3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori...

30
BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi ini. Kerangka teori ini disajikan berurutan sejalan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi ini. Diharapkan dengan disajikannya landasan teori ini, pembaca dapat memahami skripsi ini dengan teori-teori yang dikemukan pada bagian ini. 2.1. Biometrik Model Teknik informasi secara biometrik mempunyai lima (5) tahapan proses yang harus dilalui. Tahapan tersebut adalah pengambilan data, proses signal, penyimpanan data, pencocokkan, dan keputusan (ISO, 2006). Gambar 2.1 menunjukan tahapan-tahapan tersebut. Penelitian ini berfokus pada tahapan proses signal sampai tahapan keputusan.

Transcript of 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori...

Page 1: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

BAB 2

LANDASAN TEORI

Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan

penulisan skripsi ini. Kerangka teori ini disajikan berurutan sejalan dengan

permasalahan yang dibahas pada skripsi ini. Diharapkan dengan disajikannya landasan

teori ini, pembaca dapat memahami skripsi ini dengan teori-teori yang dikemukan pada

bagian ini.

2.1. Biometrik Model

Teknik informasi secara biometrik mempunyai lima (5) tahapan proses yang harus

dilalui. Tahapan tersebut adalah pengambilan data, proses signal, penyimpanan data,

pencocokkan, dan keputusan (ISO, 2006). Gambar 2.1 menunjukan tahapan-tahapan

tersebut. Penelitian ini berfokus pada tahapan proses signal sampai tahapan keputusan.

Page 2: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

 

 

Gambar 2.1 Biometrik Model (ISO, 2006)

2.2. Sidik Jari

Sidik jari setiap orang mempunyai perbedaan bahkan pada orang kembar

sekalipun (Jain, Prabhakar, dan Pankanti, 2002). Hal ini membuat sidik jari tepat

digunakan dalam teknologi biometrik. Keunggulan lainnya dari sidik jari adalah

kepraktisannya dan ketahanannya.

Menurut Ashbaugh (1991), sidik jari (fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak

jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan

pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah

kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung

jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari yang mana

pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang

Page 3: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

 

 

dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu. Pada gambar 2.2

dapat dilihat contoh sidik jari.

Gambar 2.2 Sidik Jari

2.3. Pengenalan Pola

Dalam skripsi ini, akan difokuskan pada pengenalan pola (pattern recognition).

Pengenalan pola sesungguhnya telah lama ada dan telah mengalami perkembangan

terus menerus dimulai dari pengenalan pola secara manual kemudian menjadi

pengenalan pola modern dengan menggunakan komputer. Inti dari pengenalan pola

adalah proses mengekstraksi ciri-ciri suatu objek dan proses mengklasifikasikan ciri-ciri

tersebut. Kedua proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam

metode. Tentunya metode yang dipilih harus memiliki tingkat akurasi yang tinggi yang

berarti secara manual (oleh manusia) tidak dapat dikenali tetapi bila menggunakan salah

suatu metode tersebut masih dapat dikenali. Selain itu metode tersebut harus dapat

diimplementasikan dengan algoritma komputer. Dalam skripsi ini, untuk proses

ekstraksi ciri dipilih transformasi wavelet dan untuk proses klasifikasi ciri dipilih

Jaringan Syaraf Tiruan yaitu Backpropagation.

Page 4: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

 

 

Dalam Wijaya dan Kanata (2004) telah diuraikan mengenai pengenalan citra sidik

jari berbasis transformasi wavelet dan jaringan syaraf tiruan dengan bantuan perangkat

lunak Matlab. Dalam makalah tersebut dibahas mengenai berbagai macam jenis wavelet

dan unjuk kerjanya dalam mengekstraksi ciri citra sidik jari. Tetapi makalah ini, belum

membahas mengenai bagaimana implementasinya dalam perangkat lunak. Di sisi lain

dalam Antowiak dan Chalansinska-Macukow (2003), telah dibuat perangkat keras

untuk mengenali citra sidik jari berbasis transformasi wavelet dan jaringan syaraf tiruan.

