Peran Perusahaan Keluarga dalam Perekonomian
-
Upload
entrelawpreneur -
Category
Documents
-
view
451 -
download
18
description
Transcript of Peran Perusahaan Keluarga dalam Perekonomian
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. PENDAHULUAN
I.1.1. Latar Belakang
Para wirausaha selalu menjadi ujung tombak bagi kemajuan ekonomi sebuah
negara. Di negara-negara yang relatif maju perekonomiannya selalu bertebaran para
wirausaha yang tangguh. Mereka inilah sebenarnya pencetak keajaiban ekonomi. Para
wirausaha ini selain mempunyai ide inovatif juga mempunyai kemampuan
merealisasikan gagasan –gagasan yang ada di benak mereka. Langkah yang mereka
tempuh untuk mewujudkan ide, tentunya adalah membuat sebuah badan usaha. Agar
dapat merealisasikan ide sesuai keinginannya, maka perusahaan harus berada dalam
kendalinya. Dan ketika idenya terealisasi, yang muncul adalah perusahaan keluarga.1
Perusahaan keluarga memang merupakan fenomena tersendiri dalam kancah bisnis, baik
di level global maupun lokal.2 Selain jumlahnya yang sangat banyak, perusahaan
keluarga juga mempunyai andil yang cukup signifikan bagi pendapatan negara.3
Lebih dari 90 persen dari seluruh perusahaan di Amerika Serikat merupakan
perusahaan keluarga, dan kontribusinya terhadap perekonomian AS sangat signifikan.
Mereka menyumbang 64 persen dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat dan
mempekerjakan 62 persen dari total angkatan kerja di sektro swasta. Namun demikian,
tidak semua perusahaan milik keluarga merupakan usaha kecil; sepertiga dari
perusahaan yang tercantum dalam Fortune 500 adalah usaha keluarga. Perusahaan
keluarga juga menciptakan 80 persen dari pekerjaan baru dalam perekonomian AS
selama dua dasawarsa terakhir.4 Jadi, banyak perusahaan yang barangkali jarang kita
dengar tetapi punya pendapatan begitu tinggi. Ternyata perusahaan keluarga menjadi
tulang punggung bisnis di AS.5
1 A. B. Susanto, World Class Family Business: Membangun Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia (Jakarta: Penerbit Quantum Bisnis & Manajemen, 2005), hal. 1.
2 Satrio Wahono dan Dofa Purnomo, Animal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 104.
3 Ibid.
4 Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough dan Doug Wilson, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, Ed. 5 [Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th ed.], diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009), hal. 449.
5 Susanto, Op. Cit., hal. 2.
Universitas Indonesia
2
Di Jepang, kita mengenal keiretsu6 seperti Mitsubishi, Mitsui, dan Sumitomo.
Awalnya perusahaan-perusahaan ini mengelola usaha kecil-kecilan. Cikal-bakal
Mitsubishi, misalnya, adalah perusahaan perkapalan yang didirikan oleh Iwasaki Yataro
pada 1870.7
Hal yang sama dialami Australia. Ekonomi negara itu banyak tergantung pada
perusahaan keluarga. Meskipun tingkat kekayaan perusahaan keluarga cenderung
menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, namun tetap saja perusahaan
keluarga merupakan sumber utama ekonomi Australia.8
Hasil riset Credit Suisse Emerging Markets Research Institute atas 3.568 bisnis
keluarga di 10 negara di Asia, memperlihatkan bisnis keluarga menguasai 50 persen
dari semua perusahaan yang terdaftar. Bisnis keluarga ini menguasai 32 persen dari total
sumber dana di pasar modal. Hasil riset yang diumumkan Senin (31/10/2011),
menyebutkan bahwa bisnis keluarga merupakan sumber penting bagi penciptaan
kekayaan pribadi di Asia. Kondisi ini menekankan bahkan bisnis keluarga menjadi pilar
penting bagi perekonomian regional.9
Di Indonesia, tidak sedikit pengusaha – terlebih Tionghoa – yang membangun
bisnis atas dasar keluarga. Contoh paling klasik di Indonesia adalah Oei Tiong Ham,
raja gula dari Semarang pada awal abad ke-20. Ayahnya, Oei Tjie Sien, menjadi perintis
bisnis tersebut. Oei Tiong Ham lalu mengembangkannya sampai ke tingkat dunia.
Yoshihara Kunio, seorang sosiolog berkebangsaan Jepang menulis sebuah buku tentang
kapitalisme di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Di situ dia menggambarkan begitu
banyak orang Tionghoa yang sukses mendirikan bisnis besar berbasis keluarga. Selain
Oei Tiong Ham, di Indonesia terdapat nama-nama besar seperti Liem Sioe Liong (Bank
BCA, Indofood), Liem Soei Ling (pabrik rokok “Dji Sam Soe”), Liem Hway Ho (Teh
Botol Sosro), Tjie Siem Hoan (Ciputra dengan PT Pembangunan Jaya), Lee Wen Chen
(Mochtar Riady dengan Lippo), dan masih banyak lagi.10 Di kalangan orang Indonesia
pribumi, tercatat nama seperti Ahmad Bakrie (hasil pertanian, pertambangan), Thayeb
6 Keiretsu adalah gabungan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga yang sama.
7 Wahono, Loc. Cit.
8 Susanto, Loc. Cit.
9 Pieter P. Gero, “Bisnis Keluarga Pilar Penting bagi Perekonomian Indonesia,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/31/19102849/Bisnis.Keluarga.Pilar.Penting.bagi.Perekonomian.Asia, diunduh 22 Oktober 2012.
10 I. Wibowo, Clara Wresti dan Alexander Wibisono, Mata Hati Sang “Pioneer” Indonesia: Biografi Pandji Wisaksana, cet. 1 (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 38.
Universitas Indonesia
3
Gobel (elektronik), Abdul Latief (Toserba Sarinah Jaya), Eddy Kowara (perusahaan
konstruksi),11 Dasuki Angkosubroto (Dexa Medica), Ny. Mutiara Djokosoetono (Blue
Bird Group), Achmad Hadiat Kismet Hamami (Grup Trakindo), Ferdinand Katuari
(Grup Wings), dan lain sebagainya.12
Sayangnya, 70 persen dari bisnis generasi pertama tidak dapat bertahan
melewati generasi kedua; dari yang bisa bertahan, hanya 12 persen yang berhasil
melewati generasi ketiga, dan hanya 3 persen yang akhirnya berhasil melewati generasi
keempat dan seterusnya.13 Gejolak masalah atau konflik ternyata juga banyak
bermunculan di perusahaan keluarga. Hubungan keluarga yang semula harmonis pada
awal-awal perusahaan tumbuh, bisa berubah menjadi disharmonis ketika perusahaan
telah berkembang. Dan, kasus ini berlaku di semua skala usaha, baik itu Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut :UKM”) maupun Usaha Besar (selanjutnya
disebut “UB”). Mungkin kita masih ingat satu kasus perseteruan antara seorang mertua
dengan sang menantu di PT Asaba, yang berakhir pada kematian sang mertua karena
dibunuh oleh pembunuh bayaran sang menantu.14
Berdasarkan pada penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan
sebelumnya, penulis menemukan terdapat banyak perusahaan keluarga di Indonesia
yang berbentuk persekutuan firma atau persekutuan komanditer yang memiliki potensi
yang teramat besar untuk dapat berkembang. Walaupun perusahaan-perusahaan
keluarga tersebut tidak seterkenal perusahaan-perusahaan keluarga yang telah penulis
ungkapkan satu-persatu di awal tulisan ini, penulis tetap meyakini bahwa perusahaan-
perusahaan keluarga tersebut mampu berbuat sesuatu meskipun tidak berbentuk badan
hukum seperti Perseroan Terbatas (PT). Keyakinan penulis tersebut memuncak ketika
penulis kemudian menyadari bahwa perusahaan keluarga tersebu tergolong Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Bahkan penulis hingga yakin bahwa perusahaan keluarga
tersebut mampu memainkan peran tersendiri dalam rangka memperkuat perekonomian
nasional. Karenanya, penulis kemudian memutuskan untuk menulis makalah yang
penulis beri judul: “Peran Perusahaan Keluarga Berbentuk Persekutuan Firma
11 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 37.
12 Wahono, Loc. Cit.
13 Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, dan Doug Wilson, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, Ed. 5 [Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th ed.], diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009), hal. 449.
14 Mohammad Iqbal, Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah: Pedoman Menjalankan Usaha, cet. kedua (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hal. 58.
Universitas Indonesia
4
atau Persekutuan Komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UKM) dalam Memperkuat Ekonomi Nasional”.
Bukan saja di Indonesia, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa posisi usaha
kecil dan menengah mempunyai peranan strategis di negara-negara lain juga.15 Di
banyak negara di dunia pembangunan dan pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (selanjutnya disebut “UKM”) merupakan salah satu motor penggerak yang
krusial bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu karakteristik dari dinamika dan kinerja
ekonomi yang baik dengan laju pertumbuhan yang tinggi di negara-negara Asia Timur
dan Tenggara yang dikenal dengan Newly Industrializing Countries (NICs) seperti
Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan adalah kinerja UKM mereka yang sangat efisien,
produktif dan memiliki tingkat daya saing yang tinggi. UKM di negara-negara tersebut
sangat responsif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahnya dalam pembangunan
sektor swasta dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi ekspor. Di
negara-negara sedang berkembang 32% dari nilai total ekspor, dan 40% dari nilai output
dari sektor industri manufaktur dari negara tersebut. Di beberapa negara di kawasan
Afrika, perkembangan dan pertumbuhan UKM, termasuk usaha mikro, sekarang diakui
sangat penting untuk menaikkan output agregat dan kesempatan kerja.16
Sudah sejak dahulu UKM mengambil peranan aktif dan cukup penting dalam
perekonomian Indonesia.17 Indikasi yang menunjukkan peranan usaha kecil dan
menengah itu dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto
(selanjutnya disebut “PDB”), ekspor non migas, penyerapan tenaga kerja, dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang cukup berarti.18 Data terakhir dari
Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut
“Menekop & PKM”) menunjukkan bahwa pada tahun 2000, ada sekitar 38,99 juta
Usaha Kecil (selanjutnya disebut “UK”) dengan rata-rata penjualan per tahun kurang
dari Rp1 miliar, atau sekitar 99,85% dari jumlah perusahaan di Indonesia. Pada tahun
yang sama, ada 55.061 perusahaan dari kategori Usaha Menengah (selanjutnya disebut
15 Pandji Anoraga dan H. Djoko Sudantoko, Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil, cet. 1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 244.
16 Tulus Tambunan, Development of Small-Scale Industries During the New Order Government in Indonesia (Ashgate, 2000), hal. 37.
17 Sritua Arief, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, cet. 1 (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 5.
