3. Isi Prosiding(1).pdf

802
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013 ISBN 979-587-501-9 Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 1 Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Haryono Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Assalaamu ’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Saudara Rektor dan Para Dekan dan Civitas Akademika Universitas Sriwijaya. Para Peserta Seminar Nasional Lahan Sub Optimal yang Saya Hormati. Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menyampaikan keynote speech dengan topik yang sangat strategis ini, di hadapan para peserta Seminar Nasional Lahan Sub-Optimal yang terhormat. Sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga di perdesaan. Di masa yang akan datang, sektor pertanian juga tetap menjadi salah satu andalan bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Kebutuhan pangan dan juga energi akan terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Sebagai negara yang besar,ketahanan pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional, sehingga menjadi salah satu sasaran utama pembangunan pertanian yang tidak dapat ditawar tawar. Hingga saat ini, beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan nasional, sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama ketahanan pangan. Oleh sebab itu, pemerintah bertekad untuk terus meningkatkan produksi beras nasional 5% per tahun dan menargetkan pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015. Pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi oleh beberapa ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi. Selain alih fungsi lahan sawah produktif dan perubahan iklim sebagai derivasi dari pemanasan global, ancaman serius lain yang dihadapi adalah degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), serta meluasnya lahan terdegradasi dan terlantar. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang didukung oleh kebijakan terpadu dan sinergi antar sektor-sektor pembangunan terkait, khususnya dalam optimalisasi sumberdaya pertanian (SDLP).

Transcript of 3. Isi Prosiding(1).pdf

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 1

    Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi

    Lahan Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional

    Haryono

    Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

    Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

    Saudara Rektor dan Para Dekan dan Civitas Akademika Universitas Sriwijaya.

    Para Peserta Seminar Nasional Lahan Sub Optimal yang Saya Hormati.

    Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menyampaikan keynote speech dengan topik

    yang sangat strategis ini, di hadapan para peserta Seminar Nasional Lahan Sub-Optimal

    yang terhormat.

    Sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk

    Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta

    penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, Sektor

    Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari

    sekitar 70% rumah tangga di perdesaan.

    Di masa yang akan datang, sektor pertanian juga tetap menjadi salah satu andalan bagi

    ketahanan pangan dan energi nasional. Kebutuhan pangan dan juga energi akan terus

    meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan penduduk.

    Sebagai negara yang besar,ketahanan pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional,

    sehingga menjadi salah satu sasaran utama pembangunan pertanian yang tidak dapat

    ditawar tawar. Hingga saat ini, beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan

    nasional, sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama ketahanan pangan.

    Oleh sebab itu, pemerintah bertekad untuk terus meningkatkan produksi beras nasional 5%

    per tahun dan menargetkan pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015.

    Pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi oleh beberapa ancaman

    dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi. Selain alih fungsi lahan

    sawah produktif dan perubahan iklim sebagai derivasi dari pemanasan global, ancaman

    serius lain yang dihadapi adalah degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi,

    longsor, pencemaran), serta meluasnya lahan terdegradasi dan terlantar.

    Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang didukung oleh kebijakan terpadu dan sinergi antar

    sektor-sektor pembangunan terkait, khususnya dalam optimalisasi sumberdaya pertanian

    (SDLP).

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 2

    Saudara peserta seminar,

    Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung menciut akibat

    konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi lahan sawah menjadi

    lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42% lahan sawah juga dibayang-banyangi

    oleh ancaman alihfungsi, terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

    Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.

    Pada hal, karena keterbatasan anggaran, serta berbagai faktor sosial ekonomi, aspek

    kepemilikan lahandan kendala lainnya di lapang, kemampuan pemerintah dalam

    pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu hektar per tahun.

    Selain itu, jika memperhatikan MP3EI, baik berdasarkan by design ataupun by accidence,

    sebagian dari lahan sawah subur dan intensif di Jawa mendapat tekanan yang sangat besar

    terkait dengan alih fungsi untuk penggunaan lain, terutama untuk infrastruktur dan

    pengembanganindustri.Namunsebaliknya mengembangkan lahan-lahan pertanian di luar

    Jawa, terutama di koridor Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua dihadapkan pada

    kendala teknis karena sebagian besar dari lahan tersedia di koridor tersebut merupakan

    lahan suboptimal (LSO).

    Hadirin yang saya hormati,

    Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka

    hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras

    hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk

    kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha.

    Apalagi hingga tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri

    dari 5 juta ha lahan sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Pada hal, di

    sisi lain, selain hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan suboptimal

    termasuk lahan yang sudah terdegradasi atau terlantar.

    Oleh sebab itu, opsi utama yang harus ditempuh untuk memenuhi kebutuhan pangan dan

    energi serta komoditas lainnya, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal

    dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.

    Hadirin yang saya hormati,

    Secara kuantitas, Indonesia mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan

    berbagai keragaman dan karakteristik. Namun dari daratan seluas 189,1 juta ha sekitar

    157,2 juta ha diantaranya merupakan lahan sub optimal (LSO), sedangkan sisanya seluas

    31,9 juta ha adalah lahan subur (optimal) dengan berbagai tingkat kesuburan. Hanya saja

    sebagian besar lahan tersebut sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk

    berbagai penggunaan.

    Sebagai lahan cadangan sebagai andalan utama di masa depan, lahan sub optimal yang

    secara alamiah mempunyai produktivitas rendah dan ringkih (fragile) dengan berbagai

    kendala akibat faktor inheren (tanah, bahan induk) maupun faktor eksternal akibat iklim

    yang ekstrim, termasuk lahan terdegradrasi akibat ekspoitasi yang kurang bijak.

    Secara biofisik dan dengan sentuhan inovasi teknologi pertanian, sekitar 58% dari lahan

    suboptimal tersebut potensial untuk lahan pertanian. Bahkan pada saat ini sebenarnya,

    sekitar 15% lahan sawah eksisting dan sekitar 60% dari lahan pertanian lainnya juga

    merupakan lahan sub-optimal yang potensial dan produktif serta sudah berkontribusi

    secara signifikan terhadap ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 3

    demikian belum semua lahan suboptimal dikelola secara optimal, terutama lahan sawah,

    dengan produktivitas yang rendah.

    Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan kering dan 34,1 juta ha lahan

    basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering

    beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Sumatera,

    Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim,

    Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha lahan gambut, seluas 11,0 juta ha

    berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa lahan rawa lebak.

    Saudara sekalian,

    Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan

    pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan

    suboptimal akan disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi,

    kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran

    tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan.

    Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:

    (A) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun

    lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan

    inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal

    tanam/indeks pertanaman (IP).

    (B) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan sub

    optimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Terkait dengan misi dari Inpres

    No.06/2013 tentang Jeda Pemberian Izin atau Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut,

    maka prioritas utama perluasan areal adalah memanfaatkan lahan suboptimal

    terdegradasi atau terlantar (abondance land).

    Pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal harus berbasis science, innovation dan network. yang dapat dijabarkan pada beberapa strategi berikut :

    Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi

    teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan.

    Karena sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung

    basis ilmiah dan akedemik yang kuat. Oleh sebab itu entri point pertama dan

    utamanya adalah (a) ekplorasi dan indentifikasi sumberdaya lahan itu sendiri

    secara komprehensif, (b) eksplorasi, ekspolitasi/pemanfataan dan rekayasa

    sumberdaya genetik, serta (c) optimalisasi biomassa dan efisiensi karbon yang

    berbasis sistem pengelolaan dan penataan lahan dan tata air.

    Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian

    Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti

    pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi

    tanaman dan ternak (SITT), pertanian terpadu efisiensi karbon (ICEF), pertanian

    terpadu lahan kering beriklim kering (SPTLKIK/Food Smart Village), model

    Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL), dan lain-lain. Model-model farming

    tersebut hanya bisa dikembangkan jika terwujud sistem lit-kaji-bang-dik-lat-luh-

    rap secara efektif.

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 4

    Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama

    verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan

    model faming ramah lingkungan, dll. Akselerasi ini dapat diwuudkan dengan

    sistem diseminasi multi channel, termasuk seminar nasional ini.

    Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan dalam berbagai

    sub-sistem agribisnis pedesaan, mulai dari saprodi, alsintan hingga pemasaran.

    Kelima: merupakan strategi khusus perluasan areal jangka pendek dengan memanfaatkan

    lahan HTI dan perkebunan untuk pengembangan tanaman pangan.

    Menurut Kementerian Kehutanan ada sekitar + 9,4 juta ha, dimana 70% dalam status aktif

    dan berdasarkan kajian Badan Litbang Pertanian 5,4 juta diantarnya potensial untuk

    tanaman pangan. Dengan siklus 6 sampai 7 tahun, maka setiap tahun terdapat lahan HTI

    potensial ditanami seluas 570.000 ha. Berkaitan pengembangan pemanfaatan lahan

    suboptimal beberapa kebijakan yang dapat ditempuh adalah:

    Pertama: untuk pengembangan tanaman pangan diprioritaskan pada optimalisasi

    pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non rawa. Sedangkan

    untuk pengembangan tanaman perkebunan diprioritaskan pada lahan kering atau

    lahan rawa dengan tetap mengacu pada Permentan No. 14/ 2009.

    Kedua: perluasan lahan melalui pengembangan lahan suboptimal harus diprioritas pada

    lahan suboptimal terdegradasi dan terlantar di kawasan bududaya (APL), diikuti

    dengan pemanfaatan lahan-lahan terlantar di kawasan hutan secara selektif.

    Ketiga: akselarasi dan eskalasi kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian, antara

    lain membangun sistem konsorsium litbang pertanian dan skim penelitian lainnya.

