21::: ;~:fa:~Jli~': ·~g;aF··Qt)d)pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/... ·...

1
Pikiran Rakyat :::~~!·· .• i~~:~~"';,:,~~:~~::i~i~!0~~~'i~:~:~~~'~d;;~ ;:l1~ ···18..:::· :19.::·· if 0.: ··::2·1:'::":: 2':: '-:23;:':' ':24:::':;::2$:": :2!.: ..... \21::: : fa:':" ·~gF····~C'" ." .~, ::":'. :':~~#.~·::o.ig~~::;i6.;~~f,·.;~o~~i!~~~6M~~;j;~~Jli~;aQt)d)'~~;.~~~::;G.:~~~ :.;' .. _...' .. .. ,.:.""" ~:': , :.. .: ::: : : ::::': ..' :;':' :··.i.: ~$'" .. I Potret UIllat Islam ""I(iwa~i'" S UDAH agak lama saya amati berbagai fenome- na berkaitan dengan pe- rilaku umat Islam di Indonesia dalam mengekspresikan iden- titasnya sebagai Muslim. Seba- gai contoh, zikir massal dan tablig akbar yang sangat digan- drungi berbagai kalangan. Ke- giatan ini sangat positifkarena merupakan ritus yang dicon- tohkan para ulama terdahulu. Namun, apabila dilihat dari perspektifbudaya massa (mass culture), suburnya kegiatan ter- sebut pada masyarakat kita akan memicu suburnya pola hidup konsumtif dan hedonis. Dalam situasi seperti ini harus dicermati lebih hati-hati karena acapkali momen ini digunakan pebisnis untuk mengeksploitasi nilai-nilai keagamaan sedemi- kian rupa untuk mengeruk ke- untungan finansial sebesar-be- sarnya. Salah satunya ditandai dengan lahimya industri bu- sana Muslim dengan berbagai aksesorinya yang sangat men- janjikan bagi industri kreatif Jika ditelisik dari kacamata kaidah agama, sebagian besar busana tersebut tidaklah berni- lai keislaman karena kreasi bu- sana Muslim tersebut hanya mengejar nilai-nilai estetika fi- sik. Hallain yang menarik ak- hir-akhir ini, busana Muslim yang dikenakan seseorang di- I jadikan ukuran menakar status sosial, Ironisnya, di pengadilan pun para tersangka mendadak menjadi sangat "religius"mem- pertontonkan dirinya di hadap- an hakim melalui gaya busana Muslim. Barangkali mereka berharap dengan mengenakan busana Muslim citra mereka akan menjadi lebih bersih. Pa- dahal, sebelum tertangkap be- berapa di antaranya sama se- kali tidak pernah tampil de- ngan busana Muslim. Fenomena lainnya, perilaku sementara ulama yang tunduk pada keinginan industri media massa dalam "cara" penyarn- paian syiarnya. Mereka sangat terpaku pada skenario dan arahan sutradara, khususnya media televisi yang sering me- dikte ulamajustaz untuk ber- gaya ala aitis. Atau sebaliknya, beberapa presenter mulai ber- gaya ulama dan oleh televisi mereka digabungkan dalam satu acara sebagai komoditas. Kalau ustaz tidak bergaya se- .If perti keinginan televisi, sang ustaz tidak digunakan lagi. Hal ini biasa terjadi karena cukup banyak ustaz yang "rindu" tarn- pil di televisi dan berusaha me- nyesuaikan diri dengan kebu- .tuhan televisi,bukan menyesu- aikan diri dengan "order" dari Allah.Dalambahasa media, hal ini disebut komodifikasi ustaz dalam perspektif ekonomi poli- tikmedia. Masalah tersebut sebetulnya sering dibahas MU! (Majelis mama Indonesia). Mereka ber- pendapat, selama substansinya tidak menyimpang tidak ma- salah karena realitasnya adaju- ga masyarakafyang gampang menerima tausiah dengan gaya ustaz yang ngepop seperti artis atau artis yang "meng-ustaz". Tentu saja hal ini sah-sah saja. Masalahnya, bukan pada sub- stansi tausiah itu sendiri tetapi lebih pada bagaimana para pe- bisnis menangkap situasi umat Islam yang baru memahami agamanya secara sederhana. Mereka akan mengeksplorasi sikap seperti itu tanpa mengin- dahkan nilai-nilai keagamaan yang hakiki. Akibatnya, yang dirugikan adalah syiar Islam itu .sendiri. Karakternya ber- ubah menjadi hiburan, bukan pendidikan Islam sejati. Tampaknya pemahaman terhadap agama yang kurang pas memang saat ini tumouh subur sebagai komoditas dan ,. , ~njadi bagian dari tren indus- ctgama.Pengelolaan industri agama konteksnya tentu saja pada kelembagaan.ataupun ne- gara. Dalam konteks komodi-" tas ritus agama seperti ibadah haji dan ~mrah, praktiknya J oerubaH menjadi industii pari- wisata yang sangat menyu- burkan biro perjalanan ibadah. Ada lagi fenomena yang tampaknya perlu dikritisi, yaitu iklan-iklan dari lembaga-lem- baga pengumpul zakat. Begitu agresifnya iklan tersebut se-· hingga tampak kurang etis, mi- .' salnya spanduk; Orang Pintar Membayar Zakat di .... (menye- butkan lembaga pemasang ik- lan) selain meniru iklan yang sudah ada, juga menyinggung orang yang tidak membayar za- , kat ke lembaga mereka diang- gap sebagai orang bodoh. Ada juga iklan yang memajang foto yang sangat besar dari seorang pesohor di mobil.lembaga pe- ngumpul zakat tertentu dengan berbagai ajakan untuk memba- . yar zakat di lembaganya. Rasanya hal ini seperti di- paksakan dan kurang bermar- tabat. Negara melegitimasi se- bagai suatu kegiatan yang dini- lai positif dan seolah-olah membantu tugas pemerintah. Nah, di situlah terjadi encoun- ter para ulama artis, artis ula- ma, pengelola lembaga-lemba- ga zakat, biro perjalanan urn- rahjhaji, kreator busana Mus- lim, dan kreator lainnya yang . berkaitan dengan kebutuhan ekspresi umat Islam dengan pebisnis ataupun para pemilik media massa yang menginter-. pretasikan semangat bersede- kah umat Islam, khususnya di bulan Ramadan, seperti yang diajarkan Nabi Muhammad saw, di grass root sebagai la- dang keuntungan yang digarap secara sistematis melalui ma- najemen modern . Kita tidak ingin ada orang yang berindikasi "preman ber- tasbih" atau kelompok sosial tentunya yang berlindung di balik legitimasi negara dengan mengatasnamakan demi ke- pentingan dan kemajuan umat. Untuk itu, dibutuhkan tum- buhnya semangat beragama dengan cerdas dan mencerdas- kan di kalangan umat Islam> *** Iqlplnl Huma. Unpad 2D12

