2.1 Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga · 28 lagi dengan definisi dari Dictionary of...
Transcript of 2.1 Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga · 28 lagi dengan definisi dari Dictionary of...
26
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga (family business) adalah suatu perusahaan yang pemegang saham
mayoritasnya adalah sebuah keluarga, dan posisi pengelola (manajemen) dikuasai oleh anggota
keluarga serta diharapkan keturunan keluarga tersebut mengikuti jejak mereka nantinya sebagai
pengelola (Rock, 1991). Sementara Aronoff & Ward (1995) menyatakan suatu perusahaan
dinamakan perusahaan keluarga jika terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi
keuangan perusahaan, sementara Donnelley (1988) menyatakan suatu organisasi digolongkan
perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan
mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan.
Perusahaan keluarga biasanya didirikan, dipimpin dan dikelola oleh anggota keluarga,
walaupun sebagian dari perusahaan keluarga dewasa ini telah dikelola oleh para profesional yang
berasal dari luar keluarga. Kalau ditinjau dari sisi arti kata, “keluarga” dan “bisnis” sejatinya
adalah dua hal yang berbeda, sebab masing-masing merupakan sistem yang mempunyai
elementersendiri. Keluarga sebagai sistem lebih bersifat emosional, karena disatukan oleh ikatan
mendalam yang mempengaruhinya dalam berbisnis, diantaranya adalah keluarga sangat
menjunjung tinggi loyalitas dan nurturing (pemeliharaan) usahanya. Selain itu keluarga juga
cenderung konservatif, meminimalisir perubahan untuk menjaga mereka agar intact (utuh).
Dengan kata lain, orientasi keluarga lebih ke dalam (inward looking). Sementara itu, bisnis
berbasiskan pekerjaan yang berorientasi pasar dan mengambil peluang dari setiap perubahan
sekecil apapun.
27
Carsrud (2004) menyatakan perusahaan keluarga adalah usaha yang dimiliki dan
mayoritas aturan yang dijalankan oleh usaha itu dibuat oleh anggota dari kelompok yang terikat
secara emosional. Sementara itu, IFCCorporate Governance (2008) menyatakan perusahaan
keluarga adalah perusahaan dimana mayoritas suara ada pada keluarga dalam mengatur jalannya
bisnis. Menurut Centre for labour Reseach (2005) sebuah bisnis yang mana kepemilikan dan
manajemennya dikuasai oleh anggota keluarga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak definisi
perusahaan keluarga disampaikan, kebanyakan berfokus pada beberapa faktor yang melingkupi
perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen dan keinginan untuk melestarikan
suksesi antar generasi.
Banyak peneliti sependapat bahwa keterlibatan keluarga dalam perusahaan membuat
bisnis keluarga menjadi berbeda dibanding dengan perusahaan non keluarga (Miller & Le
Breton-Miller, 2006). Pendapat hampir senada juga dikemukakan oleh Bernard (1995:42) yang
mengatakan bahwa bisnis keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal, khususnya
dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang penting.
Beberapa peneliti mengintepretasikan keterlibatan keluarga dalam hal kepemilikan dan
manajemen (Handler, 1990). Sementara itu Churchill & Hatten (2007) lebih cenderung
menambahkan faktor keberadaan keluarga pada saat terjadinya suksesi yang berasal dari dalam
anggota keluarga. Selanjutnya Carsrud (2004) memaparkan bahwa perusahaan keluarga adalah
bisnis yang benar-benar dimiliki oleh keluarga dan pembuatan dan pengambilan kebijakan
perusahaan didominasi oleh anggota keluarga.
Menurut Handoyo (2010), perusahaan keluarga atau family business merupakan bisnis
yang dimiliki dan/atau dikelola oleh sejumlah orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, baik
suami-istri maupun keturunannya, termasuk hubungan persaudaraan. Definisi ini diperlengkapi
28
lagi dengan definisi dari Dictionary of Law (2000) yang menyatakan bahwa perusahaan keluarga
adalah perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh anggota keluarga yang sama.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW),
persaudaran dalam keluarga ada empat golongan. Golongan pertama ialah keluarga dalam garis
lurus ke bawah (anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami/ isteri. Golongan kedua,
terdiri atas keluarga dalam garis lurus ke atas (orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun
perempuan, serta keturunan mereka). Golongan ketiga terdiri atas kakek, nenek, dan leluhur
selanjutnya ke atas. Golongan keempat terdiri dari anggota keluarga dalam garis ke samping dan
sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Penggolongan semacam ini lazimnya terkait
dengan urutan keutamaan dalam pewarisan.
Chua, et al. (1999) lebih jauh menjelaskan definisi perusahaan keluarga berdasar studi
empiris, dengan menelaah lebih dari 250 makalah dan artikel ilmiah dalam kelompok literatur
perusahaan keluarga serta melakukan beberapa kali wawancara dengan manajemen perusahaan
keluarga, mereka menyimpulkan bahwa hanya bisnis yang dimiliki oleh keluarga secara penuh
saja yang bisa disebut perusahaan keluarga. Termasuk didalam pengertian perusahaan keluarga
adalah manakala beberapa saudara kandung dan saudara ipar ikut memiliki dan mengelola bisnis
tersebut, namun mereka tidak mengelola perusahaan lainnya diluar perusahaan itu serta beberapa
keputusan seringkali dipengaruhi oleh pasangan (suami/istri) dan anak-anak.Oleh karenanya,
definisi perusahaan keluarga seringkali berdasar komponen yang mempengaruhinya bukan pada
hal-hal yang termasuk esensinya, termasuk visi yang dibawa oleh keluarga atau sebagian kecil
anggota keluarga. Seharusnya definisi perusahaan keluarga dibangun berdasar tujuan dari
kondisi dominan yang membentuk dan bagaimana mencapai visi melampaui beberapa generasi.
Menurut Susanto et al. (2007) perusahaan keluarga terbagi menjadi dua tipe, yaitu:
29
1. Family Owned Enterprise (FOE), yaitu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga, namun
dikelola oleh profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Peran keluarga hanya
sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam operasi di lapangan.
2. Family Business Enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga
pendirinya. Ciri perusahaan tipe ini adalah posisi-posisi kunci dalam perusahaan dipegang
oleh anggota keluarga.
Sementara menurut Westhead (1997), ciri-ciri perusahaan keluarga pada umumnya
adalah: (1) dimiliki oleh kelompok keluarga tunggal yang dominan dengan jumlah
kepemilikan saham lebih dari 50%; (2) dirasakan sebagai perusahaan; dan (3) dikelola oleh
orang-rang yang berasal dari keluarga pemilik mayoritas saham. Hal tak jauh berbeda dinyatakan
oleh Tugiman (1995) yang menyatakan ciri-ciri perusahaan keluarga dalam konteks usaha kecil
adalah (1) posisi kunci dipegang keluarga; (2) keuangan perusahaan cenderung berbaur dengan
keuangan keluarga; (3) tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban yang ketat, (4) motivasi
kerja tinggi; (5) tidak adanya kekhususan dalam manajemen. Memang dengan cirri-ciri tersebut,
perusahaan keluarga sangat lentur terhadap perubahan lingkungan. Hal itulah yang menjadi
alasan utama sebuah perusahaan keluarga cepat beradaptasi dan menemukan bentuk bisnis yang
cocok, sehingga dengan segera dapat meraih peluang sekaligus dapat mengatasi kendala yang
ada. Keluwesan dan kecepatan menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah itu menyebabkan
keberhasilan dan sekaligus kegagalan perusahaan keluarga. Seringkali keluwesan itu
menyebabkan tumpang tindih tugas dan peran yang justru merupakan sumber konflik (Dyer,
1988; Kepner, 2001; Lansberg, 1999).
Pada titik ekstrim yang lain, karakteristik perusahaan keluarga, justru membuat
perusahaan keluarga memilih strategi konservatif, bermain aman, serta bermain pada pasar yang
30
kurang kompetitif yang pertumbuhannya lambat (Davis & Stern, 1998). Sementara itu Donckels
&Frohlich (2009) setelah membandingkan banyak perusahaan keluarga di delapan negara Eropa
menemukan bukti bahwa perusahaan keluarga secara konsisten menunjukkan jaringan yang lebih
terbatas, kurang kerjasama, berkolaborasi atau melakukan sub-kontrak dengan perusahaan lain.
Berdasarkan hal itu, Perry (2000) berani menyimpulkan bahwa sebagai konsekuensinya
perusahaan keluarga tidak bisa memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi, cenderung tidak
stabil dan tidak dinamis. Kondisi persusahaan keluarga di Eropa itu cukup berbeda dengan
kondisi perusahaan keluarga di Asia Timur dan Tenggara, khususnya Cina, dengan ciri-cirinya
yang cenderung dinamis, pengambilan keputusan cepat dan tidak bertele-tele karena didasari
oleh kepercayaan (trust) sebagai dasar untuk hidup selamanya, mempunyai hubungan personal
yang erat dengan seluruh karyawan dengan menabrak tingkatan manajemen.
