2013_kajian_pprf_Menjaga_APBN_Agar_Tetap_Sustain.pdf

download 2013_kajian_pprf_Menjaga_APBN_Agar_Tetap_Sustain.pdf

of 11

Transcript of 2013_kajian_pprf_Menjaga_APBN_Agar_Tetap_Sustain.pdf

  • Menjaga APBN Agar Tetap Sustain1

    Pengantar: Fungsi Kebijakan Fiskal dan Definisi Fiscal Sustainability

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah alat utama dalam

    mengimplementasikan kebijakan fiskal dan sekaligus sebagai pedoman penganggaran

    dalam rangka pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Menurut Musgrave, 1959 (dalam

    Nurcholis Madjid, 2012) ada tiga fungsi utama dari kebijakan fiskal yaitu fungsi alokasi,

    fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

    tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa fungsi alokasi dari APBN mengandung arti

    bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan

    pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

    Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan

    rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran

    pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

    perekonomian. Mengingat begitu strategisnya kebijakan fiskal maka APBNyang berfungsi

    sebagai alat utama dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal tersebutharus dijaga

    agar tetap sustain.

    Ada beberapa pendapat para ekonom tentang fiscal sustainability yang dapat

    dijadikan sebagai acuan dalam menilai apakah APBN Indonesia dalam kondisi sustain atau

    terancam. Brixi dan Mody, 2002 (dalam Haryo Kuncoro, 2011) mengatakan bahwa isu fiscal

    sustainability merupakan bagian integral dari pembahasan bagaimana pemerintah

    mempunyai kemampuan untuk membayar utang dalam jangka panjang. Sementara itu,

    Chalk dan Hemming, 2000 (dalam Haryo Kuncoro, 2011) menjelaskan bahwa fiscal

    sustainability adalah terkait dengan upaya pemerintah dalam menjaga solvabilitas fiskal

    sehingga menciptakan surplus APBN.

    Sedangakan menurut Nurcholis Majid, 2012, kesinambungan fiskal (fiscal

    sustainability) dapat didefinisikan sebagai kondisi pada satu periode yang dapat menjamin

    solvency di masa datang. Ini berarti bahwa APBN dikatakan sustainable apabila tidak

    menghadapi tekanan pembiayaan yang berlebihan baik dalam jangka pendek maupun

    jangka panjang yang dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi utang secara terus

    menerus yang terlalu besar dan tidak terkendali, serta mempunyai surplus keseimbangan

    primer yang cukup memadai dan dapat memelihara rasio utang terhadap Produk Domestik

  • Bruto (PDB) minimal tetap (konstan) atau secara bertahap menurun sehingga memiliki

    ketahanan yang berkelanjutan.

    Oleh karena itu, masalah utama dalam fiscal sustainability sebenarnya adalah pada

    seberapa besar tingkat defisit dan utang yang dipunyai oleh pemerintah. Dalam Penjelasan

    atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 12 ayat 3 telah dinyatakan bahwa rasio

    defisit dan rasio utang masing-masing tidak boleh lebih dari 3 persen dan 60 persen dari

    PDB. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana cara menjaga defisit anggaran dan

    tingkat utang yang aman sehingga fiscal sustainability dapat terjaga.

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kajian ini akan fokus pada pemetaaan

    faktor-faktor yang dapat menjaga kondisi fiscal sustainability tersebut baik secara langsung

    maupun tidak langsung serta memberikan usulan langkah rekomendatif guna menjaga

    kondisi ini.

    Faktor-Faktor yang Dapat Menjaga Fiscal Susainability

    Dari literatur dan penelaahan yang dilakukan penulis, ada beberapa faktor yang

    dianggap dapat menjaga kondisi fiskal agar tetap sustain dan sekaligus memaparkan bahwa

    ada beberapa faktor yang menjadi ancaman terhadap kesinambungan fiskal tersebut (jika

    kondisi yang diharapkan justru terjadi sebaliknya). Deskripsi atas faktor-faktor penyebab

    fiscal sustainability dapat penulis gambarkan dalam Bagan 1.

