3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori...
Transcript of 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori...
BAB 2
LANDASAN TEORI
Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan
penulisan skripsi ini. Kerangka teori ini disajikan berurutan sejalan dengan
permasalahan yang dibahas pada skripsi ini. Diharapkan dengan disajikannya landasan
teori ini, pembaca dapat memahami skripsi ini dengan teori-teori yang dikemukan pada
bagian ini.
2.1. Biometrik Model
Teknik informasi secara biometrik mempunyai lima (5) tahapan proses yang harus
dilalui. Tahapan tersebut adalah pengambilan data, proses signal, penyimpanan data,
pencocokkan, dan keputusan (ISO, 2006). Gambar 2.1 menunjukan tahapan-tahapan
tersebut. Penelitian ini berfokus pada tahapan proses signal sampai tahapan keputusan.
7
Gambar 2.1 Biometrik Model (ISO, 2006)
2.2. Sidik Jari
Sidik jari setiap orang mempunyai perbedaan bahkan pada orang kembar
sekalipun (Jain, Prabhakar, dan Pankanti, 2002). Hal ini membuat sidik jari tepat
digunakan dalam teknologi biometrik. Keunggulan lainnya dari sidik jari adalah
kepraktisannya dan ketahanannya.
Menurut Ashbaugh (1991), sidik jari (fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak
jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan
pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah
kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung
jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari yang mana
pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang
8
dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu. Pada gambar 2.2
dapat dilihat contoh sidik jari.
Gambar 2.2 Sidik Jari
2.3. Pengenalan Pola
Dalam skripsi ini, akan difokuskan pada pengenalan pola (pattern recognition).
Pengenalan pola sesungguhnya telah lama ada dan telah mengalami perkembangan
terus menerus dimulai dari pengenalan pola secara manual kemudian menjadi
pengenalan pola modern dengan menggunakan komputer. Inti dari pengenalan pola
adalah proses mengekstraksi ciri-ciri suatu objek dan proses mengklasifikasikan ciri-ciri
tersebut. Kedua proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam
metode. Tentunya metode yang dipilih harus memiliki tingkat akurasi yang tinggi yang
berarti secara manual (oleh manusia) tidak dapat dikenali tetapi bila menggunakan salah
suatu metode tersebut masih dapat dikenali. Selain itu metode tersebut harus dapat
diimplementasikan dengan algoritma komputer. Dalam skripsi ini, untuk proses
ekstraksi ciri dipilih transformasi wavelet dan untuk proses klasifikasi ciri dipilih
Jaringan Syaraf Tiruan yaitu Backpropagation.
9
Dalam Wijaya dan Kanata (2004) telah diuraikan mengenai pengenalan citra sidik
jari berbasis transformasi wavelet dan jaringan syaraf tiruan dengan bantuan perangkat
lunak Matlab. Dalam makalah tersebut dibahas mengenai berbagai macam jenis wavelet
dan unjuk kerjanya dalam mengekstraksi ciri citra sidik jari. Tetapi makalah ini, belum
membahas mengenai bagaimana implementasinya dalam perangkat lunak. Di sisi lain
dalam Antowiak dan Chalansinska-Macukow (2003), telah dibuat perangkat keras
untuk mengenali citra sidik jari berbasis transformasi wavelet dan jaringan syaraf tiruan.
Dalam makalah ini, dibahas implementasi transformasi wavelet secara optis dan
implementasi Jaringan Syaraf Tiruan secara elektronis. Selain kurangnya fleksibilitas
dalam menggunakan berbagai macam metode, implementasi dalam perangkat keras ini
membutuhkan dana yang cukup besar. Yang diajukan dalam skripsi ini adalah
implementasi perangkat lunak dalam suatu platform terbuka (open platform) sehingga
dapat dikembangkan dalam komunitas terbuka terutama di Indonesia. Hal ini
dimaksudkan untuk memicu penelitian dan penerapan biometrik lebih lanjut di
Indonesia.