Harianto (1997) menyatakan kondisi tersebut kondusif bagi perkembangan perusahaan
keluarga. Berdasar kepercayaan itu, selain keputusan lebih cepat diambil, juga memupuk disiplin
dan budayaamanah. Dengan menghilangkan jenjang manajemen yang ada, menempatkan setiap
karyawan pada posisi yang setara dengan karyawan yang lain apapapun jabatannya, sehingga
menimbulkan komitmen yang lebih kuat. Hal ini juga memungkinkan pemilik memiliki “jendela
yang dipercayai” dengan mana monitor perusahaan berjalan efektif,inilah yang menyebabkan
kohesi yang diperoleh perusahaan keluarga orang-orang Cina membuatnya responsif pada
peluang baru yang cocok dengan visi personal pemilik.
Gersick et al. (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga (3) elemen pengaruh dalam bisnis
keluarga, seperti terlihat dalam gambar 2.1. Berdasarkan gambar 2.1, keberhasilan dalam
keluarga diukur dalam artian keharmonisan, kesatuan, dan perkembangan individu yang bahagia
dengan harga diri yang solid dan positif, sementara bisnis adalah entitas ekonomi dimana
31
keberhasilan diukur bukan pada harga diri dan kesenangan interpersonal individu, tetapi dalam
produktivitas dan profesionalisme.
Gambar 2.1
The Three-Circle Model (Gersick et al. 1999: 287)
Dalam perusahaan keluarga, ketiga elemen tersebut bercampur menjadi satu bahkan
batas-batas diantara ketiganya kabur dan tak tampak. Banyak fungsi menjadi tumpang tindih
sehingga sering terjadi ketegangan hubungan, tetapi banyak hal menunjukkan bahwa kesuksesan
bisnis keluarga dimulai dari kaburnya batas-batas itu. Berikut adalah matriks aturan hubungan
dalam bisnis keluarga yang tertuang dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 mempertegas aturan hubungan
yang menjamin dinamika bisnis keluarga tetap dalam posisi menguntungkan, dimana ada lima
indikator yang digunakan untuk mengelaborasi antara keluarga, bisnis dan kepemilikan.
KELUARGA BISNIS
KEPEMILIKAN
32
Tabel 2.1.
Matriks Aturan Hubungan Bisnis Keluarga
Indikator Keluarga Bisnis Kepemilikan
Mengukur
Keberhasilan
Harmoni Produksi ROI dan ROS
(responsibility
of stewardship)
Otoritas Kesetaraan Tidak setara Keduanya
(setara dan tidak
setara
Penghargaan
Finasial
Berdasarkan
Keperluan
Berdasarkan
Produktivitas
Berdasarkan apa
yang diambil
dan yang
ditinggalkan.
Lokus Pentingnya Individual
aspirasi
Tujuan Profitabilitas
Aturan Inklusi Penerimaan
tanpa kondisi
Tergantung pada
kondisi
Berhak ataukah
diperoleh
Sumber : Davis & Tagiuri (1989).
2.2. Teori Perusahaan Keluarga
Poza (2007) menyatakan bahwa hingga saat ini ada dua teori yang digunakan sebagai
dasar penelitian perusahaan keluarga, yaitu Teori Sistem Perusahaan Keluarga (The System
Theory of Family Business) dan Teori Keagenan (Agency Theory). Teori Sistem perusahaan
keluarga dipakai untuk menjelaskan fenomena interaksi antar subsistem dalam perusahaan
keluarga, sedangkan Teori Keagenan digunakan untuk menjelaskan perilaku agen dalam
menyikapi biaya yang timbul akibat adanya informasi yang tidak simetris. Rogoff & Heck
(2003) menyatakan bahwa penelitian terdahulu tentang perusahaan keluarga sebagian besar
menggunakan Teori Sistem Perusahaan Keluarga.
Teori Sistem perusahaan keluarga yang dalam hal ini disebut dengan Teori Sistem adalah
pendekatan teori yang pertama kali dipakai para peneliti dalam perusahaan keluarga (Poza,
2007). Dalam teori ini, perusahaan digambarkan sebagai tiga unsur yang tumpang tindih, saling
berinteraksi dan interdependen antara tiga subsistem, yakni keluarga, manajemen dan
33
kepemilikan, sebagaimana tersaji pada Gambar 2.2. Dapat dijelaskan bahwa, posisi 1 merupakan
posisi pendahulu yang sekaligus sebagai pengelola perusahaan. Posisi 2,3 dan 4 merupakan
anggota keluarga dan kerabat yang ikut terlibat aktif dalam pengelolaan dan kepemilikan
perusahaan. Posisi 5 dan 6 berturut-turut adalah pendahulu dan anggota keluarga yang tidak aktif
dalam manajemen, sedangkan posisi 7 adalah manajer yang berasal dari bukan keluarga. Dalam
Teori Sistem, agar organisasi berkinerja secara optimal, maka masing-masing subsistem harus
terintegrasi sehingga terjadi penyatuan fungsi seluruh sistem seperti yang terlihat pada gambar
2.2.
Gambar 2.2.
Model Teori Sistem Perusahaan Keluarga (Poza,2007,p.9)
Sharma (2004) meyatakan bahwa sebagaimana pada kebanyakan ilmu sosial lainnya,
tujuan utama penelitian di bidang perusahaan keluarga adalah untuk mengembangkan teori-teori
perusahaan keluarga. Titik awal untuk mencapai tujuan utama tersebut menurut peneliti ini
adalah dengan cara menguji kembali teori-teori yang sudah ada pada pidang kajian keluarga dan
organisasi.
Ownership 5
5
2
1
3
Family Management
6
7
4
34
2.3.Suksesi Perusahaan Keluarga
Suksesi merupakan perihal yang penting dalam kesinambungan perusahaan (corporate
sustainable), terutama setelah pengelolaan perusahaan dialihkan dari generasi pendahulu ke
generasi berikutnya. Ketidakberhasilan dalam pergantian pengelolaan akan berpengaruh pada
perkembangan dan kinerja, oleh karenanya suksesi pengelolaan merupakan hal penting untuk
direncanakan secara matang. Fleming (2000) membagi suksesi menjadi dua tipe yakni suksesi
secara evolusi (evolutionary succession) dan suksesi secara revolusi (revolutionary succession)
di mana evolutionary succession merupakan suksesi yang didorong dan dikendalikan secara
intenal. Perusahaan telah mampu mengantisipasi dan meminimalkan masalah-masalah suksesi
yang mungkin timbul selain itu juga dapat memaksimalkan potensi keuntungan. Secara umum
suksesi tipe ini didorong oleh keinginan pemilik untuk melakukannya.
Sementara suksesi yang dilakukan secara revolusi biasanya dilakukan atas desakan
eksternal, seperti pimpinan lama mendadak tidak mampu atau tidak lagi bisa memimpin atau atas
desakan-desakan lainnya. Suksesi jenis ini biasanya tidak direncanakan dengan baik, hanya
melibatkan sebagian kecil pihak-pihak dalam perusahaan, tidak memiliki sistem pembinaan dan
pengembangan suksesor yang baik dalam arti kata suksesor berkembang sendiri tanpa arahan
yang jelas, seleksi dilakukan tanpa adanya ukuran-ukuran yang memadai sehingga setiap
suksesor merasa berhak untuk menggantikan pimpinan lama. Suksesi tipe ini dapat dipastikan
akan menimbulkan kerusakan dalam organisasi pada sekala yang berbeda-beda
Seperti yang diungkapkan oleh Sharma (2004) suksesi kepemimpinan perusahaan
memegang peranan yang penting dalam keberlanjutan perusahaan keluarga. Sementara suksesi
perusahaan keluarga dapat didefinisikan sebagai penyerahan pengelolaan dari pemilik-pendiri
35
atau pemilik-pengelola (incumbent) kepada seorang suksesor, baik merupakan anggota keluarga
maupun bukan anggota keluarga yaitu seorang pengelola profesional (Beckhard & Dyer, 1988).
Handler (1990) dalam artikelnya mendeskripsikan suksesi sebagai suatu transisi yang
terdiri dari empat tahap yang terjadi pada karir suksesor. Proses ini dideskripsikan sebagai suatu
penyesuaian peran informal yang lambat, berkaitan dengan suatu evolusi tanggung jawab dan
otoritas pembuatan keputusan untuk suksesor (from helper, to manager, to leader), yang
berhubungan dengan turunnya otoritas incumbent.Transisi dalam perusahaan keluarga
sebenarnya menyangkut pengalihan kepemilikan, pengalihan manajemen dan pengalihan aturan-
aturan (governance). Oleh karenanya penting untuk mengetahui bagaimana perusahaan keluarga
mengatur pengalihan-pengalihan ini (Lambrecht, 2005).
