2. Tata Kelola Pemerintahan Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

download 2. Tata Kelola Pemerintahan Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

of 85

Transcript of 2. Tata Kelola Pemerintahan Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Apakah Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Lebih Baik Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Indonesia?

Neil McCulloch Institute of Development Studies University of Sussex, UK Edmund Malesky Graduate School of International Relations and Pacific Studies University of California San Diego, USA 8 October 2010

Ringkasan Banyak literatur menyatakan bahwa negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang lebih baik memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi. Kami mengembangkannya apakah hal tersebut juga berlaku pada tingkat daerah di Indonesia. Kami menggunakan seperangkat data baru dari kualitas tata kelola ekonomi pada 243 kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk memperkirakan dampak dari sembilan aspek tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan 1

daerah. Hasilnya mengejutkan, kami menemukan bukti yang relatif kecil mengenai hubungan yang kuat antara kualitas tata kelola pemerintahan dengan kinerja perekonomian. Namun, kami menemukan bahwa variabel-variabel struktural, seperti ukuran ekonomi, kekayaan sumber daya alam dan jumlah penduduk, menegaskan memiliki bahwa pengaruh berbagai langsung upaya terhadap kualitas tata tata kelola kelola pemerintahan daerah maupun terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini untuk meningkatkan pemerintahan daerah menuntut adanya perhatian yang lebih besar untuk memahami bagaimana karakteristik-karakteristik struktural tersebut membentuk ekonomi politik daerah dan bahwa hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi kinerja perekonomian.

JEL Codes: H70, 043, 056

Penghargaan Kami mengucapkan terima kasih kepada kantor Bank Dunia di Jakarta, khususnya kepada Sukma Yuningsih, atas perannya yang besar dalam kompilasi data, juga kepada the Asia Foundation dan KPPOD yang telah memberikan akses data tentang tata kelola pemerintahan daerah yang mereka miliki. Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada BPS, Bank Indonesia dan BKPM yang telah memberikan akses data dan saran-saran terkait data yang mereka miliki. Kami juga menghargai kontribusi pak Boedi Rheza dan Pak Sigit Murwito dari KPPOD yang telah menyediakan tambahan analisis teknis, dan pak Agung Pambudhi yang telah memberikan arah dan keterkaitan studi ini terhadap proses kebijakan secara keseluruhan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Monica Wihardja, Michael Buehler, dan Russell Toth atas tanggapan dan saran yang sangat membantu, juga kepada para peserta lokakarya di CSIS, the World Bank dan Ausaid di Jakarta. Akhirnya, kami berterima kasih atas dukungan finansial dari the Australian Development Research Awards yang didanai oleh Ausaid. Semua kesalahan yang ada merupakan tanggung jawab kami.

2

PendahuluanSelama dua dekade terakhir telah dapat terlihat adanya perkembangan yang cepat pada literatur mengenai hubungan antara kelembagaan, tata kelola pemerintahan, dan kinerja ekonomi. Dimulai dengan seminar mengenai studi yang dilakukan oleh North (1981, 1989, 1990) telah muncul kesadaran tentang pentingnya kelembagaan khususnya kelembagaan yang dikaitkan dengan penegakan kontrak dan perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan dalam menciptakan insentif yang memberikan peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi (lihat Helpman (2008) dalam beberapa hasil studi terbaru). Dilema mendasar yang dihadapi pada studi-studi tersebut adalah adanya kesulitan dalam memperlihatkan hubungan sebab akibat antara kelembagaan dengan kinerja ekonomi. Sangat dimungkinkan bahwa pertumbuhan ekonomi menyediakan sumber daya dan kebutuhan atas kelembagaan yang lebih berkualitas. Berbagai upaya yang bernas telah dilakukan untuk dapat memperlihatkan hubungan sebab akibat yang terjadi antara kelembagaan dengan kinerja ekonomi. Yang paling terkenal, Acemoglu dan kawan-kawan (2001) yang menggunakan kematian penduduk sebagai sebuah instrumen yang berkaitan dengan kelembagaan di era kolonial dalam upayanya untuk membangun hubungan sebab akibat ini. Mereka memberikan argumentasi mengenai tinggi rendahnya kualitas kelembagaan di masa awal koloni, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar yang terjangkit banyak penyakit atau tidak. Di tempat-tempat dengan kematian yang tinggi, para penduduk tidak atau tidak dapat membangun kelembagaan yang baik, sedangkan di tempat-tempat yang lingkungannya lebih sehat mereka dapat membangun kelembagaan yang baik. Acemoglu dkk memperlihatkan bahwa, kematian penduduk pada awal koloni secara masuk akal tidak berkaitan dengan kinerja ekonomi jangka panjang kecuali pengaruhnya terhadap pengembangan kelembagaan; hal tersebut dapat 3

menunjukkan suatu mekanisme dalam mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara kelembagaan dengan kinerja ekonomi. Namun, pandangan tentang hubungan sebab akibat yang kuat di antara kelembagaan dan kinerja ekonomi tidak diterima secara universal. Sebagai contoh, Glaeser dkk (2004) membuktikan bahwa beberapa ukuran kelembagaan yang digunakan saat ini mencerminkan outcome (misalnya pengakuan terhadap hak-hak kepemilikan) daripada kendala kelembagaan yang bersifat struktural (seperti perundang-undangan atau sistem pemilihan). Mereka menemukan hubungan kecil antara ukuran-ukuran kendala struktural yang lebih dalam ini dengan kinerja ekonomi, tetapi mereka menemukan potensi adanya peran kuat SDM sebagai modal awal. Mereka memperlihatkan, bukti yang ada ternyata mendukung pemikiran bahwa kebijakan-kebijakan yang baik akan memberikan peningkatan terhadap pertumbuhan, yang selanjutnya akan berakibat kepada perbaikan-perbaikan kelembagaan. Lebih jauh, terdapat perdebatan tentang faktor-faktor yang merupakan hal terpenting dalam membentuk kelembagaan. Sokoloff dan Engerman (2000) menyatakan bahwa kekayaan alam pada awalnya, dan bukan pola penyakit di permukiman koloni, yang menentukan sifat kelembagaan yang terbentuk di masing-masing negara. Mereka memperlihatkan betapa kelembagaan yang dikendalikan oleh kaum elit dapat melanggengkan ketidakseimbangan yang pada gilirannya memperlambat kinerja ekonomi dan memperkuat kondisi status quo kelembagaan tersebut. Studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Kauffman dan Kraay (2010) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan mungkin bersifat dua arah. Mereka menemukan hubungan sebab akibat positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan, yang bersaing dengan hubungan umpan balik yang negatif dari pendapatan terhadap tata kelola pemerintahan. Mereka membuktikan bahwa hal ini dapat mengarah 4

kepada jebakan-jebakan pada tata kelola pemerintahan dengan tingkat pendapatan yang rendah, yang mana tata kelola yang buruk akan menyebabkan kinerja ekonomi yang lemah, yang pada gilirannya semakin mendukung tata kelola pemerintahan yang buruk. Salah satu kelemahan dari kebanyakan hasil studi dalam bidang ini adalah bahwa mereka telah memfokuskan diri pada data lintas negara. Tidak hanya hal ini mengakibatkan banyaknya sampel yang diambil dari negara-negara tersebut dan memerlukan rentang waktu yang relatif panjang, lebih dari itu, studi-studi semacam itu terbuka terhadap kritik yaitu ada faktor-faktor penting yang terlewatkan (seperti budaya) yang mungkin saja mempunyai pengaruh yang penting terhadap kinerja ekonomi dan yang juga berkorelasi dengan tata kelola pemerintahan, sehingga menciptakan kemungkian terjadinya perkiraan yang bias mengenai hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan. Untuk menyikapi isu-isu sebab akibat tersebut, baru-baru ini sebuah grup ilmuwan telah mulai melihat variasi dalam tata kelola pemerintahan lintas unitunit tingkat daerah pada beberapa negara, dan telah menerapkan percobaanpercobaan alami dalam pembentukan kelembagaan-kelembagaan atau kebijakan dalam upaya mengidentifikasi secara lebih baik, hubungan sebab akibat antara tata kelola pemerintahan dengan kinerja ekonomi. Karena data mereka berkualitas lebih baik dan pengukuran yang mereka lakukan lebih tepat, para ilmuwan tersebut mampu secara lebih baik mengetes logika-logika mikro yang menginformasikan tentang teori yang menghubungkan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan. Hasilnya, beberapa faktor kunci telah diterapkan dalam meneliti hubungan antara hak-hak kepemilikan dengan kegiatan kewirausahaan (Galiani dan Scargrodsky 2006, Di Tella 2007, Fields 2007, Banerjee dan Iyer 2005, Malesky dan Taussig 2009). Ilmuwan lainnya telah melakukan analisis yang cerdas untuk tingkat daerah, dampak korupsi terhadap sifat perekonomiannya (Fisman 2001, Golden dan Picci 2003, Di Tella dan Schargrodsky 2003, Olken 2007), pentingnya hubungan negara dengan 5

sektor swasta (Cali 2009), juga peramalan korupsi (Malesky dan Samphantharak 2008). Studi-studi yang dilakukan pada tingkat daerah sangat bermanfaat mengingat aspek kerangka politik dan legal, dan pada tingkat tertentu, juga aspek-aspek budaya dan bahasa, merupakan aspek-aspek yang dapat dikatakan sama dalam batas-batas suatu negara, tidak demikian halnya dengan aspek-aspek pada lintas negara di dunia (sekalipun kita juga mengakui bahwa beberapa negara memiliki beragam etnis, budaya dan bahasa pada daerah-daerah perbatasan negara mereka). Lebih jauh, analisa semacam ini pada tingkat daerah semakin bertambah relevan dalam perumusan kebijakan, dimana banyak negara beranjak kepada desentralisasi yang lebih luas dalam bidang politik, fiskal, dan administrasi. Pemerintah pusat dan lembaga-lembaga donor seringkali mempunyai tujuan eksplisit meningkatkan tata kelola pemerintahan pada tingkat daerah dengan berpijak bahwa hal ini akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi daerah. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa hubungan sebab akibat bergerak dari tata kelola pemerintahan ke pertumbuhan. Jika dalam kenyataannya, hubungan tersebut bergerak dalam arah sebaliknya, maka upaya-upaya untuk memperbaiki kelembagaan-kelembagaan daerah akan mempunyai dampak yang kecil terhadap kinerja perekonomian. Oleh karena itu, memperoleh sebuah pijakan pemahaman empiris yang lebih baik tentang hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah akan mempunyai implikasi kebijakan yang signifikan. Makalah ini menguji hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara yang menarik untuk dipelajari karena negara ini menjalankan sebuah proses besar desentralisasi pada 2001, dan pengendalian administrasi, fiskal, dan politik terhadap berbagai kebijakan telah menghasilkan pemerintahan sebanyak (kini) 6

33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten/kota. Tiga puluh enam persen pengeluaran pemerintah sekarang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi dan kabupaten/kota), dengan peningkatan yang sangat besar pada anggaran pemerintah kabupaten/kota selama beberapa tahun terakhir (World Bank, 2007). Setiap provinsi dan kabupaten/kota sekarang memiliki parlemen daerahnya masing-masing (DPRD) dengan wakil-wakilnya yang dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga dengan pemilihan langsung para kepala daerah. Pemerintah provinsi mengkoordinasikan dan melaksanakan fungsi-fungsi strategis yang berdampak kepada lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap sebagian besar pemberian pelayanan, pembangunan prasarana jalan di daerah dan penyiapan peraturan perekonomian di daerah. Namun demikian, kinerja perekonomian kabupaten/kota di Indonesia pasca desentralisai pada tahun 2001 sangat bervariasi. Beberapa kabupaten/lota terlihat memiliki kemajuan ekonomi yang mantap, investasi yang kuat serta penciptaan lapangan kerja. Tetapi banyak lainnya yang kemajuannya tertinggal, gagal menikmati pertumbuhan ekonomi yang tercipta secara menyeluruh. Lebih jauh, terdapat bukti bahwa beberapa kebijakan yang dibuat oleh pihak berwenang di daerah memiliki sangkut paut dengan kualitas iklim investasi di daerah (Lewis 2003). Pepinsky dan Wihardja (2009) juga menyatakan bahwa kinerja ekonomi yang berbeda lintas kabupaten/kota digerakkan oleh keragaman dalam aspek kekayaan alam, tidak bergeraknya faktor, dan kualitas dari kelembagaan. Pentingnya kualitas kelembagaan pada tingkat kabupaten/kota juga ditekankan oleh Pemerintah Pusat Indonesia, juga oleh komunitas lembaga donor. Namun, hingga sekarang, mengukur apakah hal ini benar dan, jika benar, betapa pentingnya tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian daerah, merupakan hal yang tidak mungkin karena kurangnya data yang memadai pada tingkat daerah.

