20141001 melawan sifat alami otak (kompas interview dr taruna ikrar)

1
14 KOMPAS, RABU, 1 OKTOBER 2 014 IPTEK u LINGKUNGAN & KESEHATAN Batas Teknologi Oleh AHMAD ARIF i p te k C ATATA N G unung Ontake yang berada sekitar 210 kilometer sebelah barat Tokyo, Jepang, tiba-tiba meletus tanpa ada per- ingatan, Sabtu (27/9) pagi. Lebih dari 250 pelancong yang menikmati musim gugur di puncak gunung berketinggian 3.067 meter itu terjebak, 36 orang di antaranya diduga tewas, dan banyak lagi yang terluka. Japan Meteorological Agency (JMA), lembaga yang menangani bencana di Jepang, baru merilis status Level 3, yang artinya tak boleh mendekati gunung api itu, setelah letusan terjadi. Beberapa gambar yang diunggah di laman Youtube tak lama usai kejadian memperlihatkan para pendaki yang panik berlarian diburu gumpalan awan letusan. Bencana itu, sekali lagi, memperton- tonkan kecepatan penyebaran informasi berbasis media sosial. Namun, di sisi lain, hal itu menunjukkan ketidakberdayaan teknologi peringatan dini Jepang. Padahal, Jepang dianggap sebagai kiblat sistem peringatan dini bencana, utamanya terkait gempa, tsunami, dan gunung api. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono pun kerap iri dengan pemantauan gunung api Jepang. ”Indonesia yang memiliki 127 gunung berapi hanya punya 45 pengamat gunung api. Satu orang harus memantau lima gunung api. Itu pun kapasitas sumber dayanya terbatas,” kata Surono dalam beberapa kali kesempatan. Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Tiap gunung di Jepang dipantau lima pengamat dan satu di antaranya profesor dari kampus. Ke-118 gunung api di Jepang telah dihubungkan dengan kamera sehingga terpantau 24 jam. Perbedaan mendasar lain, jika gunung api di Indonesia dipadati rumah warga, kebanyakan zona bahaya gunung api di Jepang kosong dari hunian. Bangunan yang ada biasanya penginapan atau kuil sehingga tak harus menghadapi warga yang menolak diungsikan jika sewaktu-waktu terjadi letusan. Terus belajar Berbeda dengan gempa yang masih sulit dideteksi kapan dan berapa kekuatannya, letusan gunung api dianggap bisa diprediksi dengan melihat gejala yang muncul dari pergerakan magmanya. Beberapa gejala awal adalah meningkatnya kegempaan, per- ubahan tubuh gunung, dan perubahan kimia air kawah—jika gunungnya memiliki danau kawah. Namun, gejala-gejala itu tak mesti mendahului tipe letusan freatik seperti terjadi di Ontake, yaitu semburan uap panas, abu, dan lontaran batu, tanpa ada lava. ”Apa yang terjadi Sabtu lalu di luar kemampuan metode kami untuk memprediksinya,” kata Toshitsugu Fujii, Kepala JMA (www.japantimes.co.jp, 29/9). Benarkah Ontake meletus tanpa memberi pertanda? Atau teknologi pemantauan yang ada tidak menjangkaunya? Seperti dilaporkan The Guardian (28/9), frekuensi gempa di Ontake sebenarnya terdeteksi meningkat sejak 10 September. ”Saya percaya bahwa semua kejadian alam akan ada tan- da-tandanya. Peringatan dini amat bergantung pada teknologi, tetapi juga bergantung pada kecerdasan, kecepatan, dan kebe- ranian memutuskan,” ucap Surono. Beberapa dekade terakhir, Jepang sebenarnya sukses menjaga rekor zero victim (tak ada korban) dari letusan gunung api. Letusan terakhir yang menimbulkan korban terjadi pada 1991, saat 43 orang tewas dilanda awan panas Gunung Unzen. Korban letusan termasuk Katia dan Maurice Krafft, sepasang vulkanolog dan sineas dokumenter Perancis, serta vulkanolog Amerika yang juga ahli longsoran gunung api, Harry Glicken. Kita memang harus rendah hati untuk terus belajar men- cermati alam. Gunung api terus berevolusi, demikian juga kita, mesti memperbarui daya untuk hidup bersanding dengannya. KIL AS IPTEK Habitat Kedua Badak Jawa Masih Dicari di Banten Pemerintah masih mencari habitat