Dalam makalah ini, dibahas implementasi transformasi wavelet secara optis dan

implementasi Jaringan Syaraf Tiruan secara elektronis. Selain kurangnya fleksibilitas

dalam menggunakan berbagai macam metode, implementasi dalam perangkat keras ini

membutuhkan dana yang cukup besar. Yang diajukan dalam skripsi ini adalah

implementasi perangkat lunak dalam suatu platform terbuka (open platform) sehingga

dapat dikembangkan dalam komunitas terbuka terutama di Indonesia. Hal ini

dimaksudkan untuk memicu penelitian dan penerapan biometrik lebih lanjut di

Indonesia.

Dalam pustaka yang ada juga terdapat isu bagaimana mempersingkat proses

pengenalan pola ini. Umumnya dengan menjadikan pengenalan pola menjadi satu tahap

saja, seperti dalam Allah (2004). Dalam makalah ini proses ekstraksi ciri dan proses

klasifikasi digabungkan menjadi satu dengan memodifikasi Jaringan Syaraf Tiruan

menjadi dua kategori yaitu backward dan feed-forward. Sedangkan dalam Thomas

(2000), modifikasi Jaringan Syaraf Tiruan dilakukan dengan dua tahap yaitu

diaplikasikan secara lokal terlebih dahulu dan baru selanjutnya secara global.

Page 5: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

10 

 

 

2.4. Teori Dasar

2.4.1. Pengolahan Citra (Image Processing)

Pengolahan citra (image processing) bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra

menjadi lebih baik sehingga lebih mudah dipahami atau diinterpretasi, baik oleh

manusia ataupun komputer. Agar dapat diolah oleh komputer, maka suatu citra harus

direpresentasikan secara numerik dengan nilai-nilai diskrit. Representasi citra dari

fungsi malar (kontinu) menjadi nilai–nilai diskrit disebut digitalisasi. Citra yang

dihasilkan inilah yang disebut citra digital (digital image). Untuk meningkatkan mutu

suatu citra, kita harus mengeliminasi noise yang tidak diinginkan dari citra tersebut.

Selain itu kita juga harus menjaga detail yang tetap ingin ditampilkan pada citra. Noise

pada suatu citra digital bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti citra analog yang

telah memiliki noise. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan metode

thresholding.

Thresholding adalah suatu metode untuk membantu menghilangkan noise

dengan mengubah citra digital menjadi citra biner. Untuk menentukan thresholding

dibutuhkan nilai ambang (threshold value) sebagai penentu apakah suatu piksel diubah

menjadi warna putih atau warna hitam. Jika nilai piksel lebih besar dari nilai ambang,

piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih, sebaliknya akan menjadi warna hitam.

Untuk menentukan nilai ambang digunakankan metode adaptive threshold. Metode ini

menjumlahkan seluruh nilai piksel yang ada pada citra, dan kemudian membaginya

dengan luas dari citra tersebut. Hasil dari perhitungan tersebut digunakan sebagai nilai

ambang.

Page 6: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

11 

 

 

2.4.2. Pendekatan Non Minutiae

Pada program yang dikembangkan ini menggunakan pendekatan Non Minutiae,

dan metode yang digunakan adalah transformasi wavelet. Transformasi wavelet

merupakan metode yang biasa digunakan untuk menyajikan data, fungsi atau operator

ke dalam komponen-komponen frekuensi yang berlainan, dan kemudian mengkaji

setiap komponen dengan suatu resolusi yang sesuai dengan skalanya. Transformasi

wavelet mempunyai kemampuan membawa keluar ciri-ciri atau karakteristik khusus

dari citra yang diteliti.

2.4.2.1. Transformasi Wavelet

Dalam skripsi ini perangkat lunak yang dikembangkan menggunakan

algoritma Discrete Haar Wavelet Transformation untuk mengekstraksi ciri-ciri khusus.