7

Pada 2008, the Asia Foundation, bersama dengan sebuah Lembaga nasional non pemerintah di Indonesia, yaitu KPPOD, telah meluncurkan seperangkat data baru yang mengukur kualitas tata kelola pemerintahan daerah pada 243 kabupaten/kota di seluruh negeri.1 Data ini berdasarkan pada data yang mewakili secara statistik, random sampel yang diambil lebih dari 12,000 perusahaan dan 729 asosiasi bisnis yang ada pada seluruh kabupaten/kota dimaksud. Kami menggunakan data ini untuk mengetes secara empiris hipotesa bahwa tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik di Indonesia secara positif berkorelasi dengan kinerja perekonomian di daerah. Dalam melaksanakan studi tersebut, kami menghadapi beberapa tantangan. Pertama, data yang memiliki arti pada kinerja ekonomi pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia hanya tersedia untuk jangka waktu yang relatif singkat, dan survey untuk mengukur kuatlitas tata kelola pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota sejauh ini tersedia hanya satu tahun, 2007.2

Kedua,

membangun hubungan sebab akibat pada konteks Indonesia akan sulit disebabkan alasan-alasan yang sama yang mengganggu upaya membangun hubungan sebab akibat seperti pada literatur lintas negara: ukuran-ukuran yang kita gunakan untuk penata kelolaan, lebih belakangan dari pada jangka waktu data kinerja ekonomi yang kita miliki; dan instrumen-instrumen lainnya yang masuk akal yang hanya mempengaruhi kualitas penata kelolaan daerah tetapi bukan kinerja perekonomian selain melalui cara ini, sulit ditemukan. Sekalipun demikian, kami percaya bahwa data yang kami miliki telah memungkinkan kami untuk menuliskan sebuah cerita yang masuk akal dan1

Perangkat data ini adalah salah satu dari seri data yang digunakan untuk mengukur penata kelolaan ekonomi di Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, Kamboja dan Filipina, yang didukung oleh the Asia Foundation. Lihat VCCI-VNCI VCCI VNCI (2007). The Vietnam Provincial Competitiveness Index 2007; Measuring Economic Governance for Private Sector Development. Hanoim USAID studi di Vietnam. Informasi lebih detail dapat ditemukan di www.asiafoundation.org. Sebuah panel pendek terkait dengan survai ini telah ada untuk tingkat kabupaten di satu provinsi Aceh. Suatu survai yang sekarang sedang dilaksanakan akan memberikan data panel pada beberapa provinsi lainnya.

2

8

berdasarkan kepada bukti-bukti empiris mengenai hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan yang secara potensial memiliki implikasi kebijakan yang penting. Makalah kami dimulai sebagai berikut. Bagian berikut memberikan tinjauan secara singkat tentang literatur topik ini. Kemudian kami jelaskan data yang kami gunakan, baik untuk mengukur kinerja perekonomian daerah maupun kualitas tata kelola ekonomi daerah. Bagian berikutnya menjelaskan korelasi sederhana antara ukuran pertumbuhan dengan berbagai ukuran tata kelola. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan regresi pertumbuhan Barro style yang sederhana (Barro 1991) yang mencakup beberapa aspek berbeda dari penatakelolaaan sebagai variabel-variabel yang mampu menjelaskan. Kami juga menguji kebenaran hasil tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran tata kelola dari survei yang berbeda; dan memeriksa kemungkinan adanya bias-bias yang disebabkan adanya harapan-harapan dari para responden. Kami berusaha memusatkan permasalahan kebalikan dari hubungan sebab akibat, baik dengan cara membuat sebuah instrumen tata kelola pemerintahan, maupun dengan cara memanfaatkan fakta bahwa kami memiliki data perusahaan maupun data tingkat daerah. Selain itu, kami meneliti apakah ada hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan jangka panjang yang menggunakan tingkat PDB per kapita sebagai pendekatan yang mewakili pertumbuhan jangka panjang. Hasil akhir kami, membalikkan pertanyaan kami kembali dan bertanya tentang faktor-faktor struktural apa yang menentukan dari kualitas tata kelola. Seksi terakhir berisi ringkasan dari hasil studi kami serta garis besar implikasi hasil tersebut terhadap kebijakan.

Tinjauan LiteraturAvinash Dixit (2001) telah mendefinisikan konsep tata kelola ekonomi sebagai berikut:

9

Tata kelola ekonomi terdiri atas proses-proses yang mendukung aktivitas ekonomi dan transaksi ekonomi dengan cara melindungi hak-hak kepemilikan, menegakkan kontrak, dan mengambil langkah bersama dalam menyiapkan infrastruktur fisik dan organisasi yang sesuai. Proses-proses tersebut dilaksanakan pada kelembagaankelembagaan formal dan informal. Bidang tata kelola ekonomi mempelajari dan membandingkan kinerja berbagai kelembagaan yang berbeda pada berbagai kondisi yang berbeda, evolusi kelembagaan-kelembagaan tersebut, dan transisi dari satu set kelembagaan ke set kelembagaan yang lain.

Definisi yang dibuat oleh Dixit tersebut mencakup suatu spektrum yang luas yang ekstrim dari interaksi-interaksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah. Para cendekiawan bidang ilmu politik dan ekonomi telah meneliti interaksi-interaksi tersebut dari berbagai perspektif yang bervariasi. Beberapa proyek penelitian mengasumsikan adanya korelasi yang tinggi di antara berbagai bentuk tata kelola pemerintahan dan oleh karena itu mendefinisikan konsep tersebut secara luas sehingga seluruh interaksi tersebut tercakup di bawah satu judul tunggal (Acemoglu, Johnson, dan Robinson (2001), Knack dan Keefer (1995)). Ilmuwan-ilmuwan lainnya telah menyempitkan definisi tersebut, dengan

memisahkan tata kelola menjadi beberapa konsep yang berbeda, seperti korupsi (Wei 2000), transparansi (Kaufman dkk 2003), peraturan (Djankov 2002), dan pengadaan barang-barang pemerintah (Kaufman dkk 2003), yang masingmasingnya masih mengandung beberapa jenis kebijakan dan macam interaksi yang berbeda. Ilmuwan lainnya telah mengambil perspektif mikro yang mana kebijakan-kebijakan yang bersifat individu seperti prosedur pendaftaran usaha telah diisolasi dan diteliti secara terpisah dari jenis-jenis tata kelola pemerintahan lainnya yang ada di masyarakat. Meskipun berbagai pendekatan riset dan perspektif memasukkan faktor-faktor tata kelola, hingga baru-baru ini literatur pun telah mencapai konsensus yang luas kualitas dari tata kelola ekonomi merupakan faktor yang paling kritis dalam menentukan hasil-hasil secara ekonomi (Reynolds 1983).

10

Sejak North (1981), sebuah literatur secara ekstensif telah menekankan adanya dua tipe berbeda dari kelembagaan-kelembagaan yang merupakan pusat untuk pertumbuhan: kelembagaan di bidang perkontrakan dan kelembagaan di bidang hak-hak kepemilikan. North mendefinisikan hal ini selayaknya, sebagai kelembagaan-kelembagaan yang: a) menyediakan kerangka legal untuk memfasilitasi kontrak-kontrak swasta yang memfasilitasi transaksi-transaksi ekonomi; b) melindungi setiap individu dari pengambil-alihan hak kepemilikan oleh negara. Dengan kata lain, kelembagaan-kelembagaan di bidang perkontrakan melindungi wirausahawan yang satu terhadap yang lain, sedangkan kelembagaan-kelembagaan di bidang hak kepemilikan swasta melindungi mereka dari pemerintah. Coase (1937) dan Williamson (1975, 1985) telah menulis hal-hal yang dapat dikembangkan lebih lanjut mengenai pentingnya penegakan kontrak bagi pengembangan ekonomi. Hal ini kemudian telah diuji secara lebih luas dengan mengoperasikan kelembagaan-kelembagaan di bidang perkontrakan sebagai biaya dari penegakan kontrak dan keseluruhan tingkat kepercayaan penduduk pada kelembagaan-kelembagaan yang legal (Grossman dan Hart 1986, Hart dan Moore 1990, Hart 1995). North dan Weingast (1989) dan Grief (2006) telah menuliskan mengenai kejadian-kejadian utama di bidang ekonomi yang menghubungkan pengembangan antara kelembagaan di bidang perkontrakan tersebut dengan kisah-kisah sukses, yang terdokumentasi dengan baik, tentang pembangunan Inggris di masa revolusi industri, dengan para pedagang Magrahbi, dan dengan negara-negara kota dari Italia. Dengan menggunakan bermacam kelembagaan yang ada di provinsi-provinsi di Mexico, Laeven dan Woodruff (2007) menemukan sebuah hubungan penting di antara kelembagaan-kelembagaan di bidang perkontrakan yang lebih baik dengan tingkat-tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi pada ukuran yang pasti. Akhirnya, pada sebuah makalah yang dekat hubungannya dengan kegiatan studi kami, Ardagna dan Lusardi (2008) memperlihatkan bahwa kelembagaan11

kelembagaan penegakan kontrak yang lebih baik akan meningkatkan proporsi wirausahawan yang mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai memiliki orientasi pada pertumbuhan. Penulis-penulis lainnya telah menyelidiki pentingnya hak-hak kepemilikan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Jones 1981, De Long dan Shleifer 1993, Olson 2000). Pada literatur ekonomi dan politik, Weingast (1992, 1993) terkenal dalam menekankan pentingnya disain dari kelembagaan-kelembagaan politik, sehingga penduduk dapat merasa bahwa mereka memiliki komitmen yang dapat dipercaya bahwa kekayaan milik mereka tidak akan diambil alih oleh petugas negara. Teori komitmen yang dapat dipercaya muncul dari sebuah konsep yang dikenal sebagai kebijakan inkonsisten terhadap waktu pada ekonomi politik yang positif.

Kebijakan-kebijakan inkonsisten terhadap waktu adalah kebijakan-kebijakan di mana pembuat kebijakan tersebut memiliki dorongan untuk mengingkari kebijakan yang telah mereka terbitkan setelah para pelaku ekonomi (investor dalam negeri dan asing) telah menyesuaikan sikap untuk mengikuti kebijakan tersebut. Para wirausahawan ini akan menolak untuk dikelabui lagi dan sebagai akibatnya mereka tidak akan merespon lagi terhadap penerbitan kebijakan, serta mereka akan mengambil langkah yang didasarkan kepada suatu prediksi bahwa para politisi nantinya akan menyimpang dari pilihan-pilihan kebijakan di masa yang akan datang.

Pertumbuhan yang kurang optimal akan tidak terhindarkan sebagai akibat dari hal tersebut, oleh karena itu para pembuat teori telah menyusun hipotesa bahwa diperlukan suatu komitmen yang dapat dipercaya terhadap reformasi kebijakan, hal ini untuk mengikat para penentu kebijakan agar mau mereformasi diri.

12

Komitmen tersebut perlu memastikan bahwa biaya-biaya penyimpangan terhadap kebijakan yang telah diterbitkan tidak boleh tinggi.

Singkatnya, untuk mencapai reformasi ekonomi para pembuat kebijakan harus mengikatkan diri mereka sendiri kepada perangkat peraturan, yang akan membatasi kewenangan berkelebihan untuk intervensi perekonomian. 3 Dalam rangka menjaga argumen tersebut, De Soto (1989, 2000) memperlihatkan bahwa usaha-usaha informal cenderung menjadi informal hanya karena mereka haus terhadap sumber-sumber daya bisnis yang sangat diperlukan khususnya sumber-sumber daya yang terkait dengan hak-hak kepemilikan dan kredit. Secara khusus ia memprediksikan bahwa, melalui pengadaan sertifikat tanah, para wirausahawan di sektor informal dapat ditransformasikan ke dalam sumber pertumbuhan ekonomi baru yang penting di dunia yang berkembang ini. Seperangkat kelembagaan tata kelola pemerintahan yang lebih lanjut, yang muncul pada tahun-tahun belakangan ini adalah jaringan regulasi yang berdampak kepada kewirausahaan. Djankov dkk (2002) telah mengidentifikai korelasi yang kuat antara biaya dan waktu yang diperlukan untuk memulai sebuah bisnis dengan besaran perekonomian informal. Studi-studi pada tingkat mikro berikutnya telah menunjukkan bahwa pendaftaran perusahaanperusahaan baru dan bidang-bidang usaha baru ternyata lebih tinggi ketika3

Elster, Jon. 1993. Bargaining over the Presidency. East European Constitutional Review, Fall/ Winter; Elster, Jon. 1997. Afterward: The Making of Postcommunist Presidencies In Post Communist Presedents, edited by Raymond Taras. Cambridge: Cambridge University Press; Elster, Jon. 1998. Deliberation and Constitution Making. In Deliberative Democracy, edited by Jon Elster. New York: Cambridge University Press; Elster, Jon, Claus Offe, and Ulrich K. Preuss. 2000. Institutional Design in Post-communist Societies: Rebuilding the Ship at Sea. Cambridge: Cambridge University Press. Weingast, Barry R. 1992. The Economic Role of Political Institutions. Institute for Policy Reform Working Paper 46. Weingast, Barry R. 1993a Constitutions as Governance Structures: The Political Foundations of Secure Markets. Journal of Institutional and Theoretical Economics, 149.1. Weingast, Barry R. 1993b. Constitutions as Commitment Devices. Journal of Institutional and Theoretical Economics, 149.1.

