi yang kurang sesuai tentang
gelandangan, yang mana gelandangan mempunyai arti orang yang tidak tentu
tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan arah tujuan kegiatannya. Persepsi tersebut
sebenarnya kurang sesuai atau kurang menggambarkan kenyataan yang ada
karena kaum gelandangan sebenarnya mempunyai pekerjaan yang relatif tetap
dan tujuan kegiatannya yang jelas dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pernyataan yang diatas sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Muttalib
dan Sujarwo dalam Argo Twikromo (1996:6), gelandangan diartikan sekelompok
orang miskin atau dimiskinkan oleh masyarakat, orang yang disingkirkan dari
kehidupan khalayak ramai, dan merupakan cara hidup agar mampu bertahan
dalam kemiskinan dan keterasingan. Konsep tersebut juga sesuai dengan obyek
penelitian yang peneliti gunakan sebagai informan, yang mana peneliti
melakukan penelitian di daerah pekojan kanjengan/pinggiran kali/sungai
pekojan-jagalan kota Semarang. Semua informan memiliki pekerjaan yang relatif
tetap yaitu sebagai pemulung dan mereka juga memiliki tujuan hidup yang jelas.
Walaupun demikian peneliti tidak bisa memungkiri bahwa banyak juga
gelandangan kota Semarang yang berprofesi sebagai pencuri, penjambret,
pengemis, pekerja seksual, pengamen, penyemir dan sebagainya.
B. Gambaran Umum Daerah Penelitian
1. Letak dan Luas Kelurahan Jagalan
Kelurahan Jagalan termasuk wilayah Kecamatan Semarang Tengah,
Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah, menurut letak adminitratif kelurahan
Jagalan memiliki batas-batas sebagai berikut sebelah utara berbatasan dengan
kelurahan Purwodinatan, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan
Karangkidul, sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Gabahan, sebelah
timur bersebelahan dengan Kecamatan Semarang Timur. Jarak kelurahan
Jagalan dengan pusat pemerintahan cukup dekat, jarak dari pusat
Pemerintahan Kecamatan 1 Km (satu kilometer), kelurahan Jagalan dengan
jarak dari pusat Pemerintahan Kota Administratif belum diketahui itu diambil
dari data yang ada dikelurahan Jagalan, jarak dengan Pusat Pemerintahan
Kota Semarang 2 Km (dua Kilometer), jarak dengan Ibukota Propinsi Dati I 3
Km (tiga Kilometer), jarak dengan Ibukota Negara 500 Km (lima ratus
Kilometer). Sedangkan kondisi Geografis kelurahan Jagalan yaitu ketinggian
tanah dari permukaan laut sekitar 2 M, banyaknya curah hujan 500Mm/Thn,
Topografi pada kelurahan ini dataran rendah, suhu udara rata-rata 22-32 C.
2. Sejarah Terjadinya Pemukiman Gelandangan.
Berbicara mengenai latar belakang sebuah wilayah, kita tidak bisa
menafsirkan faktor sejarahnya. Begitu juga dengan kelurahan Jagalan yang
merupakan salah satu dari berbagai pemukiman kumuh yang ada di kota
Semarang ini.
Berdasarkan hasil penelitian ini yang didukung dengan informan yang
dapat dipercayai kevalitannya yaitu seseorang yang pertama kali membuat
pemukiman kumuh yang letaknya dari ujung pertokoan pekojan, dulunya
daerah tersebut berupa ilalang-ilalang liar dan belum diaspal seperti ini,
seseorang tersebut menebangi rumput-rumput liar tersebut dan dijadikannya
tempat tinggal sementara namun pada kenyataannya sampai sekarang malah
dengan bertambah para pendatangnya yang mempergunakan tempat tersebut
untuk tempat tinggal yang terbuat dari kardus dan plastik kalaupun ada
papan-papan.
3. Kependudukan
Jumlah penduduk kelurahan Jagalan pada bulan juni akhir berjumlah
15.285 orang, dan ada 1.653 orang kepala keluarga, namun jumlah tersebut
dipisah-pisah menurut jenis kelamin, laki-laki: 3.696 orang, perempuan :
3.120 orang, kewarganegaraan WNI ada 6.714 orang, serta WNA ada 102
orang.
4. Tingkat Pendidikan
Keadaan pendidikan masyarakat kelurahan Jagalan dibagi menjadi
dua bagian, bagian pertama yaitu lulusan pendidikan umum : Perguruan
Tinggi atau Akademi ada 618 orang; SLTA ada 986 orang; SLTP ada 1.366
orang; SD ada 1.008 orang; belum/ tidak tamat SD 1.023 orang; Belum
sekolah ada 955 orang, bagian yang kedua yaitu SFMA dan SFMP menurut
data dari kelurahan Jagalan belum ada datanya.
5. Jumlah Pendudukan Menurut Agama
Kelurahan Jagalan ada berbagai macam jenis agama yang dianut oleh
masyarakat setempat antara lainnya : agama Islam ada 2.318 orang, agama
Kristen ada 1.325 orang, agama Khatolik ada 1.282 orrang, agama Hindu ada
715 orang, agama Budha ada 1.152 orang. Itu keseluruhan agama yang ada di
kelurahan Jagalan, dapat dilihat bahwa mayoritas agama masyarakat tersebut
ialah agama Islam walaupun daerah tersebut daerah Pecinan.
6. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Penduduk kelurahan Jagalan bermata pencaharian antara lain :
Wiraswasta ada 317 orang, sedang karyawan ada 2.625 orang, pertukangan
ada 85 orang, sebagai jasa ada 10 orang, pengusaha ada 4 orang, TNI/ POLRI
ada 5 orang, pedagang ada 142 orang, industri atau buruh ada 464 orang, dan
yang bekerja lain-lain ada 102 orang.
C. Kasus Pendidikan Keluarga Gelandangan
Temuan Informan Di Lapangan
1. Informan kesatu
Am (43 tahun) adalah inisial kepala keluarga I, Am lahir di
Cerobonan kampung Melayu dan sekarang tinggal di pinggiran sungai
dipekojan sekitar daerah johar selama 10 tahun. Pendidikan Am Sekolah
Dasar tidak tamat, kelas 4 (empat) keluar dikarenakan terbentur biaya orang
tua yang tidak mampu untuk menyekolahkan. Dan pak Am ini sudah
berkeluarga dengan ibu Sy (35 tahun), Am dikarunia 2 orang anak. Sehari-
hari Am bekerja sebagai pemulung, dari hasil kerja Am mampu
mengumpulkan uang Rp 20.000, namun itu juga belum pasti.
Perhatian pak Am terhadap pendidikan anak pada zaman sekarang ini
juga tidak kalah pentingnya dengan orang tua pada umumnya walaupun pak
Am ini seorang pemulung yang seharusnya tidak menghiraukan akan
pendidikan, namun pada kenyataannya pak Am sangat memperhatikan akan
pendidikan anaknya. Perhatian tersebut dengan menitipkan anaknya tersebut
dengan neneknya. Pak Am berharap bahwa neneknya tersebut lebih mampu
untuk membimbing dan mengawasi anaknya tersebut, pada waktu pak Am
dan ibu Sy mencari nafkah untuk biaya hidup dan biaya sekolah anaknya,
namun pak Am juga mempunyai alas an mengapa anaknya tidak bersama pak
Am pada sekarang ini yaitu dikarena kondisi lingkungan yang begitu ramai
dan tidak selayaknya seorang anak tinggal ditempat seperti itu. Sebetulnya
rumah neneknya tersebut tidak jauh dengan lingkungan dimana pak Am
tinggal sekarang ini jadi pak Am dapat sering pulang kerumah sehingga ia
bisa memberikan nasehat-nasehat untuk memberikan motivasi atau memberi
semangat agar anak belajar dengan rajin baik dirumah maupun di sekolah.
Untuk memotivasi ditunjukkan Am dengan cara bila anaknya mendapat
rangking ia akan memberikan hadiah, Am berkata :
Gambar 1. Wawancara dengan responden I
“ Ya, kita sebagai orang tua, kita…..ya nak kamu belajar bagus dapat
rangking saya belikan…..belikan apa pak? Sepeda, kalau nggak naik……ya
tidak saya belikan apa-apa. Sebagai orang tua semboyan orang tua “anak
pinter dapat rangking”, pinter pasti orang tua punya cita-cita. Nak kamu
sekolah yang pinter dapat rangking nanti saya belikan……apa pak? Ya
sepeda.
Sebagaimana lazimnya anak pak Am juga memberi kesempatan
kepada anak untuk bermain, berkumpul bersama teman-temannya sekolah
dan lingkungan sekitarnya bila anak tersebut ikut sama pak Am dan ibu Sy,
karena memang kadang-kadang anaknya juga pingin ikut dengan orang
tuanya ya pak Am menjemput atau om-nya yang mengantarkan kerumah pak
Am. Pak Am berpandangan lingkungan gelandangan juga ikut berpengaruh
terhadap perkembangan si anak namun juga pak Am juga tidak menutup
kemungkinan untuk memperbolehkan anaknya untuk bermain dengan teman-
temannya yang ada dilingkungan rumah pak Am, karena pak Am mempunyai
pendapat bahwa tergantung bagaimana cara mendidik anak dan juga
tergantung bagaimana cara bergaul anak. Dalam hal membiayai sekolah pak
Am tidak begitu mendapat masalah karena anak mendapatkan bea siswa dari
pihak sekolahan.
Perjuangan sehari-hari pak Am untuk mencari biaya hidup dan biaya
untuk sekolah anaknya memanglah sangat berat, kerjanya itu dimulai dari
rumah mulai jam 8 pagi. Untuk menghemat waktu, tenaga, belum lagi harus
bersaing dengan teman-temannya yang seprofesi untuk mendapatkan tempat
yang enak dan hasil yang banyak ia harus pulang sore kadang-kadang pak
Am juga harus pulang malam. Pak Am menjelaskan bahwa :
“Nggeh persaingan, wong jenenge pumulung istilahe adu nasib, nek nasibe
sae nggeh angsale buangan nopo nggeh…nggeh sanget langsung wangsul,
nek mboten angsal nggeh mubeng mawon, nek pun sepen nggeh wangsul
mbak…”
Setiap hari pak Am harus membanting tulang dibawah terik matahari,
kehujanan, mencari barang yang masih laku dijual untuk mempertahankan
hidup dan keluarganya, dan semboyan Am adalah “waktu adalah uang”.
Hubungan dengan aparat desa dan masyarakat sekitar hampir tidak
ada masalah dan tidak dipermasalahkan, karena ia tidak pernah membuat
onar dan membuat cemar, Am menjelaskan bahwa :
“ Nggeh gampangane mboten dipermasalahkan, istilahnya kita
menempati tidak membuat onar, kita tidak memberi cemar”. Ia juga tidak
pernah dipungut biaya selama tinggal disitu, justru pihak kelurahan dan
masyarakat setempat mendukung (itu anggapan pak Am).
