2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Tinjauan Tentang ... · memecahkan masalah, menghibur,...
Transcript of 2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA 2.1. Tinjauan Tentang ... · memecahkan masalah, menghibur,...
15 Universitas Kristen Petra
2. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DATA
2.1. Tinjauan Tentang Buku Ilustrasi
2.1.1. Pengertian Buku Ilustrasi
Mark Wigan dalam “The Visual Dictionary of Illustration” menyebutkan
bahwa ilustrasi merupakan salah satu media yang dapat mengkomunikasikan
sebuah pesan secara visual dengan cara imajinatif, unik, dan sangat personal untuk
memecahkan masalah, menghibur, menginspirasi, mempengaruhi, menginformasi,
atau sekedar menghiasi (Wigan, 2009). Seiring dengan perkembangannya,
ilustrasi semakin banyak dijumpai pada buku sehingga muncul istilah buku
ilustrasi, yaitu buku yang dilengkapi dengan beragam gambar untuk membantu
memperjelas isi atau sekedar menghiasi buku.
2.1.2. Perkembangan Buku Ilustrasi
2.1.2.1. Perkembangan Buku Ilustrasi di Dunia
Buku ilustrasi pertama kali muncul pada abad ke-15 di Jerman dan
Belanda dalam bentuk block book, dimana ilustrasi dan tulisan diukir dalam satu
balok kayu yang sama. Block book kemudian berkembang menjadi naskah untuk
ritual keagamaan yang disebut illuminated manuscipt. Salah satu illuminated
manuscipt yang paling terkenal, yaitu “Biblia Pauperum”, merupakan sebuah
Alkitab dengan banyak ilustrasi sehingga terlihat seperti novel grafis abad
pertengahan (Russell, 2016). Setelah penemuan mesin cetak dengan prinsip
Intaglio Printing oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1452, buku serta ilustrasi
dapat diproduksi dan didistribusikan secara massal (Male, 2007). Intaglio Printing
kemudian berkembang menjadi Litography yang lebih mudah dan murah.
Seniman dapat langsung menggambar dengan pensil minyak, krayon, atau cat
minyak khusus pada permukaan datar yang menyerap cairan seperti batu kapur
karena menggunakan prinsip bahwa air tidak dapat bercampur dengan minyak.
Litography berperan penting dalam penemuan teknik cetak berwarna yang dapat
meningkatkan kualitas ilustrasi secara signifikan (Wigan, 2009).
16 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.1. Lembaran naskah “Biblia Pauperum”
Sumber: https://lithub.com/a-brief-history-of-book-illustration/
Revolusi Industri yang terjadi antara tahun 1750 sampai 1850 di Inggris
menyebabkan teknologi cetak berkembang pesat sehingga ilustrasi menjadi lebih
umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti pada surat kabar, majalah,
atau buku anak (Male, 2007). Ilustrasi tidak hanya berusaha menyampaikan
kenyataan sekitar, tetapi juga mulai mengeksplorasi imajinasi serta narasi
(storytelling). Pada sekitar tahun 1880, terjadi masa keemasan ilustrasi yang
ditandai banyaknya permintaan novel yang dihiasi dengan ilustrasi (Wigan, 2009).
Banyak penulis terkenal yang bekerja sama dengan ilustrator untuk
“menghidupkan” cerita mereka melalui ilustrasi. Oleh karena itu, pada masa ini
muncul banyak buku ilustrasi klasik seperti beberapa dongeng dari Charles
Dickens dan Lewis Carroll.
Charles Dickens, yang terkenal dengan salah satu dongengnya yaitu “A
Christmas Carol”, telah bekerja sama dengan berbagai ilustrator sepanjang
karirnya. Setelah kematian ilustrator pertamanya yaitu Robert Seymour, Dickens
bekerja sama dengan Phiz atau Hablot Knight Browne. Phiz terus bekerja dengan
Dickens selama lebih dari dua dekade dan telah membuat ilustrasi untuk sepuluh
novel Dickens yang di antaranya berjudul “Martin Chuzzlewit” (1843-1844),
“David Copperfield” (1849), dan “A Tale of Two Cities” (1859). Setelah Phiz,
Dickens juga bekerja sama lagi dengan beberapa ilustrator seperti George
Cruikshank dan Luke Fildes. (“Illustrations for”, n.d.)
17 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.2. Ilustrasi “David Copperfield” oleh Phiz
Sumber: https://lithub.com/a-brief-history-of-book-illustration/
Selain menulis “Alice’s Adventure in Wonderland”, Lewis Carroll juga
membuat ilustrasi sederhana untuk naskah awal dongengnya tersebut. Sebelum
menerbitkan naskahnya pada tahun 1865, Carroll bekerja sama dengan Sir John
Tenniel, yang merupakan kartunis dari majalah humor Inggris terkenal yaitu
“Punch”, untuk menyempurnakan ilustrasi awal buatannya. Tenniel melakukan
beberapa perubahan seperti mengubah gaya ilustrasi dari kartunis menjadi realis
dan naturalis, memperbaiki gambar anatomi yang salah, serta menambahkan
interior dan pemandangan yang dapat menarik pembaca kelas menengah pada
waktu itu. Meskipun mengalami banyak perubahan, namun ide serta
penggambaran awal yang dibuat oleh Carroll tetap ada, bahkan membantu
membentuk dunia Alice yang dikenal sekarang (Golden, C. J., 2017).
Gambar 2.3. Ilustrasi “Alice’s Adventure in Wonderland” oleh Lewis
Carroll (kiri) dan Sir John Tenniel (kanan)
Sumber: http://www.victorianweb.org/art/illustration/carroll/golden.html
18 Universitas Kristen Petra
Selain Eropa, perkembangan ilustrasi dunia juga sangat dipengaruhi oleh
beberapa negara Asia, seperti gaya ilustrasi Ukiyo-e asal Jepang yang berperan
penting dalam perkembangan cetak berwarna di Eropa. Gaya Ukiyo-e memiliki
ciri khas berupa warna yang datar dan berani serta penggunaan komposisi dan
garis yang asimetris (Wigan, 2009). Istilah Ukiyo-e dapat diartikan gambaran dari
dunia angan-angan, sehingga pada mulanya gaya ini banyak mengangkat tema
gaya hidup hedonisme seperti pelacur terkenal atau hal-hal erotis lainnya. Seiring
dengan perkembangannya, Ukiyo-e mulai banyak digunakan untuk publikasi
massal seperti buku ilustrasi, sehingga subjeknya mulai beralih ke kehidupan
sehari-hari seperti alam, sejarah, dongeng bahkan tradisi dan kebudayaan masa itu
(“Ukiyo-e”, 2013). Salah satu ilustrator Jepang bergaya Ukiyo-e yang banyak
mengangkat tentang sejarah dan budaya masyarakat adalah Utagawa Kuniyoshi.
Utagawa Kuniyoshi mulai dikenal sebagai ilustrator musha-e (ilustrasi
pejuang) sejak tahun 1827 karena enam seri ilustrasinya yang berjudul “The 108
Heroes of the Suikoden”. Ilustrasi milik Kuniyoshi memiliki ciri khas tersendiri
yaitu penggambaran figur sejarah populer yang dekoratif dan hiperbolis
(Wanczura, n.d.). Selain ilustrasi sejarah, Kuniyoshi mulai membuat ilustrasi
dengan subjek lain, mulai dari adegan kehidupan sehari-hari masyarakat sampai
ilustrasi satire dan ironi menentang represi pemerintahan Shogun Tokugawa saat
itu. Beberapa ilustrasi bertema kehidupan masyarakat karya Kuniyoshi antara lain
seri ilustrasi “Curious Doctor Cures Intractable Disease” (1848) dan “Human-
interest Views of the Fifty-three Stations of the Tôkaidô” (1849).
Gambar 2.4. Beberapa ilustrasi dari seri “Human-interest Views of the Fifty-three
Stations of the Tôkaidô” oleh Utagawa Kuniyoshi
Sumber: http://www.kuniyoshiproject.com/
19 Universitas Kristen Petra
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa perkembangan ilustrasi
di dunia sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya masyarakat yang terjadi
kala itu. Tidak hanya dari segi gaya ilustrasi atau teknik cetak, perkembangan
ilustrasi juga terjadi dari segi konteks atau tema yang diangkat. Buku ilustrasi
yang awalnya terkenal dengan tema dongeng atau cerita anak, lama kelamaan
mulai digunakan sebagai media berekspresi dan berpendapat terhadap fenomena
sosial budaya yang sedang terjadi di masyarakat.
2.1.2.2. Perkembangan Buku Ilustrasi di Indonesia
Ilustrasi di Indonesia pertama kali muncul dalam bentuk yang sangat
sederhana yaitu berupa cap telapak tangan pada dinding Gua Leang-Leang,
Sulawesi Selatan. Kemudian, ilustrasi berkembang menjadi lebih kompleks dan
mulai digunakan untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat seperti
lukisan dinding di Gua Arguni dan Sosorra, Papua. Selain lukisan dinding, bentuk
ilustrasi awal juga dapat dijumpai pada Wayang Beber, yaitu lukisan adegan
peristiwa tertentu pada lembaran kulit binatang yang dibeber atau dibentang.
Wayang Beber menjadi salah satu media bercerita sekaligus hiburan tradisional
Jawa yang populer kala itu.
Gambar 2.5. Pementasan Wayang Beber
Sumber: http://bandungkita.net/2017/12/pementasan-wayang-beber/
Setelah itu, muncul seni ilustrasi yang disertai tulisan pada daun lontar
seperti yang dapat ditemukan di Bali. Ilustrasi dan tulisan yang diukir pada daun
20 Universitas Kristen Petra
lontar ini pada umumnya mengisahkan tentang cerita Mahabarata. Selain untuk
menyampaikan ajaran-ajaran religius, ilustrasi pada daun lontar ini juga
dimanfaatkan sebagai hiasan oleh masyarakat setempat (“Perkembangan Seni”,
2010).
Gambar 2.6. Ilustrasi pada daun lontar
Sumber: http://www.sunda-spirit.com/bali-sehenswuerdigkeiten/bali-
sehenswuerdigkeiten-ostbali/ostbali-tenganan/
Pada masa penjajahan Belanda, seni ilustrasi Indonesia mulai
berkembang ke arah yang lebih modern dengan adanya penggabungan budaya
Belanda dan Indonesia. Banyak pelukis Belanda yang bekerja di Indonesia dan
mempekerjakan pelukis Indonesia seperti Abdullah Surio Subroto, Mas Pirngadi,
dan Wakidi, yang kemudian menurunkan keahliannya kepada murid-muridnya
sehingga ilustrator Indonesia semakin berkembang. Ketika Balai Pustaka berdiri
pada tahun 1908, banyak ilustrator Indonesia yang ikut mengerjakan ilustrasi
untuk majalah mingguan Balai Pustaka berjudul “Pandji Poestaka”. Beberapa di
antaranya adalah Nasrun, Barli, Ardisoma, Baharudin, dan Abdul Salam. Balai
Pustaka sendiri merupakan perusahaan penerbitan yang didirikan oleh
pemerintahan Belanda untuk mengembangkan bahasa daerah utama Indonesia
seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura sehingga banyak menerbitkan
buku cerita, prosa, majalah atau novel yang berbahasa daerah (“1908: Belanda”,
2016).
21 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.7. Ilustrasi majalah “Pandji Poestaka” terbitan Balai Pustaka
Sumber: http://antikpraveda.blogspot.co.id/
Ilustrasi pada masa penjajahan Belanda kebanyakan bergaya Romantisme
dan Naturalisme yang hanya menggambarkan keindahan alam serta
keharmonisman rakyat Indonesia saja. Hal ini dikarenakan gaya ini merupakan
gaya ilustrasi yang amat digemari oleh para saudagar, pegawai pemerintahan,
serta wisatawan Belanda kala itu. Melihat hal tersebut, seorang seniman Indonesia
bernama S. Sudjojono, mengkritik seni rupa Indonesia dan menganggapnya
sebagai karya yang tunduk pada pandangan kolonialisme dengan menjual
eksotisisme Indonesia. Kemudian, pada tahun 1938 di Jakarta, S. Sudjojono dan
beberapa seniman Indonesia lainnya mendirikan Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (PERSAGI) dan berupaya untuk menciptakan “gaya Indonesia baru”
dengan menggabungkan nilai estetik lokal dan modern. PERSAGI menjadi
pelopor bagi sejumlah seniman Indonesia untuk mulai mencari jati diri sehingga
muncul gaya Ekspresionis dan Realisme sosial (Sachari, 2007).
Pada masa penjajahan Jepang, para pemimpin perjuangan mulai
menyadari bahwa seni ilustrasi dapat mendukung sekaligus mendokumentasikan
perjuangan bangsa Indonesia. Melalui poster atau selebaran bertema perjuangan,
majalah kebudayaan yang bernama “Seniman”, dan berbagai bentuk ilustrasi
22 Universitas Kristen Petra
lainnya, para ilustrator Indonesia berusaha menyebarkan semangat dan melakukan
propaganda. Ilustrator majalah yang terkenal pada saat itu adalah Karyono,
Normal Carmil, dan Surono yang bekerja di majalah Asia Raya (Sachari, 2007).