13

kendala-kendala regulasi untuk memasuki bisnis dan regulasi umum lainnya lebih rendah (Desau dkk 2003; Klapper dkk 2007; Demirguc-Kunt dkk 2006). Hal ini khususnya berlaku pada industri yang memiliki kendala-kendala yang lebih tinggi di luar regulasi untuk masuk sebagai contoh, peralatan yang lebih mahal atau input-input lain yang diperlukan (Fisman dan Sarria-Allende 2004) dan di mana teknologi atau pergeseran permintaan global telah terjadi (Ciccone dan Papaioannou 2007). Ardagna dan Lusardi (2008) juga menemukan bahwa biaya masuk yang lebih tinggi menurunkan jumlah wirausahawan yang memiliki orientasi terhadap pertumbuhan. Karena regulasi-regulasi ini ditentukan oleh pejabat yang berwenang, dan seringkali disalahgunakan untuk mengambil keuntungan, para ilmuwan cenderung memperlakukan hal tersebut sebagai bagian dari kelembagaan-kelembagaan di bidang hak-hak kepemilikan atau tangan yang mencengkeram dari pihak negara. Sayangnya, studi yang paling empiris telah gagal untuk menguraikan cakupan luas dari faktor-faktor lingkungan bisnis yang sangat terkait. Faktor-faktor yang kompleks ini tidak hanya terdiri atas kelembagaan-kelembagaan utama seperti hak-hak kepemilikan, biaya transaksi, dan regulasi yang semuanya merupakan fokus dari studi kami, tetapi juga sifat-sifat sosial ekonomi seperti tingkat pendapatan, pengembangan di bidang keuangan, dan budaya kewirausahaan. Sebagai akibat dari kesulitan tersebut, studi yang paling berpengaruh terhadap interaksi antara kelembagaan-kelembagaan dengan aktivitas ekonomi adalah eksperimen-eksperimen alamiah yang menggunakan kejutan-kejutan yang bersifat eksternal terhadap kelembagaan-kelembagaan. Salah satua contoh adalah arus bukti yang muncul yang mendukung hipotesa De Soto dalam logikamikro yaitu bagaimana hak-hak kepemilikan mempengaruhi perilaku pada tingkat individu. Dengan mengambil keuntungan dari adanya variasi di dalam distribusi hak atas tanah di Argentina, Galiani dan Scargrodsky (2006) memperlihatkan bagaimana perbaikan mendadak di dalam hak-hak kepemilikan telah mengarahkan keluarga-keluarga untuk melakukan investasi lebih banyak di dalam perbaikan rumah serta di dalam meningkatkan ekonomi pribadi mereka, 14

seperti

berinvestasi

untuk

pendidikan

anak-anak

mereka.

Pendekatan-

pendekatan dengan melakukan percobaan alamiah serupa telah diterapkan dan hasilnya memperlihatkan bahwa satu kali lipat peningkatan di dalam hak-hak kepemilikan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap kekuatan dan kejujuran pasar (Di Tella dkk 2007) dan secara substansial meningkatkan jumlah jam yang didedikasikan untuk pekerjaan yang bersifat produktif (Field 2007). Banerjee dan Iyer (2005) menemukan bahwa efek tersebut di atas bertahan dari generasi ke generasi, berdasarkan perbedaan-perbedaan dalam hak-hak kepemilikan yang bersifat kedaerahan di dalam rejim kolonial India. Studi mikro ekonomi yang baru-baru ini dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh aspek-aspek lingkungan regulasi terhadap kinerja daerah mencakup dua makalah yang saling berkaitan,Kaplan dkk (2007) dan Bruhn (2008), keduanya mempertimbangkan akibat dari adanya perubahan di dalam biaya untuk memulai investasi. Keduanya mengambil keuntungan dari program reformasi di Meksiko yang, dimulai pada tahun 2002, mempermudah secara bertahap peraturan-peraturan untuk memasuki bisnis pada tingkat daerah. Sementara pentahapan implementasi pada daerah-daerah tertentu tidak sepenuhnya dilakukan secara acak, para pemakalah tersebut membuktikan secara meyakinkan bahwa program tersebut menawarkan peluang yang unik, yaitu memisahkan antara efek dari kendala-kendala khusus untuk memasuki bisnis dengan faktor-faktor kelembagaan yang mempengaruhi operasi-operasi usaha terkait. Namun, bukti yang muncul dari kedua studi tersebut rancu. Para penulis menggunakan sumber-sumber data yang berbeda, mencakup kota-kota dan jangka waktu yang berbeda, dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan. Kaplan dkk (2007) menggunakan data registrasi dari the Mexican Social Security Institute yang mencakup lebih banyak daerah dan jangka waktu yang lebih panjang dan mengidentifikasi peningkatan yang hanya bersifat sementara dalam registrasi perusahaan-perusahaan baru, yang menurut mereka 15

terbaik diartikan sebagai pergerakan satu kali perpindahan perusahaanperusahaan dari ekonomi informal ke ekonomi formal. Bruhn (2008), pada gilirannya menggunakan data survei rumah tangga yang mencakup sejumlah kota yang lebih homogen yang memperlihatkan bahwa para pemilik usaha informal nampaknya tidak ingin merubah usaha mereka ke usaha formal setelah diterapkannya reformasi. Namun, makalah ini tidak memusatkan kepada mengapa penambahan di dalam registrasi perusahaan baru hanya bersifat sementara. Temuan Bruhns, pada khususnya, dan kerancuan temuan di dalam kedua makalah pada umumnya, konsisten dengan pendapat bahwa biaya-biaya langsung untuk memformalkan usaha hanyalah merupakan satu dari persoalan kelembagaan di bidang hak-hak kepemilikan yang dipertimbangkan oleh seorang wirausahawan ketika memutuskan apakah akan membuat usahanya menjadi usaha formal atau tidak. Barangkali upaya yang paling menyeluruh saat ini dalam menjawab tantangan dalam menguraikan secara empiris tentang betapa jenis-jenis kelembagaan yang berbeda akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi melalui berbagai cara yang berbeda, adalah makalah Acemoglu dan Johnson (2005), Para penulis menyimpulkan bahwa kelembagaan dalam bidang hak-hak kepemilikan mempunyai efek yang signifikan terhadap pertumbuhan tingkat nasional pada jangka panjang, sedangkan kelembagaan dalam bidang perkontrakan tidak demikian. Penjelasan mereka adalah bahwa akan lebih memungkinkan dan lebih efisien bagi pihak swasta untuk saling bernegosiasi satu sama lain dalam rangka mencapai cara terbaik kedua untuk melakukan transaksi mereka, yaitu transaksi yang berbasiskan reputasi, daripada mencari solusi secara individu dalam menghadapi pejabat-pejabat pemerintahan. Hal ini konsisten dengan penelitian di negara-negara berkembang (McMillan dan Woodruff 1999; Banerjee dan Duflo 2000; McMillan dan Woodruff 2002). Arus literatur yang lebih jauh tidak melihat kepada bagaimana kelembagaan telah mempengaruhi pertumbuhan, tetapi bagaimana desentralisasi telah 16

mempengaruhi

kinerja

perekonomian.

Pepinsky

dan

Wihardja

(2009)

mengungkapkan sebuah teka-teki yang menarik mengenai desentralisasi di Indonesia. Dengan menggunakan aplikasi cerdas dari pendekatan kasus sintetik Abadie, mereka memperkirakan bahwa kebijakan desentralisasi tidak memainkan peran di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejak kebijakan tersebut diimplementasikan pada tahun 2000. Suatu negara yang memiliki ukuran, komposisi sosial ekonomi, dan budaya yang sama dengan Indonesia tetapi tanpa melakukan desentralisasi, akan berkembang sama cepat setelah terjadinya Krisis Finansial Asia pada tahun 1997. Di antara berbagai penjelasan yang mereka susun untuk menggambarkan temuan tersebut adalah apa yang mereka istilahkan sebagai patologi ketiga dari pembangunan ekonomi Indonesia kualitas kelembagaan yang bertumbuh dari dalam sendiri (endogenous). Singkatnya, desentralisasi mempunyai efek berbeda di Indonesia pada tingkat kabupaten, yang merupakan tingkatan pertama dan yang dianggap merupakan asal kekuatan-kekuatan baru, pada Reformasi Konstitusi di tahun 2001. Kabupaten-kabupten yang memiliki kondisi yang menguntungkan untuk pengembangan ekonomi, seperti jumlah penduduk yang tinggi dan kepedulian politik yang tinggi, lebih mampu mengembangkan kelembagaan-kelembagaan tata kelola pemerintahan yang mendorong pertumbuhan pada era pasca desentralisasi. Kabupaten-kabupaten yang memiliki kondisi struktural yang buruk untuk mencapai pertumbuhan, dan menunjukkan tanda-tanda awal bahwa akuntabilitas kelembagaan daerah dikendalikan oleh elit-elit di daerah, yang memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi ketimbang mendorong kesejahteraan umum yang memperkuat pertumbuhan. (Pepinsky dan Wijardja, 2009). Singkatnya, pada kelompok yang kedua ini desentralisasi telah menciptakan kelompok raja kecil yang tidak bertanggung jawab terhadap rakyatnya (Hofman dan Kaiser 2006) dan tanpa kehadiran pemerintah pusat yang kuat yang mengendalikan dorongan-dorongan mereka untuk melakukan pengambilalihan (Pepinsky 2008). Mengingat beberapa daerah tumbuh lebih cepat setelah 17

desentralisasi sedangkan yang lain banyak mengalami perekonomian yang memburuk, serta mobilitas faktor antar daerah kecil, maka hasil akhir dari proses desentralisasi di Indonesia secara keseluruhan tidak ada/hilang. Disebabkan kurangnya ketersediaan data untuk mengukur tata kelola

pemerintahan dan PDB pada tingkat daerah, Pepinsky dan Wijardja tidak mampu menguji teori mereka secara sistematis tentang seleksi kelembagaan yang bertumbuh dari dalam (endogenous), mereka hanya bergantung kepada pembahasan yang bersifat kualitatif pada lima daerah tempat di mana mereka mencoba membangun hubungan antar kondisi struktural, seperti modal SDM dan kepedulian awal di bidang politik, serta derajat cengkeraman para elit daerah paska desentralisasi. Di dalam makalah ini, kami mengambil manfaat dari data set yang baru dari tata kelola ekonomi yang disediakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), untuk menguji apakah kondisi struktural ada hubungannya dengan kualitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik; dan, yang kedua, apakah tata kelola ekonomi pada tingkat kabupaten/kota sebenarnya terkait dengan pertumbuhan ekonomi.

DataData kami berasal dari dua sumber utama: data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS); dan data the Asia Foundation/KPPOD mengenai kualitas tata keloa ekonomi seperti disebutkan di atas. Pengukuran utama kami terhadap kinerja perekonomian adalah PDB pada tingkat daerah (baik termasuk maupun tidak termasuk minyak dan gas). Untuk menghitung pertumbuhan per kapita, kami telah menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan data kependudukan dari BPS.4

4

Pada kenyataannya ada tiga sumber data Kependudukan: interpolasi dari Sensus Kependudukan; Data Susenas; serta ukuran-ukuran Kependudukan yang digunakan oleh Kementerian Keuangan untuk menghitung pengiriman-pengiriman fiskal. Kami menggunakan data dari sumber yang pertama karena merupakan angka-angka resmi yang dipublikasikan oleh BPS.