2. Informan ke dua
Sy (35 tahun) adalah istrinya pak Am yang lahir di Demak.
Pendidikan ibu Sy ialah sama dengan suaminya yaitu tidak tamat Sekolah
Dasar (kelas lima keluar). Selain sebagai ibu rumah tangga Sy juga
membantu suami mencari nafkah yaitu bekerja dengan pak Bandi (bosnya
pemulung), pak Bandi ialah seseorang yang menampung barang-barang yang
dipungut dengan para pemulung dilingkungan sekitar.
Pandangan ibu Sy terhadap anak bahwa anak tidak mempunyai nilai
ekonomi atau untuk dijual / dimanfaatkan tenaganya, karena anak masih kecil
biarkan dia menikmati masa anak-anaknya dan sekolah. Anak akan ikut apa
kata orang tua, orang tua menyuruh mengerjakan sesuatu anak akan
mengerjakan, akan tetapi kalau orang tua tidak menyuruh anak akan diam
saja.
Menurut Sy tanggapan masyarakat sekitar terhadap keberdaan
gelandangan ada yang sinis dan ada yang tidak mau tahu tentang keberadaan
mereka. Ada juga yang masyarakat sekitar merangkul atau bergaul dengan
komunitas gelandangan. Kebersamaan dan kekompakan ditentukan
gelandangan pada saat perayaan 17 Agustus. Walaupun dengan alakadarnya
dan dengan iuran setiap keluarga Rp 500,00 kemudian dibelikan kerupuk,
pulpen mereka juga ikut merasakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
3. Informan ke tiga
Hr (35 tahun) adalah inisial kepala keluarga II, lahir di Klaten dan
juga ikut tinggal di pemukiman pak Am, sama juga dengan pak Am, pak Hr
ini sudah 10 tahun bertempat tinggal di daerah tersebut. Pendidikan sekolah
dasar tidak tamat, juga disebabkan karena ketidak mampu orang tua untuk
membiayai sekolah. Pak Hr statusnya sudah mempunyai istri dari perkawinan
tersebut dikaruniai satu orang anak laki-laki. Pekerjaan pak Hr sebagai
pemulung, rata-rata upah tiap hari yang diterima ialah Rp. 20.000.
Perhatian besar terhadap pendidikan diberikan orang tua pada anak
sebagai generasi penerus keluarga terbukti dengan tamatnya anak satu-
satunya pada Sekolah Tingkat Menengah. Pak Hr menitipkan anaknya di desa
dengan neneknya, pak Hr menitipkan anaknya di desa supaya tidak
terpengaruh dengan pergaulan bebas kota, supaya jadi anak baik dan soleh,
pak Hr menjelaskan bahwa :
“ ya mungkin, anak saya sekolah dides agar tidak sama disini pergaulannya
itu bebas dikota, jadi anak yang baik dan soleh.”
Pengawasan juga dilakukan, setiap 2 (dua) minggu sekali ia pulang
bergantian dengan istrinya. Dalam membiayai anaknya Hr bergotong royong
dengan istrinya, karena istrinya juga ikut mencari nafkah, pak Hr juga
menjelaskan :
Gambar 2. Wawancara dengan responden II
”ya itukan demi masa depan anak, susah apapun akan saya usahakan agar
kelak masa depan anak saya biar seperti orang-orang lain, itu tekat saya”.
Mewujudkan keinginannya, setiap hari ia bekerja sebagai pemulung
sama halnya dengan pak Am namun pak Hr berangkat jam 3 sore dan
pulangnya sekitar jam 9 atau 10 malam itu kalau badan masih kuat.
Menurut Hr pandangan masyarakat sekitar terhadap keberadaan
gelandangan tidak dipermasalahkan. Keberadaan mereka disana atas
sepengetahuan pihak kelurahan walaupun tidak resmi. Mereka juga tidak
pernah dipungut biaya.
4. Informan ke empat
R (33 tahun) adalah inisial istri pak Hr, yang lahir di kabupaten
Klaten. Pendidikan R sekolah dasar tidak tamat, selain sebagai ibu rumah
tangga juga membantu Hr bekerja sebagai buruh rumah tangga.
Dukungan terhadap pendidikan anak ditunjukkan dengan menitipkan
anak kepada neneknya yang ada di desa Klaten, anaknya dititipkan semenjak
masih sekolah dasar kelas 4 (empat) sampai sekarang sudah lulus Sekolah
Tingkat Menengah, agar tidak terpengaruh dengan lingkungan gelandangan.
Pandangan R terhadap anak, merasa kasihan dan tidak enak apabila ada anak
yang dipekerjakan oleh orang tuaya untuk mencari uang. R berpendapat
bahwa pekerjaan mencari uang ialah kewajiban orang tua sedang anak
tugasnya sekolah dan bermain. R menjelaskan :
“yo, ojo mbak men wong tuwone wae seng kerjo rekoso ora popo, seng
penting anak’e sekolah wae”. ( ya jangan mbak biar orang tuanya saja yang
bekeja berat tidak apa-apa, yang penting anak sekolah saja)
5. Informan ke lima
Ah (18 tahun) adalah inisial seorang remaja laki-laki putra keluarga II.
Pendidikan STM, sekarang sudah lulus dari STM ia anak satu-satunya
keluarga Hr. Dukungan penuh dari kedua orang tua terhadap pendidikannya
sehingga membuat Ah belajar giat dan penuh semangat. Selama belajar di
Klaten, selain mendapat bimbingan dan arahan dari orang tua, Ah juga
mendapat bimbingan, pengawasan dan pengarahan dari pak dhenya, mbak
ponakannya, serta neneknya. Kebebasan yang diberikan anak untuk bermain
dan bergaul dengan teman-temannya, Ah menjelaskan :
Gambar 3. Wawancara dengan anak responden II
“ kadang ada, ada waktu untuk bermain dan ada waktu untuk belajar”.
Menurut pandangan Ah hidup di Semarang lebih enak karena ramai
kalau didesa sepi, selain itu di Semarang ada orang tua yang langsung
membimbing dan mengawasi.
Selama sekolah di STM Negeri Klaten, ia juga pernah mendapat
rangking, meskipun tidak dapat bea siswa dari sekolahan. Keinginan untuk
maju, berkembang dan mewujudkan cita-cita kedua orang tua merupakan
motivasi tersendiri bagi dirinya.
6. Informan ke enam
Jt (37 tahun) adalah inisial kepala keluarga ke III, yang lahir di
Mojokerto jawa timur. Jt tinggal di pinggiran sungai daerah Pekojan
kelurahan Jagalan, sudah 3 tahun ia bertempat tinggal disitu, sebelumnya
tinggal di barutikung dan mrican. Pendidikan pak Jt adalah Sekolah Dasar itu
juga tidak tamat. Pekerjaan tiap harinya ialah sebagai pemulung dan rata-rata
penghasilannya Rp. 20.000. Dan pak Jt sudah berkeluarga dan mempunyai 2
(dua) orang anak, anak yang pertama dititipkan di desa dan anak yang kedua
ikut pak Jt dan ibu Jm.
Dukungan terhadap pendidikan anak ditunjukkan dengan adanya
pemahaman tehadap pentingnya pendidikan, sehingga sebagai orang tua ia
rela berkorban apa saja demi anaknya. Nasehat-nasehat juga diberikan untuk
memotivasi belajar anaknya. Menurut pandangan Jt tentang adanya orang tua
yang memperkerjakan anaknya untuk mencari uang tidak setuju, karena anak
masih kecil, harus sekolah dulu dan belajar dulu. Walaupun anak yang
pertama ikut neneknya di desa, namun semua biaya sekolah ditanggung orang
tua. Beruntunglah kedua anaknya mendapatkan bea siswa sehingga sedikit-
sedikit meringankan pak Jt dalam hal pemenuhan biaya sekolah anak.
Keberadaan gelandangan dipinggir sungai pekojan tidak
dipermasalahkan pihak kelurahan dan masyarakat setempat, hal itu
ditunjukkan situasi daerah pekojan selama ini aman-aman saja dan tidak
pernah ada warga ataupun aparat desa yang melakukan penggusuran terhadap
mereka.
7. Informan ke tujuh
Jm (39 tahun) adalah inisial istri Jt, yang lahir di Semarang,
penddikannya terakhir kelas 5 (lima) Sekolah Dasar tidak tamat. Aktivitas
sehari-hari Jm sebagai ibu rumah tangga. Dengan keseharianya berada di
rumah Jm selalu mengawasi, membimbing dan memotivasi anak untuk giat
belajar sebagai wujud dukungan orang tua terhadap pendidikan anak-
anaknya. Jm mengatakan :
“ya gini mbak, kenekan akeh bocah cilik, nek mbengi yo tak kon sinau rak
ketang sedelok, bar kuwi yo dolan mbak, karang bocah cilik”.
( ya gini mbak, disinikan banyak anak kecil, kalau malam saya suruh belajar
walaupun itu hanya sebentar setelah itu bermain lagi mbak, karena anak
kecil).
Jm memandang anak itu tugasnya belajar, sekolah maka ia tidak
setuju kalau anak kecil harus bekerja mencari nafkah untuk membantu orang
tua.
8. Informan ke delapan
Dw (8 tahun) adalah inisial dari anak laki-laki keluarga ke III,
sekarang masih sekolah dasar duduk di bangku kelas 2 (dua), ia anak nomor 2
dari keluarga Jt. Dukungan penuh dari orang tua pada pendidikannya
membuat semangat tersendiri bagi Dw. Ia tidak pernah tinggal kelas
sekalipun meskipun tidak mendapat rangking. Selama belajar ia tidak pernah
mengalami kesulitan belajar karena ibunya terus membimbing dalam belajar.
Teman bermain Dw adalah anak-anak sekolah semua tidak ada yang bekerja
untuk membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan mereka.
9. Informan ke sembilan
Sr (50 tahun) adalah inisial dari kepala keluarga IV yang lahir di
Gubuk Purwodadi, agama Islam. Sr juga tinggal di pemukiman daerah
pekojan pinggiran sungai yang ikut kelurahan Jagalan, pak Sr sudah 24 tahun
bertempat tinggal di daerah tersebut. Pekerjaan sehari-hari sebagai tukang
becak yang penghasilan tiap harinya rata-rata Rp. 20.000 sampai Rp. 30.000,
dulunya pak Sr juga berkerja seperti pak Am dan pak Hr sebagai pemulung
namun dengan menabung dan adanya sedikit uang jadi dibelikannya becak.
Perhatian dan harapan besar pada anak mendorong orang tua untuk
mendidik anak dengan sebaik-baiknya, hal itu ditunjukkan oleh Sr yang tidak
ingin anak-anaknya yang masih kecil sudah bekerja seperti halnya jual koran,
ngamen dan minta-minta di Traffigh Light. Sr menjelaskan :
Gambar 4. Wawancara dengan responden IV
“tidak, semua usahanya orang tua, semua usaha saya sendiri. Masih kecil
kok mbak, kan kasihan lagian mau kerja apa? Ya kan memandang
bocah”.Bocahkan belum berpengalaman lagian saya tidak mempunyai
pikiran seperti itu. Saya cuma berfikir moga-moga anak saya bisa sekolah
dan bisa tutuk nek (selesai) sekolah dan saya, masalah gawean iku difikir
mengko”.
