2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filesektor 2 merupakan output dari sektor 1, yang pada...
Transcript of 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id filesektor 2 merupakan output dari sektor 1, yang pada...
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Input Output
Adanya integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di
antara semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan
pembangunan ekonomi. Dalam ekonomi pasar, integrasi ekonomi dapat dilihat
ketika terjadi interaksi antara pelaku ekonomi yang saling jual beli input produksi.
Misalkan perusahaan pengalengan ikan tuna membutuhkan input ikan tuna
sebagai bahan bakunya, untuk itu ia harus membelinya dari nelayan di TPI atau
tempat lainnya. Adapun nelayan jika ingin meningkatkan outputnya sangat
membutuhkan sarana kapal yang diproduksi oleh perusahaan pembuat kapal
maupun alat tangkap. Sementara itu perusahaan pembuat kapal maupun
pembuat alat tangkap tersebut membutuhkan bahan baku berupa kayu, besi
maupun modal dari perbankan. Begitu seterusnya, sehingga sulit bagi kita untuk
menemukan ujung pangkal dari cerita interaksi ekonomi semacam itu. Namun
yang pasti, tidak mungkin suatu sektor ekonomi tersebut bisa berkembang hanya
dengan mengandalkan kekuatannya sendiri.
2.1.1 Konsep model input output
Salah satu model yang bisa memaparkan dengan jelas bagaimana
interaksi antar pelaku ekonomi itu terjadi adalah model input-output yang
pertama kali diperkenalkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930-an,
yang kemudian mendapat hadiah Nobel pada tahun 1973 (Miller dan Blair
1985). Tabel input output sebagai suatu perangkat data atau tabel
transaksi yang komprehensif, konsisten dan terinci yang menggambarkan
hubungan supply dan demand antar berbagai sektor dalam suatu wilayah
perekonomian baik negara, wilayah maupun daerah yang lebih kecil (Arief
1993; BPS 1995; Nazara 1997; Arsyad 1999; Mangiri 2000). Dengan
digunakan Tabel Input Output Jawa Tengah tahun 2007 hasil up dating
sebagai basis analisis, diharapkan dapat memberikan gambaran aktivitas
perekonomian Jawa Tengah secara menyeluruh dapat diketahui, serta
hubungan antara satu sektor dengan sektor yang lain dapat tertangkap.
Tabel input output ini, berguna antara lain untuk melihat (Arsyad
1999; Budiharsono 2001) ; (1) struktur ekonomi suatu negara atau
wilayah, (2) derajat keterkaitan antar sektor (depan atau belakang), (3)
prospek investasi suatu sektor dan dampaknya dari satu sektor kepada
13
sektor yang lain dan secara keseluruhan, (4) perubahan struktur
perekonomian antar waktu, dan (5) penentuan sektor-sektor unggulan
pada daerah tertentu .
Model I-O (input-output) ini dapat menunjukkan seberapa besar
aliran keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Input produksi
dari sektor 1 merupakan output dari sektor 2, dan sebaliknya input dari
sektor 2 merupakan output dari sektor 1, yang pada akhirnya keterkaitan
antar sektor akan menyebabkan keseimbangan antara penawaran dan
permintaan dalam perekonomian tersebut. Dari hubungan ekonomi yang
sederhana ini menunjukkan pengaruh yang bersifat timbal balik antara
dua sektor tersebut. Hubungan inilah yang dikatakan hubungan input-
output.
2.1.2 Model Dasar Input Output
Melalui model I-O kita bisa menelusuri kemana saja output dari
suatu sektor itu didistribusikan, dan input apa saja yang digunakan oleh
sektor tersebut. Dengan memodifikasi model input-output West (1995)
kita bisa membentuk alur distribusi terbentuknya suatu model I-O secara
sederhana, khususnya jika dilihat dari sisi permintaan (demand-driven),
seperti yang disajikan dalam Gambar 1.
Output dari suatu sektor produksi i, akan didistribusikan kepada dua
konsumen. Pertama, konsumen yang menggunakan output tersebut
sebagai input untuk proses produksi lanjutan, tentunya konsumen disini
disebut produsen. Kedua, konsumen yang menggunakan output tersebut
untuk dikonsumsi langsung, dimana dalam model I-O yang tergolong
sebagai konsumen akhir ini adalah rumah tangga, pemerintah, swasta
(investasi), dan konsumen luar negeri (ekspor). Bagi konsumen pertama,
output sektor i tersebut merupakan input antara (intermediate input)
dalam proses produksinya, sedangkan pada konsumen kedua, output-nya
merupakan permintaan akhir (final demand).
14
Dalam hubungannya dengan input perpindahan barang antar sektor
seperti output dari sektor i akan terdistribusi ke sektor j yang digunakan
sebagai input antara. Selain itu bisa juga distribusi input antara tersebut
dari sektor i ke sektor i itu sendiri, yang disebut perpindahan intrasektor.
Namun demikian, input yang digunakan dalam suatu proses produksi
bukan hanya berupa input antara. Ada pula input-input lainnya yang
digunakan seperti faktor produksi tenaga kerja, modal, tanah, dan lain-
lain, dimana semuanya ini digolongkan sebagai input primer. Pada model
I-O biasanya input primer ini direfleksikan melalui upah dan gaji, surplus
usaha, pajak tak langsung, dan subsidi. Selain input yang berasal dari
dalam negeri, ada juga input yang berasal dari luar negeri. Karena itu
model I-O juga memasukkan komoditi impor dalam distribusi input-nya.
Seperti nilai uang arus barang dari sektor i ke sektor j kita notasikan
zij, kemudian total output dari sektor i dinotasikan Xi, sedangkan total
permintaan akhir dari sektor i adalah Yi, maka dapat kita tuliskan total
output dari sektor i sebagai berikut :
Xi = z i1 + z i2 + z i3 + . . . + z in + Y1 ....................................................... [1]
Gambar 1 Model sederhana input output (West 1995)
Teknologi
Permintaan Antara Permintaan Akhir
Permintaan AkhirLainnya
Konsumen RumahTangga
Total Permintaan
Input PrimerLainnya Tenaga Kerja
15
Oleh karena dalam perekonomian terdapat n sektor produksi, maka
secara keseluruhan kita bisa tuliskan total output semua sektor adalah :
X1 = z11 + z12 + z13 + . . . + z1n + Y1
X2 = z21 + z22 + z23 + . . . + z2n + Y2
:
Xi = z i1 + z i2 + z i3 + . . . + z in + Yi ………………………………..[2]
:
Xn = zn1 + zn2 + zn3 + . . . + znn + Yn
Dalam bentuk umum persamaan [2] dapat ditulis sebagai berikut :
ii
n
1jij XYz =+∑
= untuk i = 1, 2,3 ............................................ [3]
Misalkan dalam suatu perekonomian terdapat tiga sektor produksi
saja yaitu sektor 1, sektor 2 dan sektor 3, ini berarti berdasarkan
persamaan [2] di atas kita bisa membuat suatu kerangka dasar tabel I-O
sebagai berikut.
Tabel 1 Kerangka dasar tabel I-O untuk tiga sektor
Sektor Produksi
Output Input 1 2 3
Permintaan Akhir
Total Output
1 z11 z12 z13 Y1 X1 2 z21 z22 z23 Y2 X2
Sektor Produksi
3 z31 z32 z33 Y3 X3 Input Primer V V1 V2 V3
Total Input X X1 X2 X3
Sumber : Miller dan Blair (1985)
Bila dilihat secara horisontal (baris), setiap isi sel total output
menunjukkan bagaimana output suatu sektor itu dialokasikan, yang mana
sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate input) pada
sektor produksi, dan sebagian lagi untuk memenuhi permintaan akhir
(final demand) yang terdiri atas permintaan untuk konsumsi rumah tangga
(C), pemerintah (G), investasi (I), dan ekspor (X).
16
Untuk baris pertama pada sektor produksi 1, kita bisa membacanya
secara horisontal bahwa besarnya output sektor produksi 1 adalah X1
dimana dari total output tersebut sebagian dialokasikan untuk memenuhi
permintaan input antara pada sektor 1 sebesar z11, sektor 2 sebesar z12,
dan sektor 3 sebesar z13, selain itu sebagian juga untuk memenuhi
permintaan akhir sebesar Y1. Demikian pula untuk baris-baris lainnya,
dibaca demikian. Secara keseluruhan distribusi output tersebut dapat
dituliskan dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut :
z11 + z12 + z13 + Y1 = X1
z21 + z22 + z23 + Y2 = X2 .. ...............................[4]
z31 + z32 + z33 + Y3 = X3
Secara umum persamaan-persamaan di atas dapat dituliskan
kembali menjadi :
ii
3
1jij XYz =+∑
= untuk i = 1, 2,3 .............................................. [5]
dimana zij adalah banyaknya output sektor i yang dialokasikan sebagai
input antara pada sektor j, Yi adalah jumlah permintaan akhir terhadap
sektor i.
Sedangkan isi sel menurut garis vertikal (kolom) menggambarkan
distribusi pemakaian input antara dan input primer pada suatu sektor
produksi. Sebagai contoh total input X1 jika dibaca secara kolom
menunjukkan bahwa jumlah input yang digunakan oleh sektor produksi 1
adalah sebanyak X1 yang terdiri atas pemakaian input dari sektor 1
sebesar z11, sektor 2 sebesar z21, dan sektor 3 sebesar z31, serta
pemakaian input primer sebesar V1. Semua distribusi input ini bisa juga
dibuat dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut :
z11 + z21 + z31 + V1 = X1
z12 + z22 + z32 + V2 = X2 …………………………… [6]
z13 + z23 + z33 + V3 = X3
atau secara umum persamaan-persamaan di atas diubah menjadi :
jj
3
1iij XVz =+∑
= untuk j = 1, 2,3 ....................................... [7]
17
dimana zij adalah banyaknya input antara yang berasal dari sektor i yang
digunakan oleh sektor j, sedangkan Vj menunjukkan jumlah input primer
yang digunakan oleh sektor j.
Dari persamaan [7] kita bisa mengintroduksikan suatu koefisien
input teknik aij dengan rumus :
j
ijij X
za = ................................................................................... [8]
Koefisien ini dapat diterjemahkan sebagai jumlah input sektor i yang
dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output sektor j. Untuk jumlah
sektor sebanyak n, seluruh koefisien input aij dapat dinyatakan dalam
sebuah matriks A sebagai berikut :
=
nnn2n1
2n2221
1n1211
aaa
aaa
aaa
A
KMOMM
K
K
.......................................................... [9]
Matriks A sering disebut matriks koefisien input atau matriks
teknologi. Selanjutnya, karena persamaan [9] bisa diubah menjadi : zij =
aij Xj , serta dengan ketentuan bahwa Xj = Xi , maka persamaan [2] dapat
ditulis kembali dalam sistem persamaan berikut ini.
X1 = a11 X1 + a12 X2 + a13 X3 + . . . + a1n Xn + Y1
X2 = a21 X1 + a22 X2 + a23 X3 + . . . + a2n Xn + Y2
: ................ [10]
:
Xn = an1 X1 + an2 X2 + an3 X3 + . . . + ann Xn + Yn
Kemudian, jika sisi kanan dalam persamaan [10] semuanya
dipindahkan ke kiri, kecuali Y, diperoleh sebuah sistem persamaan :
X1 - a11 X1 - a12 X2 - a13 X3 - . . . - a1n Xn = Y1
X2 - a21 X1 - a22 X2 - a23 X3 - . . . - a2n Xn = Y2
: ............... [11]
:
Xn - an1 X1 - an2 X2 - an3 X3 - . . . - ann Xn = Yn
atau disederhanakan menjadi :
18
(1 - a11 )X1 - a12 X2 - a13 X3 - . . . - a1n Xn = Y1
- a21 X1 + (1 - a22 )X2 - a23 X3 - . . . - a2n Xn = Y2
: ............ [12]
:
- an1 X1 - an2 X2 - an3 X3 - . . . + (1 - ann )Xn = Yn
Sistem persamaan [12] dapat dituliskan dalam notasi matriks yang
lebih sederhana lagi sebagai berikut :
(I – A) X = Y ……………………………………………………………….[13]
yang mana I adalah matriks identitas berukuran n x n, A merupakan
matriks koefisien input, sedangkan X dan Y masing-masing menunjukkan
vektor kolom matriks output dan permintaan akhir. Persamaan matriks
[13] dapat kita ubah bentuknya menjadi :
X = (I–A)-1 Y ....................................................................................... [14]
dimana matriks (I – A)-1 dikenal dengan nama matriks invers Leontief.