Dalam pustaka yang ada juga terdapat isu bagaimana mempersingkat proses
pengenalan pola ini. Umumnya dengan menjadikan pengenalan pola menjadi satu tahap
saja, seperti dalam Allah (2004). Dalam makalah ini proses ekstraksi ciri dan proses
klasifikasi digabungkan menjadi satu dengan memodifikasi Jaringan Syaraf Tiruan
menjadi dua kategori yaitu backward dan feed-forward. Sedangkan dalam Thomas
(2000), modifikasi Jaringan Syaraf Tiruan dilakukan dengan dua tahap yaitu
diaplikasikan secara lokal terlebih dahulu dan baru selanjutnya secara global.
10
2.4. Teori Dasar
2.4.1. Pengolahan Citra (Image Processing)
Pengolahan citra (image processing) bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra
menjadi lebih baik sehingga lebih mudah dipahami atau diinterpretasi, baik oleh
manusia ataupun komputer. Agar dapat diolah oleh komputer, maka suatu citra harus
direpresentasikan secara numerik dengan nilai-nilai diskrit. Representasi citra dari
fungsi malar (kontinu) menjadi nilai–nilai diskrit disebut digitalisasi. Citra yang
dihasilkan inilah yang disebut citra digital (digital image). Untuk meningkatkan mutu
suatu citra, kita harus mengeliminasi noise yang tidak diinginkan dari citra tersebut.
Selain itu kita juga harus menjaga detail yang tetap ingin ditampilkan pada citra. Noise
pada suatu citra digital bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti citra analog yang
telah memiliki noise. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan metode
thresholding.
Thresholding adalah suatu metode untuk membantu menghilangkan noise
dengan mengubah citra digital menjadi citra biner. Untuk menentukan thresholding
dibutuhkan nilai ambang (threshold value) sebagai penentu apakah suatu piksel diubah
menjadi warna putih atau warna hitam. Jika nilai piksel lebih besar dari nilai ambang,
piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih, sebaliknya akan menjadi warna hitam.
Untuk menentukan nilai ambang digunakankan metode adaptive threshold. Metode ini
menjumlahkan seluruh nilai piksel yang ada pada citra, dan kemudian membaginya
dengan luas dari citra tersebut. Hasil dari perhitungan tersebut digunakan sebagai nilai
ambang.
11
2.4.2. Pendekatan Non Minutiae
Pada program yang dikembangkan ini menggunakan pendekatan Non Minutiae,
dan metode yang digunakan adalah transformasi wavelet. Transformasi wavelet
merupakan metode yang biasa digunakan untuk menyajikan data, fungsi atau operator
ke dalam komponen-komponen frekuensi yang berlainan, dan kemudian mengkaji
setiap komponen dengan suatu resolusi yang sesuai dengan skalanya. Transformasi
wavelet mempunyai kemampuan membawa keluar ciri-ciri atau karakteristik khusus
dari citra yang diteliti.
2.4.2.1. Transformasi Wavelet
Dalam skripsi ini perangkat lunak yang dikembangkan menggunakan
algoritma Discrete Haar Wavelet Transformation untuk mengekstraksi ciri-ciri khusus.
Wavelet merupakan sebuah basis. Basis wavelet berasal dari sebuah fungsi
penskalaan atau dikatakan juga sebuah scaling function. Scaling function memiliki sifat
yaitu dapat disusun dari sejumlah salinan dirinya yang telah didilasikan, ditranslasikan
dan diskalakan. Fungsi ini diturunkan dari persamaan dilasi (dilation equation), yang
dianggap sebagai dasar dari teori wavelet. Persamaan dilasi berbunyi demikian :
∑ −= )2()( kxcx kφφ …………….. (2.1)
dari persamaan scaling function ini dapat dibentuk persamaan wavelet yang pertama
(atau disebut juga mother wavelet), dengan bentuk sebagai berikut :
12
∑ −−= −k
kk kxcx )2()1()( 1
0 φϕ ………………(2.2)
Dari mother wavelet ini kemudian dapat dibentuk wavelet berikutnya (ψ1, ψ2
dan seterusnya) dengan cara mendilasikan (memampatkan atau meregangkan) dan
menggeser mother wavelet.
