2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Tinjauan Tentang ... · memecahkan masalah, menghibur,...

54
15 Universitas Kristen Petra 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Tinjauan Tentang Buku Ilustrasi 2.1.1. Pengertian Buku Ilustrasi Mark Wigan dalam “The Visual Dictionary of Illustration” menyebutkan bahwa ilustrasi merupakan salah satu media yang dapat mengkomunikasikan sebuah pesan secara visual dengan cara imajinatif, unik, dan sangat personal untuk memecahkan masalah, menghibur, menginspirasi, mempengaruhi, menginformasi, atau sekedar menghiasi (Wigan, 2009). Seiring dengan perkembangannya, ilustrasi semakin banyak dijumpai pada buku sehingga muncul istilah buku ilustrasi, yaitu buku yang dilengkapi dengan beragam gambar untuk membantu memperjelas isi atau sekedar menghiasi buku. 2.1.2. Perkembangan Buku Ilustrasi 2.1.2.1. Perkembangan Buku Ilustrasi di Dunia Buku ilustrasi pertama kali muncul pada abad ke-15 di Jerman dan Belanda dalam bentuk block book, dimana ilustrasi dan tulisan diukir dalam satu balok kayu yang sama. Block book kemudian berkembang menjadi naskah untuk ritual keagamaan yang disebut illuminated manuscipt. Salah satu illuminated manuscipt yang paling terkenal, yaitu Biblia Pauperum, merupakan sebuah Alkitab dengan banyak ilustrasi sehingga terlihat seperti novel grafis abad pertengahan (Russell, 2016). Setelah penemuan mesin cetak dengan prinsip Intaglio Printing oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1452, buku serta ilustrasi dapat diproduksi dan didistribusikan secara massal (Male, 2007). Intaglio Printing kemudian berkembang menjadi Litography yang lebih mudah dan murah. Seniman dapat langsung menggambar dengan pensil minyak, krayon, atau cat minyak khusus pada permukaan datar yang menyerap cairan seperti batu kapur karena menggunakan prinsip bahwa air tidak dapat bercampur dengan minyak. Litography berperan penting dalam penemuan teknik cetak berwarna yang dapat meningkatkan kualitas ilustrasi secara signifikan (Wigan, 2009).

Transcript of 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Tinjauan Tentang ... · memecahkan masalah, menghibur,...

15 Universitas Kristen Petra

2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA

2.1. Tinjauan Tentang Buku Ilustrasi

2.1.1. Pengertian Buku Ilustrasi

Mark Wigan dalam “The Visual Dictionary of Illustration” menyebutkan

bahwa ilustrasi merupakan salah satu media yang dapat mengkomunikasikan

sebuah pesan secara visual dengan cara imajinatif, unik, dan sangat personal untuk

memecahkan masalah, menghibur, menginspirasi, mempengaruhi, menginformasi,

atau sekedar menghiasi (Wigan, 2009). Seiring dengan perkembangannya,

ilustrasi semakin banyak dijumpai pada buku sehingga muncul istilah buku

ilustrasi, yaitu buku yang dilengkapi dengan beragam gambar untuk membantu

memperjelas isi atau sekedar menghiasi buku.

2.1.2. Perkembangan Buku Ilustrasi

2.1.2.1. Perkembangan Buku Ilustrasi di Dunia

Buku ilustrasi pertama kali muncul pada abad ke-15 di Jerman dan

Belanda dalam bentuk block book, dimana ilustrasi dan tulisan diukir dalam satu

balok kayu yang sama. Block book kemudian berkembang menjadi naskah untuk

ritual keagamaan yang disebut illuminated manuscipt. Salah satu illuminated

manuscipt yang paling terkenal, yaitu “Biblia Pauperum”, merupakan sebuah

Alkitab dengan banyak ilustrasi sehingga terlihat seperti novel grafis abad

pertengahan (Russell, 2016). Setelah penemuan mesin cetak dengan prinsip

Intaglio Printing oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1452, buku serta ilustrasi

dapat diproduksi dan didistribusikan secara massal (Male, 2007). Intaglio Printing

kemudian berkembang menjadi Litography yang lebih mudah dan murah.

Seniman dapat langsung menggambar dengan pensil minyak, krayon, atau cat

minyak khusus pada permukaan datar yang menyerap cairan seperti batu kapur

karena menggunakan prinsip bahwa air tidak dapat bercampur dengan minyak.

Litography berperan penting dalam penemuan teknik cetak berwarna yang dapat

meningkatkan kualitas ilustrasi secara signifikan (Wigan, 2009).

16 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.1. Lembaran naskah “Biblia Pauperum”

Sumber: https://lithub.com/a-brief-history-of-book-illustration/

Revolusi Industri yang terjadi antara tahun 1750 sampai 1850 di Inggris

menyebabkan teknologi cetak berkembang pesat sehingga ilustrasi menjadi lebih

umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti pada surat kabar, majalah,

atau buku anak (Male, 2007). Ilustrasi tidak hanya berusaha menyampaikan

kenyataan sekitar, tetapi juga mulai mengeksplorasi imajinasi serta narasi

(storytelling). Pada sekitar tahun 1880, terjadi masa keemasan ilustrasi yang

ditandai banyaknya permintaan novel yang dihiasi dengan ilustrasi (Wigan, 2009).

Banyak penulis terkenal yang bekerja sama dengan ilustrator untuk

“menghidupkan” cerita mereka melalui ilustrasi. Oleh karena itu, pada masa ini

muncul banyak buku ilustrasi klasik seperti beberapa dongeng dari Charles

Dickens dan Lewis Carroll.

Charles Dickens, yang terkenal dengan salah satu dongengnya yaitu “A

Christmas Carol”, telah bekerja sama dengan berbagai ilustrator sepanjang

karirnya. Setelah kematian ilustrator pertamanya yaitu Robert Seymour, Dickens

bekerja sama dengan Phiz atau Hablot Knight Browne. Phiz terus bekerja dengan

Dickens selama lebih dari dua dekade dan telah membuat ilustrasi untuk sepuluh

novel Dickens yang di antaranya berjudul “Martin Chuzzlewit” (1843-1844),

“David Copperfield” (1849), dan “A Tale of Two Cities” (1859). Setelah Phiz,

Dickens juga bekerja sama lagi dengan beberapa ilustrator seperti George

Cruikshank dan Luke Fildes. (“Illustrations for”, n.d.)

17 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.2. Ilustrasi “David Copperfield” oleh Phiz

Sumber: https://lithub.com/a-brief-history-of-book-illustration/

Selain menulis “Alice’s Adventure in Wonderland”, Lewis Carroll juga

membuat ilustrasi sederhana untuk naskah awal dongengnya tersebut. Sebelum

menerbitkan naskahnya pada tahun 1865, Carroll bekerja sama dengan Sir John

Tenniel, yang merupakan kartunis dari majalah humor Inggris terkenal yaitu

“Punch”, untuk menyempurnakan ilustrasi awal buatannya. Tenniel melakukan

beberapa perubahan seperti mengubah gaya ilustrasi dari kartunis menjadi realis

dan naturalis, memperbaiki gambar anatomi yang salah, serta menambahkan

interior dan pemandangan yang dapat menarik pembaca kelas menengah pada

waktu itu. Meskipun mengalami banyak perubahan, namun ide serta

penggambaran awal yang dibuat oleh Carroll tetap ada, bahkan membantu

membentuk dunia Alice yang dikenal sekarang (Golden, C. J., 2017).

Gambar 2.3. Ilustrasi “Alice’s Adventure in Wonderland” oleh Lewis

Carroll (kiri) dan Sir John Tenniel (kanan)

Sumber: http://www.victorianweb.org/art/illustration/carroll/golden.html

18 Universitas Kristen Petra

Selain Eropa, perkembangan ilustrasi dunia juga sangat dipengaruhi oleh

beberapa negara Asia, seperti gaya ilustrasi Ukiyo-e asal Jepang yang berperan

penting dalam perkembangan cetak berwarna di Eropa. Gaya Ukiyo-e memiliki

ciri khas berupa warna yang datar dan berani serta penggunaan komposisi dan

garis yang asimetris (Wigan, 2009). Istilah Ukiyo-e dapat diartikan gambaran dari

dunia angan-angan, sehingga pada mulanya gaya ini banyak mengangkat tema

gaya hidup hedonisme seperti pelacur terkenal atau hal-hal erotis lainnya. Seiring

dengan perkembangannya, Ukiyo-e mulai banyak digunakan untuk publikasi

massal seperti buku ilustrasi, sehingga subjeknya mulai beralih ke kehidupan

sehari-hari seperti alam, sejarah, dongeng bahkan tradisi dan kebudayaan masa itu

(“Ukiyo-e”, 2013). Salah satu ilustrator Jepang bergaya Ukiyo-e yang banyak

mengangkat tentang sejarah dan budaya masyarakat adalah Utagawa Kuniyoshi.

Utagawa Kuniyoshi mulai dikenal sebagai ilustrator musha-e (ilustrasi

pejuang) sejak tahun 1827 karena enam seri ilustrasinya yang berjudul “The 108

Heroes of the Suikoden”. Ilustrasi milik Kuniyoshi memiliki ciri khas tersendiri

yaitu penggambaran figur sejarah populer yang dekoratif dan hiperbolis

(Wanczura, n.d.). Selain ilustrasi sejarah, Kuniyoshi mulai membuat ilustrasi

dengan subjek lain, mulai dari adegan kehidupan sehari-hari masyarakat sampai

ilustrasi satire dan ironi menentang represi pemerintahan Shogun Tokugawa saat

itu. Beberapa ilustrasi bertema kehidupan masyarakat karya Kuniyoshi antara lain

seri ilustrasi “Curious Doctor Cures Intractable Disease” (1848) dan “Human-

interest Views of the Fifty-three Stations of the Tôkaidô” (1849).

Gambar 2.4. Beberapa ilustrasi dari seri “Human-interest Views of the Fifty-three

Stations of the Tôkaidô” oleh Utagawa Kuniyoshi

Sumber: http://www.kuniyoshiproject.com/

19 Universitas Kristen Petra

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa perkembangan ilustrasi

di dunia sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya masyarakat yang terjadi

kala itu. Tidak hanya dari segi gaya ilustrasi atau teknik cetak, perkembangan

ilustrasi juga terjadi dari segi konteks atau tema yang diangkat. Buku ilustrasi

yang awalnya terkenal dengan tema dongeng atau cerita anak, lama kelamaan

mulai digunakan sebagai media berekspresi dan berpendapat terhadap fenomena

sosial budaya yang sedang terjadi di masyarakat.

2.1.2.2. Perkembangan Buku Ilustrasi di Indonesia

Ilustrasi di Indonesia pertama kali muncul dalam bentuk yang sangat

sederhana yaitu berupa cap telapak tangan pada dinding Gua Leang-Leang,

Sulawesi Selatan. Kemudian, ilustrasi berkembang menjadi lebih kompleks dan

mulai digunakan untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat seperti

lukisan dinding di Gua Arguni dan Sosorra, Papua. Selain lukisan dinding, bentuk

ilustrasi awal juga dapat dijumpai pada Wayang Beber, yaitu lukisan adegan

peristiwa tertentu pada lembaran kulit binatang yang dibeber atau dibentang.

Wayang Beber menjadi salah satu media bercerita sekaligus hiburan tradisional

Jawa yang populer kala itu.

Gambar 2.5. Pementasan Wayang Beber

Sumber: http://bandungkita.net/2017/12/pementasan-wayang-beber/

Setelah itu, muncul seni ilustrasi yang disertai tulisan pada daun lontar

seperti yang dapat ditemukan di Bali. Ilustrasi dan tulisan yang diukir pada daun

20 Universitas Kristen Petra

lontar ini pada umumnya mengisahkan tentang cerita Mahabarata. Selain untuk

menyampaikan ajaran-ajaran religius, ilustrasi pada daun lontar ini juga

dimanfaatkan sebagai hiasan oleh masyarakat setempat (“Perkembangan Seni”,

2010).

Gambar 2.6. Ilustrasi pada daun lontar

Sumber: http://www.sunda-spirit.com/bali-sehenswuerdigkeiten/bali-

sehenswuerdigkeiten-ostbali/ostbali-tenganan/

Pada masa penjajahan Belanda, seni ilustrasi Indonesia mulai

berkembang ke arah yang lebih modern dengan adanya penggabungan budaya

Belanda dan Indonesia. Banyak pelukis Belanda yang bekerja di Indonesia dan

mempekerjakan pelukis Indonesia seperti Abdullah Surio Subroto, Mas Pirngadi,

dan Wakidi, yang kemudian menurunkan keahliannya kepada murid-muridnya

sehingga ilustrator Indonesia semakin berkembang. Ketika Balai Pustaka berdiri

pada tahun 1908, banyak ilustrator Indonesia yang ikut mengerjakan ilustrasi

untuk majalah mingguan Balai Pustaka berjudul “Pandji Poestaka”. Beberapa di

antaranya adalah Nasrun, Barli, Ardisoma, Baharudin, dan Abdul Salam. Balai

Pustaka sendiri merupakan perusahaan penerbitan yang didirikan oleh

pemerintahan Belanda untuk mengembangkan bahasa daerah utama Indonesia

seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura sehingga banyak menerbitkan

buku cerita, prosa, majalah atau novel yang berbahasa daerah (“1908: Belanda”,

2016).

