23789907 Hukum Responsif

14
HUKUM RESPONSIF Sejarah Perkembangan Hukum Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami asang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu ukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas sebagai lmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan dimanipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis, Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 1

description

Hukum Responsif

Transcript of 23789907 Hukum Responsif

Page 1: 23789907 Hukum Responsif

HUKUM RESPONSIF

Sejarah Perkembangan Hukum

Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang

bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa

melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan

yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum

identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi

lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek

legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori

hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal

terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, mereka kemudian

mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu

hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial

yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan

sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan

penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum

sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.

Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum

mengalami asang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu

dimana ilmu ukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas

sebagai lmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk dalam

siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum

sebagai sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan

bagaimana serta manfaat dari ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto

Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila

kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan dimanipulasi

sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori

Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan

secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis,

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 1

Page 2: 23789907 Hukum Responsif

dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan dalam alam yang

menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada di

alam ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grand-theori-nya dianggap

sebagai penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal

menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain yaitu

teori kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut.

Dari situlah unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial perlu diintegrasikan

ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada

perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum

secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur

pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan

pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.

Hal ini membuat Nonet dan Selznick mengategorikan hukum ke dalam 3

kelompok yang berlainan serta ketiganya merupakan tahapan-tahapan

evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Ketiga

kategori hukum tersebut adalah hukum represif, otonom dan hukum

responsif.

Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat, yang

pada prinsipnya hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan. Pemberlakuan hukum represif tidak terlepas dari

integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi

yang sangat dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari

institusi-institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa. Hukum

adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk

mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan

hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan.

Hukum otonom dapat disebut sebagai pemerintahan

berdasarkan hukum (rule of law). Hukum otonom memfokuskan diri

pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom cenderung

mempersempit cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum,

sehingga memisahkan pemikiran hukum dari realitas sosial. Hasilnya

Page 3: 23789907 Hukum Responsif

adalah legalisme, yaitu sebuah kecenderungan untuk menyandarkan

diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan masalah

di tingkat praktek.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan

dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum

dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum

responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan

dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan

ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai

interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.

Hukum represif juga pernah ada di Negara kita, yaitu pada saat awal-awal

kemerdekaan sampai dengan tahun 1960 –Orde Lama. Kemudian hukum

otonom juga pernah dirasakan bangsa ini, yaitu pada era pimpinan Soeharto

–Orde Baru, yang keduanya dipakai untuk menjaga kredibilitas masing-

masing pemerintahan. Di era reformasi sekarang ini –yang sudah berjalan

lebih dari satu dekade– hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan

waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar-

benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran

dan kesejahteraan masyarakat.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-

undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh

aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk

menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan

karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool

of social engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi

Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai

sarana untuk membantu perubahan masyarakat. Karakter keberpihakan

hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang

emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan

egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 3

Page 4: 23789907 Hukum Responsif

perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada

warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk

dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang

responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat

demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan

demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan

untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi

kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar

hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar

1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana

rekayasa sosial ini

Seperti apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof.

Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara

analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain

pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan

ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis

maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum

yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori

hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa

hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules (logic &

rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan

jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya

dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak

yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa,

hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum

murni yang kaku dan analitis.

Transisi Hukum Otonom ke Hukum Responsif

Seperti telah disebutkan di atas bahwa hukum responsif lebih

menekankan pada tujuan, jadi bukan hanya keadilan yang procedural. Lebih

Page 5: 23789907 Hukum Responsif

dari itu hukum responsif juga memiliki kompeten dan keadilan yang lebih

dibanding hukum otonom ataupun represif serta mampu mengenali

keinginan public dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan

substantive. Misalnya permasalahan hukum yang berasal dari akar rumput

dapat diakomodir dengan baik untuk selanjutnya dapat dijadikan masukan

dalam rangka menegakkan keadilan yang tidak semu. Hal ini sangat bertolak

belakang dengan sifat hukum otonom yang lebih berpusat pada peraturan-

peraturan memiliki dasar yang praktis dalam hal-hal berikut ini:

Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi

kekuasaan. Peraturan menetukan cakupan otoritas jabatan secara akurat

sehingg menawarkan pengetesan yang meyakinkan terhadap

akuntabilitas.

Hakim cenderung dibatasi oleh peraturan sehingga kekuasaan yudikatis

menjadi sangat terbatas dan lebih mudah untuk memberikan justifikasi

serta yang palin parah bahwa ancaman hukum terhadap para pembuat

keputusan politikpun menjadi kendur, bahkan seolah-oleh para elit politik

kebal hukum.