    Hadirin yang terhormat,

    Selain aspek-aspek yang disebutkan di atas, juga sangat ditentukan oleh sistem koordinasi,

    kerjasama dan sinergiprogram antara K/L terkait, seperti Kehutanan, PU, Transmigrasi dan

    Dalam Negeri, serta Pemerintah Daerah dan Swasta/BUMN.

    Demikian, terima kasih.

    Wa billaahi taufiq wal hidayah, assalaamu alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh.

    Palembang, 20 September 2013

    Dr. Haryono M.Sc.

    Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 5

    Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan

    Lahan Suboptimal Berkelanjutan

    Benyamin Lakitan1,2

    dan Nuni Gofar2

    1Kementerian Riset dan Teknologi

    2Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas

    Sriwijaya Palembang

    ABSTRACT

    At present, Indonesia has no other option for achieving national food security than

    to manage its available and suitable suboptimal lands for food production. Efforts to

    increase productivity have become agronomically more difficult and economically less

    feasible for farmers. Nonetheless, it should be realized that suboptimal lands have many

    different characteristics and potentials. Therefore, technology development should be

    prioritized to create relevant technologies for each distinctive character of suboptimal land,

    financially affordable by local farmers, and in accordance with local comunities preferences and socioculture. There are two approaches could be simultaneously and

    interactively implemented. Firstly, optimalizing physical, chemical, and (micro)biological

    soil conditions, coupled with effort in improving water resources management to increase

    effectiveness of irrigation or drainage network and water use eficiency. Secondly,

    selecting suitable agricultural commodities and developing crop cultivars adaptable to

    each spesific characteristics of suboptimal lands. For maintaining sustainability of

    suboptimal land management, all technical and technological efforts should be evaluated

    not only based on their potential economic benefits, but also needed to consider their

    ecological impacts and socio-cultural values of the local community.

    ABSTRAK

    Indonesia saat ini tidak lagi punya banyak pilihan dalam rangka mewujudkan

    ketahanan pangan nasional selain memanfaatkan lahan-lahan suboptimal yang masih

    tersedia dan memungkinkan untuk dikelola sebagai lahan produksi pangan, karena upaya

    peningkatan produktivitas sudah semakin sulit secara teknis agronomis dilakukan dan juga

    semakin tidak ekonomis untuk diusahakan. Namun demikian, perlu dipahami bahwa

    lahan-lahan yang tergolong suboptimal mempunyai beragam karakteristik dan potensinya.

    Oleh sebab itu, perlu diprioritaskan pada pengembangan teknologi yang secara teknis

    relevan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal tersebut, secara ekonomis

    terjangkau oleh petani setempat, serta diharapkan juga selaras dengan preferensi dan sosio-

    kultural masyarakat setempat. Dua pendekatan yang dapat secara paralel dan interaktif

    dilakukan adalah [1] optimalisasi sifat fisik, kimia, dan (mikro)biologi tanah yang

    dibarengi dengan optimalisasi pengelolaan sumberdaya air agar efektif dan lebih efisien;

    dan [2] seleksi jenis komoditas yang sesuai dan pengembangan varietas yang adaptif secara

    spesifik untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal. Untuk mewujudkan

    keberlanjutan pengelolaan lahan suboptimal, maka semua upaya teknis dan teknologis

    yang dilakukan harus pula mempertimbangkan kemungkinan dampak ekologisnya,

    kesesuaian sosiokultural dengan masyarakat lokal, selain tentunya menguntungkan secara

    ekonomi bagi petani sebagai pelaku utamanya.

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 6

    PENDAHULUAN

    Untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan (ekologis) dan berbiaya

    terjangkau petani (ekonomis), maka Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali harus mulai

    dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-lahan suboptimal yang dimiliki, terutama

    di luar Pulau Jawa. Argumen utamanya adalah: [1] walaupun secara teknis proses

    budidaya tanaman dapat dilakukan tanpa tanah (hidroponik dan aeroponik), namun secara

    ekonomi sulit dapat melakukan budidaya tanaman secara produktif dan menguntungkan

    dengan tanpa berbasis pada lahan; sedangkan [2] lahan yang subur semakin menyempit

    karena dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian. Usaha pertanian

    tanaman pangan selalu kalah kompetitif dibandingkan dengan usaha properti, industri, dan

    perdagangan, atau harus mengalah ketika akan dimanfaatkan untuk pembangunan

    infrastruktur.

    Mengelola lahan-lahan suboptimal tentu akan lebih rumit. Kendala

    teknis/agronomis yang dihadapi butuh teknologi yang berkesesuaian. Karakteristik lahan

    suboptimal yang beragam dengan intensitas tantangannya yang juga bervariasi akan

    menambah kompleksitas persoalan yang dihadapi. Setiap aplikasi teknologi untuk

    perbaikan sifat fisik, kimia, dan/atau biologi tanah akan secara langsung menambah biaya

    usahatani.

    Secara agronomis, hampir semua kendala lahan suboptimal telah diketahui dan telah

    tersedia teknologi yang relevan untuk solusinya. Namun persoalan utamanya adalah

    aplikasi teknologi-teknologi tersebut akan secara signifikan menambah beban biaya

    usahatani, berarti secara langsung akan mengurangi keuntungan atau bahkan menyebabkan

    kerugian bagi petani. Dengan demikian, maka tantangan bagi pengembang teknologi

    untuk pengelolaan lahan suboptimal di masa yang akan datang harus lebih fokus pada [1]

    upaya menekan nilai investasi awal dan biaya operasional alat dan mesin pertanian, serta

    [2] mencari bahan baku domestik yang lebih murah dan lebih tersedia untuk pembenah dan

    penyubur tanah, sehingga biayanya murah dan lebih mungkin diaplikasikan secara masif.

    Dari aspek pengelolaan lahan, selain pembenahan dan penyuburan tanah, perlu pula

    dilakukan pengembangan tata kelola sumberdaya air yang lebih efisien, sesuai dengan

    kebutuhan tanaman, ternak, dan/atau ikan yang dibudidayakan. Jenis teknologi yang

    dibutuhkan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal akan berbeda. Untuk

    lahan kering (upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam mengelola

    sumberdaya air yang tersedia; sebaliknya, untuk lahan basah (wetland), lebih

    membutuhkan teknologi tata kelola air yang pas untuk berbagai jenis komoditas pangan

    yang akan dibudidayakan. Untuk lahan basah, diperlukan upaya untuk menjaga

    keseimbangan dinamis antara upaya untuk memperbaiki aerasi tanah agar oksigen tersedia

    bagi sistem perakaran tanaman; menjaga ketersediaan air yang sesuai kebutuhan tanaman,

    ternak, atau ikan yang dibudidayakan; serta mengendalikan agar unsur-unsur yang dapat

    meracuni tanaman tidak menjadi lebih tersedia dan diserap sistem perakaran tanaman.

    Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan pengembangan sistem tata kelola

    sumberdaya air, upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan

    melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk masing-masing karakteristik

    lahan suboptimal. Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan program pemuliaan tanaman,

    ternak, dan ikan untuk mendapatkan varietas atau jenis yang adaptif terhadap masing-

    masing kondisi agroekosistem lahan suboptimal. Karena keragaman agroekosistem lahan

    suboptimal yang sangat ekstrim dan kontras, maka varietas adaptif yang dimaksud hanya

    diperuntukkan bagi agroekosistem suboptimal tertentu. Sangat tidak mungkin untuk dapat

    menghasilkan suatu varietas yang akan mampu beradaptasi pada semua ragam karakteristik

    agroekosistem lahan suboptimal. Pendekatan lintasan ganda (perbaikan sifat

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 7

    fisik/kimia/biologi lahan dan adaptasi tanaman/ternak/ikan) yang dilakukan secara paralel

    (dalam konteks dimensi waktu) dan bersifat resiprokal-dinamis secara substansial,

    diharapkan mampu mempercepat proses mewujudkan lahan-lahan suboptimal sebagai

    lahan usahatani yang produktif dan menguntungkan bagi masyarakat tani.

    KARAKTERISTIK DAN POTENSI LAHAN-LAHAN SUBOPTIMAL

    Karakteristik Lahan Suboptimal

    Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara alami

    mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan

    budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Kendalah tersebut dapat

    berupa: [1] kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung usaha tani

    yang produktif dan menguntungkan; [2] sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah)

    sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut; [3] dinamika pasang-

    surut genangan air yang sulit diprediksi sehingga dapat menyebabkan gagal tanam maupun

    gagal panen; [4] lahan terpengaruh oleh intrusi air laut; [5] terdapat lapisan pirit dangkal

    yang menjadi ancaman karena dapat meracuni sistem perakaran tanaman; [6] sangat

    miskin unsur hara sehingga membutuhkan dosis pemupukan yang lebih tinggi; dan/atau [7]

    tanah berbatu sehingga sulit diolah secara mekanis. Kondisi suboptimal ini dapat terjadi

    secara alami, akibat terkena dampak dari kegiatan manusia di dan/atau sekitar lokasi yang

    bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode sebelumnya.

    Di Indonesia, lahan suboptimal yang luas hamparannya adalah agroekosistem: [1]

    lahan kering masam, dengan kendala utama miskin hara, masam, dan kurang air; [2] lahan

    kering pada wilayah iklim kering, dengan kesulitan utamanya adalah menyediakan air yang

    cukup untuk budidaya tanaman; selain itu sering juga tanahnya berbatu dengan lapisan

    topsoil yang tipis; [3] lahan rawa pasang surut, dengan masalah utama kesulitan dalam

    mengatur tata airnya, keberadaan lapisan pirit, lapisan gambut tebal, dan intrusi air laut;

    dan [4] lahan rawa lebak, dengan kendala kesulitan dalam memprediksi dan mengatur

    tinggi genangan dan kemasaman tanah.