21 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.7. Ilustrasi majalah “Pandji Poestaka” terbitan Balai Pustaka

Sumber: http://antikpraveda.blogspot.co.id/

Ilustrasi pada masa penjajahan Belanda kebanyakan bergaya Romantisme

dan Naturalisme yang hanya menggambarkan keindahan alam serta

keharmonisman rakyat Indonesia saja. Hal ini dikarenakan gaya ini merupakan

gaya ilustrasi yang amat digemari oleh para saudagar, pegawai pemerintahan,

serta wisatawan Belanda kala itu. Melihat hal tersebut, seorang seniman Indonesia

bernama S. Sudjojono, mengkritik seni rupa Indonesia dan menganggapnya

sebagai karya yang tunduk pada pandangan kolonialisme dengan menjual

eksotisisme Indonesia. Kemudian, pada tahun 1938 di Jakarta, S. Sudjojono dan

beberapa seniman Indonesia lainnya mendirikan Persatuan Ahli Gambar

Indonesia (PERSAGI) dan berupaya untuk menciptakan “gaya Indonesia baru”

dengan menggabungkan nilai estetik lokal dan modern. PERSAGI menjadi

pelopor bagi sejumlah seniman Indonesia untuk mulai mencari jati diri sehingga

muncul gaya Ekspresionis dan Realisme sosial (Sachari, 2007).

Pada masa penjajahan Jepang, para pemimpin perjuangan mulai

menyadari bahwa seni ilustrasi dapat mendukung sekaligus mendokumentasikan

perjuangan bangsa Indonesia. Melalui poster atau selebaran bertema perjuangan,

majalah kebudayaan yang bernama “Seniman”, dan berbagai bentuk ilustrasi

22 Universitas Kristen Petra

lainnya, para ilustrator Indonesia berusaha menyebarkan semangat dan melakukan

propaganda. Ilustrator majalah yang terkenal pada saat itu adalah Karyono,

Normal Carmil, dan Surono yang bekerja di majalah Asia Raya (Sachari, 2007).

Setelah kemerdekaan Indonesia, teknologi cetak dan ilustrasi semakin

berkembang sehingga beberapa ilustrator Indonesia, di antaranya Abdul Salam

dan Oesman Effendi, dikirim untuk mempelajari lebih dalam mengenai ilustrasi di

Belanda. Setelah kembali, para ilustrator tersebut mulai banyak berperan dalam

membuat ilustrasi untuk buku cerita dan buku pelajaran bahasa seperti “Bintang

Timur”, “Matahari Terbit”, dan “Jalan ke Barat”. Selain itu, Abdul Salam dan

Oesman Effendi juga mengerjakan ilustrasi untuk uang kertas Indonesia pada

masa Orde Lama (Taryadi, 1999).

Gambar 2.8. Buku pelajaran bahasa “Jalan ke Barat”

Sumber: https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/buku-jalan-ke-barat-

indonesia/

Perubahan besar dalam tatanan ekonomi dan industri pada masa Orde

Baru menyebabkan daya beli masyarakat, termasuk dalam membeli buku,

semakin meningkat. Akibatnya, profesi ilustrator di Indonesia ikut bertumbuh

dengan banyaknya media penerbitan yang membutuhkan ilustrasi, seperti koran

23 Universitas Kristen Petra

dan majalah (Taryadi, 1999). Para ilustrator koran yang ternama saat itu antara

lain Prie G.S. Gunawan yang bekerja pada harian “Suara Merdeka” dan

“Cempaka”, serta G. M. Sudarta pada harian “Kompas”. Meskipun kebebasan

pers pada masa Orde Baru masih dibatasi, namun masing-masing ilustrator tetap

berusaha mengembangkan gaya ilustrasi khas sendiri, baik dalam tampilan

gambar maupun tema dari ilustrasi.

Selain dalam koran, ilustrasi juga semakin banyak digunakan dalam

majalah, terutama majalah anak-anak. Salah satu majalah anak pertama yang

dilengkapi dengan ilustrasi berwarna adalah majalah “Bobo”. Pada awal

kemunculannya pada tahun 1973, majalah “Bobo” merupakan gabungan dari

rubrik anak dalam harian “Kompas” dengan isi majalah “Bobo” asal Belanda

yang diterjemahkan. Dalam majalah “Bobo” dapat ditemukan cerita bergambar

dengan karakter tetapnya seperti Bona, Paman Kikuk, Oki, Nirmala, dan masih

banyak lagi. Selain itu, juga terdapat cerita pendek yang dilengkapi ilustrasi

dengan beragam gaya untuk membantu anak memahami cerita. Ilustrator awal

dari majalah “Bobo” sendiri adalah Cahyono dan Adi Permadi yang sudah identik

dengan karakter tertentu serta memiliki gaya ilustrasi khas. Seiring berjalannya

waktu, ilustrator majalah “Bobo” mengalami banyak pergantian, sehingga desain

karakter tetap dalam majalah ini tampak sedikit berbeda dari masa ke masa

(“Sejarah Majalah”, n.d.).

Gambar 2.9. Majalah “Bobo” No.3 Tahun 1991

Sumber: http://bobojadul.blogspot.co.id/2017/08/nomor-03-tahun-ke-xix.html

24 Universitas Kristen Petra

Kesimpulan penulis dari uraian di atas adalah perkembangan ilustrasi di

Indonesia serupa dengan perkembangan ilustrasi dunia, yang berkembang sesuai

dengan gejolak politik dan sosial budaya masyarakatnya. Ilustrasi, baik dalam

buku atau media lainnya, memiliki peran penting dalam perjuangan rakyat pada

masa penjajahan. Pada era Orde Baru, ilustrasi dengan berbagai gaya mulai

muncul di koran dan majalah sebagai media berpendapat. Sedangkan, ilustrasi

yang menemani cerita bergambar dan cerita pendek dalam majalah anak seperti

“Bobo” berperan sebagai media hiburan dan pendidikan anak kala itu.

2.1.3. Jenis-jenis Ilustrasi

2.1.3.1. Berdasarkan Teknik

a. Tradisional

Ilustrasi tradisional merupakan ilustrasi yang dibuat dengan cara manual, hand-

crafted, serta membutuhkan persiapan media atau alat gambar berbeda-beda

sesuai dengan teknik yang akan digunakan (Bilyana, 2017). Beberapa contoh

ilustrasi tradisional adalah sebagai berikut:

Woodcut (Ukiran Kayu)

Merupakan teknik pembuatan ilustrasi massal paling kuno yang banyak

digunakan pada naskah-naskah abad pertengahan. Ciri khas teknik Woodcut

adalah garis yang relatif tebal serta mampu memberikan kesan lebih kasar dan

bertekstur. Salah satu contoh karya Woodcut yang paling terkenal adalah

Ukiyo-e oleh Katsushika Hokusai berjudul “Under the Wave off Kanagawa”

atau “The Great Wave”

Metal Etching (Etsa Logam)

Dalam teknik Metal Etching, ilustrator menggoreskan gambar dengan jarum

etsa pada pelat logam seperti tembaga, seng, atau besi. Kelebihan dari teknik

ini adalah dapat menghasilkan gaya ilustrasi yang beragam sesuai dengan

proses dan bahan yang digunakan, seperti gaya cat air dengan menggunakan

proses aquatint (pelat tembaga dietsa dengan asam nitrat).

Ilustrasi Pensil

Merupakan jenis ilustrasi yang paling populer karena tidak membutuhkan

banyak persiapan serta keahlian khusus dalam proses pembuatannya. Selain

itu, hanya dengan menggunakan media pensil dapat dihasilkan beragam gaya

25 Universitas Kristen Petra

seperti ilustrasi dengan bayangan dan gradasi yang halus atau dengan garis

yang tajam dan akurat. Ilustrasi pensil banyak digunakan untuk membuat

sketsa karena sifatnya yang mudah dihapus.

Ilustrasi Arang

Ilustrasi arang tidak dapat menghasilkan gambar yang detail seperti ilustrasi

pensil atau pena sehingga lebih banyak digunakan untuk membuat sketsa

kasar. Salah satu ciri khas dari ilustrasi arang adalah goresannya yang tebal,

halus, dan gelap. Jenis arang yang berbeda juga dapat menghasilkan gaya

garis yang berbeda, seperti charcoal pencil yang menghasilkan garis tajam

dan tipis atau vine charcoal yang menghasilkan garis halus dan lembut.

Litography (Litografi)

Teknik Litografi dapat menghasilkan ilustrasi dengan kesan lembut, gradasi

yang halus, serta warna pucat pada beberapa bagian. Teknik ini lebih mudah

digunakan karena ilustrator dapat menggambar langsung pada permukaan

batu kapur dengan media minyak atau lilin seperti krayon atau cat minyak.

Sekarang, teknik Litografi berkembang menjadi Offset Litography yang

digunakan untuk mencetak buku dan majalah dengan ilustrasi berwarna.

Ilustrasi Cat Air

Teknik ilustrasi yang sudah digunakan sejak abad ke-18 di Inggris untuk

membuat ilustrasi studi topografi, tumbuhan, dan alam liar. Sekarang, banyak

dijumpai pada ilustrasi makanan, fashion, atau ilustrasi bergaya feminin

karena sifatnya yang terkesan lembut, halus, serta ringan. Melalui media cat

air, ilustrator dapat menciptakan berbagai macam gradasi dan transparasi

warna dengan cara menambahkan air ke dalam campuran pigmen warna.

Gouache Illustration

Cat gouache mampu menghasilkan warna yang tebal, tidak transparan, dan

lebih gelap apabila dibandingkan dengan cat air. Pada abad ke-20, cat

gouache banyak digunakan dalam pembuatan Cell Animation, yaitu teknik

pembuatan film animasi dengan menggambar pada lembaran seluloid

transparan atau celluloid sheets. Karakter dari animasi yang membutuhkan

warna solid akan diwarnai dengan cat gouache, sedangkan background akan

26 Universitas Kristen Petra

diwarnai dengan cat air. Salah satu kelebihan dari cat gouache adalah sifatnya

yang cepat kering.

Ilustasi Akrilik

Cat akrilik banyak digunakan oleh ilustrator pemula karena lebih mudah

penggunaannya. Selain itu, juga dapat diaplikasikan pada hampir semua jenis

permukaan dan tahan air ketika mengering. Ilustrator biasa memanfaatkan cat

akrilik untuk membuat ilustrasi dengan teknik impasto, yaitu teknik

menggoreskan cat secara tebal hingga cat menjadi lebih tinggi atau timbul

dari permukaan kertas.

Ilustrasi Kolase

Ilustrasi yang dibuat dengan cara menggabungkan dan mengatur berbagai

jenis material yang berbeda ke dalam sebuah bidang kerja. Teknik kolase

sudah ada sejak peradaban kuno sebagai salah satu media komunikasi, ritual,

maupun hiasan. Beberapa tahun terakhir, ilustrasi kolase kembali populer dan

banyak ditemukan dalam ilustrasi poster iklan, buku pop-up, sampul buku,

dan masih banyak lagi.

Gambar 2.10. Contoh ilustrasi kolase karya Gustavo Aimar

Sumber: http://illustrationfriday.com/2013/05/artist-gustavo-aimar/

27 Universitas Kristen Petra

Ilustrasi Pena dan Tinta

Sama seperti teknik Woodcut, tinta dapat menghasilkan gambar dengan

kontras tinggi serta garis yang tipis dan tajam. Jenis pena yang berbeda

mampu menciptakan ilustrasi dengan gaya yang berbeda pula seperti quill

pen, fountain pen, technical pen, dan ballpoint. Kelemahan dari teknik ini

adalah lebih sukar dalam membuat gradasi warna. Meskipun demikian,

gradasi masih dapat diperoleh dengan membuat variasi ketebalan atau jarak

dari goresan tinta. Ilustrasi pena dan tinta banyak ditemukan di terbitan

berkala, koran, atau buku yang tidak berwarna.

b. Modern

Kemajuan teknologi menyebabkan banyak ilustrator yang beralih ke teknik

modern dengan menggunakan software khusus menggambar karena dapat meniru

efek yang dihasilkan oleh berbagai alat gambar tradisional seperti cat air, akrilik,

atau gouche serta lebih mudah diatur (Bilyana, 2017). Ilustrasi modern dapat

dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

Freehand Digital Illustration

Kelebihan utama dari teknik freehand adalah dapat menciptakan transisi

gelap terang yang halus, warna yang kompleks, serta komposisi gambar yang

lebih detail. Ilustrasi digital dengan teknik ini biasanya mempunyai format

raster, yaitu gambar berbasis pixel dengan resolusi tetap sehingga hanya

dapat dicetak sampai ukuran tertentu sebelum kualitasnya menurun.

Gambar 2.11. Contoh freehand digital illustration karya Nicolás Castell

Sumber: http://www.nicolascastell.com/Ukiyo-e-Tale

28 Universitas Kristen Petra

Vector Illustration

Ilustrasi vector berbasis koordinat matematika sehingga dapat diubah

ukurannya sesuai dengan keinginan tanpa penurunan kualitas gambar serta

mempunyai ukuran file gambar yang lebih kecil. Meskipun demikian,

ilustrasi vector tidak dapat menghasilkan transisi warna yang halus seperti

freehand. Ciri khas dari ilustrasi ini adalah garis atau bentuk gambar yang

jelas serta terkesan bersih dan rapi. Ilustrasi vector banyak digunakan untuk

membuat ilustrasi bergaya flat yang umumnya ditemukan pada desain

website.

2.1.3.2. Berdasarkan Bentuk

a. Concept Art

Istilah concept art pertama kali digunakan pada tahun 1930-an dalam proses

pembuatan film animasi oleh Walt Disney. Dalam concept art, ilustrasi berfungsi

untuk memberikan gambaran pemahaman atau interprestasi dari sebuah tema

tertentu. Concept art digunakan pada hampir semua bentuk ilustrasi lainnya

seperti komik, novel grafis, animasi, atau bahkan game sebagai pedoman dari

proses produksi.

b. Ilustrasi Editorial

Ilustrasi editorial merupakan ilustrasi yang biasa mendampingi cerita pendek atau

artikel yang dimuat pada koran, majalah, maupun bentuk terbitan berkala lainnya.