18

Penting untuk diketahui bahwa terdapat beberapa kelemahan signifikan di dalam data PDRB yang diterbitkan BPS untuk tingkat daerah. Indonesia memiliki sekitar 500 daerah dan oleh karena itu perhitungan perkiraan yang tepat dari PDB pada daerah yang menyebar seperti ini merupakan tantangan logistik yang amat besar. Walaupun semua daerah diperkirakan akan mengikuti prosedur-prosedur yang sama, namun tidak terhindarkan adanya variasi di dalam kapasitas kantorkantor statistik di daerah di seluruh negeri. Lebih jauh, beberapa komponen PDB dapat terukur lebih baik dari pada komponen-komponen yang lain disebabkan karena tingkat ketelitian sumber-sumber datanya. Contohnya, hasil pengukuran PDB hortikultura mungkin akan lebih teliti karena hal tersebut didasarkan kepada perkiraan luas areal tanam dan panen dilakukan tiga kali per tahun oleh Kementerian Pertanian.5 Hal yang sama, output dari industri manufaktur dengan lebih dari 100 karyawan diukur setiap tahun melalui Survei Industri, dan untuk perlistrikan, gas, dan air minum dari instansi-instansi publik yang terkait. Di sisi lain, estimasi untuk semua sektor konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, transport dan jasa nampaknya mengalami kesalahan pengukuran yang sangat besar. Sementara kesalahan pengukuran dalam variabel dependen yang kami gunakan tidak boleh menyebabkan bias terhadap hasil studi kami, dengan adanya kondisi data seperti tersebut maka akan menjadi lebih sulit untuk melihat dengan tajam, faktor-faktor penentu apa yang penting secara statistik dalam pertumbuhan daerah. Oleh karena itu kami mengecek hasil studi kami untuk memastikan kekuatan studi tersebut dengan menggunakan dua alternatif pengukuran dari kinerja perekonomian pada tingkat daerah: pertama kami menggunakan komponen PDB yang sudah terukur paling akurat output manufaktur 6; kedua,5

Walaupun (lihat Rosner dan McCulloch, 2008) terdapat kritik terhadap metoda perhitungan yang digunakan.6

Kami juga berusaha untuk menggunakan data dana siaga (outstanding loans) tingkat daerah dari Bank Indonesia tetapi menjumpai bahwa data ini tidak ada korelasinya dengan data pertumbuhan PDB.

19

kami menggunakan data dari survei rumah tangga yang dilakukan secara nasional setiap tahun untuk menghitung pengeluaran konsumsi rata-rata per kapita pada tingkat daerah. Untuk memperhitungkan fakta bahwa harga-harga tidak sama di seluruh negeri, kami menurunkan konsumsi per kapita di setiap daerah melalui indeks harga konsumen pada kota yang terdekat yang datanya tersedia.7 Untuk variabel-variabel yang menjelaskan (explanatory), kami mengambil data yang dikumpulkan dari sejumlah survei lain yang telah dilakukan oleh BPS. Sebagai contoh, BPS menyelenggarakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) setiap tahun, yang menghasilkan indikator-indikator sosial ekonomi pada tingkat daerah. Settiap tiga tahun, BPS juga menyelenggarakan Sensus Potensi Desa (PODES). Sensus ini mencakup seluruh desa di Indonesia, mengumpulkan data infrastruktur dasar dan kondisi sosial ekonomi. Kami juga telah mengambil data anggaran dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD Kementerian Keuangan), data investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), data pemilih dari Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan the Asia Foundation. Salah satu tantangan utama dalam membangun basis data adalah dalam kaitannya dengan pemekaran daerah. Antusiasme dalam menyikapi desentralisasi pada tingkat daerah (disertai dengan insentif fiskal yang kuat) telah menghasilkan pemekaran berbagai daerah untuk membentuk daerahdaerah baru yang lebih kecil. Pada tahun-tahun periode observasi studi, jumlah pemerintahan daerah di Indonesia tumbuh lebih dari 50 persen. Pada 1999, BPS mencatat 299 kabupaten/ kota di Indonesia. Dalam dua tahun jumlah ini telah meningkat dengan cepat hingga jumlah pemerintah kabupaten/kota yang menerima dana alokasi umum (DAU) dari Pemerintah Pusat pada tahun 2001 mencapai 336.8

7

BPS menerbitkan data indeks harga konsumen untuk 43 kota di seluruh negeri.

20

Pada tahun 2005, Indonesia memiliki 32 provinsi dan 434 kabupaten/kota yang menerima DAU.9 Untuk menghindari perubahan yang mendadak dalam angka pertumbuhan per kapita yang diakibatkan dari adanya pemekaran wilayah, maka kami tidak menggunakan data paska desentralisasi, melainkan data sebelum desentralisasi sehingga data yang tersedia tetap untuk jumlah yang sama dari seluruh kabupaten/kota yaitu sebanyak 292. Kepentingan utama kami adalah mengidentifikasi dampak dari tata kelola perekonomian daerah terhadap kinerja ekonomi. Untuk itu, kami menggunakan data dari Survey Tata Kelola Ekonomi Daerah (Local Economic Governance Survey LEGS) yang dilakukan oleh Asia Foundation dan KPPOD pada tahun 2007. Sampling acak dilakukan terhadap kurang lebih 50 perusahaan dari setiap daerah tingkat (Dati) II yang berjumlah total 243 Kabupaten/Kota pada 15 Propinsi dari total 33 Propinsi di Indonesia, dengan jumlah total sampel sebanyak 12.187 perusahaan.

8

Jumlah kabupaten/kota tidak konsisten antara berbagai sumber data. Sebagai contoh, survei Susenas dan Podes yang dilakukan oleh BPS tidak selalu memiliki jumlah kabupaten/kota yang sama walaupun survei-survei tersebut dilaksanakan pada tahun yang sama. Hal ini disebabkan perbedaan di dalam kerangka sampling yang digunakan pada waktu-waktu yang berbeda pada tahun tersebut. Selain itu secara de jure dan de facto status dari suatu daerah yang baru dicatat secara berbedaoleh lembaga yang berbeda. Agar konsisten, kami telah menggunakan definisi dari Kementerian Keuangan suatu daerah otonom provinsi/kabupaten/kota adalah daerah yang menerima DAU pada awal tahun anggaran.9

Sejak 2001, jumlah kabupaten/kota di Indonesia (tidak termauk enam pemerintahan tingkat kota yang non-otonom di Jakarta) adalah: 2001 = 336, 2002 = 348, 2003 = 370, 2004 = 410, 2005 07 = 434, 2008 = 459.

21

Di setiap Kabupaten/Kota, survei tersebut disusun menurut ukuran perusahaan (10-19 pegawai; 20-29; 100+)10 serta sesuai dengan tiga sektor agregat produksi, perdagangan dan jasa11. Survei ini dianggap cukup representatif atas semua perusahaan swasta nonprimer dengan 10 atau lebih pegawai.12 Setiap perusahaan yang terpilih ditanyakan berbagai pertanyaan terkait dengan sembilan aspek tata kelola daerah: akses terhadap tanah dan jaminan masa penggunaan lahan; kemudahan masuk pasar dan perijinan usaha; interaksi antara sektor usaha dengan pemerintah daerah; program pengembangan usaha; kapasitas dan integritas Walikota/Bupati; pajak dan pungutan lokal serta biaya-biaya transaksional lainnya; infrastruktur daerah; serta masalah keamanan dan resolusi konflik. Tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas yang diperoleh dari 50 perusahaan di setiap Kabupaten/Kota tersebut digunakan untuk menyusun sub-index yang mencerminkan kualitas tata kelola di setiap daerah. Sebagai contoh, sub-indeks Tanah disusun dari tanggapan terhadap pertanyaan mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh sertifikat tanah, kemudahan akses terhadap tanah, frekuensi dilakukannya penggusuran tanah dan terjadinya konflik akibat tanah, serta persepsi keseluruhan mengenai keberadaan masalah tanah di Kabupaten/Kota tersebut.13 Dalam analisa, kami10

Kerangka dari sampel ini adalah daftar perusahaan yang diperoleh dari Sensus Ekonomi 2006, dengan sedikit pengurangan. Sampel ini kurang lebih bersifat proporsional terhadap ukuran jika disesuaikan dengan probabilitas, dimana kriteria ukuran adalah jumlah perusahaan dalam populasi di setiap ukuran perusahaan yang diurutkan di tiap sektor. Sejumlah minimum 5% dari perusahaan yang menjadi sampel berukuran besar, dan sejumlah minimum 45% dari perusahaan berukuran menengah untuk menjaga keterwakilan dari kelas ukuran yang lebih besar lihat KPPOD (2008). Local Economic Governance in Indonesia. Jakarta, Regional Autonomy Watch & The Asia Foundation. untuk detail lebih lanjut dari metodologi sampling. 11 Produksi mencakup klasifikasi KLU BPS untuk pertambangan, manufaktur, listrik gas dan air, serta konstruksi; Perdagangan mencakup klasifikasi KLU untuk perdagangan; Jasa mencakup semua klasifikasi KLU yang lain lihat KPPOD (2008). 12 Perusahaan yang memiliki aktivitas utama di bidang pertanian, kehutanan atau perikanan dikeluarkan karena jika dimasukkan maka akan menyebabkan kerangka sampling terlalu besar, dan juga karena sifat dari isu Penatakelolaan yang dihadapi oleh sektor-sektor primer tersebut akan sedikit berbeda dari hal yang dihadapi di sektor lainnya. Perusahaan milik negara juga tidak dimasukkan karena diperkirakan pandangan mereka akan Penatakelolaan daerah akan sangat berbeda dengan pandangan pihak swasta; demikian juga halnya dengan institusi pendidikan publik, jasa kesehatan serta institusi pemerintah lainnya. 13 Lihat KPPOD (2008) untuk mengetahui lebih lanjut mengenai deskripsi detil dari konstruksi tiap sub-indeks.

22

juga mengagregasi semua sub-indeks tersebut menjadi sebuah Indeks Tata kelola Ekonomi (Economic Governance Index - EGI) untuk Kabupaten dimaksud.14 Salah satu keuntungan penggunaan pengukuran tata kelola ekonomi daerah seperti ini adalah bahwa pengukuran ini mengukur hal-hal yang berada di bawah kontrol pemerintah daerah. Seringkali survei mengenai iklim investasi tingkat sub-nasional bertujuan untuk melihat daya tarik lokasi investasi (seperti GTZ 2008) dan karenanya memasukkan variabel yang terkait dengan sumber daya yang dimiliki suatu daerah, seperti sumber daya alam dan kedekatannya dengan pasar besar. Namun, hal tersebut bukan seuatu yang dapat dipengaruhi oleh pemerintah daerah dan oleh karenanya bukan merupakan ukuran yang baik bagi tata kelola ekonomi daerah. Di sisi lain, LEGS terfokus untuk mencoba mengukur kualitas tata kelola dan bukan sumber daya. Data yang dikumpulkan mencakup data numerik dan data persepsi. Terdapat cukup banyak literatur mengenai potensi bias yang dapat terjadi dari penggunaan data persepsi (lihat Kahneman and Krueger (2006) untuk pembahasan hal ini). Namun demikian, kami percaya bahwa kedua jenis data tersebut dapat berguna. Dalam hal ini, data persepsi amat berharga dalam memberikan penilaian terhadap isu-isu yang mana sulit untuk menemukan ketersediaan ukuran kuantitatif (seperti kapasitas dan integritas kepala daerah). Karena survei tersebut mengumpulkan data persepsi perusahaan yang memang mengalami tata kelola dari pemerintah daerah, kami percaya bahwa hal ini akan lebih akurat dibandingkan survei yang hanya berdasarkan pendapat ahli lokal. Lebih lagi, ketika baik data numerik dan data persepsi tersedia untuk suatu isu, keduanya biasanya konsisten. Sebagai contoh, daerah dimana sering terjadi pemadaman listrik juga bertendensi untuk memberikan data persepsi yang lebih buruk akan kualitas infrastruktur listrik.

14

Dalam analisa yang ditampilkan disini, EGI hanyalah jumlah dari sembilan sub-indeks. Hal ini berbeda dengan EGI yang dikalkulasikan oleh KPPOD (2008) yang juga memasukkan kualitas peraturan perundangan daerah berdasarkan penilaian para ahli serta menggunakan pembebanan untuk membedakan tingkat kepentingan dari setiap sub-indeks.

23

Selain survei perusahaan, LEGS juga mewawancarai pengurus dari tiga asosiasi usaha di setiap daerah, termasuk cabang dari KADIN dan APINDO serta asosiasi lainya yang terkait dengan sektor yang memiliki bagian terbesar pada perekonomian daerah. Total terdapat 729 asosiasi usaha yang diwawancarai. Hal ini memberikan tambahan informasi tentang bagaimana cara pemerintah daerah berkonsultasi dengan sektor usaha dan berapa sering hal itu dilakukan, serta penilaian asosiasi usaha mengenai kualitas proses tersebut. LEGS juga memasukkan informasi mengenai frekuensi dan kualitas program pengembangan usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebagai tambahan, LEGS juga mengumpulkan data sekunder mengenai pajak dan pungutan daerah serta telah melakukan telaah atas 932 peraturan daerah dan keputusan walikota terkait dengan perijinan, perpindahan barang dan jasa serta masalah ketenagakerjaan. Para peneliti KPPOD kemudian menilai perdaperda ini seiring dengan kesesuaian mereka dengan hukum nasional, konsistensi antara tujuan dengan tindakan yang dilakukan, serta apakah perda tersebut melanggar prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan perpindahan barang dari suatu daerah ke daerah lainnya di Indonesia.