    Potensi Lahan-lahan Suboptimal Kementerian Pertanian (2013)

    1 menaksir bahwa luas lahan suboptimal di Indonesia

    yang sesuai untuk pertanian mencapai 91,9 juta hektar, dimana yang terluas adalah

    agroekosistem lahan kering masam yang mencapai 62,6 juta hektar (68,1%). Selanjutnya,

    agroekosistem rawa pasang surut seluas 9,3 juta hektar (10,1%), lahan kering iklim kering

    seluas 7,8 juta hektar (8,5%), rawa lebak seluas 7,5 juta hektar (8,2%), dan lahan gambut

    seluas 4,7 juta hektar (5,1%). Pada saat ini sebagian dari lahan-lahan suboptimal ini sudah

    dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, ternak, atau ikan. Ada beberapa contoh

    keberhasilan dalam pengelolaan lahan suboptimal di Indonesia. Namun secara umum

    produktivitasnya masih relatif rendah.

    BPS (2013) melaporkan bahwa produktivitas rata-rata padi sawah di Indonesia

    telah mencapai 4,98 ton GKG/hektar tahun 2011. Angka sementara untuk tahun 2012

    ditaksir sekitar 5,14 ton GKG/hektar. Akan tetapi, produktivitas padi yang dibudidayakan

    petani lokal secara tradisonal di lahan rawa lebak umumnya masih kurang dari 2 ton

    GKG/hektar dan hanya ditanami satu kali setahun (Endrizal dan Julistia, 2009). Namun

    demikian, dengan aplikasi teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu, produktivitas varietas

    unggul baru (VUB) untuk lahan rawa dapat ditingkatkan menjadi berkisar antara 3,88 ton

    1Dikutip dari bahan presentasi Kepala Balitbang Kemtanpada Rakornas Ristek 2013 di Jakarta.

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 8

    GKG/hektar (Inpara 2) sampai 6,56 ton GKG/hektar (Indragiri) (Endrizal dan Jumakir,

    2009).

    Pada saat tergenang, perikanan cukup berpotensi di kawasan rawa, baik dalam

    usaha penangkapan maupun dalam sistem budidaya, yang dapat dilakukan di berbagai

    tipologi lahan dan berbagai tipologi luapan. Budidaya ikan yang diterapkan di lahan lebak

    antara lain sistim pagar, kolam bejek dan sistim surjan. Sistim pagar lebih cocok

    diterapkan pada lahan rawa yang fluktuasi air hanya sedikit (Sulistyarto et al., 2007).

    Ternak itik juga cukup potensial di lahan rawa lebak dengan menggunakan paket teknologi

    perlakuan pakan dan pemeliharaan secara semi intensif dan intensif. Dari hasil kajian

    Suparwoto dan Waluyo (2009), sistem pemeliharaan secara intensif dapat meningkatkan

    produksi telur sebesar 40,36% dengan pemberian pakan 100 g/ekor/hari.

    Masganti dan Yuliani (2010) melaporkan, bahwa produktivitas padi lokal varietas

    Siam Adus pada lahan pasang surut tipe luapan B di Kabupaten Kapuas Kalimantan

    Tengah tertinggi mencapai 3,82 ton GKG/hektar. Sementara jika lahan pasang surut

    dibudidayakan dengan tanaman jagung tanpa aplikasi teknologi, produktivitasnya sangat

    rendah, hanya sebesar 2,21 ton/hektar pada areal lahan pasang surut Kabupaten Tanjung

    Jabung Barat, Jambi (Jumakir dan Endrizal, 2009).

    Produktivitas padi dan jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Bone Sulsel berturut-turut

    2,82 ton GKG dan 7,8 ton pipilan kering per hektar (Hadijah et al., 2009). Produktivitas

    lahan suboptimal tersebut dapat ditingkatkan apabila dikelola secara berkelanjutan

    memanfaatkan teknologi tepat guna hasil-hasil penelitian, melalui rekayasa fisik, kimia,

    biologi serta pengelolaan tata air sesuai karakteristik tanahnya.

    STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

    UNTUK PENGELOLAAN LAHAN SUBOPTIMAL

    Sejak awal konstitusi Indonesia mengamanahkan bahwa pembangunan iptek adalah

    untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia dengan menjunjung tinggi

    nilai-nilai agama dan (menjaga) persatuan bangsa2. Oleh sebab itu, sesuai amanah

    konstitusi, maka semua kegiatan riset dan pengembangan harusnya bermuara pada

    tersedianya teknologi yang relevan dengan realita kebutuhan dan/atau dapat menjadi solusi

    bagi persoalan nyata, sehingga teknologi yang dihasilkan tersebut lebih berpeluang untuk

    digunakan. Edgerton (2006) mengungkapkan bahwa: History is changed when we put into in the technology that counts, not only the famous spectacular technologies but also

    the low and ubiquitous ones. Pernyataan Edgerton tersebut menekankan bahwa untuk mengubah sejarah

    bukanlah persoalan kecanggihan teknologi yang dikembangkan, tetapi lebih ditentukan

    oleh apakah teknologi yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan dalam kegiatan

    produktif untuk menghasilkan barang ataupun jasa. Dalam konteks ini, kebutuhan

    teknologi untuk pengelolaan lahan-lahan suboptimal di Indonesia saat ini bukanlah

    teknologi super canggih, tetapi lebih merupakan teknologi-teknologi yang secara teknis

    sangat dibutuhkan dan secara finansial terjangkau oleh petani, peternak, atau pembudidaya

    ikan.

    Selain teknologi yang secara langsung dibutuhkan oleh petani atau komponen

    masyarakat lainnya yang menggunakan lahan sebagai basis kegiatan produktifnya,

    teknologi untuk menghasilkan produk dan/atau sarana produksi juga patut untuk

    dikembangkan. Teknologi dimaksud termasuk teknologi untuk menghasilkan benih

    2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 31 ayat (5).

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 9

    unggul; pupuk yang efektif, efisien, dan ekologis; bahan kimia atau organik dan

    (mikro)organisme untuk pengendalian hama dan patogen tanaman, ternak, dan ikan;

    hormon dan zat pengatur tumbuh; serta alat dan mesin budidaya dan pengolahan hasil

    pertanian. Khusus untuk pengelolaan lahan-lahan suboptimal, maka semua teknologi ini

    harus disesuaikan dengan kondisi lahan, agroklimat, kapasitas dan preferensi pengguna

    potensialnya, serta kondisi sosiokultural setempat.

    Ada dua alur pokok yang saling komplementer dalam pengelolaan lahan

    suboptimal agar bisa dijadikan lahan pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat

    fisika, kimia, dan biologi tanah serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya

    adaptasi tanaman, ternak, atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat

    yang tidak optimal (Gambar 1).

    Secara umum ada empat pra-syarat untuk keberhasilan proses difusi teknologi, yakni: [1]

    Teknologi yang dikembangkan secara teknis relevan dengan kebutuhan pengguna; [2]

    Selain relevan secara teknis, teknologi yang ditawarkan harus sepadan dengan kapasitas

    absorpsi (calon) pengguna yang disasar; [3] Teknologi yang ditawarkan mampu bersaing

    dengan teknologi serupa yang tersedia di pasar; dan [4] Aplikasi teknologi yang

    ditawarkan akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan praktek bisnis yang saat ini

    dilakukan.

    Perbaikan Sifat Fisika, Kimia, dan Biologi Tanah

    Seperti telah dijelaskan pada awal artikel ini, lahan suboptimal memiliki karakteristik

    sifat fisik, kimia, dan biologi yang beragam. Upaya perbaikan untuk mengelola lahan

    suboptimal menjadi optimal membutuhkan teknik pengelolaan yang tepat sesuai dengan

    karakteristiknya. Melalui penerapan iptek yang benar, maka lahan suboptimal dengan

    tingkat kesuburan alami yang rendah dapat dijadikan areal pertanian produktif.

    Pengembangan lahan suboptimal untuk usaha pertanian umumnya dihadapkan dengan

    beberapa persoalan terkait sifat fisik, kimia dan biologi tanah, diantaranya kadar liat atau

    bahan organik tinggi, kemasaman tanah yang tinggi, keracunan Fe dan Al, serta kahat

    unsur hara seperti N, P, K, Ca dan Mg. Berbagai teknologi unggulan di lahan rawa yang

    telah dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi dan lembaga litbang diantaranya adalah

    penataan lahan, pengelolaan air, pengelolaan tanaman, pengelolaan bahan ameliorasi dan

    hara, serta pengendalian gulma.

    Penggunaan ameliorant antara lain berupa kapur (kalsit, dolomit, dan kapur

    oksida), garam, sekam padi, abu serbuk kayu gergajian, biomasa gulma, dan limbah

    pertanian; sedangkan pengelolaan hara dengan cara pemberian pupuk hayati, pupuk N, P

    dan K, terbukti mampu meningkatkan hasil padi, palawija dan sayuran. Intensitas dan

    produktivitas yang rendah pada lahan rawa dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi

    pola tanam terpadu dengan pemilihan varietas padi dan palawija serta sayuran yang teruji

    (Alihamsyah et al., 2004).