Setelah kemerdekaan Indonesia, teknologi cetak dan ilustrasi semakin
berkembang sehingga beberapa ilustrator Indonesia, di antaranya Abdul Salam
dan Oesman Effendi, dikirim untuk mempelajari lebih dalam mengenai ilustrasi di
Belanda. Setelah kembali, para ilustrator tersebut mulai banyak berperan dalam
membuat ilustrasi untuk buku cerita dan buku pelajaran bahasa seperti “Bintang
Timur”, “Matahari Terbit”, dan “Jalan ke Barat”. Selain itu, Abdul Salam dan
Oesman Effendi juga mengerjakan ilustrasi untuk uang kertas Indonesia pada
masa Orde Lama (Taryadi, 1999).
Gambar 2.8. Buku pelajaran bahasa “Jalan ke Barat”
Sumber: https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/buku-jalan-ke-barat-
indonesia/
Perubahan besar dalam tatanan ekonomi dan industri pada masa Orde
Baru menyebabkan daya beli masyarakat, termasuk dalam membeli buku,
semakin meningkat. Akibatnya, profesi ilustrator di Indonesia ikut bertumbuh
dengan banyaknya media penerbitan yang membutuhkan ilustrasi, seperti koran
23 Universitas Kristen Petra
dan majalah (Taryadi, 1999). Para ilustrator koran yang ternama saat itu antara
lain Prie G.S. Gunawan yang bekerja pada harian “Suara Merdeka” dan
“Cempaka”, serta G. M. Sudarta pada harian “Kompas”. Meskipun kebebasan
pers pada masa Orde Baru masih dibatasi, namun masing-masing ilustrator tetap
berusaha mengembangkan gaya ilustrasi khas sendiri, baik dalam tampilan
gambar maupun tema dari ilustrasi.
Selain dalam koran, ilustrasi juga semakin banyak digunakan dalam
majalah, terutama majalah anak-anak. Salah satu majalah anak pertama yang
dilengkapi dengan ilustrasi berwarna adalah majalah “Bobo”. Pada awal
kemunculannya pada tahun 1973, majalah “Bobo” merupakan gabungan dari
rubrik anak dalam harian “Kompas” dengan isi majalah “Bobo” asal Belanda
yang diterjemahkan. Dalam majalah “Bobo” dapat ditemukan cerita bergambar
dengan karakter tetapnya seperti Bona, Paman Kikuk, Oki, Nirmala, dan masih
banyak lagi. Selain itu, juga terdapat cerita pendek yang dilengkapi ilustrasi
dengan beragam gaya untuk membantu anak memahami cerita. Ilustrator awal
dari majalah “Bobo” sendiri adalah Cahyono dan Adi Permadi yang sudah identik
dengan karakter tertentu serta memiliki gaya ilustrasi khas. Seiring berjalannya
waktu, ilustrator majalah “Bobo” mengalami banyak pergantian, sehingga desain
karakter tetap dalam majalah ini tampak sedikit berbeda dari masa ke masa
(“Sejarah Majalah”, n.d.).
Gambar 2.9. Majalah “Bobo” No.3 Tahun 1991
Sumber: http://bobojadul.blogspot.co.id/2017/08/nomor-03-tahun-ke-xix.html
24 Universitas Kristen Petra
Kesimpulan penulis dari uraian di atas adalah perkembangan ilustrasi di
Indonesia serupa dengan perkembangan ilustrasi dunia, yang berkembang sesuai
dengan gejolak politik dan sosial budaya masyarakatnya. Ilustrasi, baik dalam
buku atau media lainnya, memiliki peran penting dalam perjuangan rakyat pada
masa penjajahan. Pada era Orde Baru, ilustrasi dengan berbagai gaya mulai
muncul di koran dan majalah sebagai media berpendapat. Sedangkan, ilustrasi
yang menemani cerita bergambar dan cerita pendek dalam majalah anak seperti
“Bobo” berperan sebagai media hiburan dan pendidikan anak kala itu.
2.1.3. Jenis-jenis Ilustrasi
2.1.3.1. Berdasarkan Teknik
a. Tradisional
Ilustrasi tradisional merupakan ilustrasi yang dibuat dengan cara manual, hand-
crafted, serta membutuhkan persiapan media atau alat gambar berbeda-beda
sesuai dengan teknik yang akan digunakan (Bilyana, 2017). Beberapa contoh
ilustrasi tradisional adalah sebagai berikut:
Woodcut (Ukiran Kayu)
Merupakan teknik pembuatan ilustrasi massal paling kuno yang banyak
digunakan pada naskah-naskah abad pertengahan. Ciri khas teknik Woodcut
adalah garis yang relatif tebal serta mampu memberikan kesan lebih kasar dan
bertekstur. Salah satu contoh karya Woodcut yang paling terkenal adalah
Ukiyo-e oleh Katsushika Hokusai berjudul “Under the Wave off Kanagawa”
atau “The Great Wave”
Metal Etching (Etsa Logam)
Dalam teknik Metal Etching, ilustrator menggoreskan gambar dengan jarum
etsa pada pelat logam seperti tembaga, seng, atau besi. Kelebihan dari teknik
ini adalah dapat menghasilkan gaya ilustrasi yang beragam sesuai dengan
proses dan bahan yang digunakan, seperti gaya cat air dengan menggunakan
proses aquatint (pelat tembaga dietsa dengan asam nitrat).
Ilustrasi Pensil
Merupakan jenis ilustrasi yang paling populer karena tidak membutuhkan
banyak persiapan serta keahlian khusus dalam proses pembuatannya. Selain
itu, hanya dengan menggunakan media pensil dapat dihasilkan beragam gaya
25 Universitas Kristen Petra
seperti ilustrasi dengan bayangan dan gradasi yang halus atau dengan garis
yang tajam dan akurat. Ilustrasi pensil banyak digunakan untuk membuat
sketsa karena sifatnya yang mudah dihapus.
Ilustrasi Arang
Ilustrasi arang tidak dapat menghasilkan gambar yang detail seperti ilustrasi
pensil atau pena sehingga lebih banyak digunakan untuk membuat sketsa
kasar. Salah satu ciri khas dari ilustrasi arang adalah goresannya yang tebal,
halus, dan gelap. Jenis arang yang berbeda juga dapat menghasilkan gaya
garis yang berbeda, seperti charcoal pencil yang menghasilkan garis tajam
dan tipis atau vine charcoal yang menghasilkan garis halus dan lembut.
Litography (Litografi)
Teknik Litografi dapat menghasilkan ilustrasi dengan kesan lembut, gradasi
yang halus, serta warna pucat pada beberapa bagian. Teknik ini lebih mudah
digunakan karena ilustrator dapat menggambar langsung pada permukaan
batu kapur dengan media minyak atau lilin seperti krayon atau cat minyak.
Sekarang, teknik Litografi berkembang menjadi Offset Litography yang
digunakan untuk mencetak buku dan majalah dengan ilustrasi berwarna.
Ilustrasi Cat Air
Teknik ilustrasi yang sudah digunakan sejak abad ke-18 di Inggris untuk
membuat ilustrasi studi topografi, tumbuhan, dan alam liar. Sekarang, banyak
dijumpai pada ilustrasi makanan, fashion, atau ilustrasi bergaya feminin
karena sifatnya yang terkesan lembut, halus, serta ringan. Melalui media cat
air, ilustrator dapat menciptakan berbagai macam gradasi dan transparasi
warna dengan cara menambahkan air ke dalam campuran pigmen warna.
Gouache Illustration
Cat gouache mampu menghasilkan warna yang tebal, tidak transparan, dan
lebih gelap apabila dibandingkan dengan cat air. Pada abad ke-20, cat
gouache banyak digunakan dalam pembuatan Cell Animation, yaitu teknik
pembuatan film animasi dengan menggambar pada lembaran seluloid
transparan atau celluloid sheets. Karakter dari animasi yang membutuhkan
warna solid akan diwarnai dengan cat gouache, sedangkan background akan
26 Universitas Kristen Petra
diwarnai dengan cat air. Salah satu kelebihan dari cat gouache adalah sifatnya
yang cepat kering.
Ilustasi Akrilik
Cat akrilik banyak digunakan oleh ilustrator pemula karena lebih mudah
penggunaannya. Selain itu, juga dapat diaplikasikan pada hampir semua jenis
permukaan dan tahan air ketika mengering. Ilustrator biasa memanfaatkan cat
akrilik untuk membuat ilustrasi dengan teknik impasto, yaitu teknik
menggoreskan cat secara tebal hingga cat menjadi lebih tinggi atau timbul
dari permukaan kertas.
Ilustrasi Kolase
Ilustrasi yang dibuat dengan cara menggabungkan dan mengatur berbagai
jenis material yang berbeda ke dalam sebuah bidang kerja. Teknik kolase
sudah ada sejak peradaban kuno sebagai salah satu media komunikasi, ritual,
maupun hiasan. Beberapa tahun terakhir, ilustrasi kolase kembali populer dan
banyak ditemukan dalam ilustrasi poster iklan, buku pop-up, sampul buku,
dan masih banyak lagi.
Gambar 2.10. Contoh ilustrasi kolase karya Gustavo Aimar
Sumber: http://illustrationfriday.com/2013/05/artist-gustavo-aimar/
27 Universitas Kristen Petra
Ilustrasi Pena dan Tinta
Sama seperti teknik Woodcut, tinta dapat menghasilkan gambar dengan
kontras tinggi serta garis yang tipis dan tajam. Jenis pena yang berbeda
mampu menciptakan ilustrasi dengan gaya yang berbeda pula seperti quill
pen, fountain pen, technical pen, dan ballpoint. Kelemahan dari teknik ini
adalah lebih sukar dalam membuat gradasi warna. Meskipun demikian,
gradasi masih dapat diperoleh dengan membuat variasi ketebalan atau jarak
dari goresan tinta. Ilustrasi pena dan tinta banyak ditemukan di terbitan
berkala, koran, atau buku yang tidak berwarna.
b. Modern
Kemajuan teknologi menyebabkan banyak ilustrator yang beralih ke teknik
modern dengan menggunakan software khusus menggambar karena dapat meniru
efek yang dihasilkan oleh berbagai alat gambar tradisional seperti cat air, akrilik,
atau gouche serta lebih mudah diatur (Bilyana, 2017). Ilustrasi modern dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Freehand Digital Illustration
Kelebihan utama dari teknik freehand adalah dapat menciptakan transisi
gelap terang yang halus, warna yang kompleks, serta komposisi gambar yang
lebih detail. Ilustrasi digital dengan teknik ini biasanya mempunyai format
raster, yaitu gambar berbasis pixel dengan resolusi tetap sehingga hanya
dapat dicetak sampai ukuran tertentu sebelum kualitasnya menurun.
Gambar 2.11. Contoh freehand digital illustration karya Nicolás Castell
Sumber: http://www.nicolascastell.com/Ukiyo-e-Tale
28 Universitas Kristen Petra
Vector Illustration
Ilustrasi vector berbasis koordinat matematika sehingga dapat diubah
ukurannya sesuai dengan keinginan tanpa penurunan kualitas gambar serta
mempunyai ukuran file gambar yang lebih kecil. Meskipun demikian,
ilustrasi vector tidak dapat menghasilkan transisi warna yang halus seperti
freehand. Ciri khas dari ilustrasi ini adalah garis atau bentuk gambar yang
jelas serta terkesan bersih dan rapi. Ilustrasi vector banyak digunakan untuk
membuat ilustrasi bergaya flat yang umumnya ditemukan pada desain
website.
2.1.3.2. Berdasarkan Bentuk
a. Concept Art
Istilah concept art pertama kali digunakan pada tahun 1930-an dalam proses
pembuatan film animasi oleh Walt Disney. Dalam concept art, ilustrasi berfungsi
untuk memberikan gambaran pemahaman atau interprestasi dari sebuah tema
tertentu. Concept art digunakan pada hampir semua bentuk ilustrasi lainnya
seperti komik, novel grafis, animasi, atau bahkan game sebagai pedoman dari
proses produksi.
b. Ilustrasi Editorial
Ilustrasi editorial merupakan ilustrasi yang biasa mendampingi cerita pendek atau
artikel yang dimuat pada koran, majalah, maupun bentuk terbitan berkala lainnya.
Ilustrator dalam editorial akan bekerja dengan klien dan diberikan batas waktu
pengerjaan yang ketat. Meskipun tidak memberikan kebebesan penuh, namun
ilustrasi editorial dapat menjadi lahan bagi para ilustrator untuk mencoba teknik
baru serta memperkenalkan karya kepada target audience editorial yang lebih
luas.
c. Buku Ilustrasi
Buku ilustrasi tidak hanya berbentuk buku cerita, tetapi juga dapat berupa buku
edukasi atau jenis buku lainnya yang mengandung ilustrasi. Buku ilustrasi yang
berupa cerita biasanya memanfaatkan teknik sequence drawing, yaitu teknik
menggambar ilustrasi yang berhubungan satu sama lain secara berurutan dan
logis. Dalam sequence drawing, ilustrator hanya menggambarkan momen utama
atau penting saja sehingga pembaca dapat memahami isi cerita, bahkan tanpa
29 Universitas Kristen Petra
membaca tulisan narasi. Selain itu, melalui sequence drawing, ilustrator dapat
menggiring mata pembaca, menciptakan suasana tertentu, serta memberikan kesan
ruang pada cerita. Berbeda dengan komik dan novel grafis, buku ilustrasi tidak
menggunakan panel serta balon kata dalam penataan gambar sequence dan teks,
serta mengandung lebih banyak tulisan narasi.