Lingkungan gelandangan Sr tidak terlalu memikirkan pengaruhnya
terhadap perkembangan anak. Meskipun di desa ia punya saudara, Sr tidak
mau anak-anaknya dititipkan pada saudaranya di desa yang lebih mampu
membimbing anak-anaknya. Gelandangan pun ingin berubah hal itu
ditunjukkan oleh Sr yang semula juga bekerja sebagai pemulung sama
dengan teman-temannya. Karena kegigihan, keuletan dan keprihatinan Sr
dalam bekerja, dia bisa mengumpulkan uang untuk membeli becak.
Sungai dan jalan pekojan dilebarkan Sr sudah menetap di sana, selama
itu pula belum ada masalah dengan pihak kelurahan maupun masyarakat
sekitar tentang keberadaan gelandangan. Pihak kelurahan juga tahu
keberadaan mereka dan tidak pernah memungut biaya untuk tinggal.
10. Informan ke sepuluh
Sa (28 tahun) adalah inisial dari istri pak Sr yang lahir di Gubuk
Purwodadi, pekerjan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga dikarenakan
kurang lengkapnya anggota tubuh ibu Sa, dengan kondisi seperti inilah yang
menyebabkan ibu Sa malu untuk keluar-keluar rumah. Dukungan terhadap
pendidikan anak ditunjukkan dengan adanya pemahaman orang tua terhadap
pendidik. Sebagai orang tua Sa selalu menasehati agar anak merasa
diperhatikan sehingga termotivasi untuk belajar dengan rajin. Ia juga tidak
mempunyai keinginan untuk mempekerjakan anak untuk mencari uang
dijalan. Lingkungan gelandangan di pekojan menurut Sa tidak ada pengaruh
terhadap pendidikan anak, karena lingkungan gelandangan dengan
lingkungan di luar sama saja. Tidak ada pengaruh terhadap pendidikan anak,
karena lingkungan gelandangan dengan lingkungan di luar sama saja
11. Informasi ke sebelas
Gambar 5. Wawancara dengan anak dari responden IV
Md (7 tahun) adalah inisial dari anak pertama dari SR yang lahir di
Semarang, agama Islam, pendidikan sekolah dasar sekarang duduk di kelas 1
(satu). Perhatian besar yang diberikan pada pendidikannya menjadi motivasi
tersendiri bagi Md untuk belajar dengan giat baik disekolah maupun dirumah.
Kegigihannya sudah membuahkan hasil ketika pada penerimaan rapot ia
mendapat rangking walaupun kadang juga ada kesulitan dalam belajar dan
diantara teman-teman Md tidak ada yang dipekerjakan oleh orang tuanya
untuk membantu mencari nafkah. Setelah besar nanti Md bercita-cita ingin
menjadi guru.
C. Pembahasan.
1. Pandangan Tentang Anak.
Hasil penelitian di lapangan adalah gelandangan memandangan anak
adalah sesuatu yang sangat berharga karena anak merupakan :
a. Anak merupakan generasi penerus keluarga
Guna mencegah atau paling tidak meminimalisir gangguan yang
dapat timbul pada perkembangan anak, merupakan tanggung jawab kita
semua sebagai orang tua dan orang dewasa. Merekalah nantinya yang
menjadi penerus generasi keluarga, agar kelak keluarga tersebut dapat lebih
maju serta dapat mewujudkan cita-cita mereka. Serta yang menjadi penentu
keberhasilan pendidikan anak adalah para orang tua atau orang dewasa lain
yang berkewajiban dan bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.
Diharapkan orang tua mempunyai niat keras untuk melihat anak-
anaknya maju dalam hidup mereka. Hal tersebut menjadi motivasi kuat
untuk mendidik dan membina anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.
Adalah hal yang wajar jika orang tua mengharapkan anak-anak mereka
maju. Bahkan orang tua yang baik ingin melihat anak-anaknya lebih maju
dari pada dirinya sendiri. Karena ingin melihat anak-anaknya, maka orang
tua harus mempunyai perhatian yang lebih besar kepada anak-anaknya.
Perhatian tersebut dengan membekali anak dengan kecerdasan,
ketrampilan, dan kemauan, semangat yang dilandasi iman dan taqwa,
karena membina anak tidak cukup hanya memberi mereka makan yang
cukup, pakaian yang pantas, tempat berteduh yang memadahi, selain itu
semua yang ada diatas maka satu hal yang jauh lebih penting yaitu orang
tua juga harus membekali anak dengan pendidikan baik pendidikan formal,
pendidikan non formal, serta pendidikan informal.
Umumnya ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan anak yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor
genetik merupakan faktor yang merupakan modal dasar dalam mencapai
hasil akhir proses tumbuh dan bekembang anak atau faktor bawaan / bakat
yang dapat dicapai anak dalam masa-masa perkembangan. Sedangkan
lingkungan merupakan faktor yang menentukan apakah bakat atau bawaan
dapat dicapai atau tidak, apabila anak hidup dalam lingkungan yang baik
akan sangat mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan anak
secara optimal, sebaliknya apabila anak hidup dalam lingkungan yang tidak
baik akan menghambat proses petumbuhan dan perkembangan anak.
Perlu juga diperhatikan dalam membentuk anak agar tumbuh dan
berkembang sesuai dengan apa yang kita harapkan adalah dengan jalan kita
harus mengetahui apa sebenarnya kita butuhkan oleh anak. Pada dasarnya
ada tiga aspek kebuthan dasar anak: (1)Pengasuhan sangat diperlukan
karena untuk memberikan ketenangan batin bagi anak, disamping itu juga
menciptakan hubungan emosional yang mendalam antara orang tua dan
anak; (2)Kasih sayang dan perhatian dari orang tua dan anggota keluarga
yang lain akan menciptakan ikatan batin yang erat, yang merupakan faktor
yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
anak; (3)Pengasahan, yang berupa tindakan perangsangan dan latihan-
latihan terhadap kecerdasan anak merupakan stimulasi yang berasal dari
lingkungan diluar anak. Pengasahan diperlukan untuk perkembangan
mental psiko social anak seperti budi pekerti, sopan santun, moral etika,
kecerdasan, ketrampilan, kemandirian, krativitas, kepribadian dan
produktivitas. Mujiran (2002 : 35).
Keberhasilan pengasuhan, kasih sayang dan pengasuhan anak akan
sangat tergantung pada kondisi keluarga, keharmonisan hubungan antara
ibu dan ayah, pendidikan keluarga, dan tingkat ketagwaan kepada Tuhan
YME menjadi faktor yang sangat mempengaruhi. Teman-teman sebaya
juga sangat berpengaruh pada perkembangan anak, karena dengan teman
sebaya anak akan membentuk sebuah ikatan social yang akan
menumbuhkan rasa solidaritas di antara teman.
Pengaruh teman tidak bisa dilepaskan begitu saja karena mereka
dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan dalam diri anak. Kondisi
masyarakat sekitar juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan dalam proses pengasuhan dan pengasahan anak. Faktor-faktor
diatas akan menjadi faktor yang mendukung proses perkembangan anak
apabila kita sebagai orang dewasa. Sebagai orang tua mampu mengarahkan
membimbing dan memdidik anak pada kehal-hal positif, kejalan yang
sesuai dengan norma, adat yang berlaku dimasyarakat.
Selama anak belum dewasa orang tua mempunyai peranan pertama
dari utama bagi anak-anaknya. Untuk membawa kepada kedewasaan, maka
orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka mengimitasi
kepada orang tuanya. Dengan contoh yang baik, anak tidak merasa dipaksa.
Memberikan sugesti kepada anak tidak dengan cara ditaktor melainkan
dengan sistem pergaulan sehingga dengan senang anak melaksanakannya.
Anak paling suka identik dengan orang tuanya, seperti anak laki-laki
terhadap ayahnya anak perempuan terhadap ibunya.
Antara anak dan keluarga belajar tukar menukar pengalaman
sehingga makin banyaklah hal-hal yang diketahui tentang baik dan buruk,
tentang hak dan kewajiban, tentang saling menyayangi, tentang hormat
menghormati dan tentang nilai-nilai keagamaan.
b. Anak merupakan investasi masa depan orang tua.
Hasil penelitian di lapangan yang diperoleh, gelandangan
memandang pendidikan anak sangat penting sekali, kebanyakan para
gelandangan mempunyai keinginan untuk menyekolahkan anak semampu
mereka paling rendah di bangku SLTP, agar kelak mempunyai masa depan
yang baik dan dapat mengangkat kehidupan orang tuanya.
Begitu banyak harapan yang orang tua inginkan kepada anak sebagai
penerus generasi untuk meralisasikan sema apa yang orang tua cita-citakan.
Ini semua agar kelak nantinya orang tua di hari tuanya mempunyai
tumpuan hidup yaitu anak. Hal ini dapat dikatakan bahwa anak merupakan
investasi orang tua di hari tuanya.
Orang tua jangan terlalu berharap sekali karena keberhasilan anak itu
juga tergantung dari bagaimana cara kita dalam mendidik anak. Pada
umumnya ada dua faktor utama yang mempengaruhi.
c. Anak nantinya dapat membantu orang tua dalam segi ekonomi
Gelandangan tidak memandang anak mereka mempunyai segi
ekonomi pada usia anak masih relatif kecil antara umur 7-16 tahun.
Memang pada usia 7-16 tahun anak dapat membantu orang tua dengan
bekerja seperti halnya, jual koran, semir sepatu, ngamen serta minta-minta
di traffic light, tetapi bagi anak yang masih berusia 7-16 tahun sebaiknya
orang tua memberikan anak untuk menikamati masa kanak-kanak, karena
pada masa ini di mana masa anak-anak tumbuh dan berkembang. Kita
sebagai orang tua hanya bias mengawasi dan membimbing.
Gelandang juga mengharapkan nantinya, anak yang sudah dewasa
atau cukup umur serta berbekal pendidikan yang baik tidak hanya tamatan
Sekolah Dasar dapat bekerja yang lebih baik dibandingkan dengan orang
tuanya yang menggelandangan serta bekerja sebagai pemulung.
Gelandangan memandang anak yang sudah dewasa serta mempunyai bekal
pendidikan yang serta, seperti acuan oleh pemerintah yaitu Wajib Belajar 9
tahun setidak- tidaknya mempunyai nilai tambah dalam memperoleh
pekerjaan di banding dengan anak yang masih berusia 7-16 tahun serta
masih duduk di sekolah dasar.