Kekuatan peramalan model input output adalah terletak pada matriks
invers Leontief ini. Dengan matriks tersebut kita dapat meramalkan
perubahan setiap variabel eksogen dalam permintaan akhir, seperti
pengeluaran pemerintah, terhadap sistem perekonomian secara simultan.
Matriks invers Leontief (I – A)-1 juga banyak memberikan banyak
informasi tentang dampak keterkaitan antar sektor produksi, diantaranya
backward linkage effect (dampak keterkaitan ke belakang) dan forward
linkage effect (dampak keterkaitan ke depan).
2.1.3 Pengembangan model input output versi Miyazawa
Model Input output selama ini belum mampu untuk menganalisis
distribusi pendapatan, dan biasanya untuk kepentingan analisis tersebut
digunakan model Sosial Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca
Sosial Ekonomi (SNSE) Untuk kepentingan analisis distribusi pendapatan
yang belum dapat dianalisis dengan Tabel IO dasar, maka digunakan
Tabel Input Output hasil pengembangan dari Miyazawa (Sonis dan
Hewing 2003), yang memasukkan pendapatan sebagai bagian dari sektor
ekonomi dan berada pada kuadran I baik pada sisi kolom maupun baris
pada tabel input output tersebut, dan membaginya menjadi pendapatan
rendah, pendapatan menengah dan pendapatan tinggi. Masuknya
19
pendapatan yang merupakan bagian dari upah dan gaji (yang masuk
pada tabel IO di kuadran II atau input primer) akan membutuhkan
keseimbangan baru pada tabel IO hasil modifikasi tersebut. Dengan
masuknya nilai pendapatan tersebut pada analisis nantinya akan dapat
diketahui distribusi pendapatan per sektor ekonomi, termasuk sektor
perikanan.
Matriks Miyazawa dirumuskan sebagai berikut :
=
=
gf
YX
VCA
YX
0 ............................................................. [15]
Untuk blok matriks ukuran 2x2 dari Matriks Miyazawa sebagai
berikut :
0VCA
.......................................................................................... [16]
Sehingga invers matriks Miyazawa dapat dirumuskan :
B (M) = (I – M)-1
= =
+=
KKVBBCKBCKVBB
IVBB
KI
IBCI 0
00
0
=
∆+
∆∆=
∆
CVIVB
CICI
IIVI
0000
............................ .[17]
Dimana B= ( I-A)-1 adalah invers matriks Leontief antar industri, dan
L = VBC adalah koefisien matriks antar golongan pendapatan.
K adalah hubungan pada multiplier pendapatan Miyazawa atau
secara umum Multiplier Keynesian, dirumuskan sebagai berikut :
K = (I –L)-1 = (I – VBC)-1 = I + V ? C
Untuk ? adalah perluasan inverse Leontief .
? = ( I – A - CV) -1 = B + BCKVB ................................................... [18]
Sehingga persamaan dasar dari persamaan pendapatan pada
pemegang modal adalah :
V ? = KVB ...................................................................................... [19]
? C = BCK ................................................................................... [20]
2.1.4 Pemuktahiran matriks input-output dengan metode RAS
Dalam anatomi tabel I-O, matriks koefisien input memegang peranan
yang sangat penting, melalui matriks tersebut berbagai analisis IO dapat
20
dilakukan, seperti backward linkage, forward linkage, dan multiplier sebagaimana
yang telah disampaikan di atas. Satu-satunya cara untuk membuat matriks
koefisien input hanyalah melalui matriks transaksi ekonomi, dengan kata lain
matriks koefisien input hanya bisa dibuat apabila telah tersedia matriks transaksi
ekonomi.
Untuk mendapatkan matriks transaksi ekonomi diperlukan survei yang
besar yang melibatkan semua aspek kegiatan ekonomi, seperti survei rumah
tangga, survei tenaga kerja, survei industri, survei pasar, survei produksi, survei
perdagangan, dan sebagainya dengan biaya yang besar. Demikian pula dengan
sumberdaya manusia yang mengerjakannya, haruslah memadai dan memenuhi
syarat baik itu dari sisi jumlah maupun kualitas.
Dari berbagai macam kegiatan survei yang harus dilakukan di atas, bisa
dikatakan bahwa pembuatan matriks transaksi ekonomi untuk kepentingan
analisis I-O tidak dapat dilakukan dengan mudah dalam suatu perekonomian.
Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempublikasikan tabel transaksi ekonomi
atau tabel I-O hasil survei secara nasional maupun regional dalam jangka waktu
yang sangat pendek, misalkan tahunan. Contohnya untuk negara Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini hanya bisa mempublikasikan tabel I-O
nasional dalam interval waktu lima tahunan. Sama halnya dengan tabel I-O
regional yang dikeluarkan oleh setiap daerah, jarak waktu publikasi tabel I-O
hasil survei juga setiap lima tahun sekali. Bahkan untuk sebagian daerah tingkat
kabupaten, banyak yang belum pernah membuat tabel I-O.
Oleh karena adanya faktor-faktor kendala yang dihadapi, menyebabkan
analisis I-O sering dilakukan dengan asumsi yang statis. Asumsi inilah yang
akhirnya menambah lagi satu kelemahan dari analisis I-O. Sifat statis yang
dipakai dalam analisis I-O ini direfleksikan dengan menganggap teknologi tidak
berubah sepanjang waktu perencanaan.
Guna mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul pada saat
membuat tabel I-O melalui survei, akhirnya dikembangkan sebuah metode
pembuatan tabel I-O yang dapat dilakukan tanpa perlu melaksanakan survei
yang besar. Tabel I-O ini dibuat berdasarkan matriks koefisien teknologi
(koefisien input) pada tahun sebelumnya, dan ditambah dengan beberapa
informasi mengenai total penjualan output antar sektor, total pembelian input
antar sektor, dan total output secara keseluruhan. Ahli ekonomi yang pertama
kali memperkenalkan cara pembuatan tabel I-O seperti ini adalah Richard Stone
21
dari Cambridge University pada tahun 1961 (Miller dan Blair, 1985). Metodenya
dikenal dengan nama RAS.
RAS adalah sebuah nama rumus matriks yang dikembangkan oleh
Richard Stone, dimana R dan S adalah matriks diagonal berukuran n x n, dan A
adalah matriks berukuran n x n yang menunjukkan banyaknya sektor industri.
Andaikan kita ingin menaksir elemen matriks A pada periode t, atau At, serta
diketahui elemen matriks A pada periode t = 0, atau A(0), maka A(t) dapat
ditaksir dengan menggunakan rumus :
A(t) = R . A(0) . S ............................................................................ [21]
Elemen matriks A disebut sebagai koefisien teknologi (koefisien input). Tingkat
perubahan koefisien teknologi pada dua periode yang berbeda diwakili oleh
elemen matriks R dan S. Elemen matriks diagonal R mewakili efek subsitusi
teknologi yang diukur melalui penambahan jumlah permintaan antara tiap output
sektor-sektor industri. Kemudian elemen matriks diagonal S menunjukkan efek
perubahan jumlah input pada tiap sektor industri (Miller dan Blair, 1985).
Berdasarkan persamaan [8] sebelumnya bisa ditunjukkan bahwa matriks
koefisien teknologi A dapat ditentukan dengan persamaan matriks :
( ) 1−== XZXZ
A ................................................................................. [22]
sedangkan matriks transaksi :
Z = A X ......................................................................................... [23]
Oleh karena untuk suatu perekonomian yang terdiri atas n sektor produksi
mempunyai matriks transaksi Z berdimensi n x n, dan matriks vektor X
berdimensi n x 1, maka untuk dapat menghitung matriks teknologi A dibutuhkan
informasi sebanyak n2+n.
Miller dan Blair (1985) menjelaskan pada prinsipnya prosedur RAS
tersebut berupaya menghasilkan matriks koefisien teknologi pada tahun ke-1
[A(1)], berdasarkan informasi matriks koefisien teknologi pada tahun ke-0 [A(0)],
tanpa harus memiliki informasi sebanyak n2+n = n(n+1). Informasi yang
dibutuhkan pada tahun ke-1 untuk mendapatkan matriks koefisien teknologi A(1)
hanyalah sebanyak 3n informasi, yaitu : (1) total gross output Xi, (2) total
penjualan output antar sektor Vj, dan (3) total pembelian input antar sektor Ui.
22
Dalam bentuk matriks ketiga informasi ini masing-masing dapat dijabarkan
sebagai berikut.
=
)1(
)1()1(
)1( 2
1
nx
xx
XM
;
=
)1(
)1()1(
)1( 2
1
nu
uu
UM
; [ ])1()1()1()1( 21 nvvvV K= [24]
Dengan demikian, bila dalam suatu perekonomian terdapat n = 40 sektor, maka
untuk mengestimasi matriks koefisien teknologi A(1) yang memiliki elemen
sebanyak nxn = 1600 melalui prosedur RAS hanya dibutuhkan informasi pada
tahun ke-1 sebanyak 3n = 120. Dari sini kita bisa melihat metode RAS meminta
jumlah data yang lebih sedikit dibandingkan metode survei yang lengkap. Pada
contoh kita ini bila dilakukan survei yang lengkap untuk mendapatkan matriks
koefisien teknologi pada tahun ke-1 [A(1)] harus disediakan informasi sebanyak
n2 + n = n (n + 1) = 1640.
Sebagai teladan terapan, Miller dan Blair (1985) memberikan contoh
penggunaan prosedur RAS untuk suatu perekonomian yang memiliki 3 sektor,
yang dapat disampaikan sebagai berikut.
Kita telah memiliki sebuah matriks koefisien teknologi pada tahun ke-0,
yaitu :
=)0()0()0()0()0()0()0()0()0(
)0(
333231
232221
131211
aaaaaaaaa
A ............................................................ [25]
Kemudian kita akan mengestimasi matriks koefisien teknologi pada tahun
ke-1, yaitu :
=)1()1()1()1()1()1()1()1()1(
)1(
333231
232221
131211
aaaaaaaaa
A ................................................................ [26]
Untuk melengkapi informasi-informasi pendukungnya, kita juga sudah
menyediakan 3 buah matriks vektor yaitu Xi (gross output), Ui (total pembelian
input antar sektor), dan Vj (total penjualan output antar sektor) yang diperoleh
melalui survei secara parsial pada tahun ke-1. Ketiga matriks tersebut adalah :
23
=)1()1()1(
)1(
3
2
1
xxx
X ,
=)1()1()1(
)1(
3
2
1
uuu
U , [ ])1()1()1()1( 321 vvvV = ... [27]
Jika kita membuat dari tahun ke-0 sampai tahun ke-1 dan teknologi dianggap
stabil, maka matriks teknologi pada tahun ke-0 sama persis dengan tahun ke-1,
atau, A(0) = A(1). Dengan demikian matriks transaksi pada tahun ke-1 dapat
dibuat dengan cara :
Z(1) = A(0) [ X̂ (1)]
=
)1(000)1(000)1(
)0()0()0()0()0()0()0()0()0(
3
2
1
333231
232221
131211
xx
x
aaaaaaaaa
=
)1( )0()1( )0()1( )0()1( )0()1( )0()1( )0()1( )0()1( )0()1( )0(
333232131
323222121
313212111
xaxaxaxaxaxaxaxaxa
............................... [28]
Pada persamaan [28] di atas matriks vektor X(1) telah diubah menjadi
matriks diagonal yang berdimensi 3 x 3. Selanjutnya, karena matriks teknologi
pada tahun ke-1 sama dengan matriks teknologi tahun ke-0, ini berarti
penjumlahan setiap baris pada persamaan [28] akan menghasilkan vektor
matriks yang sama persis dengan U(1), demikian pula untuk penjumlahan setiap
kolom akan menghasilkan vektor matriks yang sama dengan V(1). Kalau asumsi
ini yang kita pakai, berarti proses pencarian updating tabel I-O telah selesai, dan
kita mendapatkan sebuah matriks transaksi seperti pada persamaan [28].