Ilustrator dalam editorial akan bekerja dengan klien dan diberikan batas waktu

pengerjaan yang ketat. Meskipun tidak memberikan kebebesan penuh, namun

ilustrasi editorial dapat menjadi lahan bagi para ilustrator untuk mencoba teknik

baru serta memperkenalkan karya kepada target audience editorial yang lebih

luas.

c. Buku Ilustrasi

Buku ilustrasi tidak hanya berbentuk buku cerita, tetapi juga dapat berupa buku

edukasi atau jenis buku lainnya yang mengandung ilustrasi. Buku ilustrasi yang

berupa cerita biasanya memanfaatkan teknik sequence drawing, yaitu teknik

menggambar ilustrasi yang berhubungan satu sama lain secara berurutan dan

logis. Dalam sequence drawing, ilustrator hanya menggambarkan momen utama

atau penting saja sehingga pembaca dapat memahami isi cerita, bahkan tanpa

29 Universitas Kristen Petra

membaca tulisan narasi. Selain itu, melalui sequence drawing, ilustrator dapat

menggiring mata pembaca, menciptakan suasana tertentu, serta memberikan kesan

ruang pada cerita. Berbeda dengan komik dan novel grafis, buku ilustrasi tidak

menggunakan panel serta balon kata dalam penataan gambar sequence dan teks,

serta mengandung lebih banyak tulisan narasi.

Gambar 2.12. Contoh buku ilustrasi berjudul “House Held Up by Trees”

Sumber: https://id.pinterest.com/pin/311452130452318380/

d. Buku Anak

Buku anak merupakan salah satu bentuk buku ilustrasi yang dikhususkan untuk

dibaca anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Buku anak dapat menceritakan

beragam kisah, mulai dari cerita fabel, cerita rakyat, dongeng, sampai cerita non-

fiksi. Unsur utama dari buku anak adalah cerita yang mengandung ajaran moral

serta karakter yang positif dan didesain sedemikian rupa sehingga mampu

membangkitkan imajinasi anak-anak. Gaya ilustrasi yang digunakan dalam buku

anak beragam menyesuaikan dengan jenis cerita serta umur dari target pembaca.

e. Komik dan Novel Grafis

Komik yang terdiri dari satu cerita sama yang panjang dalam sebuah buku disebut

sebagai novel grafis. Salah satu bentuk novel grafis yang paling terkenal adalah

“The Tintin Album” oleh Hergé. Sama seperti buku ilustrasi, komik serta novel

grafis merupakan gambar sequence yang disertai teks atau informasi visual

lainnya, untuk menyampaikan ide, informasi, maupun cerita. Gambar dan tulisan

pada umumnya akan diatur dalam sebuah panel serta balon kata yang berurutan.

Panel berfungsi untuk menggiring mata pembaca sesuai dengan alur cerita,

30 Universitas Kristen Petra

sedangkan balon kata digunakan untuk menunjukkan dialog, narasi, atau efek

suara. Gaya ilustrasi kartunis sering dijumpai dalam komik karena tidak

mengutamakan prinsip anatomi dan perspektif sehingga lebih mudah digambar

dalam jangka waktu panjang.

f. Corporate Illustration (Ilustrasi Perusahaan)

Ilustrasi perusahaan merupakan ilustrasi yang dibuat untuk menggambarkan

Unique Selling Proposition (USP) suatu perusahaan atau brand kepada

sekelompok target audience yang spesifik. Ilustrasi perusahaan dapat berupa

desain logo, iklan, atau kemasan produk. Logo adalah simbol, ikon, maupun tanda

yang mempunyai ciri khas sederhana, mudah dikenali, serta menarik perhatian,

untuk menggambarkan suatu institusi, perusahaan, atau brand. Sedangkan,

ilustrasi biasanya digunakan dalam iklan sebagai medium untuk menyampaikan

pesan dengan lebih fleksibel, sehingga mampu menerjemahkan ide lebih baik.

Ilustrasi dalam desain kemasan berperan sangat penting untuk membantu menjual

serta memberikan gambaran produk di dalamnya karena menjadi pembungkus

luar yang pertama kali dilihat oleh konsumen.

2.1.3.3. Berdasarkan Konteks

a. Ilustrasi Literal

Ilustrasi literal bertujuan untuk menggambarkan kejadian yang sebenarnya secara

harfiah, akurat, dan dapat dipercaya sehingga visualnya tidak menekankan pada

konsep, alegori atau metafora, serta mengutamakan detail yang akurat. Pada

dasarnya, ilustrasi literal dibagi lagi menjadi dua, yaitu ilustrasi linear dan tonal.

Ilustrasi linear memanfaatkan garis untuk membentuk objek, biasanya berwarna

datar dan tidak terlalu banyak gradasi. Sedangkan, ilustrasi tonal menggunakan

transisi warna gelap terang untuk membentuk suatu objek sehingga terlihat lebih

realis. Ilustrasi literal tidak hanya terbatas pada ilustrasi kehidupan nyata saja,

namun juga dapat berupa ilustrasi fantasi yang masih memperlihatkan komponen

atau interaksi secara nyata dan meyakinkan. Sekarang, ilustrasi literal dapat

dijumpai dalam ilustrasi buku referensi, iklan, ensiklopedia, dan beberapa narasi

fiksi seperti komik atau novel grafis (Male, 2007).

31 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.13. Ilustrasi literal tentang petani cokelat Madagaskar oleh Lucy Rose

Sumber: http://www.theartworksinc.com/2018/03/06/lucy-roses-fantastic-new-

editorial-illustrations-waitrose/

b. Ilustrasi Konseptual

Ilustrasi konseptual adalah ilustrasi yang bersifat konsep serta menggunakan

metafora sebagai penggambaran sebuah ide. Eleman dalam ilustrasi ini dapat

mengambil dari dunia nyata yang dimodifikasi sedemikan rupa untuk

menyampaikan sebuah pesan. Sifatnya yang lebih bebas ketimbang ilustrasi literal

menyebabkan ilustrasi berjenis ini banyak dimanfaatkan untuk mempresentasikan

isu atau tema yang kritis dan kompleks, seperti di majalah atau koran. Beberapa

contoh isu yang sering diangkat antara lain isu ekonomi, politik, dan sosial (Male,

2007).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan apabila ilustrasi sering

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai bentuk. Tidak hanya buku,

ilustrasi dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk lain seperti desain kemasan, iklan,

koran, dan masih banyak lagi. Kerajinan “Téng-téngan” juga menggunakan

prinsip salah satu teknik ilustrasi tradisional, yaitu teknik kolase yang

menggabungkan potongan-potongan gambar menjadi sebuah karya. Sedangkan,

buku ilustrasi yang akan dirancang oleh penulis termasuk dalam freehand digital

illustration dengan gaya penyampaian ilustrasi literal.

32 Universitas Kristen Petra

2.1.4. Fungsi dan Peranan Buku Ilustrasi dalam Sosial Budaya

Pada awal kemunculannya, ilustrasi selalu berusaha untuk

menyampaikan fenomena atau peristiwa penting yang telah terjadi secara objektif

sebagai media informasi, dokumentasi, maupun pembelajaran. Hal ini dapat

dilihat dari banyaknya ilustrasi dalam buku-buku pembelajaran antropologi (studi

kebudayaan manusia) dan arkeologi (studi peninggalan kuno manusia) yang

dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, misalnya dalam hal arah pencayahaan

atau layout, agar dapat menyampaikan informasi seakurat mungkin. Selain

memberikan informasi, ilustrasi juga memiliki kemampuan sebagai media

propaganda agar masyarakat mempercayai kebenaran tertentu, seperti yang dapat

ditemukan pada ilustrasi kemenangan perang, potret penguasa, dan ikon religius

(Male, 2007).

Sekarang, ilustrasi tetap berperan sebagai media informasi dalam bidang

sosial budaya, namun dengan gaya, isi, dan bentuk yang lebih bebas. Bentuk

media utama ilustrasi, yang awalnya dominan buku fisik, kini mulai beralih ke

digital karena teknologi yang semakin berkembang pesat. Sifat ilustrasi yang

semakin bebas dan mudah diakses juga menyebabkan ilustrasi menjadi salah satu

media untuk menyampaikan opini mengenai peristiwa yang terjadi. Salah satunya

adalah melalui ilustrasi editorial yang berisi fakta beserta opini mengenai

fenomena sosial budaya masyarakat seperti gaya hidup, kesenjangan sosial, dan

masih banyak lagi (Male, 2007).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa peran ilustrasi dalam kehidupan sosial

budaya selalu berkembang dari masa ke masa, serta dapat mempengaruhi pola

pikir dan kebiasaan masyarakat secara tidak langsung. Sebagai contohnya, dahulu

kreatifitas dalam ilustrasi masih kurang dihargai karena fungsi ilustrasi sendiri

yang hanya sebatas media informasi. Berbeda dengan masa kini, dimana

kreatifitas dan keunikan menjadi modal utama seorang ilustrator agar dapat

dibedakan dengan ilustrator lain yang semakin banyak. Tidak hanya mengubah

pola pikir para ilustrator, perubahan peran ilustrasi juga mengubah pola pikir

masyarakat secara umum menjadi lebih kritis dalam menanggapi fakta dan opini

dalam ilustrasi. Selain itu, bentuk buku ilustrasi, yang mulai beralih ke digital,

menyebabkan budaya membaca masyarakat juga beralih menjadi serba digital.

33 Universitas Kristen Petra

2.2. Tinjauan Buku Digital

2.2.1. Pengertian Buku Digital

Buku digital atau yang lebih dikenal dengan nama e-book adalah buku

yang dibuat atau diubah dalam format digital sehingga dapat ditampilkan pada

perangkat elektronik seperti komputer, smartphone, dan gadget lainnya (Ihsan,

2016). Buku digital merupakan perkembangan dari buku fisik yang, selain berisi

teks atau gambar, juga biasa dilengkapi dengan video dan suara.

2.2.2. Jenis dan Format Buku Digital

a. Membutuhkan Aplikasi E-reader

Buku digital dengan jenis ini adalah buku digital yang lebih dikenal oleh

masyarakat karena merupakan buku fisik yang dikonversi menjadi buku digital.

Sama halnya dengan buku fisik, buku digital yang bergantung pada e-reader pada

umumnya hanya berisi teks dan gambar karena adanya batasan-batasan dari segi

ukuran file serta layout dalam proses pembuatan buku. Beberapa contoh jenis

buku fisik yang sering dikonversi menjadi buku digital dengan format ini adalah

buku referensi, pelajaran, atau majalah yang mengandung banyak teks serta

gambar.

Aplikasi e-reader sendiri merupakan aplikasi dalam perangkat digital yang

dibutuhkan untuk mengakses serta membaca beberapa format buku digital.

Beberapa contoh formatnya adalah Portable Document Format (PDF) dan

Electronic Publication (Epub). Kedua format tersebut merupakan format standar

buku digital dan sudah terkenal luas. Format PDF lebih banyak digunakan pada

komputer atau laptop karena ukuran teks yang tidak dapat berubah menyesuaikan

dengan layar kecil seperti handphone. Sedangkan, format Epub lebih banyak

digunakan pada perangkat gadget karena ukuran teks yang dinamis sehingga

mampu menyesuaikan dengan layar perangkat kecil serta dilengkapi dengan daftar

isi untuk memudahkan akses pembaca. Masing-masing format buku digital

membutuhkan e-reader yang berbeda-beda, seperti format buku PDF hanya dapat

dibuka oleh e-reader khusus PDF (Adobe Acrobat Reader), dan Epub dengan e-

reader khusus Epub (Scoop) (Ihsan, 2016).

34 Universitas Kristen Petra

b. Tidak Membutuhkan Aplikasi E-reader

Jenis buku digital ini merupakan perkembangan dari buku digital yang

membutuhkan e-reader karena sudah berupa aplikasi yang berdiri sendiri. Format

aplikasi yang sering dijumpai adalah Executable (EXE) pada perangkat komputer

atau Android Package File (APK) pada perangkat gadget berbasis Android

(Nurhadi, 2017). Lain halnya dengan buku digital berformat PDF atau Epub, buku

digital dengan format aplikasi biasanya dibuat khusus untuk perangkat digital dan

bukan sekedar konversi dari buku fisik. Banyak buku cerita anak interaktif yang

memanfaatkan format ini karena dapat menambahkan unsur-unsur lain yang

menarik perhatian anak-anak seperti animasi dan suara. Selain itu, juga dapat

menambahkan interaksi sederhana sehingga anak-anak bisa belajar sambil

bermain dan bereksplorasi. Salah satu buku cerita anak interaktif yang paling

populer adalah seri Living Book, yaitu kumpulan beberapa cerita anak berbeda

yang dilengkapi dengan animasi serta lagu.

Gambar 2.14. Aplikasi buku digital “A Raven Monologue” oleh Mojiken Studio

Sumber: https://mojiken.itch.io/raven

Dari kedua jenis buku digital tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri, sehingga digunakan

untuk jenis buku yang berbeda pula. Buku digital yang membutuhkan e-reader

seperti PDF atau Epub, lebih cocok digunakan untuk jenis buku yang hanya

mengandung teks atau gambar karena lebih terbatas dalam segi teknis. Sedangkan,

buku digital berformat aplikasi lebih cocok digunakan oleh jenis buku yang

membutuhkan tambahan animasi atau musik sebagai pendukung isi karena

sedikitnya batasan dalam hal teknis. Oleh karena itu, jenis inilah yang akan

digunakan oleh penulis dalam perancangan buku ilustrasi digital.