kedua bagi perlindungan dan peningkatan populasi fauna terancam punah badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Habitat kedua dinilai mendesak karena keberadaan satwa bercula satu itu hanya terkonsentrasi (ende- mik) di Ujung Kulon, Banten. Ada sejumlah kekhawatiran pemerintah dan kalangan konservasi satwa, di antaranya lokasi Ujung Kulon yang dikelola Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) rawan bencana, seperti letusan Gunung Krakatau dan tsunami. Ancaman lain adalah wabah penyakit, seperti terjadi di Malaysia, yang membunuh populasi badak jawa. ”Kami masih mencari habitat kedua yang cocok bagi keberada- an badak jawa di Indonesia,” kata Kepala BTNUK Moh Haryo- no, Senin (29/9), di Jakarta. Sesuai kajian umum, ia menyebut lahan di KPH Cikeusik (Pandeglang, Banten). Sementara Hadi Alikodra, Guru Besar Ekologi Satwa Liar IPB, merekomendasi- kan Cagar Alam Cikepuh di Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu syarat utama habitat adalah ketersediaan pakan alami. (ICH) Anoa dan Babi Rusa Masih Marak Diburu Perburuan terhadap satwa endemik di sejumlah kawasan kon- servasi di Sulawesi Tengah masih marak. Anoa dan babi rusa adalah dua satwa yang paling sering diburu. Anoa (Bubalus q u a rl e s i ) biasa disebut kerbau kecil karena bobotnya yang lebih ringan daripada kerbau pada umumnya, yakni sekitar 300 kilogram, dengan tinggi 75 sentimeter. Di Sulteng, anoa hidup dan berkembang, antara lain, di Suaka Margasatwa Pindjan (Tolitoli), Suaka Margasatwa Morowali (Morowali), Suaka Mar- gasatwa Bakiriang (Banggai), dan Taman Buru Tomata (Mo- rowali Utara). Adapun babi rusa (Babyrousa babyrussa) me- nyerupai babi, tetapi memiliki taring pada moncongnya yang melengkung ke arah mata. Hewan endemik Indonesia itu memiliki panjang 85-105 sentimeter dengan bobot hingga 100 kilogram. Di Sulteng, babi rusa, antara lain, hidup di Cagar Alam Pani Bingga dan Cagar Alam Tinombo (Parigi Moutong) serta Cagar Alam Patipati (Buol). ”Para petugas di lapangan sering menemukan jerat yang dipasang. Berapa persis anoa dan babi rusa yang terjerat, kami sulit memantaunya,” kata Kepala Sub-bagian Tata Usaha Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng Tasliman, di Palu, Sulteng, Selasa (30/9). (VDL) PILKADA TIDAK LANGSUNG Melawan Sifat Alami Otak Pengesahan UU Pilkada yang mengembalikan pemilihan kepala daerah dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih DPRD menimbulkan kecaman luas publik. Demokrasi Indonesia pun mundur. Unjuk rasa dan sejumlah langkah yang digalang berbagai kalangan mulai mendesak penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang hingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Oleh M ZAID WAHYUDI K ondisi serupa terjadi di Hongkong. Sejak pekan lalu, kelompok pro de- mokrasi berunjuk rasa menun- tut pemilihan kepala eksekutif di wilayah semiotonom Tiong- kok itu dilakukan secara lang- sung pada 2017. Namun, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok (NPC) menetapkan semua kandidat yang akan di- pilih warga Hongkong harus di- seleksi dan disetujui mereka. Peneliti neurosains di Seko- lah Kedokteran Universitas Ca- lifornia Irvine, Amerika Serikat, Taruna Ikrar, dihubungi dari Ja- karta, Senin (29/9), mengatakan, pemilihan secara langsung pa- ling sesuai dengan sifat alami otak manusia. Esensi dari memilih pemim- pin adalah proses pengambilan keputusan. Untuk hal pribadi, setiap manusia ingin jadi penen- tu kebijakan bagi dirinya, tidak dalam kendali atau dipaksa orang lain. Adapun untuk hal-hal bersifat sosial, semua orang ingin selalu terlibat atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tak diabaikan. Keinginan terlibat itu juga berlaku dalam memilih pemim- pin. ”Secara