Gambar 2.12. Contoh buku ilustrasi berjudul “House Held Up by Trees”
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/311452130452318380/
d. Buku Anak
Buku anak merupakan salah satu bentuk buku ilustrasi yang dikhususkan untuk
dibaca anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Buku anak dapat menceritakan
beragam kisah, mulai dari cerita fabel, cerita rakyat, dongeng, sampai cerita non-
fiksi. Unsur utama dari buku anak adalah cerita yang mengandung ajaran moral
serta karakter yang positif dan didesain sedemikian rupa sehingga mampu
membangkitkan imajinasi anak-anak. Gaya ilustrasi yang digunakan dalam buku
anak beragam menyesuaikan dengan jenis cerita serta umur dari target pembaca.
e. Komik dan Novel Grafis
Komik yang terdiri dari satu cerita sama yang panjang dalam sebuah buku disebut
sebagai novel grafis. Salah satu bentuk novel grafis yang paling terkenal adalah
“The Tintin Album” oleh Hergé. Sama seperti buku ilustrasi, komik serta novel
grafis merupakan gambar sequence yang disertai teks atau informasi visual
lainnya, untuk menyampaikan ide, informasi, maupun cerita. Gambar dan tulisan
pada umumnya akan diatur dalam sebuah panel serta balon kata yang berurutan.
Panel berfungsi untuk menggiring mata pembaca sesuai dengan alur cerita,
30 Universitas Kristen Petra
sedangkan balon kata digunakan untuk menunjukkan dialog, narasi, atau efek
suara. Gaya ilustrasi kartunis sering dijumpai dalam komik karena tidak
mengutamakan prinsip anatomi dan perspektif sehingga lebih mudah digambar
dalam jangka waktu panjang.
f. Corporate Illustration (Ilustrasi Perusahaan)
Ilustrasi perusahaan merupakan ilustrasi yang dibuat untuk menggambarkan
Unique Selling Proposition (USP) suatu perusahaan atau brand kepada
sekelompok target audience yang spesifik. Ilustrasi perusahaan dapat berupa
desain logo, iklan, atau kemasan produk. Logo adalah simbol, ikon, maupun tanda
yang mempunyai ciri khas sederhana, mudah dikenali, serta menarik perhatian,
untuk menggambarkan suatu institusi, perusahaan, atau brand. Sedangkan,
ilustrasi biasanya digunakan dalam iklan sebagai medium untuk menyampaikan
pesan dengan lebih fleksibel, sehingga mampu menerjemahkan ide lebih baik.
Ilustrasi dalam desain kemasan berperan sangat penting untuk membantu menjual
serta memberikan gambaran produk di dalamnya karena menjadi pembungkus
luar yang pertama kali dilihat oleh konsumen.
2.1.3.3. Berdasarkan Konteks
a. Ilustrasi Literal
Ilustrasi literal bertujuan untuk menggambarkan kejadian yang sebenarnya secara
harfiah, akurat, dan dapat dipercaya sehingga visualnya tidak menekankan pada
konsep, alegori atau metafora, serta mengutamakan detail yang akurat. Pada
dasarnya, ilustrasi literal dibagi lagi menjadi dua, yaitu ilustrasi linear dan tonal.
Ilustrasi linear memanfaatkan garis untuk membentuk objek, biasanya berwarna
datar dan tidak terlalu banyak gradasi. Sedangkan, ilustrasi tonal menggunakan
transisi warna gelap terang untuk membentuk suatu objek sehingga terlihat lebih
realis. Ilustrasi literal tidak hanya terbatas pada ilustrasi kehidupan nyata saja,
namun juga dapat berupa ilustrasi fantasi yang masih memperlihatkan komponen
atau interaksi secara nyata dan meyakinkan. Sekarang, ilustrasi literal dapat
dijumpai dalam ilustrasi buku referensi, iklan, ensiklopedia, dan beberapa narasi
fiksi seperti komik atau novel grafis (Male, 2007).
31 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.13. Ilustrasi literal tentang petani cokelat Madagaskar oleh Lucy Rose
Sumber: http://www.theartworksinc.com/2018/03/06/lucy-roses-fantastic-new-
editorial-illustrations-waitrose/
b. Ilustrasi Konseptual
Ilustrasi konseptual adalah ilustrasi yang bersifat konsep serta menggunakan
metafora sebagai penggambaran sebuah ide. Eleman dalam ilustrasi ini dapat
mengambil dari dunia nyata yang dimodifikasi sedemikan rupa untuk
menyampaikan sebuah pesan. Sifatnya yang lebih bebas ketimbang ilustrasi literal
menyebabkan ilustrasi berjenis ini banyak dimanfaatkan untuk mempresentasikan
isu atau tema yang kritis dan kompleks, seperti di majalah atau koran. Beberapa
contoh isu yang sering diangkat antara lain isu ekonomi, politik, dan sosial (Male,
2007).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan apabila ilustrasi sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai bentuk. Tidak hanya buku,
ilustrasi dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk lain seperti desain kemasan, iklan,
koran, dan masih banyak lagi. Kerajinan “Téng-téngan” juga menggunakan
prinsip salah satu teknik ilustrasi tradisional, yaitu teknik kolase yang
menggabungkan potongan-potongan gambar menjadi sebuah karya. Sedangkan,
buku ilustrasi yang akan dirancang oleh penulis termasuk dalam freehand digital
illustration dengan gaya penyampaian ilustrasi literal.
32 Universitas Kristen Petra
2.1.4. Fungsi dan Peranan Buku Ilustrasi dalam Sosial Budaya
Pada awal kemunculannya, ilustrasi selalu berusaha untuk
menyampaikan fenomena atau peristiwa penting yang telah terjadi secara objektif
sebagai media informasi, dokumentasi, maupun pembelajaran. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya ilustrasi dalam buku-buku pembelajaran antropologi (studi
kebudayaan manusia) dan arkeologi (studi peninggalan kuno manusia) yang
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, misalnya dalam hal arah pencayahaan
atau layout, agar dapat menyampaikan informasi seakurat mungkin. Selain
memberikan informasi, ilustrasi juga memiliki kemampuan sebagai media
propaganda agar masyarakat mempercayai kebenaran tertentu, seperti yang dapat
ditemukan pada ilustrasi kemenangan perang, potret penguasa, dan ikon religius
(Male, 2007).
Sekarang, ilustrasi tetap berperan sebagai media informasi dalam bidang
sosial budaya, namun dengan gaya, isi, dan bentuk yang lebih bebas. Bentuk
media utama ilustrasi, yang awalnya dominan buku fisik, kini mulai beralih ke
digital karena teknologi yang semakin berkembang pesat. Sifat ilustrasi yang
semakin bebas dan mudah diakses juga menyebabkan ilustrasi menjadi salah satu
media untuk menyampaikan opini mengenai peristiwa yang terjadi. Salah satunya
adalah melalui ilustrasi editorial yang berisi fakta beserta opini mengenai
fenomena sosial budaya masyarakat seperti gaya hidup, kesenjangan sosial, dan
masih banyak lagi (Male, 2007).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa peran ilustrasi dalam kehidupan sosial
budaya selalu berkembang dari masa ke masa, serta dapat mempengaruhi pola
pikir dan kebiasaan masyarakat secara tidak langsung. Sebagai contohnya, dahulu
kreatifitas dalam ilustrasi masih kurang dihargai karena fungsi ilustrasi sendiri
yang hanya sebatas media informasi. Berbeda dengan masa kini, dimana
kreatifitas dan keunikan menjadi modal utama seorang ilustrator agar dapat
dibedakan dengan ilustrator lain yang semakin banyak. Tidak hanya mengubah
pola pikir para ilustrator, perubahan peran ilustrasi juga mengubah pola pikir
masyarakat secara umum menjadi lebih kritis dalam menanggapi fakta dan opini
dalam ilustrasi. Selain itu, bentuk buku ilustrasi, yang mulai beralih ke digital,
menyebabkan budaya membaca masyarakat juga beralih menjadi serba digital.
33 Universitas Kristen Petra
2.2. Tinjauan Buku Digital
2.2.1. Pengertian Buku Digital
Buku digital atau yang lebih dikenal dengan nama e-book adalah buku
yang dibuat atau diubah dalam format digital sehingga dapat ditampilkan pada
perangkat elektronik seperti komputer, smartphone, dan gadget lainnya (Ihsan,
2016). Buku digital merupakan perkembangan dari buku fisik yang, selain berisi
teks atau gambar, juga biasa dilengkapi dengan video dan suara.
2.2.2. Jenis dan Format Buku Digital
a. Membutuhkan Aplikasi E-reader
Buku digital dengan jenis ini adalah buku digital yang lebih dikenal oleh
masyarakat karena merupakan buku fisik yang dikonversi menjadi buku digital.
Sama halnya dengan buku fisik, buku digital yang bergantung pada e-reader pada
umumnya hanya berisi teks dan gambar karena adanya batasan-batasan dari segi
ukuran file serta layout dalam proses pembuatan buku. Beberapa contoh jenis
buku fisik yang sering dikonversi menjadi buku digital dengan format ini adalah
buku referensi, pelajaran, atau majalah yang mengandung banyak teks serta
gambar.
Aplikasi e-reader sendiri merupakan aplikasi dalam perangkat digital yang
dibutuhkan untuk mengakses serta membaca beberapa format buku digital.
Beberapa contoh formatnya adalah Portable Document Format (PDF) dan
Electronic Publication (Epub). Kedua format tersebut merupakan format standar
buku digital dan sudah terkenal luas. Format PDF lebih banyak digunakan pada
komputer atau laptop karena ukuran teks yang tidak dapat berubah menyesuaikan
dengan layar kecil seperti handphone. Sedangkan, format Epub lebih banyak
digunakan pada perangkat gadget karena ukuran teks yang dinamis sehingga
mampu menyesuaikan dengan layar perangkat kecil serta dilengkapi dengan daftar
isi untuk memudahkan akses pembaca. Masing-masing format buku digital
membutuhkan e-reader yang berbeda-beda, seperti format buku PDF hanya dapat
dibuka oleh e-reader khusus PDF (Adobe Acrobat Reader), dan Epub dengan e-
reader khusus Epub (Scoop) (Ihsan, 2016).
34 Universitas Kristen Petra
b. Tidak Membutuhkan Aplikasi E-reader
Jenis buku digital ini merupakan perkembangan dari buku digital yang
membutuhkan e-reader karena sudah berupa aplikasi yang berdiri sendiri. Format
aplikasi yang sering dijumpai adalah Executable (EXE) pada perangkat komputer
atau Android Package File (APK) pada perangkat gadget berbasis Android
(Nurhadi, 2017). Lain halnya dengan buku digital berformat PDF atau Epub, buku
digital dengan format aplikasi biasanya dibuat khusus untuk perangkat digital dan
bukan sekedar konversi dari buku fisik. Banyak buku cerita anak interaktif yang
memanfaatkan format ini karena dapat menambahkan unsur-unsur lain yang
menarik perhatian anak-anak seperti animasi dan suara. Selain itu, juga dapat
menambahkan interaksi sederhana sehingga anak-anak bisa belajar sambil
bermain dan bereksplorasi. Salah satu buku cerita anak interaktif yang paling
populer adalah seri Living Book, yaitu kumpulan beberapa cerita anak berbeda
yang dilengkapi dengan animasi serta lagu.
Gambar 2.14. Aplikasi buku digital “A Raven Monologue” oleh Mojiken Studio
Sumber: https://mojiken.itch.io/raven
Dari kedua jenis buku digital tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri, sehingga digunakan
untuk jenis buku yang berbeda pula. Buku digital yang membutuhkan e-reader
seperti PDF atau Epub, lebih cocok digunakan untuk jenis buku yang hanya
mengandung teks atau gambar karena lebih terbatas dalam segi teknis. Sedangkan,
buku digital berformat aplikasi lebih cocok digunakan oleh jenis buku yang
membutuhkan tambahan animasi atau musik sebagai pendukung isi karena
sedikitnya batasan dalam hal teknis. Oleh karena itu, jenis inilah yang akan
digunakan oleh penulis dalam perancangan buku ilustrasi digital.
35 Universitas Kristen Petra
2.2.3. Fungsi Buku Digital
a. Sebagai media pembelajaran alternatif yang lebih menarik. Berbeda dengan
buku konvensional, buku digital, terutama yang berupa aplikasi, dapat
memuat konten multimedia seperti animasi, video, dan suara. Selain itu,
dengan bantuan interaksi sederhana, anak-anak dapat bereksplorasi dan lebih
terlibat secara aktif sehingga memudahkan proses pemahaman cerita atau
pembelajaran yang disampaikan (Ihsan, 2016).
b. Media berbagi informasi yang lebih cepat dan mudah diakses. Buku dengan
format digital dapat disebarluaskan dengan mudah melalui internet dan
jejaring sosial sehingga pembacanya juga tidak terbatas dalam satu wilayah
atau bahkan negara. Selain memudahkan pembaca, juga memudahkan penulis
atau pengarang buku dalam membuat dan menerbitkan buku secara
independen melalui berbagai situs di internet (Ihsan, 2016).
2.3. Tinjauan Animasi
Menurut Philip Denslow dalam “Historical Dictionary of Animation and
Cartoons”, animasi adalah ilusi gambar bergerak yang berasal dari perubahan
posisi gambar benda mati secara berurutan dengan sedikit perubahan (Dobson,
2009). Animasi mulai dikenal oleh masyarakat dunia pada awal abad ke-19 dalam
bentuk Flipper Book, yaitu buku notes berisi gambar sequence atau berurutan
yang dijilid pada satu sisi. Apabila halaman Flipper Book dibalik secara cepat,
dapat muncul ilusi gerakan atau animasi. Teknik membalik halaman bergambar
dengan cepat ini digunakan dalam proses pembuatan film animasi klasik untuk
memeriksa apakah ada gambar yang salah dan perlu perbaikan (Williams, 2002).