18 M. Irfan, Usaha Kecil dan Menengah: Bahan Penataran Pengusaha Kecil (2000).
Universitas Indonesia
5
“UM”), dengan rata-rata penghasilan per tahun lebih dari Rp1 miliar tetapi kurang dari
Rp50 miliar, atau sekitar 0,14% dari jumlah unit usaha.19
UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal kesempatan kerja.
Argumentasi ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukkan bahwa kelompok
usaha ini mengerjakan lebih banyak orang dibandingkan Usaha Besar (selanjutnya
disebut “UB”). Mereka diharapkan bisa tetap menciptakan banyak kesempatan kerja
baru lewat pendirian usaha-usaha baru dan lewat perluasan akses ke pasar-pasar baru
termasuk ekspor. Tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja di UK, atau sekitar
99,44% dari jumlah kesempatan kerja; suatu kenaikan sebesar 12,04%, atau sekitar 7,2
juta orang dibandingkan tahun 1999. Di Usaha Menengah (selanjutnya disebut “UM”),
tahun 1999 ada sekitar 7,1 juta orang bekerja di kelompok usaha ini, dan naik 6,49%,
atau hampir 460 ribu orang menjadi 7,5 juta orang tahun 2000.20
Dalam bentuk sumbangan PDB (atas harga berlaku), UK menyumbang sekitar
40% terhadap pembentukan PDB nasional tahun 2000. Kontribusi terbesar berasal dari
sektor pertanian, bukan dari sektor industri manufaktur. Struktur kontribusi PDB ini
menunjukkan bahwa UK di Indonesia masih lebih kuat di produksi pertanian, bukan di
produksi industri seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara itu, total
output dalam nilai nominal dari UM tahun 2000 sekitar 16,3% dari PDB Indonesia.21
Data nasional dari Menekop & PKM menunjukkan bahwa kinerja ekspor UK
berbeda dengan kinerja ekspor UM. Tahun 2000, nilai ekspor UK Rp12.894.283,00 juta
(2,94%); suatu kenaikan sebesar 10,51% jika dibandingkan dengan tahun 1999.
Kenaikan tersebut berasal dari ekspor di sektor industri manufaktur dan sektor
pertambangan. Dibandingkan UK, nilai ekspor UM tahun 2000 tercatat sebesar
Rp51.025.506,00 juta (11,76%), suatu pertumbuhan sebesar 29,76% dari ekspornya
tahun 1999, yang berasal dari sektor industri manufaktur dan sektor pertanian.22
Akan tetapi, seperti halnya di negara-negara lain, perkembangan UKM di
Indonesia dihambat oleh berbagai macam masalah. Masalah-masalah tersebut bisa
berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dari satu sentra ke sentra lain, antara sektor atau
subsektor, atau antar unit usaha dalam kegiatan yang sama. Namun demikian, ada
19 Tulus Tambunan, “Peranan UKM bagi Perekonomian Indonesia dan Prospeknya,” Manajemen Usahawan Indonesia, No. 07/Th. XXXI (Juli 2002), hal. 3-4.
20 Ibid., hal. 4.
21 Ibid..
22 Ibid., hal. 8.
Universitas Indonesia
6
beberapa masalah yang umum dihadapi oleh UKM seperti misalnya keterbatasan modal
kerja maupun modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas baik
dan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi dan sumberdaya manusia (SDM),
termasuk manajemen, dan masalah pemasaran. Dalam perkataan lain, masalah bisnis
yang dihadapi banyak pengusaha kecil dan menengah bisa bersifat multidimensi.23
Selain itu, secara alami beberapa permasalahan bisa bersifat lebih internal,
sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal. Dua masalah eksternal yang oleh banyak
pengusaha kecil dan menengah dianggap paling seriusa adalah keterbatasan akses ke
kredit bank dan distorsi pasar yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah
yang tidak kondusif.24
Implementasi penyelenggaraan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang telah
memasuki tahun keempat sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada tahun 2008 secara umum masih
belum optimal dirasakan manfaatnya oleh pengusaha atau masyarakat terutama
pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang sampai hari ini masih menemui segelintir
masalah aktual atau hambatan dalam memperkuat posisinya dalam sektor usaha.
Berangkat dari pemaparan serangkaian permasalahan di atas, penulis masih serta
tetap meyakini bahwa perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau
persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM)
sejatinya mampu memainkan peran dalam memperkuat ekonomi nasional. Keyakinan
tersebut lah yang kemudian menjadi dasar yang teramat kuat bagi penulis untuk
mengadakan penelitian yuridis-normatif ini.
I.1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan pada latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi:
1. Apa kelebihan atau keuntungan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan
firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UKM)?
2. Apa masalah aktual atau hambatan yang dihadapi oleh perusahaan dan
pemerintah dalam mengembangkan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan
firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UKM)?
23 Ibid., hal. 5.
24 Ibid., hal. 5-6.
Universitas Indonesia
7
3. Bagaimana peran perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau
persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UKM) dalam memperkuat ekonomi nasional?
I.2. TUJUAN PENELITIAN
I.2.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran perusahaan keluarga
berbentuk persekutuan firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UKM) dalam memperkuat ekonomi nasional.
I.2.2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kelebihan atau keuntungan perusahaan keluarga berbentuk
persekutuan firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UKM).
2. Mengetahui masalah aktual atau hambatan yang dihadapi oleh perusahaan dan
pemerintah dalam mengembangkan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan
firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UKM).
3. Mengkaji dan menjelaskan peran perusahaan keluarga berbentuk persekutuan
firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UKM) dalam memperkuat ekonomi nasional.
I.3. METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan penelitian
hukum dengan metode pendekatan yuridis-normatif yang bersifat deskriptif-preskiptif.
Pendekatan normatif yaitu dengan menelaah dan mengkaji ketentuan-ketentuan
perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang
organisasi perusahaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UKM). Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
frekuensi suatu gejala, sedangkan penelitian preskiptif merupakan penelitian yang
Universitas Indonesia
8
bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan terkait
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM).25
Penulis melakukan penelitian kepustakaan sehingga data yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah data yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat26, yang terdiri
atas: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan atau hal-
hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya27, yang
terdiri atas: Buku-buku literatur; Buku-buku yang berkaitan dengan hukum
dagang; Buku-buku yang berkaitan dengan penyelenggaraan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UKM); dan Jurnal atau artikel yang berkaitan dengan
permasalahan pada makalah ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder28, misalnya ensiklopedia atau
kamus.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.29 Dilihat dari kekuatan
mengikatnya, penulis menggunakan sumber data sekunder atau pustaka hukum dari
sumber primer berupa undang-undang, sumber data sekunder atau pustaka hukum dari
sumber sekunder yakni data yang bersumber dari buku, makalah, artikel ilmiah, laporan
penelitian dan berbagai tulisan yang diperoleh dengan menggunakan media elektronik
dan digital, sementara sumber data tersier atau pustaka hukum dari sumber tersier
25 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005), hal. 4.
26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 3, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 14.
27 Ibid., hal. 15.
28 Ibid., hal. 16.
29 Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal. 28.
Universitas Indonesia
9
semisal ensiklopedia atau kamus. Untuk mendapatkan data tersebut penulis
menggunakan dua alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen dan wawancara.30
Metode pengolahan data yang digunakan penulis adalah analisis data kualitatif
yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu
apa yang dinyatakan sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan
sesuai dengan kenyataan.31
30 Ibid., hal. 6.
31 Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal.67.
Universitas Indonesia
10
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. PERUSAHAAN KELUARGA
Perusahaan (business) dan keluarga (family) merupakan 2 (dua) kontradiksi yang
karakteristiknya dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kontradiksi antara Perusahaan (Business) dan Keluarga (Family)
Perusahaan (Business) Keluarga (Family)
Rasional dan obyektif Emosional
Dasarnya adalah profitabilitas Dasarnya adalah hubungan sosial
Keanggotaannya berdasarkan pemilihan
(voluntary dan discresionary)
Keanggotaannya permanen
Sumber Tabel : Evie Hikmahwati, 200632
Kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai yang dianut dalam keluarga
berbeda dan seringkali merupakan kebalikan dari nilai-nilai dalam sebuah perusahaan.
Dalam perusahaan keluarga, kontradiksi ini diadopsi sehingga perusahaan keluarga
mempunyai kompleksitas yang berbeda dengan tipe perusahaan non-keluarga.
Adopsi tersebut membuat perusahaan keluarga memiliki hubungan yang tidak
terpisahkan antara 3 (tiga) elemen yang saling terkait, yaitu kepemilikan (ownership),
keluarga (family), dan usaha yang dikelolanya (business). Ketiga elemen ini saling
mempengaruhi dan masing-masing mempunyai potensi untuk membawa perusahaan
keluarga menuju kesuksesan atau kemunduran.33
Menurut Craig E. Aronoff dan John L. Ward dalam bukunya yang berjudul
“Family Meetings: How to Build a Stronger Family and a Stronger Business,” suatu
perusahaan dinamakan perusahaan keluarga apabila terdiri dari dua atau lebih anggota
keluarga yang mengawasi keuangan perusahaan. Karena posisi kunci dipegang oleh
anggota keluarga, maka penguasaan posisi ini terkait dengan peran keluarga dalam
perusahaan dan persemaian nilai-nilai keluarga dalam nilai-nilai perusahaan. Dengan
32 Evie Hikmahwati, “Tantangan Suksesi dan Regenerasi Perusahaan Keluarga Al-Fajar,” (Tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), hal. 4.
33 Renato Tagiuri dan John A. Davis, Bivalent Attributes of the Family Firm (Cambridge: Harvard Business School, 1996).
Universitas Indonesia
11
demikian, tidak heran jika nilai-nilai perusahaan keluarga identik dengan nilai-nilai
keluarga pemiliknya, baik dilihat dari tradisi informal organisasi maupun dari publikasi
formal perusahaan.34
Suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada
keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan
perusahaan. Bisnis keluarga digambarkan sebagai suatu perusahaan di mana keluarga
dipastikan yang memegang sebagian besar saham. Dimana suatu proporsi dari tonggak
manajemen yang senior dipegang oleh anggota dari satu keluarga dan dimana anak-anak
mereka diharapkan untuk mengikuti jejaknya.
II.2. PERSEKUTUAN FIRMA
II.2.1. Pendahuluan
Pada persekutuan dengan firma terdapat beberapa pihak yang bersekutu untuk
menjalankan suatu perusahaan dan sepakat memakai nama dari salah satu sekutu. Laba
pada persekutuan dengan firma dibagi oleh/pada sekutu sesuai isi akta pendirian.
Umumnya laba dibagi atas dasar banyaknya modal yang dimasukkan oleh masing-
masing sekutu. Hal ini lazim disebut berdasar atas keseimbangan pemasukan. Cara lain
dapat dilakukan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, misalnya:
1. Pembagian laba tidak boleh dilakukan oleh pihak ketiga.
2. Laba tidak boleh diberikan kepada seorang sekutu (namun kerugian dapat
dibebankan kepada seorang sekutu).
3. Bagian sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerja hanya dipersamakan
dengan sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil/paling sedikit.