Scaling function yang dapat membentuk wavelet bermacam-macam jenisnya.
Berdasarkan scaling function inilah basis wavelet memiliki nama yang berbeda-beda.
a. Wavelet Haar memiliki scaling function dengan koefisien c0 = c1 = 1.
b. Wavelet Daubechies dengan 4 koefisien (DB4) memiliki scaling function
dengan koefisien c0 = (1+√3)/4, c1 = (3+√3)/4, c2 = (3-√3)/4, c3 = (1-√3)/4
Untuk lebih memperjelas teori dari wavelet, mari kita lihat contoh wavelet
Haar berikut ini. Wavelet Haar dapat dijelaskan dalam ruang vektor 4 dimensi. Basis
paling sederhana yang sudah sering kita gunakan adalah basis orthonormal sebagai
berikut :
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
1000
,
0100
,
0010
,
0001
3210 vvvv
Wavelet Haar juga merentang ruang vektor 4 dimensi dengan vektor-vektor basis
sebagai berikut :
13
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡−
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
1100
,
001
1
,
11
11
,
1111
3210 hhhh
yang bila digambarkan dalam bentuk sinyal akan berbentuk seperti pada gambar 2.3 dan
tabel 2.1 :
h0
h1
h2
h3
Gambar 2.3 Wavelet Haar dalam Bentuk Sinyal
Tabel 2.1 Wavelet Haar dalam Bentuk Sinyal dan Vektor
14
Jika kita menggunakan basis orthonormal v0, v1, v2, dan v3, mudah bagi kita
untuk merepresentasikan suatu vektor sebagai kombinasi linier dari v0, v1, v2, dan v3.
Misalkan kita memiliki vektor
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−=
57
46
x
Jika kita ingin merepresentasikan vektor x tersebut dalam bentuk
x = a v0 + b v1 + c v2 + d v3 ……………………….. (2.3)
maka dengan mudah kita dapat menemukan bahwa a = 6, b = 4, c = -7, d = 5.
Sekarang bagaimana caranya merepresentasikan suatu vektor sebagai
kombinasi linier dari vektor-vektor dalam wavelet Haar ? Atau dengan kata lain,
bagaimana kita menentukan nilai a,b,c dan d dalam persamaan berikut ini :
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−
+
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡−
+
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−
+
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
1100
001
1
11
11
1111
3
2
1
0
dcba
xxxx
……………………. (2.4)
dengan sedikit pengetahuan matematis, kita dapat menurunkan persamaan-persamaan
berikut ini dari persamaan (2.4) di atas :
x0 = a + b + c
x1 = a + b – c
x2 = a – b + d
x3 = a – b – d
15
sehingga kemudian kita dapatkan :
x2 – x3 = 2d
x0 – x1 = 2c
(x0 + x1) – (x2 + x3) = 4b
(x0 + x1) + (x2 + x3) = 4a
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa
d = ½ (x2 – x3)
c = ½ (x0 – x1)
b = ½ ( ½ (x0 + x1) – ½ (x2 + x3))
a = ½ ( ½ (x0 + x1) + ½ (x2 + x3))
Terlihat bahwa sebenarnya koefisien-koefisian a,b,c,d dapat diperoleh dari operasi
averaging dan differencing terhadap nilai x0, x1, x2 dan x3 dengan aturan tertentu.
Stephane Mallat kemudian memperkenalkan cara mudah menghitung
koefisien a, b, c dan d dengan cara yang dikenal dengan algoritma piramida Mallat.
Algoritma tersebut dapat ditunjukkan dengan gambar berikut.