Permasalahannya sekarang adalah jika teknologi itu tidak stabil atau
berubah dari waktu ke waktu (asumsi ini lebih realistis dibandingkan yang
pertama), yang artinya matriks teknologi tahun ke-0 tidak akan sama dengan
matriks teknologi tahun ke-1, atau A(0) ≠ A(1). Dalam kondisi ini apakah Z(1)
pada persamaan [38] masih bisa dihitung? Jawabannya, bisa dihitung. Namun
kini, penjumlahan setiap baris dan setiap kolom pada matriks Z(1) masing-
masing tidak akan sama lagi dengan U(1) dan V(1). Ide dasar dari metode RAS
adalah untuk menyamakan hasil kali pada matriks Z(1) sedemikian rupa
sehingga nilai U(1) dan V(1) tersebut terpenuhi.
24
Misalkan, jumlah setiap baris dari persamaan [28] dinotasikan U1
sedangkan jumlah setiap kolom dinotasikan V1. Karena pada kasus kita sekarang
A(0) ≠ A(1), konsekwensinya adalah, U1 ≠ U(1) dan V1 ≠ V(1). Dengan kata lain,
bila dilihat secara baris :
)1( )1( )0( )1( )0( )1( )0()1( )1( )0( )1( )0( )1( )0( )1( )1( )0( )1( )0( )1( )0(
313333232131
212323222121
111313212111
UUxaxaxaUUxaxaxa
UUxaxaxa
=/=++=/=++
=/=++ ......... [29]
Jika U1 > U(1), berarti nilai setiap baris di dalam matriks [28] terlalu besar
dibandingkan seharusnya. Sebaliknya, bila U1 < U(1), menandakan bahwa nilai
setiap baris dalam persamaan matriks [28] terlalu kecil dibandingkan seharusnya.
Sekarang, katakanlah rasio antara Ui(1) dengan Ui1 kita notasikan ri
1 atau :
11 )1(
i
ii U
Ur = ............................................................................................. [30]
Nilai ri1 bisa saja lebih besar atau lebih kecil dari satu, tergantung dari
pertidaksamaan antara U1 dengan U(1). Anggap saja dalam kasus ini U1 > U(1),
yang berarti seluruh nilai ri1 < 1. Persamaan [30] jika dituliskan dalam bentuk
matriks :
[ ]( ) 111 ˆ )1(ˆ −
= UUR ................................................................................. [31]
atau :
=1
3
12
11
1
000000
r
rr
R ................................................................................ [32]
Kalikan matriks R dengan Z(1) pada persamaan [28], maka hasilnya akan sama
dengan matriks vektor U1, atau :
U1 = [ R1 . A(0) . X̂ (1) ]i ..................................................................... [33]
Dimana i adalah matriks vektor baris [1 1 1]. Dengan demikian hasil survei di
tahun ke-1 telah terpenuhi sebagian. Berdasarkan persamaan [33] kita juga
memperoleh hasil estimasi sementara dari matriks teknologi di tahun ke-1, yakni :
A1 = R1 A(0) ......................................................................................... [34]
25
Bukan berarti saat ini kita telah selesai melakukan prosedur RAS. Masih
ada informasi lain yang belum terpakai, yaitu V(1) yang merupakan total
penjualan input antar sektor pada tahun ke-1. Dari persamaan [34] kita sudah
mendapatkan matriks teknologi A1 yang telah memenuhi U(1). Kalau kita kalikan
A1 ini dengan X̂ (1), maka akan didapat jumlah kolom untuk V1, yakni :
V1 = i’ [ A(1) . X̂ (1) ] ............................................................................ [35]
Dimana i’ adalah matriks [1 1 1] yang di-transpose. Kita berharap V1 = V(1), agar
prosedur RAS bisa dihentikan, dan A1 pada persamaan [34] bisa menjadi
matriks teknologi hasil updating untuk tahun ke-1. Akan tetapi untuk kasus kita
sekarang, dianggap V1 ≠ V(1), yang berarti perlu diadakan penyesuaian
sedemikian rupa sehingga V1 = V(1). Caranya, kita harus menghitung rasio
antara V(1) dengan V1 terlebih dahulu, yaitu :
11 )1(
i
ii V
Vs = .............................................................................................. [36]
Persamaan [36] jika dituliskan dalam bentuk matriks :
[ ]( ) 111 ˆ )1(ˆ −
= VVS .................................................................................. [37]
atau :
=13
12
11
1
000000
s
ss
S ................................................................................ [38]
Kalikan matriks S1 dengan matriks [ A(1) . X̂ (1) ] hasilnya akan sama persis
dengan V(1) yang merupakan hasil survei. Perkalian ini dapat dinyatakan :
V(1) = i’ [ A(1) . X̂ (1) . S1 ] .................................................................. [39]
Sedangkan matriks teknologi yang baru dari hasil penyesuaian V(1), misalkan A2,
adalah :
A2 = A1 S1 .......................................................................................... [40]
Subtitusikan persamaan [34] ke persamaan [40], sehingga :
A2 = R1 . A(0) . S1 ................................................................................. [41]
26
Apabila sisi kanan pada persamaan [41] semua subscript dihilangkan, akan
tersisa sebuah tulisan RAS, yang merupakan asal usul nama metode ini.
Sekiranya hasil perhitungan sampai pada persamaan [41] bisa memenuhi
U(1) dan V(1) hasil survei kita, maka prosedur RAS bisa dihentikan. Namun, jika
hal itu belum terpenuhi, berarti prosedur RAS harus dilakukan terus sampai
didapat sebuah matriks teknologi yang bisa memenuhi persyaratan. Secara
umum prosedur RAS ini dapat dinyatakan dengan beberapa iterasi (tahapan)
sebagai berikut :
A1 = R1 . A(0)
A2 = R1 . A(0) . S1
A3 = R2 . A2
A4 = [R2 R1] . A(0) . [S1 S2]
:
:
A2n = [Rn .......... R3 R2 R1] . A(0) . [S1 S2 S3 ........... Sn ] .......................... [42]
Tahapan atau iterasi dari prosedur RAS ini dapat juga dibatasi, sehingga
pada batasan tertentu prosedur RAS dihentikan. Umumnya kriteria yang dipakai
untuk membatasi tahapan prosedur RAS adalah dengan melihat selisih U(1)-
U1 atau V(1)-V1 dimana jika selisih dari kedua persamaan tersebut sama
atau lebih kecil dari nilai yang sudah ditentukan (biasanya merupakan bilangan
yang sangat kecil sekali misalnya 0,0005) maka prosedur RAS untuk
penyesuaian U(1) dan V(1) bisa dihentikan, dan matriks teknologi yang didapat
merupakan matriks teknologi hasil estimasi untuk tahun yang sudah ditetapkan.
2.2 Model Persamaan Struktural
Analisis persamaan struktural sering disebut juga sebagai latent variable
analysis, covariance structural analysis, linear structural relationships (LISREL),
dan structural equation modeling (SEM) atau model persamaan struktural
(Bachrudin dan Tobing 2003; Ghozali 2004; Ferdinand 2006). SEM merupakan
teknik multivariate yang menggabungkan aspek multiple regression dan analisa
faktor untuk meramalkan serangkaian hubungan secara simultan. SEM dicirikan
oleh dua komponen dasar yaitu : model struktural dan model pengukuran. Model
pengukuran adalah model jalur (path) yang menghubungkan variabel bebas
27
terhadap variabel tidak bebas (Hair et.al 2006). Selanjutnya, Joreskog dan
Sorbom (1993) menjelaskan bahwa model pengukuran menjelaskan sifat
pengukuran (reliability dan validity). Model pengukuran menjelaskan tentang
variabel laten yang dipengaruhi oleh variabel yang bisa diukur. Model persamaan
struktural menjelaskan hubungan kausal diantara variabel laten, menjelaskan
efek hubungan, dan menentukan keragaman.
Dalam kaitannya dengan pembuktian hipotesis penelitian, SEM merupakan
salah satu metode analisis yang berkenaan dengan model struktural dan analisis
jalur. Di dalam pengumpulan data, SEM berkenaan dengan pemeriksaan
seberapa valid dan reliabel instrumen penelitian (diantaranya berupa kuesioner
yang dipakai untuk koleksi data). Pendekatan yang digunakan untuk memeriksa
hal tersebut adalah faktor analisis konfirmatori, sehingga di dalamnya juga
tercakup measurement model (Solimun 2002).
Agar interpretasi hubungan struktural variabel-variabel yang dibangun
dalam sebuah model SEM dapat dilakukan dengan sistematis dan dapat
dipahami secara sederhana, maka ada beberapa tahapan yang mendasari
pembentukan permodalan SEM tersebut, yaitu : spesifikasi model, identifikasi,
matriks input, estimasi, dan evaluasi model (Joreskog dan Sorborn 1993;
Bachrudin dan Tobing 2003; Ghozali 2004; Ferdinand 2006).
2.2.1 Spesifikasi model
Model persamaan struktural mendasarkan pada hubungan kausalitas,
yaitu hubungan sebab-akibat dua atau lebih variabel dan sekurang-
kurangnya terdapat satu variabel kriteria (dependent) dan satu variabel
bebas (independent). Kuat atau lemahnya hubungan kausalitas antara dua
variabel tersebut bukan terletak pada metode analisis yang dipilih,
melainkan pada pertimbangan teoritis untuk mendukung analisis (Ghozali
2004; Joreskog dan Sorbom 1993).
Langkah pertama dalam pengembangan SEM adalah pencarian
sebuah model yang mempunyai justifikasi teoritis. Untuk pengembangan
model teoritis, harus dilakukan kajian deduksi teori dan eksplorasi ilmiah
dari telaah sejumlah pustaka maupun hasil penelitian empiris terdahulu
untuk memperkuat pembenaran hubungan kausalitas variabel yang
diasumsikan dalam model. Tanpa pertimbangan teori yang kuat maka SEM
tidak dapat digunakan. Hal ini disebabkan karena SEM tidak digunakan
28
untuk menghasilkan sebuah model, melainkan digunakan untuk
mengkomfirmasi model teoritis tersebut melalui data empirik (Ferdinand
2006). Keyakinan untuk mengajukan sebuah model kausalitas dengan
menganggap adanya hubungan sebab akibat antara dua variabel atau
lebih, bukan didasarkan pada metode analisis yang digunakan, tetapi
haruslah berdasarkan pada pertimbangan teoritis yang mapan (Hair et.al
2006).
Dengan terbangunnya dasar teori yang menjelaskan hubungan-
hubungan variabel, selanjutnya dibuat hubungan kausalitas antar variabel
tersebut ke dalam diagram jalur (path diagram) dan persamaan
strukturalnya, sehingga lebih menarik dan mudah dipahami. Dalam hal ini,
ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu : pertama, menyusun model
struktural yang menghubungkan antar konstruk latent baik endogen
maupun eksogen, dan kedua menyusun model pengukuran yaitu
menghubungkan konstruk latent endogen atau eksogen dengan variabel
indikator atau manifest (Ghozali 2004). Apabila pengembangan diagram
dirasakan cukup maka dilakukan perumusan diagram ke dalam simbol dan
persamaan matematika.