35 Universitas Kristen Petra

2.2.3. Fungsi Buku Digital

a. Sebagai media pembelajaran alternatif yang lebih menarik. Berbeda dengan

buku konvensional, buku digital, terutama yang berupa aplikasi, dapat

memuat konten multimedia seperti animasi, video, dan suara. Selain itu,

dengan bantuan interaksi sederhana, anak-anak dapat bereksplorasi dan lebih

terlibat secara aktif sehingga memudahkan proses pemahaman cerita atau

pembelajaran yang disampaikan (Ihsan, 2016).

b. Media berbagi informasi yang lebih cepat dan mudah diakses. Buku dengan

format digital dapat disebarluaskan dengan mudah melalui internet dan

jejaring sosial sehingga pembacanya juga tidak terbatas dalam satu wilayah

atau bahkan negara. Selain memudahkan pembaca, juga memudahkan penulis

atau pengarang buku dalam membuat dan menerbitkan buku secara

independen melalui berbagai situs di internet (Ihsan, 2016).

2.3. Tinjauan Animasi

Menurut Philip Denslow dalam “Historical Dictionary of Animation and

Cartoons”, animasi adalah ilusi gambar bergerak yang berasal dari perubahan

posisi gambar benda mati secara berurutan dengan sedikit perubahan (Dobson,

2009). Animasi mulai dikenal oleh masyarakat dunia pada awal abad ke-19 dalam

bentuk Flipper Book, yaitu buku notes berisi gambar sequence atau berurutan

yang dijilid pada satu sisi. Apabila halaman Flipper Book dibalik secara cepat,

dapat muncul ilusi gerakan atau animasi. Teknik membalik halaman bergambar

dengan cepat ini digunakan dalam proses pembuatan film animasi klasik untuk

memeriksa apakah ada gambar yang salah dan perlu perbaikan (Williams, 2002).

Pada abad ke-20, industri animasi berkembang pesat dengan kemunculan

film animasi bersuara pertama buatan Walt Disney yaitu “Steamboat Willie”

(1928). Setelah itu, mulai muncul banyak film animasi klasik lainnya yang

dikenal sampai sekarang seperti “Looney Tunes” (1930-1969) oleh Warner

Brother, “Pinocchio” (1937) dan “Snow White and the Seven Dwarves” (1940)

oleh Walt Disney, dan masih banyak lagi. Periode tersebut menjadi masa

keemasan dari industri animasi karena banyaknya film animasi atau kartun yang

diproduksi dengan kualitas yang baik, inovatif, serta menghibur. Selama beberapa

36 Universitas Kristen Petra

tahun ke depan, Disney mendominasi industri animasi dan mulai bekerja sama

dengan studio Pixar untuk membuat animasi tiga dimensi (3D). Beberapa film

animasi 3D pertama yang diproduksi oleh Disney antara lain “Toy Story” (1995)

dan “Finding Nemo” (2003) (Dobson, 2009).

Apabila dilihat dari teknik pembuatannya, animasi dapat dikategorikan

menjadi tiga jenis yaitu animasi stop-motion, animasi tradisional, dan animasi

modern. Animasi stop-motion atau yang sering disebut claymotion merupakan

animasi yang dihasilkan dari pengambilan gambar suatu objek, biasanya terbuat

dari clay, yang digerakan sedikit demi sedikit untuk menciptakan gerakan yang

alami. Beberapa contoh film animasi klasik yang menggunakan teknik stop-

motion antara lain “Rudolph the Red-Nosed Reindeer” (1964) dan “The

Nightmare Before Christmas” (1993). Animasi tradisional atau animasi dua

dimensi (2D) merupakan teknik pembuatan animasi dengan menggambar setiap

pergerakan objek sedikit demi sedikit atau frame by frame. Awalnya, animasi 2D

digambar pada celluloid sheets yang transparan menggunakan prinsip layer.

Sekarang, animasi 2D sudah dikerjakan dengan menggunakan bantuan komputer

yang dapat memudahkan proses menggambar pergerakan (Candra, 2017).

Gambar 2.15. Animasi 2D “The Jungle Book” oleh Walt Disney Productions

Sumber: http://framexframe.tumblr.com/

Animasi tiga dimensi (3D) termasuk dalam animasi modern karena

memanfaatkan teknologi komputer sepenuhnya untuk menciptakan gambar

animasi yang mempunyai kedalaman. Para animator 3D memerlukan pemahaman

lebih dalam mengoperasikan software animasi 3D, karena hampir seluruh proses

37 Universitas Kristen Petra

pembuatan animasi dilakukan secara digital dalam komputer. Berbeda dengan

animasi 2D, animasi 3D tidak lagi menggunakan teknik frame by frame. Proses

pembuatan animasi 3D biasanya dimulai dengan membuat karakter dan

environment dalam bentuk 3D atau yang biasa disebut dengan 3D modeling.

Kemudian dilanjutkan dengan rigging yaitu proses pemberian “tulang” pada

karakter agar dapat bergerak. Setelah itu baru animator dapat membuat animasi

karakter sesuai dengan storyboard yang telah dibuat dan melakukan rendering

atau proses penampilan model 3D ke bentuk citra 2D (Candra, 2017).

Gambar 2.16. Animasi 3D “Frozen” oleh Walt Disney Productions

Sumber: http://framexframe.tumblr.com/

Dalam pembuatan semua jenis animasi, seorang animator harus

memahami dua belas prinsip animasi, yaitu prinsip-prinsip yang harus ada dalam

sebuah animasi agar menarik, dinamis, dan tampak alami. Dua belas prinsip

tersebut adalah timing, ease in and out, arcs, follow through and overlapping

action, secondary action, squash and stretch, exaggeration, straight ahead and

pose to pose, anticipation, staging, personality, serta appeal (Williams, 2002).

Sekarang, software untuk membuat animasi, baik 2D maupun 3D, sudah semakin

banyak serta mudah diakses dan dipelajari. Akibatnya, banyak muncul animator-

animator yang memproduksi dan merilis film animasi pendek secara independen.

Selain itu, animasi juga mulai banyak digunakan dalam bidang lain seperti game,

logo, iklan, desain website, dan masih banyak lagi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa animasi merupakan ilustrasi yang

digambar secara berurutan dengan sedikit perubahan sehingga dapat menciptakan

38 Universitas Kristen Petra

ilusi bergerak. Perkembangan teknologi menyebabkan animasi semakin

berkembang, baik dari teknik maupun penggunaannya, sehingga semakin sering

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Menurut penulis, teknik pembuatan

animasi selalu berkembang agar terlihat lebih meyakinkan atau terasa nyata. Hal

ini dapat dilihat dari perkembangan animasi yang dahulu masih 2D, belum

berwarna, dan bersuara, sampai sekarang sudah menggunakan teknologi 3D

sehingga terlihat nyata. Animasi tidak hanya digunakan dalam film, tapi juga

sudah banyak digunakan dalam game atau platform lain yang membutuhkan

animasi. Bentuknya bisa kompleks atau sederhana seperti gambar GIF looping

yang nantinya akan digunakan penulis dalam perancangan buku ilustrasi digital.

2.4. Tinjauan Permasalahan

2.4.1. Tinjauan Lampion

2.4.1.1. Pengertian Lampion

Secara kebahasaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lampion

adalah lentera yang terbuat dari kertas dengan penerangan berupa lilin di

dalamnya dan biasa digunakan pada pesta atau perayaan tertentu. Lampion

umumnya berfungsi sebagai alat penerangan dalam rumah sebelum Cina dialiri

listrik. Lampion baru digunakan dalam perayaan Tahun Baru Imlek sekitar tahun

1300-an pada era dinasti Ming (Zulkarnain, 2017).

2.4.1.2. Perkembangan Lampion

Lampion diperkirakan pertama kali muncul di Cina sekitar abad ketiga

masehi pada zaman dinasti Han. Pada awal kemunculannya, lampion banyak

menggunakan kulit binatang atau kain sebagai bahan dasarnya. Setelah teknik

pembuatan kertas ditemukan, para perajin lampion mulai beralih ke bahan baku

kertas karena lebih mudah dan terjangkau. Bentuk awal lampion, selain bulat, juga

dapat berbentuk kotak, jajaran genjang, atau bentuk geometris lainnya. Lampion

tersebut pada umumnya berwarna merah karena warna merah dianggap sebagai

simbol keberuntungan, kebahagiaan, serta berkah yang melimpah dalam filosofi

Cina. Selain itu, ukuran lampion juga tidak terlalu besar karena biasa dibawa oleh

para biksu sebagai penerangan ketika beribadah kepada para dewa. Lama-

kelamaan kebiasaan para biksu tersebut diikuti oleh keluarga kerajaan serta

39 Universitas Kristen Petra

masyarakat umum sehingga lampion menjadi bagian dari ritual keagamaan,

bahkan mempunyai perayaannya sendiri yaitu Festival Lampion. Tidak hanya

sebagai simbol religius, dahulu lampion juga merupakan simbol kesuburan,

sehingga wajib ada dan dinyalakan pada malam pertama pengantin baru di Cina

(Malagina, 2014).

Seiring dengan perkembangan zaman, lampion semakin berkembang,

baik dari segi bentuk, corak, maupun fungsinya, menjadi lampion modern seperti

yang dikenal sekarang. Bentuk lampion modern lebih beragam, tidak hanya

berbentuk geometris, tetapi juga ada yang berbentuk seperti tokoh karakter kartun,

binatang dari zodiak Cina, atau karakter lainnya yang sedang populer. Ukurannya

juga ada yang sangat besar atau kecil menyesuaikan dengan fungsinya masing-

masing. Penerangan lampion yang awalnya menggunakan lilin, sekarang sudah

menggunakan bola lampu yang berwarna-warni menyesuaikan dengan bentuk

karakternya sehingga terlihat lebih semarak. Oleh karena itu, selain digunakan

dalam tradisi ritual keagamaan, lampion modern juga sering dijumpai sebagai

hiasan pada perayaan ulang tahun kota, festival, maupun taman rekreasi bertema

lampion. Lampion modern tidak hanya digantung atau dibawa saja, tetapi juga

dapat diterbangkan sebagai simbol melepaskan kehidupan lama seperti Sky

Lantern (lampion terbang) di Taiwan (“Types of”, n.d.).

Gambar 2.17. Contoh lampion modern pada salah satu festival lampion di Cina

Sumber: https://www.brilio.net/wow/10-foto-indahnya-festival-lampion-di-

beijing-ini-bikin-pengen-ke-sana-161228r.html

40 Universitas Kristen Petra

Jadi, kesimpulannya perkembangan lampion pada umumnya

menyesuaikan dengan perubahan fungsi dan cara penggunaannya sendiri. Dahulu,

karena banyak digunakan sebagai penerangan dengan cara dibawa atau digantung,

bentuk dan ukuran lampion awal menjadi terbatas agar lebih praktis. Warna serta

coraknya juga kebanyakan serupa karena menjadi simbol yang penting dalam

ritual keagamaan atau tradisi. Sekarang, karena fungsi utamanya sebagai hiasan

yang lebih mengutamakan keindahan ketimbang filosofi, maka bentuk, warna,

ukuran serta corak lampion modern lebih bebas sehingga lebih beragam.

2.4.1.3. Jenis-jenis Lampion Tradisional

Berdasarkan bentuk dan fungsinya, lampion tradisional Cina dibagi lagi

menjadi tiga jenis, yaitu Palace Lantern (lampion kerajaan), Gauze Lantern

(lampion kertas), dan Shadow-picture Lantern (lampion gambar-bayangan).

Lampion kerajaan merupakan lampion yang banyak digantung di istana dan

kelenteng Cina pada zaman kuno. Bentuk Lampion kerajaan beragam, mulai dari

segi delapan sampai segi enam dan dihiasi dengan berbagai motif penuh warna

seperti naga dan burung phoenix. Selain sebagai penerang, lampion ini juga

digunakan untuk menghiasi istana sehingga dibuat dengan bahan baku berkualitas

tinggi yaitu kayu terbaik yang dilapisi dengan kain sutra atau kaca.

Lampion kertas, terutama yang berwarna merah, merupakan jenis

lampion yang paling dikenal dan masih bertahan hingga saat ini. Lampion kertas

sering terlihat digantung atau dibawa keliling kota pada perayaan Festival

Lampion di Cina setiap tanggal 15 bulan pertama perayaan Imlek. Pada awal

kemunculannya, lampion kertas banyak menggunakan bambu sebagai rangka, lilin

sebagai penerangannya, dan kertas minyak sebagai lapisan luar. Sekarang,

lampion kertas sudah berkembang dan memanfaatkan kawat sebagai rangka serta

bola lampu sebagai penerangan agar lebih tahan lama. Meskipun demikian,

bentuknya tetap sama, yaitu berbentuk bulat berjumbai emas dengan hiasan

beragam motif karakter Han sebagai bentuk ucapan doa dan harapan.

Berbeda dengan lampion kertas, lampion gambar-bayangan sudah jarang

dijumpai saat ini karena dahulu lebih sering digunakan sebagai mainan anak-anak

ketimbang dalam Festival Lampion. Bentuk dari lampion gambar-bayangan

menyerupai lampion kerajaan, namun dengan dua lapisan kertas yaitu lapisan

41 Universitas Kristen Petra

dalam yang berupa potongan gambar dan lapisan luar sebagai penutup lampion.

Motif gambar yang biasa digunakan dalam lampion ini adalah motif figuratif,

pemandangan, atau hewan-hewan zodiak Cina. Saat dinyalakan, uap panas dari

lilin akan menggerakan gambar pada lapisan dalam sehingga akan terlihat siluet

gambar yang berputar pada lapisan luar lampion (“Chinese Lanterns”, n.d.).