Pada abad ke-20, industri animasi berkembang pesat dengan kemunculan
film animasi bersuara pertama buatan Walt Disney yaitu “Steamboat Willie”
(1928). Setelah itu, mulai muncul banyak film animasi klasik lainnya yang
dikenal sampai sekarang seperti “Looney Tunes” (1930-1969) oleh Warner
Brother, “Pinocchio” (1937) dan “Snow White and the Seven Dwarves” (1940)
oleh Walt Disney, dan masih banyak lagi. Periode tersebut menjadi masa
keemasan dari industri animasi karena banyaknya film animasi atau kartun yang
diproduksi dengan kualitas yang baik, inovatif, serta menghibur. Selama beberapa
36 Universitas Kristen Petra
tahun ke depan, Disney mendominasi industri animasi dan mulai bekerja sama
dengan studio Pixar untuk membuat animasi tiga dimensi (3D). Beberapa film
animasi 3D pertama yang diproduksi oleh Disney antara lain “Toy Story” (1995)
dan “Finding Nemo” (2003) (Dobson, 2009).
Apabila dilihat dari teknik pembuatannya, animasi dapat dikategorikan
menjadi tiga jenis yaitu animasi stop-motion, animasi tradisional, dan animasi
modern. Animasi stop-motion atau yang sering disebut claymotion merupakan
animasi yang dihasilkan dari pengambilan gambar suatu objek, biasanya terbuat
dari clay, yang digerakan sedikit demi sedikit untuk menciptakan gerakan yang
alami. Beberapa contoh film animasi klasik yang menggunakan teknik stop-
motion antara lain “Rudolph the Red-Nosed Reindeer” (1964) dan “The
Nightmare Before Christmas” (1993). Animasi tradisional atau animasi dua
dimensi (2D) merupakan teknik pembuatan animasi dengan menggambar setiap
pergerakan objek sedikit demi sedikit atau frame by frame. Awalnya, animasi 2D
digambar pada celluloid sheets yang transparan menggunakan prinsip layer.
Sekarang, animasi 2D sudah dikerjakan dengan menggunakan bantuan komputer
yang dapat memudahkan proses menggambar pergerakan (Candra, 2017).
Gambar 2.15. Animasi 2D “The Jungle Book” oleh Walt Disney Productions
Sumber: http://framexframe.tumblr.com/
Animasi tiga dimensi (3D) termasuk dalam animasi modern karena
memanfaatkan teknologi komputer sepenuhnya untuk menciptakan gambar
animasi yang mempunyai kedalaman. Para animator 3D memerlukan pemahaman
lebih dalam mengoperasikan software animasi 3D, karena hampir seluruh proses
37 Universitas Kristen Petra
pembuatan animasi dilakukan secara digital dalam komputer. Berbeda dengan
animasi 2D, animasi 3D tidak lagi menggunakan teknik frame by frame. Proses
pembuatan animasi 3D biasanya dimulai dengan membuat karakter dan
environment dalam bentuk 3D atau yang biasa disebut dengan 3D modeling.
Kemudian dilanjutkan dengan rigging yaitu proses pemberian “tulang” pada
karakter agar dapat bergerak. Setelah itu baru animator dapat membuat animasi
karakter sesuai dengan storyboard yang telah dibuat dan melakukan rendering
atau proses penampilan model 3D ke bentuk citra 2D (Candra, 2017).
Gambar 2.16. Animasi 3D “Frozen” oleh Walt Disney Productions
Sumber: http://framexframe.tumblr.com/
Dalam pembuatan semua jenis animasi, seorang animator harus
memahami dua belas prinsip animasi, yaitu prinsip-prinsip yang harus ada dalam
sebuah animasi agar menarik, dinamis, dan tampak alami. Dua belas prinsip
tersebut adalah timing, ease in and out, arcs, follow through and overlapping
action, secondary action, squash and stretch, exaggeration, straight ahead and
pose to pose, anticipation, staging, personality, serta appeal (Williams, 2002).
Sekarang, software untuk membuat animasi, baik 2D maupun 3D, sudah semakin
banyak serta mudah diakses dan dipelajari. Akibatnya, banyak muncul animator-
animator yang memproduksi dan merilis film animasi pendek secara independen.
Selain itu, animasi juga mulai banyak digunakan dalam bidang lain seperti game,
logo, iklan, desain website, dan masih banyak lagi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa animasi merupakan ilustrasi yang
digambar secara berurutan dengan sedikit perubahan sehingga dapat menciptakan
38 Universitas Kristen Petra
ilusi bergerak. Perkembangan teknologi menyebabkan animasi semakin
berkembang, baik dari teknik maupun penggunaannya, sehingga semakin sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Menurut penulis, teknik pembuatan
animasi selalu berkembang agar terlihat lebih meyakinkan atau terasa nyata. Hal
ini dapat dilihat dari perkembangan animasi yang dahulu masih 2D, belum
berwarna, dan bersuara, sampai sekarang sudah menggunakan teknologi 3D
sehingga terlihat nyata. Animasi tidak hanya digunakan dalam film, tapi juga
sudah banyak digunakan dalam game atau platform lain yang membutuhkan
animasi. Bentuknya bisa kompleks atau sederhana seperti gambar GIF looping
yang nantinya akan digunakan penulis dalam perancangan buku ilustrasi digital.
2.4. Tinjauan Permasalahan
2.4.1. Tinjauan Lampion
2.4.1.1. Pengertian Lampion
Secara kebahasaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lampion
adalah lentera yang terbuat dari kertas dengan penerangan berupa lilin di
dalamnya dan biasa digunakan pada pesta atau perayaan tertentu. Lampion
umumnya berfungsi sebagai alat penerangan dalam rumah sebelum Cina dialiri
listrik. Lampion baru digunakan dalam perayaan Tahun Baru Imlek sekitar tahun
1300-an pada era dinasti Ming (Zulkarnain, 2017).
2.4.1.2. Perkembangan Lampion
Lampion diperkirakan pertama kali muncul di Cina sekitar abad ketiga
masehi pada zaman dinasti Han. Pada awal kemunculannya, lampion banyak
menggunakan kulit binatang atau kain sebagai bahan dasarnya. Setelah teknik
pembuatan kertas ditemukan, para perajin lampion mulai beralih ke bahan baku
kertas karena lebih mudah dan terjangkau. Bentuk awal lampion, selain bulat, juga
dapat berbentuk kotak, jajaran genjang, atau bentuk geometris lainnya. Lampion
tersebut pada umumnya berwarna merah karena warna merah dianggap sebagai
simbol keberuntungan, kebahagiaan, serta berkah yang melimpah dalam filosofi
Cina. Selain itu, ukuran lampion juga tidak terlalu besar karena biasa dibawa oleh
para biksu sebagai penerangan ketika beribadah kepada para dewa. Lama-
kelamaan kebiasaan para biksu tersebut diikuti oleh keluarga kerajaan serta
39 Universitas Kristen Petra
masyarakat umum sehingga lampion menjadi bagian dari ritual keagamaan,
bahkan mempunyai perayaannya sendiri yaitu Festival Lampion. Tidak hanya
sebagai simbol religius, dahulu lampion juga merupakan simbol kesuburan,
sehingga wajib ada dan dinyalakan pada malam pertama pengantin baru di Cina
(Malagina, 2014).
Seiring dengan perkembangan zaman, lampion semakin berkembang,
baik dari segi bentuk, corak, maupun fungsinya, menjadi lampion modern seperti
yang dikenal sekarang. Bentuk lampion modern lebih beragam, tidak hanya
berbentuk geometris, tetapi juga ada yang berbentuk seperti tokoh karakter kartun,
binatang dari zodiak Cina, atau karakter lainnya yang sedang populer. Ukurannya
juga ada yang sangat besar atau kecil menyesuaikan dengan fungsinya masing-
masing. Penerangan lampion yang awalnya menggunakan lilin, sekarang sudah
menggunakan bola lampu yang berwarna-warni menyesuaikan dengan bentuk
karakternya sehingga terlihat lebih semarak. Oleh karena itu, selain digunakan
dalam tradisi ritual keagamaan, lampion modern juga sering dijumpai sebagai
hiasan pada perayaan ulang tahun kota, festival, maupun taman rekreasi bertema
lampion. Lampion modern tidak hanya digantung atau dibawa saja, tetapi juga
dapat diterbangkan sebagai simbol melepaskan kehidupan lama seperti Sky
Lantern (lampion terbang) di Taiwan (“Types of”, n.d.).
Gambar 2.17. Contoh lampion modern pada salah satu festival lampion di Cina
Sumber: https://www.brilio.net/wow/10-foto-indahnya-festival-lampion-di-
beijing-ini-bikin-pengen-ke-sana-161228r.html
40 Universitas Kristen Petra
Jadi, kesimpulannya perkembangan lampion pada umumnya
menyesuaikan dengan perubahan fungsi dan cara penggunaannya sendiri. Dahulu,
karena banyak digunakan sebagai penerangan dengan cara dibawa atau digantung,
bentuk dan ukuran lampion awal menjadi terbatas agar lebih praktis. Warna serta
coraknya juga kebanyakan serupa karena menjadi simbol yang penting dalam
ritual keagamaan atau tradisi. Sekarang, karena fungsi utamanya sebagai hiasan
yang lebih mengutamakan keindahan ketimbang filosofi, maka bentuk, warna,
ukuran serta corak lampion modern lebih bebas sehingga lebih beragam.
2.4.1.3. Jenis-jenis Lampion Tradisional
Berdasarkan bentuk dan fungsinya, lampion tradisional Cina dibagi lagi
menjadi tiga jenis, yaitu Palace Lantern (lampion kerajaan), Gauze Lantern
(lampion kertas), dan Shadow-picture Lantern (lampion gambar-bayangan).
Lampion kerajaan merupakan lampion yang banyak digantung di istana dan
kelenteng Cina pada zaman kuno. Bentuk Lampion kerajaan beragam, mulai dari
segi delapan sampai segi enam dan dihiasi dengan berbagai motif penuh warna
seperti naga dan burung phoenix. Selain sebagai penerang, lampion ini juga
digunakan untuk menghiasi istana sehingga dibuat dengan bahan baku berkualitas
tinggi yaitu kayu terbaik yang dilapisi dengan kain sutra atau kaca.
Lampion kertas, terutama yang berwarna merah, merupakan jenis
lampion yang paling dikenal dan masih bertahan hingga saat ini. Lampion kertas
sering terlihat digantung atau dibawa keliling kota pada perayaan Festival
Lampion di Cina setiap tanggal 15 bulan pertama perayaan Imlek. Pada awal
kemunculannya, lampion kertas banyak menggunakan bambu sebagai rangka, lilin
sebagai penerangannya, dan kertas minyak sebagai lapisan luar. Sekarang,
lampion kertas sudah berkembang dan memanfaatkan kawat sebagai rangka serta
bola lampu sebagai penerangan agar lebih tahan lama. Meskipun demikian,
bentuknya tetap sama, yaitu berbentuk bulat berjumbai emas dengan hiasan
beragam motif karakter Han sebagai bentuk ucapan doa dan harapan.
Berbeda dengan lampion kertas, lampion gambar-bayangan sudah jarang
dijumpai saat ini karena dahulu lebih sering digunakan sebagai mainan anak-anak
ketimbang dalam Festival Lampion. Bentuk dari lampion gambar-bayangan
menyerupai lampion kerajaan, namun dengan dua lapisan kertas yaitu lapisan
41 Universitas Kristen Petra
dalam yang berupa potongan gambar dan lapisan luar sebagai penutup lampion.
Motif gambar yang biasa digunakan dalam lampion ini adalah motif figuratif,
pemandangan, atau hewan-hewan zodiak Cina. Saat dinyalakan, uap panas dari
lilin akan menggerakan gambar pada lapisan dalam sehingga akan terlihat siluet
gambar yang berputar pada lapisan luar lampion (“Chinese Lanterns”, n.d.).
Gambar 2.18. Lampion gambar-bayangan asal Cina
Sumber: http://www.dragonsh.com/pagese/pages.aspx?page=312
Menurut penulis, meskipun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda-
beda, namun tiap jenis lampion tradisional memiliki peranan penting dalam tradisi
Cina, bahkan sudah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Tidak hanya sebagai penerang, lampion tradisional juga berperan dalam ritual
keagamaan, hiasan istana, dan menjadi hiburan bagi masyarakat Cina. Meskipun
ada beberapa jenis lampion tradisional yang sekarang sudah jarang ditemui, tetapi
bentuk, motif, serta filosofinya masih dapat ditemui dalam lampion di berbagai
negara. Salah satu contohnya adalah lampion “Téng-téngan” asal Indonesia yang
mengadaptasi bentuk dan konsep dari salah satu lampion tradisional Cina, yaitu
lampion gambar-bayangan.
2.4.1.4. Lampion di Indonesia
Lampion yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
lampion tradisional, lampion modern, serta lampion hasil akulturasi atau biasa
disebut dengan lampion daerah. Lampion tradisional merupakan jenis lampion
yang paling konvensional dan sering dijumpai karena digunakan sebagai hiasan di
kelenteng atau pada saat perayaan Imlek. Bentuk lampion tradisional Indonesia
menyerupai lampion kertas asal Cina, yaitu berbentuk bulat dan berwarna merah
42 Universitas Kristen Petra
sebagai simbol keberuntungan, kebahagiaan, dan berkah melimpah. Lampion
modern merupakan perkembangan dari lampion tradisional yang lebih banyak
digunakan sebagai hiasan pada acara di luar tradisi keagamaan. Sama seperti
lampion modern di Cina, bentuk lampion modern di Indonesia sangat beragam,
dekoratif, dan penuh warna.