2.2.2 Identifikasi
Identifikasi berhubungan dengan pertanyaan apakah model yang
dikembangkan dapat menghasilkan suatu dugaan yang tepat dan unik atau
sebaliknya. Syarat perlu agar dapat mengidentifikasi taksiran parameter
adalah banyaknya korelasi antara variabel yang diukur lebih besar atau
sama dengan jumlah parameter yang diidentifikasi. Jika banyaknya variabel
yang diukur adalah p, maka banyaknya korelasi adalah (1/2)p(p-1).
Menurut Saris dan Stronkhorst (1984) yang diacu oleh Bachrudin dan
Tobing (2003), memberikan arahan dalam melakukan identifikasi model :
1. Persamaan model tunggal dengan korelasi antara error dan variabel
eksogen sama dengan nol, maka model persamaan tersebut selalu
dapat diidentifikasi. Model-model demikian dikenal sebagai model-
model regresi.
2. Model-model persamaan simultan tanpa hubungan kausal reciprocal
dan asumsi-asumsi standar selalu dapat diidentifikasi. Jenis model-
model demikian dikenal sebagai recursive.
29
3. Model-model tunggal atau persamaan simultan kekeliruan dan variabel
eksogen tidak sama dengan nol, tidak termasuk dapat diidentifikasi.
4. Model-model persamaan simultan dengan hubungan kausal reciprocal
tidak termasuk dapat diidentifikasi. Jenis-jenis model seperti ini disebut
nonrecursive.
Setelah mengestimasi model pengukuran secara terpisah, sekarang
mengestimasi suatu joint model (model bersama) yang mencakup dimensi
secara simultan dengan melakukan beberapa analisis preliminary
confirmatory, menggunakan pendekatan chi-square yang berbeda dalam
estimasi ML dari model restricted dan unrestricted, untuk menguji level
signifikasi dari korelasi antara faktor yang menemukan bahwa faktor-faktor
tersebut sangat signifikan. Ada bukti kuat yang bertentangan dengan solusi
orthogonal dan asumsi yang bersifat orthogonal dalam analisis exploratory
factor dengan tipe data pembangunan regional. Dalam persamaan
identifikasi dapat dilakukan secara matematik dengan pemecahan masing-
masing parameter θ dalam kaitan dengan elemen-elemen yang
diidentifikasi. Jumlah persamaan dalam model struktur kovarians adalah
(1/2) (p + q) (p + q + 1), dimana p adalah jumlah variabel y dan q adalah
jumlah variabel x. Jika parameter-parameter dalam model yang
diekspresikan sebagai fungsi satu atau lebih elemen-elemen yang dikenal
dalam sistem, maka model tersebut dikatakan teridentifikasi. Hal ini adalah
kasus untuk semua elemen-elemen dalam model dari keseluruhan model
teridentifikasi (Bollen 1989).
Dalam studi ini, identifikasi model mengacu pada metode dua tahap
seperti yang dianjurkan oleh Rigdon dan Ferguson (1991). Pertama, model-
model pengukuran untuk variabel laten dibangun dan diuji secara terpisah
dalam membangun analisis data cross-sectional. Kedua, identifikasi
struktural kemudian dibuktikan berdasarkan pada aturan simultan atau
menggunakan petunjuk untuk model-model blok persamaan simultan atau
rekursif.
Hair et al. (2006) menyatakan bahwa dalam menggunakan SEM pada
suatu persamaan simultan lebih mudah ditelusuri apabila disajikan dalam
bentuk matriks. Matriks-matriks tersebut dapat dikelompokkan sebagai
matriks-matriks pada model persamaan struktural dan matriks-matriks pada
30
model pengukuran. Terdapat sejumlah matriks dalam SEM seperti disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Matriks-matriks structural equation model
Matriks Deskripsi Unsur Model Struktural Beta )(β Hubungan antara konstruk endogen
ηηβ
Gamma )(Γ Hubungan antara konstruk eksogen dan endogen
mηγ
Phi )(φ Korelasi antara konstruk eksogen mmφ
Psi )(ψ Korelasi persamaan struktural atau konstruk eksogen
nψ
Model Pengukuran Lamda-x )( xΛ Koefisien jalur indikator eksogen x
pnλ
Lamda-y )( yΛ Koefisien jalur indikator endogen yqnλ
Theta-delta )( δΘ Matriks error indikator konstruk eksogen ppδ
Theta-epsilon )( δΘ Matriks error indikator konstruk endogen qqε
Sumber: Hair et.al (2006)
2.2.3 Matriks input
Model persamaan struktural pada umumnya menggunakan matriks
kovarians (matriks dispersi) dan matriks korelasi sebagai dasar analisis
atau data masukan dalam paket-paket program statistik. Kedua matriks
tersebut pada dasarnya sama. Matriks kovarians merupakan matriks
dimana unsur-unsur diagonal utama adalah ukuran varians dan unsur-
unsur di luar diagonal utama merupakan ukuran kovarians. Matriks input
yang ideal digunakan adalah matriks kovarians sample bersifat kontinu dan
variabel-variabel normal multivariate. Ada permasalahan dengan setiap
kondisi ideal ini untuk permodalan persamaan struktural dalam kaitan
dengan karakteristik data yang ada (Kiiskinen 2002), yaitu variabel-variabel
yang diukur secara ordinal dan skala interval. Dalam hal skala interval akan
menyebabkan perbedaan yang besar dalam unit dan perbedaan yang
besar dalam kovarians dan kovarians penduga. Begitu juga skala dari
variabel-variabel ordinal selalu ditetapkan secara arbitrary. Oleh karenanya
dalam praktek secara umum menggunakan matriks korelasi sample (R)
sebagai ganti matriks kovarians (S).
31
2.2.4 Estimasi model
Model persamaan struktural menggunakan koefisien struktur, matriks
kovarians dari variabel laten independen, dan matriks kovarians dari
kesalahan persamaan struktural. Kemudian model pengukuran
menggunakan faktor loading variabel x dan y, dan matriks kovarians dari
kesalahan pengukuran. Estimasi model dilakukan untuk memperoleh
estimasi setiap parameter seakurat mungkin dengan kovarians dari variabel
yang diamati. Proses estimasi menggunakan fungsi kecocokan untuk
mengurangi perbedaan antara parameter di dalam model dengan variabel
pengukuran. Beberapa metode yang lama untuk melakukan estimasi antara
lain teknik kemampuan maksimum (maximum likelihood/ML), kuadrat
terkecil biasa (ordinary least square/OLS), dan kuadrat terkecil umum
(generalized least square/GLS), dan sebagainya. Pada perkembangan saat
ini, prosedur estimasi telah dikembangkan dengan analisa kovarians model
struktural dengan perangkat lunak program LISREL.
Salah satu kelemahan penggunaan model persamaan struktural
umumnya akan sesuai untuk ukuran sample sangat besar. Kebutuhan
teoritis metode penaksiran kemungkinan maksimum dan uji kesesuaian (fit)
model didasarkan kepada asumsi sample besar. Secara umum, ukuran
sample untuk model persamaan struktural paling sedikit 200-800
pengamatan (Ghozali 2006).
2.2.5 Evaluasi model
Ukuran kesesuaian dalam model persamaan struktural bisa dilakukan
secara deskriptif atau inferensial. Statistik khi-kuadrat dapat digunakan
untuk menguji kesesuaian model secara inferensial, sedangkan ukuran
kesesuaian secara deskriptif yang dinyatakan dalam suatu indeks, misalnya
yang sering digunakan adalah goodness of fit Indices (GFI), dan adjusted
goodness of fit Indices (AGFI).
Ada banyak ukuran tersedia untuk menilai validitas secara
menyeluruh dari model. Pada dasarnya, semua statistik tersebut diperoleh
dari nilai minimum fungsi. Ketika chi-square didefinisikan dengan cara yang
tergantung pada ukuran sample, hal tersebut cenderung menghasilkan
nilai-nilai yang tinggi dalam sample besar. Sebagaimana telah disebut
dimuka bahwa model SEM merupakan model pendekatan yang
32
mengintegrasikan sekaligus teknis analisis faktor, model struktural, dan
analisis jalur.
Tabel 3 Goodness of fit creation index pada structural equation model
No. Goodness of fit creation index Cut off Value 1. Chi Square Statistic Diharapkan kecil 2. Significant Probability (P) ≥ 0,05 3. CMIN/DF ≤ 2,00 4. GFI ≥ 0,90 5. AGFI ≥ 0,90 6. NFI ≥ 0,90 7. CFI ≥ 0,95 8. RFI ≥ 0,90 9. IFI ≥ 0,90 10. TLI ≥ 0,95 11. RMSEA ≤ 0,08
Sumber: Ghozali (2004); Ghozali dan Fuad (2005); Ferdinand (2006)
Oleh karena itu, dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal
untuk mengukur atau menguji hipotesis mengenai model (Ferdinand 2006).
Untuk mengukur derajat kesesuaian antara model yang dihipotesiskan
dengan data yang disajikan maka perlu dilakukan uji kesesuaian model.
Beberapa teknik sebagai alat pengujian hipotesis-hipotesis parameter
dalam model antara lain yaitu; Chi Square Statistic (χ2), The Root Means
Square Error of Approximation (RMSEA), Goodness of Fit Index (AGFI), the
minimum sample discrepancy function dibagi dengan degree of freedom-
nya (CMIN/DF), Normed Fit Index (NFI), dan Tuker-Lewis Index (TLI).
Adapun batas nilai (Cut off Value) dari indek kriteria untuk tiap-tiap teknik uji
kesesuaian tersebut disajikan pada Tabel 3 (Ghozali 2004; Ferdinand
2006).
2.3 Lingkungan usaha
Lingkungan usaha atau bisnis merupakan lingkungan yang dihadapi
organisasi dan harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan
bisnis (perusahaan). Aktivitas keseharian organisasi mencakup interaksi
dengan lingkungan kerja (Dill 1958 dalam Brooks 1997). Hal ini termasuk
hubungannya dengan pelanggan, suplier, serikat dagang dan pemegang
saham. Lingkungan bisnis berperan dalam mempengaruhi penetapan
strategi organisasi.
33
Lingkungan bisnis yang dihadapi perusahaan perlu dianalisis, yaitu
untuk mencoba mengidentifikasi peluang (opportunities) bisnis yang perlu
dengan segera mendapat tanggapan dan perhatian eksekutif, dan di saat
yang sama diarahkan untuk mengetahui ancaman (threats) bisnis yang
perlu mendapatkan antisipasi. Untuk itu dalam analisis lingkungan bisnis,
manajemen berusaha untuk mengidentifikasi sejumlah variabel pokok yang
berada diluar kendali perusahaan yang diperkirakan memiliki pengaruh
nyata. Analisis lingkungan bisnis berusaha mengetahui implikasi manajerial
(managerial implications) yang ditimbulkan baik langsung maupun tak
langsung dari berbagai faktor eksternal yang telah diidentifikasi
berpengaruh pada prospek perusahaan. Dengan ini diharapkan
manajemen akan memiliki gambaran yang jelas dalam menyiapkan strategi
bisnis yang diperlukan untuk mengantisipasi implikasi manajerial yang
ditimbulkan oleh lingkungan bisnis.
Teori manajemen mengatakan analisis lingkungan bisnis terdiri dari
dua komponen pokok, yakni analisis lingkungan makro (macro
environment) dan lingkungan industri (competitive environment).
Lingkungan makro terdiri dari kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan
hukum, kekuatan teknologi dan kekuatan sosial dan budaya (Wheelen dan
Hunger 1992). Keseluruhan kekuatan yang ada dalam lingkungan makro ini
memiliki pengaruh yang langsung terhadap prospek perusahaan. Pengaruh
tidak langsung ini dapat terjadi jika masing-masing komponen lingkungan
makro berpengaruh terlebih dahulu pada lingkungan industri sebelum
gilirannya berpengaruh pada perusahaan. Jadi disini lingkungan makro
sebagai variabel bebas (independent variabel), prospek perusahaan
sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel), sementara lingkungan
industri sebagai intervening variabel.