II.2.2. Pengertian
Persekutuan firma adalah perserikatan yang diadakan untuk menjalankan suatu
perusahaan dengan memakai nama bersama.35 Karena firma merupakan bagian dari
perkumpulan maka memiliki unsur sebagai berikut:
1. Kepentingan bersama;
2. Kehendak bersama;
3. Tujuan bersama; dan
4. Kerja sama.34 Craig E. Aronoff dan John L. Ward, Family Meetings: How to Build a Stronger Family and a
Stronger Business (Marietta: Family Enterprise Publishers, 2002), hal. 29.
35 Indonesia (B), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Stbl. No. 23 Tahun 1847, Ps. 16.
Universitas Indonesia
12
Sedangkan unsur yang dimiliki karena firma merupakan bagian dari persekutuan
perdata, yaitu:
1. Perjanjian timbal balik;
2. Inbreng; dan
3. Pembagian keuntungan.
Di samping itu, pada persekutuan dengan firma memiliki corak khusus
dibandingkan persekutuan perdata (sehingga disebut persekutuan perdata khusus).
Kekhususannya terletak pada tiga unsur mutlak sebagai tambahan persekutuan perdata,
yaitu:
1. Menjalankan perusahaan.36
2. Dengan nama bersama atau firma.37
3. Tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan.38
Firma berarti nama bersama, yakni nama seorang sekutu yang dipergunakan
menjadi nama perusahaan, namun dalam praktiknya bisa salah satu nama seorang
sekutu (misalnya Fa. Soeharto), salah satu nama seorang sekutu dengan tambahan
(misalnya Fa. Soeharto dan rekan), kumpulan nama seluruh atau sebagian sekutu
(misalnya Fa. LEGOWO, yang merupakan singkatan dari Lina, Eni, Gunardi, Otong,
Wawan, dan Oki), nama lain yang bukan nama sekutu dan bukan nama keluarga namun
berkaitan dengan tujuan perusahaan (misalnya Fa. Jeruk Purut).39
II.2.3. Dasar Hukum
Pasal 16-35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel
voor Indonesie) – selanjutnya disebut “KUHD” – dan pasal-pasal lainnya dalam
KUHPerdata yang terkait (karena merupakan bagian dari persekutuan perdata).
II.2.4. Pendirian Persekutuan Firma
Pendirian persekutuan firma sebenarnya tidak terikat dengan bentuk tertentu,
artinya ia dapat didirikan secara lisan maupun tertulis baik dengan akta autentik maupun
dengan akta di bawah tangan, namun di dalam praktiknya masyarakat sering
menggunakan akta autentik (akta notaris) karena erat kaitannya dengan masalah
pembuktian.40 Di dalam Pasal 22 KUHD disebutkan bahwa persekutuan dengan firma
harus didirikan dengan akta autentik, tetapi ketiadaan akta tersebut tidak boleh 36 Indonesia (B), Loc. Cit.
37 Ibid.
38 Ibid., Ps. 18.
39 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009), hal. 44.
Universitas Indonesia
13
dikemukakan sebagai dalih yang dapat merugikan pihak ketiga. Hal ini berarti
keharusan tersebut tidak mutlak. Pasal 23-30 menyebutkan setelah akta pendirian dibuat
maka harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana firma tersebut
berkedudukan dan kemudian diumumkan ikhtisar akta pendirian dalam Berita Negara
Republik Indonesia. Kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan tersebut
merupakan keharusan yang bersanksi, karena selama pendaftaran dan pengumuman
tersebut belum dilaksanakan maka pihak ketiga dapat menganggap persekutuan dengan
firma tersebut sebagai persekutuan umum, yakni:41
1. Menjalankan segala macam urusan.
2. Didirikan untuk waktu yang tidak terbatas.
3. Tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan
menandatangani surat bagi persekutuan dengan firma tersebut.
Isi ikhtisar resmi dalam akta pendirian firma dapat dilihat dalam Pasal 26 KUHD.
II.2.5. Macam Sekutu
Hanya ada satu macam sekutu, yaitu sekutu kerja atau Firmant. Tugasnya
menjalankan perusahaan, mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, sehingga
tanggung jawabnya adalah tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan. Bagaimana jika
sekutu biasa lebih dari satu orang? Pasal 17 KUHD menyebutkan, maka harus
ditegaskan dalam anggaran dasar apakah di antara mereka ada yang tidak
diperkenankan bertindak ke luar untuk mengadakan hubungan hukum dengan pihak
ketiga.42 Meskipun sekutu kerja tersebut dikeluarkan wewenangnya (tidak diberi
wewenang) untuk mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, namun hal ini
tidak menghilangkan sifat tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan.43 Di samping itu,
sekutu kerja berhak memasukkan modal ke dalam persekutuan.
II.2.6. Status Hukum
Pada umumnya persekutuan dengan firma dikatakan sebagai perusahaan yang
tidak berbadan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan berstatus badan
hukum harus memiliki unsur/syarat materiil sebagai badan hukum. Dalam praktiknya
firma telah memenuhi syarat/unsur materiil namun syarat/unsur formalnya berupa
40 R. T. Sutantya R. Handhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 23.
41 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hal. 25.
42 Indonesia (B), Op. Cit., Ps. 17.
43 Ibid., Ps. 18.
Universitas Indonesia
14
pengesahan atau pengakuan dari negara berupa peraturan perundang-undangan belum
ada sehingga hal inilah yang menyebabkan sampai sekarang persekutuan dengan firma
bukan merupakan persekutuan yang berbadan hukum.44
II.2.7. Tanggung Jawab Sekutu
Ada dua macam tanggung jawab, yaitu:45
1. Tanggung jawab intern, dalam hal ini tanggung jawab sekutu seimbang dengan
inbreng/pemasukannya, khususnya dalam hal pembagian keuntungan.
2. Tanggung jawab ekstern, dalam Pasal 18 KUHD disebutkan tanggungjawab
pribadi untuk keseluruhan, artinya setiap sekutu bertanggung jawab atas semua
perikatan persekutuan, meskipun dibuat sekutu lain, termasuk perikatan-
perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum dalam hal kerugian.
II.2.8. Pembagian Keuntungan dan Kerugian
Prinsipnya adalah keuntungan harus dibagi namun jika rugi tidak harus dibagi.
Kemungkinan pembagian keuntungan:
1. Tidak diperjanjikan
Apabila di dalam perjanjian persekutuan firma tidak ditentukan bagian masing-
masing sekutu dalam untung dan ruginya persekutuan, maka pembagian
berdasarkan perimbangan pemasukan secara adil dan seimbang,46 dimana bagian
sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerja hanya dipersamakan dengan
sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil/paling sedikit.47
2. Diperjanjikan
Cara pembagian keuntungan dan kerugian oleh sekutu sebaiknya diatur dalam
perjanjian pendirian persekutuan firma. Dengan pembatasan bahwa:
a. Penetapan pembagian keuntungan oleh salah satu sekutu atau oleh pihak
ketiga tidak diperbolehkan;48 dan
b. Tidak boleh memberikan seluruh keuntungan hanya kepada salah seorang
sekutu saja.49
44 Khairandy, Loc. Cit..
45 Ibid..
46 Indonesia (A), Op. Cit., Ps. 1633 ayat (1).
47 Ibid., Ps. 1633 ayat (2).
48 Ibid., Ps. 1634 ayat (1).
49 Ibid., Ps. 1635 ayat (1).
Universitas Indonesia
15
II.3. PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)
II.3.1. Pengertian Persekutuan Komanditer (CV)
Persekutuan Komanditer atau sering kali disebut dengan Commanditaire
Vennootschap (selanjutnya disebut “CV”) adalah suatu Perusahaan yang didirikan oleh
satu atau beberapa orang secara tanggung menanggung, bertanggung jawab secara
seluruhnya atau secara solider, dengan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang
(Geldschieter), dan diatur dalam KUHD. 50 Pengaturan Hukum atas CV sama dengan
persekutuan firma dimana diatur secara tegas pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 35
KUHD. Akan tetapi yang membedakan pengaturan antara CV dengan persekutuan
firma adalah adanya pengaturan sekutu pelepas uang yang diatur menurut ketentuan
Pasal 19, 20 dan 21 KUHD. Dalam hal ini dapat dikatakan juga CV adalah persekutuan
firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Karena dalam
persekutuan firma hanya terdapat sekutu kerja atau firmant, sedangkan dalam CV selain
sekutu kerja terdapat juga sekutu komanditer, yaitu sekutu diam yang hanya
memberikan pemasukannya saja dan tidak mengurus perusahaan.51
Ketentuan dalam Pasal 19 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
menyatakan bahwa CV adalah persekutuan yang terdiri dari satu atau lebih sekutu biasa
dan satu atau lebih sekutu diam (yang juga disebut dengan sekutu komanditer), yang
secara pribadi bertanggung jawab untuk semua utang persekutuan.52 Sekutu diam
kontribusinya hanya memasukkan modal berupa uang, benda atau tenaga kepada
persekutuan, berhak menerima keuntungan dari persekutuan, dan bertanggung jawab
hanya sebesar kontribusinya. Dengan kata lain, sekutu diam atau sekutu komanditer ini
juga mengambil bagian kerugian juga keuntungan persekutuan, namun dalam hal terjadi
kerugian dalam persekutuan, maka sekutu diam atau sekutu komanditer tersebut
menanggung besarnya kerugian sebesar kontribusinya dalam persekutuan. Sekutu
komanditer tidak berwenang melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga ditinjau
berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (1) KUHD. Dalam hal ini undang-undang telah
secara tegas sudah meniadakan hubungan eksternal yang mungkin dilakukan oleh
seorang sekutu komanditer dengan pihak ketiga. Sejak saat semula undang-undang
50 I. G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, cet. 7 (Bekasi: Kesaint Blanc, 2007), hal. 51.
51 H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk Perusahaan, Jilid 2, cet. 12 (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 75.
52 Indonesia (B), Op. Cit., Ps. 19.
Universitas Indonesia
16
sudah menyatakan bahwa sekutu komanditer tidak boleh mengikat persekutuan dengan
pihak ketiga. Dinyatakan pula dalam Pasal 20 ayat (2) KUHD mengenai pengecualian
kegiatan seorang sekutu komanditer dari suatu tindakan pengurusan Persekutuan
Komanditer. Oleh karena sekutu komanditer tidak berwenang melakukan hubungan
eksternal dengan pihak ketiga, dan hanya memiliki kewajiban internal, yaitu pemasukan
sejumlah yang disepakati olehnya dan sekutu lain dalam persekutuan, maka sekutu
komanditer pun wajib menanggung dan melunasi seluruh kewajibannya kepada
persekutuan sebesar jumlah yang telah ia masukkan dalam persekutuan dan tidak perlu
memikul kerugian yang lebih pula daripada jumlah yang telah atau harus dimasukkan
olehnya sebagai modal dalam persekutuan.53 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1633
KUHPerdata, sekutu komanditer mendapat keuntungan sesuai dengan yang ditentukan
dalam Anggaran Dasar Persekutuan Komanditer. Tetapi jika dalam Anggaran dasar
tersebut tidak ditentukan, maka sekutu komanditer mendapat keuntungan sesuai dengan
jumlah pemasukannya dalam Persekutuan Komanditer.