021
021 ...
ddd
aaaa
jj
HHH
LjLjLj
−−
−− ⎯→⎯⎯→⎯⎯→⎯
dimana aj adalah vektor awal dengan ukuran 2j, dan koefisien a, b, c, d dapat diperoleh
dari aproksimasi a0 detail-detail d0, d1 dan seterusnya. Matriks L dan H masing masing
adalah matriks lowpass (averaging) dan highpass (differencing) dengan bentuk:
16
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−
−−
−−
−−
==
2
2
2
2
3.01.013..
.....013
...013
2
1
10.32.3210..
.....3210
...3210
2
1
cccccccc
cccccccc
H
cccccccc
cccccccc
L
Matriks L dan H untuk basis Haar dimana c0 = c1 = 1 adalah sebagai berikut :
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−
−=⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡=
21
21
21
21
21
21
21
21
0000
0000
HL
Proses mencari koefisien a, b, c dan d seperti ini disebut dengan proses dekomposisi.
Sebagai contoh, untuk vektor x di atas kita akan dekomposisi menjadi:
[ ] [ ]
[ ]
[ ]36
1
21
5
57
46
01
21
21
21
2100
0021
21
021
2112
12
100
0021
21
2
=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−
=
−=⎥⎦⎤
⎢⎣⎡
=⎯⎯⎯ →⎯−
=⎯⎯⎯⎯⎯ →⎯
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−=
−
−=
=
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡=
dd
aaa
HH
LL
Nilai a,b, c dan d pada persamaan 2.4 kemudian dapat kita peroleh dengan melihat
nilai aproksimasi terakhir a0 dan semua nilai-nilai detail d0,d1 dan d1 dimana
a = ½ ( ½ (x0 + x1) + ½ (x2 + x3)) = a0 = 2
b = ½ ( ½ (x0 + x1) – ½ (x2 + x3)) = d0 = 3
c = ½ (x0 – x1) = d1(0) = 1
d = ½ (x2 – x3) = d1(1) = -6.
17
Sistem Haar secara lengkap dituliskan sebagai berikut :
, 2 ; , 0 2
Transformasi wavelet Diskrit merupakan hasil tranformasi sinyal diskrit
menjadi koefisien-koefisien wavelet yang diperoleh dengan cara menapis sinyal dengan
menggunakan dua buah tapis yang berlawanan. Kedua tapis tersebut adalah :
a. Tapis perataan atau penyekalan atau disebut juga dengan tapis lolos rendah
(low pass filter).
b. Tapis detil atau tapis lolos tinggi (high pass filter).
Pada tahap pertama, sinyal dilewatkan pada rangkaian filter high-pass dan
low-pass, kemudian setengah dari masing-masing keluaran diambil sebagai sampel
melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu
tingkat. Keluaran dari filter low-pass digunakan sebagai masukan di proses dekomposisi
tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang
diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter
low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal
hasil transformasi yang telah terkompresi. Jadi secara umum dapat kita simpulkan
bahwa transformasi wavelet diskrit adalah proses dekomposisi citra pada frekuensi sub-
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−
−+
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡−
+
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−−
+
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−1
100
)6(
001
1
1
11
11
3
1111
2
57
46
18
band dari citra tersebut, di mana komponen sub-band tersebut dihasilkan dengan cara
menurunkan level dekomposisi. Proses ini dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Dekomposisi Wavelet Diskrit pada Sinyal Satu Dimensi
2.4.2.2. Transformasi Wavelet Dua Dimensi
Data citra merupakan data yang berbentuk array dua dimensi, yang berisi
informasi tentang warna dan intensitas pencahayaan dari suatu piksel. Untuk
mentransformasikan data dua dimensi dengan menggunakan metode Wavelet,
digunakan transformasi wavelet dua dimensi, yang algoritmanya dapat dilihat pada
gambar 2.5.