Dalam perencanaan jangka panjang perusahaan keluarga, ada model yang dikenal dengan
nama continuity planning triangle, tampak pada Gambar 2.4. Berdasarkan Gambar 2.4,
perencanaan suksesi kepemimpinan (leadership and ownership succession planning) memiliki
keterkaitan dengan perencanaan kepemilikan saham perusahaan, perencanaan keuangan dan
kekayaan keluarga dan perencanaan strategis perusahaan (business strategy planning).
Perencanaan kepemilikan saham perusahaan dapat berupa rencana untuk menjual saham kepada
masyarakat (going public), rencana untuk mencari mitra strategis dan rencana pendistribusian
saham kepada anggota keluarga.Sementara itu perencanaan keluarga (family plan) dapat berupa
rencana keuangan dan kekayaan keluarga serta rencana-rencana individu termasuk didalamnya
rencana dari individu suksesor. Sedangkan suksesi itu sendiri terdiri dari perencanaan suksesi
(succession plan) dan proses suksesi (succesion process).
36
Gambar 2.4.
Continuity Planning Triangle (Ward, 2004)
Keberhasilan dalam menggabungkan unsur-unsur kepemilikan, perusahaan dan keluarga,
dalam perusahaan keluarga ditujukan untuk meningkatkan kinerja (performance), daya saing
yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage/SCA) serta kepuasan dari para pihak
(stakeholder satisfaction) yang selaras dengan rencana keluarga yang berkesinambungan (family
continuity planning).
Banyak perusahaan keluarga yang tidak siap dengan pergantian kepemimpinan, sehingga
perusahaan tersebut harus terhenti di generasi pertama saja, seperti dalam kasus Surabaya Post,
harian terkemuka yang terbit di Surabaya dengan cakupan wilayah edar seluruh Jawa Timur.
Meskipun putra-putri pendiri (R. Abdul Azis dan istrinya) bersekolah tinggi di Amerika Serikat
dengan gelar doktor ekonomi, tetapi tidak bisa menyelamatkan perusahaan, sehingga harus
dipailitkan oleh Pengadilan Niaga di tahun 2002. Berbeda dengan Surabaya Post, Thayeb
Mohammad Gobel, pendiri PT Gobel Dharma Nusantara (dahulu PT. National Gobel),
menyiapkan Rachmat Gobel, anak kelima dan anak lelaki tertua. Gobel tua telah menyiapkan
Rachmat sejak usia 8 tahun dengan sesering mungkin dilibatkan dalam suasana kantor dan
pabrik di kawasan Cawang, Jakarta. Selain itu Rachmat juga disekolahkan bisnis di Jepang
Estate & Personal
Financial Planning
Family
Continuity
Planning
Business Strategy
Planning
Leadership & Ownership
Succession Planning
37
(Chuo University), selain menjalani kerja magang di perusahaan keluarganya sendiri. Selepas
dari kuliahnya di Jepang, Rachmat harus menjalani masa 6 tahun dengan bekerja mulai dari
bawah sampai akhirnya memegang tampuk Direktur pada tahun 1990. Keputusan
menyekolahkan Rachmat ke Jepang adalah visi cemerlang Gobel tua.
Kasali (2008) menguatkan keberhasilan peralihan kepemimpinan perusahaan keluarga
Gobel tersebut di PT Mustika Ratu Tbk dari BRA Mooryati Soedibyo kepada anaknya Putri
Koeswisnu Wardani yang juga didahului dengan mekanisme pemagangan yang sungguh-
sungguh. Proses pemagangan itu dijalaninya selama 5 tahun, dengan melibatkan pada pekerjaan
yang berbeda-beda. Mulai dari bekerja di bagian pemasaran, kemudian pindah ke bagian
keuangan, dengan perlakuan yang sama dengan karyawan biasa yang lain. Untuk menghindari
terjadi tumpang tindih peran, dan adanya kemungkinan “gangguan” dari anggota keluarga yang
lain, maka sang Ibu memberikan tugas yang berbeda kepada anak-anak yang tidak kebagian
tongkat suksesi.
Bagi pendiri perusahaan keluarga, keberhasilan dalam suksesi adalah salah satu ujian
akhir dalam mengukur keberhasilan bisnis yang dijalankannya. Adalah sulit untuk memahami,
mengapa suksesi seringkali merupakan isu yang peka, khususnya bagi perusahaan keluarga pada
generasi pertama. Orang yang mendirikan dan membesarkan, merasa sedih untuk mati, dan
kegagalan membuat rencana suksesi merupakan hal yang egois dan kurang cerdas (Tracey,
2001). Adalah hal yang tak bisa diabaikan apabila karena penanganan suksesi yang buruk,
akhirnya memberi peluang bagi pesaing untuk mendapat keuntungan yang signifikan.
Carsrud (2004) menyarankan beberapa hal untuk rencana suksesi perusahaan keluarga
yang berhasil di antaranya adalah: (1) penyusunan harapan tentang masing-masing tugas dan
peran secara jernih; (2) pemberian gaji berbasis kinerja aktual, bukan berdasar kebutuhan
38
personal; (3) pengaturan waktu untuk supervisi, pemantauan, dan saran bagi mentor yang bukan
keluarga; (4) menyediakan tanggung jawab yang sesungguhnya atas kinerja yang sesungguhnya;
(4) pemutaran penugasan untuk periode yang berarti; dan (5) menyediakan prosedur tertulis bagi
anggota keluarga yang ingin meninggalkan perusahaan keluarga.
Menyangkut suksesi dalam perusahaan keluarga, Neuberger & Lank (1998)
menyimpulkan bahwa suksesi CEO (chief executive officer) atau pimpinan puncak, sejauh ini
merupakan isu yang paling sering dibicarakan dan faktor kritis yang menentukan apakah suatu
perusahaan keluarga dapat bertahan. Sementara itu, Moores & Barrett (2002) menyatakan bahwa
kesinambungan dari bisnis keluarga adalah sangat tergantung dari keberhasilan dalam suksesi,
maka tidak bisa dipungkiri bahwa masa depan perusahaan keluarga tergantung pada keberhasilan
suksesi. Perusahaan keluarga seringkali menghadapi masalah dalam pengelolaan suksesi ketika
pendiri bisnis atau generasi pengelola saat ini telah begitu lama mengelola perusahaan
keluarganya dan mendekati masa pensiun. Jika generasi sesudahnya mengambil alih manajemen,
ada kemungkinan terdapat kesenjangan antara kepemilikan dengan kemampuan mengendalikan
bisnis yang memerlukan ketrampilan dan kerja keras dalam memelihara dan
mempertanggungjawabkan perusahaan keluarganya. Di sisi lain, generasi tua sulit untuk
menerima kenyataan bahwa ketuaannya dan dominansi patriarkal sudah tidak bisa diterima atau
tidak sesuai lagi.
Mengacu pada permasalahan kepemilikan dan pengendalian, Connolly et al. (1996:177)
merekomendasikan sebanyak 30% dari kepemilikan yang dipindahkan kepada generasi yang
lebih muda bertujuan agar generasi yang lebih muda bersemangat dalam mengelola dan
memajukan perusahaan keluarga namun bagi generasi yang lebih tua merasa aman dan tanpa
rasa khawatir atas kelajutan bisnisnya di perusahaan keluarga. Menurut Saerang (2012) ada
39
empat prinsip keberhasilan bisnis keluarga, yakni (1) komitmen bersama untuk masa depan
keluarga dan bisnis, (2) pertemuan bersama untuk memecahkan konflik dan menjaga
komunikasi, (3) family agreement untuk mendukung fair process dalam menjalankan bisnis, dan
(4) perencanaan yang berkelanjutan.
Craig (2003) dalam penelitiannnya menemukan beberapa hal, yaitu: (1) Generasi pendiri
mempunyai derajat individualitas dan kepercayaan (self-belief) yang lebih tinggi dibanding
generasi kedua atau ketiga dari perusahaan keluarga; dan (2) Generasi pendiri berbeda secara
signifikan dengan generasi ketiga (tapi tidak dengan generasi kedua) pada masalah-masalah
pelaksanaan (direction) dan perencanaan (planning).
Ketika proses suksesi sedang berjalan, hal terpenting untuk diingat adalah seharusnya
terdapat uji coba terlebih dahulu untuk mengukur ketepatan suksesor (pengganti) dalam hal
peraturan terdahulu dengan kebiasaan yang berjalan. Terdapat beberapa uji, menurut Lansberg
(2007) seperti uji kualifikasi (qualifying test), uji ketabahan (self-imposed test), uji loyalitas
(circumference test), dan uji politis (political test).