Tindakan kepengurusan pada CV dilakukan oleh sekutu komplementer
merupakan sekutu pengurus yang bertanggung jawab secara penuh mengurus
persekutuan terhadap hubungannya dengan pihak ketiga sebagaimana diatur menurut
ketentuan Pasal 18 KUHD juncto Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Menurut Pasal 17
KUHD bila sekutu komplementer terdapat lebih dari satu orang harus ditegaskan
diantara mereka, apakah diantara mereka ada yang dilarang untuk bertindak keluar.
Meskipun telah ditegaskan di antara para sekutu komplementer mengenai siapa di
antara mereka yang dilarang untuk bertindak keluar, tetapi hal tersebut tidak
mengurangi tanggung jawab masing-masing dari sekutu komplementer untuk
bertanggung jawab secara pribadi dan keseluruhan sampai harta pribadi secara tanggung
menanggung. Dalam hal ini dikarenakan tidak semua sekutu dalam CV bertindak
keluar. Sehingga sekutu diam atau yang sering disebut dengan sleeping partner atau
stille vennoot merupakan anggota persekutuan yang pasif dan tidak melakukan
hubungan dengan pihak ketiga.54 Hal ini disebabkan sekutu pasif atau sekutu
komanditer hanya memiliki fungsi sebagai pelepas uang (geldschieter) atau pemberi
uang, yaitu orang yang mempercayakan uangnya. Dalam hal ini CV memungkinkan
pengumpulan modal yang lebih banyak dari sistem persekutuan firma. Sekutu pengurus
53 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, ed. 1, cet. 2 (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 246-248
54 Widjaya, Op. Cit., hal. 52.
Universitas Indonesia
17
sering kali disebut sebagai komplementaris merupakan anggota yang aktif dengan
tanggung jawabnya sampai kepada harta pribadinya. Sekutu komanditer tidak boleh
mencampuri tugas sekutu komplementer atau sekutu pengurus. Namun, terkait dengan
adanya hubungan dengan pihak ketiga, setiap sekutu komanditer yang ikut melakukan
perbuatan pengurusan CV, dan sekutu komanditer tersebut dengan mengizinkan
pemakaian namanya dalam hal pengurusan CV maka akan memikul akibat hukum,
yakni dianggap sukarela mengikatkan diri terhadap semua tindakan pengurus, oleh
karenanya sekutu komanditer tersebut ikut bertanggung jawab secara solider atau
bertanggung jawab secara keseluruhan atas utang Persekutuan Komanditer.55
Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa sekutu
pengurus atau sekutu kerja atau sekutu komplementer, yaitu sekutu yang menjadi
pengurus persekutuan.56 Dalam hal ini, penulis meninjau bahwa sekutu pengurus atau
sekutu komplementer ini menjalankan kewenangan dan pengurusan layaknya sebuah
persekutuan firma. Sedangkan sekutu diam atau sekutu tidak kerja atau sekutu
komanditer adalah tidak mengurus persekutuan dan hanya memberikan inbreng.
Kehadiran sekutu diam atau sekutu komanditer adalah ciri utama dari Persekutuan
Komanditer. Sekutu komanditer ini lah yang membedakan antara CV dengan
perusahaan persekutuan lainnya.
II.3.2. Pendirian Persekutuan Komanditer (CV)
Terkait dengan pendirian CV itu sendiri, pada hakekatnya tidak diperlukan
formalitas tertentu. Hal ini disebabkan pendirian CV dapat dilakukan secara lisan
maupun tertulis, baik dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah tangan. Selain
itu pula, tidak adanya aturan yang menyatakan adanya keharusan dari CV itu untuk
melakukan pendaftaran ataupun pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal ini, CV adalah Firma sehingga harus juga memenuhi segala ketentuan hukum
yang diatur sebagaimana halnya Firma. Pada prakteknya di Indonesia telah
menunjukkan suatu kebiasaan bahwa orang yang mendirikan CV berdasarkan akta
Notaris (berbentuk otentik). Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pendirian dapat
dilakukan dengan berbagai cara asalkan tidak merugikan pihak ketiga.57 Namun
bilamana dilakukan pendirian dengan Akta Otentik, adanya kewajiban pendaftaran akta 55 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 18-
19.
56 Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perusahaan, cet. 1 (Jakarta: Visimedia, 2009), hal. 82.
57 Indonesia (B), Op. Cit., Ps. 22.
Universitas Indonesia
18
pendirian atau ikhtisar resminya dalam register yang disediakan pada Kantor Panitera
Pengadilan Negeri tempat kedudukan perseroan itu (raad van justitie).58 Akan tetapi
yang didaftarkan hanyalah berupa Anggaran Dasarnya saja sebagaimana diatur menurut
ketentuan Pasal 24 KUHD yang dimana sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan:59
a. Nama, pekerjaan, tempat tinggal dari sekutu;
b. Pernyataan bahwa CV tersebut melaksanakan kegiatan usaha yang umum atau
terbatas pada cabang usaha tertentu dengan menunjukkan maksud dan tujuan
dari usaha yang hendak dilakukan oleh CV tersebut;
c. Penunjukkan para sekutu baik yang aktif maupun pasif;
d. Saat mulai berlakunya dan berakhirnya;
e. Klausula-klausula penting lainnya yang berkaitan dengan pihak ketiga terhadap
persekutuan.60
Namun, satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam CV adalah dimana
selayaknya perusahaan persekutuan maka tidak ditentukan besarnya modal dalam
persekutuan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1619 KUHPerdata menentukan bahwa
para sekutu tidak hanya memasukkan bagian persekutuan dalam bentuk uang atau pun
barang (inbreng) akan tetapi juga dalam bentuk tenaga dan kerajinannya. Sehingga hal
ini tidak bisa secara keseluruhan ditentukan dalam bentuk uang untuk modal dasar yang
digunakan dalam persekutuan. Akan tetapi, penulis menganggap bahwa yang dapat
memasukkan barang maupun tenaga dan kerajinan hanya lah sekutu pengurus atau
sekutu komplementer sedangkan sekutu pelepas uang hanya dapat memasukkan uang
saja.
Setelah Anggaran Dasar akta CV tersebut di daftarkan di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri setempat dimana CV tersebut berada dan ditanggali pada hari akta
atau petikannya dibawa di kepaniteraan, selanjutnya keharusan adanya pengumuman
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia bahwa CV tersebut telah berdiri
dan didirikan dengan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 jo
Pasal 27 dan Pasal 28 KUHD tersebut. Terkait dengan pendaftaran dan pengumuman
tersebut, apabila hal itu belum terjadi maka CV terhadap pihak ketiga dianggap sebagai
58 Ibid., Ps. 23 dan 24.
59 Ibid., Ps. 26.
60 Ibid., Ps. 27.
Universitas Indonesia
19
persekutuan perdata sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dimana semua sekutu
diperkenankan untuk bertindak dan dianggap berhak mengurus CV tersebut.61
II.3.3. Status Hukum Persekutuan Komanditer (CV)
CV sebagaimana halnya dengan perusahaan lain yang berbentuk persekutuan,
secara umum tidak dapat dikatakan sebagai badan hukum. Dalam hubungannya dengan
pihak ketiga, pihak ketiga tersebut tidak dapat menuntut sekutu komanditer. Dalam hal
ini pihak ketiga hanya berurusan dan bertransaksi dengan CV bilamana hal itu diwakili
oleh sekutu komplementer.62 Tetapi dalam hal ini bilamana sekutu komanditer
menampilkan kewenangannya sebagai pengurus, ia pun dapat dituntut dan
berkedudukan sama dengan sekutu komplementer. Namun demikian, ditinjau dari
bentuk hukumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 KUHD, dapat
dikatakan bahwa CV bukanlah badan hukum dikarenakan tidak adanya pengesahan
menjadi badan hukum oleh instansi yang terkait. Selain itu, tanggung jawabnya pun dari
para sekutunya tidak terbatas (unlimited liability) sampai meliputi harta pribadi mereka
atau tidak secara mutlak terbatas seperti halnya PT sehingga hal ini tidak dapat
dikategorikan sebagai badan hukum.
II.4. USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UKM)
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(selanjutnya disebut “UKM”) selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai
peranan yang penting, karena sebagian besar jumlah pendudknya berpendidikan rendah
dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern.63 UKM
di Indonesia adalah merupakan subyek diskusi dan menjadi perhatian pemerintah
karena perusahaan kecil tersebut menyebar dimana-mana, dan dapat member
kesempatan kerja yang potensial. Para ahli ekonomi sidah lama menyadari bahwa sektor
UKM sebagai salah satu karakteristik keberhasilan dan pertumbuhan ekonomi. UKM
menyumbang pembangunan dengan berbagai jalan, menciptakan kesempatan kerja,
untuk perluasan angkatan kerja bagi urbanisasi, dan menyediakan fleksibilitas
kebutuhan serta inovasi dalam perekonomian secara keseluruhan.64
61 Ibid., Ps. 29.
62 Ibid., Ps. 21.
63 Tiktik Sartika Partomo, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (Jakarta: Center for Industry and SME Studies Faculty of Economics University of Trisakti, 2004), hal. 2.
64 Ibid., hal. 3.
Universitas Indonesia
20
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKK tanggal 29 Mei 1993
perihal Kredit Usaha Kecil (KUK), usaha kecil didefinisikan sebagai usaha yang
memiliki total aset maksimum Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan rumah yang ditempati.65 Pengertian usaha kecil ini meliputi usaha
perseorangan, badan usaha swasta dan koperasi, sepanjang aset yang dimiliki tidak
melebihi nilai Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).66
Sebagaimana telah diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
rangka Demokrasi Ekonomi bahwa UKM perlu diberdayakan sebagai bagian integral
ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk
mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan
berkeadilan. Oleh karena itu, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk menetapkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut “UU
UKM”) pada tanggal 4 Juli 2008 di Jakarta.
Berdasarkan UU UKM, yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah: “Usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”67 Adapun kriteria
terkait Usaha Mikro adalah sebagai berikut:68
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Kemudian, Usaha Kecil didefinisikan sebagai:69
Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
65 Anoraga, Op. Cit., hal. 224.
66 Ibid..
67 Indonesia (C), UU tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 1 angka 1.
68 Ibid., Ps. 6 ayat (1).
69 Ibid., Ps. 1 angka 2.
Universitas Indonesia
21
langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang
memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.
Sementara kriteria dari Usaha Kecil berdasarkan UU UKM adalah sebagai berikut:70
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima
ratus juta rupiah).
Selanjutnya, pengertian daripada Usaha Menengah adalah:71
Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Lebih lanjut UU UKM mengatur mengenai kriteria dari Usaha Menengah, yaitu sebagai
berikut:72
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh milyar rupiah).
