2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Situ IPB · Nilai pH penting sebagai parameter kualitas air karena ia...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Situ IPB · Nilai pH penting sebagai parameter kualitas air karena ia...
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Situ IPB
Perairan situ merupakan salah satu ekosistem perairan tergenang (lenthic)
yang umumnya berair tawar dan berukuran relatif kecil. Ukurannya yang relatif
kecil menyebabkan keberadaannya sangat terancam oleh tingginya laju
sedimentasi (Puspita et al. 2005). Lebih lanjut didefinisikan bahwa situ
merupakan perairan dengan ekosistem terbuka (open system) di mana sangat
terpengaruh oleh kondisi lingkungan di sekitarnya. Ekosistem ini menempati
daerah yang relatif tidak luas dibandingkan dengan habitat laut dan daratan
(Effendi 2003).
Situ memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan di
sekelilingnya. Beberapa fungsi situ yaitu: fungsi ekologis sebagai habitat berbagai
jenis tumbuhan dan hewan, mengatur fungsi hidrologis, menjaga sistem dan
proses-proses alami; fungsi ekonomis yaitu sebagai penghasil berbagai jenis
sumberdaya alam bernilai ekonomis, penghasil energi, sarana wisata dan olah
raga, dan sumber air; dan fungsi sosial budaya (Puspita et al. 2005).
Situ IPB terdiri atas dua situ, yaitu Situ Leutik di sisi timur dan Situ
Perikanan di sisi barat. Kedua situ ini dipisahkan oleh dam setinggi ± 4 meter.
Situ IPB berbatasan di sisi timur dengan rawa-rawa dan Kantin Plasma; di sisi
selatan dengan Kompleks Perkebunan IPB Dramaga, Gedung Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, dan kebun karet; di sisi barat dengan Gedung FPIK dan kolam
Departemen Budidaya Perikanan; di sisi utara dengan aula Lembaga Sumberdaya
Informasi (LSI) dan kebun karet. Situ ini berada dalam pengawasan dan
pengelolaan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH
IPB) yang terletak tepat di atas dam pemisah Situ Leutik dan Situ Perikanan.
Situ Leutik terbentuk dengan dibendungnya sungai kecil oleh pihak
Laboratorium Percobaan Tanaman Agronomi. Proses pembendungan terdiri dari
dua tahap yaitu pada tahun 1977 dan 1979. Situ Leutik pernah jebol pada tahun
1980 dan kembali direkonstruksi pada tahun 1984. Awalnya situ ini merupakan
daerah rawa yang di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon karet. Sumber air Situ
Leutik berasal dari satu buah mata air yang tedapat di bagian hulu, tetesan air
5
hujan, dan rembesan-rembesan air (Purnomo 1987 in PUSLIT BIOLOGI LIPI
2003). Pada awal pembangunan, Situ Leutik difungsikan sebagai sumber air bagi
Laboratorium Percobaan Tanaman dan pemadam kebakaran. Pada
perkembangannya situ ini mengalami penambahan fungsi, yaitu sebagai area
rekreasi dan laboratorium lapang kampus (Suwignyo 1988 in Widjaya et al.
1990). Situ Perikanan pun merupakan situ buatan yang awalnya saluran buangan
dari Situ Leutik. Air yang berasal dari Situ Leutik dialirkan melalui dinding dam
permanen. Sumber air Situ Perikanan berasal dari Situ Leutik dan sumber mata air
di bagian utara situ.
Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson in Budiarto (2011)
menyatakan bahwa daerah Dramaga termasuk dalam daerah yang sangat basah.
Curah hujan yang sangat tinggi ini berlangsung sepanjang tahun dan akan
diselingi oleh bulan kering (Budiarto 2011). Gambar 2 berikut adalah grafik rata-
rata curah hujan bulanan daerah Dramaga, Bogor. Nilai ini berkisar antara
137,27–444,99 mm.
Gambar 2. Rata-rata curah hujan bulanan Dramaga (2000-2009)
Sumber: Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor
in Budiarto (2011)
Situ Leutik memiliki panjang maksimum dan panjang maksimum efektif
yang sama, yaitu sebesar 187,50 m. Hal ini dikarenakan tidak terdapat pulau di
tengah perairan Situ Leutik. Lebar maksimum dan lebar maksimum efektif Situ
Leutik adalah sebesar 88,50 m dan lebar rata-ratanya sebesar 50,07 m. Situ Leutik
memiliki luas permukaan sebesar 6.538,05 m2 dengan indek perkembangan garis
pantai (SDI) sebesar 1,66 (Budiarto 2011). Nilai SDI ini menunjukkan bahwa Situ
Leutik memiliki bentuk yang tidak teratur dan tidak menyerupai lingkaran. Sesuai
6
dengan Holmes (2000) in Budiarto (2011) bahwa jika nilai SDI mendekati 1 maka
bentuk situ semakin teratur dan menyerupai bentuk lingkaran. Situ Leutik
memiliki volume total air mencapai 17.741 m3.