Meningkatnya jumlah peraturan perundangan yang dapat menimbulkan

kompleksitas dan mendatangkan permasalahan konsisten. Bahkan

pembuatan perundangan-pun dapat dijadikan lahan untuk

menguntungkan dan memperkaya diri mereka maisng-masing.

Otoritas pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab hukum.

Dalam menjalankan tugasnya sebuah hukum harus berpatokan pada

peraturan-peraturan tertentu, hal ini dimaksudkan agar dapat membantu

system tersebut untuk menghindari tuntutan-tuntutan yang mungkin tak

terpenuhi.

Walapun hukum otonom dapat menjinakkan represi, namun tetap

berkomitmen bahwa hukum adalah sebagai kontrol sosial yang dapat

digunakan untuk lebih melegitimasi kekuasaan pemerintah.

Dari gambaran di atas bahwa taat hukum yang terjadi pada hukum otonom

hanyalah bersifat semu, artinya dalam menjalankan tertib hukum

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 5

Page 6: 23789907 Hukum Responsif

masyarakat terpaksa untuk mematuhinya. Karena siapapun yang melanggar

hukum maka sanksipun akan menunggunya, walaupun sebenarnya aturan

hukum tersebut bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk

kepentingan segelintir orang. Dari sinilah akan terjadi pergolakan dalam diri

masyarakat itu, dia akan patuh pada hukum jika ada pengawasan dari

aparat penegak hukum, namun dengan berbagai cara merekapun akan

melanggar hukum tersebut jika pengawasan tidak ada.

Hukum otonom memiliki kapasitas dalam mengendalikan otoritas

penguasa dan membatasi kewajiban-kewajiban warga Negara. Dari sinilah

akan muncul kritik-kritik yang memberikan sumbangan terhadap

tergerusnya rul of law, namun sikap ini bukanlah sebuah pandangan yang

ideologis karena model ini lebih mungkin untuk menerima kepatuhan

otoritas daripada menerima kritik otoritas. Kemudian muncullah sebuah visi

dan suatu kemungkinan dirasakan, akan sebuah tertib hukum yang

responsif yang lebih terbuka terhadap pengaruh social. Institusi-institusi

hukum mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit terhadap

hukum otonom dan menjadikan instrument-instrumen yang lebih dinamis

bagi penataan social dan perubanhannya. Dalam pembentukan lembaga-

lembaga yang sarat pengetahuan dan efektif akan menemukan adanya

tantangan yang dapat membangkitkan penolakan-penolakan yang kuat. Jadi

selama penghormatan terhadap bentuk-bentuk procedural melemah dan

peraturan-peraturan dibuat problematic, para pejabat dan warga Negara

dapat bertindak sekehendak hatinya dengan lebih mudah. Maka hal ini

dapat menghilangkan kemampuan hukum untuk mendisiplinkan pejabat

dan memaksakan kepatuha pada hukum. Tatanan hukum yang dibuat

terlalu terbuka akan kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan

peran kekuasaan di dalam masyarakat.

Dalam hukum otonom terdapat adanya ketegangan antara

keterbukaan dan kepatuhan terhadap hukum, dan ketegangan ini dapat

menimbulkan masalah sentarl dalam perkembangan hukum. Semua institusi

mengalami konflik integritas dan keterbukaan. Integritas harus dilindungi

Page 7: 23789907 Hukum Responsif

ketika sebuah institusi mempunyai komitmen yang kuat pada suatu misi

khusus atau dapat dibuat akuntable pada misi tersbut oleh control

eksternal. Namun isntitusi-institusi yang memiliki komitmen tersebut

menyatu dengan berbagai sudur pandang dan pola kerja mereka sendiri,

mereka akan kehilngan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini

berarti bahwa tidak selamanya keterbukaan akan menjamin hukum tersebut

dapat dipatuhi dengan baik oleh semua masyarakat, ada kalanya integritas

didahulukan agar kepatuhan hukum dapat terwujud. Dengan kata lain

akuntabilitas akan melahirkan formalism dan kemunduran, sehingga

mengakibatkan institusi-institusi menjadi kaku, tidak mampu menghadapi

kemungkinan-kemungkinan baru yang timbul secara tak terduga. Di sisi lain

keterbukaan juga mengandaikan pemeberian diskresi yang luas sehingga

tindakan aparatur Negara dapat tetap fleksibel, adaptif dan mawas diri.