Porter (1990) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
industri dapat terbagi menjadi 3 penentu keberhasilan industri yaitu ;
Lingkungan Internal Industri, untuk menggali informasi tentang LII (Life
Internal Industri) adalah mengenai potensi SDM yang dimiliki industri,
teknologi yang digunakan industri dan keuangan serta asset yang dimiliki
industri (kepemilikan asset).
34
2.3.1 Lingkungan internal
Lingkungan internal terdiri dari struktur (structure), budaya (culture),
sumber daya (resources ) (Wheelen dan Hunger 1992). Lingkungan internal
perlu dianalisis untuk mengetahui kekuatan (strength) dan kelemahan
(weaknesses) yang ada dalam perusahaan. Struktur adalah bagaimana
perusahaan diorganisasikan yang berkenaan dengan komunikasi,
wewenang dan arus kerja. Struktur sering juga disebut rantai perintah dan
digambarkan secara grafis dengan menggunakan bagan organisasi.
Budaya merupakan pola keyakinan, pengharapan, dan nilai-nilai yang
dibagikan oleh anggota organisasi. Norma-norma organisasi secara khusus
memunculkan dan mendefinisikan perilaku yang dapat diterima anggota
dari manajemen puncak sampai karyawan operatif. Sumberdaya adalah
aset yang merupakan bahan baku bagi produksi barang dan jasa
organisasi. Aset ini dapat meliputi keahlian seseorang, kemampuan, dan
bakat manajerial seperti aset keuangan dan fasilitas pabrik dalam wilayah
fungsional.
Lingkungan internal perusahaan merupakan sumberdaya perusahaan
(the firm’s resources) yang akan menentukan kekuatan dan kelemahan
perusahaan. Sumberdaya perusahaan ini meliputi sumberdaya manusia
(human resources ) seperti pengalaman (experiences), kemampuan
(capabilities), pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan pertimbangan
(judgment) dari seluruh pegawai perusahaan, sumberdaya perusahaan
(organizational resources) seperti proses dan sistem perusahaan, termasuk
strategi perusahaan, struktur, budaya, manajemen pembelian material,
produksi/operasi, keuangan, riset dan pengembangan, pemasaran, sistem
informasi, dan sistem pengendalian), dan sumberdaya phisik seperti (pabrik
dan peralatan, lokasi geografis, akses terhadap material, jaringan distribusi
dan teknologi). Jika perusahaan dapat mengoptimalkan penggunaan
sumberdaya tersebut maka, ketiga sumber daya diatas memberikan
perusahaan sustained competitive advantage.
Dengan demikian dari uraian diatas kontruk internal dapat diukur dari
indikator antara lain sumberdaya manusia (human resources) seperti
pengalaman (experiences), kemampuan (capabilities), pengetahuan
(knowledge), keahlian (skill), dan pertimbangan (judgment) dari seluruh
35
pegawai perusahaan, sumberdaya perusahaan (organizational resources);
teknologi, modal (kapital), kondisi sosial dan budaya.
Untuk kebutuhan penelitian ini yang dimasukkan indikator kelompok
internal (INTER) antara lain: skill dan knowledge Sumberdaya manusia
(SDM) (X1), penggunaan teknologi tepat guna (X2), kapital working yang
cukup (X3), dan Budaya sebagai nelayan dan pedagang yang dilestarikan
(X4).
2.3.2 Lingkungan industri
Menurut Porter (1990), ada 5 kekuatan yang mempengaruhi
persaingan dalam suatu industri: (1) ancaman masuknya pendatang baru,
(2) kekuatan tawar menawar pemasok, (3) kekuatan tawar menawar
pembeli, (4) Ancaman produk subsitusi, dan (5) persaingan dalam industri.
Untuk menyusun rancangan strategi yang baik dan agar dapat menduduki
posisi yang kompetitif dalam industrinya maka perusahaan harus dapat
meminimalkan dampak kelima kekuatan tersebut. Kelima kekuatan
persaingan tersebut secara bersama-sama menentukan intensitas
persaingan dan kemampulabaan dalam industri. Kekuatan persaingan akan
menjadi dasar bagi penyusun strategi dalam perumusan strategi
perusahaan yang tujuannya adalah agar perusahaan mendapatkan posisi
dalam industri yang membuat mereka survive. Berikut akan dibahas
masing-masing kekuatan persaingan diatas.
1. Ancaman masuknya pendatang baru
Adanya Pendatang baru dalam suatu industri akan membawa
kapasitas baru, keinginan untuk merebut bagian pasar (market share), dan
seringkali sumberdaya yang cukup besar. Hal ini mengakibatkan harga
dapat turun atau biaya membengkak yang akhirnya mengurangi
kemampulabaan. Perusahaan yang melakukan diversifikasi melalui akuisisi
kedalam industri dari pasar lain seringkali memanfaatkan sumber daya
mereka untuk dapat berkembang.
Besar ancaman masuknya pendatang baru tergantung pada
hambatan masuk yang ada dan reaksi dari peserta persaingan yang ada
menurut perkiraan calon pendatang baru. Jika hambatan masuk tinggi dan
calon pendatang baru memperkirakan akan menghadapi perlawanan keras
dari peserta persaingan yang sudah ada, pendatang baru ini jelas tidak
36
merupakan ancaman yang serius. Ada enam sumber utama hambatan
masuk (Porter 1980):
a) Skala ekonomis (economies of scale).
b) Diferensiasi produk (product differentiation).
c) ?Kebutuhan modal (capital requirements).
d) Hambatan biaya bukan karena skala (cost disadvantages independent
of size).
e) Akses ke saluran distribusi (access to distribution channels).
f) ?Kebijakan pemerintah (government policy).
2. Kekuatan tawar menawar pemasok
Pemasok dapat memanfaatkan kekuatan tawar menawarnya atas
para anggota industri dengan menaikkan harga atau menurunkan kualitas
barang atau jasa yang dijualnya. Pemasok yang kuat karenanya dapat
menekan kemampulabaan industri yang tidak mampu mengimbangi
kenaikan biaya dengan menaikkan harganya sendiri. Kondisi yang
membuat pemasok kuat cenderung serupa dengan kondisi yang membuat
pembeli kuat. Kelompok pemasok dikatakan kuat jika terdapat hal-hal
berikut:
a) Didominasi oleh sedikit perusahaan.
b) ?Produk pemasok bersifat unik atau setidak-tidaknya terdiferensiasi, atau
jika terdapat biaya pengalihan (switching cost).
c) ?Pemasok tidak bersaing dengan produk-produk lain dalam industri
d) ?Pemasok memiliki kemampuan untuk melakukan integrasi maju ke
industri pembelinya.
e) Industri bukan merupakan pelanggan penting bagi pemasok.
3. Kekuatan tawar menawar pembeli
Pembeli atau pelanggan dapat juga bersaing dalam industri dengan
cara menekan harga, menuntut kualitas yang lebih baik/tinggi atau layanan
yang lebih memuaskan serta dapat berperan sebagai pesaing satu sama
lain, yang mana semua ini dapat menurunkan laba industri. Kelompok
pembeli dikatakan kuat jika:
a) Pembeli terkonsentrasi atau membeli dalam jumlah (volume) besar.
b) ?Produk yang dibeli dari industri bersifat standar atau tidak
terdiferensiasi.
37
c) ?Produk yang dibeli dari industri merupakan komponen penting dari
produk pembeli dan merupakan komponen biaya yang cukup besar.
d) ?Pembeli menerima laba yang rendah. Ini akan mendorong pembeli
untuk menekan biaya pembeliannya.
e) Produk industri tidak merupakan bagian penting bagi kualitas produk
atau jasa pembeli.
f) Produk industri tidak menghasilkan penghematan bagi pembeli.
g) ?Pembeli memiliki kemampuan untuk melakukan integrasi balik.
4. Ancaman produk subsitusi
Dengan menetapkan batas harga tertinggi (ceiling price), produk atau
jasa subsitusi membatasi potensi suatu industri. Jika industri tidak mampu
meningkatkan kualitas produk atau mendiferensiasikannya, laba dan
pertumbuhan industri dapat terancam. Makin menarik alternatif harga yang
ditawarkan oleh produk pengganti, makin ketat pembatasan laba industri.
Sebagai contoh komersialisasi besar-besaran sirup jagung berkadar
fruktosa tinggi, subsitusi bagi gula, telah merepotkan para produsen gula
saat ini.
Produk subsitusi tidak hanya membatasi laba dalam masa-masa
normal, melainkan juga mengurangi “tambang emas” yang dapat diraih
industri dalam masa keemasan. Produk pengganti yang secara strategik
layak menjadi pusat perhatian adalah, (1) kualitasnya mampu menandingi
kualitas produk industri atau (2) dihasilkan oleh industri yang berlaba tinggi.
5. Intensitas persaingan
Persaingan di kalangan anggota industri terjadi karena mereka
berebut posisi dengan menggunakan taktik seperti, persaingan harga,
introduksi produk, dan perang iklan. Persaingan tajam seperti ini bersumber
pada sejumlah faktor:
a) ?Jumlah peserta persaingan banyak dan seimbang dalam hal ukuran
dan kekuatan.
b) ?Pertumbuhan industri yang lamban.
c) ?Produk atau jasa tidak terdiferensiasi atau tidak membutuhkan biaya
pengalihan..
d) ?Biaya tetap (fixed cost) tinggi atau produk bersifat mudah rusak
(perishable), mengundang keinginan kuat untuk menurunkan harga.
e) Penambahan kapasitas dalam jumlah besar.
38
f) ?Hambatan keluar yang tinggi.
g) ?Taruhan strategis yang besar.
Dengan menyesuaikan kondisi di sektor perikanan, maka indikator
yang masuk dalam kelompok industri (INDUS), antara lain : perijinan sesuai
potensi (X5), Tersedianya logistik (X6), dan penguasaan/adanya akses ke
pasar yang kompetitif (X7).
2.3.3 Lingkungan eksternal
Lingkungan eksternal disebut juga lingkungan sosial (Wheelen 2000),
lingkungan jauh (Pearce et.al 2000), lingkungan makro (Hill et al. 1997).
Lingkungan sosial termasuk kekuatan umum yang secara tidak langsung
berhubungan dengan aktivitas organisasi jangka pendek tetapi dapat dan
sering kali mempengaruhi keputusan jangka panjang. Lingkungan sosial
yang dimaksud yaitu (Wheelen 2000):
1. Kekuatan ekonomi
2. Kekuatan teknologi
3. Kekuatan hukum-politik
4. Kekuatan sosial budaya
Penulis lain seperti Pearce et.al (2000) membagi lingkungan sosial
(jauh) atas 5 yaitu; (1) ekonomi, (2) sosial , (3) politik, (4) teknologi, dan (5)
faktor ekologi. Istilah ekologi mengacu pada hubungan antara manusia dan
makhluk hidup lainnya dengan udara, tanah, dan air yang mendukung
kehidupan mereka. Wheelen (2003) memasukkan faktor ekologi dari
Pearce sebagai bagian dari kekuatan sosial dan budaya. Hill (1998)
membagi lingkungan makro atas (1) lingkungan politik dan hukum (political
and legal environment), (2) lingkungan ekonomi makro (macroeconomic ),
(3) lingkungan teknologi (technological environment), (4) lingkungan
kependudukan (demographic environment), (5) lingkungan sosial (social
environment).
Ada enam kecenderungan sosial budaya yang dapat membantu
menentukan masa yang akan datang. (1) Kepedulian terhadap lingkungan
yang semakin meningkat, (2) Pertumbuhan pasar senior, (3) Ledakan kecil
bayi baru, (4) Penurunan pasar massal, (5) Jarak dan lokasi tempat hidup,
(6) Perubahan pada rumah tangga.
39
Sementara itu Hitt dan Ireland (1997) membagi unsur-unsur
lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan umum dan lingkungan industri.