    Pemanfatan lahan rawa untuk pertanian menyebabkan perubahan sifat kimia dan

    biologi tanah. Penelitian Gofar (2007) di lahan rawa lebak Sumatera Selatan menunjukkan

    bahwa perbedaan tipe penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap penurunan pH tanah,

    kadar C-organik, N-total, P-total dan populasi mikroba menguntungkan dalam tanah.

    Beberapa penyebab yang mengakibatkan perbedaan tersebut antara lain: [1] lama

    pengusahaan lahan, [2] intensitas pengolahan, jenis pupuk serta dosis pupuk yang

    digunakan, [3] jenis tanaman yang diusahakan, [4] aktivitas organisme tanah, dan [5]

    kondisi awal lahan yang diusahakan. Bahan organik merupakan penyangga biologis yang

    mempunyai fungsi dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga dapat

    menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang bagi tanaman. Tanah dengan

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 10

    kandungan bahan organik yang tinggi akan meningkatkan perkembangan mikroba tanah

    dan menyumbangkan unsur hara seperti N dan P sehingga tersedia bagi tanaman.

    Gambar 1. Alur ganda pengelolaan lahan suboptimal

    agar menjadi lahan pertanian yang produktif

    Penggunaan kompos merupakan pilihan dalam mendukung peningkatan

    produktivitas padi gogo di lahan kering seperti Ultisol dan padi sawah pada Inseptisol rawa

    lebak. Aplikasi kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, baik pada

    lahan kering maupun rawa. Nilai hara kompos yang beragam dan tergolong rendah dapat

    ditingkatkan jika diperkaya dengan pupuk hayati. Perlakuan pupuk kompos diperkaya

    dengan pupuk hayati (penambat nitrogen, pelarut fosfat dan kalium, pemacu tumbuh)

    menghasilkan bobot gabah kering panen, jumlah gabah per malai, dan produksi padi lebih

    baik dibandingkan pada perlakuan pupuk anorganik pada Ultisol (Gofar dan Marsi, 2013)

    dan pada Inseptisol lebak (Gofar et al., 2013).

    Peningkatan produktivitas lahan suboptimal dapat dilakukan dengan pemanfaatan mikroba

    tanah, baik yang hidup bebas di dalam tanah maupun yang bersimbiosis dengan tanaman.

    Fitri dan Gofar (2010) melaporkan bahwa konsorsium bakteri endofitik pemacu tumbuh

    hasil isolasi dari jaringan tanaman padi dengan populasi 107 spk mL

    -1 mampu

    meningkatkan hasil tanaman padi pada tanah asal pasang surut.

    Perbaikan Tata Air

    Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan

    lahan pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk

    mengurangi atau menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk

    mengurangi kemasaman tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan

    pirit, mencegah bahaya salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang

    terakumulasi di zona perakaran tanaman (Suryadi et al., 2010).

    Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air

    tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 11

    terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,

    jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).

    Permasalahan dalam budidaya tanaman non padi di lahan rawa adalah kelebihan air yang

    sangat mengganggu pertumbuhan awal tanaman. Sementara itu, kalau penanaman ditunda,

    maka akan terjadi kekurangan air pada fase generatif. Permasalahan status air ini dapat

    diatasi dengan membangun sistem drainase yang tepat (Imanudin dan Tambas, 2002).

    Pengembangan Jenis dan Varietas Adaptif

    Suwignyo et al. (2010) telah mengumpulkan beberapa kultivar padi lokal rawa

    lebak dari beberapa lokasi di Indonesia. Sumber genetik lokal ini akan menjadi sumber

    plasma nutfah dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas baru tahan

    terendam berbahan genetik lokal, sehingga diharapkan akan dihasilkan galur/varietas

    Pegagan-Sub1, Siam-Sub1, Rutti-Sub1, Payak Acan-Sub1, Serendah Kuning-Sub1, dan

    sebagainya; sebagaimana yang telah dicontohkan di IRRI menghasilkan varietas Swarna-

    Sub1, Samba Mahsuri-Sub1, dan BR11-Sub1. Perakitan varietas-varitas baru yang

    tahan terendam sangat penting dilakukan dengan memperhatikan material genetik lokal

    rawa lebak.

    Pada tingkat nasional, dalam rangka penyediaan jenis varietas yang toleran

    terhadap kondisi lahan rawa, telah dikembangkan beberapa varietas yang toleran untuk

    lahan rawa, seperti varietas Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5. Varietas

    Inpara 1 adalah varietas yang cocok ditanam di daerah rawa lebak dan pasang surut.

    Apabila ditanam pada kondisi lahan rawa lebak rata-rata dapat mencapai hasil 5,65 ton

    GKG/ha, sedangkan jika ditanam pada kondisi lahan rawa pasang surut rata-rata hasilnya

    lebih rendah, yakni 4,45 ton GKG/ha). Varietas Inpara 1 memiliki toleransi keracunan Fe

    dan Al, agak tahan terhadap serangan wereng batang coklat Biotipe 1 dan 2, serta tahan

    terhadap penyakit hawar daun bakteri dan blas. Varietas Inpara 2 dan Inpara 3 juga

    direkomendasikan untuk budidaya di lahan rawa lebak maupun pasang surut dengan rata-

    rata hasil relatif sebanding dengan varietas Inpara 1 (Balai Besar Penelitian Padi, 2010).

    Lawit dan Manyapa merupakan nama varietas unggul kedelai adaptif pada lahan

    pasang surut dan lahan sawah. Keistimewaan dari kedua varietas ini adalah pengujian

    multilokasinya dilakukan di dua agroekologi, yaitu lahan pasang surut dan lahan sawah,

    sehingga memiliki daya adaptasi yang luas. Di lahan pasang surut, kedua varietas ini dapat

    ditanam di lahan dengan tipe luapan B, C, dan D, baik pada musim hujan maupun

    kemarau. Pada lahan bertipe luapan C dan D, dapat ditanam pada musim hujan dan musim

    kemarau tanpa pembuatan guludan. Pada musim hujan di lahan bertipe luapan B perlu

    dibuat guludan untuk menghindari genangan pada saat pasang, karena genangan dapat

    merusak perakaran akibat kurangnya oksigen dan akumulasi CO2 di daerah perakaran.

    TANTANGAN PENGELOLAAN LAHAN SUBOPTIMAL

    Pengelolaan lahan suboptimal masih banyak menghadapi permasalahan. Selain

    aspek fisik lahan seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, permasalahan non fisik

    antara lain rendahnya minat dan kemampuan enterpreneurship petani, lemahnya sistem

    kelembagaan untuk memfasilitasi dan melindungi usahatani masyarakat, dan aplikasi

    teknologi yang rendah terutama karena terkendala oleh kapasitas finansial petani yang

    tidak memadai.

    Dalam pengelolaan sumberdaya air, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam

    menentukan prioritas pemanfaatan air di lapangan, antara kepentingan transportasi,

    pertanian, atau kegiatan lainnya. Dari aspek budidaya, kendala yang dihadapi adalah: [1]

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 12

    persiapan lahan, pemakaian benih varitas unggul, penanaman (waktu tanam, cara tanam),

    pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit tanaman dan gulma yang belum

    dilakukan dengan baik; [2] belum dilaksanakan integrasi dengan budidaya ternak (itik,

    kerbau) dan ikan sehingga produktivitas lahan suboptimal masih rendah; [3] penanganan

    panen dan pasca panen belum dilakukan dengan baik dan efisien sehingga persentase

    kehilangan masih tinggi.

    Aksesibilitas yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau

    dalam kondisi yang buruk juga menjadi tantangan dalam pengelolaan lahan suboptimal.

    Terbatasnya aksesibilitas menyebabkan biaya angkut hasil produksi maupun sarana

    produksi relatif mahal. Kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian

    di lahan suboptimal akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas produk

    serta sulitnya pemasaran. Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena

    umumnya kepadatan penduduk yang bermukim di lahan suboptmal sangat rendah.

    Akibatnya, pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada

    beberapa daerah hal tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan

    ke penggunaan lain, diantaranya untuk perkebunan terutama kelapa sawit.

    Daerah rawa memiliki potensi produk sampingan limbah pertanian yang potensial.

    Limbah pertanian yang dominan adalah dari tanaman padi, rumput rawa, perkebunan

    sawit, dan kotoran hewan yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan. Limbah ini

    berpotensi dijadikan pupuk kompos sehingga ketergantungan menggunakan pupuk buatan

    dapat dikurangi atau dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan

    rumah tangga. Pengembangan teknologi pengolahan merupakan salah satu alternatif

    penganekaragaman produk sebagai penunjang agroindustri yang sesuai untuk tingkat

    pedesaan dan meningkatkan nilai tambah komoditas di lahan suboptimal. Dengan lebih

    beragamnya produk olahan diharapkan dapat mendukung program ketahanan pangan.

    Dampak pengembangan agroindustri di pedesaan antara lain dapat mendorong tumbuhnya

    usaha-usaha di bidang pengolahan pangan, bengkel peralatan dan meningkatkan status gizi

    masyarakat (Antalina dan Umar, 2009).

    Menyeimbangkan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi

    Lahan suboptimal membutuhkan lebih banyak intervensi teknologi agar dapat

    dijadikan lahan pertanian yang produktif. Upaya ini selain mahal secara ekonomi, sering

    juga beresiko tinggi bagi lingkungan. Mudah untuk dipahami bahwa tidak seluruh bentang

    lahan suboptimal dapat dan perlu dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Dengan

    demikian maka tidak semua jengkal lahan suboptimal harus digunakan sebagai lahan

    produksi; sebagian perlu tetap diperuntukan bagi kepentingan konservasi.

