3 - Pengembangan Kelembagaan Dan Jejaring Sosial Dalam Pe

14
3 Pengembangan Kelembagaan dan Jejaring Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat Pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi berskala kecil dan menengah perlu menjadi sasaran utama dalam kegiatan pembangunan yang berbasiskan komunitas. Melalui pengembangan kelompok-kelompok seperti itu, diharapkan akan mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya beli masyarakat, dan pada gilirannya mampu berdampak ganda terutama memberikan peluang pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas. Untuk pengembangan kelompok-kelompok sosial ekonomi tersebut , perguruan tinggi, LSM, dan stakeholders yang lain dapat berperanserta melalui pendekatan hubungan kelembagaan dan jejaring sosial. Jejaring pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital). Disamping itu, pengembangan kelembagaan menjadi sangat penting dalam pengembangan usaha-usaha ekonomi 25

description

3 - Pengembangan Kelembagaan Dan Jejaring Sosial Dalam Pe

Transcript of 3 - Pengembangan Kelembagaan Dan Jejaring Sosial Dalam Pe

PENGEMBANGAN MASYARAKAT (COMMUNITY

3

Pengembangan Kelembagaan dan Jejaring Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat

Pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi berskala kecil dan menengah perlu menjadi sasaran utama dalam kegiatan pembangunan yang berbasiskan komunitas. Melalui pengembangan kelompok-kelompok seperti itu, diharapkan akan mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya beli masyarakat, dan pada gilirannya mampu berdampak ganda terutama memberikan peluang pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas.

Untuk pengembangan kelompok-kelompok sosial ekonomi tersebut , perguruan tinggi, LSM, dan stakeholders yang lain dapat berperanserta melalui pendekatan hubungan kelembagaan dan jejaring sosial. Jejaring pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital). Disamping itu, pengembangan kelembagaan menjadi sangat penting dalam pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena sampai sejauh ini pengembangan tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.

Pengembangan kelembagaan sosial tersebut salah satu alternatifnya dapat dikembangkan dengan pendekatan Jejaring Kelembagaan Kolaboratif mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat lokalitas, menunjukkan bahwa implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisiptaif, adanya komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada sangat membantu memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya pengembangan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas.

1. Kelembagaan dalam Pengembangan MasyarakatKelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social-institution. Akan tetapi adapula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social institution tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koentjaraningrat (1964) mengatakan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.

Oleh karena itu, dalam bab ini konsep kelembagaan sosial (social institution) bukan yang dimaksud dengan istilah kelembagaan (yang berasal dari kata institute) yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah kelembagaan biasanya merujuk kepada suatu badan, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai bentuk organisasi yang memiliki beragam tujuan. Dengan demikian, dalam Sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak, 1966).

Perihal sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu, apabila diwujudkan dalam hubungan antar manusia dinamakan organisasi sosial (social organisation). Di dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut dapat dikategorikan ke dalam berbagai kebutuhan pokok kehidupan manusia. Misalnya, untuk kebutuhan matapencaharian menimbulkan kelembagaan pertanian, peternakan, koperasi, industri, dan lain-lain. Untuk kebutuhan hidup kekerabatan, menimbulkan kelembagaan keluarga, pelamaran, perkawinan, perceraian, dan sebagainya. Dengan demikian, seperti yang dinyatakan oleh Soekanto (1990), kelembagaan sosial terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf kebudayaan bersahaja atau modern.

Selanjutnya, setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila dikelompokkan akan terhimpun menjadi kelembagaan sosial. Sebagai suatu batasan, dapatlah dikatakan kelembagaan sosial merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud kongkrit kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (association). Sebagai contoh, universitas merupakan kelembagaan sosial, sedangkan UR, IPB, UI, UGM, ITB dan lain-lain adalah contoh-contoh asosiasi. Dari contoh-contoh tersebut, tepatlah batasan kelembagaan sosial yang dikemukakan oleh Bertrand (1974), bahwa kelembagaan sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya.

Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku. Konsisten dengan itu, maka fungsi kelembagaan sosial menurut Van Doorn dan Lammers (1959) adalah : (1) Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan; (2) Menjaga keutuhan, dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; (3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya; dan (4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Fungsi-fungsi di atas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan dengan teliti kelembagaan-kelembagaan sosial di masyarakat yang bersangkutan.

Dalam beberapa literatur dapat diidentifikasi berbagai definisi tentang kelembagaan sosial. Diantaranya, ada yang tidak jelas membedakan antara ke kelembagaan sebagai suatu sistem peraturan-peraturan dan kelembagaan sebagai kelompok yang bersusunan dan berkelakuan menurut peraturan-peraturan tersebut. Bahkan Broom dan Zelznick (1956) mengatakan, jika suatu asosiasi melayani kepentingan umum dan bukan hanya kepentingan pribadi, dilakukan secara teratur, tetap dan diterima oleh umum, maka dapat disebut suatu institution. Jadi kelembagaan dan asosiasi adalah sama, hanya yang pertama melayani kepentingan umum dan yang kedua melayani kepentingan khusus. Pendapat Ogburn dan Nimkoff (1960) pada hakekatnya juga sama dengan pan-dangan di atas, bahwa tiada garis pemisahan yang jelas diantara kelembagaan dan asosiasi, kecuali kelembagaan pada umumnya bersifat lebih penting. Demikian pula menurut Uphoff (1993), sampai sejauh ini memang belum ada yang membedakan secara eksplisit antara institusi dan organisasi. Meskipun demikian Uphoff menegaskan, bahwa: institutions, whether organisations or not, are complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively valued purposed, while organisations, whether institutions or not, are structures of recognized and accepted roles.

Meskipun demikian, sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan itu bersifat suatu konsepsi, dan bukan sesuatu yang kongkrit. Suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari segi struktural berupa pelbagai peranan sosial. Kedua segi tersebut berhubungan erat satu sama lain.

Pandangan lain ialah yang memandang bahwa kelembagaan sosial sebagai kompleks peraturan-peraturan dan peranan sosial yang mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting. Pandangan seperti ini berimplikasi kepada perbedaan pemahaman tentang asosiasi. Seperti telah dinyatakan di atas, Ogburn dan Nimkoff berpendapat bahwa kelembagaan dan asosiasi pada prinsipnya sama, hanya kelembagaan lebih penting dan umum, sedangkan asosiasi kurang penting dan bertujuan spesifik. Namun demikian, keduanya merupakan bentuk-bentuk organisasi sosial dan pengertian organisasi sosial disamakan dengan struktur. Oleh karena itu, struktur diarti-kan lebih luas.

Sebaliknya, organisasi adalah struktur khusus yang dibentuk dan disusun dengan sengaja untuk kelompok-kelompok tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa ada dua perspektif tentang kelembagaan sosial. Pertama, suatu perspektif yang memandang baik kelembagaan maupun asosiasi sebagai bentuk organisasi sosial, yakni sebagai kelompok-kelompok, hanya kelembagaan bersifat lebih universal dan penting. Sedangkan asosiasi bersifat kurang penting dan bertujuan lebih spesifik. Misalnya, keluarga dan negara adalah kelembagaan, sedangkan klub-klub sepakbola dan serikat-serikat buruh adalah asosiasi. Kedua, perspektif yang memandang kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak, dan memandang asosiasi-asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi yang kongkrit.

Secara teoritis dan praktis, perspektif pertama mampu membedakan beragam asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi sosial dengan tujuan-tujuan spesifik. Dalam masyarakat modern dikenal banyak kelompok-kelompok demikian, yang mempunyai tujuan spesifik untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dengan demikian, asosiasi-asosiasi dihubungkan dengan beragam kepentingan dan kebutuhan dalam masyarakat modern yang kompleks. Sedangkan perspek-tif yang kedua, secara prinsipil memandang penting proses pekelembagaan (institutionalization) dan pembaharuan kelembagaan sosial.