Secara umum, menurut Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusis Institut
Teknologi Bandung (2004), beberapa hal yang menjadi faktor penentu kesuksesan suatu bisnis
diantaranya adalah: (1) adanya strategi yang jelas (strategic intent); (2) diterapkan good
corporate govenance; (3) kecukupan pendanaan (funding); (4) adanya rencana bisnis (business
plan); (5) adanya kerjasama yang baik antar staf dalam bisnis tersebut (management team); (6)
pelaksanaan (goodexecution) program yang baik dan (7) waktu yang tepat (timing). Diantara
ketujuh faktor tersebut, faktor yang paling utama dan perlu menjadi perhatian adalah adanya
strategic intent. Suatu perusahaan dikatakan mampu memperlihatkan strategic intent, jika
manajemennya tetap konsisten dengan tujuan tertentu dalam jangka panjang sesuai dengan visi
40
dan misinya serta mengkonsentrasikan seluruh tindakannya dalam mencapai tujuan tersebut.
Tidak adanya strategic intent akan mendorong manajemen hanya sekadar berpikir dan bertindak
dalam jangka pendek dan mengabaikan kepentingan jangka panjang. Padahal, bisnis yang kokoh
sudah pasti memerlukan waktu yang cukup lama. Sangat jarang namun tidak mustahil bahwa
suatu bisnis dapat sukses seketika. Semuanyaakan memerlukan waktu dan proses dan tentu saja
pengorbanan.
Perusahaan yang berkesinambungan sangat ditentukan oleh bagaimana perusahaan
tersebut mengelola dan mengimplementasikan konsep-konsep bisnisnya. Namun demikian,
beberapa identifikasi menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menjadi
penyebab berkesinambungannya sebuah perusahaan (De Geus, 1997) yaitu :
1. Memiliki sensitivitas terhadap lingkungan.Perusahaan yang berkesinambungan adalah
perusahaan yang memiliki sensitivitas terhadap lingkungan. Meskipun perusahaan yang
bersangkutan melakukan pengkajian dan pengembangan teknologi, atau memiliki
sumberdaya alam yang banyak mereka akan tetap menjaga harmonisasi dan kestabilan
lingkungan. walau perang, depresi dan bahkan dinamika politik, perusahaan akan tetap
unggul, apabila tetap menjaga keseimbangan lingkungan bisnisnya. Artinya bahwa,
lingkungan internal dan eksternal perusahaan tersebut telah dapat dikendalikan dengan
sebaik mungkin, dan hal ini membuktikan eksistensi yang kuat dari perusahaan yang
bersangkutan. Terlepas dari apakah keuntungan perusahaan dibangun di atas pengetahuan
atau sumberdaya alam tadi, mereka hidup dan adaptif terhadap lingkukngan sekitarnya.
2. Menjaga nama besar serta memiliki kohesivitas/keterikatan yang kuat terhadap identitasnya.
Perusahaan yang berkesinamabungan adalah perusahaan menjaga nama besar serta memiliki
kohesivitas/keterikatan yang kuat terhadap identitasnya.Tidak peduli berapa luasnya
41
diversifikasi usaha yang dijalankan perusahaan, manajemen, karyawan bahkan mitra
bisnisnya merasakan berada dalam satu entitas. Tiap generasi (pengelola perusahaan) merasa
dihubungkan oleh rantai kesehatan perusahaan. Keanekaragaman yang terdapat dalam
lingkungan internal dan eksternal perusahaan telah dapat dikelola dengan baik. Hal ini akan
turut membentuk suatu kesatuan yang akan mendorong kekuatan perusahaan dalam
persaingannya.
3. Memiliki toleransi dan menghindari suatu kontrol yang terpusat.Perusahaan yang
berkesinambungan memiliki toleransi dan menghindari suatu kontrol yang terpusat, ditangan
satu orang entah itu eksekutif maupun owner, melainkan selalu berusaha mengembangkan
desentralisasi dan pembagian wewenang sesuai konsep bisnis yang dikembangkannya.
Dalam hal ini terjadi, dengan alasan bahwa suatu toleransi dan kontrol yang terpusat
cenderung mendorong perusahaan menjadi otoriter dan akan banyak muncul kontradiktif
akibat instruksinya yang mutlak. Selain itu, desentralisasi yang dilakukan bertujuan untuk
memberikan kebebasan dalam pengembangan variasi dan inovasi dalam perusahaan yang
bersangkutan.
4. Memiliki sikap konservatif terhadap aspek keuangan.Perusahaan yang berkesinambungan
adalah perusahaan yang memiliki sikap konservatif terhadap aspek keuangan. Perusahaan
model ini memiliki pertimbangan bahwa jika mereka memiliki uang di kas, mereka akan
dapat beraktivitas secara fleksibel dan akan lebih banyak mengajukan pilihan dalam
berbisnis dibandingkan pesaingnya. Artinya mereka tidak menngatur resiko keuangan jika
tidak perlu sama sekali.
Perusahaan yang sanggup untuk tetap eksis dan sustainable sebagai sebuah living
company adalah perusahaan yang memiliki pemimpin yang visioner. Perusahaan model ini tidak
42
terlalu mengagungkan maksimalisasi kekayaan pemegang saham, meskipun diakui bahwa
profitabilitas adalah suatu keharusan sebagai sarana perusahaan untuk tetap eksis. Namun
profit/laba bukan segalanya, begitu pun dengan konsep bisnisnya bukan hanya sekedar kegiatan
ekonomi, namun cenderung mengutamakan kepentingan stakeholder, termasuk karyawan.
Untuk bisnis keluarga, salah satu kelemahannya adalah sering adanya perbedaan
kepentingan bisnis dan keluarga yang sarat akan konflik. Konflik tersebut menjadi pemicu
keretakan bisnis keluarga yang berimbas pada keberlangsungan bisnis. International Finance
Corporation (IFC) Corporate Governance (dalam Susanto, 2007) menyatakan hanya 5–15%
bisnis keluarga yang sukses melanjutkan bisnisnya hingga generasi ketiga. Meskipun banyak hal
lain yang dapat memicu terganggunya bisnis hingga harus ditutup, seperti manajemen yang
buruk dan keterbatasan modal, harmonisasi keluarga tetap menjadi hal yang sangat dipertaruhkan
jika terjun ke ranah bisnis keluarga. Sementara kelemahan yang sering dimiliki oleh perusahaan
keluarga di Indonesia salah satunya adalah kelemahan pola pengembangan, pengelolaan, dan
persiapan suksesi untuk jangka panjang.
Di Amerika Serikat bahkan beberapa perusahaan yang merupakan bisnis keluarga
berkembang pesat selama ratusan tahun dan membesar bersamaan dengan alih generasi yang
dikarenakan keberhasilan dalam suksesi, seperti Bloomberg & Co berdiri tahun 1836, Levi
Straus berdiri tahun 1853, The Lyman Farm berdiri tahun 1771, Miller Farm berdiri tahun 1684
dan masih banyak lagi perusahaan-perusahaan keluarga yang telah berdiri ratusan tahun yang
sampai sekarang masih bertahan (O’hara &Mendel, 2002).
Menurut Bradley & Burroughs (2010), ada lima langkah dalam perencanaan suksesi,
yaitu: (1) Menentukan tujuan jangka panjang dari pemilik; (2) Menentukan kebutuhan finansial
dari pemilik perusahaan beserta pasangannya untuk kemudian membentuk perencanaan
43
keberlanjutan yang menjamin kemanan finansial mereka; (3) Menentukan siapa yang akan
mengelola bisnis dan mengembangkan tim manajemen; (4) Menentukan siapa yang akan
memiliki bisnis yang memiliki kepentingan yang sama; dan (5) Meminimalisir pajak pengalihan
dan merencanakan kepemilikan yang tepat.
Menurut Brockhaus (2004), hal terpenting yang berpengaruh terhadap rencana suksesi
adalah sikap keluarga yang tentunya juga merupakan nilai-nilai pada sebuah keluarga. Sikap
keluarga yang tidak mendukung calon penerus akan berpengaruh buruk terhadap kelanjutan
bisnis keluarga. Oleh karena itu, penerus yang potensial harus mendapat dukungan, kepercayaan
dan sikap positif dari keluarga.
Sementara menurut Moris et al. (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi suksesi bisnis
keluarga dikelompokkan menjadi tiga. Kategori pertama yang sangat mempengaruhi suksesi
bisnis keluarga adalah kegiatan perencanaan dan pengendalian. Kategori kedua yaitu hubungan
personal antara keluarga, dan antara karyawan dalam dan luar keluarga di perusahaan, terutama
kepercayaan dan komunikasi antara anggota keluarga. Kategori terakhir yang berpengaruh
terhadap suksesi bisnis keluarga yaitu persiapan penerus atau suksesor, yang akan menjadi
pengganti kepemimpinan dalam perusahaan keluarga.