    Bagan 1. Kerangka Fiscal Sustainability

  • Pada Bagan 1, secara umum dapat penulis jelaskan bahwa kesinambungan fiskal

    dapt terjadi apabila (1) asumsi ekonomi makro mendekati angka aktualnya, (2) APBN

    mempunyai nilai primary balance yang positif dan mempunyai kapasitas dalam membayar

    utang, (3) pemerintah dapat mengendalikan mandatory dan nondiscretionary spending

    sehingga pemerintah mempunyai fiscal space yang cukup, dan (4) pemerintah dapat

    meminimalkan kondisi kerentanan fiskal (fiscal vulnerability) serta mempunyai fleksibilitas

    dalam mengelola penerimaan dan belanja terutama dalam kondisi mendesak (darurat).

    Meningkatkan Kapasitas Fiskal Sebagai Respon Terhadap Deviasi Asumsi Ekonomi

    Makro

    Pada setiap penyusunan APBN, pemerintah selalu menentukan besaran asumsi

    ekonomi makro yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga

    Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan (sejak APBN-P 2011 menggunakan asumsi suku

    bunga Surat Perbendaharaan Negara/SPN 3 bulan), nilai tukar rupiah terhadap dolar

    Amerika Serikat, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP), dan lifting

    minyak. Indikator-indikator ekonomi makro tersebut adalah salah satu pedoman dalam

    menentukan berapa besaran pendapatan, belanja, defisit, dan pembiayaan dalam APBN

    pada satu tahun anggaran tertentu. Jika asumsi ekonomi makro dalam tahun tersebut tidak

    berubah atau nilai perubahannya tidak signifikan maka besaran pagu pendapatan, belanja,

    defisit, serta pembiayaan pada APBN diprediksi akan sesuai/mendekati angka alokasi awal.

    Namun, jika realitas kondisi ekonomi makro tidak sesuai dengan nilai salah satu asumsinya

    (apalagi terjadi hampir pada setiap besaran asumsi) maka hal ini berpeluang terjadi

    perubahan besaran pagu pendapatan, belanja, defisit, dan pembiayaan pada APBN tahun

    tersebut.

    Tabel 1 di bawah menunjukkan perkembangan data selisih/deviasi antara asumsi

    ekonomi makro dengan nilai realisasinya/aktualnya dari tahun anggaran 2007 s.d. 2012.

    Tabel 1. Perkembangan Selisih Asumsi Ekonomi Makro dan Realisasinya*

    (Tahun Anggaran 2007 2012)

    Asumsi 2007 2008 2009 2010 2011 2012**)

    Pertumbuhan Ekonomi (%)

    0,00 -0,40 0,30 0,40 0,00 -0,20

    Inflasi (%) 0,59 4,56 -1,72 1,66 -1,85 1,50

    SBI 3 bulan (%)*** 0,00 1,84 0,10 0,07 -0,80 -1,10

    Nilai Tukar 90,00 591,00 -92,00 - 79,00 200,00

  • (Rp/US$) 113,00

    ICP (USD/barel) 9,70 2,00 0,60 -0,60 16,50 15,00

    Lifting (juta barel perhari) -0,05 -0,06 -0,02 -0,01 -0,05 -0,02

    *) Angka positif menunjukkan realisasi lebih tinggi daripada asumsinya. Untuk nilai

    tukar, angka positif menunjukkan depresiasi.

    **) Merupakan selisih antara APBN-P dengan APBN 2012.

    ***) Sejak APBN-P 201 1 menggunakan tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara

    (SPN) 3 bulan.

    Memperhatikan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata pada setiap

    tahun anggaran terjadi selisih/deviasi antara asumsi ekonomi makro yang telah ditentukan

    pada awal proses APBN dengan nilai realisasinya. Pada setiap terjadinya selisih/deviasi

    asumsi dan nilai realisasi/aktualnya tersebut dapat dipastikan akan berpotensi

    menimbulkan variasi perubahan pagu anggaran pada pendapatan, belanja, defisit, serta

    besaran anggaran pembiayaannya. Sebagai contoh, terjadinya selisih/deviasi antara angka

    asumsi dan realisasi pada pertumbuhan ekonomi akan memengaruhi besaran APBN pada

    sisi pendapatan negara khususnya pada account penerimaan pajak (terutama PPh dan PPN).

    Sedangkan pada sisi belanja negara, deviasi pada indikator pertumbuhan ekonomi tersebut

    antara lain akan memengaruhi perubahan besaran pagu dana perimbangan pada anggaran

    transfer ke daerah sebagai akibat dari perubahan anggaran pada account penerimaan pajak.