Situ Perikanan memiliki panjang maksimum 243 m dan panjang maksimum
efektif 186 m. Nilai ini dikarenakan terdapat pulau terapung di dekat IPB Press.
Lebar maksimum dan lebar efektif situ masing-masing sebesar 88,50 m dan 47,10
m. Situ Perikanan memiliki luas permukaan 12.167,37 m2 dengan nilai SDI 1,7.
Nilai di atas menunjukkan bahwa Situ Perikanan memiliki bentuk yang tidak
teratur pula. Situ ini memiliki volume total air mencapai 18.435 m3 (Budiarto
2011).
Terdapat perbedaan kedalaman air pada setiap stasiun. Stasiun 1 dan 2
dengan kedalaman masing-masing mencapai 2,50 dan 3,50 m pada Situ Leutik.
Stasiun 3, 4, dan 5 dengan kedalaman masing-masing mencapai 1,50 m; 2,47 m;
1,50 m pada Situ Perikanan. Secara umum, Situ Leutik memiliki kedalaman
perairan yang lebih dalam daripada Situ Perikanan. Topografi dasar perairan Situ
IPB disajikan pada Gambar 3 dan 4 berikut.
Gambar 3. Topografi dasar perairan Situ Leutik
Sumber: diolah dari Budiarto (2011)
Gambar 4. Topografi dasar perairan Situ Perikanan
Sumber: diolah dari Budiarto (2011)
7
2.2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memegang peran penting terhadap suatu komunitas.
Beberapa parameter perairan menjadi kunci bagi keberadaan sumberdaya ikan di
dalamnya, yaitu parameter fisika, parameter kimia, dan biota akuatik (plankton
dan tumbuhan air/makrofita). Parameter tersebut kemudian menjadi bagian dari
syarat hidup ikan-ikan di perairan yang mana tiap jenis ikan memiliki syarat hidup
yang berbeda dan kemampuan adapatasi yang berbeda pula.
2.2.1 Parameter fisika air
Parameter fisika merupakan parameter perairan yang pengamatannya
dilakukan secara insitu, yaitu pengamatan langsung di lapang. Parameter fisika
yang diamati pada penelitian ini yaitu suhu, kecerahan, dan warna.
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Tinggi rendahnya suhu air
berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan,
semakin banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi (Welch
1980). Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan
perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan ini berlangsung lebih intensif
pada lapisan atas perairan sehingga memiliki suhu yang lebih tinggi (Effendi
2003).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan
kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya (Haslam
1995 in Effendi 2003). Suhu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, aliran air, dan kedalaman badan air. Besar kecilnya suhu di
perairan berpengaruh pada struktur komunitas dan tingkah laku organisme di
dalamnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan ikan
di daerah tropis adalah sekitar 25-30 0C (Effendi 2003).
8
Pada pengamatan yang dilakukan pada tahun sebelumnya didapat hasil suhu
perairan Situ Leutik berkisar 27-31 0C (Sulistiono 1992). Perubahan suhu yang
terjadi di perairan tidak berlangsung seketika, namun dalam selang waktu yang
lama. Seandainya terjadi perubahan suhu perairan dalam waktu singkat akan
mengakibatkan biota perairan (ikan) menjadi stres atau bahkan mati. Huet (1971)
in Buchar (1998) mengatakan bahwa fluktuasi suhu air sebesar 10 0C umumnya
masih dapat ditolerir oleh ikan, akan tetapi fluktuasi suhu air yang baik untuk
mendukung kehidupan ikan sebesar 5 0C. Kenaikan suhu sebesar 10
0C akan
menaikkan laju metabolisme ikan hingga dua kali lipat.
Kecerahan
Odum (1973) menjelaskan bahwa tingkat kecerahan suatu perairan terkait
erat dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan dan
dipengaruhi oleh kandungan bahan organik dan anorganik di dalamnya. Zat
terlarut tersebut dapat menghalangi masuknya cahaya matahari ke kolom perairan.
Pada zona perairan yang masih dapat dicapai cahaya matahari inilah proses
fotosintesis dapat berlangsung. Kemudian Effendi (2003) menjelaskan bahwa
kecerahan perairan dipengaruhi oleh cuaca, waktu pengamatan, padatan
tersuspensi, dan ketelitian pengukuran.
Perairan yang kaya unsur hara dengan nilai kecerahan yang rendah dapat
menghalangi penetrasi cahaya ke dalam perairan, sedangkan perairan yang miskin
unsur hara dengan kecerahan yang rendah dapat menekan produktivitas perairan.
Meskipun begitu, perairan yang jernih lebih bernilai estetika dibanding perairan
yang keruh. Kecerahan Situ Leutik berkisar antara 50-220 cm (Purnomo 1987 in
Wardiatno et al. 2003), sedangkan kecerahan Situ Perikanan berkisar antara 20-
101 cm (Syukri 2001).