Namun tanggung jawab para aparat akan semakin kabur ketika mereka

kehilangan kepastian, dan juga terdapt resiko bahwa komitmen akan

menipis di saat flrksibelitas diterapkan. Dengan demikian keterbukaan

dapat dengan mudah merosot menjadi oportunisme, yaitu adaptasi yang

tidak terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan. Hukum represif

memiliki tanda-tanda adanya adaptasi pasif dan oportunis dari institusi-

institusi hukum terhadap lingkungan social dan politik. Hukum motonom

merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang

serampangan yang kegiatan utamanya adalah bagaimana cvara menjaga

integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersbut, hukum mengisolasi

dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalism yang

buta demi mencapai integritas.

Hukum responsif yang merupakan kelanjutan dari proses hukum diatas

berusaha mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut dengan cara

menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab yaitu

adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Suatu institusi yang

responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang essential bagi

integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 7

Page 8: 23789907 Hukum Responsif

baru di lingkungannya sehingga antara keterbukaan dan integritas dapat

berjalan bersama dan saling membantu satu sama lain walaupun di antara

keduanya terdapat pertentangan. Lembaga responsif menganggap tekanan-

tekanan social sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk

mengoreksi diri. Suatu institusi atau lambaga haruslah memililiki tujuan,

karena dengan tujuan sebuah lembaga atau institusi tertesbut dapat

memadukan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi. Jadi

hukum responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif

dan cukup otoritatif untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif.

Usaha untuk mencapai tujuan merupakan suatu kegiatan yang beresiko

tinggi bagi sebuah institusi hukum. Karena sebagian lembaga beranggapan

lebih baik memelihara identitas dan mempertahankan legitimasi jika

dibanding harus menyediakan keterbuakaan kepada lingkungannya.

Generalisasi Tujuan

Suatu perangkat hukum, baik peraturan, kebijakan, dan prosedur

tertentu dianggap penting dan dihormati sebagai sekumpulan pengalaman,

namun semua itu berhenti mendefiniskan komtmen tatanan hukum. Justru

penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat umum, yang

berisikan premis-premis kebijakan dan sekedar menyampaikan urusan yang

sedang ditangani. Jadi cirri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai

yang tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan serta

generalisasi tujuan merupakan sumber utama fleksibelitas dalam organisasi

modern. Sebagai contoh misalnya dalam membuat perda, suatu

kabupaten/kota harus meneriam masukan-masukan dari beberapa orang

yang merupakan wakil dari masyarakat, kemudian yang perlu dilakukan

adalah menentukan tujuan dibuatnya perda. Dalam prosesnya pembuatan

perda harus mementingkan kepentingan mayoritas di atas kepentingan

beberapa orang. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Fuller “peran sentral

tujuan dalam segala hal yang berkaitan dengan hukum”, maksudnya dalam

penegakan hukum harus ditetapkan tujuannya, Untuk apa hukum ini

disyahkan dan untuk siapa? Ketika hukum menekankan pada asas dan

Page 9: 23789907 Hukum Responsif

tujuan, tersedia sumber yang kaya untuk mengkritisi otoritas yang dimiliki

peraturan-peraturan tertentu. Meskipun peraturan tersebut mengandung

otoritas resmi hukum, namun peraturan tersebut harus dapat diuji ulang

dalam konteks konskuensinya bagi nilai-nilai yang dipertaruhkan.

Maksudnya adalah sebelum perturan disyahkan harus diujicobakan dulu di

suatu lingkungan tertentu yang mewakili suatu tempat, jika masih ada

kesalahan dan masukan dari akar rumput, peraturan tersebut harus dikaji

ulang kembali, kemudian diujicobakan ulang dan begitu seterusnya (trial

and error).

Namun ketika tujuan melemahkan otoritas peraturan, di sisi lain tujuan

juga dapat memperlebar ruang bagi diskresi dalam penilaian hukum. Sejauh

mana otoritas tujuan dapat menggantikan otoritas peraturan dapat

menimbulkan pertanyaan serius. Mungkin relative mudah untuk menerima

otoritas tujuan yang bersifat kritis dalam menginterpretasi dan

mengevaluasi berbagai peraturan, putusan atau target tertentu. Akan lebih

sulit untuk memiliki kepercayaan pada otoritas tujuan yang bersifat

afirmatif, yaitu tujuan sebagai pedoman bagi arah perkembangan kebijakan.

