1D MPSA e. Commerce

49
  1 MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION ) DALAM ELECTRONIC COMMERCE  A. Latar Belakang Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Bagi Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna memelihara kemantapan stabilitas nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara sistem perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009 yang menyebutkan 1 : Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yaitu Tekno-Ekonomi (Techno-Economy Paradigm),  teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy  /KBE). Pada KBE, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Pengembangan dan penerapan teknologi informasi di sektor ekonomi dalam beberapa waktu belakangan ini berjalan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Pengembangan dan penerapan teknologi 1  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009, BAB 22 PENINGKATAN KEMAMPUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Transcript of 1D MPSA e. Commerce

Page 1: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 1/49

1

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

(ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION ) DALAM ELECTRONIC 

COMMERCE  

A. Latar Belakang

Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang

kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Bagi

Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat

vital bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna

memelihara kemantapan stabilitas nasional.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan

pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara

sistem perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan

teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009

yang menyebutkan1: Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi

yaitu Tekno-Ekonomi (Techno-Economy Paradigm), teknologi menjadi

faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas

hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses

transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya

(Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan

pengetahuan (Knowledge Based Economy  /KBE). Pada KBE, kekuatan

bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi

menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.

Pengembangan dan penerapan teknologi informasi di sektor

ekonomi dalam beberapa waktu belakangan ini berjalan dengan

kecepatan yang sangat tinggi. Pengembangan dan penerapan teknologi

1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009, BAB 22PENINGKATAN KEMAMPUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Page 2: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 2/49

2

informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus informasi diserap,

sekaligus memudahkan orang untuk melakukan komunikasi tanpa

terkendala batas ruang dan waktu.

Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan revolusioner di

bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan

perekonomian adalah ditemukannya Internet (Interconnection 

Networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Sistem

perdagangan dengan memanfaatkan Internet telah mengubah wajah

dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang lebih

modern, yaitu secara virtual . Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo

menyatakan: E.commerce  lahir selain disebabkan oleh adanya

perkembangan teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat

terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki

kualitas lebih yang baik.2 

Seperti halnya dinegara-negara maju, perkembangan e. commerce  

di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan yang sangat

signifikan, sekalipun dibandingkan dengan negara-negara tetangga di

kawasan Asia Pasific, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Australia,

Taiwan, perkembangan penggunaan Internet di Indonesia masih jauh

tertinggal.

Teknologi Internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap

perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan

oleh banyak faktor, antara lain:

1. Electronic commerce  memiliki kemampuan untuk

menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap saat pelanggandapat mengakses seluruh informasi yang terus menerus;

2 Alinafiah dan Prasetyo, Kesiapan Infrastruktur dan Sistem Antaran Tepat Waktu dalam Mendukung E-Commerce , makalah pada seminar “E. Commerce Revolusi Teknologi Informasi danPengaruhnya pada Peta Perdagangan Global yang” diselenggarakan oleh KM ITB Bandung, 15 April 2000

Page 3: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 3/49

3

2. Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak

penjual secara cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang

disampaikan berlangsung secara periodik;

3. Electronic commerce  dapat menciptakan efisiensi yang

tinggi, murah serta informatif;

4. Electronic commerce  dapat meningkatkan kepuasan

pelanggan, dengan pelayanan yang cepat, mudah, aman dan

akurat.3 

Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan

banyak pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak

saja bagi produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic 

commerce  telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk

yang diinginkan, sedangkan bagi produsen, electronic commerce  telah

mempermudah proses pemasaran suatu produk.

Hal yang sama dikemukakan oleh Michael Pattison, sebagaimana

dikutip oleh Abu Bakar Munir yang menyatakan: There are several

features, which distinguish electronic commerce from business conducted

by traditional means. In particular:4 

• Electronic commerce establishes a global market-place, where

traditional geographic boundaries are not only ignored, they are

quite simply irrelevant;

• Electronic commerce allows business to be conducted

anonymously; and

Rather than direct selling between parties, electronic commercerequires business to be conducted through the use of

3 Riyeke Ustadiyanto, , Framework e-Commerce , Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 138

4 Abu Bakar Munir: Cyber Law Policies and Challenges , Butterworths Asia, Malaysia, 1999: 205-206

Page 4: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 4/49

4

intermediaries of unknown trustworthiness. This means that the

transactions are inherently insecure.