    Kebutuhan lahan paling besar adalah untuk kepentingan pertanian. Berdasarkan

    estimasi Schneider et al. (2011), pada tahun 2005, pertanian telah menggunakan sekitar 38

    persen lahan secara global dan diprediksi akan menguasai separuh pada tahun 2030 dan

    mencapai dua per tiga lahan dunia pada tahun 2070. Taksiran ini dilakukan dengan

    memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan

    pangan dan energi. Peningkatan kebutuhan akan lahan ini juga akan terjadi di Indonesia

    mengingat laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak berbeda jauh dengan rata-rata

    pertumbuhan penduduk dunia.

    Untuk memenuhi kebutuhan lahan sektor pertanian ini dan mempertimbangkan

    kondisi sumberdaya lahan Indonesia, maka ekstensifikasi lahan pertanian akan merambah

    ke lahan-lahan suboptimal. Menghadapi desakan ini, maka Indonesia tidak serta merta

    semua lahan suboptimal yang masih belum dimanfaatkan, dibuka untuk kepentingan lahan

    produksi pertanian. Pembangunan pertanian Indonesia harus dirancang agar dapat

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 13

    berkelanjutan. Oleh sebab itu, perlu dijaga keseimbangan pengelolaan lahan antara untuk

    kepentingan pertanian (ekonomi) dengan kepentingan konservasi (ekologi). Sebagai

    langkah antisipatif, Indonesia perlu menyiapkan peta rencana pemanfaatan lahan (land use)

    untuk semua bentang lahan suboptimal di seluruh wilayah NKRI.

    PENUTUP

    Ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terakumulasi melalui penelitian dan

    pengalaman lapangan di berbagai tipologi lahan suboptimal perlu dijadikan modal dasar

    untuk merencanakan pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Sayangnya selama ini

    budaya mempublikasikan hasil penelitian di kalangan akademisi, peneliti, dan perekayasa

    Indonesia masih belum baik. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya produktivitas ilmiah

    para ilmuwan Indonesia (Lakitan et al., 2012). Hasil penelitian yang tidak terdokumentasi

    dan terkomunikasikan dengan baik ini akan menyulitkan dalam menghimpun data dan

    informasi tentang lahan-lahan suboptimal tersebut.

    Kebijakan pemerintah pada periode lima tahun terakhir ini telah memberikan

    prioritas pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka

    membangun kapasitas yang lebih baik untuk mengelola lahan-lahan suboptimal di masa

    yang akan datang. Karena posisi lahan suboptimal yang semakin penting untuk memenuhi

    kebutuhan pangan nasional, maka pemahaman yang komprehensif tentang lahan

    suboptimal ini merupakan prasyarat untuk pengembangan teknologi yang secara teknis

    relevan dengan kebutuhan dan secara ekonomis terjangkau oleh masyarakat lokal

    setempat. Saat ini, upaya mendorong agar para pengembang teknologi fokus pada

    teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan kompetitif secara ekonomi merupakan salah

    satu tantangan yang serius dalam upaya mewujudkan sistem inovasi nasional (Lakitan,

    2013).

    DAFTAR PUSTAKA

    Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan produksi

    padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Dalam F. Karino, Efendi dan AM. Fagi

    (Penyunting). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

    Antalina, SS. dan S. Umar. 2009. Teknologi pengolahan komoditas unggulan mendukung

    pengembangan agroindustry di lahan lebak. Prosiding Seminar Nasional Serealia.

    ISBN: 978-979-8940-27-9.

    Edgerton, D. 2006. The Shock of the Old: Technology and Global History Since 1900.

    Profile Books Ltd, London.

    Endrizal dan B. Julistia. 2009. Pengembangan dan peningkatan produktivitas padi pada

    rawa lebak melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu padi di Provinsi

    Jambi. Prosiding Seminar Nasional Padi, Hal.800-814.

    Endrizal dan Jumakir. 2009. Produktivitas beberapa VUB padi rawa lebak mendukung

    desa mandiri pangan Kabupaten Batanghari. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

    Jambi.

    Fitri, SNA. and N. Gofar. 2010. Increasing of rice yield by using growth promoting

    endophytic bacteria from swamp land. J. Tropical Soils. 15(2): 271-276.

    Gofar, N. 2007. Keragaman beberapa sifat kimia dan biologi tanah pada berbagai tipe

    penggunaan lahan rawa lebak. Agritrop 26(2): 92-96.

    Gofar, N. dan Marsi. 2013. Pertumbuhan dan hasil padi gogo pada Ultisol yang dipupuk

    dengan kompos diperkaya pupuk hayati. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 14

    Tahunan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat tahun 2013 di

    Pontianak, 19-20 Maret 2013.

    Gofar, N., H. Widjajanti, dan NLPS. Ratmini. 2013. Pengembangan Teknologi Pupuk

    Mikroba Multiguna untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Rawa Lebak.

    Laporan kemajuan tengah tahun penelitian SINas Kemenristek, PUR-PLSO,

    Palembang.

    Hadijah, AD., Arsyad, dan Bahtiar. 2009. Dinamika Usahatani Jagung Hibrida dan

    Permasalahannya pada Lahan Kering di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar

    Nasional Serealia. ISBN: 978-979-8940-27-9.

    Imanudin, MS. dan D. Tambas. 2002. Penentuan jumlah dan waktu pemberian air irigasi

    tanaman cabai melalui informasi data iklim, tanaman dan tanah. Jurnal Agrista

    Nomor Akreditasi: 53/DIKTI/Kep/1999. ISBN: 1410-3389.

    Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur aringan tata air

    pada berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding

    Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema : Teknik

    Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN : 979985718-7.

    Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia. 2010. Lawit dan

    Manyapa: Varietas Unggul Kedelai untuk Lahan Pasang Surut dan Lahan Sawah.

    Jumakir dan Endrizal. 2009. Produktivitas Pertanaman Jagung di Lahan Pasang Surut

    Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional

    Serealia. ISBN: 978-979-8940-27-9.

    Lakitan, B. 2013. Connecting all the dots: Identifying the Actor Level challenges in establishing effective innovation system in Indonesia. Technology in Society 35:

    41-54.

    Lakitan, B., D. Hidayat, and S. Herlinda. 2012. Scientific productivity and the

    collaboration intensity of Indonesian universities and public R&D institutions: Are

    there dependencies on collaborative R&D with foreign institutions? Technology in

    Society 34: 227238. Masganti dan N. Yuliani. 2010. Produktivitas Padi Lokal di Lahan Pasang Surut. Balai

    Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.

    Schneider, UA., P. Havlk, E. Schmid, H. Valin, A. Mosnier, M. Obersteiner, H. Bttcher,

    R. Skalsky, J. Balkovic, T. Sauer, and S. Fritz. 2011. Impacts of population

    growth, economic development, and technical change on global food production

    and consumption. Agricultural Systems 104: 204215 Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the

    operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh,

    South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering

    (CSBE/SCGAB).Qubec City, Canada June 13-17, 2010.

    Suwignyo, RA., Suharsono, M. Hasmeda, ES. Halimi, dan A. Kurnianingsih. 2010.

    Pengembangan strategi pengelolaan budidaya padi rawa lebak dan perakitan

    varietas tahan rendaman berbahan genetik lokal. Laporan hasil penelitian Program

    Insentif Riset Terapan, Kementrian Negara Riset dan Teknologi.

    Sulistiyarto, B., D. Soedharma, MF. Rahardjo, dan Sumardjo. 2007. Pengaruh musim

    terhadap komposisi jenis dan kemelimpahan ikan di rawa lebak, Sungai Rungan,

    Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Biodiversitas 8(4): 270-273.

    Suparwoto dan Waluyo. 2009. Peningkatan pendapatan petani di rawa lebak melalui

    penganekaragaman komonitas. Jurnal Pembangunan Manusia 7(1): 1-9.

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 15

    Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering Masam

    untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

    Naik Sinukaban

    Guru Besar Konservasi Tanah dan Air, IPB, Bogor

    ABSTRAK

    Tanah-tanah pertanian lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah-tanah

    bereaksi masam, kurang subur, berlereng cukup curam dan sebagian sudah tergolong lahan

    kritis. Curah hujan yang cukup tinggi dan kemiringan lereng yang landai sampai curam

    menyebabkan erosi juga cukup tinggi. Pengembangan pertanian lahan kering yang masih

    mungkin di daerah ini mempunyai pilihan yang tidak luas. Pembangunan pertanian lahan

    kering tersebut akan berhasil apabila pengembangannya berbasis bukan tanaman pangan

    tetapi campuran tanaman perkebunan, hortikultura, hutan, pangan, ternak, dan/atau ikan. .

    Sistem Pertanian Konservasi diperkirakan adalah sistem terbaik untuk diterapkan dalam

    pembangunan pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Penerapan modifikasi

    teknologi pertanian di lahan kering berlereng (MSALT) kiranya dapat digunakan dalam

    mengembangkan Sistem Pertanian Konservasi

    PENDAHULUAN

    Pertanian lahan kering pada umumnya terletak di daerah yang landai,

    bergelombang, berbukit, dan bergunung yang didominasi (78%) oleh tanah-tanah

    Inceptisols, Ultisols, Entisols, dan Oxisols (Subagio et.al., 2000). Curah hujan yang tinggi

    dan kemiringan lereng yang curam menyebabkan lebih dari 10,7 juta ha dikawasan

    budidaya telah tergolong pada lahan kritis dan sangat kritis (Tabel 1a dan 1). Dengan

    kondisi biofisik daerah yang tidak terlalu menguntungkan tersebut maka strategi

    pembangunan pertanian di daerah ini harus dirumuskan secara lebih cermat dengan

    mempertimbangkan kondisi biofisik dan sosial ekonomi daerah setempat.