Gambar 2.18. Lampion gambar-bayangan asal Cina

Sumber: http://www.dragonsh.com/pagese/pages.aspx?page=312

Menurut penulis, meskipun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-

beda, namun tiap jenis lampion tradisional memiliki peranan penting dalam tradisi

Cina, bahkan sudah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Tidak hanya sebagai penerang, lampion tradisional juga berperan dalam ritual

keagamaan, hiasan istana, dan menjadi hiburan bagi masyarakat Cina. Meskipun

ada beberapa jenis lampion tradisional yang sekarang sudah jarang ditemui, tetapi

bentuk, motif, serta filosofinya masih dapat ditemui dalam lampion di berbagai

negara. Salah satu contohnya adalah lampion “Téng-téngan” asal Indonesia yang

mengadaptasi bentuk dan konsep dari salah satu lampion tradisional Cina, yaitu

lampion gambar-bayangan.

2.4.1.4. Lampion di Indonesia

Lampion yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu

lampion tradisional, lampion modern, serta lampion hasil akulturasi atau biasa

disebut dengan lampion daerah. Lampion tradisional merupakan jenis lampion

yang paling konvensional dan sering dijumpai karena digunakan sebagai hiasan di

kelenteng atau pada saat perayaan Imlek. Bentuk lampion tradisional Indonesia

menyerupai lampion kertas asal Cina, yaitu berbentuk bulat dan berwarna merah

42 Universitas Kristen Petra

sebagai simbol keberuntungan, kebahagiaan, dan berkah melimpah. Lampion

modern merupakan perkembangan dari lampion tradisional yang lebih banyak

digunakan sebagai hiasan pada acara di luar tradisi keagamaan. Sama seperti

lampion modern di Cina, bentuk lampion modern di Indonesia sangat beragam,

dekoratif, dan penuh warna.

Apabila dibandingkan dengan kedua jenis lampion lainnya, lampion

daerah merupakan jenis yang paling jarang ditemui, kurang dikenal, bahkan ada

beberapa lampion daerah yang terancam punah. Secara historis, lampion daerah

awalnya digunakan sebagai alat penerangan pada saat ronda malam. Lama

kelamaan, lampion ini mulai digunakan untuk perayaan hari besar umat Islam di

berbagai daerah Indonesia (Zulkarnain, 2017). Salah satu provinsi di Indonesia

yang mempunyai banyak jenis lampion daerah adalah Jawa Tengah.

Beberapa contoh lampion daerah yang dapat ditemukan di Jawa Tengah

antara lain “Ting” dari Surakarta, “Impes” dari Jepara, serta “Téng-téngan” dari

Semarang. Ketiga lampion tersebut mempunyai bentuk khas yang mudah

dibedakan satu dengan lainnya dan digunakan untuk perayaan hari besar umat

Islam yang berbeda pula. “Ting” menggunakan bambu sebagai bahan bakunya

dan pada umunya berbentuk kotak atau segi enam dengan ukiran motif dekoratif.

Setiap tahunnya, “Ting” dibawa keliling keraton bersama saat perayaan Malam

Selikuran pada hari ke-21 bulan Ramadan. Sebagai bagian dari tradisi Keraton

Surakarta, “Ting” memiliki filosofi tersendiri yaitu sebagai penerang yang selalu

ada saat dibutuhkan (Ikha, Prasetyo, July 30, 2013).

Gambar 2.19. Lampion “Ting” khas Surakarta

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ting

43 Universitas Kristen Petra

Lampion “Impes” merupakan lampion khas Kabupaten Jepara,

khususnya Kecamatan Kalinyamatan, yang biasa digantung di depan rumah warga

ketika menyambut Nisfu Sya'ban pada tanggal 15 bulan kedelapan (Sya’ban)

dalam kalender Hijriyah. Selain digantung, para pemuda-pemudi Kalinyamatan

juga membawa “Impes” untuk keliling kampung pada Pesta Baratan yang adalah

bagian dari tradisi Nisfu Sya'ban. Tradisi Nisfu Sya'ban sendiri merupakan tradisi

penutupan buku catatan amal bagi umat Islam, sehingga dengan menyalakan

lampion diharapkan catatan amal warga sekampung menjadi “terang” atau baik.

Nama “Impes” diambil dari kata mimpes yang berarti kempis atau pipih sesuai

dengan bentuk lampion yang dapat dilipat ketika tidak digunakan. Bahan

pembuatan utama dari “Impes” adalah kertas yang dilipat dan disambungkan

dengan lem menjadi bentuk silinder berlipat. Sekarang, “Impes” lebih banyak

digunakan sebagai ornamen dekorasi rumah, restoran bertema Jepara, atau

penerang taman Kota Jepara (Kurniawan, June 3, 2015).

Gambar 2.20. Lampion “Impes” khas Kabupaten Jepara

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Impes

Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat bahwa di Indonesia, lampion

tidak hanya digunakan oleh warga keturunan Cina saja, tetapi ada juga lampion

yang digunakan oleh masyarakat Indonesia secara umum, bahkan umat agama

Islam. Bentuk maupun warna dari lampion Indonesia sendiri tidak jauh berbeda

dengan lampion asal Cina. Keunikannya, karena Indonesia merupakan salah satu

negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, maka ada salah satu

jenis lampion di Indonesia, yaitu lampion daerah yang fungsi serta filosofinya

banyak berhubungan dengan agama Islam.

44 Universitas Kristen Petra

2.4.2. Tinjauan “Téng-téngan”

2.4.2.1. Pengertian “Téng-téngan”

“Téng-téngan” merupakan kerajinan khas Kota Semarang berupa

lampion yang terdiri dari dua lapisan, yaitu potongan gambar dari kertas sebagai

lapisan dalam dan kertas minyak sebagai lapisan luar lampion. Asal usul nama

“Téng-téngan” dapat merujuk pada tiga hal. Pertama, berasal dari kata tenteng

atau bawa karena dahulu biasa dibawa oleh warga sebagai alat penerangan.

Pendapat kedua menyebutkan bahwa nama “Téng-téngan” diambil dari nama

lampion daerah lain yaitu “Ting” dari Surakarta. Untuk membedakan maka

disebut “Ting-tingan” atau “Ting” mainan dan lama kelamaan berubah menjadi

“Téng-téngan” (Ige, June 5, 2017). Terakhir, menurut sebagian besar warga

Kampung Purwosari Perbalan, tempat munculnya kerajinan ini, kata “Téng-

téngan” berasal dari bunyi kereta api yang biasanya lewat saat anak-anak bermain

dengan “Téng-téngan” (Junarso, personal communication, February 4, 2018).

2.4.2.2. Bentuk dan Sejarah “Téng-téngan”

Apabila dilihat dari segi fungsi dan konsepnya, “Téng-téngan” sangat

serupa dengan salah satu jenis lampion tradisional Cina, yaitu lampion gambar-

bayangan. Perbedaanya terdapat pada bentuk “Téng-téngan” yang menyerupai

bintang segi delapan atau biasa disebut Rub el Hizb oleh umat Islam. Rub el Hizb

sendiri merupakan simbol kemakmuran dalam Islam dan sering digunakan

sebagai dekorasi pada arsitektur atau kaligrafi yang berhubungan dengan agama

Islam (“Bintang Segi”, 2016). Sesuai dengan bentuknya yang identik dengan

Islam, “Téng-téngan” hanya muncul satu tahun sekali pada bulan Ramadan.

Gambar 2.21. Bentuk bintang segi delapan pada “Téng-téngan”

Sumber: Dokumentasi pribadi

45 Universitas Kristen Petra

Sama seperti lampion gambar-bayangan, ketika dinyalakan, potongan

gambar pada lapisan dalam “Téng-téngan” akan berputar sehingga menghasilkan

siluet gambar yang berputar pada lapisan luar. Meskipun demikian, jenis gambar

yang digunakan dalam “Téng-téngan” berbeda dengan lampion gambar-bayangan,

yaitu lebih banyak berupa alat transportasi, hewan, atau gambar lain yang sedang

digemari anak-anak. Tak jarang “Téng-téngan” juga menjadi media edukasi untuk

anak-anak dengan menggunakan potongan gambar yang mengandung budaya

Indonesia seperti wayang. Di samping itu, potongan gambar dalam “Téng-téngan”

juga dapat dibuat menyesuaikan dengan permintaan pembeli (Junarso, personal

communication, February 4, 2018).

Gambar 2.22. Bayangan gambar alat transportasi yang berputar saat “Téng-

téngan” dinyalakan

Sumber: Dokumentasi pribadi

“Téng-téngan” pertama kali muncul di Kampung Purwosari Perbalan

Gang H, Semarang Utara pada tahun 1942 atas inisiatif seorang warga bernama

Sudarno yang berniat membuka usaha sendiri. Keadaan kampung saat itu masih

berupa rawa dan belum dialiri listrik sehingga jalan menuju masjid sangat gelap

serta berbahaya. Pada bulan Ramadan, warga yang akan pergi ke masjid untuk

salat Tarawih biasanya hanya menggunakan obor sebagai penerangan. Untuk

menarik anak-anak agar mau ikut salat Tarawih, Sudarno berinisiatif membuat

sebuah lentera yang dapat dimainkan yaitu Dian Kurung atau lampu yang

dikurung. Nama Dian Kurung lama kelamaan berubah menjadi “Téng-téngan”

dan menjadi tradisi yang selalu muncul di bulan Ramadan. Awalnya “Téng-

46 Universitas Kristen Petra

téngan” tidak diperjualbelikan karena hanya berfungsi sebagai penerangan.

Seiring dengan perkembangannya, “Téng-téngan” mulai dijual sebagai hiasan atau

mainan khas Semarang seharga Rp15.000,00 sampai Rp20.000,00, tergantung

motif dan bentuknya (Junarso, personal communication, February 4, 2018).

2.4.2.3. Lokasi Kerajian “Téng-téngan”

Kota Semarang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah yang menjadi

kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya,

Bandung, dan Medan. Kota ini terletak sekitar 558 km di sebelah timur Jakarta

atau 312 km di sebelah barat Surabaya. Penduduk di Semarang umumnya adalah

suku Jawa dengan mayoritas agama Islam. Meskipun demikian, kerukunan antar

agama, suku, dan ras di Semarang terjaga dengan sangat baik yang dibuktikan

dengan banyaknya kebudayaan atau peninggalan sejarah hasil akulturasi, salah

satunya “Téng-téngan”. Selain itu, beberapa kuliner Semarang yang terkenal,

seperti lumpia, tahu pong, dan lain-lain, juga merupakan hasil akulturasi beberapa

budaya yang terdapat di Semarang. Seperti daerah lainnya di Jawa, khususnya

Jawa Tengah, penduduk Semarang kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dalam

berkomunikasi sehari-hari sejak ratusan tahun silam (“Kabupaten Kota”, n.d.).

Dalam Kota Semarang, kerajinan “Téng-téngan” hanya dibuat di salah

satu kampung kecil bernama Purwosari Perbalan, yang terletak di Kelurahan

Purwosari, Kecamatan Semarang Utara. Kelurahan Purwosari mempunyai luas

yang termasuk kecil dibandingkan dengan delapan kelurahan lainnya di

Kecamatan Semarang Utara, yaitu hanya sekitar 48.049 ha. Stasiun Semarang

Poncol, yang adalah satu dari dua stasiun yang terdapat di Semarang, terletak di

Kelurahan ini. Kampung Purwosari Perbalan dibagi menjadi beberapa jalan kecil

atau gang berdasarkan abjad, dari A sampai H. Pada Gang H inilah kerajinan

“Téng-téngan” muncul dan bertahan hingga kini. Saat Ramadan, sebagian besar

warga kampung akan berkumpul di rumah salah satu perajin, yaitu Junarso, yang

terletak di Gang H nomor 19. Rumah Slamet, perajin “Téng-téngan” yang lain,

juga terletak tak jauh dari rumah Junarso. Selain terkenal dengan “Téng-téngan”,

Kampung Purwosari Perbalan, khususnya di Gang IB, juga cukup terkenal sebagai

kampung tematik pelangi yang bernama Kampung Pelangi Perbalan.

47 Universitas Kristen Petra

Penduduk di Kampung Purwosari Perbalan Gang H tidak banyak,

sehingga antar tetangga, yang dekat maupun jauh, masih saling mengenal satu

sama lain. Sama seperti di kampung-kampung pada umumnya, di kampung ini

budaya musyawarah maupun gotong-royong masih sangat kental, yang terlihat

ketika proses pembuatan “Téng-téngan”. Waktu-waktu membuat “Téng-téngan”

yang biasanya dimulai beberapa bulan sebelum puasa atau pada saat akhir pekan,

banyak dijadikan warga kampung untuk berkumpul dan saling bersilaturahmi.

Kebanyakan warga di kampung ini bekerja serabutan seperti tukang becak, tukang

batu, kuli bangunan, dan sebagainya, sehingga Status Ekonomi Sosialnya rata-rata

C-D atau kelas bawah. Suku atau ras yang mendominasi pada kampung ini juga

adalah suku Jawa, dengan dominasi agama Islam, sehingga tak heran apabila

“Téng-téngan” dahulu banyak digunakan sebagai penerangan warga ke masjid.

Gambar 2.23. Jalan masuk ke Kampung Purwosari Perbalan Gang H

Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 2.24. Jalanan di Kampung Purwosari Perbalan Gang H

Sumber: Dokumentasi pribadi

48 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.25. Rumah Junarso di Kampung Purwosari Perbalan Gang H nomor 19

Sumber: Dokumentasi pribadi

2.4.2.4. Proses Pembuatan “Téng-téngan”

Bahan serta proses pembuatan “Téng-téngan” tidak jauh berbeda dengan

lampion pada umumnya serta ramah lingkungan karena menggunakan bahan

bekas seperti kertas koran atau kertas bekas. Langkah pertama proses pembuatan

“Téng-téngan” adalah membuat rangka lapisan dalam lampion dari kulit bambu

yang telah dilengkungkan sebagai tempat melekatkan potongan gambar dari

kertas bekas. Kemudian, membuat kipas dengan bahan koran bekas yang akan

diletakkan pada bagian atas rangka dalam lampion. Setelah lapisan dalam selesai,

mulai dibuat rangka lapisan luar lampion dari kulit bambu yang dibentuk

menyerupai bintang segi delapan dan dilapisi dengan kertas minyak berwarna

putih. Agar bambu tidak pecah saat digabungkan, digunakan paku khusus yang

disebut sebagai “paku cabe”, yang biasa digunakan untuk memperbaiki sepatu.