Sekalipun penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan

berbagai kemudahan, hal ini tidak berarti e.commerce  adalah suatu

sistem yang bebas dari permasalahan, karena bagaimanapun majunya

teknologi tetap akan menyisakan berbagai permasalahan, khususnya bagi

negara yang belum sepenuhnya mampu menguasai teknologi tersebut,

seperti halnya Indonesia.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga

internasional, telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagaiakibat dari penggunaan media internet dalam transaksi perdagangan,

sebagai contoh: satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat

dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang

pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan

untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli

tapi tidak sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak

penjual (suppliers  atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi

atau bukti transaksi dan lain-lain.5

Kondisi ini tentunya akan merugikan

baik bagi produsen terlebih konsumen yang memiliki posisi tawar

(bargaining position) lebih rendah.

Hal yang sama dikemukakan Riyeke Ustadiyanto saat

menyatakan:6 Besarnya nilai transaksi electronic commerce  di dunia

masih dibayangi masalah “kurang amannya” (unsecure) transaksi online  

ini. Internet telah menimbulkan berbagai masalah terutama yang berkaitan

dengan masalah kerahasiaan, keutuhan pesan (integrity), identitas para

pihak dan hukum yang mengatur transaksi tersebut.

5 Arsyad, M, Sanusi, Transaksi Bisnis dalam Elektronic Commerce (E. Commerce) Studi tentang Permasalahan-permasalahn Hukum dan Solusinya, artikel dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 16 Vol.8, 2001, hlm. 12-13

6 Ibid, hlm. 12

Page 5: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 5/49

5

Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera

diselesaikan secara memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan

masyarakat pada sistem e. commerce  akan hilang, akibatnya

pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan

masalah-masalah di atas adalah dengan digunakannya mekanisme

penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah.

Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien serta

berbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi

realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak

(produsen/ merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce .

Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien,

dan berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan

bahwa transaksi electronic commerce  sangat rentan terhadap lahirnya

berbagai sengketa/masalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling

berjauhannya domisili para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya

dan sistem hukum yang berbeda.

Di samping itu, adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap

sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative 

Dispute Resolution), dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan

berbagai kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan

(litigasi), seperti:

1. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan

memerlukan pembelaan (advocacy);

2. Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara,

sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan

terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;

3. Proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya

yang mahal;

Page 6: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 6/49

6

4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian

suatu masalah hukum baru.7 

Dari berbagai kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui

 jalur peradilan/litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic 

commerce  sebagai suatu sistem perdagangan virtual  (maya) yang

membutuhkan sistem yang efektif dan efisien.

Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya

konvensional/tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum

tempat aktivitas bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum sertapengadilan (yurisdiksi) manakah yang berwenang memeriksa/mengadili

suatu sengketa, sering menjadi masalah pada saat para pihak akan

membuat suatu kontrak, sekalipun akhirnya, dalam transaksi konvensional

penentuan hukum mana yang akan berlaku relatif lebih mudah ditentukan.

Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan

terjadi di dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah

hukum serta yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian

hari muncul sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace  

setiap interaksi tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless).

Oleh karena itu, adanya kebutuhan terhadap suatu lembaga yang

bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis (e. commerce)

merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.

Di Amerika Serikat, sebagai negara pertama yang

mengembangkan media Internet dalam aktivitas perdagangan, eksistensi

lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa secara on line  banyak

bermunculan, sehingga bermunculan situs-situs seperti, Cybersettle.com,

e-Resolutions.com, iCourthouse, dan Online Mediators.

7 Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan secara Elektronik , artikel dalamCyberlaw Suatu Pengantar , ELIPS Project, Jakarta, 2001, hlm. 80

Page 7: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 7/49

7

Bahkan, The American Arbitration Association, yang biasanya

menyediakan jasa arbitrase secara off line , telah mengumumkan bahwa

mereka menawarkan jasa mediasi dan arbitrase berkenaan dengan

aktivitas di Internet.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa pemilihan

Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute Resolution) dalam

transaksi electronic commerce  bukan sekedar harapan tetapi lebih

merupakan suatu kebutuhan bagi para pelaku usaha dalam upaya

memperoleh jaminan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi.

B. Permasalahan

Dengan mengacu pada latar belakang di atas, ada beberapa

permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:

1. Faktor-faktor apakah yang mendorong para pihak untuk

memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam

menyelesaikan sengketa yang timbul dalam transaksi

electronic commerce ? 