    Menurut Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013 misalnya, apabila

    pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih rendah 1 persen dari angka yang diasumsikan,

    maka tambahan defisit pada APBN 2013 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp3,69

    triliun sampai dengan Rp5,75 triliun.1 Sedangkan deviasi antara asumsi dan realisasi pada

    rata-rata nilai tukar rupiah (Rp/US$) pada setiap Rp100,00 akan berpotensi menambah

    defisit sebesar Rp1,05 triliun s. d. Rp1,32 triliun. Begitu pula jika terjadi deviasi antara

    asumsi dan realisasi pada indikator ekonomi makro lainnya, maka hal itu akan berdampak

    pada perubahan defisit APBN.

    Jadi, semakin besar nilai deviasi antara asumsi dan nilai realisasinya pada tahun

    anggaran tertentu akan berakibat pada semakin besar pula probabilitas perubahan besaran

    pagu anggaran pada account-account APBN-nya. Oleh sebab itu, variasi ketidakpastian dari

    indikator ekonomi makro merupakan salah satu faktor risiko yang akan memengaruhi

    besaran pagu APBN (di antaranya dengan bertambahnya angka defisit anggaran dan

    1 NK dan APBN 2013

  • pembiayaannya) yang pada gilirannya akan mengancam kondisi fiscal sustainability itu

    sendiri.

    Guna menjaga agar APBN tetap sustain maka langkah rekomendatif yang perlu

    dilakukan Pemerintah apabila terjadi deviasi yang tinggi antara asumsi dengan angka

    aktualnya (penentuan asumsi makro berada pada tingkat presisi yang rendah) adalah

    dengan memperkuat kapasitas fiskal APBN itu sendiri. Langkah untuk memperkuat

    kapasitas fiskal dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

    (1) Meningkatkan penerimaan dalam negeri (dalam APBN) melalui penerimaan pajak dan

    penerimaan negara bukan pajak (PNBP)

    Upaya peningkatan penerimaan dalam negeri terutama dari sektor nonmigas dapat

    dilakukan misalnya dengan cara melanjutkan reformasi administrasi dan peraturan

    perpajakan, meningkatkan upaya penggalian potensi pajak melalui program

    intensifikasi dan ektensifikasi objek dan subjek mengingat jumlah tax payer riil di

    Indonesia masih jauh dibawah angka yang seharusnya menjadi tax payer (mengingat ada

    sekitar 50 juta orang yang termasuk middle class dan seharusnya menjadi subyek pajak.

    Termasuk program intensifikasi dan ektensifikasi objek dan subjek PNBP (Penerimaan

    Negara Bukan Pajak).

    (2) Meningkatkan kualitas belanja negara

    Pemerintah harus meningkatkan kualitas belanja negara agar benar-benar digunakan

    secara efisien untuk program/kegiatan yang memiliki prioritas tinggi serta belanja yang

    efisien dan efektif dalam mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional yang

    pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment. Pemerintah juga harus meningkatkan

    nilai penyerapan anggaran belanja negara agar lebih optimal karena daya serap

    anggaran belanja negara (terutama pada kementerian dan lembaga) sampai saat ini rata-

    rata baru mencapai 90 persen per tahun. Selain itu, Pemerintah juga harus berusaha

    menghindari realisasi belanja yang menumpuk di akhir tahun agar pertumbuhan

    ekonomi nasional menjadi lebih optimal.

    (3) Jika upaya di atas belum bisa meningkatakan kapasitas fiskal sehingga angka defisit

    sudah di luar batas yang ditentukan maka langkah rekomendatif berikutnya yaitu

    melakukan pemotongan anggaran belanja negara pada beberapa program/kegiatan

    pemerintah dengan tetap memperhatikan pencapaian tujuan pembangunan nasional.

  • Mengamankan Primary Balance Agar Tetap Positif

    Primary balance dihitung dari jumlah penerimaan dalam negeri dikurangi total

    belanja pada suatu tahun anggaran tanpa memperhitungkan pembayaran cicilan pokok dan

    bunga utang. Kondisi primary balance yang bernilai negatif menunjukkan indikasi awal

    bahwa APBN tidak sustain karena tidak ada dana untuk melunasi cicilan pokok dan bunga

    utang sehingga potensi defisit akan semakin membesar dan tidak terkendali (APBN

    insolvent). Sedangkan primary balance yang bernilai positif menunjukkan indikasi awal