Marpa (2011) mengemukakan ada lima hal penting yang menyangkut masalah internal
keluarga yang sangat mempengaruhi keberhasilan dari suksesi kepemimpinan bisnis keluarga.
Apabila salah satu dari kelima masalah ini ada dalam mekanisme dan pelaksanaan suksesi maka
sangat memungkinkan suksesi tersebut akan gagal. Kelima hal tersebut adalah kompetensi
individu dari suksesor, ketidakharmonisan hubungan antara para pihak, masalah-masalah
keuangan, masalah-masalah kontekstual dan proses suksesi. Efektivitas sebuah suksesi dalam
perusahaan antara lain merencanakannya sejak jauh-jauh hari dengan banyak melibatkan anggota
44
keluarga. Dalam kaitan itu, diberikan pilihan bagi generasi penerusnya untuk bergabung atau
tidak dalam perusahaan (Susanto et al., 2007).
Selain itu, The Jakarta Consulting Group memiliki beberapa kriteria pemimpin dalam
perusahaan keluarga yang disingkat ACE MAN (Susanto et al., 2007):
1. Acceptable, artinya seorang pemimpin dalam tipe ini harus bisa mengakomodasi atau
menerima pendapat orang lain dan dapat mengambil sebuah keputusan dari hasil tersebut.
2. Charismatic, artinya pemimpin dalam tipe ini harus bissa dalam segala hal (mempunyai visi
ke depan, menarik, dan menyangkan) sehingga dapat menghadapi tipe-tipe pemimpin lainnya.
3. Energetic, artinya pemimpin dalam tipe ini harus pandai memanfaatkan peluang, memiliki
gagasan, dan dapat membuat keputusan.
4. Managing, artinya pemimpin dalam tipe ini mampu mengelola dan menerima tanggung jawab
atas pekerjaan yang diserahkan.
2.4. Perencanaan Suksesi
2.4.1 Pengertian Perencanaan Suksesi
Suksesi merupakan hal yang sangat krusial dalam mempertahankan kelanggengan atau
kesinambungan perusahaan keluarga. Suksesi sering diartikan sebagai peralihan pimpinan
puncak saja, karena kepemimpinannya akan menjangkau berbagai lapisan manajerial. Pola
suksesi manajemen puncak di antaranya adalah :Planned Succesion yaitu perencanaan suksesi
yang terfokus pada calon yang telah dipersiapkan untuk menduduki posisi kunci. Sementara itu,
Informal Planned Succession, merupakan perencanaan suksesi yang lebih mengarah pada
pemberian pengalaman dengan cara memberikan posisi di bawah “orang nomor satu” dan secara
langsung menerima perintah dan petunjuk dari orang tersebut, dan Unplanned Succesion, yaitu
45
peralihan pimpinan puncak kepada penerusnya berdasarkan keputusan pemilik dengan
mengutamakan pertimbangan-pertimbangan pribadi.
Hollinger (2013) menyatakan hal penting perencanaan suksesi adalah keberlanjutan dari
pengembangan kepemimpinan. Saan (2013) menyampaikan model tentang kerangka konsepsual
perencanaan suksesi dan kesinambungan perusahaan keluarga (conceptual framework of
succession planning and FOB continuity) yang mengkaitkan antara pendiri (pemilik) dengan
suksesor dan lingkungan, yang mempengaruhi proses suksesi dan keberhasilan suksesi
perusahaan keluarga. Model Saan (2013) dapat dilihat Gambar 2.5:
Gambar 2.5.
Conceptual Framework of Succession Planning and FOB Continuity
(Saan, 2013)
Gambar 2.5 menyajikankerangka konsepsual berbagai hubunganuntuk mencapai
keberhasilan suksesiyang mengarah kekesinambungan perusahaan.
Kesediaanpendiri/pemilikuntuk mundurdanmemberikan pilihan untukpengganti,baik di
dalamatau di luarkeluargamerupakan indikasiperlunyasuksesi. Kepentingan
Founder Owner Willingness to step aside
Freference for successor
(internal or external
C1 C2 C3
Successor
Personal Interest
Competence/experience
Succession
Process
Communication
and
Consulitation
Training
/mentorship
Enviroment :
External
Internal
Successful
Succession
Stakeholder
Satisfaction
with
succession
process
Stakeholder
happiness
with choice of
successor
46
pribadisuksesordankompetensisertapengalaman akan dapat memfasilitasikesediaannyauntuk
mengambil alihsuksesi sesegeramungkin.Lingkunganyang terdiri dariinternal dan eksternal,
bersama-samadengan pendiri danpenerusmelalui
prosessuksesiakanmenghasilkansuksesisuksesyang mengarah kekontinuitas.
Susanto et al. (2007) menyatakan perencanaan suksesi adalah penting karena adanya
berbagai proses kebijakan perusahaan yang terlibat, termasuk di dalamnya proses pengembangan
perusahaan, kebijakan perencanaan karir, sistem promosi dan mutasi. Suksesi tidak hanya berarti
“alih Generasi” di pimpinan puncak, tidak hanya berdasar kriteria usia atau dari pemimpin ke
keturunan atau profesional saja. Pandangan mengenai perencanaan dan pelaksanaan suksesi
dengan tujuan yang lebih luas juga dapat diartikan suksesi tidak selalu berbicara mengenai tujuan
bisnis saja, namun lebih luas dari itu yaitu keharmonisan keluarga yang menjadi alasan utama
mengapa bisnis keluarga dibangun.
Penerapan succession planning dapat berjalan dengan baik bila proses pemilihan suksesor
dan persiapan suksesornya juga berjalan dengan lancar. Proses pemilihan suksesor berbicara
mengenai nilai komunikasi dalam proses pemilihan tersebut dan nilai objektivitas dalam proses
pemilihan suksesor. Sedangkan proses persiapan suksesor berbicara mengenai Successor
Development Programme (program yang berisi tahap-tahap pengembangan suksesor) dan
allowance from previous Family Business Leadership (FBL) atau restu yang diberikan oleh FBL
sebelumnya (Fishman, 2009).
Miller &Le Breton-Miller (2005) menyatakan bahwa perencanaan suksesi bisnis yang
baik merupakan indikator yang valid sebuah kinerja bisnis. Dalam masa peralihan kepemimpinan
dalam bisnis keluarga akan lancar bila suksesor (pengganti) telah disiapkan dengan lebih baik.
Persiapan tersebut diantaranya dengan mempersiapkan suksesor dengan ramah (affable) dan
47
diikutkan dalam proses perencanaan suksesi termasuk di dalamnya adalah proses perpindahan
kekayaan dan hak kepemilikan serta hal-hal yang berpotensi mendatangkan kekayaan (wealth-
transfer).
Suksesi dan karakteristik dari penerus juga ditentukan oleh tingkat hubungan yang terjadi
dalam keluarga atau sistem dan tata nilai keluarga yang dianut (Lee, 2003). Dalam perusahaan
keluarga terdapat saling ketergantungan antara keluarga dan perusahaan. Sebagaimana sifat
perusahaan keluarga, sistem keluarga (family system) memiliki saling ketergantungan yang
sangat dekat dan mendalam antara sistem keluarga dan sistem perusahaan (Kepner, 2013).
Perusahaan keluarga merupakan keterpaduan dua sistem yang saling bersinggungan (Beckard &
Dyer, 1983; Lansberg, 1988). Di antara dua sistem tersebut terdapat perbedaan kepentingan,
perbedaan norma-norma, nilai-nilai serta perbedaan struktur. Tekanan di antara perbedaan dua
sistem tersebut akan berpengaruh pada perilaku individu baik di dalam kerja maupun di luar
lingkungan kerja. Chitor &Dass (2007) menggambarkan hubungan lima faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dari suksesi perusahaan keluarga seperti ditunjukkan pada Gambar
2.6.
48
Gambar 2.6
Management Succession: An Integrative Framework (Chittoor & Das, 2007)
Berdasarkan Gambar 2.6, faktor-faktor yang mempengaruhi proses suksesi dapat dibagi
dalam lima kategori:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pendahulu (incumbent or predesor related factors),
yang meliputi kepribadian pendahulu, motivasi, hubungan antara pendahulu dan suksesor
(Handler, 1994; Lansberg, 1988).