neurosains, pemi- lihan langsung adalah yang be- nar karena semua orang ingin menyalurkan aspirasinya, bukan d i wa k i l k a n ,” kata Taruna. Pemilihan yang diwakilkan berpotensi melahirkan kepe- mimpinan yang tak n ya m b u n g , gagal memahami aspirasi rakyat. Tak ada jaminan wakil akan me- nyalurkan aspirasi individu-indi- vidu yang diwakili secara penuh sehingga potensi terjadi ketidak- selarasan antara aspirasi dan ke- bijakan amat tinggi. Jika pemilihan langsung tak diwadahi, aspirasi individu jadi tak tersalurkan. Secara psikolo- gis, mereka akan mencari apa yang diinginkan. Jika keinginan itu tak dikompensasi, mereka akan melawan atau tak acuh. Selain itu, aspirasi yang tak tersalurkan menurunkan pro- duktivitas warga karena kerja mereka jadi tak guna langsung baginya. Tak tercapainya kepu- asan kerja menimbulkan frus- trasi yang dalam skala komuni- tas bisa membahayakan. ”Keru- suhan 1998 adalah puncak frus- trasi rakyat selama Orde Baru,” u j a r ny a . Model pemilihan tak lang- sung bisa diterapkan pada ma- syarakat yang belum mengalami pemilihan langsung dan tak per- caya diri untuk berdemokrasi langsung. Jika penerapan demo- krasi langsung menimbulkan banyak masalah, termasuk biaya tinggi dan konflik, itu adalah ba- gian dari proses belajar. ”Otak manusia selalu belajar dan bekerja maju, berevolusi mengikuti zaman,” kata Taruna. Karena itu, Indonesia tak bisa berjalan mundur kembali ke pil- kada tak langsung. Rekrutmen partai Taufiq Pasiak, Sekretaris Jen- deral Masyarakat Neurosains Indonesia yang juga Kepala Pu- sat Studi Otak dan Perilaku So- sial Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, masalah mendasar pemilihan pemimpin bukan pilkada langsung atau tak langsung karena keduanya ber- sifat relatif. Dalam mengambil keputusan bersifat emosional, lanjut Tau- fiq, pilihan sebagian masyarakat di Tanah Air mudah dipenga- ruhi hal-hal bersifat dramatis, seperti hal menyedihkan, me- nimbulkan iba, ataupun simpati. Padahal, itu bisa menjadi tipuan atau pencitraan. Pilihan emosional cenderung berdasarkan prinsip untung se- mata, tak mau rugi. Pilihan juga mudah dipengaruhi pilihan ma- yoritas lingkungan sekitar. Dengan karakter masyarakat seperti itu, kuncinya adalah apa- kah calon kepala daerah yang diajukan partai untuk maju da- lam pilkada langsung atau me- lalui DPRD adalah calon pe- mimpin yang kompeten. ”Partai politik wajib meng- ajukan calon berkualitas, tidak dengan memoles mutu calon untuk menipu rakyat dan me- manfaatkan kelemahan mereka dalam memutuskan,” k a t a ny a . Dalam psikologi kepemim- pinan dikenal fenomena ”War- ren Harding Error”. Itu merujuk pada presiden ke-29 AS Warren G Harding (1921-1923) yang di- anggap sebagai salah satu pre- siden terburuk AS. Time.com dalam ”Top 10 Forgettable Pre- sidents” menyebut Harding ter- pilih sebagai presiden karena di- citrakan baik, hebat, dan pas se- bagai presiden. Ternyata, ia korup, punya banyak gundik, dan gemar bermain poker. Buruknya proses rekrutmen kader membuat siapa pun bisa menduduki puncak pimpinan partai. Tanpa kemampuan dan pengalaman memimpin, mereka mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. ”Sehebat-hebat- nya manusia, pengalaman orga- nisasi bagi kepala daerah pen- ting untuk melatih mereka me- mecahkan masalah secara nyata, bukan simulasi saja,” u j a r ny a . Karena itu, Taufiq menyaran- kan partai politik memiliki biro pengembangan sumber daya manusia yang merekrut, mela- tih, hingga menganalisis ke- mampuan tiap kadernya sehing- ga kader terbaik yang dicalon- kan sebagai kepala daerah. Pe- merintah pun harus terlibat da- lam penjaringan kader partai, tak diserahkan penuh kepada partai, karena imbasnya besar bagi bangsa dan negara. Selain