Lingkungan umum dibagi atas kekuatan ekonomi, sosial budaya, teknologi,
politik/ hukum dan demografis.
Saat ini pengenalan lingkungan eksternal secara tepat semakin
penting karena (Siagian 2001):
1. Jumlah faktor yang berpengaruh tidak pernah konstan melainkan
selalu berubah,
2. Intensitas dampaknya beraneka ragam,
3. Adanya faktor eksternal yang merupakan “kejutan” yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya betapapun cermatnya analisis “SWOT”
dilakukan,
4. Kondisi eksternal berada diluar kemampuan organisasi untuk
mengendalikannya.
INDUSTRI PEMASOK (MESIN TEKNOLOGI, BAHAN BAKU)
BAHAN BAKU
BAHAN PROCESSING
MESIN & PERLENGKAPAN
INDUSTRI
PENDUKUNG
HULU
INDUSTRI
FOKAL
INDUSTRI
HILIR
R&D MARKET R&D MARKET R&D MARKET
VALUE ADDED
PRODUKSI BAHAN
BAKU
PROCESSING
PRIMAIR
PROCESSING
SEKUNDER/
TERTIER
KONDISI EKONOMI
FAKTOR-FAKTOR
-TEKNOLOGI
-R & D
-INFORMASI GLOBAL
-LINGKUNGAN
-ENERGI
-SDM
-MODAL
-PEMBIAYAN
-SUMBER AIR
-DLL
NILAI TAMBAH PERTENAGA KERJA
PRODUKTIVITAS
PER UNIT
INDUSTRI JASA , INDUSTRI TERKAIT, MODAL
PELAYANAN
BANK
PELAYANAN
R & D
PELAYANAN
TRAINING
PELAYANAN
PEMELIHARAAN
PELAYANAN
TRANSPORT
PELAYANAN
DISTRIBUSI
PELAYANAN
EKSPOR
PASAR
EKSPOR
DOMESTIK
Gambar 2 Modifikasi agro based industry cluster (ABIC) (Porter 1990 dan
Kotler 1997)
Faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi industri dapat
didekati dengan melihat kondisi ketersediaan pemasok infrastruktur berupa
mesin dan teknologi, ketersediaan jasa-jasa antara lain jasa pelatihan
pegawai, keuangan (bank), dan pelayanan pemerintah. Disamping itu,
terdapat faktor lingkungan ekonomi industri yang diduga ada hubungan
kuat pengaruhnya bersama faktor eksternal industri terhadap lingkungan
40
industri adalah perkembangan teknologi perikanan yaitu informasi dan
transportasi, situasi perdagangan dunia, serta ketersediaan sumberdaya
alam dan energi (Gambar 2).Untuk kepentingan penelitian ini, indikator
yang masuk dalam kelompok eksternal (EKSTER) antara lain:
interest/tingkat suku bunga yang murah (X8), kredit yang dapat di akses
(X9), dan regulasi/perijinan/aturan yang cepat dan biaya yang murah (X10).
2.4 Kebijakan Pemerintah
Kebijakan adalah kebutuhan, nilai atau kesempatan yang tidak terealisir
namun dapat diatasi melalui tindakan publik. Dan tindakan publik dipacu,
didorong, dan dikondisikan oleh aksi kebijakan pemerintah. Namun secara
substansial, masalah kebijakan itu sendiri pada dasarnya merupakan
serangkaian konstruksi mental atau konseptual yang diabstraksikan dari situasi
masalah oleh para pelaku kebijakan. Kebijakan dapat dibedakan menjadi
kebijakan publik dan kebijakan privat. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif
yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk
mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan private (individu
atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok. Pertama, dibuat
atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang
ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, bersifat memaksa atau berpengaruh
terhadap tindakan privat masyarakat luas (publik) (Dunn 2000). Sebagai contoh,
kebijakan harga BBM adalah kebijakan publik karena dibuat oleh pemerintah
bersifat memaksa dan dapat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi
penduduk, konsumen maupun pengusaha.
Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain.
Misalnya, keputusan suatu perusahaan swasta untuk menetapkan harga jual
produk yang dihasilkannya merupakan contoh kebijakan privat. Perusahaan
swasta adalah lembaga privat dan keputusannya tidak mengikat atau bersifat
memaksa bagi perusahaan lain atau masyarakat luas. Kebijakan privat hanya
berlaku internal, bagi lembaga atau individu itu saja.
Kebijakan pembangunan perikanan ialah keputusan dan tindakan
pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur
pembangunan perikanan guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Kebijakan pembangunan perikanan haruslah dipandang dalam konteks
41
pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ini
berarti, kebijakan pembangunan perikanan termasuk dalam kategori kebijakan
publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan orang
banyak.
Dalam perekonomian modern, seperti perekonomian Indonesia saat ini,
keragaan sektor-sektor ekonomi saling mempengaruhi dan keragaan per-
ekonomian dalam negeri sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian inter-
nasional. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang dibuat pada sektor non-
perikanan berpengaruh nyata terhadap keragaan pembangunan perikanan, dan
demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, kebijakan perkreditan dan kurs mata
uang yang merupakan Kebijakan moneter jelas berpengaruh terhadap keragaan
pembangunan sektor perikanan. Kebijakan investasi industri perkapalan, yang
merupakan kebijakan pembangunan sektor industri, yang sangat berpengaruh
terhadap keragaan sektor perikanan, sementara kebijakan harga pupuk, yang
merupakan kebijakan sektor perikanan, jelas sangat berpengaruh terhadap
keragaan industri pupuk, yang berarti pula keragaan pembangunan sektor
industri. Dengan demikian, cakupan kebijakan pembangunan perikanan tidak
dapat dibatasi berdasarkan delineasi sektoral maupun secara jenjang organisasi
pemerintahan.
Dasar delineasi yang lebih tepat dalam menentukan cakupan kebijakan
pembangunan perikanan dan kelautan ialah pendekatan fungsional. Secara
umum dapat dikatakan bahwa semua keputusan dan tindakan pemerintah yang
secara fungsional berpengaruh nyata terhadap keragaan pembangunan
perikanan termasuk dalam kategori kebijakan pembangunan perikanan.
Kebijakan perkreditan, kurs mata uang, dan bahkan pembangunan jalan raya,
pelabuhan, kelistrikan, maupun jaringan telekomunikasi termasuk dalam
kebijakan pembangunan perikanan. Jelaslah, cakupan kebijakan pembangunan
perikanan sangatlah luas, yang dapat dikelompokkan ke dalam tujuh bidang atau
"tujuh inti" pembangunan perikanan: inovasi input, investasi dan modal kerja,
insentif, infrastruktur, institusi dan industri.
Dalam mewujudkan penerapan kebijakan di bidang perikanan, maka
langkah-langkah yang ditempuh adalah meningkatkan keterkaitan fungsional
antar subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat
berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Selain itu
42
pengembangan agribisnis juga harus mampu meningkatkan aktivitas ekonomi
pedesaan dengan diarahkannya pada pengembangan kemitraan usaha antara
usaha skala besar dan skala kecil secara serasi dan dilakukan melalui
pengembangan sentra produksi perikanan dalam suatu skala ekonomi yang
efisien.
FAKTOR KONDISI
- SUMBER DAYA ALAM- SDM- PENGETAHUAN- MODAL- INFRA STRUKTUR
- TEKNOLOGI
STRATEGI PERUSAHAAN / STRUKTUR PERSAINGAN
- STRUKTUR, LOKASI- PERSAINGAN, RESIKO
INDUSTRI PERIKANAN &TERKAIT
- PERSAINGAN INDUSTRI PENDUKUNG- PERSAINGAN INDUSTRI TERKAIT
PENENTUAN PERMINTAAN
- BESAR PERMINTAAN- SEGMEN USAHA- PERMINTAAN GLOBAL- SALING KETERGANTUNGAN
PELUANG
-KEJADIAN TIDAK DAPAT DIPREDIKSI
-HAMBATAN EKSTERNAL-TEKNOLOGI
PEMERINTAH
-FASILITAS & KENDALA KEBIJAKAN-INVESTASI UNTUK UMUM
Gambar 3 Strategi kebijakan pemerintah dalam mendukung industri perikanan
(Porter 1990)
Keterkaitan antar faktor dalam pengembangan industri perikanan perlu
dukungan dan peranan pemerintah terutama dalam penyediaan fasilitas dan
ketentuan investasi. Sebagai upaya untuk memenuhi permintaan konsumen,
industri perikanan perlu mendapat suplai dari dukungan infrastruktur,
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan faktor permodalan. Dilain pihak
faktor internal perusahaan yaitu strategi perusahaan dalam memanfaatkan faktor
pendukung, cara menghadapi pesaing, pemanfaatan infrastruktur yang efektif,
sehingga hasil yang diperoleh benar-benar optimal dengan biaya minimal atau
dengan resiko yang paling kecil.
Pada kebijakan pemerintah, antara lain kebijakan pemerintah pusat dan
daerah, dengan indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan
tersebut dapat diukur dari bagaimana pada kebijakan pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan apakah telah memiliki peran dalam meningkatkan kinerja sektor
perikanan dan mampu mendorong tujuan pembangunan yang telah
direncanakan. Selain kebijakan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, kebijakan
43
pada infrastruktur, perijinan, permodalan, kelembagaan dan teknologi juga
memiliki peranan dalam pembangunan perikanan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kebijakan pemerintah pusat
(KEBIJ_PUS) dalam penelitian ini antara lain : pendidikan yang dapat di akses
dan bermutu(X11), permodalan dengan interest/tingkat suku bunga yang murah
dan dapat di akses(X12), pelatihan dan bimbingan yang dapat di akses, (X13)
tersedianya fasilitas sekolah yang memadai(X14), dan tersedianya fasilitas
puskesmas yang memadai (X15).
Untuk mengukur variabel kebijakan pemerintah daerah (KEBIJ_DAE)
indikator yang digunakan antara lain: pelatihan dan penyuluhan yang dapat di
akses dan bermutu (X16), pelabuhan dan Tempat Pelelangan ikan yang
baik(X17), proses perizinan yang cepat dengan biaya yang wajar(X18),
Kelembagaan koperasi, LSM yang berjalan dengan baik(X19), teknologi yang
memberi nilai tambah ke prosesing (X20), pelatihan dan bimbingan yang dapat di
akses(X21), pungutan pajak, biaya operasi, retribusi yang membebani (X22),
tersedianya fasilitas sekolah yang memadai(X23), dan tersedianya fasilitas
puskesmas yang memadai(X24).
2.5 Kinerja
Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja.
Bernardin dan Russel (1993) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai: “ ...
as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during
a specified time period” (...adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari
fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu
tertentu). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pencapaian kinerja
yang tinggi merupakan suatu prestasi bagi setiap organisasi dan bagian (unit)
organisasi yang oleh karenanya setiap organisasi dituntut untuk dapat selalu
meningkatkan kinerjanya. Semakin tinggi kinerja organisasi, semakin tinggi
tingkat pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan kinerja perusahaan merupakan
sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan
mengacu pada standar yang ditetapkan.
Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan
menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang
disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang dicapai maka dilakukan penilaian
kinerja. Konsep kinerja itu sendiri menurut Rummler dan Brache yang diacu
44
dalam Salusu (1998) dapat diterapkan pada tiga tingkatan dalam organisasi,
yaitu tingkatan organisasi (organization level), tingkat proses (process level), dan
tingkat tugas atau pelaksana tugas (job performer level). Tingkat organisasi
menekankan pada hubungan organisasi dengan pasar dan fungsi-fungsi
utamanya yang tergambar dalam kerangka dasar struktur organisasi serta
mekanisme kerja yang ada. Variabel yang mempengaruhi kinerja pada tingkat ini
antara lain adalah strategi-strategi tujuan yang meliputi kerja keseluruhan
organisasi dimana pengukurannya perlu memperhatikan struktur organisasi dan
penggunaan sumberdaya yang ada secara tepat.