Warna
Warna perairan merupakan salah satu parameter yang berpengaruh terhadap
nilai estetika perairan. Warna perairan pun dapat memberi gambaran awal
mengenai kondisi suatu perairan, yaitu oligotrofik (miskin unsur hara) atau
eutrofik (kaya unsur hara). Effendi (2003) mengatakan bahwa warna perairan
disebabkan oleh keberadaan bahan organik, bahan anorganik, plankton, humus,
9
dan ion-ion logam seperti besi dan mangan serta bahan-bahan lain yang dapat
menimbulkan warna pada perairan.
Berdasarkan pengamatan tahun 1992 dinyatakan bahwa warna perairan Situ
Leutik yaitu hijau. Warna perairan yang hijau ini menandakan banyaknya bahan
organik yang terkandung di perairan situ (Sulistiono et al. 1992).
2.2.2 Parameter kimia air
Parameter kimia diamati secara eksitu di laboratorium. Beberapa parameter
kimia berpengaruh langsung pada fisiologis sumberdaya ikan seperti pH, oksigen
terlarut, alkalinitas, dan kesadahan. Konsentrasi tiap parameter di dalam perairan
saling berkaitan dan tiap jenis ikan memiliki selang nilai kelarutan yang berbeda
pula.
pH
Nilai pH penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe
dan laju reaksi beberapa bahan di dalam air. Ikan dan biota-biota akuatik lainnya
hidup pada selang pH tertentu dan memiliki daya toleransi pada perubahan
keasaman. Sehingga dengan melihat pH dapat diketahui apakah perairan tersebut
sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan sumberdaya ikan di dalamnya
(Effendi 2003).
Konsentrasi ion hidrogen (pH) berkaitan erat dengan karbondioksida dan
alkalinitas. Pada pH <5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH,
semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan kadar karbondioksida bebas akan
semakin rendah. pH juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia
seperti senyawa amonium (Effendi 2003). Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme,
suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut (Pescod 1973 in Wibowo
2007).
Pada PPRI No. 82 tahun 2001 ditetapkan bahwa baku mutu pH pada
perairan yang diperuntukkan bagi perikanan (kriteria kelas III) berkisar 6-9. Lebih
lanjut, Pescod (1973) in Wibowo (2007) mengatakan bahwa pH ideal bagi
perikanan yaitu berkisar 6,50-8,50.
10
Oksigen terlarut
Oksigen terlarut atau Dissolve Oxygen (DO) menunjukkan jumlah oksigen
yang terlarut di air dalam satuan mg/L. Ketersediaan oksigen di air mutlak
menjadi kebutuhan dasar biota air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari
reaksi fisika maupun biologi, seperti difusi udara dan fotosintesis. Namun pada
kenyataannya, proses difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung lambat,
terutama pada perairan tergenang. Akibatnya, penyuplai DO di air lebih banyak
berasal dari hasil fotosintesis (Wetzel 1975).
Konsentrasi DO di perairan bervariasi tergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Konsentrasi DO juga berfluktuasai secara
harian dan musiman tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air,
aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi
2003).
Effendi (2003) juga mengatakan bahwa pada perairan tawar, konsentrasi DO
berkisar 15 mg/L pada suhu 0 0C dan 8 mg/L pada suhu 25
0C. Kemudian pada
PPRI No. 82 tahun 2001 ditetapkan bahwa baku mutu DO pada perairan yang
diperuntukkan bagi perikanan yaitu ≥ 3 mg/L.
Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau
kuantitas anion di air yang dapat menetralkan hidrogen (acid neutralizing
capacity). Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat
melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Senyawa kalsium
karbonat adalah yang memberi kontribusi terbesar terhadap nilai alkalinitas di
perairan tawar. Keberadaannya yang melimpah di dalam tanah menjadikan
kelarutannya cukup tinggi pada perairan tawar. Selain berasal dari mineral di
tanah, karbonat dan bikarbonat juga dapat berasal dari hasil dekomposisi bahan
organik oleh mikroba (Effendi 2003).
Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh
organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi
atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas alami tidak lebih besar dari
500 mg/L. Lebih lanjut, nilai alkalinitas suatu perairan dipengaruhi oleh pH,
komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion (Effendi 2003).
11
Kesadahan
Kesadahan atau hardness adalah gambaran kation logam divalen. Kation-
kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap) membentuk endapan atau
presipitasi maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk
endapan atau karat pada peralatan logam. Kesadahan sangat penting artinya bagi
petunjuk kualitas air. tidak semua ikan dapat hidup pada nilai kesadahan yang
sama. Dengan kata lain setiap jenis ikan memiliki selang nilai kesadahan tertentu
untuk hidupnya (Effendi 2003).