itu, orang baik yang berada di luar partai perlu ma- suk partai dan memperbaiki sis- tem yang buruk. Selama sistem rekrutmen partai tidak diperba- iki, upaya mencari pemimpin rakyat yang amanah dan ber- manfaat bagi rakyat tetap sulit dilakukan. SUMBER DAYA ALAM Upaya Pemulihan Fungsi Hutan di Aceh Tamiang Berlanjut BANDA ACEH, KOMPAS — Forum Konservasi Leuser bersa- ma pemerintah mendekati para pemilik kebun di lahan hutan lindung dan produksi seluas seki- tar 2.000 hektar di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, agar berse- dia mengembalikan fungsi hutan seperti semula. Saat ini, total luas perkebunan ilegal di kawasan hu- tan lindung dan produksi di ka- bupaten itu sekitar 5.000 hektar. Koordinator Wilayah Aceh Ta- miang Forum Konservasi Leuser Tezar Pahlevi, dihubungi di Aceh Tamiang, Selasa (30/9), mengata- kan, perkebunan seluas sekitar 2.000 hektar (ha) itu berada di Kecamatan Tamiang Hulu dan Banda Pusaka, Aceh Tamiang. ”Berupa kebun sawit atas nama pribadi atau perusahaan peng- usaha. Sebanyak 70 persen asal Sumatera Utara dan 30 persen asal Aceh,” k a t a ny a . Senin lalu, forum itu mulai menebangi sawit di lahan ilegal dengan total luas 1.040 ha. Pene- bangan itu diperkirakan selesai 6-12 bulan ke depan. Sejak 2009, proses komunikasi alot. Ada dua pemilik kebun yang enggan melepas kebunnya. ”Me- reka menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Kuala Sim- pang, Aceh Tamiang, tetapi kalah di putusan Mahkamah Agung pa- da 2012,” ujar Tezar. Sebagian besar pemilik kebun lain cenderung kooperatif. Ba- nyak yang kurang paham dengan batas hutan lindung dan produk- si. Setelah diberi penjelasan, seti- daknya tujuh pemilik kebun di lahan seluas 1.040 ha di Kecamat- an Tenggulun menyerahkan la- hannya guna dikembalikan lagi fungsi hutannya. Menurut Tezar, perkebunan di lahan 2.000 ha itu akan diproses setelah penebangan sawit seluas 1.040 ha itu tuntas. ”Kami ingin fokus dulu menyelesaikan yang pertama,” k a t a ny a . Pada tahap awal, penebangan sawit seluas 1.040 ha itu akan difokuskan pada tanaman di ba- tas hutan lindung dan hutan penggunaan lain sepanjang 10 kilometer. Tujuannya, agar warga tahu letak dan posisi hutan lin- dung di kawasan Tenggulun. Kepala Dinas Kehutanan Aceh Husaini Syamaun menuturkan, ada 3,3 juta ha kawasan hutan di Aceh. Sekitar 1,8 juta ha merupa- kan kawasan hutan lindung dan produksi. Dari luasan itu, sekitar 10 persen hutan lindung dan pro- duksi sudah dirambah masyara- kat, terutama kebun sawit yang sebagian besar berada di Aceh Ta m i a n g . ”Aceh Tamiang adalah daerah yang dekat dengan pasar utama sawit, yakni Sumatera Utara,” ka- t a ny a . Mengharapkan dukungan Menurut Husaini, pelanggaran peruntukan itu disebabkan ke- tidakseimbangan luas hutan de- ngan jumlah polisi kehutanan di Aceh. ”Hutan di Aceh sangat luas, sedangkan jumlah polisi kehu- tanan sangat minim. Bahkan, jumlah polisi kehutanan itu tak terdata baik sekarang,” u j a r ny a . Oleh karena itu, Husaini me- nyampaikan, pihaknya sangat berharap ada dukungan dari ma- syarakat, seperti para aktivis ling- kungan. Melalui kerja sama itu, pihaknya berharap hutan lindung dan produksi yang telah telanjur dirambah dan dirusak bisa kem- bali berfungsi. ”Keberadaan hutan sangat penting bagi kelestarian alam dan daya dukung kesejahteraan ma- syarakat di sekitarnya,” u c a p ny a . (DRI) KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Aliansi masyarakat sipil menggalang dukungan untuk menolak pemilihan umum kepala daerah (pilkada) melalui DPRD dalam acara hari tanpa kendaraan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (28/9). Mereka mengumpulkan identitas warga untuk menolak pilkada melalui DPRD yang dinilai merampas demokrasi.