Wavelet merupakan sebuah basis. Basis wavelet berasal dari sebuah fungsi

penskalaan atau dikatakan juga sebuah scaling function. Scaling function memiliki sifat

yaitu dapat disusun dari sejumlah salinan dirinya yang telah didilasikan, ditranslasikan

dan diskalakan. Fungsi ini diturunkan dari persamaan dilasi (dilation equation), yang

dianggap sebagai dasar dari teori wavelet. Persamaan dilasi berbunyi demikian :

∑ −= )2()( kxcx kφφ …………….. (2.1)

dari persamaan scaling function ini dapat dibentuk persamaan wavelet yang pertama

(atau disebut juga mother wavelet), dengan bentuk sebagai berikut :

Page 7: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

12 

 

 

∑ −−= −k

kk kxcx )2()1()( 1

0 φϕ ………………(2.2)

Dari mother wavelet ini kemudian dapat dibentuk wavelet berikutnya (ψ1, ψ2

dan seterusnya) dengan cara mendilasikan (memampatkan atau meregangkan) dan

menggeser mother wavelet.

Scaling function yang dapat membentuk wavelet bermacam-macam jenisnya.

Berdasarkan scaling function inilah basis wavelet memiliki nama yang berbeda-beda.

a. Wavelet Haar memiliki scaling function dengan koefisien c0 = c1 = 1.

b. Wavelet Daubechies dengan 4 koefisien (DB4) memiliki scaling function

dengan koefisien c0 = (1+√3)/4, c1 = (3+√3)/4, c2 = (3-√3)/4, c3 = (1-√3)/4

Untuk lebih memperjelas teori dari wavelet, mari kita lihat contoh wavelet

Haar berikut ini. Wavelet Haar dapat dijelaskan dalam ruang vektor 4 dimensi. Basis

paling sederhana yang sudah sering kita gunakan adalah basis orthonormal sebagai

berikut :

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

1000

,

0100

,

0010

,

0001

3210 vvvv

Wavelet Haar juga merentang ruang vektor 4 dimensi dengan vektor-vektor basis

sebagai berikut :

Page 8: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

13 

 

 

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡−

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−−

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

1100

,

001

1

,

11

11

,

1111

3210 hhhh

yang bila digambarkan dalam bentuk sinyal akan berbentuk seperti pada gambar 2.3 dan

tabel 2.1 :

h0

h1

h2

h3

Gambar 2.3 Wavelet Haar dalam Bentuk Sinyal

Tabel 2.1 Wavelet Haar dalam Bentuk Sinyal dan Vektor

Page 9: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

14 

 

 

Jika kita menggunakan basis orthonormal v0, v1, v2, dan v3, mudah bagi kita

untuk merepresentasikan suatu vektor sebagai kombinasi linier dari v0, v1, v2, dan v3.

Misalkan kita memiliki vektor

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−=

57

46

x

Jika kita ingin merepresentasikan vektor x tersebut dalam bentuk

x = a v0 + b v1 + c v2 + d v3 ……………………….. (2.3)

maka dengan mudah kita dapat menemukan bahwa a = 6, b = 4, c = -7, d = 5.

Sekarang bagaimana caranya merepresentasikan suatu vektor sebagai

kombinasi linier dari vektor-vektor dalam wavelet Haar ? Atau dengan kata lain,

bagaimana kita menentukan nilai a,b,c dan d dalam persamaan berikut ini :

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡−

+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−−

+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

1100

001

1

11

11

1111

3

2

1

0

dcba

xxxx

……………………. (2.4)

dengan sedikit pengetahuan matematis, kita dapat menurunkan persamaan-persamaan

berikut ini dari persamaan (2.4) di atas :

x0 = a + b + c

x1 = a + b – c

x2 = a – b + d

x3 = a – b – d

Page 10: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

15 

 

 

sehingga kemudian kita dapatkan :

x2 – x3 = 2d

x0 – x1 = 2c

(x0 + x1) – (x2 + x3) = 4b

(x0 + x1) + (x2 + x3) = 4a

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa

d = ½ (x2 – x3)

c = ½ (x0 – x1)

b = ½ ( ½ (x0 + x1) – ½ (x2 + x3))

a = ½ ( ½ (x0 + x1) + ½ (x2 + x3))

Terlihat bahwa sebenarnya koefisien-koefisian a,b,c,d dapat diperoleh dari operasi

averaging dan differencing terhadap nilai x0, x1, x2 dan x3 dengan aturan tertentu.

Stephane Mallat kemudian memperkenalkan cara mudah menghitung

koefisien a, b, c dan d dengan cara yang dikenal dengan algoritma piramida Mallat.