2. Bagaimanakah praktek penerapan Penyelesaian Sengketa

Alternatif dalam sengketa transaksi electronic commerce ?

3. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari putusan yang

dikeluarkan oleh lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif

dalam kaitannya dengan sengketa transaksi electronic 

commerce ?

C. Metode Penelitian

Penelitian tentang Penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Alternatif dalam Electronic Commerce  merupakan penelitian hukum

dengan mempergunakan cara pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini

Page 8: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 8/49

8

dilakukan untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang mendorong para

pihak memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan

sengketa yang timbul dalam transaksi electronic commerce, bagaimana

praktek penerapan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam sengketa

transaksi electronic commerce  serta bagaimanakah kekuatan mengikat

dari putusan yang dikeluarkan oleh lembaga Penyelesaian Sengketa

Alternatif dalam kaitannya dengan sengketa transaksi electronic 

commerce.

Penelitian ini dititikberatkan pada studi kepustakaan, sehingga data

sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan daripada data primer.

Namun, untuk menunjang dan melengkapi data yang telah diperoleh

melalui studi kepustakaan, penulis melakukan penelitian lapangan (field 

research ).

Hasil penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan

cara deskriptif analisis, karena dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

digambarkan secara menyeluruh dan sistematis tentang bagaimana

penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam

Electronic Commerce, serta masalah-masalah hukum yang timbul dalam

penerapannya.

D. Tinjauan Pustaka

1. Peristilahan Electronic Commerce  

Electronic commerce  merupakan sistem yang relatif baru

dibandingkan dengan sistem perdagangan lainnya. Akibatnya, bagi

sebagian pihak masih belum jelas apa yang dimaksud dengan electronic 

commerce. 

Munculnya berbagai pengertian electronic commerce  tidak akan

mengubah keberadaan electronic commerce  sebagai suatu sistem

perdagangan yang sangat efektif dan efisien. Timbulnya berbagai

Page 9: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 9/49

9

pengertian electronic commerce  semata-mata lebih disebabkan adanya

perbedaan latar belakang keilmuan dari si pembuat definisi.

David Baum, dalam “Business Links”, Oracle Magazine , No. 3, Vol.

XIII, May/June, 1999, sebagaimana dikutip Onno W. Purbo dan Aang Aris

Wahyudi, mendefinisikan electronic commerce : a dynamic set of 

technologies, applications, and business process that link enterprises,

consumers, and communities through electronic transactions and the 

electronic exchange of goods, service, and information ,8 sedangkan

Howard E. Abrams,9 menyatakan: electronic commerce sebenarnya 

adalah: refers to the use of computer networks to facilitate transactions 

involving the production, distribution, sale, and delivery of goods and 

services in the market.

Sekalipun terdapat berbagai definisi dari electronic commerce,

tetapi pada dasarnya semua definisi memiliki kesamaan, yaitu:

1. adanya penawaran melalui Internet;

2. transaksi antara 2 belah pihak; (apabila terjadi kata sepakat)

3. adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;

4. Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme

transaksi tersebut.

Dengan mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan

bahwa electronic commerce  merupakan suatu transaksi perdagangan

antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi,

proses pemesanan barang, pembayaran transaksi sampai dengan

pengiriman barang dikomunikasikan melalui Internet.

8 Purbo, Onno, W. dan Wahyudi, Aang Arif, (2001), Mengenal E-Commerce, PT. Elex MediaKomputindo, Jakarta, 2001, hlm. 2

9 Abrams, Howard E, dan Doenberg, Richard L, (1997), How Electronic Commerce Works , TaxNotes International, 1997, hlm. 1573

Page 10: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 10/49

10

2. Keuntungan Penggunaan electronic commerce  

Pada dasarnya, keuntungan penggunaan electronic commerce  

dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, yakni keuntungan bagi pedagang

(merchant) dan keuntungan bagi pembeli.

Menurut Joseph Luhukay (Presiden Director, Capital Market

Society), keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain 10:

1. Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan

(revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui

cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa;

menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall , dan

sebagainya;

2. Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan

pelanggan melalui Internet dapat menghemat kertas dan biaya

telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf

operasional yang banyak, gudang yang besar, dan sebagainya;

3. Memperpendek product cycle  dan management supplier .

Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier  langsung ketika ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih

cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-

produk tersebut;

4. Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat

menghubungi perusahaan/penjual dari manapun di seluruh dunia;

5. Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui Internet dapat

dilakukan selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu;

6. Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui Internet pelanggan bisa

menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung

sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.