(4)
Successtions Process
Characteristics -Planning for succession,
successor, selection,
nurturing and, development,
of successor,
corporate, governance
structures
(6)
Successition Performance
- Business performance in
increase sales growth,
ROA, ROS
- Survival and perpectuation of
family bisiness
- Satisfaction of stakeholders
(1)
Predecessor-related
Factor - Motivation, personality and
characteristics, relationship, with
successor
(2)
Successor-related Factors
-Motivation, capabilities, education,
out-side work, experience,
apprentionship
Non-Family
Professional as
Successor
(3)
Family-related Factors -Quality of family, relationships,
harmony (or lack of) among family
members, commitment to the business,
family council
(5)
Business-related Factors
-Composition of the Board previon,
Succession, experience organization
culture, shared vision, business,
cycle tax systems
(1-4)
(1-6)
(3-4)
(3-6)
(4-6)
(2-4)
(5-4)
(2-4)
(5-6)
49
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan suksesor (successor related factors), meliputi
kapabilitas, motivasi, pengalaman di luar perusahaan, pengalaman di dalam perusahaan,
serta tingkat pendidikan (Chrisman, Sharma &Chua, 1998; Goldberg, 1996; Morris, et al.,
1997; Sharma, Chrisman, & Chua, 2003).
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keluarga (family-specific related factors), meliputi
dinamika keluarga dan kualitas komunikasi dalam keluarga, kepercayaan antara kelompok-
kelompok individu keluarga yang terlibat dalam perusahaan, sumber-sumber penolakan
yang mungkin akan berdampak pada proses suksesi (Davis & Harveston, 1998; Dyer, 1988;
Handler, 1990).
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perusahaan (business-specific related factors),
meliputi komposisi dari dewan direktur, pengalaman suksesi sebelumnya, budaya organisasi,
hubungan antara siklus bisnis dan siklus keluarga (Astrachan &Shanker, 2003; Dunn, 1999).
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan proses suksesi (succession process factors). Suksesi
merupakan satu proses bukan satu kejadian, faktor-faktor yang perlu diperhatikan antara
lain: prosedur pemilihan suksesor, pembinaan, pengembangan dan pelatihan dari suksesor,
struktur tata kelola dan mekanisme perusahaan (Morris et al, 1997; Elstrodt, 2003)
Sharma (2004) menyatakan suksesi kepemimpinan dalam perusahaan keluarga sangat
ditentukan oleh adanya keinginan pendiri (pemilik) untuk memberikan kewenangan mengelola
kepada generasi penerusnya, adanya komitmen keluarga, kepercayaan terhadap calon penerus
dan dimilikinya jiwa kepemimpinan bagi calon pengganti (suksesor).
Bradley & Burroughs (2010) mengatakan ada lima langkah dalam perencanaan suksesi,
yaitu: (1) menentukan tujuan jangka panjang dari pemilik; (2) menentukan kebutuhan finansial
dari pemilik perusahaan beserta pasangannya untuk kemudian membentuk perencanaan
50
keberlanjutan yang menjamin kemanan finansial mereka; (3) menentukan siapa yang akan
mengelola bisnis dan mengembangkan tim manajemen; (4) menentukan siapa yang akan
memiliki bisnis yang memiliki kepentingan yang sama; dan (5) meminimalisir pajak penghasilan
dan merencanakan kepemilikan yang tepat.
2.4.2 Indikator Perencanaan Suksesi
Hollinger (2013) menyatakan salah satu indikator perencanaan suksesi yang penting
adalah kepemimpinan. Brockhaus (2004) mengatakan sikap keluarga merupakan nilai-nilai pada
sebuah keluarga merupakan hal yang penting juga dan penerus yang potensial harus mendapat
dukungan, kepercayaan dan sikap positif dari keluarga. Sharma (2004) menyatakan perencanaan
suksesi dalam perusahaan keluarga sangat ditentukan oleh adanya keinginan incumbent, yang
umumnya merupakan pendiri/pemilik untuk memberikan kewenangan mengelola kepada
generasi penerusnya, adanya komitmen keluarga, kepercayaan terhadap calon penerus dan
dimilikinya jiwa kepemimpinan bagi calon pengganti (suksesor).
Dari berbagai konsep, pengertian dan teori di atas, ada 5 (lima) indikator yang dapat
dipakai sebagai indikator perencanan suksesi menurut Hollinger (2013), Brockhaus (2004)
danSharma (2004), yaitu sikap, keinginan pendahulu (incumbent), komitmen, kepercayaan dan
kepemimpinan.
2.5 Nilai-nilai (Values)
2.5.1 PengertianNilai-nilai (Values)
Koiranen (2002) dan Tapies & Moya (2012) menyatakan nilai-nilai berarti prinsip-prinsip
moral, standar, etika dan norma-norma perilaku yang terdapat pada suatu kelompok atau
organisasi. Tidak jauh berbeda, Robbins (2007) menyatakan bahwa nilai (value) merupakan
bagian dari budaya dalam suatu organisasi yang menentukan tingkat bagaimana anggota
51
melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan organsasi. Sementara itu, Susanto (2008)
mendefinisi nilai-nilai dalam budaya organisasi memberikan pedoman kepada sumber daya
manusia dalam menghadapi permasalahan eksternal dan upaya penyesuaian integrasi ke dalam
perusahaan, sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada
serta mengerti bagaimana bagaimana mereka harus bertingkah laku.
Dalam buku Handbook of Human Resource Management Practice oleh Armstrong
(2009), tercantum bahwa budaya organisasi atau budaya perusahaan adalah nilai, norma,
keyakinan, sikap dan asumsi yang merupakan bentuk bagaimana orang-orang dalam organisasi
berperilaku dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan. Nilai-nilai adalah apa yang diyakini
bagi orang-orang dalam berperilaku dalam organisasi. Norma adalah aturan yang tidak tertulis
dalam mengatur perilaku seseorang (Amstrong, 2009). Pengertian tersebut menekankan bahwa
budaya organisasi berkaitan dengan aspek subjektif dari seseorang untuk memahami apa yang
terjadi dalam organisasi. Hal ini dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai dan norma-norma semua
kegiatan bisnis, yang mungkin terjadi tanpa disadari, yang selanjutnya mempengaruhi perilaku
individu. Menurut Robbins (2007), budaya organisasi diartikan sebagai sistem makna bersama
yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lain.
Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat
karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi.
Sementara itu Davis & Harveston (1998) menyatakan pola keyakinan dan nilai-nilai yang
merupakan budaya organisasional yang harus dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh anggota
organisasi, sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar berperilaku
dalam organisasi. Nilai-nilai organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang
dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari
52
organisasi lainnya. Wood et al. (2001:391) menyatakan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan
oleh organisasi akan menuntun perilaku anggota organisasi itu sendiri. Hal itu dipertegas lagi
oleh Gibson et al. (2008) yang mengatakan sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan
norma yang ada di setiap organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas organisasi.
Demikian juga Kluckhohn (1951, dalam Rokeach, 1973) menyatakan nilai-nilai adalah konsepsi
secara eksplisit atau implisit yang diinginkan yang mempengaruhi seleksi dari mode yang
tersedia, sarana dan tujuan tindakan organisasi.
Hal senada dikatakan oleh Aronoff &Ward (2000) bahwa nilai-nilai (value)
adalahlandasanpencapaian seseorangdan komitmennya. Nilai-nilai menginspirasi orang tersebut
untukmelakukan hal-halyang sulitdan untuk membuat komitmen dalam hal disiplinguna
pencapaian rencanajangka panjang. Sementara itu, Dumas & Blodgett (1999) menjelaskna
bahwa nilai-nilai menjawab pertanyaan tentang apa yang penting bagi anggota organisasi dan
nilai-nilai inti yang meresap dengan mendalam yang mempengaruhi hampir setiap aspek dari
kehidupan yakni nilai moral dan respon kepada orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat dan konsep tentang nilai-nilai tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa nilai-nilai (values) adalah suatu prinsip moral, standar, etika dan norma-
norma perilaku yang melekat atau yang dianut oleh seseorang atau kelompok, dan dipakai
sebagai penuntun atau pedoman dalam berperilaku keseharian, seperti dalam berpikir, bersikap,
bertindak dan mengambil keputusan. Semua sumber daya manusia yang ada dalam suatu
organisasi harus dapat memahami dengan benar nilai-nilai dari budaya organisasi yang
dianutnya, karena pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang
dilakukan, baik perencanaan yang bersifat strategis dan taktikal, maupun kegiatan implementasi
perencanaan di mana setiap kegiatan tersebut harus berdasar pada budaya organisasi. Khusus
53
utuk bisnis keluarga, Ward (2004) menyatakan nilai-nilaiadalah pengatur variabel
bebasmembentuksetiap dimensi manajemen bisnis keluarga.