Algoritma tersebut dapat ditunjukkan dengan gambar berikut.

021

021 ...

ddd

aaaa

jj

HHH

LjLjLj

−−

−− ⎯→⎯⎯→⎯⎯→⎯

dimana aj adalah vektor awal dengan ukuran 2j, dan koefisien a, b, c, d dapat diperoleh

dari aproksimasi a0 detail-detail d0, d1 dan seterusnya. Matriks L dan H masing masing

adalah matriks lowpass (averaging) dan highpass (differencing) dengan bentuk:

Page 11: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

16 

 

 

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

−−

−−

−−

−−

==

2

2

2

2

3.01.013..

.....013

...013

2

1

10.32.3210..

.....3210

...3210

2

1

cccccccc

cccccccc

H

cccccccc

cccccccc

L

Matriks L dan H untuk basis Haar dimana c0 = c1 = 1 adalah sebagai berikut :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡−

−=⎥

⎤⎢⎣

⎡=

21

21

21

21

21

21

21

21

0000

0000

HL

Proses mencari koefisien a, b, c dan d seperti ini disebut dengan proses dekomposisi.

Sebagai contoh, untuk vektor x di atas kita akan dekomposisi menjadi:

[ ] [ ]

[ ]

[ ]36

1

21

5

57

46

01

21

21

21

2100

0021

21

021

2112

12

100

0021

21

2

=⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡−

=

−=⎥⎦⎤

⎢⎣⎡

=⎯⎯⎯ →⎯−

=⎯⎯⎯⎯⎯ →⎯

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−=

−=

=

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡=

dd

aaa

HH

LL

Nilai a,b, c dan d pada persamaan 2.4 kemudian dapat kita peroleh dengan melihat

nilai aproksimasi terakhir a0 dan semua nilai-nilai detail d0,d1 dan d1 dimana

a = ½ ( ½ (x0 + x1) + ½ (x2 + x3)) = a0 = 2

b = ½ ( ½ (x0 + x1) – ½ (x2 + x3)) = d0 = 3

c = ½ (x0 – x1) = d1(0) = 1

d = ½ (x2 – x3) = d1(1) = -6.

Page 12: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

17 

 

 

Sistem Haar secara lengkap dituliskan sebagai berikut :

, 2 ; , 0 2

Transformasi wavelet Diskrit merupakan hasil tranformasi sinyal diskrit

menjadi koefisien-koefisien wavelet yang diperoleh dengan cara menapis sinyal dengan

menggunakan dua buah tapis yang berlawanan. Kedua tapis tersebut adalah :

a. Tapis perataan atau penyekalan atau disebut juga dengan tapis lolos rendah

(low pass filter).

b. Tapis detil atau tapis lolos tinggi (high pass filter).

Pada tahap pertama, sinyal dilewatkan pada rangkaian filter high-pass dan

low-pass, kemudian setengah dari masing-masing keluaran diambil sebagai sampel

melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu

tingkat. Keluaran dari filter low-pass digunakan sebagai masukan di proses dekomposisi

tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang

diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter

low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal

hasil transformasi yang telah terkompresi. Jadi secara umum dapat kita simpulkan

bahwa transformasi wavelet diskrit adalah proses dekomposisi citra pada frekuensi sub-

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡−

+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−−

+

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−1

100

)6(

001

1

1

11

11

3

1111

2

57

46

Page 13: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

18 

 

 

band dari citra tersebut, di mana komponen sub-band tersebut dihasilkan dengan cara

menurunkan level dekomposisi. Proses ini dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Dekomposisi Wavelet Diskrit pada Sinyal Satu Dimensi

2.4.2.2. Transformasi Wavelet Dua Dimensi

Data citra merupakan data yang berbentuk array dua dimensi, yang berisi

informasi tentang warna dan intensitas pencahayaan dari suatu piksel. Untuk

mentransformasikan data dua dimensi dengan menggunakan metode Wavelet,

digunakan transformasi wavelet dua dimensi, yang algoritmanya dapat dilihat pada

gambar 2.5.