Transcript of 21::: ;~:fa:~Jli~': ·~g;aF··Qt)d)pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/... ·...

Page 1: 21::: ;~:fa:~Jli~': ·~g;aF··Qt)d)pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/... · 2012-08-30 · sarnya.Salahsatunya ditandai dengan lahimya industri bu-sana Muslim dengan

Pikiran Rakyat::::~~!··.•i~~:~~"';,:,~~:~~::i~i~!0~~~'i~:~:~~~'~d;;~;'~f~;'::::~'~=:i~:~~~:,~~;,:,;~li.'";:l1~ ···18..:::·:19.::·· if 0.: ··::2·1:'::"::2':: '-:23;:':' ':24:::':;::2$:": :2!.: .....\21::: : fa:':" ·~gF····~C'" ." .~,::":'.:':~~#.~·::o.ig~~::;i6.;~~f,·.;~o~~i!~~~6M~~;j;~~Jli~;aQt)d)'~~;.~~~::;G.:~~~;~:·;~;~;t.·:::Q.~~~::;:b~~:~:::.;'. . _...' .. .. , . : .""" ~:' : , :.. .: ::: : : ::::': .. ' :;':' :··.i.:~$'"

..

I

Potret UIllat Islam ""I(iwa~i'"

SUDAH agak lama sayaamati berbagai fenome-na berkaitan dengan pe-

rilaku umat Islam di Indonesiadalam mengekspresikan iden-titasnya sebagai Muslim. Seba-gai contoh, zikir massal dantablig akbar yang sangat digan-drungi berbagai kalangan. Ke-giatan ini sangat positifkarenamerupakan ritus yang dicon-tohkan para ulama terdahulu.Namun, apabila dilihat dari

perspektifbudaya massa (massculture), suburnya kegiatan ter-sebut pada masyarakat kitaakan memicu suburnya polahidup konsumtif dan hedonis.Dalam situasi seperti ini harusdicermati lebih hati-hati karenaacapkali momen ini digunakanpebisnis untuk mengeksploitasinilai-nilai keagamaan sedemi-kian rupa untuk mengeruk ke-untungan finansial sebesar-be-sarnya. Salah satunya ditandaidengan lahimya industri bu-sana Muslim dengan berbagaiaksesorinya yang sangat men-janjikan bagi industri kreatifJika ditelisik dari kacamata

kaidah agama, sebagian besarbusana tersebut tidaklah berni-lai keislaman karena kreasi bu-sana Muslim tersebut hanyamengejar nilai-nilai estetika fi-sik. Hallain yang menarik ak-hir-akhir ini, busana Muslimyang dikenakan seseorang di-