Aronoff & Ward (2000) menyatakan kekuatan nilai-nilai dalam bisnis keluarga itu terkait
dengan beberapa faktor : (1)meletakkan landasan untuk budaya perusahaan; (2) menyediakan
template untuk pengambilan keputusan; (3) merupakan puncak inspirasi untuk kinerja; (4)
mendukung pelanggan; (5) pandangan jangka panjang; (6) mengurangi biaya modal; (7)
menantang pemikiran konvensional; (8) beradaptasi dengan perubahan; (9) meningkatkan
strategis perencanaan; (10) melaksanakan strategi; (11) aliansi strategis; (12) merekrut dan
mempertahankan karyawan; dan (13) makna untuk bekerja.
Stavrou (1998) menyatakan interaksi antara orang tua dan anak akan mempengaruhi
keputusan-keputusan yang akan diambil oleh sang anak di masa yang akan datang. Lebih lanjut
lagi, nilai-nilai dan tradisi keluarga berpengaruh kuat terhadap penerus saat mereka akan
mengambil keputusan. Kompleksitas dalam nilai-nilai dan hubungan keluarga (family
relationship) akan berpengaruh pada efektifitas karakteristik penerus untuk mengembangkan
perannya dalam perusahaan keluarga. Secara garis besar keputusan generasi penerus untuk
bergabung dan mengambil alih kepemimpinan perusahaan keluarga dapat digambarkan pada
Gambar 2.3.
Level 1
Pre-Entry
<18 years old
18-28years old oold
The Decision Process
Factors in the
Decision Process
Business
s Family
E
N
T
R
Y
S
U
C
C
E
S
S
I
54
Gambar 2.3
Intergenerational Transition Decision Model (Stravou, 1998)
Gambar 2.3 menekankan nilai-nilai yang diturunkan oleh pendahulu kepada generasi
penerus untuk mengambil keputusan dalam mengelola bisnis keluarga, selanjutnya faktor pasar
seperti globalisasi, kondisi ekonomi dan hal-hal lain mempengaruhi keputusan generasi penerus
untuk memilih karirnya apakah di perusahaan keluarga atau di tempat lain (Thomassen, 1992).
Kondisi-kondisi pasar dapat memberikan peluang pada calon suksesor untuk berkembang di
tempat lain atau juga memberikan peluang kepadanya untuk mengembangkan perusahaan
keluarga.
Aronoff (2004) menggarisbawahi pentingnyanilai-nilai keluarga sebagai pilar
budayabisniskeluarga, dan elemen pada orde pertama, untukbisnisyang kuat,
memungkinkandiferensiasi perusahaan dariperusahaan lain, sehingga mungkin juga menjadi
dasartak tergantikan dalam hal keunggulan kompetitif.
2.5.2 Indikator Nilai-nilai (Values)
Tapies & Moya (2012) mengkomparasikan nilai-nilai keluarga yang dapat membuat umur
panjang perusahaan keluarga di beberapa negara, yakni yang disebutnya dengan kelompok
Spanyol (Spanish group), kelompok Italia (Italian Group), Kelompok Perancis (French group)
dan pendekatan yang digunakan oleh Koiranen (Koiranen’s article).
55
Spanish Group(Tapies & Moya, 2012) mejabarkan indikator nilai-nilai menjadi respek,
semangat kewirausahaan, melayani, loyal, jujur, ekselen, kerja keras, hati-hati, berkualitas,
menguntungkan, memiliki rasa kemanusiaan, bereputasi, tanggung jawab sosial dan
akuntabilitas.Italian Group(Tapies & Moya, 2012) menggunakan indikator nilai-nilai yaitu
kualitas, kejujuran, transparansi, etika, komitmen, integritas, ketenangan, kesopanan, ketelitian,
gairah bekerja, mencintai pekerjaan, mengerjakan pekerjaan yang terbaik, dan pengorbanan.
French Group(Tapies & Moya, 2012) merinci indikator nilai-nilai menjadi kerja yang bermutu,
kemanusiaan, hormat yang saling menguntungkan, mau mendengarkan, kompeten dan
kepercayaan.
Koiranen’s article (Tapies & Moya, 2012)merinci menjadi Honesty (kejujuran),
Credibility (kredibiltas), Obeying the law (kepatuhan terhadap hukum), Quality (kualitas),
Industriousness and hardworking (kerajinan dan kemauan bekerja keras), Respectability
(menjaga kehormatan), Service mindedness (sikap melayani), Responsibility (tanggung jawab),
Flexibility (keluwesan), Stress Tolerance (toleran terhadap stress), Needs and Well being
(kebutuhan dan kesejahteraan), dan Innovativeness (keinovatifan), Autonomy or independence
(otonomi) dan Visionary top management (visi manajemen puncak).
2.6 Karakteristik Suksesor
2.6.1 Pengertian Karakteristik Suksesor
Karakteristik suksesor berperan dalam proses suksesi terutama pada kemauan dari
suksesor untuk melanjutkan perusahaan dan hubungan antara suksesor dengan pemilik
perusahaan. Marpa (2010) menggunakan beberapa tolok ukur untuk melihat karakteristik
suksesor yakni: (1) usia; (2) tingkat pendidikan (3) lama waktu bergabung dalam perusahaan;
dan (4) pengalaman bekerja di luar perusahaan keluarga
56
Berhubungan dengan profil atau motivasi individu yakni: (1) faktor yang berhubungan
dengan suksesor: kurangnya kemampuan, kurang atau ketidakpuasan motivasi, masalah yang
tidak terduga (meninggal, sakit dll); dan (2) faktor yang berhubungan dengan Incumbent:
keterikatan incumbent terhadap bisnis, masalah yang tidak terduga (meninggal, sakit dan lain-
lain), kemungkinan incumbet menikah lagi, bercerai atau memiliki anak lagi. Dalam beberapa
literatur, ada banyak ukuran dari karakteristik pribadi seorang suksesor, diantaranya
dikemukakan oleh Malone &Jenster (2008) dan Levinson (2001) yang meninjau karakteristik
seorang suksesor dari sisi agresivitas, integritas dan kreativitas yang dimiliki.
Berkaitan dengan karakteristik suksesor, beberapa penelitian sebelumnya menemukan
bahwa:
1. Faktor-faktor individu yang merupakan karakteristik dari seorang suksesor dengan
menggunakan variabel motivasi, kemampuan, tingkat pendidikan, pengalaman di luar
perusahaan serta lama waktu magang di perusahaan menghasilkan temuan bahwa tingkat
pendidikan yang memadai; pengalaman di luar perusahaan; lama magang di perusahaan
memiliki korelasi yang positif terhadap efektivitas perencanaan suksesi (Barach &Ganitsky,
1995; Chrisman et. al,1998; Morris et. al, 1997; dan Sharma et. al., 2003).
2. Rekomendasi agar suksesor memiliki pengalaman di perusahaan lain (Nelton, 2006 dan
Danco, 2012). Hal ini didukung oleh pendapat Barnes (2014) dan Correl (1989) yang
menyebutkan bahwa berdasarkan rekomendasi dari konsultan bahwa suksesor minimum
memiliki pengalaman selama lima tahun di perusahaan lain dan paling tidak diikuti dengan
satu kali promosi di perusahaan tersebut yang menandakan kemampuan suksesor memang
diakui di luar perusahaan.
57
3. Pengalaman dan turut serta dalam pengelolaan perusahaan keluarga akan membantu
suksesor dalam membangun hubungan dengan pihak-pihak lain dalam perusahaan untuk
memahami budaya dalam perusahaan (Danco, 2012; Lansberg & Astrachan, 1994).
4. Tingkat kemampuan dan pengetahuan dari generasi penerus amatlah penting dan evaluasi
dari kinerja individu tersebut seharusnya dijadikan satu bagian dari proses suksesi (Danco,
2012).
5. Lambrecht (2005) mengatakan bahwa untuk memasuki dan memimpin perusahaan keluarga
tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.
6. Komitmen keluarga terhadap perusahaan juga memiliki hubungan dengan kemungkinan
berhasil tidaknya suksesor berkembang dan berlatih (Lansberg & Astrachan, 1994).
7. Studi yang dilakukan Venter & Maas (2005) menunjukkan bahwa persiapan keras yang
dilakukan suksesor di luar perusahaan akan berpengaruh positif terhadap keberlanjutan
keuntungan perusahaan keluarga.
58
Gambar 2.7.
Successor Characteritics (Meijaardet al., 2005)
Berdasarkan Gambar 2.7, Meijaard et al.(2005) merinci indikator karakteristik suksesor
yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman bisnis, pelatihan bisnis, motivasi, hubungan
dengan pendahulu, jangka waktu keterlibatan, keinginan untuk mengambil alih, person atau
komite.