19
Gambar 2.5 Algoritma Transformasi Wavelet Dua Dimensi
Gambar 2.6 Contoh Hasil Algoritma Transformasi Wavelet Dua Dimensi
20
Penjelasan terhadap algoritma transformasi wavelet gambar 2.5 :
Lowpass terhadap baris Lowpass terhadap kolom
Citra Highpass terhadap kolom
Highpass terhadap baris Lowpass terhadap kolom
Highpass terhadap kolom
Proses dekomposisi transformasi wavelet untuk citra dua dimensi dapat
dijelaskan pada gambar 2.6.
Gambar 2.7 Transformasi Wavelet untuk Citra Dua Dimensi
Penjelasan terhadap transformasi terhadap kolom-kolom pada citra (gambar 2.6)
LL LH LL: hasil lowpass terhadap baris dan kolom
LH: hasil lowpass terhadap baris lalu highpass terhadap kolom
HL HH HL: hasil highpass terhadap baris lalu lowpass terhadap kolom
HH: hasil highpass terhadap baris dan kolom
21
2.4.3. Pendekatan Minutiae
Perangkat lunak verifinger yang akan dibandingkan dengan perangkat lunak
wavelet (non minutiae) menggunakan pendekatan Minutiae. Suatu pola sidik jari normal
terdiri dari garis–garis dan spasi. Garis–garis ini dinamakan ridge sedangkan spasi di
antara dua garis dinamakan valley. Pendekatan minutiae ini menggunakan ciri-ciri
khusus tersebut untuk identifikasi sidik jari. Minutiae meliputi ridge ending,
bifurcation, dan short ridge.
Dalam Bartunek (2005) dan Ravi, Raja, dan Venugopal (2009), digunakan
bentuk ridge secara umum untuk mengekstrasi ciri sidik jari pada pendekatan minutiae.
Ridge yang digunakan meliputi arch, loop, dan whorl. Metode ini adalah metode yang
paling kuno dalam pengenalan pola citra sidik jari dan masih digunakan dalam
pengenalan pola secara manual yang dilakukan oleh manusia. Dalam Lin, Chen, dan
Gaing (2010) dan Polikarpova (1996), dalam proses mengekstraksi ciri ini digunakan
menghitung dimensi fraktal dari citra sidik jari tersebut. Proses ekstraksi ciri dengan
dimensi fraktal ini, dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan keakuratan pengenalan
pola sidik jari.
Ridge ending (gambar 2.8) adalah bagian ujung/akhir dari sebuah ridge,
sedangkan bifurcation adalah bagian percabangan dari ridge. Dan untuk proses
identifikasi dari minutiae yang dilihat secara umum, dapat diklasifikasikan dengan core
dan delta (gambar 2.9). Core adalah titik pusat dari sidik jari yang dapat berbentuk
whorl atau loop. Dan delta adalah sewaktu pola ridge membentuk segitiga. Seperti
disebutkan dalam bagian sebelumnya, dalam minutiae, keunikan sidik jari secara
22
eksklusif ditentukan oleh karakteristik ridge lokal dan hubungan mereka (Kamijo, 1993;
Kawagoe & Tojo, 1984). Karakteristik ini ridge lokal tidak merata. Kebanyakan dari
mereka sangat tergantung pada kondisi dan kualitas sidik jari dalam sidik jari.
Karakteristik yang paling menonjol dalam ridge lokal adalah: Ridge ending dan Ridge
bifurcation. Sebuah sidik jari dengan kualitas yang baik biasanya mengandung sekitar
40-100 minutiae.
Gambar 2.8 (a) Bifurcation (b) Ridge Ending (Ratha et al., 1996)
Gambar 2.9 Core dan Delta (Maltoni dan Cappelli, 2008)
Pada gambar 2.10 menggambarkan flowchart keseluruhan algoritma yang
biasanya digunakan pada pendekatan minutiae. Secara garis besar, terdiri dari 3
23
komponen, yaitu orientation field estimation, ridge extraction, minutiae extraction and
postprocessing.
Gambar 2.10 Flowchart Algoritma Minutiae Extraction
Orientation field dari sebuah citra sidik jari mencakup intrinsik alami dari sidik
jari. Orientation field estimation sangat berguna dalam analisa citra (Jain, Hong, Bolle,
Pankanti, 1997) . Setiap piksel, jika daerah tersebut dibawah nilai threshold maka piksel
tersebut ditandakan sebagai background.