    bahwa APBN mempunyai kapasitas dalam membayar cicilan pokok dan bunga utang dan

    potensi defisit bisa diminimalisasi (APBN solvent). Namun demikian, meskipun nilai primary

    balance pada suatu tahun anggaran bernilai positif belum menjadi jaminan Pemerintah

    mampu membayar utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut. Kondisi tersebut terjadi

    jika nilai positif primary balance tersebut ternyata lebih kecil daripada alokasi dana yang

    digunakan untuk pelunasan cicilan pokok dan bunga utang. Kondisi ini berpotensi akan

    menambah defisit (seperti digambarkan pada Tabel 2) dan berpotensi menambah dana

    untuk pembiayaan APBN yang biasanya akan didapatkan dari penambahan jumlah utang

    lagi. Jika pembayaran cicilan dan bunga utang dilakukan dengan cara menambah jumlah

    utang yang baru maka APBN akan masuk dalam perangkap utang yang akan

    membahayakan fiscal sustainability.

    Tabel 2. Primary Balance dan Defisit/Surplus Tahunan

    (dalam triliun rupiah)

    2007 2008 2009 2010 2011 2012

    Outlook RAPBN

    2013

    Primary Balance 30,0 84,3 5,2 41,5 8,9 (67,2) (36,9)

    Defisit (49,8) (4,1) (88,6) (46,8) (84,4) (179,1) (150,2)

    Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2013.

    Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah jika kondisinya sudah seperti ini? Ada

    dua kebijakan fiskal besar yang mungkin dapat direkomendasikan yaitu:

    (1) Meningkatkan nilai positif primary balance sampai pada kapasitas untuk melunasi semua

    cicilan pokok dan bunga utang pada tahun angggaran berjalan. Hal ini dapat dilakukan

    dengan cara menambah penerimaan dalam negeri dan pada saat yang sama mengelola

    belanja negara agar lebih efisien dan efektif dengan tanpa mengorbankan pencapaian

    tujuan-tujuan pembangunan nasional, misalnya dengan mengendalikan belanja pegawai

    dan belanja barang yang besaran alokasi setiap tahunnya rata-rata di atas 30 persen dari

  • total belanja pemerintah pusat sementara dampak pada tujuan pembangunan nasional

    tidak begitu terasa, namun pada sisi lain alokasi belanja modal rata-rata hanya berkisar

    15 s. d. 16 persen padahal belanja ini diharapkan akan berdampak pada pembangunan

    nasional.

    (2) Melakukan pengelolaan utang dengan baik, dengan cara (1) mempertahankan stabilitas

    mata uang rupiah agar tidak terdepresiasi terhadap mata uang asing yang secara tidak

    langsung akan menambah beban utang, (2) mengupayakan negosiasi dengan kreditur

    agar utang-utang yang mempunyai sistem bunga variable rate agar diubah ke sistem fixed

    rate sehingga pelunasannya tidak bergantung pada kondisi ketidakstabilan eksternal, (3)

    mengupayakan negosiasi dengan kreditur untuk resecheduling utang terutama terhadap

    utang-utang yang jatuh tempo dan Pemerintah masih berat untuk membayarnya, (4)

    memprioritaskan penggalian potensi utang dari sumber domestik, melalui penerbitan

    Surat Berharga Negara (SBN) dalam mata uang rupiah maupun penarikan pinjaman

    dalam negeri karena utang domestik ini cenderung lebih sedikit risiko politiknya dan

    terhindar dari volatilitas nilai mata uang asing, (5) jika harus menambah utang luar

    negeri maka Pemerintah harus mengupayakan utang-utang yang mempunyai bunga

    rendah, grace period yang tinggi, dan bebas dari intervensi politik dari negara kreditur,

    dan (6) mempunyai komitmen (jangka menengah dan panjang) yang kuat terhadap

    upaya pengurangan sumber pembiayaan dari sumber utang (terutama utang luar

    negeri).

    Mengendalikan Besaran Mandatory dan Nondiscretionary Spending pada APBN

    Besaran mandatory spendingyaitu pengeluaran negara pada program-program

    tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundangan yang

    berlakusemakin lama semakin membesar. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2013

    bahwa yang termasuk mandatory spending yaitu (1) kewajiban penyediaan anggaran

    pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen keempat UUD

    1945 pasal 31 ayat (4) tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/APBD; (2)

    kewajiban penyediaan Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26 persen dari penerimaan

    dalam negeri neto, dan Dana Bagi Hasil (DBH) sesuai ketentuan UU No. 33 Tahun 2004

    tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; (3)

    penyediaan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN sesuai dengan UU No.