70 Ibid., Ps. 6 ayat (2).
71 Ibid., Ps. 1 angka 3.
72 Ibid., Ps. 6 ayat (3).
Universitas Indonesia
22
Kriteria masing-masing Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya masih dapat berubah nominalnya sesuai
dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.73
II.5. KELEBIHAN PERUSAHAAN KELUARGA
II.5.1. Kelebihan Perusahaan Keluarga secara Umum
Perusahaan keluarga secara umum memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan jenis perusahaan lainnya yang adalah sebagai berikut:
1. Independence of Action
Tingginya tingkat kemandirian tindakan (independence of action). Artinya
sedikit atau bahkan tidak ada tekanan pasar bursa (stock market) dan kecil atau
tidak ada risiko pengambilalihan perusahaan. Selain itu terdapat financial benefit
– keuangan adalah milik keluarga yang tidak dibagi dengan pemegang saham
atau perusahaan lain. Proses pengambilan keputusan dalam keuangan pun lebih
cepat. Hal ini berbeda dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara
(selanjutnya disebut sebagai “BUMN”) atau perusahaan non-family yang dalam
proses persetujuan mengenai keuangan sampai ke dewan komisaris bahkan
sampai ke para pemegang saham, atau ke pemerintah untuk BUMN.74
2. Knowledge of Business dan Entrepreneurship
Dari sisi budaya perusahaan (corporate culture), kultur keluarga merupakan
suatu kebanggan tersendiri yang menunjukkan adanya stabilitas, identifikasi,
motivasi, dan komitmen yang kuat, serta kontinuitas dalam kepemimpinan.
Perusahaan keluarga yang mampu bertahan dan mempunyai knowledge of
business yang bagus tentu mempunyai jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)
yang luar biasa. Sementara, untuk meningkatkan knowledge of business di
BUMN sangat susah. Ini berbeda sekali dengan perusahaan keluarga, karena
kalau bisnis tidak berhasil, maka keluarga tidak bisa makan. Hal inilah yang
juga ditanamkan ke anggota keluarga.75
3. Business Development
Adanya kemauan untuk menginvestasikan kembali profit sesuai kesepakatan
bersama untuk mengembangkan perusahaan (business development).76
73 Ibid., Ps. 6 ayat (4).
74 Susanto, Op. Cit., hal. 10.
75 Ibid..
76 Ibid..
Universitas Indonesia
23
4. Business Knowledge
Dilihat dari pengetahuan bisnisnya (business knowledge), anggota keluarga
sudah dari awal memperoleh latihan dari keluarga tentang pengelolaan
perusahaannya.77
5. Corporate Governance
Birokrasi yang kecil dan fleksibel dengan mengedepankan corporate
governance dan sistem akuntabilitas, serta jelasnya sistem tanggung jawab.78
6. Long-term Perspective
Rata-rata bisnis keluarga ingin menjadi bisnis jangka panjang. Bila perusahaan
keluarga ini sudah go public, investor yang membeli saham-saham perusahaan
keluarga pun berharap untuk jangka panjang.79
7. Flexibility and Easiness in Financing the Business
Perusahaan keluarga yang mempunyai reputasi baik dikarenakan sang pemilik
memiliki rekam jejak (track record) yang baik, sehingga mendukung sumber
pendanaan pihak ketiga, baik dari institusi formal (bank atau lainnya) maupun
informal (non financial institution). Faktor ini semakin menjadi keunggulan
kompetitif jika perusahaan telah mencapai kategori medium size company.80
John L. Ward dalam bukunya yang berjudul “Perpetuating the Family Business:
50 Lessons Learned from Long-Lasting Successful Families in Business”
menambahkan daftar keuntungan dari bentuk perusahaan keluarga, yaitu kesempatan
bekerja bersama, saling percaya memperteguh keluarga dan bisnis, kesempatan untuk
menciptakan kekayaan, sebagai cara untuk menurunkan nilai-nilai kepada anak-anak,
respek di masyarakat, dan pengaruh yang lebih besar sebagai individu.81
Kemudian, Mohammad Iqbal menambahkan bahwa di kalangan UKM
tampaknya bentuk perusahaan keluarga dinilai paling baik. Karena, rahasia perusahaan
bisa tetap terjaga sehingga tidak mudah diketahui oleh umum atau pesaing. Harmonisasi
77 Ibid..
78 Ibid..
79 Tutut Handayani, “Tiga Faktor Kekuatan Bisnis Keluarga,” http://swa.co.id/listed-articles/tiga-faktor-kekuatan-bisnis-keluarga, diakses pada 24 Oktober 2012.
80 Ibid..
81 John L. Ward, Perpetuating the Family Business: 50 Lessons Learned from Long-Lasting, Successful Families in Business (New York: Palgrave Macmillan, 2004), hal. 11.
Universitas Indonesia
24
hubungan psikologis juga lebih mudah tercipta di perusahaan keluarga. Konflik pun
jarang terjadi karena antar sesama anggota memiliki tenggang rasa.82
Selain itu, dengan banyaknya anggota keluarga yang terlibat dalam perusahaan,
jalannya perusahaan akan lebih lancar. Komunikasi lebih efektif dan biaya personalia
dapat ditekan/efisien. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya gaji yang besar
karena tidak perlu membayar tenaga professional dari luar anggota keluarga. Karena
alasan-alasan tersebut, banyak para pengusaha kecil yang terus-menerus berupaya
mempertahankan anggota keluarga dalam perusahaannya.83
II.5.2. Kelebihan Perusahaan Keluarga Berbentuk Persekutuan Firma
Pada perusahaan keluarga yang berbentuk persekutuan firma terdapat beberapa
kelebihan, yaitu:84
1. Kebutuhan akan modal lebih mudah terpenuhi jika dibandingkan dengan
perusahaan perseorangan, sehingga modal dalam firma lebih besar.
2. Tergabungnya alasan-asalan rasional karena sebagian besar tindakan yang
didasarkan oleh musyawarah menghasilkan kebenaran dan mendatangkan
keuntungan.
3. Perhatian sekutu yang sungguh-sungguh pada perusahaan di mana setiap sekutu
pada persekutuan dengan firma bertanggung jawab tidak hanya pada tindakan-
tindakannya sendiri tetapi juga pada tindakan dari sekutu lain.
II.5.3. Kelebihan Perusahaan Keluarga Berbentuk Persekutuan Komanditer
Pada perusahaan keluarga yang berbentuk persekutuan komanditer atau CV
terdapat beberapa kelebihan, yaitu:85
1. Pendiriannya tidak terlalu rumit, yaitu dapat dilakukan, baik dengan lisan
maupun tulisan. Apabila dilakukan dengan tulisan maka dapat dibuat akta
otentik dengan Akta Notaris ataupun dengan akta di bawah tangan. Akta Notaris
merupakan alat pembuktian yang membuat kedudukan CV kuat apabila
berhubungan dengan pihak ketiga.
2. Bentuk badan usaha CV telah mendapat kepercayaan masyarakat.
82 Mohammad Iqbal, Solusi Jitu bagi Pengusaha Kecil dan Menengah: Pedoman Menjalankan Usaha, cet. Kedua (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hal. 58.
83 Ibid..
84 Raharjo, Op. Cit., hal. 47.
85 Ibid., hal. 57.
Universitas Indonesia
25
3. Banyak pengusaha kecil dan menengah terutama perusahaan keluarga yang
memilih bentuk badan usaha CV karena dalam CV tidak semua sekutu harus
memasukkan sesuatu ke dalam CV dan tidak semua sekutu harus mengurus
perusahaan. Dalam CV yang memasukkan sesuatu ke dalam CV dan mempunyai
tanggung jawab terbatas hanya sekutu komanditer (sekutu pasif) sedangkan yang
mengurus perusahaan dan mempunyai tanggung jawab tidak terbatas hanya
sekutu komplementer (sekutu aktif). Dengan demikian CV lebih fleksibel
dibandingkan dengan bentuk badan usaha lainnya.
4. Struktur organisasi CV tidak terlalu rumit. Organ yang terdapat dalam CV hanya
sektu komanditer dan sekutu komplementer.
5. Modal yang dibutuhkan untuk mendirikan dan menjalankan CV tidak
ditentukan, dapat besar maupun kecil sehingga bentuk badan usaha CV banyak
dipilih oleh perusahaan kecil dan menengah.
II.5.4. Kelebihan Perusahaan Keluarga sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah
UKM pada kenyataannya mampu bertahan dan mengantisipasi kelesuan
perekonomian yang diakibatkan inflasi maupun berbagai faktor penyebab lainnya.
Tanpa subsidi maupun proteksi, UKM mampu menambah nilai devisa negara
khususnya industry kecil di sektor informal dan mampu berperan sebagai penyangga
dalam perekonomian masyarakat kecil/lapisan bawah.86
Di samping itu, usaha kecil juga memiliki nilai strategis bagi perkembangan
perekonomian negara kita, antara lain sebagai berikut:87
1. Banyaknya produk-produk tertentu yang dikerjakan oleh perusahaan kecil.
Perusahaan besar dan menengah banyak ketergantungan kepada perusahaan
kecil, karena jika hanya dikerjakan perusahaan besar dan menengah, marginnya
menjadi tidak ekonomis.
2. Merupakan pemerataan konsentrasi dari kekuatan-kekuatan ekonomi dalam
masyarakat.
Secara umum perusahaan dalam skala kecil baik usaha perseorangan maupun
persekutuan (kerja sama) memiliki kelebihan dan daya tarik. Kelebihan dan daya tarik
tersebut adalah sebagai berikut:88
86 M. Tohar, Membuka Usaha Kecil, cet. ke-7 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 27.
87 Ibid..
88 Ibid., hal. 28.
Universitas Indonesia
26
1. Pemilik merangkap manajer perusahaan dan merangkap semua fungsi
manajerial seperti marketing, finance, dan administrasi.
2. Dalam pengelolaannya mungkin tidak membutuhkan keahlian manajerial yang
handal.
3. Sebagian besar membuat lapangan pekerjaan baru, inovasi, sumber daya baru
serta barang dan jasa-jasa baru.
4. Fleksibel terhadap bentuk fluktuasi jangka pendek.
5. Bebas menentukan harga produksi atas barang dan jasa.
6. Prosedur hukumnya sederhana.
7. Pajak relatif ringan, karena yang dikenakan pajak adalah pribadi/pengusaha,
bukan perusahaannya.
8. Mudah dalam proses pendiriannya.
9. Pemilik mengelola secara mandiri dan bebas waktu.
10. Pemilik menerima seluruh laba.
11. Memberikan peluang dan kemudahan dalam peraturan dan kebijakan pemerintah
demi berkembangnya UKM.
12. Diversifikasi usaha terbuka luas sepanjang waktu dan pasar konsumen
senantiasa tergali melalui kreativitas pengelola.