Terlepas dari perbedaan antara kedua perspektif tersebut, kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri pokok yang membedakannya dari konsepsi-konsepsi lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi adalah sebagai berikut (Soekanto, 1990): (1) Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya; (2) Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan suatu norma memerlukan waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan; (3) Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu; (4) Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan; (5) Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu; dan (6) Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis

2. Jejaring dalam Pengembangan Masyarakat: Suatu Perspektif Modal SosialModal sosial didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world-view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal-balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan (Colletta & Cullen, 2000).

Modal sosial memiliki empat dimensi. Pertama adalah integrasi (integration), yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. Contohnya adalah ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama. Kedua adalah pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal. Contohnya adalaj jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik, dan agama. Ketiga adalah integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations). Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak bagi aprtisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market), berada pada tingkat vertikal.

Modal sosial berkaitan erat dengan perdamaian maupu konflik kekerasan, tergantung pada modal sosial yang terbentuk. Diantara modal sosial dengan perdamaian dan kekerasan, terdapat variabel antara, yaitu kohesi sosial (social cohesion). Kohesi sosial adalah terintegrasinya dimensi modal sosial pada tingkat horizontal dengan vertikal. Bila kohesi sosial kuat, maka konflik kekerasan dapat dihindari. Sebaliknya, konflik kekerasan terjadi manakala kohesi sosial lemah. Kohesi sosial yang kuat ditandai dengan inklusi, adanya rule of law, negara demokratis, akses dan persamaan terhadap kesempatan, birokrasi yang efisien dan tidak korup serta masyarakat yang terbuka. Sedangkan kohesi sosial yang lemah ditandai dengan eksklusi, negara yang otoritarian dan menindas, ketimpangan dan ketidakadilan, birokrasi yang tidak efisien dan korup serta masyarakat yang tertutup.

Pemahaman lain tentang modal sosial difokuskan pada seperti halnya modal pada umumnya. Pokok permasalahan modal sosial adalah harus dapat diidentifikasi melalui konsep modal itu sendiri, dan kata sifat yang menjelaskannya, yakni sosial. Oleh karena dalam dunia empiris sulit membedakan seseorang tentang faktor apa yang bekerja dalam dirinya sehingga orang tersebut menampilkan suatu tindakan tertentu, dan menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi perkembangan dirinya, perlu mengidentifikasi beberapa macam modal yang mungkin dimiliki atau yang dapat dikuasai atau dimanfaatkan seseorang dalam kegiatannya: dalam modal sosial, modal manusia, dan modal fisik.

Modal pada mulanya merupakan konsep ekonomi. Di dalamnya terkandung pengertian: (1) investasi jangka pendek, menengah, dan panjang; (2) pengorbanan saat ini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; (3) wujudnya jelas, artinya dapat diamati, dipegang, atau dibuktikan melalui uji tindak (khusus modal manusia); (4) sumbangannya dalam proses produksi dapat dihandalkan, diukur, sehingga hasil akhirnya dapat diramalkan; (5) merupakan produk buatan manusia yang disesuaikan dengan fungsinya dalam proses produksi. Permasalahannya, apakah modal sosial memiliki sifat-sifat seperti itu ?

Apabila konsep sumberdaya manusia (SDM) dibandingkan dengan konsep modal manusia, apa persamaan dan perbedaannya ? Kedua konsep tersebut sama-sama menunjuk pada kemampuan teknis, ketrampilan yang dimiliki seseorang, yang dalam konsep SDM merupakan daya yang dapat digunakannya untuk bergerak, bekerja, sedangkan dalam konsep modal manusia itu merupakan modal yang dapat digunakan, dirancang untuk memproduksi sesuatu. Perbedaannya terletak pada nilai modal yang terdapat dalam modal manusia, dimana wujud dari modal itu dapat diperhitungkan secara kurang lebih eksak untuk suatu proses produksi. Sedangkan SDM yang dimiliki seseorang lebih mencakup kemampuan orang secara menyeluruh sebagai manusia, termasuk di dalamnya kemampuan sosiologis dan kematangan psikologis. Dengan demikian, dalam SDM terkandung dua modal, yakni modal manusia dan modal sosial. Kedua modal ini sama-sama merupakan produk sosial, artinya diperoleh melalui interaksi sosial dalam masyarakat.