Transcript of 20141001 melawan sifat alami otak (kompas interview dr taruna ikrar)

Page 1: 20141001 melawan sifat alami otak (kompas interview dr taruna ikrar)

14 KO M PA S, R A B U, 1 O KT O B E R 2 014IPTEK LINGKUNGAN & KESEHATAN

Batas TeknologiOleh AHMAD ARIF

i p te kC ATATA N

Gunung Ontake yang berada sekitar 210 kilometer sebelahbarat Tokyo, Jepang, tiba-tiba meletus tanpa ada per-ingatan, Sabtu (27/9) pagi. Lebih dari 250 pelancong yang

menikmati musim gugur di puncak gunung berketinggian 3.067meter itu terjebak, 36 orang di antaranya diduga tewas, danbanyak lagi yang terluka.

Japan Meteorological Agency (JMA), lembaga yang menanganibencana di Jepang, baru merilis status Level 3, yang artinya takboleh mendekati gunung api itu, setelah letusan terjadi. Beberapagambar yang diunggah di laman Youtube tak lama usai kejadianmemperlihatkan para pendaki yang panik berlarian diburugumpalan awan letusan. Bencana itu, sekali lagi, memperton-tonkan kecepatan penyebaran informasi berbasis media sosial.Namun, di sisi lain, hal itu menunjukkan ketidakberdayaanteknologi peringatan dini Jepang.

Padahal, Jepang dianggap sebagai kiblat sistem peringatan dinibencana, utamanya terkait gempa, tsunami, dan gunung api.Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber DayaMineral Surono pun kerap iri dengan pemantauan gunung apiJepang. ”Indonesia yang memiliki 127 gunung berapi hanyapunya 45 pengamat gunung api. Satu orang harus memantau limagunung api. Itu pun kapasitas sumber dayanya terbatas,” kataSurono dalam beberapa kali kesempatan.

Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Tiap gunung di Jepangdipantau lima pengamat dan satu di antaranya profesor darikampus. Ke-118 gunung api di Jepang telah dihubungkan dengankamera sehingga terpantau 24 jam.

Perbedaan mendasar lain, jika gunung api di Indonesia dipadatirumah warga, kebanyakan zona bahaya gunung api di Jepangkosong dari hunian. Bangunan yang ada biasanya penginapanatau kuil sehingga tak harus menghadapi warga yang menolakdiungsikan jika sewaktu-waktu terjadi letusan.

Terus belajarBerbeda dengan gempa yang masih sulit dideteksi kapan dan

berapa kekuatannya, letusan gunung api dianggap bisa diprediksidengan melihat gejala yang muncul dari pergerakan magmanya.Beberapa gejala awal adalah meningkatnya kegempaan, per-ubahan tubuh gunung, dan perubahan kimia air kawah—jikagunungnya memiliki danau kawah.

Namun, gejala-gejala itu tak mesti mendahului tipe letusanfreatik seperti terjadi di Ontake, yaitu semburan uap panas, abu,dan lontaran batu, tanpa ada lava. ”Apa yang terjadi Sabtu lalu diluar kemampuan metode kami untuk memprediksinya,” kataToshitsugu Fujii, Kepala JMA (www.japantimes.co.jp, 29/9).

Benarkah Ontake meletus tanpa memberi pertanda? Atauteknologi pemantauan yang ada tidak menjangkaunya?

Seperti dilaporkan The Guardian (28/9), frekuensi gempa diOntake sebenarnya terdeteksi meningkat sejak 10 September.”Saya percaya bahwa semua kejadian alam akan ada tan-da-tandanya. Peringatan dini amat bergantung pada teknologi,tetapi juga bergantung pada kecerdasan, kecepatan, dan kebe-ranian memutuskan,” ucap Surono.

Beberapa dekade terakhir, Jepang sebenarnya sukses menjagarekor zero victim (tak ada korban) dari letusan gunung api.Letusan terakhir yang menimbulkan korban terjadi pada 1991,saat 43 orang tewas dilanda awan panas Gunung Unzen. Korbanletusan termasuk Katia dan Maurice Krafft, sepasang vulkanologdan sineas dokumenter Perancis, serta vulkanolog Amerika yangjuga ahli longsoran gunung api, Harry Glicken.

Kita memang harus rendah hati untuk terus belajar men-cermati alam. Gunung api terus berevolusi, demikian juga kita,mesti memperbarui daya untuk hidup bersanding dengannya.