24
Ridge extraction, tahap ini berguna untuk mendeteksi ridge. Piksel dapat
diidentifikasi sebagai ridge pixels dengan cara jika nilai gray level pada piksel lebih
besar dari threshold, maka piksel ditandakan sebagai ridge.
Minutiae detection adalah tahap selanjutnya ketika thinned ridge map telah
dilakukan. Tetapi, spikes dan breaks yang tidak diinginkan terkadang muncul sehingga
menghasilkan banyak mendeteksi minutiae yang salah.
Sebuah sidik jari dikomposisikan dari bentuk ridge dan valleys. Secara global,
bentuk-bentuk ini terkadang menghasilkan beberapa bentuk lain yang dinamakan
singularities, yang diklasifikasikan menjadi 3 tipe: loop, delta whorl (Alonso dan
Fernandez, 2009). Berdasarkan jumlah dan struktur delta, bentuk sidik jari dibagi
menjadi beberapa kelas, seperti pada gambar 2.11.
25
Gambar 2.11 Fingerprint Patterns Classes
(sumber : Criminal Research Product)
Biasanya preprocessing citra sidik jari dikonversikan menjadi binary image,
setelah itu di thinning. Pada tahap thinning mengurangi ketebalan ridge menjadi satu
piksel, biasanya setelah itu dilakukan juga postprocessing.
26
Gambar 2.12 Minutiae Extraction Algorithm
(Jain, Hong, Pankanti, Bolle, 1997)
Pada gambar 2.12 adalah citra sidik jari dari langkah-langkah minutiae
extraction. Pada gambar pertama input image adalah contoh hasil citra sidik jari yang
didapatkan dari ink-less scanner. Pada gambar ke 2 adalah hasil orientation field dari
citra sidik jari, langkah selanjutnya (3) adalah hasil citra sidik jari dengan
menghilangkan background. Pada gambar ke 4 adalah hasil dari ridge yang telah
diekstrasi, yang lalu kemudian di thinning. Gambar terakhir (6) adalah hasil ekstrasi
minutiae dan orientasi dari citra sidik jari yang dimasukkan.
27
2.4.4. Jaringan Syaraf Tiruan
Menurut Eli (2005) Jaringan syaraf tiruan (JST) atau Artificial Neural Network
(ANN) adalah suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf manusia.
Metode ini menggunakan elemen perhitungan non-linier yang disebut neuron yang
diorganisasikan sebagai jaringan yang saling berhubungan, sehingga mirip dengan
jaringan syaraf manusia.
Otak terdiri dari sekitar (10.000.000.000) sel syaraf yang saling berhubungan.
Sel syaraf mempunyai cabang struktur input (yaitu dendrites), sebuah inti sel dan
percabangan struktur output (yaitu axon). Akson (Axon) dari sebuah sel terhubung
dengan dendrite (dendrites) yang lain melalui sebuah synapsis (synapse). Ketika
sebuah sel syaraf aktif, kemudian menimbulkan suatu signal electrochemical pada axon.
Signal ini melewati synapse menuju ke sel syaraf yang lain. Susunan syaraf manusia
dapat dilihat pada gambar 2.13.
Gambar 2.13. Jaringan Syaraf Manusia
(Sumber : stmikpontianak.ac.id)
28
Menurut Haykin (1999), jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network)
adalah sejumlah besar prosesor yang terdistribusi secara parallel dan terdiri dari unit
pemrosesan sederhana, di mana masing-masing unit memiliki kecendrungan untuk
menyimpan pengetahuan yang dialami dan dapat digunakan kembali.
JST menyerupai otak manusia dalam dua hal, yaitu :
1. Pengetahuan diperoleh dari jaringan melalui proses belajar
2. Kekuatan hubungan antar sel syaraf yang dikenal sebagai bobot-bobot sinaptik
digunakan untuk menyimpan pengetahuan.
