236409749 makalah-blok-29-syok-hipovolemik

24
SYOK HIPOVOLEMIK et causa PERDARAHAN INTRAABDOMEN Tiara Sari Irianti 102011418 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Email : [email protected] 1. Pendahuluan Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik). 7 Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik). 7 Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hipovolemik. Syok hipovolemik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis masif dan luka bakar yang luas. 7 2. Defenisi

Transcript of 236409749 makalah-blok-29-syok-hipovolemik

SYOK HIPOVOLEMIK et causa PERDARAHAN INTRAABDOMEN

Tiara Sari Irianti

102011418

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Email : [email protected]

1. Pendahuluan

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan

metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi

yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis

tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok

hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri

yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik)

atau akibat respon imun (syok anafilaktik).7

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan

cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume

sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering,

syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).7

Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan

gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok

hipovolemik. Syok hipovolemik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang

akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.

Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada

organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan

akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik

yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis masif dan luka bakar yang

luas.7

2. Defenisi

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan

metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi

yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis

tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok

hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri

yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik)

atau akibat respon imun (syok anafilaktik).7

Syok diklasifikasikan menurut etiologi, yaitu :

1. Syok hipovolemik : dehidrasi, kehilangan darah dan luka bakar

2. Syok distributif : kehilangan tonus vascular (anafilakfik, septik, syok toksik)

3. Syok kardiogenik : kegagalan pompa jantung

4. Syok obstruktif : hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik dan ekstrinsik.

Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikardi.2

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan

cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume

sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering,

syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).1,5

3. Etiologi

Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah

dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat dari volume darah yang

berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat pendarahan yang masif atau kehilangan plasma darah.7

Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang terdiri dari:

1. Perdarahan:

• Hematom subkapsular hati

• Aneurisma aorta pecah

• Pendarahan gastrointestinal

• Perlukaan berganda

2. Kehilangan plasma:

• Luka bakar yang luas

• Pankreatitis

• Deskuamasi kulit

• Sindrom Dumping

3. Kehilangan cairan ekstraselular:

• Muntah (vomitus)

• Dehidrasi

• Diare

• Terapi diuretik yang sangat agresif

• Diabetes insipidus

• Insufisiensi renal

4. Patofisiologi

Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi sistem

fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal, dan sistem

neuroendokrin.5

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan

mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelepasan

tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2

lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber pendarahan. Pembuluh darah

yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan

menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan

fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.5

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan

meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi

pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan

penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,

arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon

dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot,

dan traktus gastrointestinal.5

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin

dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin

I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin

II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok

hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari

korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya

akan menyebabkan retensi air.5

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan

Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari

posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan

terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak

langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus

distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.5

Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi

perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan

atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan

berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.5

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan menurunkan aliran darah

balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang

rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ.

Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk

meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak

melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya gastrointestinal. Kebutuhan energy

untuk penalaksanaan metabolism di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ

tersebut tidak mampu menyimpan cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung

akan kesediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk

waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata

(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun

drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.

Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan

kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh yang

mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular

Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel

dan kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,

penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi

jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya

menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat

namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.

Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan

absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam usus. Hal ini

memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki sel dan

menyebabkan depresi jantung.

Ginjal

Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi

terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi

kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang

nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal

mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di

ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi

glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab

terhadap menurunnya produksi urin. 7

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran

darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.

Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme

anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam

laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam

klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai

asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus

segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan

prioritas utama.3,8

5. Gejala Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,

besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan

tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah

mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan

takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada

pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang

cepat atau singkat.3,8

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta

perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.

Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung

sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi efektif. Di sini akan terjadi peningkatan

kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stress serta

ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan

interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin.7

Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting

untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. Syok

hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.

Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,

letargi, atau perubahan status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan

kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.

Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan

memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi

kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan

bermotor).5

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan

darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting

untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:

1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu

berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.

2. Takikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis

penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi

mengurangi asidosis jaringan.

3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan

curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan

tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri

turun tidak di bawah 70 mmHg.