K I L A S I P T E K

Habitat Kedua Badak Jawa Masih Dicari di Banten

Pemerintah masih mencari habitat kedua bagi perlindungandan peningkatan populasi fauna terancam punah badak jawa(Rhinoceros sondaicus). Habitat kedua dinilai mendesak karenakeberadaan satwa bercula satu itu hanya terkonsentrasi (ende-mik) di Ujung Kulon, Banten. Ada sejumlah kekhawatiranpemerintah dan kalangan konservasi satwa, di antaranya lokasiUjung Kulon yang dikelola Balai Taman Nasional Ujung Kulon(BTNUK) rawan bencana, seperti letusan Gunung Krakataudan tsunami. Ancaman lain adalah wabah penyakit, sepertiterjadi di Malaysia, yang membunuh populasi badak jawa.”Kami masih mencari habitat kedua yang cocok bagi keberada-an badak jawa di Indonesia,” kata Kepala BTNUK Moh Haryo-no, Senin (29/9), di Jakarta. Sesuai kajian umum, ia menyebutlahan di KPH Cikeusik (Pandeglang, Banten). Sementara HadiAlikodra, Guru Besar Ekologi Satwa Liar IPB, merekomendasi-kan Cagar Alam Cikepuh di Sukabumi, Jawa Barat. Salah satusyarat utama habitat adalah ketersediaan pakan alami. (ICH)

Anoa dan Babi Rusa Masih Marak Diburu

Perburuan terhadap satwa endemik di sejumlah kawasan kon-servasi di Sulawesi Tengah masih marak. Anoa dan babi rusaadalah dua satwa yang paling sering diburu. Anoa (Bubalusq u a rl e s i ) biasa disebut kerbau kecil karena bobotnya yang lebihringan daripada kerbau pada umumnya, yakni sekitar 300kilogram, dengan tinggi 75 sentimeter. Di Sulteng, anoa hidupdan berkembang, antara lain, di Suaka Margasatwa Pindjan(Tolitoli), Suaka Margasatwa Morowali (Morowali), Suaka Mar-gasatwa Bakiriang (Banggai), dan Taman Buru Tomata (Mo-rowali Utara). Adapun babi rusa (Babyrousa babyrussa) me-nyerupai babi, tetapi memiliki taring pada moncongnya yangmelengkung ke arah mata. Hewan endemik Indonesia itumemiliki panjang 85-105 sentimeter dengan bobot hingga 100kilogram. Di Sulteng, babi rusa, antara lain, hidup di CagarAlam Pani Bingga dan Cagar Alam Tinombo (Parigi Moutong)serta Cagar Alam Patipati (Buol). ”Para petugas di lapangansering menemukan jerat yang dipasang. Berapa persis anoa danbabi rusa yang terjerat, kami sulit memantaunya,” kata KepalaSub-bagian Tata Usaha Balai Konservasi Sumber Daya AlamSulteng Tasliman, di Palu, Sulteng, Selasa (30/9). ( VDL)

PILKADA TIDAK LANGSUNG

Melawan Sifat Alami OtakPengesahan UU Pilkada yang mengembalikanpemilihan kepala daerah dari dipilih langsung olehrakyat menjadi dipilih DPRD menimbulkan kecamanluas publik. Demokrasi Indonesia pun mundur. Unjukrasa dan sejumlah langkah yang digalang berbagaikalangan mulai mendesak penerbitan peraturanpemerintah pengganti undang-undang hinggamengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Kondisi serupa terjadi diHongkong. Sejak pekanlalu, kelompok pro de-

mokrasi berunjuk rasa menun-tut pemilihan kepala eksekutifdi wilayah semiotonom Tiong-kok itu dilakukan secara lang-sung pada 2017. Namun, KomiteTetap Kongres Rakyat NasionalTiongkok (NPC) menetapkansemua kandidat yang akan di-pilih warga Hongkong harus di-seleksi dan disetujui mereka.

Peneliti neurosains di Seko-lah Kedokteran Universitas Ca-lifornia Irvine, Amerika Serikat,Taruna Ikrar, dihubungi dari Ja-karta, Senin (29/9), mengatakan,pemilihan secara langsung pa-ling sesuai dengan sifat alamiotak manusia.

Esensi dari memilih pemim-pin adalah proses pengambilankeputusan. Untuk hal pribadi,setiap manusia ingin jadi penen-tu kebijakan bagi dirinya, tidakdalam kendali atau dipaksaorang lain. Adapun untukhal-hal bersifat sosial, semuaorang ingin selalu terlibat ataudilibatkan dalam pengambilankeputusan, tak diabaikan.

Keinginan terlibat itu jugaberlaku dalam memilih pemim-pin. ”Secara neurosains, pemi-lihan langsung adalah yang be-nar karena semua orang inginmenyalurkan aspirasinya, bukand i wa k i l k a n , ” kata Taruna.