    36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; (4) penyediaan dana otonomi khusus sesuai dengan

  • Undang-Undang Otonomi Khusus provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2

    persen dari DAU Nasional. 2

    Jika dilihat dari klasifikasi belanja ekonomi maka dalam Nota Keuangan dan RAPBN

    tahun 2013, khusus untuk anggaran belanja Pemerintah Pusat (di luar belanja transfer ke

    daerah) alokasinya meningkat dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp1.139,0 triliun

    (12,3 persen terhadap PDB). Namun demikian, dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar

    merupakan belanja mengikat (nondiscretionary spending) yaitu sekitar 65,5 persen (Rp746,4

    triliun) yang merupakan belanja yang bersifat wajib untuk dipenuhi seperti belanja

    pegawai, belanja barang operasional, subsidi, pembayaran bunga utang, dan bantuan sosial

    untuk cadangan bencana alam. Sedangkan sisanya sebesar 34,5 persen (Rp392,6 triliun)

    adalah belanja yang merupakan diskresi Pemerintah yang terdiri dari belanja barang non-

    operasional, sebagian bantuan sosial, belanja modal, belanja hibah, dan belanja lain-lain.

    Besaran mandatory dan nondiscretionary spending yang besar tersebut berakibat pada

    semakin sempitnya ruang fiskal (fiscal space) bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan

    belanja-belanja yang bersifat mendesak pada setiap tahunnya seperti belanja untuk

    pembangunan infrastruktur dan pemberian bantuan sosial bagi rakyat yang membutuhkan.

    Ketika Pemerintah benar-benar memerlukan tambahan belanja yang mendesak maka

    Pemerintah tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk menutup kebutuhan tersebut

    karena mayoritas dana APBN sudah di-kavling untuk mandatory dan nondiscretionary

    spending.

    Ada beberapa langkah rekomendatif yang mungkin dapat dilakukan oleh

    Pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menghadapi kondisi ini. Tindakan

    Pemerintah yang perlu dilakukan ini akan terealisasi jika terbuka peluang untuk

    mengamandemen peraturan perundangan yang selama ini menjadi landasan dalam

    mengalokasikan belanja-belanja mengikat tersebut. Langkah-langkah rekomendatif tersebut

    adalah sebagai berikut:

    1) Melakukan prioritisasi terhadap mandatory dan nondiscretionary spending.

    Dari beberapa jenis belanja di atas, suatu saat Pemerintah perlu menghapus beberapa

    jenis mandatory spending yang dianggap tidak prioritas dan tidak terkait langsung

    dengan tujuan pembangunan nasional.

    2 NK dan RAPBN 2013

  • 2) Mengurangi besaran porsi masing-masing belanja mengikat yang dianggap prioritas

    tersebut (poin 1).

    Setelah memilih beberapa belanja prioritas tersebut, Pemerintah harus menghitung

    ulang besaran dari masing-masing belanja tersebut, hal ini bisa dilihat dari angka

    penyerapan anggaran yang selama ini tercapai, seperti anggaran pendidikan (20 persen

    APBN/APBD) berdasarkan LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) beberapa

    tahun anggaran hanya mampu menyerap anggaran rata-rata sebesar 90 persen, hal ini

    berarti Pemerintah seharusnya mempunyai diskresi untuk mengalokasikan sisa

    anggaran tersebut ke program/kegiatan lainnya (pada tahun anggaran tertentu).

    3) Mengusulkan agar besaran mandatory spending diatur secara periodik (berkala) atau

    secara tahunan tergantung kondisi pada tahun anggaran bersangkutan dan melihat

    pengalaman penyerapan anggaran pada tahun sebelumnya.

    Hal ini, dapat dilakukan apabila ada kemauan politik baik dari pihak eksekutif maupun

    legislatif yaitu membuat peraturan perundang-undangan terkait belanja mengikat yang

    dirancang dan disahkan secara tahunan (seperti halnya Undang-Undang Nota

    Keuangan dan APBN) sehingga setiap tahun anggaran dapat dilakukan monitoring dan

    evaluasi dari efektivitas mandatory spending tersebut.