Modal fisik, yang jelas dari namanya, wujudnya dapat dipegang, dilihat, dinilai, diukur daya tahan dan kekuatannya dalam suatu proses produksi. Bentuknya dapat berupa prasarana dan sarana fisik. Akan tetapi perlu perlu dilakukan pembedaan dari segi kepemilikan dan penguasaan: (1) modal fisik milik dan penguasaan pribadi; (2) milik dan penguasaan kelompok terbatas; dan (3) penguasaan terbatas. Orang atau kelompok dapat memperhitungkan modal fisik dalam wujudnya yang berbeda untuk memasukkannya dalam proses produksi.

Meskipun sampai saat ini wujud modal sosial belum sejelas wujud modal manusia dan modal fisik, namun pemahamannya lebih menekankan pada hubungan timbal-balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Wujud modal yang dimaksud: dapat dirasakan, dilihat, dihandalkan, diharapkan, dan digunakan. Modal merupakan potensi yang penggunaannya tergantung pada keputusan orang (actor) atau kelompok dengan dasar pertimbangan tertentu, bisa bersifat rasional, bisa sosial, dan bisa pula psikologis (Fukuyama, 2001). Selain itu sesuai dengan sifat modalnya, modal sosial merupakan stock yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk efektifitas dan efisiensi proses produksi.

Sampai sejauh ini, tidak banyak pakar yang menjelaskan sifat sosial dalam konsep modal sosial. Padahal hal itu penting untuk dipaparkan. Kata sifat sosial dalam konsep ini tidak bersifat netral lagi, karena: (1) adanya saling-menguntungkan paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau manusia pada umumnya; (2) diperoleh melalui proses sosial: interaksi, sosialisasi, institusionalisasi, strukturasi, dan sebagainya; (3) menunjuk pada hubungan sosial, institusi, struktur sosial (Dasgupta, 2000); dan (4) semua sifat atau konsep yang berhubungan dengan antara lain rasa percaya (trust), resiprositas, hak dan kewajiban, jejaring sosial, dan sebagainya.

Oleh karena luasnya pengertian modal yang ditunjukkan oleh sifat sosialnya, maka sampai sejauh ini pemahaman modal sosial dibatasi pada sifat lokalitas, seperti pada masyarakat madani, pemerintah atau negara, atau partai politikyang dipertimbangkan untuk menentukan konsep apa yang paling penting baginya. Misalnya, dalam bidang irigasi yang dikelola oleh pemerintah, yang menonjol adalah pengaturan (regulation) distribusi air yang didasarkan pada kemampuan dibit air, luas areal, curah hujan, struktur tanah, dan pola tanam yang berlaku di daerah tersebut. Sedangkan rasa percaya, sanksi, kewajiban timbal balik antara pemberi pelayanan dan petani akan muncul dalam implementasinya. Hal ini akan menjadi lebih jelas apabila ditelaah dalam kerangka konseptual modal sosial masyarakat madani.