10 Majalah Infokomputer edisi Oktober 1999

Page 11: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 11/49

11

Keuntungan bagi pembeli, antara lain:

1. Home shopping . Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah

sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan

menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi;

2. Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja

atau melakukan transaksi melalui Internet;

3. Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat

membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya;

4. Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan

saja selama 24 Jam per hari, 7 hari per minggu;

5. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit

diperoleh di outlet-outlet  /pasar tradisional.

Keuntungan-keuntungan di atas apabila dipergunakan dengan

sebaik-baiknya akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap electronic commerce  yang pada akhirnya dapat pula

meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

4. Mekanisme Transaksi Electronic commerce  dan Saat

Terjadinya Kontrak 

Transaksi perdagangan melalui media internet atau electronic 

commerce  pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mekanisme

perdagangan biasa (konvensional). Hanya saja, yang membedakan di

antara keduanya adalah dalam electronic commerce, sistem yang

digunakan dalam seluruh proses transaksi dilakukan secara on line , mulai

dari penawaran produk, pembelian, sampai dengan pembayaran,

sedangkan dalam transaksi biasa, seluruh proses transaksi dilakukan

secara manual (off line).

Page 12: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 12/49

12

Seperti halnya dalam transaksi biasa (konvensional), transaksi

electronic commerce  diawali dengan adanya penawaran oleh produsen

(merchant) kepada calon pembeli (consumer) melalui media Internet.

Selanjutnya apabila pembeli (costumer) berpendapat bahwa produk yang

ditawarkan dari segi kualitas, harga, jenis telah sesuai dengan

keinginannya, maka pembeli dapat langsung memesan (order) atas

barang yang dimaksud dengan cara mengisi formulir isian yang telah

ditampilkan pada layar monitor.

Formulir yang harus diisi umumnya memuat identitas pemesan,

seperti: nama, alamat, kantor, dan sebagainya. Formulir isian memuat

pula syarat- syarat transaksi yang harus disetujui oleh konsumen. Pada

tahap akhir setelah semua formulir isian diisi dan syarat-syarat transaksi

disetujui, pembeli tinggal menyatakan setuju dengan transaksi tersebut

dengan cara mengklik kolom OK/Sumbit.

Gambaran proses transaksi electronic commerce  di atas adalah

proses yang umum dilakukan, mengingat dalam prakteknya proses

transaksi electronic commerce banyak jenisnya.

Salah satu permasalahan yang paling sering muncul dalam transaksi

electronic commerce  adalah berkaitan dengan pertanyaan kapan suatu

transaksi (kontrak) dikatakan telah terjadi.

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan terlebih

dahulu beberapa bentuk kontrak electronic commerce  yang selama ini

berkembang.

Ada beberapa bentuk kontrak elektronik yang selama ini

berkembang, yaitu:11 

1. Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui e. mail.

Penawaran dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui e. mail

11 Mieke Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik, artikel dalamCyberlaw Suatu Pengantar , ELIPS Project, Jakarta, 2002, hlm. 2

Page 13: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 13/49

13

atau dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya,

dokumen tertulis, fax, dan lain-lain;

2. Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa on 

line  lain, yaitu suatu web site  menawarkan penjualan

barang/jasa dan konsumen dapat menerima penawaran dengan

mengisi dan mengirimkan suatu formulir yang terpampang

pada layar monitor;

3. Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct on line transfer dari

informasi dan jasa, web site  digunakan sebagai medium of 

communication dan sekaligus sebagai medium of exchange ; 

4. Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu

pertukaran informasi bisnis secara elektronik dalam computer

processable format  melalui komputer milik para mitra dagang

(trading partners);  

5. Suatu cara berkontrak dalam Internet dapat bersifat perjanjian

lisensi click-wrap dan shrink-wrap . Software yang di download  

dari Internet lajimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap .

Lisensi tersebut muncul pada monitor pembeli pada saat

pertama kali software akan dipasang (install) dan calon pembeli

ditanya apakah ia bersedia menerima persyaratan lisensi

tersebut sebelum menggunakan program tersebut. Pengguna

dapat click “ I accept ” atau I don’t accept”. Apabila pembeli

menyetujui persyaratan lisensi, software tersebut dapat

dipasang (install). 