Page 14: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

19 

 

 

Gambar 2.5 Algoritma Transformasi Wavelet Dua Dimensi

Gambar 2.6 Contoh Hasil Algoritma Transformasi Wavelet Dua Dimensi

Page 15: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

20 

 

 

Penjelasan terhadap algoritma transformasi wavelet gambar 2.5 :

Lowpass terhadap baris Lowpass terhadap kolom

Citra Highpass terhadap kolom

Highpass terhadap baris Lowpass terhadap kolom

Highpass terhadap kolom

Proses dekomposisi transformasi wavelet untuk citra dua dimensi dapat

dijelaskan pada gambar 2.6.

Gambar 2.7 Transformasi Wavelet untuk Citra Dua Dimensi

Penjelasan terhadap transformasi terhadap kolom-kolom pada citra (gambar 2.6)

LL LH LL: hasil lowpass terhadap baris dan kolom

LH: hasil lowpass terhadap baris lalu highpass terhadap kolom

HL HH HL: hasil highpass terhadap baris lalu lowpass terhadap kolom

HH: hasil highpass terhadap baris dan kolom

Page 16: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

21 

 

 

2.4.3. Pendekatan Minutiae

Perangkat lunak verifinger yang akan dibandingkan dengan perangkat lunak

wavelet (non minutiae) menggunakan pendekatan Minutiae. Suatu pola sidik jari normal

terdiri dari garis–garis dan spasi. Garis–garis ini dinamakan ridge sedangkan spasi di

antara dua garis dinamakan valley. Pendekatan minutiae ini menggunakan ciri-ciri

khusus tersebut untuk identifikasi sidik jari. Minutiae meliputi ridge ending,

bifurcation, dan short ridge.

Dalam Bartunek (2005) dan Ravi, Raja, dan Venugopal (2009), digunakan

bentuk ridge secara umum untuk mengekstrasi ciri sidik jari pada pendekatan minutiae.

Ridge yang digunakan meliputi arch, loop, dan whorl. Metode ini adalah metode yang

paling kuno dalam pengenalan pola citra sidik jari dan masih digunakan dalam

pengenalan pola secara manual yang dilakukan oleh manusia. Dalam Lin, Chen, dan

Gaing (2010) dan Polikarpova (1996), dalam proses mengekstraksi ciri ini digunakan

menghitung dimensi fraktal dari citra sidik jari tersebut. Proses ekstraksi ciri dengan

dimensi fraktal ini, dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan keakuratan pengenalan

pola sidik jari.

Ridge ending (gambar 2.8) adalah bagian ujung/akhir dari sebuah ridge,

sedangkan bifurcation adalah bagian percabangan dari ridge. Dan untuk proses

identifikasi dari minutiae yang dilihat secara umum, dapat diklasifikasikan dengan core

dan delta (gambar 2.9). Core adalah titik pusat dari sidik jari yang dapat berbentuk

whorl atau loop. Dan delta adalah sewaktu pola ridge membentuk segitiga. Seperti

disebutkan dalam bagian sebelumnya, dalam minutiae, keunikan sidik jari secara

Page 17: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

22 

 

 

eksklusif ditentukan oleh karakteristik ridge lokal dan hubungan mereka (Kamijo, 1993;

Kawagoe & Tojo, 1984). Karakteristik ini ridge lokal tidak merata. Kebanyakan dari

mereka sangat tergantung pada kondisi dan kualitas sidik jari dalam sidik jari.

Karakteristik yang paling menonjol dalam ridge lokal adalah: Ridge ending dan Ridge

bifurcation. Sebuah sidik jari dengan kualitas yang baik biasanya mengandung sekitar

40-100 minutiae.

Gambar 2.8 (a) Bifurcation (b) Ridge Ending (Ratha et al., 1996)

Gambar 2.9 Core dan Delta (Maltoni dan Cappelli, 2008)

Pada gambar 2.10 menggambarkan flowchart keseluruhan algoritma yang

biasanya digunakan pada pendekatan minutiae. Secara garis besar, terdiri dari 3

Page 18: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

23 

 

 

komponen, yaitu orientation field estimation, ridge extraction, minutiae extraction and

postprocessing.