Apabila dibandingkan dengan kedua jenis lampion lainnya, lampion
daerah merupakan jenis yang paling jarang ditemui, kurang dikenal, bahkan ada
beberapa lampion daerah yang terancam punah. Secara historis, lampion daerah
awalnya digunakan sebagai alat penerangan pada saat ronda malam. Lama
kelamaan, lampion ini mulai digunakan untuk perayaan hari besar umat Islam di
berbagai daerah Indonesia (Zulkarnain, 2017). Salah satu provinsi di Indonesia
yang mempunyai banyak jenis lampion daerah adalah Jawa Tengah.
Beberapa contoh lampion daerah yang dapat ditemukan di Jawa Tengah
antara lain “Ting” dari Surakarta, “Impes” dari Jepara, serta “Téng-téngan” dari
Semarang. Ketiga lampion tersebut mempunyai bentuk khas yang mudah
dibedakan satu dengan lainnya dan digunakan untuk perayaan hari besar umat
Islam yang berbeda pula. “Ting” menggunakan bambu sebagai bahan bakunya
dan pada umunya berbentuk kotak atau segi enam dengan ukiran motif dekoratif.
Setiap tahunnya, “Ting” dibawa keliling keraton bersama saat perayaan Malam
Selikuran pada hari ke-21 bulan Ramadan. Sebagai bagian dari tradisi Keraton
Surakarta, “Ting” memiliki filosofi tersendiri yaitu sebagai penerang yang selalu
ada saat dibutuhkan (Ikha, Prasetyo, July 30, 2013).
Gambar 2.19. Lampion “Ting” khas Surakarta
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ting
43 Universitas Kristen Petra
Lampion “Impes” merupakan lampion khas Kabupaten Jepara,
khususnya Kecamatan Kalinyamatan, yang biasa digantung di depan rumah warga
ketika menyambut Nisfu Sya'ban pada tanggal 15 bulan kedelapan (Sya’ban)
dalam kalender Hijriyah. Selain digantung, para pemuda-pemudi Kalinyamatan
juga membawa “Impes” untuk keliling kampung pada Pesta Baratan yang adalah
bagian dari tradisi Nisfu Sya'ban. Tradisi Nisfu Sya'ban sendiri merupakan tradisi
penutupan buku catatan amal bagi umat Islam, sehingga dengan menyalakan
lampion diharapkan catatan amal warga sekampung menjadi “terang” atau baik.
Nama “Impes” diambil dari kata mimpes yang berarti kempis atau pipih sesuai
dengan bentuk lampion yang dapat dilipat ketika tidak digunakan. Bahan
pembuatan utama dari “Impes” adalah kertas yang dilipat dan disambungkan
dengan lem menjadi bentuk silinder berlipat. Sekarang, “Impes” lebih banyak
digunakan sebagai ornamen dekorasi rumah, restoran bertema Jepara, atau
penerang taman Kota Jepara (Kurniawan, June 3, 2015).
Gambar 2.20. Lampion “Impes” khas Kabupaten Jepara
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Impes
Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat bahwa di Indonesia, lampion
tidak hanya digunakan oleh warga keturunan Cina saja, tetapi ada juga lampion
yang digunakan oleh masyarakat Indonesia secara umum, bahkan umat agama
Islam. Bentuk maupun warna dari lampion Indonesia sendiri tidak jauh berbeda
dengan lampion asal Cina. Keunikannya, karena Indonesia merupakan salah satu
negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, maka ada salah satu
jenis lampion di Indonesia, yaitu lampion daerah yang fungsi serta filosofinya
banyak berhubungan dengan agama Islam.
44 Universitas Kristen Petra
2.4.2. Tinjauan “Téng-téngan”
2.4.2.1. Pengertian “Téng-téngan”
“Téng-téngan” merupakan kerajinan khas Kota Semarang berupa
lampion yang terdiri dari dua lapisan, yaitu potongan gambar dari kertas sebagai
lapisan dalam dan kertas minyak sebagai lapisan luar lampion. Asal usul nama
“Téng-téngan” dapat merujuk pada tiga hal. Pertama, berasal dari kata tenteng
atau bawa karena dahulu biasa dibawa oleh warga sebagai alat penerangan.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa nama “Téng-téngan” diambil dari nama
lampion daerah lain yaitu “Ting” dari Surakarta. Untuk membedakan maka
disebut “Ting-tingan” atau “Ting” mainan dan lama kelamaan berubah menjadi
“Téng-téngan” (Ige, June 5, 2017). Terakhir, menurut sebagian besar warga
Kampung Purwosari Perbalan, tempat munculnya kerajinan ini, kata “Téng-
téngan” berasal dari bunyi kereta api yang biasanya lewat saat anak-anak bermain
dengan “Téng-téngan” (Junarso, personal communication, February 4, 2018).
2.4.2.2. Bentuk dan Sejarah “Téng-téngan”
Apabila dilihat dari segi fungsi dan konsepnya, “Téng-téngan” sangat
serupa dengan salah satu jenis lampion tradisional Cina, yaitu lampion gambar-
bayangan. Perbedaanya terdapat pada bentuk “Téng-téngan” yang menyerupai
bintang segi delapan atau biasa disebut Rub el Hizb oleh umat Islam. Rub el Hizb
sendiri merupakan simbol kemakmuran dalam Islam dan sering digunakan
sebagai dekorasi pada arsitektur atau kaligrafi yang berhubungan dengan agama
Islam (“Bintang Segi”, 2016). Sesuai dengan bentuknya yang identik dengan
Islam, “Téng-téngan” hanya muncul satu tahun sekali pada bulan Ramadan.
Gambar 2.21. Bentuk bintang segi delapan pada “Téng-téngan”
Sumber: Dokumentasi pribadi
45 Universitas Kristen Petra
Sama seperti lampion gambar-bayangan, ketika dinyalakan, potongan
gambar pada lapisan dalam “Téng-téngan” akan berputar sehingga menghasilkan
siluet gambar yang berputar pada lapisan luar. Meskipun demikian, jenis gambar
yang digunakan dalam “Téng-téngan” berbeda dengan lampion gambar-bayangan,
yaitu lebih banyak berupa alat transportasi, hewan, atau gambar lain yang sedang
digemari anak-anak. Tak jarang “Téng-téngan” juga menjadi media edukasi untuk
anak-anak dengan menggunakan potongan gambar yang mengandung budaya
Indonesia seperti wayang. Di samping itu, potongan gambar dalam “Téng-téngan”
juga dapat dibuat menyesuaikan dengan permintaan pembeli (Junarso, personal
communication, February 4, 2018).
Gambar 2.22. Bayangan gambar alat transportasi yang berputar saat “Téng-
téngan” dinyalakan
Sumber: Dokumentasi pribadi
“Téng-téngan” pertama kali muncul di Kampung Purwosari Perbalan
Gang H, Semarang Utara pada tahun 1942 atas inisiatif seorang warga bernama
Sudarno yang berniat membuka usaha sendiri. Keadaan kampung saat itu masih
berupa rawa dan belum dialiri listrik sehingga jalan menuju masjid sangat gelap
serta berbahaya. Pada bulan Ramadan, warga yang akan pergi ke masjid untuk
salat Tarawih biasanya hanya menggunakan obor sebagai penerangan. Untuk
menarik anak-anak agar mau ikut salat Tarawih, Sudarno berinisiatif membuat
sebuah lentera yang dapat dimainkan yaitu Dian Kurung atau lampu yang
dikurung. Nama Dian Kurung lama kelamaan berubah menjadi “Téng-téngan”
dan menjadi tradisi yang selalu muncul di bulan Ramadan. Awalnya “Téng-
46 Universitas Kristen Petra
téngan” tidak diperjualbelikan karena hanya berfungsi sebagai penerangan.
Seiring dengan perkembangannya, “Téng-téngan” mulai dijual sebagai hiasan atau
mainan khas Semarang seharga Rp15.000,00 sampai Rp20.000,00, tergantung
motif dan bentuknya (Junarso, personal communication, February 4, 2018).
2.4.2.3. Lokasi Kerajian “Téng-téngan”
Kota Semarang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah yang menjadi
kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya,
Bandung, dan Medan. Kota ini terletak sekitar 558 km di sebelah timur Jakarta
atau 312 km di sebelah barat Surabaya. Penduduk di Semarang umumnya adalah
suku Jawa dengan mayoritas agama Islam. Meskipun demikian, kerukunan antar
agama, suku, dan ras di Semarang terjaga dengan sangat baik yang dibuktikan
dengan banyaknya kebudayaan atau peninggalan sejarah hasil akulturasi, salah
satunya “Téng-téngan”. Selain itu, beberapa kuliner Semarang yang terkenal,
seperti lumpia, tahu pong, dan lain-lain, juga merupakan hasil akulturasi beberapa
budaya yang terdapat di Semarang. Seperti daerah lainnya di Jawa, khususnya
Jawa Tengah, penduduk Semarang kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi sehari-hari sejak ratusan tahun silam (“Kabupaten Kota”, n.d.).
Dalam Kota Semarang, kerajinan “Téng-téngan” hanya dibuat di salah
satu kampung kecil bernama Purwosari Perbalan, yang terletak di Kelurahan
Purwosari, Kecamatan Semarang Utara. Kelurahan Purwosari mempunyai luas
yang termasuk kecil dibandingkan dengan delapan kelurahan lainnya di
Kecamatan Semarang Utara, yaitu hanya sekitar 48.049 ha. Stasiun Semarang
Poncol, yang adalah satu dari dua stasiun yang terdapat di Semarang, terletak di
Kelurahan ini. Kampung Purwosari Perbalan dibagi menjadi beberapa jalan kecil
atau gang berdasarkan abjad, dari A sampai H. Pada Gang H inilah kerajinan
“Téng-téngan” muncul dan bertahan hingga kini. Saat Ramadan, sebagian besar
warga kampung akan berkumpul di rumah salah satu perajin, yaitu Junarso, yang
terletak di Gang H nomor 19. Rumah Slamet, perajin “Téng-téngan” yang lain,
juga terletak tak jauh dari rumah Junarso. Selain terkenal dengan “Téng-téngan”,
Kampung Purwosari Perbalan, khususnya di Gang IB, juga cukup terkenal sebagai
kampung tematik pelangi yang bernama Kampung Pelangi Perbalan.
47 Universitas Kristen Petra
Penduduk di Kampung Purwosari Perbalan Gang H tidak banyak,
sehingga antar tetangga, yang dekat maupun jauh, masih saling mengenal satu
sama lain. Sama seperti di kampung-kampung pada umumnya, di kampung ini
budaya musyawarah maupun gotong-royong masih sangat kental, yang terlihat
ketika proses pembuatan “Téng-téngan”. Waktu-waktu membuat “Téng-téngan”
yang biasanya dimulai beberapa bulan sebelum puasa atau pada saat akhir pekan,
banyak dijadikan warga kampung untuk berkumpul dan saling bersilaturahmi.
Kebanyakan warga di kampung ini bekerja serabutan seperti tukang becak, tukang
batu, kuli bangunan, dan sebagainya, sehingga Status Ekonomi Sosialnya rata-rata
C-D atau kelas bawah. Suku atau ras yang mendominasi pada kampung ini juga
adalah suku Jawa, dengan dominasi agama Islam, sehingga tak heran apabila
“Téng-téngan” dahulu banyak digunakan sebagai penerangan warga ke masjid.
Gambar 2.23. Jalan masuk ke Kampung Purwosari Perbalan Gang H
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar 2.24. Jalanan di Kampung Purwosari Perbalan Gang H
Sumber: Dokumentasi pribadi
48 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.25. Rumah Junarso di Kampung Purwosari Perbalan Gang H nomor 19
Sumber: Dokumentasi pribadi
2.4.2.4. Proses Pembuatan “Téng-téngan”
Bahan serta proses pembuatan “Téng-téngan” tidak jauh berbeda dengan
lampion pada umumnya serta ramah lingkungan karena menggunakan bahan
bekas seperti kertas koran atau kertas bekas. Langkah pertama proses pembuatan
“Téng-téngan” adalah membuat rangka lapisan dalam lampion dari kulit bambu
yang telah dilengkungkan sebagai tempat melekatkan potongan gambar dari
kertas bekas. Kemudian, membuat kipas dengan bahan koran bekas yang akan
diletakkan pada bagian atas rangka dalam lampion. Setelah lapisan dalam selesai,
mulai dibuat rangka lapisan luar lampion dari kulit bambu yang dibentuk
menyerupai bintang segi delapan dan dilapisi dengan kertas minyak berwarna
putih. Agar bambu tidak pecah saat digabungkan, digunakan paku khusus yang
disebut sebagai “paku cabe”, yang biasa digunakan untuk memperbaiki sepatu.
Untuk mempercantik “Téng-téngan”, lapisan luar lampion akan dihiasi dengan
beragam motif potongan kertas minyak berwarna-warni.