Tingkat proses menekankan pada proses kegiatan antara fungsi. Variabel
kinerja pada tingkat ini menyangkut kesesuaian proses kegiatan dengan
kebutuhan konsumen, efisiensi dan efektivitas proses, kesesuaian pengukuran
dan tujuan proses dengan persyaratan-persyaratan yang diinginkan organisasi
maupun konsumen. Sedangkan tingkat tugas atau pelaksana tugas menekankan
pada individu-individu yang melaksanakan proses pekerjaan. Variabel kinerja
pada tingkat ini antara lain mencakup sistem penggajian dan promosi. Secara
otomatis tingkat efektivitas pelaksanaan tugas berkaitan dengan kualitas
sumberdaya manusia yang dimiliki oleh organisasi secara keseluruhan.
Secara umum kinerja akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Faktor personel/individual antara lain : pengetahuan, ketrampilan (skill),
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen.
2. Faktor kepemimpinan antara lain : kualitas dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang di berikan manager dan team leader.
3. Faktor tim antara lain : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim,
kekompakan dan keeratan anggota tim.
4. Faktor sistem antara lain : sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang
diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur dalam organisasi.
5. Faktor kontekstual (situasional) antara lain : tekanan dan perubahan
lingkungan eksternal dan internal.
Menurut Kotler (1997) variabel keberhasilan kinerja suatu perusahaan
antara lain dapat diukur dari kinerja keuangan yang diukur dari 1) tingkat laba (
dan rugi) perusahaan, 2) tingkat pengembalian investasi (Return of investment/
ROI), dan 3) tingkat return on equity (ROE) serta perkembangan dari industri.
45
Selain kinerja keuangan, variabel kinerja yang lain adalah dalam
pemasaran, antara lain 4) informasi pasar 5) mutu produk, dan 6) harga produk.
7) volume penjualan, 8) Pertumbuhan penjualan; 9) pertumbuhan pelanggan.
Disamping kinerja keuangan dan kinerja pemasaran, peranan kinerja
sumberdaya manusia untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi, dengan
indikator antara lain penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan tenaga
kerja dan produktivitas tenaga kerja.
Dengan demikian dari penjelasan diatas secara umum untuk mengukur
kinerja industri perikanan dan kinerja usaha perikanan tangkap dalam penelitian
ini indikator yang digunakan antara lain :
1. Peningkatan kinerja keuangan, dengan indikator antara lain : laba dan rugi,
ROI dan ROE.
2. Pemasaran dengan indikator antara lain : informasi pasar, diversifikasi
produk, mutu produk, harga produk, peningkatan volume penjualan,
pertumbuhan penjualan, pertumbuhan pelanggan).
3. Sumberdaya manusia dengan indikator antara lain : penyerapan tenaga
kerja, produktivitas kerja, kesejahteraan tenaga kerja).
Untuk menyesuaikan kepentingan penelitian, variabel kinerja usaha
perikanan tangkap (KUP_TANG), diukur dengan indikator antara lain : laba dan
rugi (R/L) (X25), return on investment (ROI) (X26), informasi Fishing Ground (FG)
(X27), peningkatan pendapatan anak buah kapal (ABK) (X28), ikut menciptakan
keamanan(X29), kebersihan lingkungan(X30), sarana dan prasarana Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) (X31), dan ketersediaan es atau garam (X32).
Untuk variabel kinerja industri pengolahan (KI_PROS) indikator yang
digunakan antara lain : laba dan rugi (R/L) (X33), return on investment (ROI)
(X34), peningkatan pendapatan pekerja (X35), penyediaan pangan yang bergizi
(X36), informasi harga ikan (X37), dan teknologi dan nilai tambah (X38).
2.6 Tujuan Pembangunan Perikanan
Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang sangat
kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang sehat menjadi isu
yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan (Fauzi dan Anna 2002).
Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang
diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan
itu sendiri. Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan itu sudah mulai
46
dapat dipahami, sampai sekarang kita masih menghadapi kesulitan dalam
menganalisis atau mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu
sendiri, khususnya ketika kita dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan
informasi/data dari keseluruhan komponen (secara holistik), baik aspek ekologi,
sosial, ekonomi, maupun etik (Fauzi dan Anna 2002).
Menurut Charles (1994), pandangan pembangunan perikanan yang
berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek yaitu biologi, ekonomi
dan sosial (masyarakat). Maka konsep pembangunan perikanan yang
berkelanjutan mengandung aspek :
1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini
memelihara keberlanjutan stok/biomas sehingga tidak melewati daya
dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem
menjadi perhatian utama.
2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial ekonomi). Konsep ini
mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus
memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada
tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian
kerangka keberlanjutan ini.
3. Community sustainability (keberlanjutan masyarakat), mengandung
makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau
masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang
berkelanjutan.
4. Institusional sustainability (keberlanjutan kelembagaan), maka
keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek
finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga
pembangunan keberlanjutan di atas.
Sementara itu, menurut Soemokaryo (2006), tujuan pembangunan
perikanan dikelompokkan ke dalam tujuan ekonomi, sosial, ekologi dan
eksternalitas, dengan indikator antara lain :
1. Pertumbuhan dengan indikator sasarannya antar lain : pertumbuhan produksi
yang memiliki daya saing, dan peningkatan input price,
2. Pemerataan dengan indikator sasarannya antara lain : pemerataan
pembangunan wilayah, pemerataan kesempatan berusaha antar pelaku
47
bisnis, pemerataan income antar para pelaku, dan pemerataan dalam
konsumsi ikan.
3. Kelestarian lingkungan dan bebas isu Hak Asasi Manusia (HAM) dengan
indikator sasarannya antara lain: kelestarian sumberdaya ikan, kelestarian
usaha bagi para pelaku bisnis, dan perlindungan tenaga kerja.
4. Eksternality.
Menurut Timbergen (1956), yang diacu oleh Soemokaryo (2006),
menyatakan bahwa goal dari suatu pembangunan ialah memaksimalkan social
welfare dengan variabelnya ialah pertumbuhan, pemerataan, dan kelestarian.
Dari penjelasan diatas tujuan pembangunan sektor perikanan, ditentukan
keberhasilannya pada :
1. Aspek ekonomi, antara lain ; peningkatan ketahanan pangan (Y1), devisa
(Y2), pendapatan daerah (Y3), dan pendapatan masyarakat (Y4).
2. Aspek sosial antara lain ; penyerapan tenaga kerja (Y5), pemerataan
kesempatan usaha antar pelaku bisnis (Y6), dan pemerataan konsumsi ikan
(Y7).
3. Aspek ekologi antara lain; kelestarian lingkungan (Y8) dan terpeliharanya
plasma nutfah (Y9).
4. Aspek eksternalitas antara lain; menumbuhkan bisnis yang lain (Y10), dan
menurunkan eksternalitas negatif seperti, keadaan yang kumuh limbah logam
berat, asam dan basa kuat limbah organik (Y11).
2.7 Penelitian Terdahulu yang Terkait
Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisis tabel
input output, dilakukan antara lain oleh Razali (1996), yang melakukan penelitian
di Kabupaten Sabang, dengan melihat sejauh mana peran sektor perikanan
dalam perekonomian Sabang, penelitian tersebut menggunakan beberapa
metode analisis antar lain: (1) metode input output (non survey-metode RAS), (2)
analisis perubahan struktur perekonomian, yaitu melihat perubahan sumbangan
relatif sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kurun waktu
tertentu, (3) analisis komponen utama, dan (4) metode deskriptif. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan, bahwa kontribusi sektor perikanan terhadap
perekonomian Kabupaten Sabang masih kecil, baik dari nilai output, nilai tambah
bruto, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja, serta sektor perikanan belum
termasuk salah satu sektor yang memimpin (leading sector), karena memiliki nilai
48
keterkaitan (linkages) dan multiplier effect yang kecil dibandingkan sektor yang
lain dan bukan merupakan sektor unggulan.
O’Callaghan et.al (2000) melakukan pengamatan tentang keterkaitan antar
sektor dan sektor-sektor kunci dalam perekonomian China selama periode 1987-
1997, dengan memakai sekaligus metode tradisional yang dikembangkan oleh
Chenery-Watanabe dan Rasmussen, serta metode ekstrasi dari Cella dan
Dietzenbacher. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa selama periode
1987-1997 setiap sektor memiliki kecenderungan angka rasio backward linkage
dan forward linkage yang terus meningkat sepanjang tahun. Ini berarti ada
indikasi terdapat suatu hubungan yang positif antar pertumbuhan aktifitas
produksi dan peningkatan di dalam keterkaitan antar sektor selama periode
tersebut. Selain itu, mereka juga memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang
mendominasi perekonomian China sepanjang periode 1987-1997 adalah sektor
kontruksi, industri dan pertambangan, karena dari hasil analisis I-O menunjukkan
ketiga sektor tersebut mempunyai rasio backward linkage dan forward linkage
yang paling tinggi diantara semua sektor.
Penerapan ukuran backward dan forward linkage ratio dalam analisis IO
dengan metode tradisional dan ekstrasi juga pernah dilakukan oleh Pfajfar dan
Dolinar (2000), yang melakukan studi tentang keterkaitan antar sektor di negara
Slovania dalam periode 1990-1995. Dari hasil studinya ini menunjukkan bahwa
sektor perikanan dan kehutanan, serta sektor industri baja, merupakan sektor-
sektor kunci di negara Slovania selama periode 1990-1995.
Masih dengan menggunakan ukuran backward dan forward linkage juga
dilakukan oleh Guilhoto dan Fortuoso (2000). Mereka mencoba melukiskan
keberadaan agribisnis dalam pembangunan sektor-sektor produksi di negara
Brazil. Dalam studinya ini komposisi sektor agribisnis dalam GDP (gross
domestic product) dilihat pada dua kelompok sektor yang sangat kompleks, yaitu
produksi tanaman pangan dan peternakan. Masing-masing sektor agribisnis
tersebut kemudian diderivasi kedalam empat komponen agregat yang meliputi,
(1) input, (2) sektor perikanan itu sendiri, (3) proses industri, dan (4) distribusi
dan jasa-jasa. Sektor-sektor industri dan jasa yang dapat dikelompokkan dalam
agribisnis tanaman pangan dan peternakan menurut mereka adalah : wood and
wood products pulp, paper and printing, chemical elements (alcohol), textile
industry, clothing industry, footwear industry, coffee industry, vegetal products,
processing animal slaughtering, dairy industry, sugar industry, vegetal oil
49
processing, dan other food products. Berdasarkan semua derivasi ini diperoleh
hasil bahwa dalam struktur input-output, sektor agribisnis rata-rata mampu
menyumbang 29% terhadap penciptaan GDP Brazil selama periode 1994-1995,
yang kemudian menurun menjadi 27% pada tahun 1997, dan menurun lagi
menjadi 26% sepanjang periode 1998-1999.
Penggunaan model I-O tidak hanya sebatas menggambarkan keterkaitan
antar sektor saja. Model I-O juga bisa dipakai untuk menganalisis bagaimana
terjadinya perubahan struktur perekonomian di suatu negara atau wilayah,
seperti yang dilakukan oleh Guo dan Planting (2000). Studinya dilakukan untuk
perekonomian Amerika Serikat dengan menggunakan analisis Multiplier Product
Matrix (MPM). MPM ini merupakan suatu instrumen yang dikembangkan untuk
melihat dampak suatu sektor secara keseluruhan dalam suatu perekonomian.
Selain itu MPM ini bisa juga memotret pengaruh suatu sektor berdasarkan
backward linkage dan forward linkage, yang sekaligus pula bisa menjelaskan
hubungan antara suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya. Dari hasil
pengamatannya, kelihatan bahwa terjadinya perubahan struktur perekonomian
di Amerika Serikat selama periode 1972-1996 lebih banyak disebabkan karena
(1) ketergantungan antarindustri domestik semakin menurun, (2) kenaikan impor
input-input produksi lebih tinggi dibandingkan produksi domestik, dan (3) peranan
sektor industri non-manufacturing semakin bertambah, dengan tingkat
pertumbuhan yang sangat cepat.