    Tabel 1. Distribusi lahan yang potensial dikembangkan menjadi pertanian lahan kering

    di Indonesia

    Luas dan status degradasi lahan (1000 ha)

    Potensial + agak kritis kritis+sgt kritis Jumlah

    1. Sumatera

    2. Jawa dan Madura

    3. Kalimantan

    4. Sulawesi

    5. Bali+NTB+NTT

    7. Maluku

    8. Irian Jaya

    12055

    3211

    9074

    3300

    1571

    393

    350

    3651

    804

    1979

    1264

    2524

    176

    269

    15706

    4015

    11053

    4564

    4095

    569

    619

    Jumlah 29954 10667 40621 1 )

    Diolah dari Data Lahan Kritis Nasional 2007 (Dit PEP DAS, 2007)

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 16

    POTENSI PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING SUBOPTIMAL

    Sebagian besar (sekitar 55%) jenis tanah di Indonesia, seperti Ultisols, Oxisols,

    sebagian Inceptisols (Dystrudepts), Entisols (Psamments and Aquents) dan Spodosols

    mempunyai kesuburan alami yang rendah dan hanya mampu mendukung pertumbuhan

    beberapa musim tanam tanaman semusim bila tanpa pemberian pupuk. Tanah yang relatif

    subur antara lain adalah sebagian Inceptisols (Eutrudepts), Mollisols, Vertisols, Andisols,

    Alfisols dan sebagian Entisols (Orthents and Fluvents), namun luasnya terbatas (Tabel 1a)

    (Subagjo et al., 2000). Tanah yang subur inipun akan menurun produktivitasnya apabila

    digunakan untuk pertanian secara terus menerus tanpa pemupukan atau bila pupuknya

    tidak cukup dan tidak berimbang dan/atau bila tidak menerapkan teknik konservasi tanah

    dan air yang memadai terutama di lahan berlereng curam. Luas lahan kering yang potensial

    untuk dikembangkan menjadi daerah pertanian dengan sistim pertanian konservasi (SPK)

    dengan melibatkan agroteknologi yang memadai dapat mencapai lebih dari 40 juta ha

    (Tabel 1).

    Dalam keadaan alami pada umumnya tanah-tanah di Indonesia mempunyai kelas

    kemampuan lahan yang rendah untuk pertanian, terutama pertanian tanaman pangan. Hal

    ini disebabkan karena faktor kemiringan lereng yang bergelombang, curam sampai sangat

    curam, curah dan intensitas hujan yang tinggi, dan rendahnya cadangan dan ketersediaan

    hara pada beberapa jenis tanah. Namun dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah

    yang tepat, maka tanah-tanah tersebut, walaupun termasuk tanah kurang sesuai, dapat

    berproduksi secara memuaskan dan menguntungkan. Areal pertanaman untuk komoditas

    dengan insentif ekonomi tinggi, seperti kelapa sawit berkembang dengan pesat (Gambar

    1). Areal untuk komoditas lain, walaupun secara nasional berfungsi sangat strategis, seperti

    lahan sawah, hampir tidak mengalami perluasan, bahkan cenderung terkonversi menjadi

    areal penggunaan lain.

    Berbagai pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk

    tegalan meluas sampai ke perbukitan berlereng curam yang berdasarkan aspek lingkungan

    hanya cocok untuk sistem berbasis pohon-pohonan atau bahkan sebagai kawasan lindung.

    Perluasan tegalan ke lahan yang tidak sesuai antara lain disebabkan oleh

    termarjinalisasinya sebagian penduduk miskin karena pesatnya pembangunan untuk

    perkebunan dan perkotaan di dataran rendah dengan relief datar dan bergelombang.

    Penggunaan lahan perkebunan dan pepohonan buah-buahan relatif terlindung dari

    erosi dibandingkan dengan areal tanaman pangan yang diolah secara intensif. Untuk itu

    lahan pertanian, terutama lahan tegalan dan lahan pertanian di daerah berlereng

    bergelombang sampai curam sangat memerlukan penerapan berbagai teknik konservasi

    tanah dan air yang memadai (Sinukaban, 1994; Agus dan Widianto, 2004). Selain itu

    perimbangan antara areal tanaman pangan dengan perkebunan perlu dijaga untuk

    menjamin dan mensukseskan target swasembada pangan mulai tahun 2014 dan mencegah

    masuknya areal tanaman pangan ke areal marginal dan lahan di kawasan lindung/berfungsi

    lindung.

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 17

    Keterangan : Beberapa data hilang pada tahun 2010 diisi dengan cara extrapolasi dari tahun lainnya.

    Sumber : http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/index.asp dan www.bps.co.id diunduh tanggal 14 Februari

    2013)

    Gambar 1. Perkembangan Luas Lahan Pertanian Indonesia Periode 2000-2010

    TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

    DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL

    Berdasarkan rujukan yang ada ternyata areal yang masih mungkin dikembangkan

    untuk pertanian sangat terbatas dengan kemiringan lereng yang bergelombang, curam

    sampai sangat curam, tipe tanah yang bereaksi masam dan kurang subur, dan sangat

    kondusif untuk terjadinya erosi (Pusat Penelitian Tanah 1989).

    Dalam berusahatani, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan di daerah

    ini, petani pada umumnya belum menerapkan tindakan konservasi tanah dan air yang

    memadai, bahkan dibanyak tempat penerapan teknik konservasi tanah dan air belum

    dikenal sama sekali. Oleh sebab itu sebagian areal pertanian di daerah ini lahannya telah

    rusak dan produktivitasnya telah menurun tajam. Dengan demikian pembangunan

    pertanian didaerah tersebut akan menghadapi kendala/tantangan yang cukup berat, seperti

    kualitas lahan (fisik dan kimia) yang tidak baik, kemiringan lahan yang relatif curam,

    curah hujan yang tinggi, tingkat erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas,

    dan kemampuan petani dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih

    rendah. Berdasarkan kendala/tantangan di atas maka penerapan sistim pertanian

    konservasi adalah salah satu alternatif yang perlu diprogramkan untuk membangun

    pertanian yang berkelanjutan di daerah ini (Sinukaban, 1994).

    PENERAPAN SISTEM PERTANIAN KONSERVASI

    DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL

    Sistem pertanian Konservasi (SPK, Conservation Farming Systems) adalah sistem

    pertanian yang mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan air kedalam sistem pertanian

    yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan

    kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat

    berlanjut secara terus menerus tanpa batas (lestari, sustainable). Jadi tujuan utama sistim

    pertanian konservasi bukanlah menerapkan tindakan konservasi tanah saja tetapi untuk

    mempertahankan pertanian yang lestari

    Dalam sistem pertanian konservasi akan ditemui ciri-ciri berikut: (a) produksi

    pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya, (b)

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 18

    pendapatan petani cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya

    (c) teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi

    adalah teknologi yang dapat diterapkan sesuai kemampuan (applicable) dan diterima

    (acceptable) oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut dapat

    diteruskan oleh petani dengan kemampuannya tanpa bantuan dari luar secara terus-

    menerus, (d) komoditi yang diusahakan adalah komoditi yang sesuai dengan kondisi

    biofisik daerah, dapat diterima oleh petani, dan laku di pasar, (e) erosi rendah - sangat

    rendah (erosi ` Etol) sehingga produktivitas tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan (produktivitas cukup tinggi secara lestari) (Gambar 2), (f) penguasaan lahan dapat

    menjamin keamanan investasi jangka panjang (Longterm Invesment Security).

    Dari ciri diatas terlihat bahwa sistem pertanian konservasi itu adalah sistem

    pertanian yang khas kondisi setempat (site specific). Dengan demikian sistem pertanian

    konservasi di suatu tempat belum tentu cocok di tempat lain. Oleh karena itu dalam

    merencanakan sistem pertanian konservasi langkah-langkah berikut perlu diperhatikan.

    1. Inventarisasi sumberdaya bio-fisik seperti : tanah, penggunaan lahan, topografi dan iklim (untuk menentukan kelas kemampuan/kesesuaian lahan untuk komoditi tertentu,

    agro teknologi yang diperlukan, teknik konservasi yang memadai, serta tingkat

    kerusakan lahan yang sudah terjadi.

    2. Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani seperti besarnya keluarga, pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, pemilikan lahan, pengetahuan tentang teknologi

    pertanian dan sebagainya.

    3. Inventarisasi pengaruh luar seperti pasar/pemasaran hasil, keadaan dan jarak ketempat pemasaran, perangkat penyuluhan/latihan, koperasi, lembaga keuangan pedesaan serta

    organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani.

    Gambar 2. Laju Erosi Pada Berbagai Sistem Pertanian

    Semua data tersebut diperlukan untuk merumuskan sistem pertanian konservasi

    yang sesuai didaerah setempat. Berdasarkan data yang diperlukan dan ciri pertanian

    konservasi terlihat bahwa dalam merencanakan pertanian konservasi, kemampuan dan

    pendapatan petani sangat menentukan. Dengan kata lain, perumusan sistim pertanian

    konservasi harus dimulai dari petani/masyarakat petani. Pendekatan seperti ini dikenal

    dengan pendekatan dari bawah (Bottom up approach) (Douglas, 1990).