Sumbangan utama dari sebuah tujuan adalah meningkatkan rasionalitas

dalam pertimbangan hukum. Oleh karena itu terkadang berkembangnya

orientasi pada tujuan dalam hukum maka menjadi sulit untuk membedakan

analisis hukum dengan analisis kebijakan, rasionalitas hukum dengan

bentuk-bentuk lain pengambilan keputusan yang sistematis. Pada saat

akuntabilitas mengarah ke tujuan-tujuan yang lebih umum, dedikasi kepada

peraturan tidak lagi cukup memadai untuk menjadi tameng aparatur Negara

terhadap kritik. Namun beban juga akan terasa berat pada saat aparatur

Negara harus mengenaralisasi tanggung jawab karena sama saja dengan

memperlemah tanggung jawabnya. Tujuan yang bersifat umum cenderung

impoten, yaitu begitu abstrak dan kabur sehingga tidak dapat memberikan

panduan dalam membuat keputusan maupun standar-standar evaluasi yang

jelas. Sehingga agar tujuan dapat memperoleh otoritas afirmatif ataupun

kritis, maka hukum harus mampu mengelaborasi, sebagaimana

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 9

Page 10: 23789907 Hukum Responsif

mengeneralisasikan mandate institusi-institusi. Dengan demikian tahapan

yang krusial dalam hukum responsif adalah menerjemahkan tujuan yang

bersifat umum menjadi sasaran-sasaran yang bersifat spesifik. Penegasan

yang berkelanjutan terhadap tujuan memerlukan tenaga dan sumber-

sumber daya yang tidak dapat mempertahankan intergritas tujuan akhir

sambil melakukan perhitungan efektif atas- biaya-biaya yang

dikeluarkannya. Dengan demikian kurangnya sumber akan memaksa

pergerakan antara mundur dari tujuab yang ada atau kembali ke

instrumentalisme yang lebih monolitik dan represif, yaitu sesuatu yang

mempu mengabaikan perintah. Sebagai contoh penggusuran dan razia para

PKL akan meningkatkan angka kejahatan.

Penentuan tujuan adalam suatu organisasi ataupun institusi sangat

dibutuhkan untuk menentukan perkembangan dari institusi tersbut, karena

sumbangan utama dari sebuah tujuan adalah meningkatkan rasionalitas

dalam pertimbangan hukum. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah

menjabarkan tujuan-tujuan yang sifatnya umum menjadi lebih spesifik dan

mudah dipahami dan diterjemahkan oleh setiap warganya. Walaupun

berbagai teknik dan perspektif pertimbangan hukum dapat berbuat banyak

untuk meningkatkan otoritas kritis dari tujuan, konstribusnya terhadap

otoritas afirmatif lebih kecil dan tidak bisa tidak tergantung pada sumber-

sumber daya di dalam masyarakat yang bersedia memberikan komitmen

dalam rangka terealisasinya tujuan akhir hukum.

Di atas telah disebutkan bahwa prinsip dan tujuan hukum merupakan

sumber bagi kritik hukum, maka pengorbanan (manfaat) merupakan

pengikisan bagi otoritas. Di sinilah dibutuhkan kewajiban dari warga Negara

terhadap tertib hukum yang berlaku, karena melemahnya kewajiban warga

Negara untuk taat hukum berkaitan erat dengan upaya menuju proses

pembuatan peraturan yang lebih fleksibel. Seperti menguatnya tujuan,

melemahnya kewajiban juga memiliki sumbernya sendiri di dalam

kompleksitas dan kerumitan yang selalu menyertai perkembangan hukum

otonom.

Page 11: 23789907 Hukum Responsif

Hukum responsif membawa janji akan kesopanan ke dalam cara

hukum yang digunakan untuk mendefinisikan dan memelihara ketertiban

umum. Dalam pengertian yang lebih umum dan lebih klasik, kesopanan

merupakan atribut kehidupan politik. Politik yang sopan adalah politik yang

mendukung nilai sentral kewarganegaraan –asas bahwa tidak ada anggota

komunitas politik sejati yang tidka dilindungi. Oleh karena itu rasa

hormat/kesopanan adalah kebajikan yang penting, “barang siapa berbagi

ruang social, maka ia akan memperoleh jaminan legitimasi”. Hukum

responsif dapat membantu berkembangan kesopanan melalui 2 cara, yaitu:

Mengatasi parokialisme dalam moralitas kemunal.

Hukum responsif mengeksplorasi sarana-saran alternative untuk

mencapai tujuan hukum, khususnya strategi-strategi pengaturan yang

bersifat non criminal seperti zoning, yakni pembagian legeslatif dalam suatu

wilayah menjadi distrik-distrik yang berbeda. Proses ini sedang berlangsung

di Indeonsia, yaitu adanya otonomi daerah, pembagain kekuasaan

legislative merata dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional.

Mendorong suatu pendekatan yang berpusat pada masalah dan integrative

secara social terhadap krisia ketertiban umum.