Permasalahan kapan terjadinya suatu kontrak pada perdagangan

secara on line  perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat hal ini

membawa akibat hukum pada penentuan lahirnya hak dan kewajiban

masing-masing pihak, peralihan kepemilikan, peralihan risiko, juga

Page 14: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 14/49

14

yurisdiksi mana yang berkompeten untuk menyelesaikan sengketa jika

dikemudian hari muncul sengketa.

Penentuan saat terjadinya perjanjian (kontrak) berkaitan erat

dengan tempat dimana perjanjian itu dibuat, ada beberapa teori yang

menjelaskan tentang tempat terbentuknya perjanjian, yaitu;

1. Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak

penerima penawaran (expedition theory);  

2. Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak

penerima penawaran (acceptors acceptance  atau disebut

transmission theory);  

3. Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang

menawarkan (offeror) atau disebut reception theory ;

4. Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya

penerimaan (acceptance) tersebut atau disebut information 

theory. 

Menurut Julian Ding dalam bukunya Electronic Commerce, Law 

and Practices, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman12 

disebutkan bahwa terjadinya kontrak dalam transaksi electronic 

commerce adalah : a contract is struck when two or more persons agree 

to a certain course of conduct, maksudnya bahwa sebagai suatu

pertemuan dimana dua atau lebih pihak setuju melakukan tindakan

tertentu, sehingga pada saat itulah kesepakatan tercapai.

Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa untuk menentukan

kapankah suatu kontrak terjadi, maka dapat dilihat dari syarat-syarat yang

harus dipenuhi, yaitu offer  (penawaran), acceptance  (penerimaan) dan

consideration. Suatu offer merupakan suatu invitation to enter into binding 

12 Mariam Darus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (cyber law) di Indonesia, Pidato pada upacara Purna Bhakti sebagai Guru Besar tetap di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan, 2001, hlm. 11

Page 15: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 15/49

15

agreement , suatu offer adalah benar merupakan suatu tawaran jika pihak

lain memandangnya sebagai suatu penawaran, namun perlu diperhatikan

bahwa suatu offe r haruslah benar merupakan suatu offe r dalam hal mana

memang benar penawaran telah dilakukan dan ditujukan pada offeree.

Jika suatu offer  sudah ditujukan pada offeree maka ia dapat choose 

whether yes or not to accept it .

Suatu offer  harus secara jelas dinyatakan dan dalam hal offer  

disampaikan dengan mempergunakan e. mail  harus disebutkan bahwa

 jika terjadi suatu offer dari seorang offeror, harus terdapat suatu kepastian

berupa diterima atau tidaknya hal tersebut dengan kata-kata “I accept or I 

reject and go fourth”.

Untuk menemukan offer and acceptance dalam cybersystem adalah

tergantung pada keadaan dari cybersystem  itu sendiri. Seorang offeror  

adalah bebas untuk menentukan suatu manner of acceptance , misalnya

offeror  menentukan bahwa hal penjualan melalui web site  atas barang

dagangannya maka penawaran ditujukan pada halaman dari e. mail  

address nya sehingga dalam hal ini acceptance  dapat dalam bentuk e.

mail saja13

 

Jika offer  pada web site  secara umum mendapatkan acceptance  

dari publik yang cukup banyak, sedangkan massage dalam offer di web

site tersebut hanya menawarkan sebuah barang saja maka dalam hal ini

dipakai prinsip “first come first serve” , maka yang paling awal dinyatakan

bahwa ia yang akan menerima tawaran itulah yang berhak. Peraturan ini

menyatakan bahwa suatu acceptance  dari offer  adalah efektif berlaku

pada saat pengiriman pos, dalam hal ini yaitu pada saat pengiriman

acceptance melalui pos tradisional melalui surat (dropping a place of 

corespondence in to the mailbox).

Di dalam cyberspace , jika suatu pernyataan setuju dari offeree

telah dikirim dan benar telah diterima oleh offeror , maka dalam hal terjadi

13 Ibid, hlm. 14 

Page 16: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 16/49

16

keterlambatan atau tidak sampainya pesan adalah kewajiban dan risiko

dari offeror  jika tidak ada klausul pembatasan hari dari offeror , namun

dalam hal acceptance berlangsung dalam suatu on line contract , maka

tidak akan terjadi keterlambatan sehingga mailbox rule tidak berlaku.

5. Jenis-jenis Transaksi electronic commerce  

Pada dasarnya, perdagangan/transaksi electronic commerce dapat

dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu: transaksi Business to 

Business (B to B), dan Business to Consumer  (B to C). 