Pada umumnya, hampir semua ikan mampu beradaptasi pada kondisi
kesadahan ini. Namun, sulit bagi ikan untuk dapat memijah pada kondisi perairan
dengan kesadahan yang tidak sesuai prasyarat mereka.
2.2.3 Biota akuatik
Biota akuatik tidak hanya terdapat di permukaan perairan saja, namun juga
terdapat di dalam kolom perairan. Mereka dapat diamati secara langsung maupun
khusus. Pengamatan plankton harus diamati menggunakan mikroskop, sedangkan
pengamatan tumbuhan air dilakukan secara visual di lapang.
Plankton
Plankton adalah organisme yang melayang bebas di perairan yang
pergerakannya dipengaruhi oleh aliran air. Kebanyakan plankton adalah
organisme mikroskopik, meskipun untuk sebagian jenis dapat dilihat oleh mata
secara langsung (Kendeigh 1961). Plankton memiliki peran penting pada
ekosistem perairan, yaitu sebagai primary producer (fitoplankton), primary
consumer (zooplankton), dan sebagai dasar terbentuknya rantai makanan di
perairan (Simcic 2005).
Terdapat sepuluh jenis genus atau spesies yang sering ditemukan pada
perairan situ. Jenis genus atau spesies tersebut adalah Chlorophyceae,
Charophyceae, Euglenophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, Xanthophyceae,
Chrysophyceae, Bacillariophyceae, Myxophycecae, dan Rhodophyceae (Welch
1952 in Putri 2010). Kemudian Wetzel (1975) mengatakan bahwa danau eutrofik
memiliki struktur komunitas fitoplankton yang didominasi oleh kelas
Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan Bacillariophyceae.
12
Sedangkan danau oligotrofik memiliki struktur komunitas fitoplankton yang
didominasi oleh kelas Cyrisophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan
Bacillariophyceae.
Tumbuhan Air
Tumbuhan air atau makrofita memeiliki peran penting bagi organisme di
sekitarnya. Sebagai contoh adalah tumbuhan air mampu menyediakan habitat bagi
ikan dan invetebrata. Tumbuhan air di suatu perairan juga berperan sebagai
penghasil oksigen, tempat melekatnya perifiton, dan penangkap sedimen.
Terdapat empat karakter spesies dari tumbuhan air yaitu tumbuhan air
mengapung, terendam, terendam sebagian, dan mencuat (Kendeigh 1961).
Tumbuhan air tingkat tinggi di suatu perairan situ terdiri dari Bryophyta,
Pteriodophyta, dan Spermatophyta (Welch 1952 in Putri 2010). Keanekaragaman
tumbuhan air pada suatu perairan erat kaitannya dengan latitude dan tekanan
lingkungan akibat kegiatan manusia.
2.3 Sumberdaya Ikan
Pengamatan terhadap jenis-jenis ikan yang terdapat di Situ IPB sudah
pernah dilakukan pada tahun 1987, 1988, dan 1992. Pada pengamatan tahun 1987
telah teramati 6 jenis ikan, yaitu Ikan Lele (Clarias batrachus), Ikan Cupang
(Beta splendens), Ikan Gabus (Opiocephalus striatus), Ikan Mujair (Oreochromis
mossambicus), Ikan Nila (Oreochromis niloticus), dan Ikan Tawes (Puntius
javanicus). Wijaya (1991) in Sulistiono et al. (1992) mengatakan bahwa tiga jenis
ikan pertama yang disebut di atas merupakan ikan asli, sedangkan ikan lainnya
merupakan ikan introduksi. Pada kisaran tahun 1986-1988 telah dilakukan
introduksi ikan yaitu Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Sulistiono et al. 1992).
Pada tahun 1988 juga telah dilakukan percobaan menggunakan grass carp
di Situ Leutik sebagai upaya penanganan gulma Hydrilla verticulata. Dari
percobaan ini kemudian dilakukan introduksi Ikan Koan (Ctenopharyngodon
idella) sebanyak 500 ekor (Widjaya et al. 1990). Pada penelitian tahun 1992
teramati 6 jenis ikan, yaitu Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), Ikan Cupang
(Beta splendens), Ikan Wader (Puntius binotatus), Ikan Tambakan (Helostoma
temminckii), Ikan Gabus (Opiocephalus striatus), dan Belut (Monopterus albus).
13
Dengan demikian, terdapat 11 jenis ikan yang tercatat pada kisaran tahun 1987-
1992. Berikut ini beberapa sumberdaya ikan yang terdapat di Situ IPB:
Mujair (Oreochromis mossambicus)
Ikan Mujair bukanlah ikan asli Indonesia, melainkan berasal dari daratan
Afrika. Mujair memiliki warna sisik silver dengan dua sampai lima bercak di
bagian garis tengah tubuhnya. Namun pada ikan jantan dewasa, badan dan
siripnya berwarna hitam, bibir bagian atas berwarna biru, bagian bawah kepala
berwarna putih, dan ujung sirip-siripnya berwarna merah. Ikan ini dapat mencapai
panjang maksium 39 cm dan ukuran pertama kali memijah pada panjang total
tubuh 15,4 cm. Mujair menghuni perairan tropis dengan suhu berkisar 17-35 0C
dan dapat bertahan pada suhu 8-42 0C (www.fishbase.org).