Dalam kondisi tertentu kadang suatu peraturan yang merupakan

produk hukum tidak dapat menangani suatu kasus, misalnya demonstrasi,

krisis kerusuhan dan lainnya, karena produk hukum tersebut sudah tidak

relevan dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan suatu hukum

yang dapat mendorong kritik terhadap peraturan-peraturan dan bahkan

yang membuat ketidakpatuhan sebagai cara yang sah untuk menguji dan

mengubah peraturan yang lebih siap untuk mengendalikan berbagai

ancaman simbolis kekuasaan. Pengampunan terhadap pelanggaran hukum

dapat dinegoisasi demi menyusun kepentingan kembali suatu kerangka

kerja dimana kerja sama dapat etrus berjalan sehingga akan menghasilkan

produk hukum yang dapat menguntungan benyak orang. Produk hukum

semacam ini mengasumsikan bahwa syarat-syarat ketertiban umum

bukanlah sesuatu yang benar-benar kaku, namun sesuatu yang masih

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 11

Page 12: 23789907 Hukum Responsif

terbuka untuk dinegoisasikan kembali sedemikian rupa sehingga kondisi-

kondisi tersebut akan lebih memperhatikan kepentingan social yang

dipengaruhi. Ketidakpatuhan bisa dipandang sebagai perbedaan pendapat,

dan penyimpangan sebagai munculnya gaya hidup baru, kerusuhan tidak

dianggap sebagai aksi mass yang tidak masuk akal namun dipuji karena

relevansinya sebagai protes social. Dengan cara ini, seni negoisasi, diskusi

dan kompromi secara politis dan sopan ikut dilibatkan.

Sudahkah Indonesia menggunakan Hukum Responsif

Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang

sesungguhnya karena krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi

massa sudah sangat sulit dikendalikan baik dengan cara yang represif

ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde baru

terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak.

Adalah hal yang wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan,

karena banyak yang kecewa dengan rezim yang sebelumnya. Setiap orang

mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-sendiri yang pada

intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan

yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran

sehingga sangat mungkin akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam

hal ini pemerintahpun juga belum mampu mengendalikan situasi, karena

mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan tak jarang

terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif. Cita-cita

reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu

mengalami kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat kita lihat

intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu mendominasi,

sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan

produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena

pemerintah belum berani meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa

ketergantunagn tersebut sudah terlanjur mendalam.

Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang

Page 13: 23789907 Hukum Responsif

mengatakan lebih parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto

Rahardjo :

“Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak

hanya sampai akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium. Maka pasir dan

kotoran ikut terobok-obok sampai ke permuakaan. Akuarium menjadi keruh”.

Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar

adanya bahwa saat ini Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan

satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh lebih buruk dari

sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum

(general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya

urgen seperti ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun

lembaga Negara baik ekskutif, yudikatif ataupun legeslatif juga sudah

amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto Rahardjo sebagai

akuarium. Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin

memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka

yang berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha

yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam

pembuatan produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan

dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan

dikendalikan oleh para intelektual-intelektual semu yang berkultur preman

dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka

hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya. Masih

menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk

membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau

mengangkat orang-orang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang

terpuji. Seberanya mereka pernah menjadi bagian dari penguasa, namun

mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut kultur preman

yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di

negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan

mengangkat mereka dan menolak massa permanisme. Mudah-mudahan

dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang berbekal mentalitas dan

Hukum Responsif (Tugas Politik Hukum_Bp. Dr. Absori, SH, M.Hum)Hal 13

Page 14: 23789907 Hukum Responsif

kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia.

Tapi apapun itu semua hal di dunia ini melalui suatu proses, cepat atau

lambat proses tersebut tergantung kepada komponen-komponen yang ada

di dalamnya. Sebagai bangsa yang besar Indonesia memang identik dengan

pluralisma, namun jangan dijadikan alasan bahwa keadaan itu akan

memperlambat proses bangsa ini untuk menuju cita-cita luhur menciptakan

bangsa Indonesia yang sejahtera. Dengan adanya perbedaan tersebut

diharapkan dapat terjadi sinergi sehingga semau komponen bangsa ini dapat

menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sesuai Pancasila dan UUD 1945,

serta tetap menggunakan hati nurani dalam setiap langkahnya.

Daftara Pustaka:

Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,

(Terj. Nusamedia), Bandung, 2003.

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Membedah Hukum Progresif,Kompas, Jakarta,

2008

Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Natangsa Surbakti, S.H, M.Hum, Problematika Penegakan Hukum UU Penghapusan Kekerasan dalam Runah Tangga. Univ. Muhammadiyah Surakarta.

Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Dr. Sudijono Sastroatmodjo, Konfigurasi Hukum Progresif, Univ. negeri Semarang.

Dikutip dari Legalitas.org, Hukum Progresif : Upaya untuk Mewujudkan Ilmu Hukum menjadi Sebenar Ilmu