    Meminimalkan Fiscal Vulnerability dan Mengoptimalkan Fiscal Flexibility

    Dalam menjaga kesinambungan fiskal maka Pemerintah juga harus memperhatikan

    aspek kerentanan fiskal (fiscal vulnerability). Menurut Hemming dan Murray, 2000 (dalam

    Khainurrofik, 2009) kerentanan fiskal didefinisikan sebagai suatu situasi di mana

    pemerintah terkena kemungkinan kegagalan yang luas untuk mencapai tujuan kebijakan

    fiskal.

    Kerentanan fiskal ini diantaranya disebabkan karena adanya ketergantungan

    pemerintah terhadap sumber-sumber pendanaan di luar kontrol. Indikator utama yang bisa

    dilihat adalah (1) berapa rasio penerimaan dalam negeri terhadap total pendapatan, hal ini

    untuk mengetahui seberapa mampu Indonesia dapat menggali pendapatannya untuk

    menutupi seluruh belanjanya dari sumber dalam negeri dengan tanpa mengharapkan

    bantuan dari pihak luar dan (2) rasio utang luar negeri terhadap total utang, hal ini untuk

    mengetahui seberapa besar potensi risiko yang disebabkan oleh membengkaknya utang luar

  • negeri yang disebabkan oleh kondisi eksternal seperti exchange rate, dan lainnya

    (Khainurrofik, 2009).

    Kerentanan fiskal juga bisa terjadi akibat dari naiknya subsidi BBM, meningkatnya

    obligasi luar negeri dan berbunga mengambang, depresiasi nilai tukar rupiah, tingkat inflasi

    yang tinggi, dan lain sebagainya. Jika pemerintah dapat menekan potensi terjadinya

    kerentanan fiskal atau setidaknya mengetahui indikator adanya kerentanan fiskal lebih dini

    maka kondisi fiscal sustainability dapat terjaga dan sebaliknya jika indikator-indikator

    kerentanan fiskal tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah maka akan berdampak pada

    munculnya ancaman terhadap kesinambungan fiskal.

    Pada sisi lain, terkait dengan fiscal sustainability dikenal juga istilah fiscal flexibility.

    Salah satu definisi fiscal flexibility adalah kemampuan pemerintah dalam meningkatkan

    sumber daya keuangan untuk merespon meningkatnya komitmen/pengeluaran

    (Khainurrofik, 2009). Fiscal flexibility juga dapat berupa kewenangan di bidang fiskal yang

    dapat dilakukan pemerintah dalam rangka menghadapi konsidisi darurat seperti adanya

    kondisi ketidakpastian ekonomi global dan domestik, atau adanya perubahan asumsi-

    asumsi ekonomi makro, dan lainnya. Kewenangan itu dapat berupa pergeseran atau

    penambahan alokasi penerimaan, belanja, dan pembiayaan seperti berupa diberikannya

    diskresi kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM, mengubah postur

    penerimaan perpajakan, PNBP, dan lain sebagainya.

    Kesimpulan

    Secara singkat dapat diambil kesimpulan bahwa kondisi sustanable fiscal akan

    terpenuhi jika Pemerintah dapat mendekatkan antara asumsi ekonomi makro pada APBN

    dengan realitas yang ada, menjaga nilai primary balance agar tetap positif dan nilai positif ini

    bisa meng-cover pembayaran cicilan dan bunga utang, Pemerintah juga dapat

    mengendalikan mandatory dan nondiscretionary spending sehingga dapat membuka ruang

    fiskal yang lebih luas, dan terakhir adalah Pemerintah atas persetujuan DPR diberikan

    kewenangan dalam fiscal flexibility terutama dalam menghadapi kondisi-kondisi mendesak

    dan darurat.

  • Daftar Pustaka

    Haryo Kuncoro, The Indonesias State Budget Sustainability and Its Implication for Financial

    System Stability, Romanian Journal of Fiscal Policy, Volume 2, Issue 1, 2011.

    Khainurrofik, Model Makro Ekonomi Untuk Analisa Kesinambungan dan Kerentanan Fiskal,

    Kementerian Keuangan: 2009.

    Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013,

    Kementerian Keuangan: 2012.

    Nurcholis Madjid, Kebijaka Fiskal dan Penyusunan APBN, Badan Pendidikan dan Pelatihan

    Keuangan Kementerian Keuangan RI: 2012.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

    1 Kajian ditulis oleh Abdul Aziz, Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal dan

    telah dimuat dalam Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi I Tahun 2013.