Untuk mempercantik “Téng-téngan”, lapisan luar lampion akan dihiasi dengan

beragam motif potongan kertas minyak berwarna-warni.

Gambar 2.26. Proses pembuatan lapisan dalam lampion

Sumber: Dokumentasi pribadi

49 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.27. Proses pembuatan lapisan luar lampion

Sumber: Dokumentasi pribadi

Lapisan dalam dan luar kemudian digabungkan dengan sebilah bambu di

bagian atas lampion. Lalu, ditambahkan bilah bambu yang sudah direkatkan

sebuah kancing jepit sebagai poros dan tutup botol besi sebagai tempat

meletakkan lilin pada bagian bawah lampion. Lilin yang digunakan tidak boleh

berukuran terlalu panjang maupun pendek, yaitu hanya sekitar tiga sentimeter,

tujuannya agar kipas tidak terbakar. Ketika dinyalakan, api dari lilin akan

menghasilkan asap yang mendorong kipas. Apabila kipas berputar, potongan

gambar kertas dibawahnya juga turut berputar sehingga menghasilkan siluet

gambar yang tampak bergerak dari luar (Junarso, personal communication,

February 4, 2018).

Gambar 2.28. Proses penggabungan lapisan dalam dan luar lampion

Sumber: Dokumentasi pribadi

50 Universitas Kristen Petra

2.4.2.5. “Téng-téngan” sebagai Tradisi Daerah yang Mulai Punah

Perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan banyak

tradisi daerah yang mulai ditinggalkan, tak terkecuali “Téng-téngan”. Fungsi

“Téng-téngan” sebagai alat penerangan menuju masjid sudah tergantikan dengan

lampu yang lebih modern, murah, dan tahan lama. Selain itu, anak-anak lebih

memilih bermain dengan gadget sehingga tidak lagi tertarik dengan “Téng-

téngan” sebagai media hiburan. Pembeli “Téng-téngan” sekarang hanya berkisar

pada orang tua yang ingin bernostalgia, anak-anak karena bentuknya yang unik

dan dapat berputar, serta pesanan dari luar kota untuk pawai atau acara tertentu.

Permintaan “Téng-téngan” yang menurun dari tahun ke tahun menyebabkan

jumlah perajin juga semakin berkurang. Dahulu, hampir seluruh warga Kampung

Purwosari Perbalan bekerja sebagai perajin “Téng-téngan”. Sekarang, perajin

yang masih bertahan di kampung ini hanya tersisa dua orang saja, yaitu Junarso

dan Slamet.

Penurunan jumlah perajin secara drastis tersebut juga disebabkan karena

perlunya keahlian khusus dalam merangkai “Téng-téngan”. Kebanyakan orang

yang mencoba membuat “Téng-téngan” hanya berhasil membuat rangkanya saja,

namun tidak dapat memutar gambar dalam lampion dengan lancar karena

dibutuhkan teknik khusus yang hanya diajarkan secara turun-temurun. Junarso

sendiri mempelajari cara membuat “Téng-téngan” dari ayahnya yang bernama Ali

Tarwadi pada tahun 1975-an. Sedikitnya jumlah perajin kembali berdampak pada

semakin menurunya jumlah “Téng-téngan” yang dihasilkan, sehingga pada

akhirnya banyak warga asli Semarang yang belum mengetahui keberadaan

kerajinan khas kotanya ini.

Meskipun kurang dikenal sebagai kerajinan khas Kota Semarang, para

perajin “Téng-téngan” tetap berusaha mempertahankan kerajinan ini agar tidak

menjadi semakin langka dan akhirnya punah. Salah satu caranya adalah dengan

memproduksinya secara rutin setiap tahun. Menjelang bulan Ramadan, para

perajin, yang rata-rata telah memiliki pekerjaan lain, selalu meluangkan waktu

tiap harinya untuk membuat “Téng-téngan”. Belasan warga kampung, terutama

pemuda dan anak-anak, biasanya berkumpul di rumah para perajin untuk

membantu meraut, menipiskan bambu, atau memasang rangka “Téng-téngan”.

51 Universitas Kristen Petra

Dengan ikut membantu dalam proses pembuatan, para perajin berharap semakin

banyak pemuda kampung yang tertarik untuk meneruskan membuat kerajinan ini

setiap tahunnya. Jumlah “Téng-téngan” yang dapat dihasilkan setiap hari rata-rata

100 sampai 150 buah berkat bantuan dari sebagian besar warga Kampung

Purwosari Perbalan. Tidak hanya ikut memproduksi, warga kampung juga aktif

berkeliling Kota Semarang, mulai dari Gedung Batu, Simpang Lima, sampai

daerah Kaligawe, untuk menjual sekaligus memperkenalkan “Téng-téngan”.

Selain itu, melihat tren kampung tematik yang sedang populer akhir-akhir ini,

warga Kampung Purwosari Perbalan berniat mengembangkan kampung mereka

menjadi kampung tematik lampion sebagai bagian dari upaya pelestarian.

Perasaan memiliki dan bangga akan “Téng-téngan” sebagai tradisi turun-

temurun serta identitas dari kampung mereka menjadi pendorong utama para

perajin untuk tetap mempertahankan kerajinan ini. Tradisi membuat “Téng-

téngan” tidak hanya dipertahankan untuk menambah penghasilan, namun juga

untuk menyatukan serta menumbuhkan nilai gotong royong antar warga Kampung

Purwosari Perbalan dengan membuat sekaligus menjual “Téng-téngan” bersama-

sama. Selain itu, pesanan tidak hanya datang dari umat Islam untuk merayakan

bulan Ramadan saja, tetapi juga dari umat agama lain, sehingga “Téng-téngan”

dapat menjadi pemersatu antar umat beragama pula (Junarso, personal

communication, February 4, 2018).

Dari uraian mengenai tinjauan “Téng-téngan” di atas, dapat disimpulkan

bahwa “Téng-téngan” merupakan salah satu lampion daerah yang hanya dijumpai

di Semarang sehingga berpotensi menjadi kerajinan khas Semarang yang unik.

Apabila dilihat dari bentuknya, “Téng-téngan” sangat identik dengan agama

Islam, namun dari segi konsep dan kegunaannya menyerupai lampion gambar-

bayangan asal Cina. Lampion ini juga tidak digunakan dalam acara keagamaan

Islam yang khusus seperti lampion daerah lainnya sehingga kurang dikenal oleh

masyarakat Semarang sendiri dan semakin jarang ditemui. Meskipun demikian,

para perajinnya tetap rutin membuat “Téng-téngan” setiap tahun sebagai bagian

dari tradisi menjelang bulan Ramadan.

52 Universitas Kristen Petra

2.4.3. Tinjauan Pelestarian Budaya

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku bangsa dan

budaya. Namun di tengah era globalisasi ini, budaya Indonesia semakin banyak

yang dilupakan karena tergeser oleh budaya-budaya yang baru masuk dari luar

negeri. Budaya asing yang baru masuk beberapa tahun belakangan ini lebih

banyak bersifat negatif, seperti contohnya budaya pornografi dalam bentuk

gambar, video, maupun game, yang kebanyakan berasal dari Jepang. Sayangnya,

generasi muda Indonesia sekarang lebih tertarik pada budaya-budaya tersebut,

bahkan meniru dan menyebarkannya karena dianggap lebih gaul, modern, dan

kekinian ketimbang budaya tradisional Indonesia. Budaya asing seperti inilah

yang berbahaya sehingga patut dicegah karena berpotensi merusak moral generasi

muda bangsa Indonesia.

Meskipun demikian, sebenarnya tidak semua budaya asing berdampak

negatif bagi Indonesia. Ada budaya-budaya asing yang sudah lama masuk dan

melebur dengan budaya Indonesia menghasilkan budaya baru yang dapat

memperkaya budaya Indonesia. Beberapa di antaranya adalah kerajinan khas Cina

yaitu lampion serta lumpia yang merupakan makanan tradisional Cina. Lampion

tradisional Cina sudah masuk ke Indonesia sejak sekitar enam abad lalu dan

melebur dengan budaya Islam sehingga menghasilkan lampion daerah seperti

“Téng-téngan”, yang lama-kelamaan menjadi budaya khas Semarang. Budaya

khas Semarang lainnya, yang juga merupakan penggabungan dari budaya Cina

dan Indonesia, adalah lumpia. Lumpia Cina awalnya mempunyai isian berupa

daging babi dan rebung, kemudian berubah menjadi ayam atau udang yang

dicampur rebung untuk menyesuaikan dengan budaya masyarakat Semarang yang

mayoritas beragama Islam. Cita rasa dari lumpia juga berubah menyesuaikan

dengan selera masyarakat Semarang yang lebih menyukai rasa manis (Windratie,

February 20, 2015).

Oleh karena itu, selain budaya asli Indonesia, budaya-budaya hasil

akulturasi juga patut dilestarikan karena menjadi bukti keharmonisan berbagai

suku atau ras yang menetap di Indonesia serta dapat memperkaya budaya

Indonesia sendiri. Tidak hanya dilestarikan, budaya-budaya tersebut juga

seharusnya dikembangkan, terutama oleh generasi muda sebagai satu-satunya

53 Universitas Kristen Petra

generasi penerus kekayaan budaya kepada generasi selanjutnya. Pemuda-pemudi

di negara-negara maju seperti Jepang dan Cina ikut mempertahankan serta

mengembangkan budaya tradisional milik negaranya, bahkan dapat menjadikan

budaya-budaya tersebut lebih modern. Beberapa contohnya adalah origami atau

seni melipat kertas dari Jepang dan seni papercutting atau memotong kertas dari

Cina. Origami telah ada sejak sekitar tahun 741 Masehi sebagai simbol dan

persembahan kepada para dewa dalam upacara keagamaan (Vivaldi, 2017).

Sekarang, origami masih sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, bahkan

digabungkan dengan teknologi untuk menghasilkan bentuk origami yang unik

seperti karya salah satu pemuda Jepang bernama Jun Mitani. Sedangkan, seni

papercutting atau Jianzhi awalnya lebih banyak berbentuk karakter tulisan Cina

atau gambar hewan zodiak Cina sebagai simbol kesehatan serta kekayaan. Kini,

papercutting tetap populer di Cina dan banyak ditemui pada perayaan Imlek atau

pernikahan dengan motif serta teknik pembuatan yang lebih beragam (Winda,

2016).

Kedua contoh budaya tradisional dari negara-negara tersebut dapat

bertahan, bahkan terkenal di seluruh penjuru dunia, karena campur tangan dari

semua pihak, termasuk generasi mudanya. Dengan adanya peran dari generasi

muda, budaya tradisional dapat berkembang menjadi lebih kreatif dan

menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Hal ini sangat kontras dengan

generasi muda Indonesia yang perannya dalam pelestarian serta perkembangan

budaya masih sangat rendah, sehingga tak heran jika banyak budaya tradisional

yang unik dan berpotensi namun harus hilang termakan zaman.

2.5. Tinjauan “Warak Ngendhog”

Sama seperti “Téng-téngan” yang adalah hasil akulturasi budaya Jawa

dan Cina khas Kota Semarang, “Warak Ngendhog” juga merupakan hewan fantasi

kepercayaan warga Semarang hasil penggabungan etnis Jawa, Cina, dan Arab.

“Warak Ngendhog” sudah dikenal oleh sebagian besar warga Semarang, bahkan

luar kota, sebagai ikon Kota Semarang di samping Tugu Muda dan Lawang Sewu.

Hewan fantasi simbol Kota Semarang ini dapat dijumpai dalam pawai yang biasa

diadakan setiap bulan Sa’ban dalam penanggalan Jawa atau pada puncak perayaan

54 Universitas Kristen Petra

Dugderan yang dilaksanakan satu hari sebelum puasa (Fardianto, May 8, 2014).

Tidak hanya diarak, “Warak Ngendhog” juga dijual dalam bentuk mainan

berukuran kecil oleh para pedagang di pasar kaget Dugderan. Pada bagian bawah

tubuh “Warak Ngendhog” kecil terdapat telur ayam rebus yang dapat langsung

dimakan sehingga tak heran apabila mainan ini menjadi favorit anak-anak

Semarang kala menyambut bulan Ramadan. Dugderan sendiri merupakan tradisi

kuno warga Kota Semarang dalam menyambut bulan Ramadan dan berfungsi

sebagai penanda awal mulainya ibadah puasa sejak tahun 1881. Selain pasar kaget

dan pawai, tradisi Dugderan juga biasanya dilengkapi dengan wahana permainan

sederhana untuk memeriahkan acara (Nughroho, n.d.).