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 19

    STRATEGI PENERAPAN SISTEM PERTANIAN KONSERVASI

    DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL

    Seperti dikemukakan diatas bahwa penerapan SPK harus melalui pendekatan dari

    bawah. Disamping itu sistem ini juga memerlukan pengetahuan/keterampilan yang bersifat

    interdisipliner, karena SPK tersebut menggunakan gabungan banyak disiplin ilmu seperti

    ilmu tanah/konservasi, agronomi (tanaman pangan, perkebunan, hutan), ternak, perikanan,

    sosiologi, ekonomi dan sebagainya dalam satu sistem produksi yang disebut SPK. Oleh

    sebab itu penerapan SPK di lahan kering dengan kondisi yang dimiliki sekarang

    seyogyanya dilakukan secara bertahap dengan perencanaan yang cermat. Kelihatannya

    penerapan SPK di lahan kering harus ditunjang oleh hal-hal berikut:

    1. Peningkatan jumlah dan kualitas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). 2. Penataan sistem pemilikan/penyewaan lahan agar menjamin keamanan investasi jangka

    panjang dalam pengembangan pertanian.

    3. Penataan lembaga pemasaran hasil pertanian untuk menjamin harga yang baik dan untuk merangsang peningkatan produksi.

    4. Penataan lembaga keuangan di desa untuk menyediakan modal/kredit untuk petani.

    PILIHAN SISTEM PERTANIAN KONSERVASI

    DI LAHAN KERING SUBOPTIMAL

    Untuk menetapkan pilihan SPK yang tepat di lahan kering seperti telah

    dikemukakan diatas, maka harus dilakukan inventarisasi data yang diperlukan terlebih

    dahulu sebab penerapan SPK adalah bersifat khas (site specific). Oleh sebab itu pemilihan

    SPK harus dilakukan secara detail; hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam paper ini.

    Paper ini hanya memberikan arahan /pedoman tentang SPK yang cocok dengan data umum

    yang telah dikemukakan diatas.

    Berdasarkan data umum yang ada dan pengalaman pengembangan pertanian di

    Sumatera, Kalimantan, Jawa dan NTB/NTT, maka SPK di lahan kering yang berlereng

    seyogyanya dikembangkan dengan basis bukan tanaman pangan. Tanaman pangan

    memang masih diperlukan untuk keamanan pangan (food security) tetapi hanya dalam

    proporsi yang kecil untuk kebutuhan keluarga saja (subsistence). Daerah perbukitan

    tersebut seyogyanya dikembangkan dengan SPK berbasis tanaman perkebunan dan/atau

    hutan yang disertai ternak (Agrosylvopasture) (Serrano, 1990) . Keseluruhan tanaman ini

    (tanaman pangan, perkebunan dan/atau hutan, serta ternak) ditata dengan baik dalam satu

    Sistem Pertanian Konservasi. Penataan SPK ini dapat dilakukan dengan modifikasi

    pendekatan SALT (Modified Sloping Agricultural Land Technology = MSALT). Dalam

    MSALT ini semua tanaman ditanam mengikuti kontur dan diatur secara baik dalam strip

    atau tanaman lorong; dimana tanaman kayu-kayuan, perkebunan, leguminosae tidak hanya

    satu baris tetapi diatur dalam strip (lorong) yang lebar (Gambar 3) (Palaniappan, 1989) .

    Apabila lahan pertaniannya didaerah datar, maka arah lorong dapat ditata mengikuti arah

    Timur-Barat.

    tanaman

    pangan

    Hutan

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 20

    Gambar 3. Diagram Penataan Pertanaman Dalam SPK Di Lahan Kering Berlereng

    Kemudian tanaman pangan dan tanaman pakan ditanam dalam strip di antara

    lorong tanaman kayu-kayuan/perkebunan/leguminosae. Strip tanaman pakan dan tanaman

    pangan dapat digilir/diubah dengan rotasi tertentu (1, 2, atau 3 tahunan) tergantung pada

    keadaan tanah. Penetapan jenis tanaman pakan, pangan, kayu-

    kayuan/perkebunan/leguminosae harus disesuaikan dengan kemampuan dan/atau

    kesesuaian lahan, keinginan petani atau kemampuan petani, serta permintaan pasar. Di

    antara strip tanaman pangan atau pakan dengan lorong tanaman kayu/perkebunan/legume

    dibangun saluran air yang dapat mengakomodasikan aliran permukaan dengan aman ke

    saluran pembuangan air yang lebih besar. Lebar setiap strip harus disesuaikan dengan

    kemiringan lereng dengan jarak tegak (vertical distance) maksimum setiap saluran

    pembuangan air atau tepi strip adalah satu meter.

    Apabila tanaman legume dalam lorong telah tumbuh dengan baik maka daun-

    daunnya dipangkas dan dipakai sebagai mulsa pada pertanaman tanaman pangan atau

    dijadikan pakan ternak. Demikian juga dengan sisa-sisa pakan dan pupuk kandang dari

    ternak yang dihasilkan supaya digunakan sebagai pupuk di daerah pertanaman pakan dan

    pangan Penerapan SPK berbentuk Agrosylvopasture untuk menanggulangi lahan

    terdegradasi di NTB mampu meningkatkan pendapatan petani dari Rp 54000 Rp 252000 per bulan menjadi Rp 2034000 Rp 4041000 per bulan setelah SPK berumur 2,5 tahun. Keseluruhan pendapatan ini berasal dari tanaman pangan sebesar Rp 683000, ternak

    sebesar Rp 492000 dan dari kayu turi sebesar Rp 2000000 per bulan ( Tabel 2, 3, dan 4);

    pendapatan ini adalah rata rata dari pendapatan 17000 petani peserta setelah program SPK

    Agrosylvopasture berumur 6 tahun. Dengan pengaturan dan pengelolaan SPK seperti itu

    diharapkan pertanian yang dikembangkan akan berproduksi tinggi secara terus-menerus

    (sustainable).

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:

    1. Lahan kering yang masih dapat dikembangkan di daerah berlereng landai, bergelombang sampai curam dapat mencapai lebih dari 40 juta ha.

    2. Pengembangan lahan kering di daerah berlereng landai, bergelombag sampai curam mempunyai banyak kendala/tantangan.

    3. Pengembangan pertanian lahan kering di daerah berlereng landai, bergelombag sampai curam sebaiknya berbasis tanaman perkebunan/kayu-kayuan. ( bukan tanaman pangan)

    4. Sistem pertanian konservasi akan memberikan prospek yang cerah dalam pembangunan pertanian di lahan kering.

    Tanaman Pangan

    Tanaman pakan

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Lahan Kering, World

    Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia, Bogor, 102 pp,.

    Douglas, M. G. 1990. Land use planning for smallholder farming. Asocon Training on

    RLPDCFS. June 25 - July 12 1990. Agoo Playa. Philippines Palaniappan, Sp. 1989. Cropping systems in the tropics principles and management.

    Asocon Training on RPLDCFS, June 25 July 12, 1990. Agoo Playa. Philippines. Serrano, R. C. 1990. Agroforestry based farming systems for smallholder farmers.

    Asocon Training on RLPDCFS, June 25 July 12, 1990. Agoo Playa, Philippines. Dit PEP DAS. 2007. Data Lahan Kritis Nasional. Buku I. Direktorat Pengelolaan Daerah

    Aliran Sungai. Jakarta 2007.

    Sinukaban, Naik. 1990. Land degradation on various farming systems in indonesia. Proc.

    of Int. Seminar on Agric. Change and Development in South East Asia

    (ISACDESA), Jakarta 20 23 November 1989. Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan

    Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah, Guru Besar Tetap Ilmu Konservasi dan

    Pengelolaan Tanah dan Air, IPB. 3 Des. 1994, IPB Bogor.

    Subagjo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Lahan Pertanian Indonesia Hal. 21 66 dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Center for Soil and

    Agroclimate Research and Develoment, Bogor.

    Tabel 1a. Jenis tanah di Indonesia dan Sebarannya (Subagjo et al., 2000).

    No Jenis Tanah Luas

    Sebaran Juta Ha %

    1 Ultisols 45,8 24 Sumatera, Jateng, Jabar, Kalimantan,

    Sulawesi, Papua

    2 Oxisols 14,1 7 Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

    Papua

    3 Inceptisols 70,5 37 Sumatera, Kalimantan, Papua

    4 Entisols 18,0 10 Nusa Tenggara Timur, dan beberapa

    pulau lainnya

    5 Andisols 5,4 3 Jawa, Sumatra, Sulawesi

    6 Histosols1)

    14,9 8 Sumatera, Kalimantan, Papua

    7 Lainnya (Vertisols,

    Alfisols, Mollisols,

    Spodosols)

    21,0 11 Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT,

    Sumatra

    Total 189,72)

    100 1)

    Ritung et al. (2011). 2)

    Total luas tidak termasuk badan air (danau, sungai dan waduk).

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 22

    Tabel 2. Pendapatan tahunan dari tanaman pangan SPK Agrosylpopasture

    Komponen Tanaman

    Pangan ASP

    Produktivitas

    (ton/ha/yr)

    Pendapatan Bersih

    (US $)

    Rp

    Jagung

    Padi Gogo

    Kacang Panjang

    Cabe

    Tomat

    Tanaman Lain

    3.0

    2.5

    1.1

    0.4

    1.3

    -

    167*

    189

    100

    167

    111

    178

    1 500 000

    1 700 000

    900 000

    1 500 000

    1 000 000

    1 600 000

    Total - 912 8 200 000

    *1 US $ = Rp. 9000,-

    Tabel 3. Pendapatan tahunan dari ternak SPK Agrosylvopasture setelah 1 2 tahun

    Jenis ternak

    Existing Potensi pengembangan

    Jumlah

    ternak

    Pendapatan

    (US $) Rp

    Jumlah

    ternak

    pendapatan

    (US $) Rp

    ..Pengembangan ternak

    Kambing 7 267 2450000 15 583 5 250 000

    Domba 7 267 2450000 15 583 5 250 000

    Sapi 2 111 1000000 3 389 3 500 000

    ..Penggemukan ternak.