2. Pandangan Tentang Pendidikan
Hasil yang diperoleh dalam penelitian di lapangan gelandangan
memandang pendidikan formal anak sangat penting sekali karena gelandangan
merasa pada jaman atau era sekarang ini persaingan kerja sangat berat. Yang
diutamakan dalam penerimaan tenaga kerja saat ini, seseorang harus memiliki
bebeapa kriteria antara lain pendidikan serta seseorang harus mempunyai
keterampilan yang khusus. Gelandangan sangat sadar akan pentingnya
pendidikan bagi anak.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk dilakukan
dengan sadar dan disengaja serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak
tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus
menerus selama hidup.
Definisi di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan merupakan
(1)usaha sadar yang berarti situasi dan proses pendidikan tersebut dilaksanakan
atas kesadaran sipendidik; (2)bertanggung jawab berarti semua tindakan dan
proses pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral
berdasarkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku;
(3)Disengaja berarti bahwa proses pendidikan memang disengaja direncanakan
secara sistematis dan matang; (4)Orang dewasa yang berarti bahwa
pelaksanaan pendidikan haruslah orang yang sudah dewasa. Karena pergaulan
anak dengan anak bukanlah situasi pendidikan, ada unsur pendidikan di dalam
pergaulan, unsur pendidikan disitu termasuk faktor pendidikan yaitu unsur
yang berpengaruh terhadap pendidikan anak; (5)Kedewasaan yang berarti
bahwa pendidikan bertujuan mendewasakan anak baik phisik maupun
psikologisnya; (6)Terus menerus berarti pendidikan dilaksanakan secara
berkesinambungan dan tidak ada berhentinya atau pendidikan seumur hidup.
Pendidikan merupakan masalah yang penting dalam kehidupan, bahkan
masalah pendidikan itu sama sekali tidak dapat dipisah dari kehidupan, baik
dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan menjadi masalah penting dalam menentukan maju mundurnya
suatu bangsa.
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi semua lapisan, baik yang mampu
maupun tidak mampu dari segi ekonomi. Dari situlah muncul masalah
mengapa sebagian besar dari lapisan kelompok yang dari dulu menjadi masalah
masyarakat yaitu gelandangan. Rata-rata gelandangan tidak mempunyai
pendidikan yang relative setara dengan acuan pemerintah yaitu wajib belajar 9
tahun.
Pendidikan yang tepat bagi kalangan tidak mampu maupun atau kalangan
gelandangan antaranya pendidikan yang bersifat praktis, ekonomis serta
pendidikan yang bersifat advokatif. Dilihat dari ketiga sifat pendidikan diatas
sebetulnya tiga sifat tersebut saling berkaitan maknanya. Dapat kita jabarkan
dari satu-persatu yang pertama praktis yaitu pendidikan yang bersifat cepat
dalam arti waktu yang ditempuh dalam pendidikan tidak terlalu lama, yang
kedua pendidikan yang sifatnya ekonomis yaitu pendidikan yang dari segi
biaya dapat dijangkau oleh masyarakat miskin. Sedangkan yang ketiga yaitu
pendidikan yang bersifat advokatif yaitu pendidikan yang berorientasi pada
ketrampilan atau semacam kursus.
Seperti halnya kursus-kursus tersebut sangat membantu bagi masyarakat
seperti anak-anak dari gelandangan atau masyarakat lainnya selain dari
kalangan gelandangan. Sehingga masing-masing akan menentukan sendiri
dasar dan tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan dirumuskan atas
dasar sikap hidup bangsa dan cita-cita negara di mana pendidikan
dilaksanakan. Sikap hidup di landasi oleh norma-norma yang berlaku bagi
semua warga negara. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat telah meletakkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
dasar pendidikan. Akan tetapi rumusan tujuan dari pendidikan Indonesia dari
masa kemasa selalu berubah-ubah, hal ini terjadi tidak lain karena tuntutan
perkembangan zaman ( Ahmadi dan Uhbiyati,2001:139 )
Rumusan tujuan pendidikan mengalami perubahan mulai dari tahun 1946
samapai dengan tahun 1983. Pada tahun 1980 Komisi Pembaharu Pendidikan
Nasional (KPPN) merumuskan tujuan pendidikan nasional yaitu “Membangun
kualitas manusia yang taqwa terhadap Tuhan YME dan selalu dapat
meningkatkan hubungan dengan-Nya; sebagai warga negara yang ber-
Pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti
yang luhur dan berkepribadian yang kuat; cerdas, terampil, dapat
mengembangkan dan menguburkan sikap demokratis, dapat memelihara
hubungan yang baik antara sesama manusia dan lingkungan; sehat jasmani
maupun mengembangkan daya estetika kesanggupan membangun diri dan
masyarakat”(Soedjono dalam Ahmadi dan Uhbiyati, 2001:139)
Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 juga dirumuskan bahwa
“Pendidikan Nasional berdasarkan atas pancasila dan bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan YME, kecerdasan, ketrampilan,
mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat
kebangsaan agar dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.( Ahmadi dan Uhbiyati,
2001:137).
Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan diatas semakin mempertegas
komitmen pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan guna
mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan masa depan
bangsa yang semakin kompetetif. Namun fenomena di lapangan berjalan lain,
kritik terhadap kegiatan pendidikan banyak bermunculan baik dari masyarakat
maupun para ahli pendidikan yang lain.
Kritik muncul sebagai akibat ketidak mampuan kegiatan pendidikan
dalam hal ini sekolah dalam menyediakan tenaga siap pakai, sekolah banyak
menghasilkan sejumlah lulusan yang tidak dibutuhkan oleh pasar kerja.
Sekolah hanya mampu menghasilkan lulusan yang akhirnya hanya mampu
mencari lapangan kerja dan bukan lulusan yang mampu menciptakan lapangan
pekerjaan. Untuk menjawab kritikan-kritikan tersebut maka pemerintah
menetapkan dan memberlakukan Undang-undang tentang system Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003, yang menggantikan Undang-undang
Pendidikan Nomor 54 tahun 1950, Undang-undang Pendidikan Nomor 12
tahun 1964 dan Undang-undang Pendidikan Nomor 2 tahun 1989. Dalam
Undang-undang system Pendidikan Nomor 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa
pendidikan dapat diselenggarakan melalui tiga jalur yaitu jalur pendidikan
formal (sekolah), jalur pendidikan non formal (luar sekolah), serta jalur
pendidikan informal.
Baik jalur pendidikan formal, non formal, maupun informal mempunyai
fungsi dan tujuan yang sama hanya berbeda pada sifat, ciri dan
penyelenggaraannya. Dalam pendidikan formal mempunyai jenjang dan dalam
unsur waktu tertentu, diadakan ditempat tertentu, teratur sistematis,
berdasarkan aturan yang resmi yang sudah ditetapkan. Pada pendidikan
nonformal, pendidikan diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana
dilaksanakan diluar pendidikan formal.
Komponen yang diperlukan seperti tutor, pembimbing atas tutor,
fasilitator, cara atau metode penyampaian dan waktu pelaksanaan harus
disesuaikan dengan peserta didik agar dapat memperoleh hasil yang
memuaskan. Sedang pendidikan informal merupakan pendidikan yang
berlangsung di tengah keluarga yang berlangsung setiap hari tanpa ada batasan
waktu. Pada pendidikan informal kegiatannya tanpa suatu organisasi yang ketat
tanpa adanya program waktu dan tanpa adanya evaluasi. Dengan ketiga jalur
pendidikan ini diharapkan akan lebih memberikan peluang bagi program
pendidikan untuk menjalankan misi yaitu untuk memajukan kesejahteraan
umum dalam arti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peserta didik akan
diberikan bekal ketrampilan agar menjadi tenaga yang siap pakai dan mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri. Hingga pada akhirnya peningkatan sumber
daya manusia yang sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian,
sosial budaya sekaligus usaha untuk menanggulangi keterbelakangan
masyarakat akan segera terwujud.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan peraturan
Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada bidang pendidikan
penyelenggaraan pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Otonomi
pendidikan merupakan kondisi yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat
terutama para cendikiawan. Hal ini sebagai akibat semakin merosotnya mutu
pendidikan dasar dan keterbatasan dana pemerintah untuk membiayai sektor
pendidikan.
Kelemahan sistem pendidikan yang bersifat sentralistik akan
mengakibatkan proses kegiatan belajar menjadi kaku sehingga kreatifitas
pendidik kurang berkembang. Banyak juga oknum-oknum yang memanfaatkan
atau menjadikan dunia pendidikan sebagai ajang bisnis atau proyek untuk uang
dari pada mengejar mutu.
Era otonomi pendidikan diharapkan pola pendidikan yang kaku, yang
meletakkan anak didik bukan pada sektor utama (subyek) harus diubah.
Suasana yang membuat anak didik senang untuk bersekolah, kesempatan anak
didik untuk mengemukakan ide-ide harus diciptakan dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Transparasi keuangan dalam pengelolaan pendidikan juga
harus diutamakan untuk menjaga saling kepercayaan antara pihak sekolah,
orang tua dan masyarakat. Proses pendidikan harus melibatkan orang tua dan
masyarakat dalam penyusunan kurikulum pendidikan, karena waktu paling
banyak anak didik justru berada di keluarga dan masyarakat.
3. Upaya Gelandangan dalam Pendidikan Anak
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa gelandangan atau orang
tua yang sangat berperan dalam mendidik anak, karena keluarga faktor yang
paling menentukan serta berpengaruh terhadap anak. Masalah lingkungan serta
masyarakat setempat merupakan faktor yang kedua bagi pertumbuhan anak.
Gelandangan juga berpendapat bahwa “orang tua mencari uang buat siapa
kalau tidak untuk anaknya”. Maka dari itu sebagian besar gelandangan yang
bertempat tinggal di kampung melarat (sebutan tempat penelitian)
menyekolahkan anaknya di desa serta ikut dengan saudaranya yang para
gelandangan anggap lebih mampu dibandingkan mereka.
Uraian diatas merupakan salah satu upaya dari sebagian besar
gelandangan untuk memperbaiki taraf pendidikan keluarga mereka, karena
dengan upaya tersebut sebagian besar gelandangan tidak menginginkan nasib
anaknya seperti mereka orang tuanya.
Alasan dari 4 subyek keluarga mengapa anak mereka dititipkan saudara
yang ada di desa yaitu disamping lingkungan yang tidak baik bagi
pertumbuhan dan perkembangan serta tempat tinggal yang tidak
memungkinkan untuk di tempati dengan anak-anak mereka disamping itu ada
juga yang mengutarakan bahwa disini nanti tidak ada yang menjaga atau
mendidik disebabkan dari 4 subyek ada 2 subyek keluarga yang istrinya juga
ikut membantu dalam mencari tambahan penghasilan keluarga.