13. Relatif tidak membutuhkan investasi terlalu besar, tenaga kerja tidak
berpendidikan tinggi, dan sarana produksi lainnya relatif tidak terlalu mahal.
14. Mempunyai ketergantungan secara moril dan semangat usaha dengan pengusaha
kecil lainnya.
Di samping itu, Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Soejoedono
menambahkan beberapa keunggulan UKM terhadap usaha besar antara lain adalah:89
1. Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan
produk.
2. Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil.
3. Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau penyerapannya
terhadap tenaga kerja.
4. Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang
berubah dengan cepat disbanding dengan perusahaan skala besar yang pada
umumnya birokratis.
5. Terdapatnya dinamisme manajerial dan peranan kewirausahaan.
89 Partomo, Loc. Cit..
Universitas Indonesia
28
BAB III
MASALAH AKTUAL YANG DIHADAPI PERUSAHAAN DAN
PEMERINTAH DALAM MENGEMBANGKAN
PERUSAHAAN KELUARGA
III.1. MASALAH AKTUAL YANG DIHADAPI PERUSAHAAN DALAM
MENGEMBANGKAN PERUSAHAAN KELUARGA
III.1.1.Masalah Aktual yang Dihadapi Perusahaan dalam Mengembangkan
Perusahaan Keluarga secara Umum
Di samping segelintir kelebihan perusahaan keluarga sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya, perusahaan keluarga juga memiliki beberapa
hambatan atau kendala dalam memperkuat posisinya dalam sektor usaha. Adapun
masalah aktual yang dihadapi perusahaan dalam mengembangkan perusahaan keluarga
secara umum ialah sebagai berikut ini:90
1. Confusing Organization
Perusahaan keluarga merupakan organisasi yang membingungkan. Misalnya,
seberapa besar pengaruh atau peran istri/suami dalam organisasi. Kalau
istri/suami duduk dalam organisasi, tidak menjadi masalah, tetapi kalu
istri/suami di luar organisasi tetapi ikut mengatur, maka akan terjadi organisasi
yang membingungkan (confusing organization). Keluarga mendominasi
perusahaan dengan alasan-alasan keluarga di atas logika bisnis (family reason
over business logic), sistem penghargaan yang tidak adil, dan kesulitan menarik
manajemen profesional.
2. Spoiled Child Syndrome
Terdapat sindrom anak manja (spoiled child syndrome) di perusahaan atau
toleransi terhadap anggota keluarga yang tidak kompeten, misalnya cucu
kesayangan atau yang berkaitan dengan crown prince atau princess sebagai
calon pengganti. Pertentangan-pertentangan keluarga pun membanjiri
perusahaan. Akibatnya, ada kecanggungan dari manajemen professional tentang
peran mereka karena ikatan keluarga yang begitu kuat.
3. Milking the Business
90 Susanto, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
29
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kemungkinan terjadinya milking the
business, yaitu anggota keluarga yang sangat berpengaruhi di perusahaan
menyedot revenue dari bisnis tersebut untuk keperluan lain atau pribadi. Isu-isu
keuangan lain yang merupakan kerugian sebagai perusahaan keluarga adalah
akses yang terbatas di pasar modal, adanya ketidakseimbangan antara kontribusi
dan kompensasi.
John L. Ward dalam bukunya yang berjudul “Perpetuating the Family Business:
50 Lessons Learned from Long-Lasting Successful Families in Business”
menambahkan beberapa kerugian lain dari bisnis bersama anggota keluarga seperti
potensi munculnya konflik, munculnya kekecewaan ketika tujuan pribadi tidak tercapai,
terlalu banyak masalah financial, hilangnya privacy sebagai akibat publisitas di
masyarakat, dan rentan terhadap kritik dari luar keluarga.91
Pendapat dari John L. Ward tersebut kemudian dipertegas oleh Thomas W.
Zimmerer, Norman M. Scarborough, dan Doug Wilson melalui bukunya yang berjudul
“Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management.” Menurut mereka
penyebab utama dari tidak mampu bertahannya perusahaan keluarga adalah
perencanaan properti yang tidak memadai, kegagalan membuat rencana suksesi
manajemen, dan kurangnya dana untuk membayar pajak properti. Selain itu, persaingan
antar saudara, ketidaksepakatan mengenai siapa yang memegang kendali atas
perusahaan, dan konflik pribadi tak jarang menyebabkan pertikaian sengit yang dapat
memisahkan keluarga dan menghancurkan perusahaan yang semula cukup kuat.92
III.1.2.Masalah Aktual yang Dihadapi Perusahaan dalam Mengembangkan
Perusahaan Keluarga sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Sebagai suatu ilustrasi, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap
Industri Kecil (selanjutnya disebut “IK”) dan Industri Rumah Tangga (selanjutnya
disebut “IRT”) tahun 1998 menunjukkan ada 5 (lima) masalah utama yang dihadapi
oleh pengusaha-pengusaha IK dan IRT: Pemasaran; Penyediaan bahan baku;
Permodalan; Pembayaran gaji/upah pekerja; dan Biaya pemakaian energi. Hampir 30%
dari total IK yang survei (194.564 unit usaha) mengalami masalah pemasaran,
sedangkan IRT sekitar 22,28% dari 2.002.335 unit usaha yang ada di dalam sampel. Di
antara komponen-komponen dari permasalahan pemasaran, sebagian besar dari
91 Ward, Op. Cit, hal. 12.
92 Zimmerer, Loc. Cit..
Universitas Indonesia
30
responden mengatakan bahwa penurunan permintaan terhadap produk-produk mereka
merupakan komponen terbesar.93
Tulus T. H. Tambunan melalui bukunya “Usaha Kecil dan Menengah di
Indonesia: Beberapa Isu Penting” mencoba memberikan penjabaran dan penjelasan
terhadap masing-masing masalah aktual yang dihadapi perusahaan dalam
mengembangkan perusahaan keluarga sebagai UKM yang akan dipaparkan berikut ini:
1. Kesulitan Memperoleh Modal
Masalah utama yang dihadapi oleh UKM dalam aspek permodalan adalah
mobilisasi modal awal dan akses ke modal kerja serta modal jangka panjang
untuk investasi, yang diperlukan untuk pertumbuhan output jangka panjang.
Walaupun pada umumnya modal awal bersumber dari modal (tabungan) sendiri
atau sumber-sumber informal, namun sumber-sumber permodalan ini sering
tidak cukup untuk kegiatan produksi, apalagi untuk investasi perluasan kapasitas
produksi atau menggantikan mesin-mesin tua. Mengharapkan sisa dari
kebutuhan modal tersebut dibiayai oleh dana dari perbankan jauh dari realitas.
Hingga saat ini, walaupun banyak skema kredit dari perbankan dan dari bantuan
BUMN, sumber-sumber pendanaan dari sektor informal masih tetap dominan
dalam pembiayaan kegiatan usaha kecil. Hal ini disebabkan oleh sejumlah
alasan, di antaranya adalah:94
a. Lokasi bank terlalu jauh, terlebih bagi pengusaha kecil yang tinggal di
daerah yang relatif terisolir.
b. Persyaratan terlalu berat terutama persyaratan agunan.
c. Urusan administrasi terlalu bertele-tele.
d. Kurang informasi mengenai skema perkreditan yang ada dan prosedurnya.
Kesulitan lain, di mata bank pengusaha kecil tidak mampu mengetahui apa
sebenarnya permasalahannya. Dalam hal ini, mereka hanya mampu menyatakan
kekurangan modal. Banyak di antara mereka yang tidak mampu menyusun
proposal secara baik, sehingga apa yang dimaui tidak dapat diungkapkan secara
jelas. Dari pihak bank sendiri, biasanya membutuhkan analisis mulai dari aspek
93 Tambunan, Op. Cit., hal. 6.
94 Tulus T. H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hal. 74.
Universitas Indonesia
31
legalitas, keuangan, produksi, seumber daya, pemasaran maupun kolateral. Itu
semua sulit dipenuhi oleh pengusaha kecil.95
Hambatan menyangkut permodalan ini semakin berat dirasakan UKM dengan
adanya tekanan dari faktor eksternal menyangkut aliran kas (cash flow) dari
keuangan mereka. Masyarakat atau konsumen kebanyakan memberlakukan
sistem pembayaran mundur terhadap barang yang dipesan kepada pelaku UKM.
Begitu juga para pengusaha besar yang menerima pasokan produk dari UK
menerapkan cara yang sama dalam sistem pembayarannya. Padahal, pengusaha
kecil menengah harus membeli berbagai bahan baku dan bahan pendukung
lainnya secara tunai. Hal ini yang menyebabkan UKM semakin sulit
berkembang.96
2. Kesulitan Pemasaran
Kesulitan pemasaran adalah kendala kedua yang dihadapi oleh banyak usaha
kecil. Jika usaha kecil tidak melakukan perbaikan yang cukup di semua aspek-
aspek yang terkait dengan pemasaran, seperti kualitas produk dan kegiatan
promosi dapat dipastikan akan sulit bagi UKM untuk turut berkiprah dalam
pembangunan dan era perdagangan bebas.
Masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh UKM adalah tekanan-tekanan
persaingan, baik di pasar domestik dari produk-produk serupa buatan UB dan
impor, maupun di pasar ekspor. Masalah pemasaran bisa menjadi lebih serius,
karena salah satu efek dari krisis yang terjadi beberapa tahun yang lalu hingga
kini belum pulih benar adalah akses ke kredit bank menjadi sulit – kalau tidak
dikatakan tertutup sama sekali – ditambah lagi dengan mahalnya bahan baku
yang pada umumnya masih diimpor, dan permintaan pasar dalam negeri yang
menurun karena merosotnya tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita.
Akibatnya, banyak usaha kecil tidak memiliki sumber daya produksi yang cukup
untuk paling tidak mempertahankan volume produksi dan memperbaiki kualitas
dari produk-produk dan memperbaiki mereka, dan ini berarti mereka semakin
sulit untuk meningkatkan atau bahkan mempertahankan tingkat daya saing
mereka di pasar domestik maupun pasar internasional.97
95 Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, Ed. Revisi (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 58.
96 Yusuf C. K. Arianto, Rahasia Dapat Modal & Fasilitas dengan Cepat & Tepat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal. 13.
97 Tambunan, Op. Cit., hal. 73.
Universitas Indonesia
32
3. Kesulitan Memperoleh Informasi
Kesulitan informasi adalah kendala ketiga yang dihadapi oleh banyak UKM
dalam rangka mengembangkan usahanya. Kekurangan informasi yang akurat
dan up to date mengenai peluang-peluang pasar di dalam maupun di luar negeri
– seperti: Potensi pembeli, perubahan selera masyarakat, teknologi dan lain-lain
– dan peraturan-peraturan mengenai tata niaga pemasaran regional maupun
internasional dalam konteks Pasar Tungga Eropa, AFTA, dan WTO/GATT dan
aspek-aspek hukum lain seperti kesepakatan-kesepakatan internasional
mengenai larangan penggunaan buruh anak-anak, lingkungan hidup dan hak
asasi manusia (HAM) yang dikaitkan dengan perdagangan internasional,
merupakan suatu kendala bagi UKM untuk dapat menembus pasar global atau
meningkatkan atau paling tidak untuk mempertahankan pangsa ekspor mereka.