Korelasi antara Tata kelola dan PertumbuhanSebelum melakukan analisa yang lebih rumit terhadap hubungan antara tata kelola dan kinerja pertumbuhan daerah, kiranya akan berguna untuk memperhatikan korelasi sederhana dan hubungan antara tata kelola dan pertumbuhan dalam data kami. Tabel 1 memperlihatkan matriks korelasi perpasangan sederhana antara sub-indeks tata kelola dan pertumbuhan daerah pada tahun 2001-2007.

Terdapat tiga hal yang menarik dari Tabel 1. Pertama, terdapat korelasi yang cukup tinggi antara berbagai sub-indeks Tata kelola yang berbeda. Sebagai 24

contoh, daerah yang memiliki nilai tinggi dalam hal akses informasi juga akan memiliki nilai tinggi pada semua sub-indeks lainnya kecuali dua: program pengembangan usaha, dimana tendensinya nilainya akan lebih rendah; serta integritas kepala daerah, dimana korelasinya tidak berbeda dari nol secara statistik. Cerita yang sama juga muncul untuk semua sub-indeks lainnya dimana hampir semua sub-indeks akan berkorelasi positif dengan sebagian besar subindeks lainnya namun memiliki korelasi negatif dengan sub-indeks program pengembangan usaha. Kami telah memperkirakan korelasi positif kecil yang signifikan antar sub-indeks karena konsep Tata kelola memang saling tumpang-tindih pada batasan tertentu. Namun adanya korelasi yang besar, misalnya antara biaya transaksi, keamanan, perijinan dan sub-indeks lainnya memang sepertinya mengindikasikan bahwa konsep-konsep Tata kelola itu dapat disederhanakan lagi dengan variabel yang lebih sedikit. Selanjutnya, fakta bahwa ada satu sub-indeks program pengembangan usaha yang berkorelasi negatif dengan empat sub-indeks lainnya cukup mengherankan. Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan mengapa program pengembangan usaha memiliki nilai yang lebih baik di daerah-daerah dimana akses informasi, infrastruktur, pertanahan dan keamanan bernilai lebih jelek. Hal kedua yang cukup menarik dari Tabel 1 adalah fakta bahwa hanya satu dari sembilan sub-indeks (infrastruktur) yang memiliki korelasi yang signifikan dengan pertumbuhan daerah pada tahun 2001-2007.15 Hal ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kualitas tata kelola dengan pertumbuhan.

15

Hasil ini juga berlaku apabila dihitung pertumbuhan antara 2001-2005, mengeluarkan komponen minyak dari PDB atau menghitung PDB per pekerja dan bukan per kapita.

25

Tabel 1: Matriks korelasi pertumbuhan daerah dan sub-indeks Tata kelola

Sub-Indeks

Akses terhadap informas

InfraStrukt ur

Integritas

Interaksi

Tana h

Perijina n

Keam anan

Progra m Penge mbang an Usaha

Biaya Transa k-si

Pertum -buhan PDB/ca p riil 20012007

Pertum -buhan PDB/ca p nonoil riil 20012007

Akses terhadap informasi Infrastruktur Integritas Interaksi Tanah Perijinan Keamanan Program Pengembangan Usaha Biaya Transaksi Pertumbuhan PDB/cap riil 2001-2007 Pertumbuhan PDB/cap non-oil riil 2001-2007 Pertumbuhan riil pengeluaran per capita 2001-2007

1.00 0.25* 0.06 0.15* 0.11 0.34* 0.38* -0.11* 0.29* 0.01 0.01 -0.10

1.00 0.22* 0.06 0.25* 0.33* 0.31* -0.13* 0.35* 0.28* 0.15* 0.01

1.00 0.76* 0.21* 0.52* 0.42* 0.09 0.32* -0.02 0.04 0.05

1.00 0.10 0.54* 0.42* 0.18* 0.24* -0.04 0.01 0.00

1.00 0.18* 0.49* -0.3 7* 0.47* 0.04 0.01 0.12*

1.00 0.46* 0.13* 0.29* 0.03 0.05 0.00

1.00 -0.20 1.00 * 0.57* -0.21* 0.09 -0.05 0.05 0.13* 0.00 0.07

1.00 0.07 0.07 -0.17*

1.00 0.85* -0.09 1.00 -0.03

26

Ketiga, hubungan antara sub-indeks Tata kelola dan pertumbuhan pengeluaran riil per kapita pada tingkat Kabupaten/Kota berbeda dengan hubungannya terhadap pertumbuhan PDB. Tidak ada korelasi yang signifikan secara statistik antara pertumbuhan pengeluaran per kapita dengan pertumbuhan PDB per kapita, sementara tiga sub-indeks (Pertanahan, Keamanan dan Biaya Transaksi) berhubungan negatif dengan pertumbuhan pengeluaran riil per kapita. Ketiadaan hubungan positif yang jelas antara sub-indeks Tata kelola serta kinerja ekonomi cukup mengejutkan. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang mungkin mengaburkan adanya hubungan tersebut. Pertama, setiap subindeks terdiri dari beberapa variabel yang mendasari. Dimungkinkan bahwa beberapa variabel tersebut berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan namun sementara yang lainnya berhubungan negatif dan hal ini menyebabkan ketiadaan hubungan bagi sub-indeks secara keseluruhan. Untuk menanggulangi hal ini, kami mengeksplorasi hubungan korelasi antara variabel-variabel penyusun pada setiap sub-indeks dan pertumbuhan. Tabel 2 memperlihatkan korelasi antara setiap variabel penyusun setiap subindeks dengan pertumbuhan PDB per kapita riil, baik dengan maupun tanpa minyak. Beberapa variabel penyusun yang dimasukkan dalam sub-indeks memiliki korelasi dengan pertumbuhan. Sebagai contoh, sebagian besar variabel infrastruktur berkorelasi dengan pertumbuhan. Pada saat yang sama terdapat korelasi yang minim antara beberapa aspek Tata kelola dengan pertumbuhan sebagai contoh, tidak ada satupun variable dalam program pengembangan usaha yang berkorelasi dengan pertumbuhan dan sebagian besar variabel untuk hampir semua indeks tidak memiliki korelasi yang signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan. Di lain pihak, dengan pengecualian program pengembangan usaha, semua sub-indeks memiliki paling tidak satu variabel yang berkorelasi erat dengan pertumbuhan. Sebagai contoh, sifat interaksi keseluruhan antara pemerintah daerah dengan sektor usaha berkorelasi kuat dengan pertumbuhan; demikian juga (kurangnya) konflik pertanahan dan juga persepsi menyeluruh mengenai hambatan perijinan dan masalah keamanan.

27

Daerah dimana lebih sedikit perusahaan harus melakukan pembayaran kepada polisi juga tumbuh lebih cepat. Namun tidak semua korelasi ada pada arah yang kami harapkan. Dalam hal ini, khususnya daerah dimana perusahaan melaporkan bahwa pimpinan daerahnya terlibat kegiatan korupsi juga memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat. Hal ini mungkin merefleksikan kausalitas balik, yaitu daerah yang tumbuh lebih cepat membuka kemungkinan lebih untuk korupsi.

Tabel 2: Korelasi antara pertumbuhan per kapita riil dengan komponen Tata kelola

Pertu mbuha Pertu n PDB/ mbuha kap riil n PDB/ tanpa kap riil minya 2001k 2007 20012007 Akses terhadap informasi Pernah mencoba untuk memperoleh mengenai pemerintah informasi 0.1201 * Dampak keseluruhan akses atas informasi terhadap 0.1022 aktivitas perusahaan Program pengembangan usaha Rata-rata proporsi perusahaan yang mengatakan ada 6 program 0.0487 Rata-rata proporsi perusahaan yang berpartisipasi 0.0045 dalam 6 program Rata-rata kepuasan atas program 0.0051 Dampak keseluruhan program pengembangan usaha terhadap aktivitas perusahaan Infrastruktur Evaluasi kualitas jalan, penerangan, air, listrik dan telepon Log rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan infrastruktur Rata-rata kepemilikan genset dan frekuensi -0.077 0.0717 0.068

Pertumb pengeluar an konsumsi per kapita 2001-2007

-0.0147 -0.0857

0.0151 0.0147 0.0069 -0.026

0.0257 0.0515 0.0471 0.0554

0.2553 * 0.1036 0.2656

0.1512 * 0.0556 0.0825

0.0123 0.0845 -0.0175

28

pemadaman listrik Dampak keseluruhan infrastruktur terhadap aktivitas perusahaan - dibagi atas hal-hal sbb Evaluasi kualitas jalan Evaluasi kualitas penerangan jalan Evaluasi kualitas pasokan air lokal Evaluasi kualitas listrik Evaluasi kualitas telepon Waktu perbaikan jalan tercatat Waktu perbaikan penerangan jalan tercatat Waktu perbaikan pasokan air tercatat Waktu perbaikan listrik tercatat Waktu perbaikan telepon tercatat Kepemilikan generator Frekuensi pemadaman listrik Integritas Pemahaman kepala daerah mengenai masalah usaha

* 0.2069 * 0.0784 0.2255 * 0.2195 * 0.2122 * 0.1886 * 0.0526 0.0464 0.1304 * 0.1424 * 0.0316 0.3143 * 0.1299 * 0.0401

0.1524 * 0.0712 0.1574 * 0.0888 0.0422 0.2087 * 0.0078 0.0447 0.0746 0.0744 0.016 0.0772 0.0676

-0.0156 0.0129 0.0566 -0.0021 -0.0256 0.0045 0.0006 0.0365 0.1234* 0.0128 0.1448* -0.0628 0.0477

0.0052 0.0122 0.0626 0.0401 0.0745 0.0639

0.086 0.0381 0.1177* -0.0043 0.0001 -0.0531

Pejabat daerah ditunjuk berdasarkan keterampilan 0.0156 yang relevan Kepala daerah melakukan tindakan nyata 0.0155 pemberantasan korupsi Kepala daerah (tidak) melakukan tindakan korupsi 0.1370 * Kepala daerah merupakan pimpinan yang kuat 0.0188 Dampak keseluruhan dari kapasitas dan integritas 0.0843 kepala daerah terhadap aktivitas perusahaan Interaksi antara pemerintah sektor usaha Keberadaan forum komunikasi daerah dengan 0.0655

0.0367 0.0127

0.08 0.0317

Gabungan dari: apakah pimpinan mencoba memecahkan masalah usaha, apakah solusinya sesuai dengan ekspektasi, apakah pejabat 0.0236 menindaklanjuti

29

Gabungan dari: apakah birokrasi lokal: mengerti kebutuhan usaha; mendiskusikan kebijakan; mendiskusikan permasalahan; tidak mendirikan BUMN tandingan; menyediakan fasilitas dukungan untuk usaha Apakah pemda memiliki bias terhadap investasi atau mencari rente Apakah pemda memperlakukan semua perusahaan sama tanpa diskriminasi Tindakan pemda tidak meningkatkan biaya usaha

0.0564

0.0014 0.1112 0.0501 0.0227 0.013 0.1042

0.0874

0.0873 0.0007 0.0405 Tindakan pemda tidak meningkatkan ketidakpastian usaha 0.0556 Dampak keseluruhan isu-isu terkait dengan interaksi 0.1237 terhadap aktivitas perusahaan * Pertanahan Waktu yang dibutuhkan untuk dapat sertifikat tanah Kemudahan memperoleh tanah Frekuensi penggusuran di daerah tersebut Frekuensi terjadinya konflik tanah Hambatan keseluruhan terkait isu tanah dan ketidakpastian hukum terhadap aktivitas perusahaan Perijinan Persentase perusahaan TDP Rata-rata kemudahan memperoleh TDP dan jumlah hari untuk memperoleh TDP Rata-rata biaya TDP dan apakah biaya tersebut mengganggu mereka Nilai kombinasi ketiga ukuran efisiensi perijinan Persentase perusahaan yang menyebutkan adanya mekanisme keluhan Keseluruhan hambatan perijinan terhadap aktivitas perusahaan - dibagi atas hal-hal sbb kemudahan memperoleh TDP jumlah hari untuk memperoleh TDP Biaya TDP Apakah biaya mengganggu usaha Perijinan usaha dilakukan secara efisien Perijinan usaha bebas pungutan liar 0.0261 0.0796 0.0474 0.1274 * 0.0939