Laun halnya dengan 1 (satu) subyek keluarga ini yang melibatkan
langsung anak mereka dalam kehidupan mereka sehari-harinya, maksud dari
kalimat tersebut yaitu keluarga tersebut tidak menitipkan anak mereka ke
saudara mereka yang ada di desa. Alasan dari subyek tersebut yaitu ongkos
untuk pulang kampung dalam satu bulanya ada beberapa kali pulang kampung,
serta subyek tersebut tidak ekonomis bila anak mereka dititipkan di desa dan
alasan yang kedua subyek bisa mendidik dan mengawasi secara langsung
terhadap perkembangan anak mereka walaupun lingkungan tersebut mereka
sadari tidak baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dua upaya tersebut diatas dapat dijadikan acuan bahwasanya
gelandangan tetap berupaya bagaiman untuk menyekolahkan anak atau agar
anak tetap memperoleh pendidikan yang baik. Banyak gelandangan yang
menitipkan anaknya di desa, tetapi jika dilihat dari mutu pendidikan, di kota
mutu pendidikannya jauh lebih baik dibandingkan dengan di desa. Di kota
lebih banyak pilihan dalam segi pendidikan formal maupun pendidikan non
formal, di kota banyak dibuka lembaga-lembaga perkursusan.
Orang tua harus memikirkan atau menentukan apa yang harus dilakukan
oleh anak setelah menyelesaikan Sekolah Lanjutan tingkat Pertama (SLTP),
andaikan harus sekolah formal di Sekolah Menengah harus memilih sekolah
yang mengutamakan pendidikan yang bersifat advokatif.
Setelah anak menyelesaikan sekolah formal yang setara dengan anjuran
pemerintah yaitu dengan wajib belajar 9 tahun dan melanjutkan di sekolah atau
kursus sebaiknya orang tua memberi kebebasan kepada anak dalam
menentukan jurusan / keterampilan apa yang akan diambil nantinya. Dengan
memberi kebebasan tersebut anak akan merasa mendapat dorongan / motivasi
dari keluarganya. Karena orang tua mempunyai peranan yang besar bagi
keberhasilan pendidikan anak, termasuk dengan memberi anak kebebasan
untuk memilih dalam hal pendidikan non formal.
Tingkat pendidikan orang tua memberikan warna tersendiri bagi pola
perkembangan kepribadian anak. Orang tua yang berpendidikan rendah tidak
memiliki pengetahuan dan wawasan tentang nilai arti penting pendidikan bagi
keberhasilan kehidupn anak di masa depan disamping itu mereka juga tidak
tahu bagaimana mananamkan disiplin belajar pada anak serta bagaimana situasi
sekolah. Dari uraian tersebut maka para gelandangan berupaya untuk
memberikan pendidikan formal anak yang baik dengan cara menyekolahkan
anak mereka di desa serta menitipkan anaknya ke saudara yang lebih mampu
mendidik anak mereka dibandingan dengan orang tuanya dahulu yang terbentur
dengan masalah ekonomi, namun sekarang banyak orang tua yang berfikir akan
menyekolahkan anak mereka yang lebih tinggi dari pendidikan orang tuanya
paling tidak setara dengan acuan pemerintah yaitu Wajib Belajar 9 tahun.
Karena mereka sadar bahwa pada zaman sekarang bila tidak mempunyai
pendidikan yang setara atau baik ataupun standar dengan syarat-syarat yang
diperlukan pada perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi pemerintahan
mereka tidak akan memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik dibandingkan
dengan orang tua mereka.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Bertitik tolak pada uraian bab IV maka pada bagian akhir dari tulisan ini penulis
memberikan simpulan sebagai berikut:
1. Pandangan Gelandangan Terhadap Anak
Pandangan gelandangan yang bertempat tinggal di perkampungan
kumuh daerah Pekojan ini memandang anak sebagai penerus orang tua.
Gelandangan memandang bahwa anak memiliki segi ekonomi, namun
gelandangan tidak menginginkan anak mereka bekerja di usia dini. Para
gelandangan menginginkan anaknya untuk mengenyam pendidikan yang
lebih tinggi dari orang tuanya. Serta semampu orang tua membiayai sekolah
mereka.
Gelandangan pada umumnya tidak setuju apabila anak mereka yang
selayaknya sekolah malah justru bekerja membantu orang tua seperti halnya
ngamen di traffic light, nyemir sepatu, jual koran. Para gelandangan tidak
menginginkan hal tersebut di atas terjadi dengan anak mereka. Karena para
gelandangan juga beranggapan bahwa pendidikan juga menentukan masa
depan anak seperti halnya mendapatkan pekerjaan yang baik serta kehidupan
yang lebih baik dari pada kehidupan orang tuanya sekarang ini. Disamping
itu anak nantinya menjadi penerus generasi keluarga serta tumpuan hari tua,
bagi orang tuanya secara tidak langsung anak merupakan investasi orang tua.
2. Pandangan Gelandangan Terhadap Pendidikan Formal Anak.
Umumnya gelandangan sangat memperhatikan pendidikan anak
mereka, terbukti dengan salah satu anak dari subyek yang telah berhasil di
bangku STM (Sekolah Tinggi Menengah). Bukti inilah yang menegaskan
bahwa para gelandangan yang bermukim di pemukiman kumuh di daerah
Pekojan sangat mementingkan akan pendidikan anak mereka, namun ada juga
yang anaknya tidak mau sekolah sampai tinggi, karena anak beranggapan
bahwa orang tuanya tidak akan mampu untuk menyekolahkan sampai tinggi.
Gelandangan pada intinya berusaha untuk menyekolahkan anak, di
sini juga gelandangan mengharapkan ada sekolahan yang murah namun
mutunya bagus, serta dalam hal sarana mereka mendapatkan dengan gratis.
Nantinya para gelandangan juga mempunyai keinginan setelah anak-anak
mereka yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dapat melanjutkan yang
lebih tinggi.
3. Upaya Gelandangan dalam Mendorong Anak Memperoleh Pendidikan
Gelandangan juga mengupayakan anaknya untuk tetap sekolah
walaupun penuh dengan kesederhanaan. Maksudnya mereka tidak
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang kualitasnya baik seperti yang
ada di kota tetapi mereka lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah yang kualitasnya kurang baik, biaya pendidikan yang murah dan
prasarana yang kurang menunjang seperti yang ada di desa. Tetapi hal ini
sudah dirasa cukup bagi mereka untuk mengupayakan pendidikan bagi anak-
anak mereka.
Mereka beranggapan bahwa setelah mendapatkan pendidikan formal
seperti yang telah diwajibkan oleh pemerintah yaitu Wajib Belajar 9 tahun,
gelandangan membebaskan anaknya untuk mengikuti pendidikan atau
pelatihan yang cocok bagi mereka dan yang bersifat aplikatif (langsung dapat
dipraktekkan). Seperti halnya kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan yang
dianggap berguna bagi kehidupan mereka kelak dalam mencari pekerjaan
atau bekerja.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan yang terangkum dalam simpulan
tersebut, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Pemerintah menyediakan suatu lembaga atau suatu yayasan yang
menampung anak anak dari keluarga gelandangan atau anak anak
gelandangan itu sendiri yang dalam yayasan tersebut memberikan pendidikan
formal maupun informal serta didukung dengan biaya pendidikan yang cukup
ekonomis atau dapat terjangkau bagi keluarga gelandangan.
2. Anak-anak dari keluarga gelandangan atau anak-anak gelandangan tersebut
diberikan pendidikan yang besifat advokatif.
3. Para gelandangan harus memikirkan anaknya walaupun sekarang mereka ikut
dengan saudara yang ada di desa, karena akan lebih baik anak tersebut ikut
orang tuanya sendiri. Sehingga orang tua tersebut dapat melihat
perkembangan anak secara langsung terhadap pertumbuhan anak
4. Gelandangan harus mengedepankan pendidikan anaknya, karena pendidikan
anak jauh lebih penting dibandingkan dengan kebutuhan yang lain.
Pendidikan di sini tidak hanya pendidikan formal saja, tapi juga non formal.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati,2001,”Ilmu Pendidikan”,Jakarta : Rineka Cipta.
Biro Pusat Statistik, 1980, Pertumbuhan dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta:
BPS.
Cooley, 1980, “Bimbingan dan Pembinaan Keluarga”, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dirjen Dikti, 1983/1984
Emmy Budiartati, 1994, Pelaksanaan Pendidikan Keluarga di Lingkungan
Masyarakat Gelandangan, Jurnal PLS Semarang, IKIP.
Jang A. Muttalib dan sadjarwo, 1988, “Gelandangan dalam Kancah Revolusi”,
Jakarta, LP3ES.
Ki Hajar Dewantara, 1977, “Bagian Pertama Pendidikan”, Yogyakarta: Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa.
Lexy.J. Moloeng, 1998,”Metode Penelitian Kualitatif”, Bandung:Remaja Rosda
Karya.
Markum, 2002, “Pernik-pernik Pendidikan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. D. Raharjo, 1988, “Potensi Sumber Daya”, Jakarta:LP3ES.
Ny. Saparinah Sadli, 1988, “Perilaku Gelandangan”, Jakarta : LP3ES.
Paulus Mujiran, 2002, “Pernik-Pernik Pendidikan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayadiman Suryohadiprojo, 1987,” Menghadapi Tantangan Masa Depan”, Jakarta:
PT Gramedia.
Siti Rahayu Haditono,et.all, 1987, “Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam
Berbagai Bagiannya”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sungaripan, 2000, Hubungan Pendidikan dalam Keluarga dan Motivasi Belajar
Terhadap Prestasi Belajar Elektronika Siswa Kelas II SLTP Negeri I Winong
Kabupaten Pati. Skripsi. Strata I Jurusan Pendidikan Teknik Elektro, FT
UNNES Semarang, Tidak di Terbitkan.
Soetjipto Wirosardjono, 1988, “Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan
Penanggulangan”, Jakarta: LP3ES.
Umar Khayam, 1988, “Mengapa Hidup Menggelandang”. Jakarta: LP3ES.
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional: Fokusmedia.
Y.Argo. Twi Kromo, 1999,”Gelandangan Yogyakarta”, Yogyakarta: Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Catatan Lapangan
Observasi pertama kali:
Peneliti mengadakan observasi guna mencari lokasi atau daerah yang cocok
dengan tema penelitiannya yaitu mengenai gelandangan. Observasi dimulai pukul
19.00 berlangsung selama 2 jam ya berakhir sekitar pukul 21.00. Awalnya peneliti
beranjak di daerah pasar johar, peneliti ditemani dengan temannya. Kami berdua
pertama kali singgah di depan pasar johar tepatnya dibelakang swalayan matahari
johar, yang letaknya di bangunan kosong yang belum jadi. Kami berdua singgah
didepan pemukiman tersebut yaitu sebuah toko bola dan warung minuman, kami
bicang-bincang dengan penjualnya cukup lama akhirnya kami berdua diberi saran
untuk masuk mencoba bicara sendiri akan maksud kami berdua dan disuruh hati-hati.