4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada

orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.3,8

Tanda-tanda vital ortostatik mungkin normal pada individu hipovolemik, atau individu

normal dapat memperlihatkan perubahan-perubahan ortostatik yaitu hipotensi. Jadi, gunakan

pertimbangan klinis. Sebagai tambahan, ingesti alkohol, makan atau usia lanjut dapat

menyebabkan perubahan-perubahan ortostatik dalam tekanan darah dan nadi. Penurunan

diastolik ortostatik sebesar 10-20 mmHg atau peningkatan nadi sebesar 15 detak/detik

dianggap bermakna.periksa tanda-tanda vital ortostatik, berbaring dan setelah berdiri selama

1 sampai 2 menit. Takikardia biasanya tetap ada tetapi mungkin tidak didapatkan bila ada

iritasi diafragma, yang menyebabkan stimulasi vagal. Hipoperfusi ditandai oleh

berkurangnya jumlah urin, daya pikir menurun, ekstremitas dingin, bercak-bercak, dll.3,8

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan

menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:

(1) Turunnya turgor jaringan

(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta

(3) Bola mata cekung.3,8

Dehidrasi dapat timbul pada diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan

muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus

yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, tidak

mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat dapat mengarah ke gagal

ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala.7

Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi 3 tingkatan, yaitu :

1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) : gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak

(vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.

2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB) : turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam

presyok atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.

3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB) : tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran

menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.7

Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam

menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai

dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, tempratur tubuh

dan tanda-tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang

penting. Adanya kualitas bunyi usus dan adanya distensi abdomen dan nyeri tekan

merupakan “clue” bagi etiologi.7

Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri. Tanda vital, sebelum

dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin

menunjukkan gangguan pada pembuluh darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis

adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya

menyebabkan nyeri, nyeri punggung atau nyeri panggul.5

Skor penilaian klinis dehidrasi :

1. Rasa haus/muntah (1)

2. Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg (1)

3. Tekanan darah sistolik <60 mmHg (2)

4. Frekuensi nadi >120 kali/menit (1)

5. Kesadaran apatis (1)

6. Kesadaran somnolen, sopor atau koma (2)

7. Frekuensi nafas >30 kali/menit (1)

8. Facies cholerica (2)

9. Vox cholerica (2)

10. Turgor kulit menurun (1)

11. Washer women’s hand (1)

12. Eksremitas dingin (1)

13. Sianosis (2)

14. Umur 50-60 tahun (1)

15. Umur >60 tahun (2)

Skor Dalyono di atas merupakan penilaian dari klinis pasien yang menentukan jumlah

kebutuhan cairan yang diberikan pada pasien dehidrasi.7

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulkan keterangan hematemesis,

melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti inflamasi non-steroid yang lama, dan

koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan

hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang

muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear,

sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami

ulkus peptik atau varises esofagus. Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu

dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko

kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk

konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes

kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk

menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.5

Pada pasien demam berdarah dengue dapat jatuh pada keadaan syok. Syok biasanya

terjadi saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 samapai hari sakit ke-7. Pasien

mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan

kulit dingin–lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan

hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir.

Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan

plasma. Kondisi ini dapat diperberat dengan komplikasi yaitu asidosis metabolic, perdarahan

saluran cerna hebat atau pendarahan lain, hal ini pertanda prognosis buruk.4

Hipovolemia ringan (<20 % volume darah) menimbulkan takikardi ringan dengan

sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada

hipovolemia sedang (20-40 % dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia

lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat

ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka

gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi

berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke

susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan

kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi

bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki

penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari

terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.7

6. Stadium Syok

Syok secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :

1. Stadium kompensasi

Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi fisiologis

tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi :

a. Resistensi sistemik meningkat :

- distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (jantung, paru, otak)

diastolic pressure meningkat.- resistensi arteriol meningkat

cardiac output meningkat.b. Heart rate meningkat

ginjal menahan air dan sodium di dalam sirkulasi.c. Sekresi vasopressin, renin-angiotensin-

aldosteron meningkat

Manifestasi klinis : takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (lebih

dari 2 detik).