JST ditentukan oleh 3 hal (Siang, 2004) :
1. Pola hubungan antar neuron (disebut dengan arsitektur jaringan).
2. Metode penentuan bobot keterhubungan (disebut dengan pelatihan atau proses
belajar jaringan).
3. Fungsi aktifasi yaitu fungsi yang digunakan untuk menentukan output suatu
neuron.
Pada dasarnya cara kerja JST tersebut dengan cara menjumlahkan hasil kali dari
nilai masukan dengan nilai bobotnya. Pada Gambar 2.14 diperlihatkan serangkaian
masukan … . Setiap masukan akan dikalikan berturut-turut dengan bobot
… dengan demikian hasil kali keluaran akan sama dengan:
. . … .
29
Gambar 2.14 Input dan Bobot pada Jaringan Syaraf Tiruan
(Sumber : www.petra.ac.id)
2.4.5. Backpropagation
Menurut Kusumadewi (2008), backpropagation adalah sebuah metode
sistematik untuk pelatihan perambatan balik galat (generalized delta rule) yang
merupakan metode penurunan gradien untuk mengurangi galat kuadrat total pada output
yang dihitung dari jaringan.
Dalam backpropagation terdapat tiga lapisan, yaitu:
a. Lapisan Input, yaitu lapisan yang akan diisi dengan data yang akan ditraining ke
dalam jaringan syaraf tiruan.
b. Lapisan tersembunyi (hidden layer), layer yang tidak pernah muncul dan berada
di antara lapisan input dan lapisan output.
c. Layer output, yaitu layer yang akan berisi nilai output dari proses
backpropagation.
30
Gambar 2.14 adalah contoh backpropagation dengan menggunakan 1 lapisan
tersembunyi (hidden layer)
Gambar 2.15 Backpropagation dengan Satu Lapisan Tersembunyi
Algoritma backpropagation terbagi menjadi dua, yaitu algoritma training dan
algoritma untuk aplikasi. Pada algoritma training, ada dua langkah yang harus
dilakukan, yaitu langkah maju (feedfoward) dan langkah mundur (backward). Untuk
bagian aplikasi, hanya langkah maju yang akan dijalankan. Berikut tahap-tahap dalam
algoritma backpropagation :
• Tahap 0 : Inisialisasi nilai weight.
• Tahap 1 : Jika proses terus ingin dilanjutkan, lakukan tahap 2-9.
• Tahap 2 : Untuk setiap pasangan data training lakukan tahap 3-8.
31
Langkah maju (Feedforward) sebagai berikut :
• Tahap 3 : Setiap unit input (Xi, i = 1,...,n) menerima sinyal input Xi dan
meneruskan sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan di atasnya (hidden layer).
• Tahap 4 : Setiap unit tersembunyi (Zj, J=1,...,p) menjumlahkan sinyal-
sinyal input terbobot.
kemudian digunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya.
_
dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (output).
• Tahap 5 : Setiap unit output (Yk, K=1,...,m) menjumlahkan sinyal-sinyal
input terbobot,
_
kemudian digunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya.
_
32
Langkah mundur (backward) sebagai berikut :
• Tahap 6 : Tiap-tiap unit output (Yk, k=1,...,m) menerima pola target yang
berhubungan dengan pola input pembelajaran. Hitung informasi error-nya,
′ _
hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai
Wjk),
∆
hitung juga koreksi bias (yang nantinya digunakan untuk memperbaiki nilai
Wok),
∆
dan kirimkan nilai ke unit-unit yang ada dilapisan bawahnya.