Akhirnya kami berusaha masuk walaupun hati kami dipenuhi rasa takut, kami sangat
kaget sekali karena kami disambut dengan pemandangan yang tidak mengenakan
untuk dilihat mata yaitu penuh orang laki-laki yang minum-minum dan sedang
berjudi. Namun dengan keadaan yang seperti itu tidak membuat kami berdua untuk
mengurungkan niat kami semula, dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati
menayakan kepada seorang ibu yang menghuni pemukiman untuk mengutarakan niat
kami yaitu menjadikan ibu menjadikan responden peneliti dalam penelitian ini.
Namun kami harus menerima kekecewaan bahwa ibu tersebut tidak mau dijadikan
informan bagi penelitian. Kami berdua pamit dengan ibu tersebut beserta orang-
orang yang berada dikerumulan tadi.
Observasi kedua:
Peneliti bersama temannya untuk mencari daerah observasian lain, observasi
kedua dimulai pagi hari sekitar pukul 09.00 sampai sekitar pukul 11.00, peneliti
bersama temannya terus menelusuri daerah pasar johar yang ada pemukiman kumuh
atau khusus gelandangan, akhirnya peneliti menemukan tempatnya yaitu diujung
daerah pertokoaan pekojan yang letaknya ditepi sungai serta dekat dengan tempat
pembuangan sampah. Peneliti kemudian bincang-bincang sedikit dengan salah satu
yang menghuni pemukiman tersebut seseorang tersebut bernama pak bandhi yang
kebetulan sesepuh dari pemukiman itu, kami menanyakan apakah kami
diperbolehkan melakukan penelitian ini dipemukiman itu ternyata kami berdua
menerima hasil yang memuaskan karena orang tersebut langsung memberi jawaban
untuk mempebolehkan kami untuk main serta melakukan penelitian ditempat
tersebut, setelah itu kami pulang. Sekitar pukul 18.30 malem peneliti bersama
kakaknya kembali ke tempat pemukiman itu untuk melanjutkan pembicaraan atau
langsung melakukan tanya jawab langsung, dimulai dari pak bandi, dalam waktu
melangsungkan tanya jawab kebetulan ada seseorang yang berceletuk “ wah nek
koyok ngene thok yo ora enak, kudunekan ono ngombene karo surungane” peneliti
merasa tidak nyaman seketika itu lalu peneliti berusaha untuk menyuruh temannya
untuk membelikan minuman serta makanan yang kebetulan ada didepan pemukiman
tersebut, peneliti mulai menanyakan dari luar instrumen atau tema penelitian sampai
menanyakan daerah tersebut berdiri setelah dengan responden pertama lalu peneliti
melanjutkan dengan responden yang kedua, sebelum peneliti beranjak dari tempat
duduk kembali ada muncul suatu celetukan “ lho kok ngombe koyok ngene piye
thooooo ”, peneliti merasa bingung namun peneliti tetap berlalu keresponden kedua,
peneliti merasa senang bertanya jawab dengan responden ini karena orangnya suka
bercanda namun peneliti menemukan suatu keganjalan bahwa responden yang kedua
ini tidak seutuhnya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh peneliti, kadang-kadang jawabannya berubah-ubah dan seseorang ini tidak
memberikan kebebasan kepada istrinya untuk memberikan informasi yang seutuhkan
apa yang di butuhkan oleh peneliti, setelah melakukan tanya jawab dengan
responden yang kedua peneliti melakukan tanya jawab dengan responden yang
ketiga rumah/gubugnya didepan gubuk/rumahnya responden kedua, pada saat itu
kami bincang-bincang dengan responden yang ketiga namun responden yang ketiga
dalam tanya jawab agak malas karena kondisinya yang agak capek sepelung kerja, ya
di bantu dengan istrinya yang kebetulan disampingnya, keadaannya lain dengan
keluarga responden kedua, karena keluarga responden ketiga orangnya kelihatan
santai tidak ditutup-tutupi mereka terbuka apa adanya, peneliti merasa bahwa
keluarga tersebut menerima penelitian ini karena mereka juga sangat memikirkan
pendidikan anaknya. Setelah melakukan tanya jawab peneliti berusaha untuk mencari
responden yang ke empat namun kata seseorang responden belum pulang dari
kerjanya dan istrinya juga, peneliti berusaha meneruskan perjalanan dan menelusuri
lorong-lorong kecil yang ada dipemukiman, peneliti merasa agak sedikit ragu-ragu
untuk menuju kerumah responden yang kelima karena keadaan yang kumuh, banyak
anjing dan tempatnya dekat dengan pembuangan sampah akhir, akhirnya peneliti
melakukan Tanya jawab, peneliti merasa kasihan dengan responden ini karena
keadaan rumah yang kecil ditempati dua orang anak beserta istrinya yang cacat fisik
sehingga mengurangi gerak geriknya.
Observasi ketiga :
Peneliti melanjutkan tanya jawab seperti biasanya peneliti juga tidak lupa
dengan membawakan bingkisan makanan untuk dimakan anak-anak kecil serta
pemuda-pemuda yang sedang berkumpul memulai dari pukul 18.30 sampai dengan
21.00, namun kondisinya sangat lain karena peneliti datang dengan teman-temannya
jadi suasana tanya jawab sangat ramai sekali apalagi didukung dengan suasana sana
banyak pemuda yang kumpul-kumpul namun dalam tanya jawab responden yang
kelima tidak ikut dalam tanya jawab tersebut karena sedang tidak enak badan serta
kebetulan istrinya pulang kedesa.
Observasi ke empat:
Seperti biasa peneliti datang dengan kakanya serta tidak lupa membawakan
bingkisan, namun kali ini peneliti merasa senang sekali karena responden yang
ketiga ada anaknya yang baru datang dari desanya jadi bisa untuk memperkuat atas
jawaban-jawaban dari kedua orang tuanya (responden ketiga), setelah melakukan
tanya jawab selesai sudah namun waktunya masih sore jadinya peneliti tetap main
disitu.
Observasi kelima :
Tidak seperti bisanya peneliti kali ini lain dari seperti biasanya, peneliti
membawa beberapa bingkisan serta kamera, alasan peneliti membawa bingkisan
karena lebaran besertaan dengan lahirnya anak dari responden kedua, jadi sekalian.
Peneliti menuntaskan petanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna
oleh para responden, jadi maksudnya observasi tersebut ialah observasi yang terakhir
mudah-mudahan saja, kalau mengapa peneliti mebawa kamera karena untuk
mengambil gambar per-keluarga serta keseluruhan keadaan yang sesungguhnya
dalam penelitian ini
Keluarga Pak Ghandi
Saya disini sudah berkeluarga, anak saya tiga saya bawa pada tahun 1981 itu
niki mboten rupo ngoten, mriki tasih alang-alang mung kulo tutupi plastik ukuran
2x3 meter, nek awan kulo gulung, wektu niku tasih ganas-ganas’e mbak, lha sekedik-
sekedik digaruk. Nek pun apik-apik’e niku digaruk, kulo nggeh prinsippe nek arep
digaruk yo garuk’o tapi yo ojo gebangeten. Memang aku manggon neng gon seng
salah, seng ora dientui karo pemerintah.
Kulo niki theng semarang pertama kali theng Patimura, dodolan Tv, radio,
jam kulo niki sagete nggeh Cuma dagang. Ggeh kulo niki dagang engkang terakhir
nggeh dodolan rosok, niki mawon pun mbade diuthik-uthik, mboten angsal manggon
theng mriki, gek usute tiyang gelandangan, gen mriku pemerintah niku ngusat-ngusut
wae.
Peneliti : Lha mbiyen ne niku ptrane niku nggeh sekolah sedanten
Responden : nggeh sekolah sedanten, engkang pertama sd kelas 1, lha bangsane
harni karo joko niku tasih alit-alit. Terus 3 tahun theng mriki kulo
lebetke tk kalih-kalihipun, TK niku theng gang lombok mriku. Lha
lulus Sd nggeh kulo karepe niku kulo ken sekolah neng SMP theng
mataram, lha pripun maleh larene mboten purun, purune niku malah
kerjo ngantos sak niki, lha niku engkang SMP niku mung Cuma
harni thok(sambil menunjuk ke arah anaknya yang bernama harni
yang kebetulan lewat dibelakang saya)
Peneliti : Tapi bapak’e kagungan keinginan kanggeh nyekolahke putrane
Responden : Nek kulo niku cita-citane duwur, kalau anaknya tidak bisa di
anukan……. Nggeh kulo mboten saget mekso tho mbak. Kulo niku
pengene nyekolahke sak tekan-tekane lha tapi bocahe pengene kerjo
mbantu-mbantu wong tuwokangge nambah-nambah ekonomi, lha
wong tuwone rak mampu.
Namine joko engkang ragil niku dijiko bos-bos las, rebutan mbak, pernah
digowo ngantik tekan suroboyo lho mbak. Sak jane kulo niki nggeh pengen anak
kulo niku sekolah sak duwur-duwur’e, men koyok wong-wong, lha anak kulo mawon
nyerah ndelok bapakku kerjone koyok ngono lha mengko biayane sekolah piye.
Sekolah adoh, biaya pendaftarane piro lha mengko nek ketompo mbanyare sekolah
piro ……anak kulo niku nyerah.
Peneliti : Lha bapak’e niku asal pundi tho pak?
Responden : nek kulo niku asli kelahiran maduro, anak’e wong gunung mbak
Peneliti : Lha bapak’e niku theng semarang niku alasannya apa boro nopo
enten tujuan liyo…?
Responden : kulo niku ceritane dhowo banget mbak…..tapi singkate wae ya,
awal nipun niku kulo minggat saking omah marai diusir goro-goro
ngilangke wedus, pertama neng Surabaya, maduro,solo, Jakarta, lha
terakhir niki nggeh theng mriki niki mbak,ket tahun 1981 kulo theng
smarang niku dodolan koran karo ajaran moco A ki piye B ki piye,
mbiyen ki Yak’I during koyok ngene mbak….
Hasil wawancara dengan keluarga pak Har
Peneliti : Bapak kok mempunyai fikiran untuk menyekolahkan anak bapak
setinggi-tinya padahal biaya hidup sehari-hari saja bapak merasa
kurang aplagi bapak harus memikirkan untuk biaya pendidikan juga,
menmgapa bapak tidak membiarkan anak bapak seperti bapak saja ?
Responden : ya itu kan demi masa depan anak saya mbak, susah apapun akan
saya lakukan dan saya usahakan agar kelak masa depan anak saya
biar wajar seperti orang-orang lain, itu tekat saya.
Peneliti : kemarin anak bapak sekolah didesa ikut dengan mbahe, mengapa
tidak ikut dengan bapak disini, kalau disinikan bapak dan ibu bisa
mengawasi dan mendidik secara langsung
Responden : ya mungkin gitu ya mbak, tapi anak saya, saya sekolahkan didesa itu
agar tidak sama dengan anak-anak kota disini, pergaulannya itu
bebas di kota jadi anak yang baik dan soleh
Peneliti : apa bapak merasa apabila anak bapak ikut bapak dengan lingkungan
seperti ini merasa nanti pendidikannya tidak lancar karena
terganggu dengan lingkungan yang seperti ini.?