Ikan Mujair biasa ditemukan pada perairan tawar (sungai, danau, dan rawa),
namun dapat pula hidup dan berkembangbiak di perairan asin. Ikan ini dikenal
mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan
makanan. Hal ini menjadikan ikan mujair sebagai ikan kosmopolit dan telah
menginvasi banyak perairan tawar di berbagai negara (www.fishbase.org).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa makanan utama Ikan
Mujair yaitu diatom, sedangkan makanan tambahannya yaitu Chlorophyceae,
Dinophyceae, Cyanophyceae, Crustaceae, Rotatiria, dan material lain yang tidak
dapat teridentifikasi. Berdasarkan umur dan jenis kelamin, terdapat perbedaan
komposisi makanan tambahan. Namun tidak demikian pada makanan utamanya
(Meity 1978).
Sepat (Trichogaster trichopterus)
Ikan sepat memiliki bentuk tubuh pipih dan moncong runcing, panjang total
dapat mencapai 12 cm. Warna tubuh ikan sepat sangat bervariasi, namun terdapat
satu kesamaan yaitu selalu terdapat dua bintik berwarna hitam di sisi tengah tubuh
dan pangkal ekor. Sirip dorsal, VI-VIII (jari-jari keras atau duri) dan 8-9 (jari-jari
lunak); dan sirip anal X-XII, 33-38. Gurat sisi 30-40 buah. Panjang standar (tanpa
ekor) 2,3-2,5 kali tinggi badan. Ciri utama ikan ini adalah sirip ventralnya yang
berbentuk seperti cambuk/rambut sehingga dinamakan trichopterus
(www.fishbase.org).
14
Ikan Sepat hanya dapat hidup di perairan tawar. Ikan ini termasuk ke dalam
golongan ikan omnivora. Biasa hidup pada suhu perairan 22-28 0C dan pH
berkisar 6,0-8,5. Ukuran panjang maksimumnya dapat mencapai 15 cm, namun
pada umumnya hanya 11 cm. Ikan Sepat termasuk ke dalam kelompok
Anabantoidei yang dicirikan oleh adanya organ labirin di ruang insangnya.
Adanya labirin ini memungkinkan untuk hidup di tempat yang miskin oksigen
seperti rawa, sawah dan lain-lain (www.aquaworld.netfirms.com).
Gabus (Channa striata)
Ikan Gabus secara morfologi memiliki bentuk kepala simetris seperti ular
dan bersisik, sebelah depan agak gepeng dengan mulut lebar dan dapat dijulurkan.
Langit-langit mulutnya memiliki dua baris gigi kecil dan runcing, badan simetris,
sirip punggung panjang dan bersatu serta berjari-jari lemah sebanyak 37-43 buah,
sirip dubur berjari-jari lemah 21-27 buah, mempunyai labirin, sisik pada rusuk 52-
57 keping berwarna hitam dengan sedikit belang pada punggung dan putih pada
bagian bawahnya (Saanin 1984 in Rahardiani 2007).
Seperti halnya kerabat dalam famili Channidae, Ikan Gabus dapat hidup
pada perairan yang miskin oksigen. Bahkan pada saat masa kering, dapat bertahan
hidup dengan membenamkan diri pada lumpur basah (Syarief 2005 in Rahardiani
2007). Ikan Gabus merupakan ikan kosmopolit, yaitu ikan yang dapat ditemukan
pada berbagai macam perairan. Ikan ini lebih menyenangi tinggal di daerah rawa,
sungai, dan danau. Asmawi (1986) in Rahardiani (2007) menyatakan bahwa Ikan
Gabus hidup pada perairan dengan pH berkisar antara 4-6 di lingkungan aslinya.
Wader (Puntius binotatus)
Ikan berukuran kecil ini memiliki panjang total umumnya hingga 10 cm dan
dapat mencapai 17 cm. Bersungut empat di ujung moncongnya, dan dengan gurat
sisi yang sempurna (tidak terputus) berjumlah 23-27. Sirip dorsal (punggung)
dengan 4 duri dan 8 jari-jari lunak; duri yang terakhir bergerigi di belakangnya.
Awal sirip dorsal berjarak 4½ sisik dengan gurat sisi (www.fishbase.org).
Warna dan bentuk tubuh Ikan Wader berubah-ubah. Kebanyakan berwarna
abu-abu kehijauan, zaitun, atau keperakan dengan warna yang lebih gelap di
bagian punggung berangsur-angsur memucat dan keputihan di sisi dada dan perut.