2.6.2 Indikator Karakteristik Suksesor
I.Firm Characteristics
- Age
- Size
- Industry or setor
- Location
- Govennance structure
- Family Firm
- Numbers of generations
- Relationships
- Performance
II. Predecressor
Characteristics
- Founder
- Age
- Sex
- Education.experience
- Destination after transfer
- Outside interests
- Trus successors abilities
- Wilingness to step down
III. Planning
- Legal/ taxplanning
- Successions plan
- Plans approwed by board
of directors
- Use outside advisor
- Stepping down
announced
IV. Reason for transfer
- Trigger event
-Forced or natural
V. Successor
Caharacteristics
- Age
- Sex
- Education/experince
- Training
- Motivation
- Relation to
predecessor
- Insider or outsider
- Willingness to take
over
- Person or Committee
VI. Tranfers
-Duration /completed
-Smoothness
-Type of transfer
(management and/or
ownership)
VIII. Organisational
Changes
- Strategic changes
- Structural changes
-Orientation changes
VIII. Attudinal
Changes (for
stakeholders i.e.
predecessor, successor,
employees, etc )
- Satisfaction with the
transfer
- Commitment to the
business
- Motivation to
continue the
business
IX. Perfommance
Changes
- Employment growth
- Sales growth
- Profit growth
- Productivity growth
PRIOR TO TRANSFER DURING TRANSFER AFTER TRANSFER
59
Saan et al.(2013) dalam kerengka konsepsual tentang perencanaan suksesi dan
keberlanjutan perusahaan keluarga menyebutkan karakteristik sukesor terdiri dari keinginan
pribadi dan pengalaman.Chittoor &Das (2007) dalam model manajemen suksesinya
menjelaskan salah satu indikator karakteristik suksesor adalah dimilikianya pengalaman
suksesor. Sementara indikator karakteristik suksesor yang dikemukakan oleh Meijaard et
al.(2005) diantaranya adalah pengalaman bisnis, jangka waktu keterlibatan, dan keinginan untuk
mengambil alih.
2.7 Kinerja Suksesor
2.7.1 Pengertian Kinerja Suksesor
Kinerja merupakan capaian atau hasil akhir dari suatu proses dan sistem manajemen.
Sebuah sistem pengukuran kinerja dapat didefinisikan sebagai suatu yang formal, prosedur dan
rutinitas yang berbasis pada informasi yang digunakan manajer untuk mempertahankan atau
mengubah pola di dalam aktivitas perusahaan (Royer et al., 2008). Hal senada diungkapkan
Nurlaila (2010) yang menyatakan performance atau kinerja merupakan hasil atau keluaran dari
suatu proses. Berdasarkan pendekatan perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau
kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan
pekerjaan. Salah satu dari karakter dari sistem pengukuran kinerja yang efektif, yang dapat
meningkatkan tujuan perusahaan adalah harus dihubungkan dengan tujuan dan strategi
perusahaan (Ittner & Larcker, 2001; Otley, 1999) dan juga karakter dari perusahaan (Chenhall,
2003). Sebuah sistem pengukuran kinerja seharusnya memberikan sebuah pengukuran yang
komprehensif dan praktis, terhubung dengan tujuan dan strategi perusahaan dan juga pengukuran
kinerja tersebut seharusnya efektif (Malina & Selto, 2006). Karakter kedua dari sistem
pengukuran kinerja yang efektif adalah pengukuran kinerja seharusnya menunjukkan usaha
60
manajemen, dan sesuai dengan target serta seharusnya terkait dengan imbalan yang sesuai
(Merchant & Stede, 2007; Malina & Selto, 2001; Royer et al., 2008).
Kinerja organisasi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan
organisasi sebagai penjabaran dari visi, misi, yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Kinerja
organisasi adalah sejumlah luaran (output) berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari kegiatan
dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Menurut Rivai (2004) kinerja merupakan hasil atau
tingkat keberhasilan seseorang atau organisasi secara keseluruhan selama periode tertentu di
dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil
kerja, target/sasaran atau kriteria yang telah disepakati bersama. Selain itu, Mulyadi (2007)
mendefinisikan bahwa kinerja organisasi adalah keberhasilan personel, tim, atau unit organisasi
dalam mewujudkan sasaran stretegis yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang
diharapkan. Dimensi yang digunakan dalam mengukur kinerja di antaranya adalah kualitas kerja,
kuantitas kerja, pengetahuan kerja, kreativitas, dan kerja sama (Gorda,2004).
Kinerja mempunyai makna luas, tidak hanya hasil kerja, tetapi bagaimana proses
pekerjaan berlangsung. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Armstrong &Baron
(1998), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Venkatraman &
Ramanujam (1986) menunjukkan bahwa kinerja merupakan sebuah konstruk multidimensi.
Dalam hal ini, kinerja suksesor terdiri dari kinerja keuangan, kinerja bisnis, dan kinerja
keorganisasian. Kinerja keuangan berada di pusat wilayah efektifitas keorganisasian.
Pada dekade terakhir, metode pengukuran kinerja (performance measurement)
berkembangan semakin pesat. Para akademisi dan praktisi telah banyak mengimplementasikan
61
model-model baru dari sistem pengukuran kinerja, antara lain Balanced Scorecard (Kaplan &
Norton, 1996), Integrated Performance Measurement System (IPMS) (Bititci et al., 1997),
SMART System (Ghalayani & Noble 1998; Lynch & Cross, 1991), The Performance
Measurement Matrix (Keegan et al., 1989), The Integrated Dynamic Performance Measurement
System (Ghalayani & Noble, 1998).Sementara itu, ada juga pengukuran kinerja yang disebut
dengan Performance Prism yang awalnya merupakan sebuah teori yang dikembangkan oleh
Universitas Cranfield, kemudian diperluas penggunaannya untuk mengukur kinerja (Neely et al.,
2002). Metode Performance Prism mencoba memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada
pada metode-metode sebelumnya seperti Balanced Scorecard. Kelebihan metode ini dibanding
dengan metode-metode sebelumnya adalah bahwa Performance Prism mencoba
mempertimbangkan seluruh stakeholder dari perusahaan seperti investor, pelanggan, karyawan
dan peraturan pemerintah sebagai aspek yang saling terintegrasi.
Ukuran kinerja pada umumnya masih didominasi ukuran-ukuran keuangan seperti
anggaran, laba, atau ukuran akuntansi lainnya (Bushman et al., 1996; Ittner et al.,1997; Otley,
1999). Pada akhir dekade ini, pengukuran kinerja secara akuntansi telah dianggap tidak dapat
memenuhi kebutuhan akan sistem pengukuran kinerja yang efektif (Hoque & James, 2000; Ittner
& Larcker, 2001). Ketidakmampuan pengukuran kinerja secara akuntansi telah memotivasi
beberapa akademisi dan praktisi untuk menganjurkan beberapa inovasi pengukuran kinerja,
mulai dari metriks keuangan yang telah dimodifikasi seperti Economic Value Added (Stern et al.,
1995), sampai dengan Balanced Scorecard, yang menyatukan pengukuran keuangan dan non-
keuangan (Kaplan & Norton, 2004) dan pengukuran personal atau pengukuran subjektif (Ittner et
al., 2003).
62
Menurut Robbins et al. (2007) indikator untuk mengukur kinerja secara individu ada
lima, yaitu:
1. Kualitas kerja yang diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang
dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.
2. Kuantitas yang merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah
unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
3. Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang
dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu
yang tersedia untuk aktivitas lain.
4. Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi,
bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam
penggunaan sumber daya.
5. Kemandirian merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan
fungsi kerjanya Komitmen kerja. Merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai
komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor.
2.7.2 Indikator Kinerja
Chittoor & Das (2007) menyatakan kinerja suksesi salah satunya diukur dengan
meningkatnya pertumbuhan penjualan. Kaplan & Norton (2004) dalam menyatakan
keseimbangan (balanced) untuk mengukur kinerja menunjuk pada adanya kesetimbangan pada
perspektif keuangan dan perspektif non-keuangan seperti perspektif pelanggan, perspektif
internal, perspektif inovasi dan pembelajaran, dan perspektif keuangan. Dempsey et al. (1997)
telah merinci indikator kinerja, baik kinerja secara organisasi maupun individu, ke dalam
beberapa bagian dalam Integrated Performance Measurement Systems dan dapat dilakukan
63
secara kualitatif, yakni: (1) keuangan (financial); (2) kualitas produk dan kepuasan pelanggan
(Product Quality & Costumer Satisfaction); (3) efisiensi proses (Process efficiency); (4) inovasi
produk dan proses (Product & Process Innovation); (5) lingkungan yang kompetitif (Competitive
Environment); (6) efisiensi manajemen (Management efficiency); (7) manajemen sumber daya
manusia (Human Resource Management); (8) tanggung jawab sosial (Social Responsibility).
Dengan demikian, kinerja indvidu seorang suksesor dapat pula diukur dengan pendekatan
konsepDempsey et al. (1997), sebab pendekatan pengukurannya dapat dilakukan dari sisi
keuangan dan non keuangan secara kualitatif.