Responden : anak saya kan satu-satunya jadi keinginan saya itu agar nanti anak
saya sukses.
Peneliti : dengan dititipkannya anak bapak dengan neneknya didesa itu apa
bapak tidak merasa lingkungan di desa itu lebih baik di banding
dengan disini….?
Responden : ya saya percaya desa itu lebih baik pergaulannya itu baik itu
kepercayaan saya.
Anak pak Har
Peneliti : Selama ini adik mengalami belajar nggak…?
Responden : nggak
Peneliti : kalau mengalami kesulitan adik kan jauh dari orang tua ya dalam
membimbing dalam belajar selama ini siapa .?
Responden : ya mbahe kaliyan mbak’e
Peneliti : o….disana ada kakak
Responden : kakak ponakan
Peneliti : Adik disana dapat bea siswa nggak
Responden : nggak
Peneliti : apa adik….. sekarang kan sudah disemarang, menurut adik itu lebih
nyaman mana antara didesa dan di semarang ini…
Reponden : lebih enak di semarang mbak…
Peneliti : apa alasannya…
Responden : kan ada orang tua mbak yang membimbing, setidak-tidaknya ada
orang yang mengingatkan.
Peneliti : kalau disanakan yang membimbing nenek, apa disana juga diberi
leluasa pada adik nggak sama nenek….?
Responden : kadang-kadang ada, ada waktu untuk main dan ada waktu untuk
belajar.
Peneliti : semua itu buku-buku dapat dari sekolahan atau itu beli sendiri
Responden : Dari sekolah
Peneliti : disana SD-nya Negeri/Swasta
Responden : Negeri
Peneliti : selama ini pernah dapat rangking nggak…?
Responden : pernah
Hasil wawancara Pak Suratman
Peneliti : Dulu bapak sebelum di semarang itu dimana dulu apa dari desa
langsung ke semarang ini….?
Responden : ya dari desa langsung ke semarang pada tahun 1980.
Peneliti : dulu bapak kerjanya apa, ya seperti pak amat dan pak har tapi
berhubungan ada modal dikit jadi saya belikan becak.
Responden : putranya berapa pak….?
Peneliti : dua
Peneliti : nanti bisa wawancarai anak bapak sebentar nggak pak…?
Responden : bisa…sekolah anak saya yang besar di SD kranggan sedang yang
kecil tasih Tk teng mriku gandikan
Peneliti : mengapa bapak harus menyekolahkan anak bapak, sedangkan biaya
hidup bapak aja sudah merasa pas-pasan, sekarangkan biaya untuk
sekolahkan mahal, mengapa bapak mempunyai niatan untuk
menyekolahkan anak bapak, mengapa bapak tidak membiarkan anak
bapak untuk bekerja saja, kerja jadi apa gitu buat Bantu-bantu
bapak….?
Responden : tidak semua usahanya orang tua, semua usaha itu yang nanggung ya
saya semua, masih kecil kok mbak, kan kasihan lagian mau kerja
apa….
Peneliti : kan sekarang banyak orang tua untuk nyuruh anak-anaknnya kerja
di lampu stopan kayak jualan koran, ngamen atau malah minta-
minta…
Responden : ya kan mandang bocah, bocahkan belum berpengalaman lagian saya
tidak mempunyai fikiran seperti itu, saya Cuma berfikiran moga-
moga anak saya bisa sekolah dan bisa tutuk nek sekolah dan saya
ngajari sekolah pun ngoten nek masalah gawean kuwi.
Peneliti : anak-anak kan ikut bapak disini, mengapa bapak tidak menitipkan
anak bapak didesa, agar lebih nyaman dalam pendidikannya.
Responden : ya… didesa itu ada sedulur tapi disini saya juga mengawasi dalam
belajar, habis pulang sekolah.
Peneliti : yang mengawasi pendidikan itu ibu atau bapak
Responden : ya saya, ibu tidak tau apa-apa nulis nggak ngerti.
Nama : Pak Amat Tanggal Wawancara : 14 Mei 2004
Umur : 34 tahun Lama Wawancara :
Asal : Semarang Penghasilan : Rp. 20.000 per/hari
Tanya : Asmanipun Bapak sinten ?
Jawab : Nggeh sampun kulo parengi ngertos tho mbak, Amat.
Tanya : Umur Bapak, pinten ?
Jawab : Sak ngertose kulo niku kelahiran tahun 1970.
Tanya : Bapak asal pundi ?
Jawab : Kulo asal Semarang, kelahiran Cerobonan Kampung Melayu.
Tanya : Bapak teng mriki sampun pinten tahun ?
Jawab : 10 tahun.
Tanya : Bapak sampun nikah ?
Jawab : Sampun…
Tanya : Bapak tamatan sekolah nopo, Pak ?
Jawab : SD mboten tamat niku, kulo kelas 4 medal.
Tanya : Bapak sampun kagungan putra nopo dereng ?
Jawab : Sampun.
Tanya : Berapa, Pak…?
Jawab : Nggeh kalih.
Tanya : Umur nipun pinten pak ?
Jawab : Lare kulo 13 tahun., engkang nomor kaleh tasih theng wetenge ibune
Tanya : Ibu asmanipun sinten, Pak ?
Jawab : Yatik.
Tanya : Ibu asli pundi, Pak ?
Jawab : Nggeh sebut mawon Demaklah, memang wong demak. Kulo mboten
pernah wangsul.
Tanya : Bapak ting Semarang niki boro nopo kagungan tujuan ?
Jawab : Nek kulo kagungan tujuan, tujuan niku boro nggeh pados kerjo, nek
mangkeh kulo kagungan arto nggeh wangsul dusun.
Tanya : Bapak pakerjaan nipun mbhen dinane nopo….?
Jawab : Buruh.
Tanya : Buruh nipun nopo, Pak ?
Jawab : Nggeh pemulung.
Tanya : Per harinya kalau dibulatkan penghasilan ?
Jawab : Wah, penghasilan niku mboten mesti.
Tanya : Minim nipun pinten, Pak ?
Jawab : Lha, minim niku dhi rendahke nopo didhuwurke
Tanya : Nggeh , direndahke…… ?
Jawab : Nek ditinggike mengko diarani ngluwihi Pegawai Negeri, minimal
gampangane kulo damel angsal Rp 20.000,-.
Tanya : Lha, Bapak niku kerjo mangkate jam pinten ?
Jawab : Nek mangkat niku mboten mesti, nek jenenge pemulung niku katah saingan,
nggeh wonten istilahe niku mangkat gasik penghasilane lumayan, namun
nek sampun siang nggeh istilahe mboten angsal nopo-nopo …… nek kulo
niku jam 8 utowo jam 9.
Tanya : Kondore jam pinten, Pak…….?
Jawab : Nggeh kulo niku sak angkatan kulo wangsul sak ubengan wangsul sonten
kulo timbang aken ngoten.
Tanya : Lha niku daerah pencarian Bapak pertama-tama saingan kaleh rencang-
rencang nopo pados lahan piyambak-piyambak ?
Jawab : Nggeh persaingan, wong jenenge pemulung istilahe adu nasib, nek nasib’e
sae nggeh angsal buangan nopo nggeh saget langsung wangsul, nek mboten
angsal buangan nggeh mubeng mawon nek sampun sepen nggeh wangsul.
Tanya : Engkang dipendeti Bapak milih-milih nopo mboten, nopo kerdus…, nopo
plastik…… ?
Jawab : Pokok’e sing payu, nggih kulo beto.
Tanya : Kundure paling gasik jam pinten ?
Jawab : Jenenge pemulung, nek kebak nggeh kulo wangsul mboten kenal waktu,
sing penting waktu adalah uang.
Tanya : Pak, pertama kali merantau, pertama kali boro saking dusun, sak derenge
teng pundhi riyen, Pak ?
Jawab : Nggeh langsung teng mriki, mbak.
Tanya : Masalah tempat tinggal di sini itu bagaimana Pak keadaannya? Yang
sebenarnya di lingkungan sekitar ?
Jawab : Enak
Tanya : Dengan penduduk setempat ?
Jawab : Tidak masalah, malah diberi dukungan
Tanya : Terus di pihak kelurahan mengetahui nggak, kalau di sini ada tempat tinggal
Jawab : Mengetahui mbak.
Tanya : Bapak Resmi ?
Jawab : Ya … disebut resmi …. Ya resmi, disebut tidak resmi ya tidak resmi.
Tanya : Tapi Pak Lurah mengetahui …. ?
Dukungan berupa bagaimana, apa memperbolehkan atau …?
Jawab : Inggih, gampangane mboten dipermasalahkan ….
Istilahnya kita menempati kita tidak membuat onar. Kita tidak memberi
cemar.
Tanya : Dipungut biaya nggak pak ?
Jawab : Nggak.
Tanya : Putra Bapak sekolah nggak, Pak ?
Jawab : Sekolah.
Tanya : Yang pertama ?
Jawab : Kelas 3 SD
Tanya : Terus Bapak itu mengenai pendidikan anak Bapak, diserahkan ke Ibu
semuanya, apa Bapak juga ikut mengawasi …. ?
Jawab : Ya sebagai orang tua mengawasi
Tanya : Terus Bapak mempunyai cita-cita nggak, kalau anaknya untuk sekolah lebih
tinggi?
Jawab : O …. Sebagai orang tua harus mempunyai cita-cita, harus anaknya
mempunyai cita-cita yang tinggi lah.
Tanya : Itu Pak, kalau lingkungan seperti itu mempengaruhi nggak dengan
keberadaan pendidikan anak, dibandingkan dengan dulu Bapak di pedesaan,
Bapak?
Jawab : Ya kita tinggal kemampuan orang tua ya mbak, pendidikan orang tua
bagaimana, pergaulan anak itu bagaimana, yang penting kita orang tua harus
mendukung.
Tanya : Terus cara belajar anak sepanjang pengetahuan Bapak selama ini
bagaimana?
Jawab : Kalau anak saya jam 7 belajar sebentar, setelah itu saya suruh bermain
sebentar.
Tanya : Terus ada hambatan nggak, Pak ? Dalam membiayai anak Bapak di
sekolah?
Jawab : Dalam hambatan membiayai sekolah, itu kalau kira-kira ada hambatan ada
yang bantu nggak…
Tanya : Ya… nanti setiap sekolah ada beasiswa, Pak…?
Jawab : Memang mbak setiap sekolah ada beasiswa, orangkan anak sekolah punya
pendidikan yang bagus pastikan dapat beasiswa….ya kalau orang tua tidak
mampukan pasti ada yang bantu, nanti kalau saya bilang o….. ini tidak
dapat bantuan……ya dapat bantuan……mbak.
Tanya : Pak, cara Bapak memberi semangat pada anak agar anak rajin belajar itu
bagaimana, Pak…apa nanti kamu dapat ranking nanti kami kasih apa gitu ..?