0.0075 -0.0775 -0.0478 0.0065 -0.0899

0.0238 0.0076 0.0603 0.0548 0.101

0.0032 -0.0334 -0.2074* -0.0401 -0.0701

0.1958 * 0.094 0.048 0.039 0.0179 0.1556 * 0.0773 0.0798 0.1221 * 0.0059 0.0344 0.0513

0.1152 * 0.0578 0.0278 0.0513 0.0925 0.1078 0.0356 0.0644 0.0507 0.0169 0.0355 0.0603

0.1205* -0.0187 -0.1332* -0.0188 0.079 -0.111 -0.0133 -0.0185 -0.1530* -0.0929 0.03 -0.0357

30

Perijinan usaha bebas kolusi dengan pejabat Keamanan Terjadinya pencurian di daerah sekitar Gabungan opini bagaimana polisi menangani kasuskasus Kualitas polisi dalam berurusan dengan demonstrasi pekerja Hambatan keamanan keseluruhan terhadap aktivitas perusahaan

0.0243 0.0991 0.0286 0.0181 0.1609 *

0.0464 0.0137 0.0221 0.0051 0.1244 *

-0.0359 -0.1732* -0.0251 -0.0543 -0.0859

Biaya transaksi Seberapa pembayaran retribusi mengganggu perusahaan 0.0277 Adanya retribusi dalam hal distribusi barang 0.0818 Gabungan dari: adanya sumbangan sukarela dan apakah hal tersebut mengganggu usaha 0.0819 Pembayaran keamanan kepada polisi 0.1139 * Hambatan biaya transaksi keseluruhan terhadap kegiatan perusahaan 0.1046

0.0117 0.1487 * 0.0755 0.01 0.0851

-0.0612 -0.0273 -0.1509* -0.2280* -0.1166*

Catatan: semua variabel dinormalisasi pada skala 0-100 dan, sekiranya dibutuhkan,disusun ulang sehingga nilai yang lebih tinggi menjadi baik. Untuk kemudahan, beberapa variabel masih menggunakan deskripsi negatif namun hasil yang dilaporkan adalah untuk nilai yang disusun ulang; sebagai contoh variabel jumlah hari untuk memperoleh TDP telah disusun ulang sehingga daerah dengan jumlah hari yang lebih rendah memiliki nilai yang lebih tinggi. Kami mengharapkan bahwa semua korelasi akan positif.

31

Perbedaan antara korelasi pertumbuhan PDB dengan korelasi pertumbuhan PDB tanpa minyak juga cukup terlihat. Kepemilikan generator dan frekuensi pemadaman listrik memiliki korelasi kuat terhadap pertumbuhan PDB dengan minyak namun korelasi tersebut menjadi lemah ketika minyak dikeluarkan. Demikian juga dengan korupsi kepala daerah, konflik tanah, perijinan, sifat interaksi antara perusahaan dengan pemda dan pembayaran keamanan kepada polisi, semuanya kehilangan tali hubungan ketika faktor minyak dikeluarkan. Hal ini sepertinya mendukung ide bahwa keberadaan sumber daya alam yang terkonsentrasi (dalam hal ini minyak) bukan hanya membuka peluang untuk pertumbuhan yang lebih signifikan namun juga untuk rente yang lebih besar. Dalam hal ini kualitas Tata kelola mungkin akan lebih berarti dalam konteks tersebut dibandingkan dengan tempat lain dimana rente kurang begitu penting. Potensi alasan lain terkait dengan kurangnya korelasi antara beberapa aspek Tata kelola dengan pertumbuhan PDB adalah karena kami menggunakan PDB. PDB di beberapa daerah dapat terkonsentrasi pada sejumlah kecil perusahaan. Namun kualitas tata kelola ekonomi daerah dapat mempengaruhi semua perusahaan, termasuk mayoritas perusahaan kecil yang kontribusinya relatif kecil terhadap PDB. Oleh karenanya Tabel 2 juga memperlihatkan korelasi dengan pengeluaran per kapita yang merupakan pengukuran yang lebih akurat mengenai kesehatan rata-rata rumah tangga daripada PDB per kapita. Sekali lagi, korelasi antara pertumbuhan pengeluaran konsumsi riil per kapita dengan variabel Tata kelola cukup berbeda dengan korelasi terhadap pertumbuhan PDB. Sebagai contoh, pertumbuhan pengeluaran per kapita berhubungan positif dengan daerah yang melakukan langkah-langkah konkrit untuk memberantas korupsi, namun hal ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan PDB. Selanjutnya, kami juga menemukan beberapa korelasi negatif. Pertumbuhan pengeluaran per kapita sepertinya lebih tinggi di daerah-daerah yang rentan pada penggusuran tanah; dengan daerah yang lebih mahal untuk memperoleh perijinan (TDP); dan dengan daerah dimana pencurian lebih sering dan pungutan lebih tinggi. Hal tersebut menyarankan bahwa hubungan antara Tata kelola dengan pertumbuhan mungkin lebih kompleks dari yang diperkirakan. 32

Analisa RegresiKorelasi awal yang ditunjukkan di atas memperteguh pentingnya pengendalian terhadap faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan. Oleh karena itu kami melakukan estimasi model pertumbuhan Barro yang sederhana (Barro 1991; Barro and Sala-i-Martin 1995). Pertumbuhan merupakan dukungan-dukungan faktor. Khususnya kami mengestimasigi = 0 + 1 yi 0 + 2 .K i + 3 .Li + 4.Gi + i

fungsi dari

(1)

di mana gi adalah pertumbuhan PDB per kapita dari daerah i antara tahun 2001-2008; 0 adalah sebuah konstanta, yi0 adalah PDB per kapita pada daerah i pada 2001, Ki adalah sebuah proxy untuk saham modal dari daerah i, Li adalah modal SDM dari daerah i, Gi adalah sebuah vektor dari variabelvariabel yang mewakili kualitas penata kelolaan pemerintahan daerah, i adalah i.i.d. notasi error16. Teori pertumbuhan neo-klasik menyatakan bahwa daerah-daerah yang lebih miskin seharusnya bersatu menuju pertumbuhan nasional jangka panjang yang mantap, berarti nilai 1 seharusnya negatif. Teori serupa menyarankan agar 2 dan 3 positif. Tujuan kami adalah memeriksa vektor 4 untuk mengetahui apakah aspek-aspek tertentu dari tata kelola pemerintahan telah mendorong pertumbuhan di atas tingkat yang mungkin diharapkan juga oleh faktor dukungan sendiri (endowment)17.

16

Kami menambahkan dummy untuk kelompok pulau yang berbeda, dan kontribusi pertambangan pada PDB sebagai ukuran ketergantungan terhadap sumber daya. .17

Studi terdahulu tentang pertumbuhan pada tingkat daerah di Indonesia. McCulloch, N., and, Suharnoko Sjahrir, Bambang (2008). Endowments, Location or Luck? Evaluating the Determinants of Sub-National Growth in Decentralized Indonesia World Bank Policy Research Working Paper, World Bank. Memeriksa dampak dari faktor-faktor penentu pertumbuhan yang lainnya yang cakupannya luas, misalnya keterpencilanm kondisi topografi, distribusi sektoral, fragmentasi etnik, dan menemukan beberapa korelasi yang kuat dari pertumbuhan.

33

Kami menggunakan proporsi penduduk yang berpendidikan sekolah menengah pertama sebagai sebuah pendekatan untuk modal sumber daya manusia. Pengukuran yang baik untuk modal fisik sulit diperoleh pada tingkat daerah. Namun, kami memiliki data jumlah rumah tangga dengan saluran telepon, yang digunakan sebagai suatu indikasi pengembangan modal fisik. Untuk menghitung kinerja pertumbuhan yang berpotensi sangat berbeda di daerah-daerah dengan dan tanpa sumber daya mineral, kami juga memasukkan kontribusi pertambangan pada PDB daerah sebagai sebuah regresor. Akhirnya, mengingat kondisi geografis dari kelompok-kelompok pulau yang besar sangat berbeda sehingga dapat mempunyai pengaruh yang penting terhadap pertumbuhan, maka kami memasukkan satu set dummy untuk kelompok lima pulau utama18. Tabel 3 memperlihatkan hasil-hasil setelah dilakukan estimasi dengan menggunakan persamaan (1). Kolom pertama dari Tabel 3 memperlihatkan suatu hasil regresi pertumbuhan yang tipikal: besaran populasi dan pendidikan yang berkaitan positif dengan pertumbuhan, demikian juga dengan modal, sekalipun koefisiennya tidak signifikan secara statistik. Kontribusi yang lebih tinggi dari sektor pertambangan terhadap PDB secara signifikan mereduksi pertumbuhan secara keseluruhan, mencerminkan pertumbuhan yang lebih lambat dari PDB mineral relatif terhadap PDB non-mineral selama kurun waktu ini. Bergantung kepada variabel-variabel kontrol tersebut, pertumbuhan lebih cepat pada daerah-daerah dengan PDB per kapita lebih rendah pada awalnya. Kolom 2 dari Tabel 3 memasukkan semua sub-indeks tata kelola pemerintahan. Konsisten dengan hasil-hasil keterkaitan yang diperoleh, kami mendapatkan tidak ada satupun koefisien pada sub-sub indeks yang secara statistik berbeda dari nol, terkecuali infrastruktur. Sub-indeks infrastruktur berkaitan positif dengan pertumbuhan. Untuk menghitung potensi multi-collinearity antara sub-sub indeks yang mereduksi tingkat pentingnya masing-masing indeks, kami juga memasukkan setiap sub-indeks ke dalam persamaan secara terpisah didapati18

Tabel Appendix A1 memperlihatkan statistik deskriptif dari variabel-variabel penjelas kami.

34

lagi bahwa satu-satunya sub-indeks yang secara statistik signifikan adalah subindeks infrastruktur19. Oleh karena itu hasil-hasil studi kami menunjukkan bahwa temuan awal kecilnya korelasi antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan daerah tidak didorong oleh kegagalan untuk memperhitungkan faktor-faktor penentu struktural lainnya dari pertumbuhan. Mungkin saja bahwa hasil yang mengejutkan ini disebabkan oleh adanya variabel pertumbuhan yang agak tidak jelas. Untuk mengecek kemungkinan ini kami memeriksa tiga alternatif ukuran pertumbuhan. Pertama kami mempertimbangkan pertumbuhan dalam PDB riil per kapita bukan-minyak (kolom 3). Hasilnya sebenarnya tidak berubah, kecuali bahwa, tidak mengherankan, kontribusi pertambangan dalam PDB tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap laju pertumbuhan. Ketika seluruh sub-indeks tata kelola pemerintahan dimasukkan (kolom 4), hanya infrastruktur yang secara statistik berbeda dari nol (sekalipun sub-sub indeks pada integritas dan interaksi antara pemerintah daerah dengan sektor bisnis menunjukkan angka signifikan pada tingkat 10% jika dimasukkan tersendiri).