Pemilihan yang diwakilkanberpotensi melahirkan kepe-mimpinan yang tak n ya m b u n g ,gagal memahami aspirasi rakyat.

Tak ada jaminan wakil akan me-nyalurkan aspirasi individu-indi-vidu yang diwakili secara penuhsehingga potensi terjadi ketidak-selarasan antara aspirasi dan ke-bijakan amat tinggi.

Jika pemilihan langsung takdiwadahi, aspirasi individu jaditak tersalurkan. Secara psikolo-gis, mereka akan mencari apayang diinginkan. Jika keinginanitu tak dikompensasi, merekaakan melawan atau tak acuh.

Selain itu, aspirasi yang taktersalurkan menurunkan pro-duktivitas warga karena kerjamereka jadi tak guna langsungbaginya. Tak tercapainya kepu-asan kerja menimbulkan frus-trasi yang dalam skala komuni-tas bisa membahayakan. ”Keru -suhan 1998 adalah puncak frus-trasi rakyat selama Orde Baru,”u j a r ny a .

Model pemilihan tak lang-sung bisa diterapkan pada ma-syarakat yang belum mengalamipemilihan langsung dan tak per-caya diri untuk berdemokrasilangsung. Jika penerapan demo-krasi langsung menimbulkanbanyak masalah, termasuk biayatinggi dan konflik, itu adalah ba-gian dari proses belajar.

”Otak manusia selalu belajardan bekerja maju, berevolusimengikuti zaman,” kata Taruna.Karena itu, Indonesia tak bisaberjalan mundur kembali ke pil-kada tak langsung.

Rekrutmen partaiTaufiq Pasiak, Sekretaris Jen-

deral Masyarakat NeurosainsIndonesia yang juga Kepala Pu-sat Studi Otak dan Perilaku So-sial Universitas Sam Ratulangi,Manado, mengatakan, masalahmendasar pemilihan pemimpinbukan pilkada langsung atau taklangsung karena keduanya ber-sifat relatif.

Dalam mengambil keputusanbersifat emosional, lanjut Tau-fiq, pilihan sebagian masyarakatdi Tanah Air mudah dipenga-ruhi hal-hal bersifat dramatis,seperti hal menyedihkan, me-nimbulkan iba, ataupun simpati.Padahal, itu bisa menjadi tipuanatau pencitraan.

Pilihan emosional cenderungberdasarkan prinsip untung se-mata, tak mau rugi. Pilihan jugamudah dipengaruhi pilihan ma-yoritas lingkungan sekitar.

Dengan karakter masyarakatseperti itu, kuncinya adalah apa-kah calon kepala daerah yangdiajukan partai untuk maju da-lam pilkada langsung atau me-

lalui DPRD adalah calon pe-mimpin yang kompeten.

”Partai politik wajib meng-ajukan calon berkualitas, tidakdengan memoles mutu calonuntuk menipu rakyat dan me-manfaatkan kelemahan merekadalam memutuskan,” k a t a ny a .

Dalam psikologi kepemim-pinan dikenal fenomena ”War -ren Harding Error”. Itu merujukpada presiden ke-29 AS WarrenG Harding (1921-1923) yang di-anggap sebagai salah satu pre-siden terburuk AS. Time.comdalam ”Top 10 Forgettable Pre-sidents” menyebut Harding ter-pilih sebagai presiden karena di-citrakan baik, hebat, dan pas se-bagai presiden. Ternyata, iakorup, punya banyak gundik,dan gemar bermain poker.

Buruknya proses rekrutmenkader membuat siapa pun bisamenduduki puncak pimpinanpartai. Tanpa kemampuan danpengalaman memimpin, merekamengajukan diri sebagai calon

kepala daerah. ”Sehebat-hebat -nya manusia, pengalaman orga-nisasi bagi kepala daerah pen-ting untuk melatih mereka me-mecahkan masalah secara nyata,bukan simulasi saja,” u j a r ny a .

Karena itu, Taufiq menyaran-kan partai politik memiliki biropengembangan sumber dayamanusia yang merekrut, mela-tih, hingga menganalisis ke-mampuan tiap kadernya sehing-ga kader terbaik yang dicalon-kan sebagai kepala daerah. Pe-merintah pun harus terlibat da-lam penjaringan kader partai,tak diserahkan penuh kepadapartai, karena imbasnya besarbagi bangsa dan negara.

Selain itu, orang baik yangberada di luar partai perlu ma-suk partai dan memperbaiki sis-tem yang buruk. Selama sistemrekrutmen partai tidak diperba-iki, upaya mencari pemimpinrakyat yang amanah dan ber-manfaat bagi rakyat tetap sulitdilakukan.