Gambar 2.26. Proses pembuatan lapisan dalam lampion
Sumber: Dokumentasi pribadi
49 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.27. Proses pembuatan lapisan luar lampion
Sumber: Dokumentasi pribadi
Lapisan dalam dan luar kemudian digabungkan dengan sebilah bambu di
bagian atas lampion. Lalu, ditambahkan bilah bambu yang sudah direkatkan
sebuah kancing jepit sebagai poros dan tutup botol besi sebagai tempat
meletakkan lilin pada bagian bawah lampion. Lilin yang digunakan tidak boleh
berukuran terlalu panjang maupun pendek, yaitu hanya sekitar tiga sentimeter,
tujuannya agar kipas tidak terbakar. Ketika dinyalakan, api dari lilin akan
menghasilkan asap yang mendorong kipas. Apabila kipas berputar, potongan
gambar kertas dibawahnya juga turut berputar sehingga menghasilkan siluet
gambar yang tampak bergerak dari luar (Junarso, personal communication,
February 4, 2018).
Gambar 2.28. Proses penggabungan lapisan dalam dan luar lampion
Sumber: Dokumentasi pribadi
50 Universitas Kristen Petra
2.4.2.5. “Téng-téngan” sebagai Tradisi Daerah yang Mulai Punah
Perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan banyak
tradisi daerah yang mulai ditinggalkan, tak terkecuali “Téng-téngan”. Fungsi
“Téng-téngan” sebagai alat penerangan menuju masjid sudah tergantikan dengan
lampu yang lebih modern, murah, dan tahan lama. Selain itu, anak-anak lebih
memilih bermain dengan gadget sehingga tidak lagi tertarik dengan “Téng-
téngan” sebagai media hiburan. Pembeli “Téng-téngan” sekarang hanya berkisar
pada orang tua yang ingin bernostalgia, anak-anak karena bentuknya yang unik
dan dapat berputar, serta pesanan dari luar kota untuk pawai atau acara tertentu.
Permintaan “Téng-téngan” yang menurun dari tahun ke tahun menyebabkan
jumlah perajin juga semakin berkurang. Dahulu, hampir seluruh warga Kampung
Purwosari Perbalan bekerja sebagai perajin “Téng-téngan”. Sekarang, perajin
yang masih bertahan di kampung ini hanya tersisa dua orang saja, yaitu Junarso
dan Slamet.
Penurunan jumlah perajin secara drastis tersebut juga disebabkan karena
perlunya keahlian khusus dalam merangkai “Téng-téngan”. Kebanyakan orang
yang mencoba membuat “Téng-téngan” hanya berhasil membuat rangkanya saja,
namun tidak dapat memutar gambar dalam lampion dengan lancar karena
dibutuhkan teknik khusus yang hanya diajarkan secara turun-temurun. Junarso
sendiri mempelajari cara membuat “Téng-téngan” dari ayahnya yang bernama Ali
Tarwadi pada tahun 1975-an. Sedikitnya jumlah perajin kembali berdampak pada
semakin menurunya jumlah “Téng-téngan” yang dihasilkan, sehingga pada
akhirnya banyak warga asli Semarang yang belum mengetahui keberadaan
kerajinan khas kotanya ini.
Meskipun kurang dikenal sebagai kerajinan khas Kota Semarang, para
perajin “Téng-téngan” tetap berusaha mempertahankan kerajinan ini agar tidak
menjadi semakin langka dan akhirnya punah. Salah satu caranya adalah dengan
memproduksinya secara rutin setiap tahun. Menjelang bulan Ramadan, para
perajin, yang rata-rata telah memiliki pekerjaan lain, selalu meluangkan waktu
tiap harinya untuk membuat “Téng-téngan”. Belasan warga kampung, terutama
pemuda dan anak-anak, biasanya berkumpul di rumah para perajin untuk
membantu meraut, menipiskan bambu, atau memasang rangka “Téng-téngan”.
51 Universitas Kristen Petra
Dengan ikut membantu dalam proses pembuatan, para perajin berharap semakin
banyak pemuda kampung yang tertarik untuk meneruskan membuat kerajinan ini
setiap tahunnya. Jumlah “Téng-téngan” yang dapat dihasilkan setiap hari rata-rata
100 sampai 150 buah berkat bantuan dari sebagian besar warga Kampung
Purwosari Perbalan. Tidak hanya ikut memproduksi, warga kampung juga aktif
berkeliling Kota Semarang, mulai dari Gedung Batu, Simpang Lima, sampai
daerah Kaligawe, untuk menjual sekaligus memperkenalkan “Téng-téngan”.
Selain itu, melihat tren kampung tematik yang sedang populer akhir-akhir ini,
warga Kampung Purwosari Perbalan berniat mengembangkan kampung mereka
menjadi kampung tematik lampion sebagai bagian dari upaya pelestarian.
Perasaan memiliki dan bangga akan “Téng-téngan” sebagai tradisi turun-
temurun serta identitas dari kampung mereka menjadi pendorong utama para
perajin untuk tetap mempertahankan kerajinan ini. Tradisi membuat “Téng-
téngan” tidak hanya dipertahankan untuk menambah penghasilan, namun juga
untuk menyatukan serta menumbuhkan nilai gotong royong antar warga Kampung
Purwosari Perbalan dengan membuat sekaligus menjual “Téng-téngan” bersama-
sama. Selain itu, pesanan tidak hanya datang dari umat Islam untuk merayakan
bulan Ramadan saja, tetapi juga dari umat agama lain, sehingga “Téng-téngan”
dapat menjadi pemersatu antar umat beragama pula (Junarso, personal
communication, February 4, 2018).
Dari uraian mengenai tinjauan “Téng-téngan” di atas, dapat disimpulkan
bahwa “Téng-téngan” merupakan salah satu lampion daerah yang hanya dijumpai
di Semarang sehingga berpotensi menjadi kerajinan khas Semarang yang unik.
Apabila dilihat dari bentuknya, “Téng-téngan” sangat identik dengan agama
Islam, namun dari segi konsep dan kegunaannya menyerupai lampion gambar-
bayangan asal Cina. Lampion ini juga tidak digunakan dalam acara keagamaan
Islam yang khusus seperti lampion daerah lainnya sehingga kurang dikenal oleh
masyarakat Semarang sendiri dan semakin jarang ditemui. Meskipun demikian,
para perajinnya tetap rutin membuat “Téng-téngan” setiap tahun sebagai bagian
dari tradisi menjelang bulan Ramadan.
52 Universitas Kristen Petra
2.4.3. Tinjauan Pelestarian Budaya
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku bangsa dan
budaya. Namun di tengah era globalisasi ini, budaya Indonesia semakin banyak
yang dilupakan karena tergeser oleh budaya-budaya yang baru masuk dari luar
negeri. Budaya asing yang baru masuk beberapa tahun belakangan ini lebih
banyak bersifat negatif, seperti contohnya budaya pornografi dalam bentuk
gambar, video, maupun game, yang kebanyakan berasal dari Jepang. Sayangnya,
generasi muda Indonesia sekarang lebih tertarik pada budaya-budaya tersebut,
bahkan meniru dan menyebarkannya karena dianggap lebih gaul, modern, dan
kekinian ketimbang budaya tradisional Indonesia. Budaya asing seperti inilah
yang berbahaya sehingga patut dicegah karena berpotensi merusak moral generasi
muda bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, sebenarnya tidak semua budaya asing berdampak
negatif bagi Indonesia. Ada budaya-budaya asing yang sudah lama masuk dan
melebur dengan budaya Indonesia menghasilkan budaya baru yang dapat
memperkaya budaya Indonesia. Beberapa di antaranya adalah kerajinan khas Cina
yaitu lampion serta lumpia yang merupakan makanan tradisional Cina. Lampion
tradisional Cina sudah masuk ke Indonesia sejak sekitar enam abad lalu dan
melebur dengan budaya Islam sehingga menghasilkan lampion daerah seperti
“Téng-téngan”, yang lama-kelamaan menjadi budaya khas Semarang. Budaya
khas Semarang lainnya, yang juga merupakan penggabungan dari budaya Cina
dan Indonesia, adalah lumpia. Lumpia Cina awalnya mempunyai isian berupa
daging babi dan rebung, kemudian berubah menjadi ayam atau udang yang
dicampur rebung untuk menyesuaikan dengan budaya masyarakat Semarang yang
mayoritas beragama Islam. Cita rasa dari lumpia juga berubah menyesuaikan
dengan selera masyarakat Semarang yang lebih menyukai rasa manis (Windratie,
February 20, 2015).
Oleh karena itu, selain budaya asli Indonesia, budaya-budaya hasil
akulturasi juga patut dilestarikan karena menjadi bukti keharmonisan berbagai
suku atau ras yang menetap di Indonesia serta dapat memperkaya budaya
Indonesia sendiri. Tidak hanya dilestarikan, budaya-budaya tersebut juga
seharusnya dikembangkan, terutama oleh generasi muda sebagai satu-satunya
53 Universitas Kristen Petra
generasi penerus kekayaan budaya kepada generasi selanjutnya. Pemuda-pemudi
di negara-negara maju seperti Jepang dan Cina ikut mempertahankan serta
mengembangkan budaya tradisional milik negaranya, bahkan dapat menjadikan
budaya-budaya tersebut lebih modern. Beberapa contohnya adalah origami atau
seni melipat kertas dari Jepang dan seni papercutting atau memotong kertas dari
Cina. Origami telah ada sejak sekitar tahun 741 Masehi sebagai simbol dan
persembahan kepada para dewa dalam upacara keagamaan (Vivaldi, 2017).
Sekarang, origami masih sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, bahkan
digabungkan dengan teknologi untuk menghasilkan bentuk origami yang unik
seperti karya salah satu pemuda Jepang bernama Jun Mitani. Sedangkan, seni
papercutting atau Jianzhi awalnya lebih banyak berbentuk karakter tulisan Cina
atau gambar hewan zodiak Cina sebagai simbol kesehatan serta kekayaan. Kini,
papercutting tetap populer di Cina dan banyak ditemui pada perayaan Imlek atau
pernikahan dengan motif serta teknik pembuatan yang lebih beragam (Winda,
2016).
Kedua contoh budaya tradisional dari negara-negara tersebut dapat
bertahan, bahkan terkenal di seluruh penjuru dunia, karena campur tangan dari
semua pihak, termasuk generasi mudanya. Dengan adanya peran dari generasi
muda, budaya tradisional dapat berkembang menjadi lebih kreatif dan
menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Hal ini sangat kontras dengan
generasi muda Indonesia yang perannya dalam pelestarian serta perkembangan
budaya masih sangat rendah, sehingga tak heran jika banyak budaya tradisional
yang unik dan berpotensi namun harus hilang termakan zaman.
2.5. Tinjauan “Warak Ngendhog”
Sama seperti “Téng-téngan” yang adalah hasil akulturasi budaya Jawa
dan Cina khas Kota Semarang, “Warak Ngendhog” juga merupakan hewan fantasi
kepercayaan warga Semarang hasil penggabungan etnis Jawa, Cina, dan Arab.
“Warak Ngendhog” sudah dikenal oleh sebagian besar warga Semarang, bahkan
luar kota, sebagai ikon Kota Semarang di samping Tugu Muda dan Lawang Sewu.
Hewan fantasi simbol Kota Semarang ini dapat dijumpai dalam pawai yang biasa
diadakan setiap bulan Sa’ban dalam penanggalan Jawa atau pada puncak perayaan
54 Universitas Kristen Petra
Dugderan yang dilaksanakan satu hari sebelum puasa (Fardianto, May 8, 2014).
Tidak hanya diarak, “Warak Ngendhog” juga dijual dalam bentuk mainan
berukuran kecil oleh para pedagang di pasar kaget Dugderan. Pada bagian bawah
tubuh “Warak Ngendhog” kecil terdapat telur ayam rebus yang dapat langsung
dimakan sehingga tak heran apabila mainan ini menjadi favorit anak-anak
Semarang kala menyambut bulan Ramadan. Dugderan sendiri merupakan tradisi
kuno warga Kota Semarang dalam menyambut bulan Ramadan dan berfungsi
sebagai penanda awal mulainya ibadah puasa sejak tahun 1881. Selain pasar kaget
dan pawai, tradisi Dugderan juga biasanya dilengkapi dengan wahana permainan
sederhana untuk memeriahkan acara (Nughroho, n.d.).
Gambar 2.29. Mainan “Warak Ngendhog” dengan telur ayam rebus pada bagian
bawah tubuhnya
Sumber: https://suryawanwp.wordpress.com/page/6/?cat=-1
Apabila dilihat dari etimologinya, nama “Warak Ngendhog” terdiri dari
dua kata yang berasal dari dua bahasa berbeda. Kata pertama yaitu “Warak”
berasal dari bahasa Arab, Wara’I, yang berarti suci. Maknanya, manusia harus
menjaga kesucian dirinya dengan menghindari hawa nafsu dan perbuatan tidak
baik agar kelak mendapatkan pahala di hari Lebaran. Pahala ini disimbolkan
dengan kata “Ngendhog” yang berarti bertelur dalam bahasa Jawa. Sehingga
menurut makna dari namanya, “Warak Ngendhog” merupakan lambang manusia
yang berperilaku baik kepada sesamanya (Fardianto, May 8, 2014). Bentuk
55 Universitas Kristen Petra
“Warak Ngendhog” yang khas sendiri merupakan representasi dari filosofi
tersebut. Mulut “Warak” yang terbuka lebar dengan ekspresi menyeramkan
menggambarkan hawa nafsu manusia yang cenderung serakah dan buruk. Ekor
“Warak” yang tegak melambangkan perjuangan keras manusia dalam menjaga
hawa nafsu dan meninggalkan perbuatan buruk. Sedangkan, bulu “Warak” yang
selalu berwarna-warni dan berbalik mempunyai filosofi bahwa pada bulan
Ramadan, manusia harus dapat membalikan diri dari urusan duniawi menuju ke
arah keakhiratan (Soebijanto, 2017).