2. Stadium dekompensasi

Pada stadium ini telah terjadi :

laktat asidosis, diperberat oleh penumpukan CO2 , dimana CO2 menjadi asam karbonat.

laktat meningkat metabolism anaerob O2 sangat turun a. Perfusi jaringan buruk

kerusakan sel. integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria

memburuk b. Gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+ pump tingkat seluler

c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem koagulasi, akan diperburuk

dengan terbentuknya agregasi trombosit dan pembentukan trombus disertai tendensi

perdarahan.

membentuk oksigen radikal serta platelets aggregating factor.d. Pelepasan mediator

vaskular : histamine, serotonin, sitokin (TNF alfa dan interleukin I), xantin oxydase

cardiac output turun. preload turun venous return menurun Pelepsan mediator oleh

makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat

Manifestasi klinis : takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk, asidosis,

oliguria dan kesadaran menurun.

3. Stadium irreversible

tubuh kehabisan energi. multi organ failure. Cadangan phosphate berenergi tinggi (ATP)

akan habis terutama di jantung dan hepar Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan

dan kematian sel

Manifestasi klinis : nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur. Anuria dan tanda-tanda

kegagalan organ.6

7. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,

pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem

sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Jangan hanya berpatokan

pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis

lambat.5

Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan

hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan

perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak

mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.

Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang.

Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata.

Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan

klasifikasi awal.5

Telah ditetapkan klasifikasi perdarahan berdasarkan persentasi volume darah yang

hilang. Namun sifatnya tidak absolut dan hanya bersifat sebagai bantuan. Tatalaksana harus

agresif dan lebih dituntun oleh respon terhadap terapi ketimbang menurut klasifikasi awal.2

Pendarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%) tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi

minimal. Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi

pernapasan. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah

sekitar 10%.5

Pendarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%). Gejala klinisnya, takikardi

(frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin,

perlambatan pengisian kapiler, dan ansietas ringan . Penurunan tekanan nadi adalah akibat

peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah

perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.5

Pendarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%). Pasien biasanya mengalami takipnea dan

takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang

signifikan, seperti kebingungan atau agitasi. Pada pasien tanpa cedera yang lain atau

kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang

menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik. Sebagian besar pasien ini membutuhkan

transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon

awal terhadap cairan.5

Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%). Gejala-gejalanya berupa takikardi,

penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak

terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan

kesadaran), dan kulit dingin dan pucat. Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan

secara cepat.5

Pada pasien dengan trauma, pendarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari

syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya

tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax

(deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat,

jarang takikardi, dan defisit neurologis).5

Ada empat daerah pendarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan

bagian luar tubuh. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang

melemah, karena pendarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh

darah, atau laserasi paru. Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri

atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal. Kedua paha harus diperiksa jika

terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan pendarahan dalam paha).

Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada pendarahan luar.5

Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar pendarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus

diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya

aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau

perdarahan.5

Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan spekulum steril. Meskipun, pada

pendarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double set-up” di ruang

operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.5

8. Diagnosis

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidak-stabilan

hemodinamik dan ditemukan adanya sumber pendarahan. Diagnosis akan sulit bila

pendarahan tidak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau

hanya terjadi penurunan jumlah plasma darah. Setelah pendarahan maka biasanya

hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau

terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan

sebagai adanya pendarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi,

kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin

meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.7

Pada pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas, yaitu nausea,

muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air, malabsorbtif, atau berdarah

yang tergantung bakteri pathogen yang spesifik.

Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan :

1. Keadaan klinis : ringan, sedang dan berat (telah dibicarakan di atas)

2. Berat Jenis Plasma : pada dehidrasi BJ plasma meningkat

a. Dehidrasi berat : BJ plasma 1,032 – 1,040

b. Dehidrasi sedang : BJ plasma 1,028 – 1,032

c. Dehidrasi ringan : BJ plasma 1,025 – 1,028

3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP) : Bila CVP +4 s/d +11 cmH2O : normal. Pada

syok dan dehidrasi maka CVP kurang dari +4 cmH2O.7

Jangan mengandalkan TD sistolik sebagai indikator utama dari syok; kebiasaan ini

mengakibatkan tertundanya diagnosis. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan TD

sistolik yang bermakna, sampai pasien telah kehilangan 30% dari volume darahnya.