SUMBER DAYA ALAM

Upaya Pemulihan Fungsi Hutan di Aceh Tamiang BerlanjutBANDA ACEH, KOMPAS —Forum Konservasi Leuser bersa-ma pemerintah mendekati parapemilik kebun di lahan hutanlindung dan produksi seluas seki-tar 2.000 hektar di KabupatenAceh Tamiang, Aceh, agar berse-dia mengembalikan fungsi hutanseperti semula. Saat ini, total luasperkebunan ilegal di kawasan hu-tan lindung dan produksi di ka-bupaten itu sekitar 5.000 hektar.

Koordinator Wilayah Aceh Ta-miang Forum Konservasi LeuserTezar Pahlevi, dihubungi di AcehTamiang, Selasa (30/9), mengata-kan, perkebunan seluas sekitar2.000 hektar (ha) itu berada diKecamatan Tamiang Hulu danBanda Pusaka, Aceh Tamiang.”Berupa kebun sawit atas namapribadi atau perusahaan peng-usaha. Sebanyak 70 persen asalSumatera Utara dan 30 persenasal Aceh,” k a t a ny a .

Senin lalu, forum itu mulaimenebangi sawit di lahan ilegaldengan total luas 1.040 ha. Pene-bangan itu diperkirakan selesai6-12 bulan ke depan.

Sejak 2009, proses komunikasialot. Ada dua pemilik kebun yangenggan melepas kebunnya. ”Me -reka menempuh jalur hukum diPengadilan Negeri Kuala Sim-pang, Aceh Tamiang, tetapi kalahdi putusan Mahkamah Agung pa-da 2012,” ujar Tezar.

Sebagian besar pemilik kebunlain cenderung kooperatif. Ba-nyak yang kurang paham denganbatas hutan lindung dan produk-si. Setelah diberi penjelasan, seti-daknya tujuh pemilik kebun dilahan seluas 1.040 ha di Kecamat-an Tenggulun menyerahkan la-

hannya guna dikembalikan lagifungsi hutannya.

Menurut Tezar, perkebunan dilahan 2.000 ha itu akan diprosessetelah penebangan sawit seluas1.040 ha itu tuntas. ”Kami inginfokus dulu menyelesaikan yangpertama,” k a t a ny a .

Pada tahap awal, penebangansawit seluas 1.040 ha itu akandifokuskan pada tanaman di ba-tas hutan lindung dan hutanpenggunaan lain sepanjang 10kilometer. Tujuannya, agar warga

tahu letak dan posisi hutan lin-dung di kawasan Tenggulun.

Kepala Dinas Kehutanan AcehHusaini Syamaun menuturkan,ada 3,3 juta ha kawasan hutan diAceh. Sekitar 1,8 juta ha merupa-kan kawasan hutan lindung danproduksi. Dari luasan itu, sekitar10 persen hutan lindung dan pro-duksi sudah dirambah masyara-kat, terutama kebun sawit yangsebagian besar berada di AcehTa m i a n g .

”Aceh Tamiang adalah daerah

yang dekat dengan pasar utamasawit, yakni Sumatera Utara,” ka -t a ny a .

Mengharapkan dukunganMenurut Husaini, pelanggaran

peruntukan itu disebabkan ke-tidakseimbangan luas hutan de-ngan jumlah polisi kehutanan diAceh. ”Hutan di Aceh sangat luas,sedangkan jumlah polisi kehu-tanan sangat minim. Bahkan,jumlah polisi kehutanan itu takterdata baik sekarang,” u j a r ny a .

Oleh karena itu, Husaini me-nyampaikan, pihaknya sangatberharap ada dukungan dari ma-syarakat, seperti para aktivis ling-kungan. Melalui kerja sama itu,pihaknya berharap hutan lindungdan produksi yang telah telanjurdirambah dan dirusak bisa kem-bali berfungsi.

”Keberadaan hutan sangatpenting bagi kelestarian alam dandaya dukung kesejahteraan ma-syarakat di sekitarnya,” u c a p ny a .

(DRI)

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Aliansi masyarakat sipil menggalang dukungan untuk menolak pemilihan umum kepala daerah(pilkada) melalui DPRD dalam acara hari tanpa kendaraan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat,Minggu (28/9). Mereka mengumpulkan identitas warga untuk menolak pilkada melalui DPRD yangdinilai merampas demokrasi.