Selain terbatasnya informasi, banyak usaha kecil khususnya mereka yang
kekurangan modal dan Sumber Daya Manusia (selanjutnya disebut “SDM”)
serta mereka yang berlokasi di daerah-daerah pedalaman yang relatif terisolir
dari pusat-pusat informasi, komunikasi, dan transportasi juga mengalami
kesulitan untuk memenuhi standar-standar internasional yang terkait dengan
produksi dan perdagangan. Masalah tersebut semakin terasa bagi pengusaha-
pengusaha yang melayani pasar terbuka atau ekspor. Di pasar terbuka mereka
berhadapan dengan produk-produk serupa dari pengusaha-pengusaha besar yang
lebih unggul dalam banyak hal, maupun persaingan dari barang-barang impor.
Bahkan di pasar ekspor, pengusaha-pengusaha kecil Indonesia harus berhadapan
dengan mitra mereka juga dari skala usaha yang sama dan lebih maju dari
negara-negara lain.98
4. Kesulitan Teknologi
Kesulitan teknologi adalah kendala keempat yang umumnya dihadapi oleh usaha
kecil di Indonesia. Umumnya usaha kecil di Indonesia masih menggunakan
teknologi lama dan tradisional dalam bentuk mesin-mesin tua atau alat-alat
produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya
membuat rendahnya total factor productivity dan efisiensi di dalam proses
produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat. Keterbatasan
teknologi tersebut disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah
keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin-mesin baru atau untuk
98 Ibid., hal. 69.
Universitas Indonesia
33
menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai
perkembangan teknologi atau mesin-mesin dan alat-alat produksi baru dan
keterbatasan SDM yang dapat mengoperasikan mesin-mesin baru atau
melakukan inovasi-inovasi dalam produksi maupun proses produksi.
Rendahnya penguasaan teknologi modern merupakan ancaman serius bagi
kesanggupan usaha kecil untuk dapat bersaing di era pasar bebas. Di dalam era
pasar bebas tersebut, faktor teknologi bersama-sama dengan faktor SDM akan
menjadi lebih penting daripada faktor sumber daya alam (SDA). Dengan
perkataan lain, dua faktor keunggulan komparatif yang sekarang dimiliki UKM
Indonesia yaitu tersedianya berbagai ragam bahan baku dalam jumlah yang
berlimpah dan upah tenaga kerja yang murah akan semakin tidak penting di
masa datang, diganti oleh faktor keunggulan kompetitif, yaitu: Teknologi dan
SDM.99
5. Kesulitan Sumber Daya Manusia
Keterbatasan SDM merupakan salah satu kendala serius bagi usaha kecil,
terutama dalam aspek-aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis,
akuntansi, data processing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Semua
keahlian ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan atau memperbaiki
kualitas produk, mengingatkan efisiensi dan produktivitas dalam produksi,
memperluas pangsa pasar dan menembus pasar baru.
Cara paling efektif menanggulangi masalah SDM adalah memberikan pelatihan
langsung kepada pengusaha. Tetapi banyak pengusaha kecil tidak sanggup
menanggung sendiri biaya pelatihan. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat
penting dalam menyelenggarakan program-program pendidikan dan latihan bagi
pengusaha maupun tenaga kerja UKM. Selama ini sudah banyak pelatihan dan
penyuluhan yang diberikan kepada pengusaha kecil oleh pemerintah, terutama
oleh Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hanya saja
efektivitasnya masih diragukan. Karena banyak pengusaha yang pernah
mengikuti pelatihan dan penyuluhan tersebut terlalu teoritis, waktunya terlalu
99 Ibid., hal. 80.
Universitas Indonesia
34
singkat, tidak ada tindak lanjutnya dan sering kali tidak cocok dengan kebutuhan
mereka yang sebenarnya.100
6. Kesulitan Memperoleh Bahan Baku
Kesulitan memperoleh bahan baku dan input lainnya juga menjadi masalah
serius bagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi usaha kecil.
Terutama selama krisis beberapa waktu yang lalu, banyak sentra-sentra usaha
kecil di sejumlah sub sektor industri manufaktur seperti sepatu dan produk-
produk tekstil mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya,
atau karena harganya dalam Rupiah menjadi sangat mahal akibat depresiasi nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Tidak sedikit dari mereka
terpaksa menghentikan usaha dan berpindah profesi ke kegiatan-kegiatan
ekonomi lainnya, misalnya menjadi pedagang.101
7. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
UKM yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan
usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh
karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai
kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah
mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang
dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.102
8. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut
terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang
disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya
menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi
generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.103
9. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha atau Infrastruktur
100 Ibid., hal. 79.
101 Abdul Fatah Prawiraningprang, “Peran Pelaku Usaha Kecil dalam Pembangunan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hal. 37.
102 Mohammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” Infokop Nomor 25 Tahun XX (2004), hal. 42.
103 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, “Artikel tentang Usaha Kecil dan Menengah,” http://diskop.padang.go.id/artikel-tentang-usaha-kecil-dan-menengah/, diakses 26 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
35
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak
cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana
yang diharapkan.104 Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh
tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga
sewa atau tempat yang ada kurang strategis.105
10. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan
APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap UKM untuk bersaing dalam
perdagangan bebas.
Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses produksi
dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai
dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO
9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta
isu ketenagakerjaan.
Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan
(Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar
mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan
kompetitif.106
M. Tohar membedakan kelemahan pengelolaan UKM menjadi 2 (dua), yaitu:
Berkaitan dengan Faktor Intern dan berkaitan dengan Faktor Ekstern dalam bukunya
yang diberi judul “Membuka Usaha Kecil.” Kelemahan dan hambatan dalam
pengelolaan UKM umumnya berkaitan dengan faktor intern dari UKM itu sendiri.
Kelemahan dan hambatan-hambatan tersebut adalah sebagai berikut:107
1. Terlalu banyak biaya yang dikeluarkan, utang yang tidak bermanfaat, tidak
mematuhi ketentuan pembukuan standar.
2. Pembagian kerja yang tidak proporsional, dan karyawan sering bekerja di luar
batas jam kerja standar.
3. Tidak mengetahui secara tepat berapa kebutuhan modal kerja karena tidak
adanya perencanaan kas.104 Hafsah, Loc. Cit..
105 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, Loc. Cit..
106 Hafsah, Loc. Cit..
107 Tohar, Op. Cit., hal. 29.
Universitas Indonesia
36
4. Persediaan barang terlalu banyak sehingga beberapa jenis barang ada yang
kurang laku.
5. Sering terjadi miss-management dan ketidakpedulian pengelolaan terhadap
prinsip-prinsip manajerial.
6. Sumber modal yang terbatas pada kemampuan pemilik.
7. Perencanaan dan program pengendalian sering tidak ada atau belum pernah
merumuskan.
Adapun yang menyangkut faktor ekstern antara lain:108
1. Risiko dan utang-utang kepada pihak ketiga ditanggung oleh kekayaan pribadi
pemilik;
2. Sering kecurangan informasi bisnis, hanya mengacu pada institusi dan ambisi
pengelola, serta lemah dalam promosi; dan/atau
3. Tidak pernah melakukan studi kelayakan, penelitian pasar, dan analisis
perputaran uang tunai.
III.2. MASALAH AKTUAL YANG DIHADAPI PEMERINTAH DALAM
MENGEMBANGKAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Pada umumnya permasalahan aktual yang dihadapi oleh pemerintah dalam
mengembangkan UKM, antara lain meliputi:
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan UKM dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi
perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan produk
domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan
pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui
pembentukan modal tetap bruto (investasi). Keseluruhan indikator ekonomi
makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan
pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan
kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.109
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari
tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya
kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang
sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-
108 Ibid..
109 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, Loc. Cit..
Universitas Indonesia
37
pengusaha besar.110
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk
menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai
banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah,
ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait
dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak
kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha
besar.111
2. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi
salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak
sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara
periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.112
3. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan
mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai
implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan
baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka
akan menurunkan daya saing UKM.
Di samping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan
kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk
mengembangkan usahanya di daerah tersebut.113
110 Hafsah, Loc. Cit..
111 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, Loc. Cit..
112 Ibid..
113 Hafsah, Loc. Cit..
Universitas Indonesia
38
BAB IV
PERAN PERUSAHAAN KELUARGA SEBAGAI USAHA MIKRO,
KECIL, DAN MENENGAH DALAM MEMPERKUAT
EKONOMI NASIONAL
IV.1. JUMLAH PERUSAHAAN KELUARGA SEBAGAI USAHA MIKRO,
KECIL, DAN MENENGAH (UKM)
Tabel 4.1 Perkembangan Unit UKM dan UB Tahun 2008-2010
INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010
UNIT USAHA (A+B) 51.414.262 52.769.280 53.828.569
A. Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah51.409.612 52.764.603 53.207.500
B. Usaha Besar 4.650 4.677 4.838
Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia.
Berdasarkan pada Tabel Perkembangan Unit UKM dan UB Tahun 2008-2010
(Tabel 4.1) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, terdapat
perkembangan unit UKM sebesar 2,63% dengan jumlah 1.354.991 unit dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, pada periode yang sama unit UB
berkembang sebesar 0,65% dengan jumlah 27 unit.
Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan unit UKM sebesar 0,83%
dengan jumlah 442.897 unit apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Di sisi lain, pada
periode yang sama unit UB mengalami perkembangan sebesar 3,44% dengan jumlah
161 unit.
IV.2. PERAN PERUSAHAAN KELUARGA SEBAGAI USAHA MIKRO,
KECIL, DAN MENENGAH (UKM) DALAM MEMPERKUAT
EKONOMI NASIONAL
IV.2.1. Peran Perusahaan Keluarga pada Bidang Ketenagakerjaan
Tabel 4.2 Perkembangan Tenaga Kerja UKM dan UB Tahun 2008-2010
INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010
Universitas Indonesia
39
TENAGA KERJA (A+B) 96.780.483 98.886.003 102.241.486
A. Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah94.024.278 96.211.332 99.401.775
B. Usaha Besar 2.756.205 2.674.671 2.839.711
Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia.
Berdasarkan pada Tabel Perkembangan Tenaga Kerja UKM dan UB Tahun
2008-2010 (Tabel 4.2) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya,
terdapat perkembangan tenaga kerja UKM sebesar 2,32% dengan jumlah 2.187.054
orang dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, pada periode yang
sama tenaga kerja UB berkurang sebesar 2,96% dengan jumlah 81.534 orang.
Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan tenaga kerja UKM sebesar
3,31% dengan jumlah 3.190.443 orang apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Di sisi
lain, pada periode yang sama tenaga kerja UB mengalami perkembangan sebesar 6,17%
dengan jumlah 165.040 orang.
Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, tampak dengan
jelas bahwa UKM pada praktiknya memberikan lapangan pekerjaan dan kesempatan
bekerja yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di
samping itu, jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh UKM terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan oleh UB yang sempat mengalami penurunan pada tahun 2009.
IV.2.2. Peran Perusahaan Keluarga pada Produk Domestik Bruto
Tabel 4.3 Perkembangan PDB UKM dan UB Tahun 2008-2010
INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010
PDB ATAS DASAR HARGA
BERLAKU (A+B)4.693.809,0 5.294.860,9 6.068.762,8
A. Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah2.613.226,1 2.993.151,7 3.466.393,3
B. Usaha Besar 2.080.582,9 2.301.709,2 2.602.369,5
Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Usaha Besar (UB) Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Republik Indonesia.
Universitas Indonesia
40
Berdasarkan pada Tabel Perkembangan PDB UKM dan UB Tahun 2008-2010
(Tabel 4.3) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, terdapat
perkembangan PDB UKM sebesar 14,54% dengan jumlah 379.925,6 milyar dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, pada periode yang sama PDB UB
berkurang sebesar 10,63% dengan jumlah 221.126,3 milyar.
Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan PDB UKM sebesar
15,81% dengan jumlah 473.241,6 milyar apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Di
sisi lain, pada periode yang sama PDB UB mengalami perkembangan sebesar 13,06%
dengan jumlah 300.660,3 milyar.
Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, tampak dengan
jelas bahwa UKM pada praktiknya memberikan sumbangan terhadap PDB yang jauh
lebih besar apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di samping itu,
jumlah sumbangan yang diberikan kepada PDB oleh UKM terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun yang persentase perkembangannya lebih besar daripada
persentase perkembangan sumbangan yang diberikan oleh UB kepada PDB.
IV.2.3. Peran Perusahaan Keluarga pada Ekspor Non Migas
Tabel 4.4 Perkembangan Total Ekspor Non Migas UKM dan UB Tahun 2008-2010
INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010
TOTAL EKSPOR NON MIGAS
(A+B)983.540,4 953.089,9 1.112.719,9
C. Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah178.008,28 162.254,5 175.894,9
D. Usaha Besar 805.532,1 790.835,3 936.825,0
Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia.
Berdasarkan pada Tabel Perkembangan Total Ekspor Non Migas UKM dan UB
Tahun 2008-2010 (Tabel 4.4) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, terdapat penurunan total ekspor non migas UKM sebesar 8,85% dengan
jumlah 15.753,78 milyar dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. Sementara itu,
pada periode yang sama total ekspor non migas UB berkurang sebesar 1,82% dengan
jumlah 14.696,8 milyar.
Universitas Indonesia
41
Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan total ekspor migas UKM
sebesar 8,41% dengan jumlah 13.640,4 milyar apabila dibandingkan dengan tahun
2009. Di sisi lain, pada periode yang sama total ekspor migas UB mengalami
perkembangan sebesar 18,46% dengan jumlah 145.989,7 milyar.
Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, sepintas tampak
dengan jelas bahwa UKM pada dasarnya memberikan sumbangan terhadap penerimaan
devisa negara melalui kegiatan ekspor non migas dalam jumlah yang jauh lebih sedikit
apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Namun demikian, pertama-tama
perlu dipahami terlebih dahulu bahwa UKM pada prinsipnya memiliki berbagai
keterbatasan – terutama finansial – apabila hendak dibandingkan dengan UB. Akan
tetapi, dengan segala keterbatasan yang ada padanya tersebut UKM pada hakikatnya
tetap dan terus berusaha untuk memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa
negara. Di samping itu, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009, total
ekspor non migas UKM pada akhirnya mampu mengalami perkembangan dengan
besaran persentase yang menggembirakan sekaligus membanggakan.
Universitas Indonesia
42
BAB V
PENUTUP
V.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kelebihan atau keuntungan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma
atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UKM) adalah sebagai berikut:
a. Tingginya tingkat kemandirian tindakan (independence of action).
b. Kebutuhan akan modal lebih mudah terpenuhi, sehingga modal dalam firma
lebih besar.
c. Tergabungnya alasan-asalan rasional karena sebagian besar tindakan yang
didasarkan oleh musyawarah menghasilkan kebenaran dan mendatangkan
keuntungan.
d. Pendiriannya tidak terlalu rumit, yaitu dapat dilakukan, baik dengan lisan
maupun tulisan. Apabila dilakukan dengan tulisan maka dapat dibuat akta
otentik dengan Akta Notaris ataupun dengan akta di bawah tangan. Akta
Notaris merupakan alat pembuktian yang membuat kedudukan perusahaan
keluarga kuat apabila berhubungan dengan pihak ketiga.
2. Masalah aktual atau hambatan yang dihadapi oleh perusahaan dan pemerintah
dalam mengembangkan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau
persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UKM) adalah sebagai berikut: (a) Kesulitan memperoleh modal; (b) Kesulitan
pemasaran; (c) Kesulitan memperoleh informasi; (d) Kesulitan teknologi; (e)
Kesulitan SDM; (f) Kesulitan memperoleh bahan baku; (g) Lemahnya jaringan
usaha dan kemampuan penetrasi pasar; (h) Kurangnya transparansi; (i)
Terbatasnya sarana dan prasarana usaha atau infrastruktur; (j) Implikasi
perdagangan bebas; (k) Iklim usaha belum sepenuhnya kondusif; (l) Pungutan
liar; dan (m) Implikasi Otonomi Daerah.
3. Peran perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau persekutuan
komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) dalam
memperkuat ekonomi nasional adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
43
a. Memberikan lapangan pekerjaan dan kesempatan bekerja yang jauh lebih
besar apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di samping itu,
jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh UKM terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan oleh UB;
b. Memberikan sumbangan terhadap PDB yang jauh lebih besar apabila
dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di samping itu, jumlah
sumbangan yang diberikan kepada PDB oleh UKM terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun yang persentase perkembangannya lebih
besar daripada persentase perkembangan sumbangan yang diberikan oleh
UB kepada PDB; dan
c. Memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa negara melalui
kegiatan ekspor non migas, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada
padanya.
V.2. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran disampaikan untuk
melengkapi hasil penelitian, yaitu:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain
dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta
penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang
tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya,
baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal,
skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura.
Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro
( selanjutnya disebut “LKM”) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan
Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh
Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang
melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM agar dapat
berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan
dalam legitimasi operasionalnya.
Universitas Indonesia
44
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan
usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang
bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara
UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk
menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Di samping itu juga untuk
memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan
demikian UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis
lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek
kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta
keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Di samping itu juga perlu
diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk
mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.
6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya
penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam
rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi
oleh UKM.
7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara
lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan
untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.
8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar
diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang
dihasilkan. Di samping itu perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan
mitra usahanya.
Universitas Indonesia
45
9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan
dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang
terkait dengan perkembangan usaha.
10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di tempat-tempat yang
strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi UKM tersebut.
Universitas Indonesia
46
DAFTAR PUSTAKA
A. B. Susanto, World Class Family Business: Membangun Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia (Jakarta: Penerbit Quantum Bisnis & Manajemen, 2005).
Abdul Fatah Prawiraningprang, “Peran Pelaku Usaha Kecil dalam Pembangunan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005).
Craig E. Aronoff dan John L. Ward, Family Meetings: How to Build a Stronger Family and a Stronger Business (Marietta: Family Enterprise Publishers, 2002).
Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, “Artikel tentang Usaha Kecil dan Menengah,” http://diskop.padang.go.id/artikel-tentang-usaha-kecil-dan-menengah/, diakses 26 Oktober 2012.
Evie Hikmahwati, “Tantangan Suksesi dan Regenerasi Perusahaan Keluarga Al-Fajar,” (Tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia, Jakarta, 2006).
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, ed. 1, cet. 2 (Jakarta: Kencana, 2006).
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk Perusahaan, Jilid 2, cet. 12 (Jakarta: Djambatan, 2008).
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009).
Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perusahaan, cet. 1 (Jakarta: Visimedia, 2009).
I. G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, cet. 7 (Bekasi: Kesaint Blanc, 2007).
I. Wibowo, Clara Wresti dan Alexander Wibisono, Mata Hati Sang “Pioneer” Indonesia: Biografi Pandji Wisaksana, cet. 1 (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Indonesia (B), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Stbl. No. 23 Tahun 1847.
Indonesia (C), UU tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.
John L. Ward, Perpetuating the Family Business: 50 Lessons Learned from Long-Lasting, Successful Families in Business (New York: Palgrave Macmillan, 2004).
M. Irfan, Usaha Kecil dan Menengah: Bahan Penataran Pengusaha Kecil (2000).
M. Tohar, Membuka Usaha Kecil, cet. ke-7 (Yogyakarta: Kanisius, 2000).
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Universitas Indonesia
47
Mohammad Iqbal, Solusi Jitu bagi Pengusaha Kecil dan Menengah: Pedoman Menjalankan Usaha, cet. Kedua (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004).
Mohammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” Infokop Nomor 25 Tahun XX (2004).
Pandji Anoraga dan H. Djoko Sudantoko, Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil, cet. 1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
Pieter P. Gero, “Bisnis Keluarga Pilar Penting bagi Perekonomian Indonesia,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/31/19102849/Bisnis.Keluarga.Pilar.Penting.bagi.Perekonomian.Asia, diunduh 22 Oktober 2012.
R. T. Sutantya R. Handhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).
Renato Tagiuri dan John A. Davis, Bivalent Attributes of the Family Firm (Cambridge: Harvard Business School, 1996).
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006).
Satrio Wahono dan Dofa Purnomo, Animal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 3, (Jakarta: Rajawali Press, 1990).
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005).
Sritua Arief, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, cet. 1 (Jakarta: LP3ES, 1991)
Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, Ed. Revisi (Jakarta: Grasindo, 2001).
Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, dan Doug Wilson, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, Ed. 5 [Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th ed.], diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009).
Tiktik Sartika Partomo, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (Jakarta: Center for Industry and SME Studies Faculty of Economics University of Trisakti, 2004).
Tulus T. H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002).
Tulus Tambunan, “Peranan UKM bagi Perekonomian Indonesia dan Prospeknya,” Manajemen Usahawan Indonesia, No. 07/Th. XXXI (Juli 2002),.
Tulus Tambunan, Development of Small-Scale Industries During the New Order Government in Indonesia (Ashgate, 2000).
Universitas Indonesia
48
Tutut Handayani, “Tiga Faktor Kekuatan Bisnis Keluarga,” http://swa.co.id/listed-articles/tiga-faktor-kekuatan-bisnis-keluarga, diakses pada 24 Oktober 2012.
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990).
Yusuf C. K. Arianto, Rahasia Dapat Modal & Fasilitas dengan Cepat & Tepat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).
Universitas Indonesia