Sebelum memahami kerangka konseptual tersebut di atas, tampaknya terlebih dahulu perlu dipahami mengenai hubungan antara modal manusia, modal fisik, dan modal sosial. Upaya untuk memahami hubungan antara ketiga modal tersebut adalah penting. Secara hipotetis hubungan tersebut dapat dipahami sebagai berikut: (1) modal sosial dalam bentuk potensial, seperti struktur sosial dan hubungan sosial, akan diaktualisasikan apabila ada rasa percaya (trust) pada orang atau kelompok sosial lain akan potensi yang dimiliki orang tersebut berupa modal manusia. Dalam kasus irigasi hal ini terlihat dengan jelas: hubungan antara pemakai air dan petugas irigasi yang dapat saling menguntungkan (kelestarian sarana irigasi) menimbulkan rasa percaya pada pemakai air karena keterampilan teknis para petugas pembagi air dalam menjamin semua kebutuhan air mulai dari hulu sampai hilir. Hubungan seperti ini dapat dirumuskan dalam formula modal manusia-modal sosial, yang dapat dipahami modal manusia merupakan dasar bagi aktualisasi modal sosial; (2) modal manusia dapat berkembang karena modal sosial. Suatu contoh, keberhasilan pendidikan siswa menunjukkan besarnya kedekatan dan komitmen orang tua terhadap pendidikan anak, sehingga di rumah mereka menyediakan sarana belajar yang memadai (modal fisik), dan dalam proses kegiatan belajar anak-anaknya mereka mengikuti proses pendidikan anaknya di sekolah dengan antara lain membeli dua buku pelajaran, satu untuk anaknya, satu untuk mereka sendiri. Formula hubungan tersebut dapat dirumuskan (modal fisik modal sosial) modal manusia, artinya modal fisik dan modal sosial merupakan dasar bagi perkembangan modal manusia; (3) modal fisisk dapat berkembang, bertahan, berfungsi dengan baik kalau didukung oleh modal manusia dan modal sosial. Masih dengan contoh di bidang irigasi, hubungan ini sangat jelas. Jaringan irigasi dapat bertahan kalau didukung oleh tenaga terampil petugas irigasi, dan organisasi pemakai air yang ikut berpartisipasi dalam meringankan beban tenaga petugas irigasi, misalnya dalam penyelesaian konflik antara petani di hilir yang sulit mendapatkan air dengan tepat waktu. Dengan demikian formula yang cocok untuk ini adalah: modal fisik modal manusia modal sosial.

3. Jejaring Kelembagaan Berbasis KomunitasPengembangan usaha-usaha produktif yang berbasiskan kepada komunitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang lain (kelembagaan kolaboratif), seperti organisasi pemerintah dan berbagai organisasi internasional. Meskipun demikian, jejaring ini tidak akan mengadopsi pendekatan birokratis atau teknokratis. Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan policy menjadi sangat penting, tetapi ini semua tergantung kepada komitment semua stakeholders dalam jejaring tersebut. Terdapat beragam institusi dalam suatu komunitas, meskipun sangat sedikit jumlahnya, yang bergerak dalam usaha-usaha produktif yang berbasiskan kepada komunitas dan telah melembaga, baik di sektor pertanian maupun non-pertanian. Jejaring kelembagaan kolaboratif yang dikembangkan harus mampu menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan dengan institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu, sistem jejaringan yang terbentuk perlu mempertimbangkan mekanisme pada sistem tradisional, karena mereka yang akan menyaring penduduk yang ingin masuk dan dia yang akan menarik uang bagi yang masuk. Perlu diingat bahwa aturan-aturan main yang menghambat pasar agar dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Hal-hal demikian perlu diingat dalam membangun jejaring yang ada yakni menyelamatkan jaringan pasar yang sudah ada dan aturan main yang merugikan masyarakat harus dicabut.

Dalam hal pendanaan kegiatan produktif, peranan pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa harus dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM yang bergiat dalam pemberdayaan masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha produktif.

Apabila dilandasi dengan respons yang baik serta prinsip-prinsip partisipatori, maka hasil pemikiran stakeholders di tingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaringan di tingkat komunitas dan lokal, sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat tanggapan dari seluruh masyarakat dan tanpa harus diformalkan (Gambar 2).

Gambar 2. Jejaring Sosial Berbasis Komunitas

Pusat

Koperasi

Provinsi

Lembaga Keuangan

Perguruan Tinggi

Swasta

LSMO

Kabupaten

Kecamatan

Pemerintah

Komunitas

Desa

Pengembangan Masyarakat & Kelembagaan Pembangunan ----------------------------------------

Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah - IPB

PAGE 33