19

Hasil-hasil studi tersedia jika diminta

35

Tabel 3: Regresi Pertumbuhan pada Variabel-Variabel Tata Kelola Pemerintahan

Variabel Tidak Bebas: Pertumb PDB Bukan-minyak riil per kapita 2001-2007

Pertumb PDB per kapita per kapita 20012007 1 2 0.008560* ** [0.003] 0.005477* ** [0.002] 0.081420* [0.043] 0.017606 [0.021] 0.028633* [0.015] -0.000098 [0.000] -0.000030

Pertumb PDB Bukan-Minyak per kapita 20012007 3 0.009* ** [0.003] 0.007* ** [0.002] 0.070* [0.040] 0.040* * [0.019] 0.000 [0.010] 4 0.008308* ** [0.003] 0.005213* ** [0.002] 0.074618* [0.041] 0.030589 [0.020] 0.006824 [0.009] -0.000093 [0.000] -0.000042

Manufac Pertumb PDB per kapita 20012007 5 0.00147 9 [0.002] 0.00632 2* [0.003] 0.01034 9 [0.071] 0.00842 0 [0.027] 0.00426 8 [0.018] 6 0.003321** [0.002] 0.002420 [0.004] 0.033562 [0.076] -0.035346 [0.038] -0.003159 [0.018] -0.000129 [0.000] -

Pertumb Pengeluaran per kapita 2007 7 0.028911* ** [0.008] 0.002934 [0.002] 0.096565* * [0.040] 0.096243* ** [0.025] 0.008143 [0.008] 8

2001-

0.010* Pendapatan awal + ** [0.003] Jumlah Penduduk tercatat 0.006* 2001 ** [0.002] Proporsi Populasi dengan pendidikan setingkat SLTP (2001) 0.073* [0.041] Akses Telpon Tangga (2000) per Rumah 0.027 [0.020] Kontribusi Pertambangan 0.031* terhadap PDB (2001) * [0.014] Akses terhadap Informasi Program Pengembangan

0.034274* ** [0.009] 0.000445 [0.002] 0.055993 [0.041] 0.087491* ** [0.031] 0.006714 [0.008] -0.000146 [0.000] 0.000097

36

Bisnis Infrastruktur Integritas Interaksi Pertanahan Perijinan [0.000] 0.000537* ** [0.000] -0.000035 [0.000] 0.000108 [0.000] -0.000189 [0.000] -0.000218 [0.000] 0.000248 [0.000] -0.000027 [0.000] 0.084* [0.048] 0.055569 [0.061] 0.070 [0.046] [0.000] 0.000506* * [0.000] -0.000048 [0.000] 0.000202 [0.000] -0.000145 [0.000] -0.000178 [0.000] 0.000127 [0.000] -0.000013 [0.000] 0.053422 [0.055] 0.00102 9 [0.034] 275 0.04

0.000437** * [0.000] 0.000536** [0.000] 0.000594** [0.000] 0.000685** [0.000] -0.000174 [0.000] -0.000257 [0.000] -0.000068 [0.000] -0.000217 [0.000] 0.128039** [0.061] 184 0.14 0.320244* ** [0.096] 275 0.11

[0.000] 0.000333 [0.000] 0.000429* * [0.000] -0.000290 [0.000] 0.000051 [0.000] 0.000027 [0.000] 0.000333* * [0.000] -0.000197 [0.000] 0.422937* ** [0.120] 184 0.23

Keamanan Biaya-biaya Transaksi Konstanta

Observasi 275 184 275 184 R-squared 0.18 0.30 0.12 0.25 Standard error kuat dalam kurung * signifikan pada 10%; ** signifikan pada 5%; *** signifikan pada 1%

37

+: Pendapatan awal adalah PDB per kapita pada 2001 untuk regresi PDB; PDB bukan-minyak per kapita pada 2001 untuk regresi PDB bukan-minyak; PDB manufaktur per kapita pada pengeluaran per kapita pada 2001 untuk regresi pengeluaran. 2001 untuk regresi manufaktur; dan

38

Kemungkinan lainnya adalah bahwa loncatan dari tata kelola pemerintahan ke pertumbuhan PDB (dengan atau tanpa minyak) mungkin hanya karena terlalu jauh. Selain itu, kualitas perhitungan dari berbagai elemen PDB yang berbeda bervariasi, yaitu beberapa elemen dihitung berdasarkan pada survei tahunan dan sensus, sedangkan komponen lainnya didekati dari data sejarah, data tingkat provinsi, atau data tingkat nasional. Proses pendekatan ini dapat menambah gangguan yang signifikan terhadap angka-angka PDB. Untuk memperhitungkan hal ini, kami melakukan estimasi ulang terhadap regresi yang telah dilakukan dengan menggunakan PDB manufaktur sebagai variabel tidak bebas. Oleh Badan Pusat Statistik PDB manufaktur diperlakukan sebagai komponen PDB yang paling akurat karena perhitungannya didasarkan kepada sensus tahunan dari industri, juga karena komponen PDB ini merupakan komponen yang paling terkait secara langsung dengan tata kelola perekonomian daerah. Kolom 5 dan 6 menunjukkan regresi-regresi yang menggunakan PDB manufaktur. Sedikit saja dari variabel-variabel struktural tentang modal sumber daya manusia atau modal fisik yang dikaitkan dengan keseluruhan pertumbuhan mempengaruhi pertumbuhan PDB manufaktur, sekalipun masih terdapat bukti lemah terjadinya konvergensi kondisional. Namun, ketika variabel-variabel tata kelola pemerintahan ditambahkan, kami melihat perubahan yang besar. Infrastruktur mempengaruhi pertumbuhan manufaktur secara positif dan signifikan, begitu pula sifat interaksi antara pemerintah daerah dengan perusahaan-perusahaan. Namun demikian, terdapat pula dampak negatif yang signifikan dari tata kelola pemerintahan yang dihubungkan dengan kehadiran dan kualitas dari program-program pengembangan usaha di daerah, maupun integritas kepala daerah. Dengan hal-hal lainnya sama, daerah-daerah dengan program-program pengembangan bisnis yang lebih banyak dan lebih baik mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dalam PDB manufaktur; dan daerahdaerah di mana kepala daerah dan pejabat-pejabatnya dipandang lebih korup, bertumbuh lebih cepat. Yang pertama dapat dijelaskan yaitu sebagai dampak pengalokasian program - penjelasannya adalah program pengembangan bisnis dialokasikan pada daerah-daerah di mana industri sedang berjuang dengan 39

susah payah. Namun, pengaruh positif korupsi merupakan sebuah teka-teki, yang untuk itu kami akan kembali lagi nanti. Akhirnya, untuk mengecek kembali hasil-hasil studi kami menggunakan variabelvariabel tidak bebas yang berbasis PDB, kami melihat pertumbuhan per kapita riil rata-rata pada tingkat daerah, yang diambil dari survei sosial ekonomi nasional (Susenas) rumah tangga tahunan. Tentu saja, pertumbuhan pengeluaran per kapita bahkan disingkirkan lebih jauh dari tata kelola perekonomian daerah dibandingkan pertumbuhan PDB, sebab hal tersebut menghendaki agar pertumbuhan yang terjadi dapat menetes kepada penduduk di daerah tersebut dalam bentuk pengeluaran yang lebih tinggi. Namun, dapat terjadi bahwa daerah-daerah yang tata kelolanya lebih baik akan lebih efektif dalam memastikan bahwa pertumbuhan daerahnya menjangkau penduduk. Kolom 7 memperlihatkan kisah yang sering didengar tetang modal sumber daya manusia dan modal fisik yang berkontribusi terhadap pertumbuhan, serta penyatuan sesuai kondisi ketika variabel-variabel ini diperhitungkan. Ketika variabel-variabel tata kelola pemerintahan ditambahkan (kolom 8), infrastruktur tetap positif, tetapi sekarang integritas masuk secara positif, sementara daerahdaerah yang mengalami lebih banyak kriminalitas tampil dengan pertumbuhan lebih cepat. Hasil-hasil dari Tabel 3 memperlihatkan gambaran yang agak membingungkan tentang pengaruh tata kelola pemerintahan daerah terhadap pertumbuhan. Satusatunya sub indeks tata kelola pemerintahan yang secara konsisten berhubungan dengan pertumbuhan adalah tata kelola infrastruktur. Bagi ukuranukuran pertumbuhan PDB yang paling generik, tidak ada ukuran-ukuran tata kelola pemerintahan lainnya yang memiliki pengaruh signifikan. Sebaliknya, beberapa aspek lain dari tata kelola pemerintahan muncul menjadi masalah bagi pertumbuhan manufaktur, sedangkan integritas kepala daerah nampaknya memiliki efek yang bertentangan, dengan korupsi yang lebih tinggi memicu pertumbuhan manufaktur, tetapi integritas yang lebih baik ternyata lebih efektif

40

dalam memastikan bahwa pertumbuhan akan terdistribusi kepada semua orang di daerah yang bersangkutan. Untuk mencoba dan memahami pengaruh dari masing-masing aspek tata kelola pemerintahan terhadap berbagai macam pertumbuhan yang berbeda, kami membagi sub-sub indeks ke dalam variabel-variabel pokok dan memasukkan masing-masing ke dalam regresi. Mengingat ada beberapa variabel yang dimasukkan ke dalam setiap sub-indeks, tidak memungkinkan untuk memasukkan semua variabel dari setiap sub-indeks ke dalam satu buah regresi. Karena itu kami mengestimasi setiap regresi pada setiap kali dengan variabelvariabel dari satu sub-indeks. Agar ringkas, hasil-hasil studi yang kami laporkan hanya untuk regresi yang melibatkan variabel-variabel infrastruktur, dan variabelvariabel integritas.

Regresi dengan Variabel-Variabel TunggalVariabel Variabel Prasarana Tabel 4 memperlihatkan hasil yang diperoleh dengan melakukan regresi terhadap empat ukuran berbeda dari pertumbuhan terhadap variabel-variabel kontrol dan variabel-variabel tata kelola infrastruktur yang tunggal. Untuk pertumbuhan PDB termasuk minyak dan gas, persepsi perusahaan-perusahaan terhadap kualitas infrastruktur jalan, lampu, air, dan listrik tidak memiliki pengaruh yang secara statistik signifikan. Namun, jika minyak dan gas tidak diperhitungkan, persepsi perusahaan-perusahaan tentang kualitas jalan dan hubungan telepon memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan, sementara, dan ini mengherankan, pada daerah-daerah yang perusahaan-perusahaanya memiliki persepsi yang lebih negatif tentang kualitas perlistrikan, cenderung berkembang lebih cepat.

41

Namun, persepsi-persepsi tentang kualitas infrastruktur muncul dari dalam mereka sendiri untuk kemudian dikembangkan. Oleh karena itu kami memasukkan satu set variabel yang lebih konkrit tentang kualitas pelayanan infrastruktur. Hasilnya menyatakan bahwa, dengan hal-hal lainnya tetap sama, maka daerah-daerah di mana permasalahan menyangkut air diatasi lebih cepat ternyata cenderung memiliki angka pertumbuhan PDB yang lebih tinggi. Selain itu, daerah-daerah yang mengalami pemadaman listrik lebih jarang juga bertumbuh lebih cepat. Akhirnya, perusahaan-perusahaan ditanya tentang seberapa pentingnya permasalahan infrastruktur mereka rasakan sebagai suatu kendala. Daerah-daerah di mana perusahaan-perusahaannya mengindikasikan bahwa permasalahan infrastruktur merupakan kendala yang penting, pertumbuhannya lebih lambat. Dirasakan akan bermanfaat apabila indikasi tentang besaran dari pengaruhpengaruh tersebut di atas dapat diperoleh. Hasil-hasil studi ini menyatakan bahwa jika angka keseluruhan dari infrastruktur suatu daerah ditingkatkan dari rata-rata ke kuartil tertinggi, maka akan diperoleh penambahan sekitar 0.3% dari pertumbuhan PDB per kapita setiap tahunnya. Peningkatan pertumbuhan lebih jauh sebesar 0.35% dapat diperoleh dengan menaikkan suatu daerah yang semula berada pada kuartil bawah karena pemadaman listrik ke tampilan median. Namun, hampir tidak satupun dari hasil-hasil studi ini dapat dibawa ke kedua macam ukuran pertumbuhan kami yang lain pertumbuhan manufaktur dan pertumbuhan dalam pengeluaran per kapita. Memang, waktu yang diperlukan untuk mengatasi masalah perlistrikan kelihatannya berkaitan secara positif dengan ukuran-ukuran pertumbuhan ini yaitu, daerah-daerah di mana masalah-masalah seperti itu perlu waktu lebih lama untuk diatasi, tumbuh lebih cepat. Hal ini ganjil namun ini karena angka pertumbuhan yang tinggi pada sejumlah kecil daerah dengan kendala yang signifikan dalam supply listrik. Pemadaman listrik yang lebih sering tetap akan memperlambat pertumbuhan.