Gambar 2.10 Flowchart Algoritma Minutiae Extraction

Orientation field dari sebuah citra sidik jari mencakup intrinsik alami dari sidik

jari. Orientation field estimation sangat berguna dalam analisa citra (Jain, Hong, Bolle,

Pankanti, 1997) . Setiap piksel, jika daerah tersebut dibawah nilai threshold maka piksel

tersebut ditandakan sebagai background.

Page 19: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

24 

 

 

Ridge extraction, tahap ini berguna untuk mendeteksi ridge. Piksel dapat

diidentifikasi sebagai ridge pixels dengan cara jika nilai gray level pada piksel lebih

besar dari threshold, maka piksel ditandakan sebagai ridge.

Minutiae detection adalah tahap selanjutnya ketika thinned ridge map telah

dilakukan. Tetapi, spikes dan breaks yang tidak diinginkan terkadang muncul sehingga

menghasilkan banyak mendeteksi minutiae yang salah.

Sebuah sidik jari dikomposisikan dari bentuk ridge dan valleys. Secara global,

bentuk-bentuk ini terkadang menghasilkan beberapa bentuk lain yang dinamakan

singularities, yang diklasifikasikan menjadi 3 tipe: loop, delta whorl (Alonso dan

Fernandez, 2009). Berdasarkan jumlah dan struktur delta, bentuk sidik jari dibagi

menjadi beberapa kelas, seperti pada gambar 2.11.

Page 20: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

25 

 

 

 

Gambar 2.11 Fingerprint Patterns Classes

(sumber : Criminal Research Product)

Biasanya preprocessing citra sidik jari dikonversikan menjadi binary image,

setelah itu di thinning. Pada tahap thinning mengurangi ketebalan ridge menjadi satu

piksel, biasanya setelah itu dilakukan juga postprocessing.

Page 21: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

26 

 

 

 

Gambar 2.12 Minutiae Extraction Algorithm

(Jain, Hong, Pankanti, Bolle, 1997)

Pada gambar 2.12 adalah citra sidik jari dari langkah-langkah minutiae

extraction. Pada gambar pertama input image adalah contoh hasil citra sidik jari yang

didapatkan dari ink-less scanner. Pada gambar ke 2 adalah hasil orientation field dari

citra sidik jari, langkah selanjutnya (3) adalah hasil citra sidik jari dengan

menghilangkan background. Pada gambar ke 4 adalah hasil dari ridge yang telah

diekstrasi, yang lalu kemudian di thinning. Gambar terakhir (6) adalah hasil ekstrasi

minutiae dan orientasi dari citra sidik jari yang dimasukkan.

Page 22: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

27 

 

 

2.4.4. Jaringan Syaraf Tiruan

Menurut Eli (2005) Jaringan syaraf tiruan (JST) atau Artificial Neural Network

(ANN) adalah suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf manusia.

Metode ini menggunakan elemen perhitungan non-linier yang disebut neuron yang

diorganisasikan sebagai jaringan yang saling berhubungan, sehingga mirip dengan

jaringan syaraf manusia.

Otak terdiri dari sekitar (10.000.000.000) sel syaraf yang saling berhubungan.

Sel syaraf mempunyai cabang struktur input (yaitu dendrites), sebuah inti sel dan

percabangan struktur output (yaitu axon). Akson (Axon) dari sebuah sel terhubung

dengan dendrite (dendrites) yang lain melalui sebuah synapsis (synapse). Ketika

sebuah sel syaraf aktif, kemudian menimbulkan suatu signal electrochemical pada axon.

Signal ini melewati synapse menuju ke sel syaraf yang lain. Susunan syaraf manusia

dapat dilihat pada gambar 2.13.

Gambar 2.13. Jaringan Syaraf Manusia

(Sumber : stmikpontianak.ac.id) 

Page 23: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

28 

 

 

 

Menurut Haykin (1999), jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network)

adalah sejumlah besar prosesor yang terdistribusi secara parallel dan terdiri dari unit

pemrosesan sederhana, di mana masing-masing unit memiliki kecendrungan untuk

menyimpan pengetahuan yang dialami dan dapat digunakan kembali.