    Kambing 4 89 800 000 25 556 5 000 000

    Domba 4 89 800 000 25 556 5 000 000

    Sapi 2 444 4000 000 5 1111 10 000 000

    *1 US $ = Rp. 9000,-

    Tabel 4. Pendapatan tambahan tahunan dari tanaman pangan setelah 2 tahun

    Jenis Tanaman Produktivitas

    (kg/ha/th)

    Pendapatan/tahun

    US $ Rp

    Jagung

    Kacang Panjang

    Cabe

    Kacang Tanah

    Kedele

    400

    180

    80

    50

    40

    31

    20

    27

    16

    11

    280 000

    180 000

    240 000

    140 000

    100 000

    Total 105 940 000

    *1 US $ = Rp. 9000,-

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 23

    Optimalisasi Lahan Sub Optimal

    bagi Penguatan Ketahanan Pangan Indonesia

    Sobir

    Pusat Kajian Hortikultura Tropika, IPB, Bogor

    PENDAHULUAN

    Terdapat beberapa difinisi tentang ketahanan pangan.Menurut FAO (1996)

    ketahanan pangan ada ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi

    yang memadai terhadap makanan yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan

    pangan mereka sesuai dengan preferensi pangan untuk hidup aktif dan sehat.Sedangkan

    menurut Bank Dunia (1986) ketahanan pangan berarti adanya akses oleh semua orang

    sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup untuk hidup aktif dan sehat. Dalam UU

    Pangan No. 18/2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara

    sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik

    jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak

    bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,

    aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dalam ini pula filosofi ketahanan pangan adalah

    Kedaulatan Pangan yang merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri

    menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang

    memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan

    potensi sumber daya lokal.

    Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini

    adalah permintaan terhadap pangan lebih cepat daripada penyediaannya.Permintaan yang

    meningkat cepat merupakan resultan dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan

    ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera.Laju populasi penduduk

    pada saat ini 1.49 % dan konsumsi beras tetap, yaitu 125.3 kg/kapita/tahun, berarti pada

    tahun 2030 penduduk Indonesia mencapai 329.4 juta, membutuhkan pangan sebesar 90.4

    juta ton setara GKG, dengan asumsi pertumbuhan produksi 1.3%, maka Indonesia akan

    defisit pangan sebesar 4.2 juta ton (Poerwanto et al, 2012). Defisit ini akan makin

    meningkat dengan perubahan pola konsumsi sesuai dengan peningkatan pendapatan.

    Sementara itu kapasitas penyediaan pangan makin berkurang karena konversi lahan,

    kompetisi dengan lahan untuk produksi bahan baku industry, degradasi kesuburan lahan,

    stagnasi pertumbuhan produktifitas lahan dan tenaga kerja pertanian.

    Penurunan kapasitas terbesar karena adanya konversi lahan, data kementrian

    pertanianmenunjukkan bahwa laju konversi lahan sawah ke bukan sawah seluas 187.720

    ha/tahun, dengan rincian dari sawah ke non pertanian sebanyak 110.164 ha/tahun dan dari

    sawah ke pertanian lainnya seluas 77.556 ha/tahun (Kementerian Pertanian, 2009).Kondisi

    ini jelas perlu adanya tidakan nyata, karena kalau tidak Indonesia dapat terjebak menjadi

    Negara gagal pangan, salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah peningkatan

    kapasitas produksi pangan melalui extensifikasi dan intensifikasi. Untuk intensifikasi

    tantangannya adalah pwningkatan kapasitas genetik yang sudah stagnan, sedangkan secara

    intensifikasi perluasan hanya bias dilakukan ke lahan suboptimal yang potensial untuk

    pertanian yang masih tersedia sebesar 91.9 juta ha, yang terdiri dari lahan kering masam

    (68.2%); lahan kering iklim kering (8.4); lahan rawa pasang surut (10.1%); lahan rawa

    lebak (8.2), dan gambut (5.1%).

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 24

    Tantangan lain mengenai lahan sub-optimal adalah pertambahan populasi

    penduduk yang akan meningkatkan persaingan sumberdaya air, serta adanya perubahan

    iklim yang memicu pemanasan global dan anomaly iklim, kondisi ini jelas akan merubah

    beberapa lahan yang optimal untuk produksi pertanian menjadi lahan sub optimal.

    Keadaan ini menuntut perubahan arah pengembangan produksi pertanian menuju

    peningkatan penggunaan lahan suboptimal secara meluas, dan menjaga pemanfaatan lahan-

    lahan optimal secara berkelanjutan.

    Lahan suboptimal secara alamiah mempunyai produktivitas rendah (karena faktor

    internal seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah, dan/atau faktor eksternal seperti iklim,

    lingkungan) sehingga pendekatan yang sudah biasa dilakukan pada lahan optimal tidak

    bias diterapkan pada lahan suboptimal. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah

    perbaikan kapasitas genetic tanaman, naik secara konvensional maupun bioteknologi,

    pengembangan system produksi di lahan sub optimal, pengembangan infrastruktur

    pertanian pendukung, serta peningkatan kapasitas teknik dan kelembagaan petani sebagai

    pelaku produksi utama.

    PEMANFAATAN SDG DAN PEMULIAAN

    Pendekatan paling efisien dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah penggunaan

    varietas yang toleran terhadap cekaman abiotic dan biotik.Cekaman abiotic yang menjadi

    tantangan antara lain cekaman air, baik kelebihan maupun kekurangan (hampir pada semua

    lahan suboptimal), keracunan mineral seperti Al pada lahan masam, NaCl pada lahan dekat

    dengan pantai, dan suhu tinggi. Cekaman biotik berupa tingginya serangan penyakit, hama

    dan kecepatan tumbuhnya gulma disekitar tanaman produksi. Tantangan lainnya adalah

    berkembangnya tuntutan pasar, sehingga toleransi terhadap berbagai cekaman menjadi

    tidak cukup, karena pasar meminta standar produk tertentu yang meyebabkan

    pengembangan varietas di lahan sub optimal menjadi lebih kompleks.

    Cekaman kekurangan air umumnya terkait dengan kekeringan dan kelebihan

    garam, upaya yang harus dilakukan adalah penyediaan gen-gen yang mampu menjaga

    tekanan osmotic sel seperti gen-gen yang mampu memproduksi asam amino (prolin),

    senyawa onium (glycinebetaine), dan senyawa poliol (manitol); gen-gen yang mampu

    menghasilkan senyawa menyerap radikal bebas akibat adanya cekaman kekeringan

    (Reactive Oxygen Species/ROS scavenging and detoxification), serta gen-gen yang mampu

    menjaga pertumbuhan dalam keadaan tercekam (Shinozaki and Yamaguchi-Shinozaki,

    1999). Pada kondisi kelebihan air diperlukan gen yang mampu mendorong akar melakukan

    penyediaan oksigen bagi metabolism dan pertumbuhan akar pada kondisi tergenang.

    Pada lahan masam, masalah utama adalah keracunan logam terutama Al, pola

    toleransi tanaman umumnya penghindaran masuknya logam kedalam sel akar, melalui

    produksi asam organic seperti asam oksalat (talas), sitrat (jagung, kedelai) dan malat

    (Triticum) yang mampu mengikat ion Al disekitar wilayah perakaran, selanjutnya beberapa

    mode toleransi juga terkait dengan detoxifikasi Al yang masuk kedalam sel tanaman

    dengan melibatkan asam organic maupun senyawa ROS scavenging and detoxification.

    Penyediaan gen untuk tolerasi terhadap cekaman abiotic seringkali terhambat, karena

    memang tidak tersedia pada gene pool tanaman tersebut, seperti gen toleran suhu tinggi

    pada kentang, karena kentang merupakan tanaman dataran tinggi, dan gen adaptasi kedelai

    terhadap lingkungan tropis karena kedelai merupakan tanaman temperate. Oleh karena itu

    perlu upaya khusus untuk mendapatkan gen toleransi tersebut. di Pusat Kajian Hortikultura

    Tropika pada saat ini sedang dilakukan penelitian melalui mutasi dengan irradiasi sinar

    gamma untuk mendapatkan gen adaptasi ketang terhadap suhu tinggi agar produksi

  • Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013

    ISBN 979-587-501-9

    Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) 25

    kentang dapat dipertahankan walaupun suhu di lahan produksi suhunya meningkat baik

    karena pemanasan global maupun tekanan populasi.

    Upaya yang dilakukan di Pusat Kajian Hortikultura Tropika antara lain penyediaan

    varietas cabai yang sesuai untuk lahan kering yaitu Seloka, dimana varietas tersebut

    mampu tumbuh dengan baik pada lahan yang kecukupan airnya terbatas dan genjah,

    sehingga mampu berproduksi dengan baik dengan umur genjah pada populasi tinggi.

    Penyediaan varietas Seloka diharapkan mampu memperluas penanaman cabai ke lahan

    kering. Varietas lain yang dikembangkan adalah tomat dataran rendah yang ukurannya

    setara dengan tomat dataran tinggi dan toleran terhadap pecah buah, sehingga dapat

    memperluas penanaman tomat di dataran rendah dan mengurangi penanaman di dataran

    tinggi yang sebaiknya dijadikan lahan konservasi.

    Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah pengembangan komoditas local yang

    toleran terhadap lingkungan lahan sub-optimal, sebagai pengganti komoditas yang menjadi

    ke