Jawab : Ya, kita sebagai orang tua kita……ya nak kamu belajar bagus dapat ranking
saya belikan …… belikan apa Pak. Sepeda, kalau nggak naik……ya tidak
saya belikan apa-apa, sebagai orang tua …….semboyan orang tua “anak
pintar dapat ranking, pintar pasti orang tua pun nggeh sampun ngertos
sisilah barang-barang engkang sae. Kulo kagungan ngiyup teng
griyo….namun tiyang sepah kulo kagungan hajatiku garwane Pak Amat
nggeh……?
Tanya : Asmanipun Ibu sinten ?
Jawab : Sugiyati.
Tanya : Umur Ibu pinten ?
Jawab : 35 tahun.
Tanya : AsPutranipun kalih, Bapak kalau pagi-siang/sore cari uang, Ibu yang lha
pengawasan anak belajar itu dimana…….?
Jawab : Nggeh mboten niku ikut cari nafkah ?
Jawab : Iya.
Tanya : Tapi, Bu juga dapat mengawasi lho Bu, tempat tinggalnya kan dekat dengan
Pak Bandhi
Jawab : Jauh.
Tanya : Teng mriki, ndak enten tiyang sinis, Pak ?
Jawab : Nggeh tanggapane ngenten mbak, istilahe tiyang mriki ngraosaken sinis
niku nggih, diarani sinis nggeh sinis, diarani mboten nggeh mboten.
Kebanyakan tiyang mriki sok kadang, kemampuan tiyang niku kadang,
nggeh nggauli tiyang mriki ngrakul, nek pas kagungan nggeh petal…..
Tanya : Nek mriki nggeh, Pak, misal nek enten kegiatan kampung mriki di ikut
sertakan mboten, Pak ?
Jawab : Nek mriki……… enten kegiatan kados 17-an niku, nek tiyang mriki
diadakan piyambak, mboten ngikuti RT/RW. Kita sebagai bangsa Indonesia
harus wajib menghormati dan harus merayakan kados wong-wong
liyane….Piye sesuk 17-an diperingati lomba yo….. sekedar sederhana
sajalah …..anak-anak dilombake……..makan krupuk…….hadiah’e pulpen,
nggeh nek Suro, nggeh ngoten ……tumbas roti Rp. 3.000 digelar melik-
melik terus jam 10 tilem mboten nopo-nopo…….tapi niku tiyang
mriki…….kulo mboten ngerti nek wong liyo………niku tahun mbiyen nek
sak niki marai salonne bar digawani balek ndeso……tapi rame meriah.
Tanya : Tapi mriki lingkungan larene sekolah sedanten, Pak ?
Jawab : Nggeh nek istilahe lare kulo sekolah………kaleh larenipun Pak Man
sekolah…….nggeh niku larene Pak Ranto niku mboten sekolah, nggeh
mboten purun sekolah, niku tiyang sepuhe mboten merhathek’e………niku
nek karepe Ibu’e pengen nyekolahke larene, berhubung Bapak niku mboten
merhathek’e………. kadang niku diunekke kaliyan Pak Bandhi kok “To,
kowe kalah karo Pak Man, lha anak’e Pak Man sekolah kok anakmu ora
sekolah”, lha wong Pak Man iso merhathek’e sekolah, mosok kowe ora iso
merhathek’e sekolah” ngoten…….
Tanya : Bu, nek putrane ……..anak mempunyai segi ekonomi nggak, Bu ?
Jawab : Ya, ndak.
Tanya : Maksudnya habis sekolah itu mbantu orang tua maksudnya kalau anak itu
masih Sekolah Dasar ?
Jawab : Dolan, niku wong dikandhani angel kok, mbak.
Tanya : Tapi, menurut Ibu bisa mbantu orang tua ?
Jawab : Nek, dikongkon ngumbai yo mangkat, tapi nek ora dikongkon yo ora
mangkat, ora ngerti karepe dhewe.
Tanya : Tapi menurut Ibu biarkan anak itu bermain ?
Jawab : Ya, belajar.
Tanya : Lha habis belajar kan bermain gitu ……….kalau disuruh kerja cari uang itu
bagaimana, Bu ?
Jawab : Ya jangan, kasihan.
Nama : Bapak Haryadi Tanggal Wawancara :
Umur : 35 Tahun Nama Wawancara :
Asal : Klaten Penghasilan : Rp. 20.000/hari
Tanya : Pak nama Bapak Siapa, Pak ?
Jawab : Haryadi
Tanya : Asal nipun pundi, Pak ?
Jawab : Klaten
Tanya : Lha, umur nipun Bapak ?
Jawab : 35 tahun.
Tanya : Udah nikah nopo dereng ?
Jawab : Udah.
Tanya : Pak sak niki masalah pendidikan, Bapak tamatan apa ?
Jawab : SD belum tamat, SD kelas 6 udah keluar, mau kelulusan keluar, sebab
faktor biaya.
Tanya : Faktor biaya juga, Pak ?
Jawab : Iya.
Tanya : Bapak tinggal teng mriki sampun pinten tahun ?
Jawab : 10 tahun.
Tanya : Sampun kagungan putra, Pak ?
Jawab : sampun.
Tanya : Umur anak, Bapak ?
Jawab : 18 tahun.
Tanya : Lha Bapak theng Semarang boro nopo enten tujuan ?
Jawab : Boro dan masalah kerjaan.
Tanya : Bapak pekerjaan tiap harinya nopo, Pak ?
Jawab : Pemulung.
Tanya : Sami kaliyan Pak Amat, nggeh ?
Jawab : nggeh, sami.
Tanya : Bapak berangkat kerja jam berapa ?
Jawab : Saya biasa berangkat kerja dari jam 3 sore sampai kalau badan kuat ya
sampai jam 9 ndhalu/10 ndhalu.
Tanya : Tiap harinya upah Bapak engkang diterima minim pinten ?
Jawab : Soal upah belum tentu, itu kan masalah rejeki itu bisa lebih dari Rp 10.000,-,
kadang kurang, kadang sampai Rp 20.000,-.
Tanya : Niki masalah tempat tinggal disini diketahui kelurahan, Pak ?
Jawab : Ya, diketahui sih diketahui, tetapi tidak resmi.
Tanya : Pak, disini dipermasalahkan masyarakat setempat tidak ?
Jawab : Mboten mbak.
Tanya : Dipungut biaya tidak, untuk tinggal di sini ?
Jawab : Oh, tidak ada.
Tanya : Masalah pendidikan anak, anak Bapak sekolah kelas berapa ?
Jawab : STM kelas 3 teng Klaten.
Tanya : Sekarang udah mau lulus nggeh, Pak ?
Jawab : Iya, mbak.
Tanya : Mengenai pendidikan itu kok anak Bapak sampai STM itu masalah biaya
bagaimana, Pak ?
Jawab : Iya, itu gotong royong dengan istri, istri saya kan bekerja, kalau saya
sendiri, saya rasa juga tidak kuat, susah payah.
Tanya : Bapak mempunyai cita-cita untuk anak, untuk menjadi bagaimana kelak… ?
Jawab : Supaya anak saya bekerja dengan baik, bisa melebihi orang tuanya
kehidupan nantinya.
Tanya : Masalah niki Pak, cara mendidik anak dalam belajar itu bagaimana, Pak,
dipantau terus tiap harinya atau bagaimana…….?
Jawab : Saya kan tiap dua minggu istri saya pulang lalu giliran 2 minggu lagi saya
yang pulang dan rumah itu saya titipkan sama kakak saya.
Tanya : Jadi dalam pengawasan pendidikan itu diawasi oleh Kakak Bapak ?
Jawab : Iya.
Tanya : Disana lingkungan sama seperti, sini gak, Pak ?
Jawab : Nggak, pedesan, perkampungan.
Setelah wawancara dengan Bapak Hariyadi, sebetulnya ingin wawancara
dengan istrinya, berhubungan pada saat itu istrinya sedang istirahat maka, peneliti
membuat janji pada hari sabtu tanggal Mei 2004, pada pukul 18.30.
Tanya : Ibu garwane Pak Hariyadi nggeh …?
Jawab : Ya…mbak.
Tanya : Umur nipun Ibu pinten ?
Jawab : 33 tahun
Tanya : Asal pundi, Bu ?
Jawab : Klaten, mbak.
Tanya : Ibu nyambut damel nopo, Bu ?
Jawab : Buruh, niku mbak. Buruh nipun rumah tangga.
Tanya : Nggeh ngewangi Bapak pados arta nggeh…. ?
Jawab : Nggeh……
Tanya : Lha Ibu tamatan kelas pinten ?
Jawab : Kelas 5 SD ora tamat.
Tanya : Lha Ibu masalah mendidik anak nggeh, Bu….?
Cara nipun Ibu mendidik anak pripun ?
Jawab : Sing ndidik Bapakne, nek tak didik angel koyok ngono kae mbak, marai
bocah lanang.
Tanya : Putrane pinten, Bu ?
Jawab : Setunggal, mbak.
Tanya : Umur’e pinten ?
Jawab : 18 tahun.
Tanya : Sak niki kelas pinten nggeh, Bu ?
Jawab : Mbade lulus niki ….. ?
Tanya : Kok saget duwur nggeh ? Lha Ibu niku kagungan cita-cita nopo mboten
kanggeh larenipun ?
Jawab : Nggeh gadhah, mbak.
Tanya : Terus niku, putranipun Ibu teng mriki mboten… ?
Jawab : Nggeh teng Klaten, mbak ?
Tanya : Ket kelas pinten niku, Bu ?
Jawab : Ket kelas 4 SD.
Tanya : Lha niku sak derenge teng Klaten putrane dalam pengawasane Ibu nopo
mboten
Jawab : Nganu riyen, niku tumut Mbok Dhene, lha sak niki kan sampun gedhe,
nggeh teng griyo piyambak.
Tanya : Berarti teng mriko Ibu’e kagungan griyo ?
Jawab : Yo, elek-elek’an sih mbak.
Tanya : Terus menurut Ibu, nggeh Bu? Pandangan Ibu terhadap anak itu bagaimana?
anak itu mempunyai segi ekonomi nopo mboten ?
Jawab : Punya.
Tanya : Kan ada Bu, sebuah kasus, itu anak habis sekolah disuruh mencari uang
untuk membantu orang tuanya, misalnya dengan mengamen di lampu merah
atau jualan koran. Pandangan ibu gimana …?
Jawab : Ya, tidak enak mbak !
Tanya : Maksudnya gimana, Bu ?
Jawab : Yo nek iso kerjo liyane wae.
Tanya : Gini buk, anak itu masih duduk di Sekolah Dasar, nek wonten orang tua
yang kayak gitu, menurut Ibu gimana ?
Jawab : Yo, ojo mbak men wong tuwo wae sing kerjo rekoso ora popo, seng penting
anak’e sekolah wae.
Tanya : Ibu pernah menerima laporan dari Sekolah, anak’e mboten mlebet, nopo
dalam pembelajaran ?
Jawab : Mboten pernah niku, mbak…?