• Tahap 7 : Tiap-tiap hidden unit (Zj, j=1,...,p) menjumlahkan delta input-nya
(dari unit yang berada pada lapisan atasnya),
_
kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung
informasi error-nya,
_ ′ _
33
kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya digunakan untuk memperbaiki
nilai Vij),
∆
hitung juga koreksi bias (yang nantinya digunakan untuk memperbaiki nilai
Voj),
∆
• Tahap 8 : Setiap unit output (Yk, K=1,...,m) memperbaiki bobot dan
biasnya (j=0,...,p),
∆
setiap unit tersembunyi (Zj, j=1,...,p) memperbaiki bobot dan biasnya (i=0,...,n).
∆
• Tahap 9 : tes kondisi berhenti.
2.4.6. Performance Measure
Untuk menghindari ambiguitas suatu sistem memungkinkan memiliki beberapa
template, dalam skripsi ini didefinisikan algoritma kesalahan pencocokan (matching
algorithm errors) untuk perbandingan sampel terhadap template yang dimasukkan.
34
False Match Rate adalah probabilitas yang diharapkan dari suatu sampel
dinyatakan salah mengidentifikasi template yang dipilih secara acak, bukan template
dirinya sendiri.
False Non Match Rate adalah probabilitas yang diharapkan dari suatu sampel
dinyatakan tidak mengidentifikasi template dari pemilik sampel tersebut.
Literatur dalam skala besar pada sistem identifikasi sering mengacu pada "false
rejection" yang terjadi ketika sampel yang disampaikan, salah dicocokkan dengan
template yang terdaftar oleh user lain. Dalam literatur akses kontrol, "false acceptance"
muncul ketika sampel yang dikumpulkan salah disesuaikan dengan template user lain.
Definisi yang disajikan di sini dimaksudkan untuk mengatasi masalah tersebut.
2.4.7. Perbandingan Pendekatan Minutiae dan Non-Minutiae
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam identifikasi sidik jari. Dua kategori
utama untuk identifikasi sidik jari dapat diklasifikasikan sebagai minutiae dan non
minutiae.
Pendekatan minutiae (Jain, 1997; Ratha, 1996; Cappelli, 2011) adalah algoritma
paling populer dan canggih untuk pengenalan sidik jari. Fitur utama minutiae : ridge
ending, ridge bifurcation dan sebagainya (Mario , 2003) seperti yang telah dijelaskan
pada subbab sebelumnya. Pendekatan ini menggunakan fitur ekstraksi vektor dari sidik
jari sebagai titik-titik yang terdiri dari tipe, posisi, orientasi. Tahap matching pada
pendekatan minutiae adalah mencari keselarasan terbaik antara template dan citra sidik
35
jari yang dimasukkan yang telah diekstraksi. Namun, karena kualitas gambar yang
buruk dan kondisi input yang kompleks, minutiae tidak mudah ditentukan secara
akurat, sehingga menghasilkan akurasi dalam matching tersebut rendah. Selain itu,
pendekatan minutiae membutuhkan komputasi dan kompleksitas yang tinggi (Yang,
2008).
Pendekatan non minutiae (Amornraksa & Tachaphetpiboon, 2006; Nanni &
Lumini, 2008; Yang & Park, 2008) dapat mengekstrak informasi yang lebih banyak dan
meninggalkan proses pengolahan binarization, thinning, postprocessing. Pendekatan
non minutiae melakukan proses lebih cepat namun analisis terhadap citra sidik jari yang
kurang karena mengambil semua ciri dari citra sidik jari tersebut.
Berdasarkan literatur tersebut, penulis mempunyai hipotesa bahwa pendekatan
minutiae mempunyai keakuratan yang baik dikarenakan memilah ciri-ciri khusus dari
citra sidik jari, namun memakan proses yang cukup lama, sedangkan pada pendekatan
non minutiae mengekstraksi informasi lebih banyak tanpa dianalis sehingga
menghasilkan keakuratan yang kurang baik, namun proses akan lebih cepat
dibandingkan dengan pendekatan minutiae.
Tabel 2.2 Perbandingan Pendekatan Berdasarkan Literatur
Pendekatan Minutiae Pendekatan Non-Minutiae
Waktu proses lama Waktu proses cepat
Fitur lokal / detail Fitur umum