JST menyerupai otak manusia dalam dua hal, yaitu :

1. Pengetahuan diperoleh dari jaringan melalui proses belajar

2. Kekuatan hubungan antar sel syaraf yang dikenal sebagai bobot-bobot sinaptik

digunakan untuk menyimpan pengetahuan.

JST ditentukan oleh 3 hal (Siang, 2004) :

1. Pola hubungan antar neuron (disebut dengan arsitektur jaringan).

2. Metode penentuan bobot keterhubungan (disebut dengan pelatihan atau proses

belajar jaringan).

3. Fungsi aktifasi yaitu fungsi yang digunakan untuk menentukan output suatu

neuron.

Pada dasarnya cara kerja JST tersebut dengan cara menjumlahkan hasil kali dari

nilai masukan dengan nilai bobotnya. Pada Gambar 2.14 diperlihatkan serangkaian

masukan … . Setiap masukan akan dikalikan berturut-turut dengan bobot

… dengan demikian hasil kali keluaran akan sama dengan:

. . … .

Page 24: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

29 

 

 

Gambar 2.14 Input dan Bobot pada Jaringan Syaraf Tiruan

(Sumber : www.petra.ac.id)

2.4.5. Backpropagation

Menurut Kusumadewi (2008), backpropagation adalah sebuah metode

sistematik untuk pelatihan perambatan balik galat (generalized delta rule) yang

merupakan metode penurunan gradien untuk mengurangi galat kuadrat total pada output

yang dihitung dari jaringan.

Dalam backpropagation terdapat tiga lapisan, yaitu:

a. Lapisan Input, yaitu lapisan yang akan diisi dengan data yang akan ditraining ke

dalam jaringan syaraf tiruan.

b. Lapisan tersembunyi (hidden layer), layer yang tidak pernah muncul dan berada

di antara lapisan input dan lapisan output.

c. Layer output, yaitu layer yang akan berisi nilai output dari proses

backpropagation.

Page 25: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

30 

 

 

Gambar 2.14 adalah contoh backpropagation dengan menggunakan 1 lapisan

tersembunyi (hidden layer)

Gambar 2.15 Backpropagation dengan Satu Lapisan Tersembunyi

Algoritma backpropagation terbagi menjadi dua, yaitu algoritma training dan

algoritma untuk aplikasi. Pada algoritma training, ada dua langkah yang harus

dilakukan, yaitu langkah maju (feedfoward) dan langkah mundur (backward). Untuk

bagian aplikasi, hanya langkah maju yang akan dijalankan. Berikut tahap-tahap dalam

algoritma backpropagation :

• Tahap 0 : Inisialisasi nilai weight.

• Tahap 1 : Jika proses terus ingin dilanjutkan, lakukan tahap 2-9.

• Tahap 2 : Untuk setiap pasangan data training lakukan tahap 3-8.

Page 26: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

31 

 

 

Langkah maju (Feedforward) sebagai berikut :

• Tahap 3 : Setiap unit input (Xi, i = 1,...,n) menerima sinyal input Xi dan

meneruskan sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan di atasnya (hidden layer).

• Tahap 4 : Setiap unit tersembunyi (Zj, J=1,...,p) menjumlahkan sinyal-

sinyal input terbobot.

kemudian digunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya.

_

dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (output).

• Tahap 5 : Setiap unit output (Yk, K=1,...,m) menjumlahkan sinyal-sinyal

input terbobot,

_

kemudian digunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya.

_

Page 27: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

32 

 

 

Langkah mundur (backward) sebagai berikut :

• Tahap 6 : Tiap-tiap unit output (Yk, k=1,...,m) menerima pola target yang

berhubungan dengan pola input pembelajaran. Hitung informasi error-nya,

′ _

hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai

Wjk),

hitung juga koreksi bias (yang nantinya digunakan untuk memperbaiki nilai

Wok),

dan kirimkan nilai ke unit-unit yang ada dilapisan bawahnya.