42

Tabel 4: Regresi dengan Variabel-Variabel Infrastruktur

Pertumb PDB Trmsk minyak Variabel-Variabel Kontrol 0.010094* Pendapatan Awal 2001* ** [0.003] Jumlah Penduduk tercatat 0.006162* 2001 ** [0.002] Proporsi Penduduk dgn pendidikan setingkat SLTP 0.068201* (2001) [0.038] Akses telpon per Rumah 0.004591 Tangga (2000) [0.023] Kontribusi Pertambangan 0.031349* terhadap PDB (2001) * [0.015] Variabel Infrastrutur Kualitas Jalan 0.000142 [0.000] Kualitas Penerangan Jalan 0.000122 [0.000] Kualitas Supply Air Bersih -0.000131 [0.000] Kualitas Listrik Kualitas Telpon Waktu perbaikan tercatat+ jalan 0.000106 [0.000] -0.000223 [0.000] 0.000230* [0.000]

Pertumb PDB Bukan minyak 0.008732** * [0.003] 0.006100** * [0.001] 0.062403* [0.036] 0.012994 [0.022] 0.003999 [0.009] 0.000287** [0.000] -0.000012 [0.000] -0.000163* [0.000] 0.000395** [0.000] 0.000352** * [0.000] 0.000043 [0.000]

Manufaktu r Pertumb PDB

Pengelua ran Pertumb 0.034508* ** [0.011] 0.002239 [0.002] 0.099320* * [0.047] 0.073543* * [0.034] 0.005308 [0.008] 0.000013 [0.000] 0.000279* [0.000] -0.000184 [0.000] 0.000202 [0.000] -0.000223 [0.000] 0.000118 [0.000]

-0.002879 [0.002] 0.005584 [0.004] 0.030682 [0.071] -0.044244 [0.036] -0.021662 [0.017] 0.000104 [0.000] 0.000031 [0.000] -0.000186 [0.000] 0.000136 [0.000] -0.000074 [0.000] -0.000022 [0.000]

43

Waktu perbaikan penerangan jalan tercatat+ -0.000244 [0.000] Waktu perbaikan supply air 0.000322* bersih tercatat + * [0.000] Waktu perbaikan + tercatat Waktu perbaikan tercatat+ Kepemilikan generator+ Frekuensi listrik+ listrik -0.000109 [0.000] telepon -0.000171 [0.000] sebuah -0.000028 [0.000] pemadaman

-0.000124 [0.000] 0.000268** [0.000] -0.000059 [0.000] -0.000193* [0.000] 0.000016 [0.000] 0.000268** [0.000] 0.000173** * [0.000] 0.048976 [0.048] 184 0.33 5%; ***

0.000007 [0.000] 0.000151 [0.000] 0.000555** * [0.000] 0.000239 [0.000] -0.000097 [0.000] 0.000402** [0.000] 0.000012 [0.000] 0.034380 [0.041] 184 0.11

-0.000208 [0.000] 0.000231 [0.000] 0.000454* * [0.000] 0.000265 [0.000] -0.000101 [0.000] 0.000253* [0.000] -0.000111 [0.000] 0.391874* ** [0.136] 184 0.22

0.000233* [0.000] Kendala infrastruktur 0.000163* secara keseluruhan * [0.000] Konstanta 0.072957 [0.053] 184 0.34

Observasi R-squared Standard errors yang kuat dalam kurung * signifikan pada 10%; ** signifikan pada signifikan pd 1%

* Pendapatan awal adalah PDB per kapita pada 2001 untuk regresi PDB; PDB bukan-minyak per kapita pada 2001 untuk regresi PDB bukan-minyak; PDB manufaktur per kapita pada 2001 untuk regresi manufaktur; dan pengeluaran per kapita pada 2001 untuk regresi pengeluaran. + Variabel ini telah dibalik oleh karena itu nilai yang lebih tinggi menandakan kinerja yang lebih baik.

Variabel-Variabel Integritas Integritas dan kompetensi pejabat-pejabat daerah diukur melalui enam variabel yang berkaitan dengan persepsi dari perusahaan-perusahaan di daerah mengenai:

44

-

pemahaman kepala daerah mengenai permasalahan-permasalahan di bidang bisnis penunjukan pejabat-pejabat daerah dengan keterampilan yang sesuai apakah kepala daerah melakukan tindakan tegas terhadap korupsi apakah kepala daerah sendiri melakukan korupsi apakah kepala daerah adalah seorang pemimpin yang kuat penilaian secara keseluruhan tentang sejauh mana permasalahan yang berkaitan dengan integritas dan kompetensi dari pejabat-pejabat daerah mempengaruhi kinerja bisnis.

-

Tabel 5 memperlihatkan hasil-hasil studi termasuk masing-masing dari seluruh variabel tersebut pada regresi-regresi pertumbuhan yang kami susun. Patut dicatat, tidak satupun dari variabel-variabel tersebut memiliki hubungan yang secara statistik signifikan dengan pertumbuhan PDB pada kurun waktu yang ditentukan, baik dengan atau tanpa memasukkan variabel minyak. Namun, tidak demikian halnya jika melihat pada pertumbuhan manufaktur dan pertumbuhan pengeluaran per kapita. Untuk kedua jenis ukuran pertumbuhan tersebut, kami memeriksa efek-efek yang nampaknya bertentangan dari integritas. Pertama, terdapat hubungan positif antar seorang kepala daerah yang mengambil tindakan tegas melawan korupsi dengan pertumbuhan manufaktur di daerah. Namun, pada saat yang sama kami melihat adanya hubungan yang negatif antara persepsi perusahaan terhadap integritas kepala daerah dan pertumbuhan manufaktur daerah (yaitu daerah-daerah di mana perusahaanperusahaan mempunyai persepsi kepala daerah lebih korup, tumbuh lebih cepat). Untuk pertumbuhan pengeluaran per kapita kami juga melihat adanya hubungan negatif pada persepsi perusahaan mengenai kekuatan seorang kepala daerah, yaitu kepala daerah yang lebih kuat dihubungkan dengan pertumbuhan yang lebih lambat. Hasilnya, daerah-daerah di mana sebagian besar perusahaan melaporkan bahwa isu-isu integritas dan kompetensi merupakan kendala yang signifikan bagi mereka, memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dalam

45

pengeluaran per kapita dibandingkan dengan daerah-daerah di mana kendalakendala tersebut dirasakan tidak begitu penting. Ukuran efek-efek tersebut di atas tidak begitu besar, namun tidak berarti remeh. Untuk memperbaiki angka korupsi kepala daerah, yaitu dari median dengan angka 42.9 ke kuartil lebih tinggi dengan angka 49.1, sesuai Tabel 5, akan terkait dengan pertumbuhan dalam pengeluaran per kapita menjadi 0.15% lebih rendah. Tetapi untuk mencapai perbaikan angka yang sama dalam persepsi perusahaan dengan kepala daerah mengambil langkah tegas melawan korupsi akan meningkatkan pertumbuhan sebanyak 0.38%. Interpretasi yang masuk akal dari hasil-hasil studi tersebut adalah bahwa perilaku dan kompetensi dari pejabat-pejabat daerah memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap pertumbuhan PDP di daerah mereka, yang terdiri atas sejumlah sangat besar aktivitas, yang kebanyakan di antaranya berada di luar kontrol langsung mereka. Namun demikian, mereka memiliki beberapa pengaruh terhadap pabrik-pabrik manufaktur khusus dan terhadap distribusi keuntungan dari pertumbuhan di daerah mereka. Lebih jauh lagi, langkah-langkah yang kuat yang dilakukan oleh pemempin daerah dalam mencegah korupsi, meningkatkan iklim usaha sedemikian rupa yang mendukung pertumbuhan. Pada waktu yang sama, banyak perusahaan mungkin percaya bahwa pertumbuhan menciptakan pencari-pencari keuntungan dan bahwa hal ini sebagian tidak dapat dihindari oleh kepala daerah, menunjukkan bahwa koefisien negatif pada integritas pemimpin ditentukan secara endogenous.. Apakah dugaan ini tepat atau tidak, tidak dapat diingkari kenyataan bahwa data tersebut tidak mendukung adanya suatu hubungan positif yang kuat dan sederhana antara integritas dengan kompeteni dari pejabat-pejabat daerah (namun hal ini kemungkinan sesuai untuk sejumlah alasan) dan pertumbuhan di tingkat daerah.

46

Tabel 5: Regresi dengan Menggunakan Variabel-Variabel Integritas

Pertum buhan PDB Termasuk minyak Variabel Pengendali Pendapatan awal* Jumlah Penduduk tercatat 2001 Jumlah Penduduk SLTP(2001) dg siswa 0.077655* [0.041] 0.009102* ** [0.003] 0.006007* ** [0.002]

Pertumbu han PDB Bukan minyak 0.008575** * [0.003] 0.006007** * [0.002] 0.069613* [0.040] 0.040855** [0.020] 0.004841 [0.008]

Manufaktu r Pertumbu han PDB

Pengelua ran Pertumbu han 0.028899* ** [0.009] 0.002143 [0.002] 0.108032* * [0.042] 0.085326* ** [0.028] 0.010641 [0.007]

-0.001896 [0.002] 0.000935 [0.003] 0.027293 [0.072] -0.030720 [0.035] -0.005257 [0.016]

Akses telpon per Rumah Tangga (2000) 0.029333 [0.021] Kontribusi Pertambangan pd 0.031445* PDB (2001) * [0.014] Variabel-variabel Integritas Pemahaman Kepala Drh terhadap permasalahan di bidang usaha 0.000075 [0.000] Penunjukan Pejabat-Pejabat Terampil -0.000107 [0.000] Tindakan tegas terhadap korupsi 0.000243 [0.000] -0.000025 [0.000] -0.000077 [0.000]

0.000089 [0.000] -0.000134 [0.000] 0.000226 [0.000] 0.000045 [0.000] -0.000067 [0.000]

-0.000175 [0.000] 0.000044 [0.000] 0.000307* [0.000] 0.000368** * [0.000] -0.000185 [0.000]

0.000157 [0.000] -0.000068 [0.000] 0.000418* * [0.000] 0.000237* * [0.000] -0.000183* [0.000]

Kepala Daerah kourpsi Pemimpin yang kuat

+

47

Pengaruh Integritas Konstanta

keseluruhan

dari 0.000060 [0.000] 0.068219 [0.051] 0.000048 [0.000] 0.058618 [0.048] 0.000041 [0.000] 0.092318** [0.042] 186 0.11 -0.000200* [0.000] 0.337563* ** [0.111] 186 0.21

Observasi 186 186 R-squared 0.26 0.21 Robust standard errors dalam kurung * signifikan pada 10%; ** signifikan pada 5%; *** signifikan pada 1%

* Pendapatan awal adalah PDB per kapita pada 2001 untuk regresi PDB, PDB bukan minyak per kapita pada 2001 untuk regresi PDB non-minyak, PDB manufaktur per kapita pada 2001 untuk regresi manufaktur; dan pengeluaran per kapita pada 2001 untuk regresi pengeluaran. + variabel ini telah dibalik sehingga sebuah nilai yang lebih tinggi menunjukkan suatu kinerja yang lebih baik.

Pengukuran-Pengukuran Alternatif Tata Kelola PemerintahanReaksi lainnya terhadap hasil-hasil tersebut di atas kemungkinan adalah keraguan terhadap kualitas data Survei Tata kelola Ekonomi Daerah (LEGS). Untunglah, kami dapat mengecek hal tersebut karena kami memiliki data survei yang telah dilaksanakan untuk Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) oleh sebuah lembaga survei. Survei ini telah melihat secara eksplisit kualitas proses perijinan di daerah, yang merupakan satu dari instrumen mendasar dari pemerintahan daerah untuk mempengaruhi iklim investasi di daerah dan juga merupakan komponen penting dari tata kelola ekonomi daerah. Survei tersebut mencakup 291 kabupaten/kota, yang 168 di antaranya juga dicakup oleh survei EGI. Banyak pertanyaan pada survei BKPM serupa dengan pertanyaan yang ditanyakan di dalam bab perijinan dari survei LEGS. Oleh karena itu kami menyusun suatu sub-index mengenai perijinan dari survei BKPM dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendekati pertanyaanpertanyaan yang digunakan untuk menyusun sub-index perijinan dari survei EGI. Jika ternyata ditemukan bahwa sub-index ini berkaitan erat dengan

48

pertumbuhan, sedangkan hasil survei EGI tidak demikian, maka hal ini akan menjadi bukti bahwa (setidaknya) salah satu dari index-index tersebut tidak dapat dipercaya.20 Tabel 6 memperlihatkan koefisien-koefisien pada sub-index perijinan pada LEGS dan BKPM yang dihasilkan dari regresi dari setiap variabel dependen pada seluruh variabel pengendali dan seluruh sub-index. Kolom-kolomnya menunjukkan apakah sub-index perijinan dari LEGS atau BKPM telah digunakan.21

Hasil-hasil regresi untuk pertumbuhan PDB dan pertumbuhan PDB non-minyak menunjukkan bahwa bidang perijinan tetap tidak memiliki pengaruh yang secara statistik signifikan terhadap pertumbuhan dengan menggunakan ukuran BKPM yang menggantikan pengukuran EGI. Hal yang sama berlaku untuk regresi dari pengeluaran per kapita. Namun, regresi pertumbuhan manufaktur menunjukkan perubahan yang mendasar, yaitu perijinan yang menggunakan ukuran BKPM menjadi signifikan secara statistik dan positif. Ini adalah hasil yang menarik. Pertama, hal ini memberikan kepada kita keyakinan terhadap data EGI. Jika telah terdapat hubungan yang kuat antara ukuran BKPM terhadap perijinan dengan pertumbuhan PDB, hal ini akan menunjukkan bahwa ukuran-ukuran EGI kita mungkin cacat - tapi kita tidak melihat hubungan tersebut. Namun, adanya hubungan positif yang kuat antara ukuran perijinan BKPM dan pertumbuhan20

Sub index BKPM terkait dengan ub-index perijinan dari