Selain menjadi simbol kebaikan, bentuk tubuh “Warak Ngendhog” juga
menjadi simbol kerukunan etnis karena memadukan tiga etnis besar di Kota
Semarang yaitu Jawa, Cina, dan Arab. Simbol etnis Arab dapat dilihat pada
bagian badan “Warak” yang diambil dari tubuh “Buraq” yaitu hewan mitologi
kepercayaan umat Islam. “Buraq” sendiri dipercaya merupakan sejenis hewan
tunggangan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dan Jibril pada saat
peristiwa Isra Mi’raj. Berbeda dengan badannya, bagian kaki dari “Warak”
diambil dari kaki kambing yang berasal dari Jawa. Terakhir, bagian kepala
“Warak” berasal dari kepala naga yang menjadi simbol masyarakat Cina
(Nugroho, n.d.).
Gambar 2.30. Bentuk tubuh patung “Warak Ngendhog” yang merupakan
gabungan dari tiga etnis besar di Semarang
Sumber: https://semarangcityheritage.wordpress.com/warag-ngendog/
56 Universitas Kristen Petra
Awal kemunculan “Warak Ngendhog” tidak dapat dilepaskan dari
sejarah berdirinya Kota Semarang sendiri. Berdasarkan cerita sebagian besar
warga, “Warak Ngendhog” sudah hadir di tengah masyarakat saat Ki Ageng
Pandan Arang mendirikan Kota Semarang dan menjadi bupati yang pertama.
Dalam menyiarkan agama Islam, Ki Ageng Pandan Arang, atau yang lebih
dikenal dengan nama Raden Pandanaran, memadukan berbagai unsur kebudayaan
lokal sehingga menghasilkan sesosok “Warak Ngendhog”. Raden Pandaran
kemudian memperkenalkan “Warak Ngendhog” kepada warga dan lama kelamaan
hewan fantasi ini dijadikan sebagai salah satu ikon Kota Semarang. Selain
menjadi ikon Kota Semarang, “Warak Ngendhog” juga dipercaya sebagai hewan
mitos yang sangat sakti dan bertugas melindungi Kota Semarang dengan
kekuatannya. Pada awal kemunculannya, masyarakat kuno di Semarang sangat
mempercayai keberadaan makhluk ini sehingga banyak dari mereka yang
mengabadikannya dalam bentuk boneka atau patung sehingga menjadi tradisi
hingga saat ini (Fardianto, May 8, 2014).
Jadi, kesimpulan yang dapat penulis ambil dari uraian di atas adalah
“Warak Ngendhog” merupakan salah satu ikon Kota Semarang yang mempunyai
beberapa kesamaan dengan “Téng-téngan”. Kesamaan pertama yang paling
terlihat adalah keduanya sama-sama merupakan sejenis tradisi kuno yang
menggabungkan beberapa etnis atau budaya di Semarang. “Téng-téngan” dan
“Warak Ngendhog” yang berukuran kecil juga sama-sama menjadi mainan favorit
anak-anak Semarang pada zaman dahulu. Kesamaan terakhir adalah waktu
kemunculan keduanya yang bersamaan, yaitu setahun sekali untuk memperingati
bulan Ramadan.
Melihat kesamaan yang menghubungkan “Téng-téngan” dan “Warak
Ngendhog” tersebut, penulis menjadikan “Warak” sebagai salah satu tokoh utama
dalam buku ilustrasi digital yang akan dirancang. Selain itu, “Warak” dahulu
dipercaya oleh warga Semarang sebagai hewan sakti yang bertugas melindungi
Kota Semarang, sehingga karakter “Warak” dalam buku ilustrasi digital juga akan
digambarkan sesuai dengan kepercayaan tersebut. Kekuatan utama hewan fantasi
ini dalam cerita adalah dapat membawa manusia berjalan melintasi ruang dan
waktu untuk melaksanakan tugasnya yaitu melindungi budaya khas Kota
57 Universitas Kristen Petra
Semarang yang terancam punah. Menggunakan kekuatannya tersebut, “Warak”
berusaha melindungi “Téng-téngan” yang sudah mulai hilang dengan cara
meyakinkan satu-satunya perajin “Téng-téngan” yang tersisa agar tidak berhenti
membuat kerajinan ini.
2.6. Tinjauan Buku Ilustrasi Digital yang akan Dirancang
2.6.1. Analisis Karakteristik Buku
a. Ide dan Tema Cerita
Tema dari buku ilustrasi digital yang akan dirancang adalah kisah para perajin
“Téng-téngan” dalam mempertahankan tradisi daerah milik kampung mereka dari
kepunahan. Pendekatan yang digunakan dalam buku ilustrasi digital ini adalah
penderkatan diary yang dapat menceritakan secara jelas dan runtut kehidupan
sehari-hari para perajin ketika membuat kerajinan ini. Cerita akan disampaikan
dengan gaya yang emosional dan menyentuh agar target audience tergerak
hatinya untuk ikut serta dalam usaha pelestarian budaya, tidak hanya untuk
“Téng-téngan”, tapi juga untuk tradisi daerah lain yang semakin langka. Selain
itu, juga akan ditambahkan informasi mengenai sejarah, tradisi, serta proses
pembuatan “Téng-téngan” untuk memperkenalkan kerajinan ini kepada target
audience.
b. Aspek Digital
Buku ilustrasi akan dibuat dalam bentuk digital dengan format Android Package
File (APK), yaitu format buku digital yang tidak membutuhkan e-reader untuk
membacanya. Tujuannya adalah agar buku ilustrasi lebih fleksibel sehingga dapat
ditambahkan animasi sederhana dan musik untuk mendukung cerita. Selain itu,
target audience juga dimudahkan karena tidak perlu menggunakan aplikasi
tambahan untuk mengakses buku ilustrasi digital ini. Buku ilustrasi digital dengan
format APK dapat dengan mudah disebarkan melalui gadget atau smartphone
berbasis Andorid sehingga lebih dekat dengan target audience ketimbang buku
fisik.
2.6.2. Analisis Kebutuhan Materi Pembelajaran
Tingkat kepedulian generasi muda pada tradisi daerah, terutama yang
sudah jarang ditemui masih sangat rendah. Padahal, pemuda memiliki peran
58 Universitas Kristen Petra
penting dalam usaha pelestarian budaya, terutama dalam mengembangkan kreasi
budaya tradisional agar semakin dikenal dan tidak ketinggalan zaman. Oleh
karena itu, diperlukan suatu media yang dapat menarik, menggugah, dan
menginspirasi generasi muda agar lebih peduli, sehingga akhirnya mau berkarya
dalam bidang kebudayaan seperti kerajinan, musik, tarian, atau bentuk tradisi lain
di daerahnya yang mulai punah. Salah satunya adalah dengan menggunakan
media modern yang lebih dekat dengan generasi muda untuk menyampaikan
informasi mengenai tradisi daerah yang mulai hilang, beserta caranya untuk
bertahan dari kepunahan.
2.6.3. Analisis Kelebihan dan Kekurangan Buku
a. Kelebihan Buku Digital
Memiliki format digital yang lebih sering digunakan sehingga lebih dekat
dengan target audience
Biaya unggah buku digital lebih murah ketimbang buku cetak
Buku digital lebih mudah untuk disebarkan secara individu karena sudah
berbasis internet
Berbentuk digital atau softcopy sehingga tidak mudah rusak secara fisik
seperti basah, terlipat, atau hilang
Mempunyai tampilan yang lebih menarik serta mudah dipahami dengan
bantuan animasi dan suara yang dapat mendukung penyampaian cerita
Buku digital bersifat ramah lingkungan karena tidak menggunakan kertas
dalam proses produksinya
b. Kekurangan Buku Digital
Hanya dapat diakses melalui perangkat digital tertentu yang mendukung
format buku digital yang digunakan, seperti format Android Package File
(APK) yang hanya dapat diakses oleh perangkat berbasis Android
Karena biaya unggahnya lebih murah, maka jumlah buku digital yang beredar
di pasaran semakin banyak sehingga dibutuhkan suatu pembeda agar dapat
menarik pembaca
Bergantung pada koneksi internet untuk mengakses dan mengunduhnya
Tidak mempunyai daya simpan secara fisik sehingga tidak dapat dijadikan
sebagai benda kenang-kenangan yang memiliki nilai sentimental
59 Universitas Kristen Petra
Dibandingkan dengan buku cetak, buku digital kurang nyaman apabila dibaca
dalam jangka waktu yang lama karena adanya radiasi dari perangkat digital
Perangkat digital yang diperlukan untuk mengakses buku digital tergantung
pada baterai atau listrik
2.6.4. Analisis Prediksi Dampak Positif
Melalui perancangan buku ilustrasi digital ini, diharapkan lebih banyak
generasi muda dari semua suku, agama, atau ras yang tertarik dan termotivasi
untuk peduli terhadap tradisi daerahnya masing-masing, terutama yang mulai
punah. Tidak hanya peduli, generasi muda juga diharapkan mau ikut serta dalam
usaha pengembangan budaya, salah satunya lewat berkarya untuk budaya-budaya
tradisional, sehingga bentuk kerajinan seperti “Téng-téngan” dapat lebih
bervariasi, tidak hanya berbentuk tradisional, tapi juga ada yang berbentuk
modern. Lewat karya-karya tersebut, pemuda juga diharapkan dapat memajukan
perekonomian keluarga atau kelompoknya, bahkan perekonomian kampungnya di
masa mendatang. Selain itu, dengan mengangkat tentang kerajinan “Téng-
téngan”, masyarakat luas dapat lebih mengenal kerajinan ini sebagai kerajinan
khas Semarang yang sudah mulai hilang serta perjuangan para perajin untuk
mempertahankannya. Dengan demikian, para perajin “Téng-téngan” akan lebih
dikenal serta dihargai.
2.7. Tinjauan Buku Ilustrasi Digital Lain
2.7.1. Tinjauan Aspek Bentuk
Buku digital yang lebih dominan pada ilustrasi, dengan tambahan
animasi sederhana dan suara, pada umumnya lebih banyak dijumpai dalam bentuk
Android Package File (APK), yaitu salah satu format aplikasi buku digital khusus
untuk perangkat berbasis Android. Bentuk aplikasi tersebut dapat berupa cerita
anak interaktif untuk anak-anak Sekolah Dasar (SD), maupun cerita pendek fiksi
dan puisi untuk pemuda. Untuk buku cerita anak interaktif, biasanya dilengkapi
dengan permainan sederhana dan lagu yang dapat dinyanyikan bersama agar
anak-anak tidak bosan. Sedangkan buku ilustrasi digital untuk pemuda, biasanya
interaksinya lebih sedikit serta lebih menekankan pada segi visual dan pesan.
60 Universitas Kristen Petra
Apabila dilihat dari jumlahnya, buku ilustrasi digital dengan target audience
anak-anak lebih banyak ketimbang untuk pemuda.
2.7.2. Tinjauan Aspek Ide Cerita
Buku ilustrasi digital dengan target audience anak-anak, pada umumnya
menceritakan tentang dongeng atau cerita rakyat. Salah satu contohnya adalah
aplikasi “Cerita Anak: Kancil dan Buaya” (2017) oleh Educa Studio yang
mengambil cerita dongeng fabel dan menambahkan animasi serta suara untuk
membantu anak-anak dalam membaca. Dalam aplikasi ini, juga ditambahkan
beberapa permainan sederhana yang dapat mengasah kemampuan berhitung atau
logika anak dengan tema cerita fabel yang diangkat.
Gambar 2.31. Contoh buku ilustrasi digital untuk anak-anak berjudul “Cerita
Anak: Kancil dan Buaya” oleh Educa Studio
Sumber: Dokumentasi pribadi
Buku ilustrasi untuk pemuda biasanya mengambil tema lebih berat
seperti permasalahan sosial budaya yang dikemas dalam narasi fiksi atau puisi.
Salah satu contohnya adalah aplikasi dari StoryMax yang berjudul“Milky Way”
(2017). Buku digital ini berusaha mengangkat kembali suatu jenis literatur puisi
yang mulai dilupakan yaitu Parnassianisme, khususnya di Brasil, dengan cara
mengadaptasi puisi Parnassianisme terkenal karya penyair Brasil bernama Olavo
Bilac yang berjudul “Milky Way”. StoryMax tidak sekedar mengadaptasi, namun
juga mengembangkan puisi tersebut dengan cara menambahkan visual, musik,
dan beberapa interaksi sederhana, seperti memutar atau mengetuk perangkat
digital, sehingga pembaca dapat merasakan keindahan puisi tidak hanya melalui
kata-kata.
61 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.32. Contoh buku ilustrasi digital untuk pemuda berjudul “Milky Way”
oleh StudioMax
Sumber: https://play.google.com/store/apps/details?id=air.com.storymax.vialactea
2.7.3. Tinjauan Aspek Visual
Buku ilustrasi digital yang ditujukan untuk anak-anak rata-rata memiliki
visual bergaya serupa, yaitu kartun dengan penuh warna agar lebih menarik
perhatian anak-anak. Lain halnya dengan buku ilustrasi digital untuk pemuda
yang memiliki visual bergaya lebih unik dan dekoratif sehingga dapat
menciptakan atmosfer sesuai dengan tema yang diangkat. Pada aplikasi “Milky
Way”, gaya visual yang digunakan lebih hangat, sederhana, serta ringan dengan
pilihan warna dingin seperti biru dan abu-abu, menyesuaikan dengan judul puisi
yang merujuk kepada keindahan langit.