• Tahap 7 : Tiap-tiap hidden unit (Zj, j=1,...,p) menjumlahkan delta input-nya

(dari unit yang berada pada lapisan atasnya),

_

kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung

informasi error-nya,

_ ′ _

Page 28: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

33 

 

 

kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya digunakan untuk memperbaiki

nilai Vij),

hitung juga koreksi bias (yang nantinya digunakan untuk memperbaiki nilai

Voj),

• Tahap 8 : Setiap unit output (Yk, K=1,...,m) memperbaiki bobot dan

biasnya (j=0,...,p),

setiap unit tersembunyi (Zj, j=1,...,p) memperbaiki bobot dan biasnya (i=0,...,n).

• Tahap 9 : tes kondisi berhenti.

2.4.6. Performance Measure

Untuk menghindari ambiguitas suatu sistem memungkinkan memiliki beberapa

template, dalam skripsi ini didefinisikan algoritma kesalahan pencocokan (matching

algorithm errors) untuk perbandingan sampel terhadap template yang dimasukkan.

Page 29: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

34 

 

 

False Match Rate adalah probabilitas yang diharapkan dari suatu sampel

dinyatakan salah mengidentifikasi template yang dipilih secara acak, bukan template

dirinya sendiri.

False Non Match Rate adalah probabilitas yang diharapkan dari suatu sampel

dinyatakan tidak mengidentifikasi template dari pemilik sampel tersebut.

Literatur dalam skala besar pada sistem identifikasi sering mengacu pada "false

rejection" yang terjadi ketika sampel yang disampaikan, salah dicocokkan dengan

template yang terdaftar oleh user lain. Dalam literatur akses kontrol, "false acceptance"

muncul ketika sampel yang dikumpulkan salah disesuaikan dengan template user lain.

Definisi yang disajikan di sini dimaksudkan untuk mengatasi masalah tersebut.

2.4.7. Perbandingan Pendekatan Minutiae dan Non-Minutiae

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam identifikasi sidik jari. Dua kategori

utama untuk identifikasi sidik jari dapat diklasifikasikan sebagai minutiae dan non

minutiae.

Pendekatan minutiae (Jain, 1997; Ratha, 1996; Cappelli, 2011) adalah algoritma

paling populer dan canggih untuk pengenalan sidik jari. Fitur utama minutiae : ridge

ending, ridge bifurcation dan sebagainya (Mario , 2003) seperti yang telah dijelaskan

pada subbab sebelumnya. Pendekatan ini menggunakan fitur ekstraksi vektor dari sidik

jari sebagai titik-titik yang terdiri dari tipe, posisi, orientasi. Tahap matching pada

pendekatan minutiae adalah mencari keselarasan terbaik antara template dan citra sidik

Page 30: 3. BAB 2thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-1-00518-mtif 2.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI Landasan teori ini secara umum menyajikan sejumlah teori yang relevan dengan penulisan skripsi

35 

 

 

jari yang dimasukkan yang telah diekstraksi. Namun, karena kualitas gambar yang

buruk dan kondisi input yang kompleks, minutiae tidak mudah ditentukan secara

akurat, sehingga menghasilkan akurasi dalam matching tersebut rendah. Selain itu,

pendekatan minutiae membutuhkan komputasi dan kompleksitas yang tinggi (Yang,

2008).

Pendekatan non minutiae (Amornraksa & Tachaphetpiboon, 2006; Nanni &

Lumini, 2008; Yang & Park, 2008) dapat mengekstrak informasi yang lebih banyak dan

meninggalkan proses pengolahan binarization, thinning, postprocessing. Pendekatan

non minutiae melakukan proses lebih cepat namun analisis terhadap citra sidik jari yang

kurang karena mengambil semua ciri dari citra sidik jari tersebut.

Berdasarkan literatur tersebut, penulis mempunyai hipotesa bahwa pendekatan

minutiae mempunyai keakuratan yang baik dikarenakan memilah ciri-ciri khusus dari

citra sidik jari, namun memakan proses yang cukup lama, sedangkan pada pendekatan

non minutiae mengekstraksi informasi lebih banyak tanpa dianalis sehingga

menghasilkan keakuratan yang kurang baik, namun proses akan lebih cepat

dibandingkan dengan pendekatan minutiae.

Tabel 2.2 Perbandingan Pendekatan Berdasarkan Literatur

Pendekatan Minutiae Pendekatan Non-Minutiae

Waktu proses lama Waktu proses cepat

Fitur lokal / detail Fitur umum