Gambar 2.29. Mainan “Warak Ngendhog” dengan telur ayam rebus pada bagian

bawah tubuhnya

Sumber: https://suryawanwp.wordpress.com/page/6/?cat=-1

Apabila dilihat dari etimologinya, nama “Warak Ngendhog” terdiri dari

dua kata yang berasal dari dua bahasa berbeda. Kata pertama yaitu “Warak”

berasal dari bahasa Arab, Wara’I, yang berarti suci. Maknanya, manusia harus

menjaga kesucian dirinya dengan menghindari hawa nafsu dan perbuatan tidak

baik agar kelak mendapatkan pahala di hari Lebaran. Pahala ini disimbolkan

dengan kata “Ngendhog” yang berarti bertelur dalam bahasa Jawa. Sehingga

menurut makna dari namanya, “Warak Ngendhog” merupakan lambang manusia

yang berperilaku baik kepada sesamanya (Fardianto, May 8, 2014). Bentuk

55 Universitas Kristen Petra

“Warak Ngendhog” yang khas sendiri merupakan representasi dari filosofi

tersebut. Mulut “Warak” yang terbuka lebar dengan ekspresi menyeramkan

menggambarkan hawa nafsu manusia yang cenderung serakah dan buruk. Ekor

“Warak” yang tegak melambangkan perjuangan keras manusia dalam menjaga

hawa nafsu dan meninggalkan perbuatan buruk. Sedangkan, bulu “Warak” yang

selalu berwarna-warni dan berbalik mempunyai filosofi bahwa pada bulan

Ramadan, manusia harus dapat membalikan diri dari urusan duniawi menuju ke

arah keakhiratan (Soebijanto, 2017).

Selain menjadi simbol kebaikan, bentuk tubuh “Warak Ngendhog” juga

menjadi simbol kerukunan etnis karena memadukan tiga etnis besar di Kota

Semarang yaitu Jawa, Cina, dan Arab. Simbol etnis Arab dapat dilihat pada

bagian badan “Warak” yang diambil dari tubuh “Buraq” yaitu hewan mitologi

kepercayaan umat Islam. “Buraq” sendiri dipercaya merupakan sejenis hewan

tunggangan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dan Jibril pada saat

peristiwa Isra Mi’raj. Berbeda dengan badannya, bagian kaki dari “Warak”

diambil dari kaki kambing yang berasal dari Jawa. Terakhir, bagian kepala

“Warak” berasal dari kepala naga yang menjadi simbol masyarakat Cina

(Nugroho, n.d.).

Gambar 2.30. Bentuk tubuh patung “Warak Ngendhog” yang merupakan

gabungan dari tiga etnis besar di Semarang

Sumber: https://semarangcityheritage.wordpress.com/warag-ngendog/

56 Universitas Kristen Petra

Awal kemunculan “Warak Ngendhog” tidak dapat dilepaskan dari

sejarah berdirinya Kota Semarang sendiri. Berdasarkan cerita sebagian besar

warga, “Warak Ngendhog” sudah hadir di tengah masyarakat saat Ki Ageng

Pandan Arang mendirikan Kota Semarang dan menjadi bupati yang pertama.

Dalam menyiarkan agama Islam, Ki Ageng Pandan Arang, atau yang lebih

dikenal dengan nama Raden Pandanaran, memadukan berbagai unsur kebudayaan

lokal sehingga menghasilkan sesosok “Warak Ngendhog”. Raden Pandaran

kemudian memperkenalkan “Warak Ngendhog” kepada warga dan lama kelamaan

hewan fantasi ini dijadikan sebagai salah satu ikon Kota Semarang. Selain

menjadi ikon Kota Semarang, “Warak Ngendhog” juga dipercaya sebagai hewan

mitos yang sangat sakti dan bertugas melindungi Kota Semarang dengan

kekuatannya. Pada awal kemunculannya, masyarakat kuno di Semarang sangat

mempercayai keberadaan makhluk ini sehingga banyak dari mereka yang

mengabadikannya dalam bentuk boneka atau patung sehingga menjadi tradisi

hingga saat ini (Fardianto, May 8, 2014).

Jadi, kesimpulan yang dapat penulis ambil dari uraian di atas adalah

“Warak Ngendhog” merupakan salah satu ikon Kota Semarang yang mempunyai

beberapa kesamaan dengan “Téng-téngan”. Kesamaan pertama yang paling

terlihat adalah keduanya sama-sama merupakan sejenis tradisi kuno yang

menggabungkan beberapa etnis atau budaya di Semarang. “Téng-téngan” dan

“Warak Ngendhog” yang berukuran kecil juga sama-sama menjadi mainan favorit

anak-anak Semarang pada zaman dahulu. Kesamaan terakhir adalah waktu

kemunculan keduanya yang bersamaan, yaitu setahun sekali untuk memperingati

bulan Ramadan.

Melihat kesamaan yang menghubungkan “Téng-téngan” dan “Warak

Ngendhog” tersebut, penulis menjadikan “Warak” sebagai salah satu tokoh utama

dalam buku ilustrasi digital yang akan dirancang. Selain itu, “Warak” dahulu

dipercaya oleh warga Semarang sebagai hewan sakti yang bertugas melindungi

Kota Semarang, sehingga karakter “Warak” dalam buku ilustrasi digital juga akan

digambarkan sesuai dengan kepercayaan tersebut. Kekuatan utama hewan fantasi

ini dalam cerita adalah dapat membawa manusia berjalan melintasi ruang dan

waktu untuk melaksanakan tugasnya yaitu melindungi budaya khas Kota

57 Universitas Kristen Petra

Semarang yang terancam punah. Menggunakan kekuatannya tersebut, “Warak”

berusaha melindungi “Téng-téngan” yang sudah mulai hilang dengan cara

meyakinkan satu-satunya perajin “Téng-téngan” yang tersisa agar tidak berhenti

membuat kerajinan ini.

2.6. Tinjauan Buku Ilustrasi Digital yang akan Dirancang

2.6.1. Analisis Karakteristik Buku

a. Ide dan Tema Cerita

Tema dari buku ilustrasi digital yang akan dirancang adalah kisah para perajin

“Téng-téngan” dalam mempertahankan tradisi daerah milik kampung mereka dari

kepunahan. Pendekatan yang digunakan dalam buku ilustrasi digital ini adalah

penderkatan diary yang dapat menceritakan secara jelas dan runtut kehidupan

sehari-hari para perajin ketika membuat kerajinan ini. Cerita akan disampaikan

dengan gaya yang emosional dan menyentuh agar target audience tergerak

hatinya untuk ikut serta dalam usaha pelestarian budaya, tidak hanya untuk

“Téng-téngan”, tapi juga untuk tradisi daerah lain yang semakin langka. Selain

itu, juga akan ditambahkan informasi mengenai sejarah, tradisi, serta proses

pembuatan “Téng-téngan” untuk memperkenalkan kerajinan ini kepada target

audience.

b. Aspek Digital

Buku ilustrasi akan dibuat dalam bentuk digital dengan format Android Package

File (APK), yaitu format buku digital yang tidak membutuhkan e-reader untuk

membacanya. Tujuannya adalah agar buku ilustrasi lebih fleksibel sehingga dapat

ditambahkan animasi sederhana dan musik untuk mendukung cerita. Selain itu,

target audience juga dimudahkan karena tidak perlu menggunakan aplikasi

tambahan untuk mengakses buku ilustrasi digital ini. Buku ilustrasi digital dengan

format APK dapat dengan mudah disebarkan melalui gadget atau smartphone

berbasis Andorid sehingga lebih dekat dengan target audience ketimbang buku

fisik.

2.6.2. Analisis Kebutuhan Materi Pembelajaran

Tingkat kepedulian generasi muda pada tradisi daerah, terutama yang

sudah jarang ditemui masih sangat rendah. Padahal, pemuda memiliki peran

58 Universitas Kristen Petra

penting dalam usaha pelestarian budaya, terutama dalam mengembangkan kreasi

budaya tradisional agar semakin dikenal dan tidak ketinggalan zaman. Oleh

karena itu, diperlukan suatu media yang dapat menarik, menggugah, dan

menginspirasi generasi muda agar lebih peduli, sehingga akhirnya mau berkarya

dalam bidang kebudayaan seperti kerajinan, musik, tarian, atau bentuk tradisi lain

di daerahnya yang mulai punah. Salah satunya adalah dengan menggunakan

media modern yang lebih dekat dengan generasi muda untuk menyampaikan

informasi mengenai tradisi daerah yang mulai hilang, beserta caranya untuk

bertahan dari kepunahan.

2.6.3. Analisis Kelebihan dan Kekurangan Buku

a. Kelebihan Buku Digital

Memiliki format digital yang lebih sering digunakan sehingga lebih dekat

dengan target audience

Biaya unggah buku digital lebih murah ketimbang buku cetak

Buku digital lebih mudah untuk disebarkan secara individu karena sudah

berbasis internet

Berbentuk digital atau softcopy sehingga tidak mudah rusak secara fisik

seperti basah, terlipat, atau hilang

Mempunyai tampilan yang lebih menarik serta mudah dipahami dengan

bantuan animasi dan suara yang dapat mendukung penyampaian cerita

Buku digital bersifat ramah lingkungan karena tidak menggunakan kertas

dalam proses produksinya

b. Kekurangan Buku Digital

Hanya dapat diakses melalui perangkat digital tertentu yang mendukung

format buku digital yang digunakan, seperti format Android Package File

(APK) yang hanya dapat diakses oleh perangkat berbasis Android

Karena biaya unggahnya lebih murah, maka jumlah buku digital yang beredar

di pasaran semakin banyak sehingga dibutuhkan suatu pembeda agar dapat

menarik pembaca

Bergantung pada koneksi internet untuk mengakses dan mengunduhnya

Tidak mempunyai daya simpan secara fisik sehingga tidak dapat dijadikan

sebagai benda kenang-kenangan yang memiliki nilai sentimental

59 Universitas Kristen Petra

Dibandingkan dengan buku cetak, buku digital kurang nyaman apabila dibaca

dalam jangka waktu yang lama karena adanya radiasi dari perangkat digital

Perangkat digital yang diperlukan untuk mengakses buku digital tergantung

pada baterai atau listrik

2.6.4. Analisis Prediksi Dampak Positif

Melalui perancangan buku ilustrasi digital ini, diharapkan lebih banyak

generasi muda dari semua suku, agama, atau ras yang tertarik dan termotivasi

untuk peduli terhadap tradisi daerahnya masing-masing, terutama yang mulai

punah. Tidak hanya peduli, generasi muda juga diharapkan mau ikut serta dalam

usaha pengembangan budaya, salah satunya lewat berkarya untuk budaya-budaya

tradisional, sehingga bentuk kerajinan seperti “Téng-téngan” dapat lebih

bervariasi, tidak hanya berbentuk tradisional, tapi juga ada yang berbentuk

modern. Lewat karya-karya tersebut, pemuda juga diharapkan dapat memajukan

perekonomian keluarga atau kelompoknya, bahkan perekonomian kampungnya di

masa mendatang. Selain itu, dengan mengangkat tentang kerajinan “Téng-

téngan”, masyarakat luas dapat lebih mengenal kerajinan ini sebagai kerajinan

khas Semarang yang sudah mulai hilang serta perjuangan para perajin untuk

mempertahankannya. Dengan demikian, para perajin “Téng-téngan” akan lebih

dikenal serta dihargai.

2.7. Tinjauan Buku Ilustrasi Digital Lain

2.7.1. Tinjauan Aspek Bentuk

Buku digital yang lebih dominan pada ilustrasi, dengan tambahan

animasi sederhana dan suara, pada umumnya lebih banyak dijumpai dalam bentuk

Android Package File (APK), yaitu salah satu format aplikasi buku digital khusus

untuk perangkat berbasis Android. Bentuk aplikasi tersebut dapat berupa cerita

anak interaktif untuk anak-anak Sekolah Dasar (SD), maupun cerita pendek fiksi

dan puisi untuk pemuda. Untuk buku cerita anak interaktif, biasanya dilengkapi

dengan permainan sederhana dan lagu yang dapat dinyanyikan bersama agar

anak-anak tidak bosan. Sedangkan buku ilustrasi digital untuk pemuda, biasanya

interaksinya lebih sedikit serta lebih menekankan pada segi visual dan pesan.

60 Universitas Kristen Petra

Apabila dilihat dari jumlahnya, buku ilustrasi digital dengan target audience

anak-anak lebih banyak ketimbang untuk pemuda.

2.7.2. Tinjauan Aspek Ide Cerita

Buku ilustrasi digital dengan target audience anak-anak, pada umumnya

menceritakan tentang dongeng atau cerita rakyat. Salah satu contohnya adalah

aplikasi “Cerita Anak: Kancil dan Buaya” (2017) oleh Educa Studio yang

mengambil cerita dongeng fabel dan menambahkan animasi serta suara untuk

membantu anak-anak dalam membaca. Dalam aplikasi ini, juga ditambahkan

beberapa permainan sederhana yang dapat mengasah kemampuan berhitung atau

logika anak dengan tema cerita fabel yang diangkat.

Gambar 2.31. Contoh buku ilustrasi digital untuk anak-anak berjudul “Cerita

Anak: Kancil dan Buaya” oleh Educa Studio

Sumber: Dokumentasi pribadi

Buku ilustrasi untuk pemuda biasanya mengambil tema lebih berat

seperti permasalahan sosial budaya yang dikemas dalam narasi fiksi atau puisi.

Salah satu contohnya adalah aplikasi dari StoryMax yang berjudul“Milky Way”

(2017). Buku digital ini berusaha mengangkat kembali suatu jenis literatur puisi

yang mulai dilupakan yaitu Parnassianisme, khususnya di Brasil, dengan cara

mengadaptasi puisi Parnassianisme terkenal karya penyair Brasil bernama Olavo

Bilac yang berjudul “Milky Way”. StoryMax tidak sekedar mengadaptasi, namun

juga mengembangkan puisi tersebut dengan cara menambahkan visual, musik,

dan beberapa interaksi sederhana, seperti memutar atau mengetuk perangkat

digital, sehingga pembaca dapat merasakan keindahan puisi tidak hanya melalui

kata-kata.