I

jadikan ukuran menakar statussosial, Ironisnya, di pengadilanpun para tersangka mendadakmenjadi sangat "religius"mem-pertontonkan dirinya di hadap-an hakim melalui gaya busanaMuslim. Barangkali merekaberharap dengan mengenakanbusana Muslim citra merekaakan menjadi lebih bersih. Pa-dahal, sebelum tertangkap be-berapa di antaranya sama se-kali tidak pernah tampil de-ngan busana Muslim.Fenomena lainnya, perilaku

sementara ulama yang tundukpada keinginan industri mediamassa dalam "cara" penyarn-paian syiarnya. Mereka sangatterpaku pada skenario danarahan sutradara, khususnyamedia televisi yang sering me-dikte ulamajustaz untuk ber-gaya ala aitis. Atau sebaliknya,beberapa presenter mulai ber-gaya ulama dan oleh televisimereka digabungkan dalamsatu acara sebagai komoditas.Kalau ustaz tidak bergaya se-

.If

perti keinginan televisi, sangustaz tidak digunakan lagi. Halini biasa terjadi karena cukupbanyak ustaz yang "rindu" tarn-pil di televisi dan berusaha me-nyesuaikan diri dengan kebu-. tuhan televisi, bukan menyesu-aikan diri dengan "order" dariAllah.Dalam bahasa media, halini disebut komodifikasi ustazdalam perspektif ekonomi poli-tikmedia.Masalah tersebut sebetulnya

sering dibahas MU! (Majelismama Indonesia). Mereka ber-pendapat, selama substansinyatidak menyimpang tidak ma-salah karena realitasnya adaju-ga masyarakafyang gampangmenerima tausiah dengan gayaustaz yang ngepop seperti artisatau artis yang "meng-ustaz".Tentu saja hal ini sah-sah saja.Masalahnya, bukan pada sub-stansi tausiah itu sendiri tetapilebih pada bagaimana para pe-bisnis menangkap situasi umatIslam yang baru memahamiagamanya secara sederhana.Mereka akan mengeksplorasisikap seperti itu tanpa mengin-dahkan nilai-nilai keagamaanyang hakiki. Akibatnya, yangdirugikan adalah syiar Islamitu .sendiri. Karakternya ber-ubah menjadi hiburan, bukanpendidikan Islam sejati.Tampaknya pemahaman

terhadap agama yang kurangpas memang saat ini tumouhsubur sebagai komoditas dan ,., ~njadi bagian dari tren indus-

ctgama.Pengelolaan industriagama konteksnya tentu sajapada kelembagaan.ataupun ne-gara. Dalam konteks komodi-"tas ritus agama seperti ibadahhaji dan ~mrah, praktiknyaJ

oerubaH menjadi industii pari-wisata yang sangat menyu-burkan biro perjalanan ibadah.Ada lagi fenomena yang

tampaknya perlu dikritisi, yaituiklan-iklan dari lembaga-lem-baga pengumpul zakat. Begituagresifnya iklan tersebut se-·hingga tampak kurang etis, mi- .'salnya spanduk; Orang PintarMembayar Zakat di.... (menye-butkan lembaga pemasang ik-lan) selain meniru iklan yangsudah ada, juga menyinggungorang yang tidak membayar za- ,kat ke lembaga mereka diang-gap sebagai orang bodoh. Adajuga iklan yang memajang fotoyang sangat besar dari seorangpesohor di mobil.lembaga pe-

ngumpul zakat tertentu denganberbagai ajakan untuk memba- .yar zakat di lembaganya.Rasanya hal ini seperti di-

paksakan dan kurang bermar-tabat. Negara melegitimasi se-bagai suatu kegiatan yang dini-lai positif dan seolah-olahmembantu tugas pemerintah.Nah, di situlah terjadi encoun-ter para ulama artis, artis ula-ma, pengelola lembaga-lemba-ga zakat, biro perjalanan urn-rahjhaji, kreator busana Mus-lim, dan kreator lainnya yang .berkaitan dengan kebutuhanekspresi umat Islam denganpebisnis ataupun para pemilikmedia massa yang menginter-.pretasikan semangat bersede-kah umat Islam, khususnya dibulan Ramadan, seperti yangdiajarkan Nabi Muhammadsaw, di grass root sebagai la-dang keuntungan yang digarapsecara sistematis melalui ma-najemen modern .Kita tidak ingin ada orang

yang berindikasi "preman ber-tasbih" atau kelompok sosialtentunya yang berlindung dibalik legitimasi negara denganmengatasnamakan demi ke-pentingan dan kemajuan umat.Untuk itu, dibutuhkan tum-buhnya semangat beragamadengan cerdas dan mencerdas-kan di kalangan umat Islam>***

Iqlplnl Huma. Unpad 2D12