Gambar 2.33. Visual buku ilustrasi digital untuk anak-anak yang bergaya kartun
Sumber: Dokumentasi pribadi
62 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.34. Contoh visual salah satu buku ilustrasi digital untuk pemuda
berjudul “Milky Way”
Sumber: https://play.google.com/store/apps/details?id=air.com.storymax.vialactea
2.7.4. Tinjauan Aspek Pesan
Pada umumnya, pesan yang disampaikan dalam buku ilustrasi digital
untuk anak-anak mengandung nilai-nilai moral sederhana, seperti jangan mencuri,
jangan sombong, dan lain-lain. Berbeda dengan buku ilustrasi digital untuk
pemuda yang mengandung pesan lebih kompleks dan tak jarang tersirat sehingga
harus direnungkan terlebih dahulu oleh para pembacanya.
2.7.5. Kesimpulan
Dari hasil penelusuran penulis, dapat disimpulkan bahwa buku ilustrasi
digital yang sudah beredar di pasaran lebih banyak mengadaptasi cerita-cerita
mitologi, legenda, atau dongeng dari suatu daerah yang biasanya bersifat fiksi.
Sedangkan, buku ilustrasi digital yang bersifat non-fiksi atau yang khusus
mengangkat tentang fenomena budaya dan tradisi masyarakat belum dapat
ditemukan oleh penulis. Selain itu, buku ilustrasi digital juga lebih banyak
ditargetkan kepada anak-anak karena dianggap sebagai media yang tepat untuk
belajar sambil bermain.
63 Universitas Kristen Petra
2.8. Analisis Data Lapangan
2.8.1. Analisis Wawancara Narasumber
Wawancara dilakukan secara langsung dengan narasumber salah satu
dari dua perajin yang masih aktif membuat “Téng-téngan” di Kampung Purwosari
Perbalan yaitu Junarso (47). Sehari-harinya beliau bekerja serabutan, terkadang
menjadi tukang becak, tukang batu atau kuli bangunan. Menjelang bulan puasa
sampai Idul Fitri tiba, Junarso baru beralih profesi menjadi perajin “Téng-téngan”.
Junarso sendiri sudah membuat “Téng-téngan” sejak kelas tiga Sekolah Dasar
(SD) hingga kini, dan mewarisi keahlian membuat kerajinan ini dari ayahnya, Ali
Tarwadi. Pada sekitar tahun 1975-an, Tarwadi juga mewarisi keahlian
membuatnya dari perajin sebelumnya yaitu Sudarno dan Rokijah.
Dalam wawancara tersebut, Junarso ditemani dengan tiga warga
kampung lainnya, menceritakan semua yang mereka ketahui mengenai “Téng-
téngan”. Awalnya, Junarso menceritakan tentang bahan, lama, serta teknik
pembuatan “Téng-téngan” agar gambar di dalamnya dapat berputar dengan baik
yaitu searah jarum jam serta tidak terlalu cepat atau terlalu lama. Kemudian,
beliau menjelaskan tentang sejarah nama serta awal kemunculan “Téng-téngan”
sehingga akhirnya menjadi tradisi setiap bulan Ramadan. Setiap harinya, setelah
Junarso selesai membuat “Téng-téngan”, warga kampung, baik perajinnya sendiri
maupun anak-anak, biasanya membantu menjualkan kerajinan ini. Bahkan, anak-
anak kampung tak jarang berebutan untuk berkeliling menjual “Téng-téngan” ke
kampung-kampung di daerah lain yang cukup jauh. Dalam sehari Junarso dapat
membuat sekitar 100 sampai 150 buah “Téng-téngan” dengan omzet penjualan
yang cukup besar sehingga kerajinan ini dianggap sebagai berkah di bulan
Ramadan bagi Junarso sendiri dan warga kampung lainnya yang ikut membantu.
Selain pada saat Ramadan, “Téng-téngan” juga sering dipesan untuk festival-
festival di dalam maupun luar kota. Tidak hanya untuk festival saja, Junarso juga
menyebutkan bahwa pesanan pernah datang dari kelenteng dengan ukuran yang
besar dan gambar yang lebih rumit.
Bentuk “Téng-téngan” sendiri, sepanjang pengetahuan Junarso, tidak
pernah berubah dari dulu sampai sekarang, yaitu tetap berbentuk bintang segi
delapan. Alasannya, karena bentuk “Téng-téngan” dianggap sudah sesuai agar
64 Universitas Kristen Petra
gambar di dalamnya dapat berputar dengan baik. Wiwid, salah satu warga
kampung yang biasa membantu Junarso, menyebutkan meskipun bentuknya tidak
berubah, namun hiasan dan potongan gambar di dalam “Téng-téngan” biasanya
dikreasikan agar tidak monoton. Beberapa tahun lalu, para perajin pernah
mencoba untuk menambahkan rumbai-rumbai berwarna biru di sekeliling bentuk
bintang segi delapan. Akan tetapi, variasi tersebut tidak bertahan lama karena
dirasa kurang cocok lantaran dapat menutupi bayangan gambar serta
pembuatannya yang lebih repot. Tahun ini, perajin menghiasi “Téng-téngan”
dengan menambahkan cagak bambu berumbai pada rangka luar lampion yang
lebih mudah pembuatannya serta tidak menghalangi bayangan gambar. Selain
hiasannya, teknik pembuatan “Téng-téngan” juga berkembang menjadi lebih
efektif dari tahun ke tahun. Awalnya, perajin menggunakan potongan kaca
sebagai bahan poros tempat memutar gambar pada rangka dalam lampion karena
sifat kaca yang licin. Sekarang, perajin sudah beralih menggunakan kancing jepit
sebagai poros karena lebih mudah serta kecepatan berputarnya lebih stabil
ketimbang kaca.
Gambar 2.35. Variasi hiasan “Téng-téngan”
Sumber: Dokumentasi pribadi
65 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.36. Poros dahulu menggunakan kaca (kiri) dan sekarang menggunakan
kancing jepit (kanan)
Sumber: Dokumentasi pribadi
Sebagai penutup, Junarso membenarkan apabila “Téng-téngan” semakin
kurang dikenal oleh warga Semarang sendiri serta perajin yang masih aktif hanya
tinggal dirinya dan Slamet. Beliau juga menambahkan bahwa sebenarnya sudah
banyak pemuda kampung yang bisa membuat “Téng-téngan”, namun belum ada
yang berminat untuk meneruskan kerajinan ini. Oleh karena itu, sampai saat ini
hanya Junarso dan Slamet yang masih aktif membuat “Téng-téngan” dengan
harapan agar kerajinan ini tidak hilang dan tetap ada setiap tahunnya.
Selain mendapatkan banyak informasi, penulis juga dapat melihat
langsung semangat para perajin beserta warga kampung Purwosari Perbalan
lainnya dalam memperkenalkan kerajinan khas kampungnya kepada masyarakat
luas. Akhirnya dari hasil wawancara, penulis dapat menyimpulkan motivasi yang
mendorong para perajin untuk tetap membuat “Téng-téngan” setiap tahunnya,
yaitu karena rasa bangga, sebagai pemersatu, serta sebagai penghasilan tambahan.
2.8.2. Analisis 5W+1H
a. What: Buku ilustrasi digital seperti apa yang akan dibuat?
Buku ilustrasi digital akan dibuat dalam bentuk aplikasi dengan format Android
Package File (APK) untuk perangkat digital berbasis Android. Buku ilustrasi
digital akan berisi kisah perajin “Téng-téngan” dalam mempertahankan kerajinan
khas daerahnya sebagai contoh dan motivasi bagi generasi muda untuk lebih
peduli pada tradisi daerahnya yang hampir punah. Selain itu juga akan berisi
66 Universitas Kristen Petra
sejarah, tradisi, serta proses pembuatan “Téng-téngan” untuk memperkenalkan
kerajinan ini kepada pembaca.
b. When: Kapan waktu yang tepat untuk memperkenalkan buku ilustrasi digital
yang dibuat?
Buku ilustrasi digital sebaiknya diperkenalkan pada saat mendekati bulan
Ramadan, bertepatan dengan waktu munculnya kerajinan ini setiap tahun.
c. Where: Dimana buku ilustrasi digital akan diunggah?
Buku ilustrasi digital akan diunggah di Google Play Store, yaitu tempat
mengunduh aplikasi untuk perangkat berbasis Android yang paling umum
digunakan. Google Play Store menggunakan koneksi internet sehingga dapat
menjangkau masyarakat yang lebih luas.
d. Who: Siapa target audience dari buku ilustrasi digital yang akan dibuat?
Pemuda dan pemudi usia 23-30 tahun dengan Status Ekonomi Sosial B-A atau
menengah ke atas.
e. Why: Mengapa buku ilustrasi dibuat dalam bentuk digital?
Buku ilustrasi sengaja dibuat dalam bentuk digital karena media digital lebih
sering digunakan oleh target audience. Saat ini, hampir semua anak muda
menggunakan smartphone setiap harinya, baik untuk keperluan hiburan, sosial,
maupun mencari informasi.
f. How: Bagaimana cerita dan visual yang mampu memotivasi target audience
untuk lebih peduli serta ikut berperan dalam usaha pelestarian budaya?
Pendekatan cerita yang akan digunakan adalah pendekatan diary, karena dapat
menceritakan secara jelas dan runtut kehidupan para perajin saat membuat
kerajinan ini di bulan Ramadan. Selain itu, juga akan memanfaatkan gaya
bercerita yang menyentuh agar target audience termotivasi untuk lebih peduli dan
berperan dalam pelestarian budaya. Visual yang dipilih bergaya dekoratif dengan
menggabungkan unsur budaya Jawa dan Cina, sesuai dengan “Téng-téngan” yang
merupakan penggabungan kedua budaya tersebut. Visual juga akan dilengkapi
dengan animasi sederhana dan suara yang mendukung atmosfer cerita agar
pembaca tidak bosan.
67 Universitas Kristen Petra
2.9. Simpulan
Lampion daerah merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya
Indonesia dalam bentuk kerajinan yang menggabungkan dua budaya, yaitu budaya
Cina dan Indonesia. Salah satu lampion daerah yang unik dan berbeda dengan
lampion daerah lainnya adalah “Téng-téngan” asal Semarang. Bagian dalam
“Téng-téngan” dapat berputar apabila dinyalakan sehingga menghasilkan
bayangan gambar pada lapisan luar lampion. Karena dapat berputar, maka selain
digunakan sebagai penerangan, lampion ini juga sering digunakan sebagai mainan
oleh anak-anak. Meskipun unik dan memilik potensi untuk menjadi kerajinan
khas Semarang, namun “Téng-téngan” malah semakin jarang ditemui dari tahun
ke tahun. Hal ini disebabkan karena kerajinan ini masih kurang dikenal, yang
akhirnya mengakibatkan penurunan jumlah perajin, hingga kini hanya tersisa dua
perajin saja. Kedua perajin tersebut aktif membuat “Téng-téngan” dengan harapan
agar kerajinan ini tidak punah.
Usaha pelestarian oleh perajin sebenarnya tidak terlepas dari realitas
zaman sekarang, dimana semakin banyak muncul lampion-lampion modern
dengan bahan, tampilan, serta warna yang jauh lebih bervariasi sehingga
masyarakat terpaksa memilih di antara keduanya. Ada beberapa pihak lebih
memilih lampion modern sebagai hiasan dengan alasan lebih menarik, bagus, dan
terkesan mewah. Namun, tak jarang ada pihak yang mempunyai rasa seni dan
budaya tinggi sehingga lebih tertarik kepada “Téng-téngan” yang mengandung
nilai-nilai akulturasi budaya. Terlepas dari permasalahan modernitas tersebut,
usaha pelestarian budaya seperti yang dilakukan oleh perajin “Téng-téngan” tetap
penting dan patut ditiru oleh generasi muda Indonesia sebagai generasi penerus
kekayaan budaya. Oleh karena itu, diperlukan suatu media untuk menarik serta
menginspirasi generasi muda agar mau berperan dalam usaha pelestarian budaya.
2.10. Usulan Pemecahan Masalah
Penulis akan merancang sebuah media berupa buku ilustrasi digital yang
berisi kisah kehidupan perajin “Téng-téngan” dalam mempertahankan budaya,
sebagai contoh dan bentuk motivasi bagi generasi muda Indonesia, khususnya
usia 23-30 tahun, agar mau berperan dalam usaha pelestarian budaya, salah
68 Universitas Kristen Petra
satunya dengan cara berkarya untuk tradisi daerah masing-masing yang mulai
jarang ditemui. Harapannya, melalui media modern yang lebih sering digunakan
saat ini, buku ilustrasi digital yang mengangkat tentang budaya tradisional ini
dapat lebih tersampaikan kepada generasi muda. Selain itu, dalam buku ilustrasi
digital juga akan dijelaskan mengenai kerajinan “Téng-téngan” itu sendiri untuk
memperkenalkan kerajinan ini kepada masyarakat luas, sekaligus agar para
perajin lebih dihargai. Buku ilustrasi digital akan menceritakan secara jelas
kehidupan sehari-hari para perajin dengan gaya bercerita yang emosional,
menyesuaikan dengan target audience yang sudah dewasa dan dapat membangun
perspektif atau cara pandang tersendiri terhadap suatu permasalahan.