15
Dua bintik besar biasa terdapat di pangkal sirip dorsal dan tengah batang ekor
(peduncle). Pada ikan berusia muda sering terdapat satu sampai tiga bintik
tambahan di bagian tengah badan pada sebuah coret samar memanjang di sisi
tubuh di belakang tutup insang dan satu bintik di awal sirip anal. Bintik-bintik ini
umumnya akan memudar dan menghilang pada ikan dewasa (www.fishbase.org).
Ikan Wader cenderung bersifat omnivora, memakan mulai dari plankton,
larva serangga, hingga serpihan tumbuhan hijau. Kondisi lingkungan alaminya
adalah perairan tropis dengan pH antara 6,0-6,5 (agak asam) dengan kisaran suhu
antara 24-26 0C (www.fishbase.org).
Tawes (Puntius javanicus)
Ikan Tawes berbentuk padat, tinggi, bagian dorsal melengkung, dan ada
cekungan di atas tengkuknya. Bagian kepala kecil dengan mulut menyembul dan
terminal. Pada ikan dewasa bintik-bintik sangat sederhana bahkan kadang hilang
sepenuhnya. Ikan ini berwarna putih perak dan terkadang emas. Sirip dorsal dan
caudal berwarna kekuningan, sirip anal dan ventral berwarna oranye muda dengan
warna merah di ujungnya, dan sirip pektoral berwarna pucat sampai kuning muda
(Weber & De beaufort 1916).
Beberapa kasus pada danau-danau yang mengalami blooming phytoplankton
digunakanlah jenis-jenis ikan herbivora sebagai biocleaning agents. Waduk
Saguling telah menerapkan metode ini dengan menebar Ikan Mola
(Hypophthalmichthyis milirix) sebagai ikan uji. Kemudian Waduk Maninjau pun
menerapkan metode tersebut dengan Ikan Tawes (Puntius javanicus) dan Nilem
(Osteochillus hasselti) sebagai ikan uji (Syandri 2004).
Nilem (Osteochillus hasselti)
Ikan Nilem mempunyai bentuk tubuh pipih dan mulut dapat disembulkan.
Posisi mulut terletak di ujung hidung (terminal). Posisi perut terletak di belakang
sirip dada (abdominal). Ikan Nilem tergolong bersisik lingkaran (sikloid). Rahang
atas sama panjang atau lebih panjang dari diameter mata, sedangkan sungut
moncong lebih pendek daripada panjang kepala. Permulaan sirip punggung
berhadapan dengan sisik garis rusuk ke-22 atau ke-23 di belakang jari-jari sirip
punggung terakhir. Sirip perut dan sirip dada hampir sama panjang. Permulaan
16
sirip perut dipisahkan oleh 4-4,5 sisik dari sisik garis rusuk ke-10 sampai ke-12.
Sirip perut tidak mencapai dubur, sirip ekor bercagak, tinggi batang ekor hampir
sama dengan panjang batang ekor, dan dikelilingi oleh 16 sisik (Weber & De
beaufort 1916).
Menurut warna dan sisiknya, Ikan Nilem dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu berwarna coklat kehitaman atau coklat hijau pada punggunggnya dan terang
di bagian perut dan ikan nilem merah dengan punggung merah atau kemerah-
merahan dengan bagian perut agak terang (Hardjamulia 1978 in Wicaksono
2005). Ikan ini termasuk ke dalam kelompok herbivora dan dapat dimanfaatkan
sebagai biocleaning agents pada perairan-perairan yang mengalami blooming
phytoplankton (Syandri 2004).
Lele (Clarias batrachus)
Ikan Lele ini dikenali dari tubuhnya yang licin dan tak bersisik. Memiliki
sirip punggung dan sirip anus yang panjang. Kepalanya keras menulang di bagian
atas dengan mata yang kecil. Mulutnya lebar dan terletak di ujung moncong.
Memiliki empat pasang sungut peraba yang digunakan untuk bergerak di air yang
gelap. Lele juga memiliki alat pernafasan tambahan berupa modifikasi dari busur
insangnya. Terdapat sepasang patil, yakni duri tulang yang tajam, pada sirip-sirip
pektoralnya.ika Lele mampu mencapai panjang maksimum hingga 47 cm dan
ukuran pertama kali matang gonad yaitu 28 cm (www.fishbase.org).
Ikan Lele merupakan ikan asli Indonesia. Hampir semua jenis Ikan Lele
hidup di perairan tawar seperti, sawah, rawa, dan danau. Namun ada satu jenis lele
yaitu lele laut yang hidup di perairan asin. Ikan ini hidup di perairan tropis dengan
suhu 10-28 0C dan mampu bertahan pada kondisi perairan yang kurang baik dan
tercemar. Kebiasaan makannya adalah omnivora dan bersifat predator
(www.fishbase.org). Kebiasaan hidup ikan lele adalah nokturnal, yaitu ikan yang
aktif mencari makan pada saat malam hari. Pada waktu siang hari, ikan ini
cenderung berdiam diri dan berlindung di perairan yang gelap (Sudarto 2004).