Analisis tentang perubahan struktur perekonomian melalui model I-O juga
dilakukan Okuyama et.al (2002) yang mengamati seberapa jauh perubahan
struktur perekonomian itu terjadi di negara bagian Chicago selama periode 1980-
1997. Alat analisisnya adalah Temporal Leontief Inverse, yang pernah dibangun
sebelumnya oleh Sonis dan Hewings (1998). Salah satu keuntungan dari
penggunaan alat tersebut adalah mampu menyelidiki perubahan-perubahan
struktural dalam tabel input-output secara time series. Selain itu, yang paling
penting juga alat ini bisa memberikan satu set teknik explorasi dari sifat-sifat
dasar time series dan membantu menggali hal-hal mendasar mengenai
perubahan teknologi dan perubahan-perubahan dalam trading-patter, khususnya
dalam kasus sistem regional dan antar regional. Dengan menggunakan alat ini,
pengaruh dan perbedaan-perbedaan dari efek hollowing-out antar sektor bisa
ditampilkan dan dianalisis. Dengan menggunakan rumus temporal inverse,
dampak dari kenaikan permintaan akhir (final demand) pada tahun 1997
50
terhadap beberapa sektor, dapat didekomposisi menjadi dampak temporal, yang
selanjutnya dapat dilihat perubahan-perubahan struktur setiap tahun, dalam
kaitannya dengan hubungan antar sektor. Untuk hal ini Okuyama mengamatinya
pada sektor-sektor perdagangan, konstruksi, industri mesin dan perlengkapan,
jasa transportasi, jasa-jasa perumahan, bisnis, engineering, management. Dari
hasil pengamatannya Okuyama menemukan bahwa dalam proses hollowing-out
pada perekonomian Chicago, sektor industri merupakan sektor yang mempunyai
perubahan struktural paling besar diantara periode 1980-1997, sementara sektor
yang lebih stabil dan relatif meningkat secara signifikan dalam hubungan antar
sektor adalah sektor-sektor jasa.
Idenburg dan Harry (2000), dengan menggunakan Dynamic Input-Output
Model mencoba menjelaskan dampak dari inovasi teknologi terhadap produksi
sektoral di negara Belanda yang menggunakan natural resources dan emissions
terhadap lingkungan. Pemilihan analisis input-output secara nyata dianggap bisa
menjelaskan hubungan struktur ekonomi, penggunaan energi dan sumber daya
lingkungan. Selain itu, analisis input-output juga dapat digunakan dalam
pembuatan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pencarian teknologi-
teknologi baru. Studi ini mencoba menganalisis secara tentative dampak
perubahan-perubahan teknologi terhadap permintaan energi pada perekonomian
Belanda selama periode 1980-1997.
Untuk Indonesia sendiri, boleh dikatakan Kaneko (1985) merupakan
pelopor yang melakukan analisis keterkaitan antar sektor di negara kita ini. Ia
memperkenalkan konsep (1) derajad ketergantungan kegiatan tiap sektor
terhadap setiap unsur permintaan akhir, (2) pengganda reaksi (repercussion
multiplier) pada kegiatan ekonomi yang diakibatkan oleh setiap unsur permintaan
akhir, (3) rasio give and take sebagai koefisien keterkaitan ke depan dan
keterkaitan ke belakang sebagaimana dirumuskan oleh Hirschman. Dengan
mengolah tabel I-O tahun 1971, 1975, 1980, dan 1983, ia menyimpulkan.
Pertama, selama periode 1971-1980, derajad ketergantungan kegiatan ekonomi
pada konsumen cenderung menurun pada sektor primer dan tersier, namun
meningkat pada sektor industri. Kedua, derajad ketergantungan ekspor pada
industri logam mengalami penurunan pada tahun 1980 dan 1983, terutama
karena kebijakan subsitusi impor dan kebijakan pemanfaatan produk dalam
negeri yang telah dianut sejak awal dekade 1980. Ketiga, dalam tahun 1970-an,
pengganda reaksi yang diakibatkan oleh pembentukan modal tetap telah
51
menurun. Keempat, orientasi pembangunan industri Indonesia selama periode
1971-1980 lebih memiliki ciri kepada industri subsitusi impor. Kelima, besarnya
kebocoron impor menyebabkan produksi barang-barang modal tetap sangat
kurang bersifat padat karya (Kuncoro et.al 1997).
Studi lainnya tentang keterkaitan antar sektor di Indonesia juga pernah
dilakukan oleh Poot et.al (1991). Berdasarkan data input-ouput Indonesia tahun
1971, 1975, dan 1980, mereka menunjukkan keterkaitan antar industri pada
perekonomian Indonesia yang dilihatnya melalui koefisien backward linkage dan
forward linkage. Dari hasil pengamatannya menunjukkan sektor-sektor industri
yang mempunyai backward linkage tinggi terutama adalah sektor industri
makanan. Sedangkan sektor yang memiliki forward linkage paling tinggi adalah
industri kimia, peralatan kertas, pupuk dan pestisida. Berdasarkan analisis I-O,
mereka juga memaparkan bahwa pembangunan industri di Indonesia memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap komponen impor, terutama sekali
bagi sektor-sektor industri non makanan seperti industri baja, kertas, kendaraan
bermotor, elektronik, perkapalan dan pesawat terbang, dimana semua industri ini
umumnya memiliki rasio ketergantungan impor di atas 50%, dan yang paling
tinggi adalah industri baja dengan rasionya sebesar 0,73.
Selain dua studi di atas, studi lainnya tentang analisis IO di Indonesia juga
dilakukan oleh Kuncoro et.al (1997). Dimana dengan menggunakan tabel I-O
Indonesia tahun 1980, 1990, dan 1995, mereka melakukan pengamatan tentang
struktur, perilaku, dan kinerja dari sektor agroindustri. Dalam studinya ini mereka
mengklasifikasikan sektor agroindustri di Indonesia kedalam tujuh kelompok,
yang kemudian didisagregasi menjadi 47 sektor. Beberapa kesimpulan penting
yang dapat disampaikan dari hasil penelitiannya ini adalah : (1) agroindustri yang
mempunyai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang tinggi adalah
karet, industri pemintalan, industri barang dari kertas, industri pupuk dan
pestisida, industri barang dari karet dan plastik, dan industri barang dari logam,
(2) dilihat dari angka pengganda pendapatan dan tenaga kerja, hampir semua
subsektor industri pengolah hasil perikanan memiliki angka pengganda yang
tinggi, dan (3) analisis kinerja membuktikan bahwa derajad ketergantungan
ekspor bagi agroindustri menunjukkan perubahan yang amat substansial. Pada
tahun 1980, peringkat sepuluh besar dalam derajad ketergantungan ekspor
didominasi oleh sektor perikanan primer. Sepuluh tahun kemudian, selain produk
52
sektor perikanan primer, dua subsektor industri pengolah perikanan mulai masuk
sepuluh besar, yaitu industru kayu-bambu-rotan dan industri tekstil.
Untuk studi I-O Indonesia yang cakupannya regional pernah dilakukan oleh
Imansyah (2000) dan Muchdie (1999 dan 2000). Studi yang dilakukan Imansyah
lebih menitikberatkan pada metodologinya, dimana ia mencoba memperkenalkan
proses pembuatan I-O Regional Indonesia dengan metode hibrida (hybrid
method), yang beranjak dari ide pemikiran West (1990), Van der Westhuizen
(1992), dan Lahr (1998). Menurut Imansyah metode hibrida ini merupakan
metode yang paling menguntungkan untuk membangun tabel input-output
regional. Karena biaya pembuatan tabel input-output dengan metode hibrida
kelihatan lebih efisien dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi. Metode hibrida
ini berada ditengah-tengah antara metode input-output survei dan nonsurvei,
dimana tingkat akurasinya hampir sama dengan metode survei, sedangkan biaya
pembuatannya sama rendahnya dengan metode nonsurvei. Ada tiga pendekatan
yang dapat digunakan dalam metode hibrida yaitu, (1) pendekatan top-down, (2)
pendekatan bottom-up, dan (3) pendekatan horisontal. Imansyah lebih
menitikberatkan pada pendekatan horisontal, dengan penekanan terhadap
identifikasi fundamental economic structure (FES). Dalam studinya ia dapat
membuat I-O Regional melalui pendekatan tersebut untuk 10 propinsi di
Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya, Maluku, Bali,
Lampung, Sulawesi Selatan , Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Dengan menggunakan model input-output antardaerah (IOAD) yang
dibuatnya melalui metode hibrida, Muchdie (1999) telah membahas struktur
ruang perekonomian Indonesia yang dirinci menurut lima kelompok pulau besar,
yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi, serta Irian Jaya.
Pembahasan struktur ruang difokuskan kepada angka pengganda spasial,
dampak bersih spasial, serta dampak luberan dan dampak balik spasial. Dari
studinya ini ia memberi kesimpulan. Pertama, analisis pengganda menurut sektor
menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi pada sektor sendiri
mencapai lebih dari 60% terhadap total karena besarnya dampak awal, selain itu
analisis pengganda spasial juga menunjukkan bahwa secara umum pengganda
yang terjadi di pulau sendiri lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di
pulau lain. Kedua, dengan menggunakan analisis dampak luberan dan dampak
balik kondisi di atas dapat pula dijelaskan. Sumatra dan Jawa memiliki dampak
luberan yang relatif kecil yang berarti bahwa dampak yang terjadi di pulau sendiri
53
jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak luberan yang terjadi di pulau lain.
Ini menunjukkan bahwa Sumatra dan Jawa relatif lebih mandiri. Nilai dampak
balik yang cukup besar untuk Jawa dan Sumatra menggambarkan bahwa hasil
pembangunan yang mengalir dari Jawa, setelah beberapa saat, akan kembali
lagi ke Jawa.
Peneder et al. (2000) menyatakan bahwa indikator kinerja industri adalah
produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah. Sedangkan Annacker and
Hildebrandt (1998) menggunakan peubah return on investment untuk
menyatakan kinerja industri. Dengan menggunakan model persamaan simultan
Annacker dan Hildebrandt (1998) menyatakan return on investment merupakan
fungsi dari variable-variabel strategis kualitas produk (QUA) dan pangsa pasar
(MS) serta biaya langsung relative (COST). Ray (2004) menyebutkan bahwa
penetapan kinerja industri dan kinerja perekonomian selalu bersifat kontroversial
karena banyak sekali ukuran yang dapat digunakan. Mereka menggunakan
structural equation model untuk menganalisis yang menghubungkan beragam
dimensi strategi perusahaan dan kinerja perusahaan. Ada lima dimensi kunci dari
strategi perusahaan, yaitu cakupan bisnis, cakupan geografi, skala operasi,
diversitas operasi, dan pangsa sumberdaya. Kelima dimensi tersebut
mempengaruhi kinerja perusahaan, yang dalam hal ini kinerja perusahaan diukur
berdasarkan indikator return on sales, return on assets, dan return on net worth.
Selanjutnya Audretsch et al. (2005) menyatakan bahwa kinerja
perekonomian mengacu pada dimensi produktivitas yang diukur berdasarkan
indikator produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal (kapita). Dalam
model yang lengkap dinyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh dimensi
pengetahuan (knowledge) dan kewirausahaan (entrepreneurship). Dimensi
pengetahuan dan kewirausahaan dipengaruhi pula oleh dimensi R&D. Dimensi
pengetahuan diukur berdasarkan indikator patent tahun 1995 dan patent tahun
1996. Sementara itu dimensi kewirausahaan diukur berdasarkan indicator high-
tech start ups dan ict start ups . Selanjutnya dimensi diukur berdasarkan indikator
intensitas R&D tahun 1987, intensitas R&D tahun 1991, dan intensitas R&D
tahun 1995.