Perhatian harus lebih ditujukan terhadap nadi, frekuensi nafas, dan perfusi kulit. Disamping

itu, pasien-pasien yang sedang mendapat obat penyekat beta mungkin tidak memperlihatkan

takikardia, tanpa memandang derajat syoknya.2

Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksanaan

yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme

kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya tanda syok kardiogenik seperti

distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka semua dapat dibedakan.7

Pemeriksaan Laboratorium

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya

tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien

itu sendiri.7

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete

Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT,

APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah

sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.5

Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi

secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi

intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.5

Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat

ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan. Pasien trauma dengan syok

hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai

terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal,

sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada

posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi

dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber

perdarahan.5

Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien

hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus

segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok

hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan

ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.5

Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada

awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.5

Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused

Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak

stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang

panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.5

9. Penatalaksanaan

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara

lain:

(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,

peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah

(2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

(3) resusitasi cairan.5

Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah

menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan

resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan

seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan

yang diberikan adalah garam isotonus yang diteteskan dengan cepat (hati-hati terhadap

asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL)

dengan jarum infus yang terbesar. Tidak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan

koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat

mengembalikan keadaan hemodinamik.7

Resusitasi Cairan Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat

berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama

untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi

cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan

menurunkan angka mortalitas.3,8

Memaksimalkan penghantaran oksigen. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan

segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas,

harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan

flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam

jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan

positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan

sebaiknya dihindari.5

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya

menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang

bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya,

dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi.

Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan

terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan

dapat mengganggu pertukaran udara.5

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi

kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan

demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan

dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah

utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan

infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.3,8Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan

untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui

agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang

cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang

umum dari hipovolemia adalah pendarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya

seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.

Pemilihan Cairan Intravena. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,

konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah

dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis.3,8

Prisip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah

cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan :

1. BJ plasma dengan rumus :

Kebutuhan cairan = BJ plasma – 1,025 x Berat badan x 4 ml

0,001

2. Metode Pierce berdasarkan klinis :

Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)

Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)

Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)

3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis :

Kebutuhan cairan = skor x 10% x kgBB x 1 liter 15

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak

mungkin, sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama dengan 3 disertai syok diberikan

cairan per intravena. 7

Cairan rehidrasi pada dehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui

selangnasogastrik atau intravena. 7

Bila dehidrasi sedang/beratsebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse pembuluh darah.

Sedangkan dehidrasi ringan sebaiknya pasien diberikan cairan peroral atau selang

nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau oral/saluran cerna atas tidak dapat dipakai.

Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa,

3,5 gr NaCl, 2,5 Natrium Bicarbonat dan 1,5 gr KCl setiap liter. Contoh oralit generik,

renalyte, pharolit, dll.

Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas :

a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) : jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus

BJ plasma atau Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam, ini agar dapat tercapai rehidrasi

optimal secepat mungkin.

b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan

cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau

skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.

c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja

dan insensible water loss (IWL).7

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille

mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan

langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan

diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat

ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis

dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka

digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan

jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan

pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan

hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan

juga analisa gas darah.5

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid

isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa

(20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah kembali

normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan.

Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang

cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristalo id harus

dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien

wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan

hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman

pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi

pasien.5

Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang

menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien hipotensif adalah

cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer

Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat

dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera

luka bakar. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,

koloid, dan darah.3,8

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan

kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi

alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut

dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl

isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik,

hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip

dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada

pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan

sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara

untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.Ringer asetat memiliki profil serupa dengan

Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada

ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot

sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut

diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis

laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena

dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.3,8

Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi merupakan

bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk resusitasi, antara lain : NaCl

0,9%, larutan Ringer Laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku

segar, hetastarch, pentastarch dan dekstran 70. Penganut resusitasi koloid berkilah bahwa

tekanan onkotik yang meningkat karena penggunaan zat-zat ini adalah mengurangi edema

paru. Namun, vaskular paru memungkinkan aliran zat dalam jumlah besar, termasuk protein,

di antara ruang intravaskular dan interstisial. Dipertahankannya tekanan hidrostatik paru

penting dalam mencegah edema paru. Alasan lain adalah dengan koloid lebih sedikit jumlah

yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskular. Infus Ringer Laktat sebanyak 1

L hanya menambah volume intravaskular sebesar 194 ml. Banyak kajian membenarkan hal

ini. Resusitasi dengan kristaloid saja akan mengencerkan protein plasma dan dengan

mengurangi tekanan onkotik memudahkan filtrasi cairan dari inravaskular ke interstisial.