Belakangan, ikan ini banyak dibudidayakan sebagai ikan konsumsi.
17
Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
Ikan Sapu-sapu termasuk ke dalam suku catfish dan famili Loricariidae
yang ditandai dengan tubuh yang tertutup oleh kulit yang mengeras dengan bentuk
mulut cakram. Menurut Sterba (1983) in Sutanti (2005), kepala serta tubuh ikan
sapu-sapu melebar dan membentuk seperti panah. Batang ekor memanjang dan
sirip punggung lebar. Pada semua siripnya kecuali sirip ekor selalu diawali oleh
duri keras. Terdapat juga adipose fin yang terletak dekat dengan ujung batang
ekor yang ditutupi oleh kulit yang mengeras. Page et al. (1996) in Sutanti (2005)
mengatakan bahwa Sapu-sapu dapat mencapai panjang maksimum 50 cm. Ikan ini
berasal dari perairan air tawar Amerika Selatan dan bagian utara Amerika Tengah
hingga Nikaragua.
Ikan Sapu-sapu dapat hidup secara optimal di perairan tropis dengan kisaran
pH 7-7,5 dan suhu antara 23-28 0C. Walaupun demikian, ikan ini masih dapat
hidup dengan baik pada kondisi fisika kimia perairan yang kurang baik sehingga
dapat berperan sebagai indikator lingkungan (Page et al. 1996 in Sutanti 2005).
Kemudian menurut Grzimek (1973) in Prihardhyanto (1995) in Sutanti (2005)
mengatakan bahwa Ikan Sapu-sapu biasa mengkonsumsi alga yang melekat pada
bebatuan, tumbuhan air, dan detritus. Sapu-sapu juga mengkonsumsi bangkai ikan
dan hewan-hewan lain yang tenggelam di dasar perairan, sehingga Ikan Sapu-sapu
digolongkan ke dalam kelompok omnivora.
Betutu (Oxyeleotris marmorata)
Menurut Saanin (1984), pada badan Ikan Betutu terdapat bercak-bercak dan
tidak ada ocellus pada batang ekor. Ocellus merupakan pewarnaan dalam bentuk
lingkaran atau gelang. Kottelat et al. (1993) in Sutanti (2005) menyatakan bahwa
secara morfologi ikan betutu mempunyai lima buah sirip, yaitu sirip punggung,
sirip dada, sirip perut, sirip anal, dan sirip ekor dengan jumlah jari-jari pada
siripnya yaitu, 7 buah jari-jari sirip keras dan 9 buah jari-jari sirip lemah pada sirip
punggung dan 1 buah jari-jari sirip keras dan 8 buah jari-jari sirip lemah pada sirip
anal. Ikan Betutu memiliki panjang maksimum hingga 65 cm.
Ikan Betutu merupakan ikan demersal dan menyukai daerah bersubstrat
lumpur, bersifat potadromus dan terdapat di perairan tawar seperti sungai, danau,
waduk, maupun perairan payau seperti daerah rawa. Tingkat aktivitasnya sangat
18
rendah, sehingga oleh masyarakat biasa disebut ikan gabus malas. Ikan ini dapat
tumbuh optimal pada wilayah perairan tropis dengan kisaran pH 6,5-7,5 dan
kisaran suhu 22-28 0C. Akan tetapi pada kondisi perairan yang buruk, Ikan Betutu
masih dapat bertahan hidup karena memiliki toleransi yang tinggi terhadap
tekanan perairan. Betutu digolongkan ikan karnivora disebabkan kebiasaan
makannya yang antara lain ikan kecil, udang, serangga air, moluska, dan kepiting
(Kottelat et al. 1993 in Sutanti 2005).
2.4 Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan dalam ukuran, baik
panjang maupun berat sepanjang waktu. Pertumbuhan terjadi karena adanya sisa
energi yang dihasilkan dari proses metabolisme pada tubuh ikan. Hubungan
panjang berat biota didasarkan hukum kubik, yaitu berat ikan merupakan pangkat
tiga dari panjangnya dan disertai anggapan bentuk dan berat biota tetap sepanjang
hidupnya. Namun hubungan yang terjadi tidak demikian karena bentuk dan berat
biota berbeda-beda diakibatkan oleh banyak faktor.
Berdasarkan hubungan panjang dengan berat yang dinyatakan dalam rumus
W = a L b, maka pertumbuhan memiliki dua pola yaitu pertumbuhan isometrik dan
allometrik. Pertumbuhan isometrik (b=3) berarti pertambahan panjang seimbang
dengan pertambahan berat sedangkan pertumbuhan allometrik (b≠3) berarti
pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat. Pertumbuhan
dinyatakan bersifat allometrik positif jika b>3 yang berarti pertambahan berat
lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang, sedangkan
pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik negatif jika b<3 yang berarti
pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Nilai a dan b dari
persamaan merupakan konstanta hasil regresi, sedangkan W adalah berat total
biota dan L adalah panjang total biota (Effendie 2002).
Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya menyangkut penentuan ukuran
badan sebagai fungsi dari umur. Model matematik bagi pertumbuhan individu
telah dikembangkan oleh Von Bertalanffy. Panjang dan berat merupakan
komponen dasar dalam spesies ikan dan merupakan parameter utama mengukur
pertumbuhan dan stok ikan (Spare and Venema 1999).
19
Regresi panjang berat bahkan lebih sering digunakan untuk memperkirakan
berat dari panjang karena pengukuran langsung berat cukup memakan waktu
(Sinovcic et al. 2004). Penelitian mengenai hubungan panjang berat telah banyak
dilakukan di belahan dunia antara lain di Portugis oleh Santos et al. (2002) dan
Mendes et al. (2004), di laut Adriatik oleh Sinovcic et al. (2004), di Sungai
Gambia, Afrika oleh Ecoutin et al. (2004), dan di Laut Hitam oleh Kalayci et al.
(2007).
2.5 Konsep Komunitas
Struktur komunitas sumber daya air menurut Odum (1973) adalah kumpulan
dari populasi yang hidup di dalam habitat fisik tertentu -dalam hal ini situ- dan
merupakan satuan yang terorganisir serta mempunyai hubungan timbal balik.
Pada umumnya komunitas mempunyai struktur spesies yang khas. Struktur
komunitas ini terdiri atas beberapa populasi yang berlimpah jumlah individunya
dan sejumlah besar populasi yang masing-masing jumlah individunya sedikit.
Nybakken (1988) in Sulistiono et al. (1992) mengatakan bahwa tiap spesies
dalam komunitas memiliki daya toleransi tertentu terhadap faktor lingkungan.
Bila di suatu lingkungan terdapat faktor lingkungan yang melampaui batas
toleransi suatu spesies maka pada daerah ini spesies tersebut tidak akan dapat
ditemukan. Kemudian Royce (1972) mengatakan bahwa tiap spesies mempunyai
batas kondisi ideal tertentu hingga pertumbuhannya mencapai optimal dan dapat
beradaptasi terhadap sedikit perubahan dari kondisi ideal tersebut.
Royce (1972) kembali mengatakan bahwa tiap spesies memiliki batasan
distribusi dan kelimpahan yang bergantung pada kemampuan mereka untuk
menggunakan atau mentolerir faktor-faktor lingkungan dan kemampuan untuk
menyebar. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan di perairan situ
antara lain jenis ikan, daur hidup, kebiasaan makan, fisika-kimia perairan, dan
musim (Bhukaswan 1980).
Komposisi suatu organisme ikan yang hidup dalam perairan dapat dilihat
dari kelimpahan relatifnya yang dinyatakan dalam jumlah atau berat relatif dari
satu kelompok jenis organisme dalam suatu komunitas (Royce 1972). Salah satu
cara untuk mengetahui hal itu antara lain dengan menggunakan alat tangkap yang
memiliki selektivitas rendah atau dengan kombinasi dari berbagai alat tangkap
20
(Powell et al. 1971 in Butet et al. 1992). Lebih lanjut dikatakan bahwa dua
komunitas yang mempunyai jumlah individu total dan jumlah individu yang sama
belum tentu mempunyai struktur komunitas yang sama karena kemungkinan
terdapat perbedaan kelimpahan relatif (Poole 1974 in Sulistiono et al. 1992).
Kelimpahan ikan dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor
pembatas antara lain fekunditas, ruang gerak, kompetisi, predasi, penyakit, dan
batas waktu untuk bertahan hidup (Rounsefell & Everhart 1962). Komunitas biota
yang masih alami dan cukup matang memiliki keragaman spesies yang tinggi,
tidak ada dominansi spesies tertentu, dan pembagian jumlah individu per jenis
hampir merata (Lund 1981 in Sulistiono et al. 1992).
Gangguan terhadap lingkungan hidup tidak bisa dipungkiri dapat
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi suatu sistem biologi dalam
komunitas. Para ahli biologi telah melakukan berbagai percobaan untuk mengukur
tingkat polusi dengan menganalisa perubahan yang terjadi dalam sistem biologi
(Wilhm 1975 in Puspita et al. 2005). Lebih lanjut Racera (1979) in Puspita et al.
(2005) menerangkan bahwa organisme tertentu memperlihatkan hubungan
tertentu dengan pencemaran air. Dengan kata lain, organisme yang ditemukan di
air terpolusi akan berbeda dengan organisme yang ditemukan di air bersih. Hal
tersebut didefinisikan oleh Kolwkwitz dan Marson dengan konsep “indikator
biologi” dalam polusi.