61 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.32. Contoh buku ilustrasi digital untuk pemuda berjudul “Milky Way”

oleh StudioMax

Sumber: https://play.google.com/store/apps/details?id=air.com.storymax.vialactea

2.7.3. Tinjauan Aspek Visual

Buku ilustrasi digital yang ditujukan untuk anak-anak rata-rata memiliki

visual bergaya serupa, yaitu kartun dengan penuh warna agar lebih menarik

perhatian anak-anak. Lain halnya dengan buku ilustrasi digital untuk pemuda

yang memiliki visual bergaya lebih unik dan dekoratif sehingga dapat

menciptakan atmosfer sesuai dengan tema yang diangkat. Pada aplikasi “Milky

Way”, gaya visual yang digunakan lebih hangat, sederhana, serta ringan dengan

pilihan warna dingin seperti biru dan abu-abu, menyesuaikan dengan judul puisi

yang merujuk kepada keindahan langit.

Gambar 2.33. Visual buku ilustrasi digital untuk anak-anak yang bergaya kartun

Sumber: Dokumentasi pribadi

62 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.34. Contoh visual salah satu buku ilustrasi digital untuk pemuda

berjudul “Milky Way”

Sumber: https://play.google.com/store/apps/details?id=air.com.storymax.vialactea

2.7.4. Tinjauan Aspek Pesan

Pada umumnya, pesan yang disampaikan dalam buku ilustrasi digital

untuk anak-anak mengandung nilai-nilai moral sederhana, seperti jangan mencuri,

jangan sombong, dan lain-lain. Berbeda dengan buku ilustrasi digital untuk

pemuda yang mengandung pesan lebih kompleks dan tak jarang tersirat sehingga

harus direnungkan terlebih dahulu oleh para pembacanya.

2.7.5. Kesimpulan

Dari hasil penelusuran penulis, dapat disimpulkan bahwa buku ilustrasi

digital yang sudah beredar di pasaran lebih banyak mengadaptasi cerita-cerita

mitologi, legenda, atau dongeng dari suatu daerah yang biasanya bersifat fiksi.

Sedangkan, buku ilustrasi digital yang bersifat non-fiksi atau yang khusus

mengangkat tentang fenomena budaya dan tradisi masyarakat belum dapat

ditemukan oleh penulis. Selain itu, buku ilustrasi digital juga lebih banyak

ditargetkan kepada anak-anak karena dianggap sebagai media yang tepat untuk

belajar sambil bermain.

63 Universitas Kristen Petra

2.8. Analisis Data Lapangan

2.8.1. Analisis Wawancara Narasumber

Wawancara dilakukan secara langsung dengan narasumber salah satu

dari dua perajin yang masih aktif membuat “Téng-téngan” di Kampung Purwosari

Perbalan yaitu Junarso (47). Sehari-harinya beliau bekerja serabutan, terkadang

menjadi tukang becak, tukang batu atau kuli bangunan. Menjelang bulan puasa

sampai Idul Fitri tiba, Junarso baru beralih profesi menjadi perajin “Téng-téngan”.

Junarso sendiri sudah membuat “Téng-téngan” sejak kelas tiga Sekolah Dasar

(SD) hingga kini, dan mewarisi keahlian membuat kerajinan ini dari ayahnya, Ali

Tarwadi. Pada sekitar tahun 1975-an, Tarwadi juga mewarisi keahlian

membuatnya dari perajin sebelumnya yaitu Sudarno dan Rokijah.

Dalam wawancara tersebut, Junarso ditemani dengan tiga warga

kampung lainnya, menceritakan semua yang mereka ketahui mengenai “Téng-

téngan”. Awalnya, Junarso menceritakan tentang bahan, lama, serta teknik

pembuatan “Téng-téngan” agar gambar di dalamnya dapat berputar dengan baik

yaitu searah jarum jam serta tidak terlalu cepat atau terlalu lama. Kemudian,

beliau menjelaskan tentang sejarah nama serta awal kemunculan “Téng-téngan”

sehingga akhirnya menjadi tradisi setiap bulan Ramadan. Setiap harinya, setelah

Junarso selesai membuat “Téng-téngan”, warga kampung, baik perajinnya sendiri

maupun anak-anak, biasanya membantu menjualkan kerajinan ini. Bahkan, anak-

anak kampung tak jarang berebutan untuk berkeliling menjual “Téng-téngan” ke

kampung-kampung di daerah lain yang cukup jauh. Dalam sehari Junarso dapat

membuat sekitar 100 sampai 150 buah “Téng-téngan” dengan omzet penjualan

yang cukup besar sehingga kerajinan ini dianggap sebagai berkah di bulan

Ramadan bagi Junarso sendiri dan warga kampung lainnya yang ikut membantu.

Selain pada saat Ramadan, “Téng-téngan” juga sering dipesan untuk festival-

festival di dalam maupun luar kota. Tidak hanya untuk festival saja, Junarso juga

menyebutkan bahwa pesanan pernah datang dari kelenteng dengan ukuran yang

besar dan gambar yang lebih rumit.

Bentuk “Téng-téngan” sendiri, sepanjang pengetahuan Junarso, tidak

pernah berubah dari dulu sampai sekarang, yaitu tetap berbentuk bintang segi

delapan. Alasannya, karena bentuk “Téng-téngan” dianggap sudah sesuai agar

64 Universitas Kristen Petra

gambar di dalamnya dapat berputar dengan baik. Wiwid, salah satu warga

kampung yang biasa membantu Junarso, menyebutkan meskipun bentuknya tidak

berubah, namun hiasan dan potongan gambar di dalam “Téng-téngan” biasanya

dikreasikan agar tidak monoton. Beberapa tahun lalu, para perajin pernah

mencoba untuk menambahkan rumbai-rumbai berwarna biru di sekeliling bentuk

bintang segi delapan. Akan tetapi, variasi tersebut tidak bertahan lama karena

dirasa kurang cocok lantaran dapat menutupi bayangan gambar serta

pembuatannya yang lebih repot. Tahun ini, perajin menghiasi “Téng-téngan”

dengan menambahkan cagak bambu berumbai pada rangka luar lampion yang

lebih mudah pembuatannya serta tidak menghalangi bayangan gambar. Selain

hiasannya, teknik pembuatan “Téng-téngan” juga berkembang menjadi lebih

efektif dari tahun ke tahun. Awalnya, perajin menggunakan potongan kaca

sebagai bahan poros tempat memutar gambar pada rangka dalam lampion karena

sifat kaca yang licin. Sekarang, perajin sudah beralih menggunakan kancing jepit

sebagai poros karena lebih mudah serta kecepatan berputarnya lebih stabil

ketimbang kaca.

Gambar 2.35. Variasi hiasan “Téng-téngan”

Sumber: Dokumentasi pribadi

65 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.36. Poros dahulu menggunakan kaca (kiri) dan sekarang menggunakan

kancing jepit (kanan)

Sumber: Dokumentasi pribadi

Sebagai penutup, Junarso membenarkan apabila “Téng-téngan” semakin

kurang dikenal oleh warga Semarang sendiri serta perajin yang masih aktif hanya

tinggal dirinya dan Slamet. Beliau juga menambahkan bahwa sebenarnya sudah

banyak pemuda kampung yang bisa membuat “Téng-téngan”, namun belum ada

yang berminat untuk meneruskan kerajinan ini. Oleh karena itu, sampai saat ini

hanya Junarso dan Slamet yang masih aktif membuat “Téng-téngan” dengan

harapan agar kerajinan ini tidak hilang dan tetap ada setiap tahunnya.

Selain mendapatkan banyak informasi, penulis juga dapat melihat

langsung semangat para perajin beserta warga kampung Purwosari Perbalan

lainnya dalam memperkenalkan kerajinan khas kampungnya kepada masyarakat

luas. Akhirnya dari hasil wawancara, penulis dapat menyimpulkan motivasi yang

mendorong para perajin untuk tetap membuat “Téng-téngan” setiap tahunnya,

yaitu karena rasa bangga, sebagai pemersatu, serta sebagai penghasilan tambahan.

2.8.2. Analisis 5W+1H

a. What: Buku ilustrasi digital seperti apa yang akan dibuat?

Buku ilustrasi digital akan dibuat dalam bentuk aplikasi dengan format Android

Package File (APK) untuk perangkat digital berbasis Android. Buku ilustrasi

digital akan berisi kisah perajin “Téng-téngan” dalam mempertahankan kerajinan

khas daerahnya sebagai contoh dan motivasi bagi generasi muda untuk lebih

peduli pada tradisi daerahnya yang hampir punah. Selain itu juga akan berisi

66 Universitas Kristen Petra

sejarah, tradisi, serta proses pembuatan “Téng-téngan” untuk memperkenalkan

kerajinan ini kepada pembaca.

b. When: Kapan waktu yang tepat untuk memperkenalkan buku ilustrasi digital

yang dibuat?

Buku ilustrasi digital sebaiknya diperkenalkan pada saat mendekati bulan

Ramadan, bertepatan dengan waktu munculnya kerajinan ini setiap tahun.

c. Where: Dimana buku ilustrasi digital akan diunggah?

Buku ilustrasi digital akan diunggah di Google Play Store, yaitu tempat

mengunduh aplikasi untuk perangkat berbasis Android yang paling umum

digunakan. Google Play Store menggunakan koneksi internet sehingga dapat

menjangkau masyarakat yang lebih luas.

d. Who: Siapa target audience dari buku ilustrasi digital yang akan dibuat?

Pemuda dan pemudi usia 23-30 tahun dengan Status Ekonomi Sosial B-A atau

menengah ke atas.

e. Why: Mengapa buku ilustrasi dibuat dalam bentuk digital?

Buku ilustrasi sengaja dibuat dalam bentuk digital karena media digital lebih

sering digunakan oleh target audience. Saat ini, hampir semua anak muda

menggunakan smartphone setiap harinya, baik untuk keperluan hiburan, sosial,

maupun mencari informasi.

f. How: Bagaimana cerita dan visual yang mampu memotivasi target audience

untuk lebih peduli serta ikut berperan dalam usaha pelestarian budaya?

Pendekatan cerita yang akan digunakan adalah pendekatan diary, karena dapat

menceritakan secara jelas dan runtut kehidupan para perajin saat membuat

kerajinan ini di bulan Ramadan. Selain itu, juga akan memanfaatkan gaya

bercerita yang menyentuh agar target audience termotivasi untuk lebih peduli dan

berperan dalam pelestarian budaya. Visual yang dipilih bergaya dekoratif dengan

menggabungkan unsur budaya Jawa dan Cina, sesuai dengan “Téng-téngan” yang

merupakan penggabungan kedua budaya tersebut. Visual juga akan dilengkapi

dengan animasi sederhana dan suara yang mendukung atmosfer cerita agar

pembaca tidak bosan.

67 Universitas Kristen Petra

2.9. Simpulan

Lampion daerah merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya

Indonesia dalam bentuk kerajinan yang menggabungkan dua budaya, yaitu budaya

Cina dan Indonesia. Salah satu lampion daerah yang unik dan berbeda dengan

lampion daerah lainnya adalah “Téng-téngan” asal Semarang. Bagian dalam

“Téng-téngan” dapat berputar apabila dinyalakan sehingga menghasilkan

bayangan gambar pada lapisan luar lampion. Karena dapat berputar, maka selain

digunakan sebagai penerangan, lampion ini juga sering digunakan sebagai mainan

oleh anak-anak. Meskipun unik dan memilik potensi untuk menjadi kerajinan

khas Semarang, namun “Téng-téngan” malah semakin jarang ditemui dari tahun

ke tahun. Hal ini disebabkan karena kerajinan ini masih kurang dikenal, yang

akhirnya mengakibatkan penurunan jumlah perajin, hingga kini hanya tersisa dua

perajin saja. Kedua perajin tersebut aktif membuat “Téng-téngan” dengan harapan

agar kerajinan ini tidak punah.

Usaha pelestarian oleh perajin sebenarnya tidak terlepas dari realitas

zaman sekarang, dimana semakin banyak muncul lampion-lampion modern

dengan bahan, tampilan, serta warna yang jauh lebih bervariasi sehingga

masyarakat terpaksa memilih di antara keduanya. Ada beberapa pihak lebih

memilih lampion modern sebagai hiasan dengan alasan lebih menarik, bagus, dan

terkesan mewah. Namun, tak jarang ada pihak yang mempunyai rasa seni dan

budaya tinggi sehingga lebih tertarik kepada “Téng-téngan” yang mengandung

nilai-nilai akulturasi budaya. Terlepas dari permasalahan modernitas tersebut,

usaha pelestarian budaya seperti yang dilakukan oleh perajin “Téng-téngan” tetap

penting dan patut ditiru oleh generasi muda Indonesia sebagai generasi penerus

kekayaan budaya. Oleh karena itu, diperlukan suatu media untuk menarik serta

menginspirasi generasi muda agar mau berperan dalam usaha pelestarian budaya.

2.10. Usulan Pemecahan Masalah

Penulis akan merancang sebuah media berupa buku ilustrasi digital yang

berisi kisah kehidupan perajin “Téng-téngan” dalam mempertahankan budaya,

sebagai contoh dan bentuk motivasi bagi generasi muda Indonesia, khususnya

usia 23-30 tahun, agar mau berperan dalam usaha pelestarian budaya, salah

68 Universitas Kristen Petra

satunya dengan cara berkarya untuk tradisi daerah masing-masing yang mulai

jarang ditemui. Harapannya, melalui media modern yang lebih sering digunakan

saat ini, buku ilustrasi digital yang mengangkat tentang budaya tradisional ini

dapat lebih tersampaikan kepada generasi muda. Selain itu, dalam buku ilustrasi

digital juga akan dijelaskan mengenai kerajinan “Téng-téngan” itu sendiri untuk

memperkenalkan kerajinan ini kepada masyarakat luas, sekaligus agar para

perajin lebih dihargai. Buku ilustrasi digital akan menceritakan secara jelas

kehidupan sehari-hari para perajin dengan gaya bercerita yang emosional,

menyesuaikan dengan target audience yang sudah dewasa dan dapat membangun

perspektif atau cara pandang tersendiri terhadap suatu permasalahan.