Edema perifer bisa mengurangi konsumsi oksigen secara mencolok karena jarak anara sel

dan kapiler menjadi bertambah. Walaupun demikian, perbedaan prognosis belum

ditunjukkan antara koloid dan kristaloid.2

Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch dan deksran 70, memiliki

beberapa keunggulan dibandingkan koloid alamiah seperti fraksi protein murni, plasma beku

segar, dan albumin. Mereka memiliki sifat ekspansi volume sama, tetapi karena struktur dan

berat molekul yang tinggi, zat-zat koloid ini hampir seluruhnya tetap di ruangan

intravaskular, sehingga mengurangi edema interstisial.2

Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume

intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum

menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid. Larutan koloid

sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan

dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan

albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya

dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler,

mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal

menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan

ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.5

Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-

fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung.

Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika

dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski

ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan

Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan

kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.2,5

Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer

Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok

tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.5

Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat

diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada

penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang

thorakostomi.5

Kontol perdarahan lanjut. Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan

sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, pendarahan luar harus

diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, pendarahan dalam

membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk

mengurangi kehilangan darah. Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat

darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang

pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat

paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.5

Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube

dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster

pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut.

Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi,

aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan

hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim. Pada dasarnya penyebab

perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa,

solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.2,5

Hampir semua pendarahan ginekologi yang menyebabkan hipovolemia (misalnya kehamilan

ektopik, plasenta previa, abruptio plasenta, kista ruptur, keguguran) membutuhkan intervensi

bedah.2

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker

telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti

hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus

dipertimbangkan untuk penggunaannya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak

terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya

pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum.

Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.2,5

Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah

komplikasi. Obat anti sekretorik, obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi

aliran darah ke sistem porta. Somatostatin (Zecnil), secara alami menyebabkan tetrapeptida

diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke

sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi

tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan

waktu paruh 1-3 menit. Dosis Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-

500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil. Tindak dianjurkan

interaksi epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat

ini. Kontraindikasi Hipersensitifitas dan kehamilan. Risiko yang fatal ditunjukkan pada

binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya

lebih besar daripada risiko terhadap janin. Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit

kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan

hipotiroidisme dan defek konduksi jantung. Ocreotide (Sandostatin) Oktapeptida sintetik,

dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi

kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada

sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau

pankreas. Dosis Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus

intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari. Anak-anak 1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam;

dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W. Kontraindikasi hipersensitivitas

kehamilan risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada

beberapa penelitian pada binatang. Perhatian Efek samping yang utama berhubungan dengan

perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan

batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan

hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia,

bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena

penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan

gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.5

Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan

kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan

penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu

untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera .5

KESIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan

dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume

sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering,

syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta

perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.

Gejala klasik syok yaitu, tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi

berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung, peningkatan

kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta

ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan

interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin.

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: (1)

memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan

saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih

lanjut, dan (3) resusitasi cairan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2001. Patofisiologi. EGC. Jakarta. Hal. 390.

2. Graber, Mark A. 2002. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Farmamedia. Jakarta.

Hal. 1-9.

3. FH Feng, KM Fock. 1996. Pengantar Penuntun Pengobatan Darurat. Yayasan Essentia

Medica - Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 5–163.

4. Hadinegoro, Sri Rezeki H, dkk. 2004. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di

Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Hal. 9-10.

5. Kolecki, Paul. 2008. Syok Hipovolemik. www. Asrama Medica Fakultas kedokteran

UNHAS. Diakses tanggal 24 Oktober 2009.

6. Leksana, Ery. 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 12- 14.

7. Sudoyo, Aru. W, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simabrata K. 2007. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 180-181.

8. Sunatrio, S. 14 Agustus 1999. Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium

Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan. Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM. Jakarta.