Transaksi electronic commerce   B to B , mempunyai karakteristik

sebagai berikut:

1. Trading partners  yang sudah saling mengetahui dan antara

mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.

Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan

karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi

tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;

2. Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berskala

dengan format data yang telah disepakati. Jadi, service  yang

digunakan antara ke-2 sistem tersebut sama dan menggunakan

standar yang sama;

3. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partner mereka

lainnya untuk mengirim data;

4. Model yang umum digunakan adalah pear to pear , dimana

processing intelegence  dapat didistribusikan di kedua pelakubisnis.

Business to Consumer (B to C) merupakan transaksi jual-beli melalui

internet antara penjual barang dengan konsumen (end user). Business to 

Consumer  dalam electronic commerce  relatif banyak ditemui

Page 17: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 17/49

17

dibandingkan dengan Business to Business . Dalam transaksi electronic 

commerce  dengan jenis B to C  hampir semua orang dapat melakukan

transaksi baik dengan nilai transaksi kecil maupun besar, begitu pula tidak

dibutuhkan persyaratan yang rumit.

Karakteristik transaksi electronic commerce Business to Consumer  

adalah sebagai berikut:

1. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum

pula;

2. Service  yang dilakukan juga bersifat umum sehingga

mekanismenya dapat digunakan oleh banyak orang, contohnya

karena sistem web  sudah umum dikalangan masyarakat, maka

sistem yang digunakan adalah sistem web pula;

3. Service  yang diberikan berdasarkan permintaan, konsumen

berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon

terhadap inisiatif konsumen;

4. Sering dilakukan pendekatan client-server , yang mana konsumen

di pihak klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web )dan pihak penyedia barang atau jasa (business prosedure ) berada

pada pihak server. 

6. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce  

Transaksi electronic commerce  melibatkan beberapa pihak, baik

yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung

kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah semua prosestransaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang

dilakukan secara on-line .

Page 18: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 18/49

18

Apabila seluruh transaksi electronic commerce dilakukan secara on- 

line , mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran,

maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari:

1. Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan

produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka

seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada

sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat

menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card. 

2. Konsumen/ card holder , yaitu orang-orang yang ingin memperoleh

produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara on-line. 

3. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan

penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan

penerbit).

4. Issuer; perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.

5. Certification Authorities; pihak ketiga yang netral yang memegang

hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant , kepada

issuer  dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holder.14  

Apabila transaksi electronic commerce  tidak sepenuhnya dilakukan

secara on-line , dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang on- 

line, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual/ cash , maka

pihak acquirer, issuer , dan certification authority tidak terlibat di dalamnya.

14  Certification Authorities  dapat merupakan suatu lembaga pemerintah atau lembaga swasta.

Italia, dengan alasan kebijakan publik, menempatkan pemerintahannya sebagai pemilik kewenangan untukmenyelenggarakan pusat Certification Authorities . Sebaliknya, di Jerman, jasa sertifikasi terbuka untukdikelola oleh sektor swasta untuk menciptakan iklim kompetisi yang bermanfaat bagi peningkatan kualitaspelayanan jasa tersebut.. 

Page 19: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 19/49

19

7. Latar Belakang Penyelesaian Sengketa Alternatif

Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya perbedaan

pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak. Apabila pihak-pihak

tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat, maka

perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi kelangsungan

hubungan di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap menghadapi

perbedaan pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan

cara-cara penyelesaian yang tepat.

Pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang

dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperolehkemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga

pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para

pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk

mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum.

Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang

hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan

berubah menjadi permusuhan.

Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk penyelesaian yang

berorientasi pada kemenangan tidak lagi menjadi pilihan utama, bahkan

sedapat mungkin dihindari. Pihak-pihak lebih mendahulukan kompromi

dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka,

dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak yang merasa

dikalahkan/dirugikan.

Upaya manusia untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang

lebih mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentuk-bentukpenyelesaian yang dipergunakan pada saat itu (terutama lembaga

peradilan) menunjukkan berbagai kelemahan/kekurangan, seperti: biaya

tinggi, lamanya proses pemeriksaan, dan sebagainya. Akibat semakin

meningkatnya efek negatif dari lembaga pengadilan, maka pada

permulaan tahun 1970-an mulailah muncul suatu pergerakan dikalangan

Page 20: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 20/49

20

pengamat hukum dan akademisi Amerika Serikat untuk mulai

memperhatikan bentuk-bentuk penyelesaian hukum lain.

Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa

alternatif terjadi pada saat Warren Burger (mantan Chief Justice ) diundang

pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of 

Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound 

Conference) di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum,

serta pengacara yang menaruh perhatian pada masalah sengketa/konflik

berkumpul bersama pada konferensi tersebut. Beberapa makalah yang

disampaikan pada saat konferensi, akhirnya disusun menjadi suatu

pengertian dasar (basic understanding) tentang penyelesaian sengketa

saat itu.15 

Beberapa tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif

(Alternative Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis.

Hakim seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikut

berpartisipasi dalam suatu persidangan. Peraturan di pengadilan

senantiasa mensyaratkan para pihak untuk menyelesaikan kasus-kasus

tertentu (seperti: malpraktek) diselesaikan melalui arbitrase, bahkan di

beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih

dahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara

mediasi sebelum menempuh jalur pengadilan.

8. Peristilahan Penyelesaian Sengketa Alternatif

Istilah Penyelesaian Sengketa Alternatif merupakan istilah yang

umum dipergunakan sebagai terjemahan dari Alternative Dispute 

Resolution  (ADR). Ada berbagai istilah yang dipakai untuk menunjuk

pada bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti:

15 Nolan-Haley, Jacqueline M, (1992), Alternative Dispute Resolution in a Nutshell, West PublishingCo, St. Paul, Minnesota, USA 1992, hlm. 4-4

Page 21: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 21/49

21

Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Pilihan

Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Alternatif Penyelesaian

Sengketa (APS) sebagaimana judul dari Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-

undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

dalam Pasal 30 bahkan tidak mempergunakan istilah khusus, tetapi hanya

menyebut Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan.

Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mendefinisikan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Christopher Kuner,16 tidak memberikan definisi tentang Alternative

Dispute Resolution, ia hanya menyatakan: The term ‘alternative dispute 

resolution” can include a wide variety of dispute resolution mechanism 

outside the court system, including arbitration, mediation, consumer 

compalint systems, etc., so that it can be difficult to define exactly what is 

meant by the term.

Sekalipun banyak pendapat yang berbeda tentang definisi

Penyelesaian Sengketa Alternatif, tetapi apabila memperhatikan unsur-

unsurnya terkandung beberapa persamaan yaitu: merupakan suatu suatu

lembaga penyelesaian sengketa serta proses penyelesaian sengketa

dilakukan di luar pengadilan (out of court).

16 Kuner, Christopher, Legal Obstacles to ADR in European Business-to-Consumer Electronic Commerce (article), 2000, hlm. 1

Page 22: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 22/49

22

9. Keuntungan Penggunaan Penyelesaian Sengketa Alternatif

Harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan

suatu sengketa menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana

kekurangan/kelemahan ini apabila dilihat dari aspek ekonomi/bisnis

secara umum merupakan salah satu komponen dengan biaya sangat

tinggi.

Kelemahan lembaga peradilan dalam menyelesaian suatu sengketa

sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, kondisi ini semakin

meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat

memuaskan para pihak yang bersengketa.

Oleh karena itu, untuk mengurangi sekaligus menghindari

kemungkinan timbulnya masalah berkaitan dengan penggunaan lembaga

peradilan, pelaku bisnis beralih pada penyelesaian sengketa alternatif

untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam aktivitas bisnis

mereka.

Ada beberapa keuntungan yang diperoleh para pihak apabila

memilih penyelesaian sengketa alternatif sebagai lembaga yang akan

membantu menyelesaikan sengketa yang timbul di antara nereka, antara

lain:

a. Waktu, melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif waktu yang

dipergunakan untuk menyelesaian suatu sengketa relatif

singkat;

b. Biaya, karena waktu dan mekanismenya relatif sederhana

sehingga membawa akibat biaya yang dikeluarkanpun lebih

murah;

c. Keahlian, pihak yang turut serta dalam membantu proses

penyelesaian sengketa berasal dari kalangan ahli di

bidangnya, sehingga keputusan yang diambil relatif dapat

dipertanggungjawabkan;

Page 23: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 23/49

23

d. Kerahasiaan, karena mekanisme penyelesaian tidak

dipublikasikan, sehingga kerahasiaan dari masing-masing

pihak tetap terjaga. Seperti kita ketahui, masalah

kerahasiaan merupakan salah satu faktor yang sangat

penting bagi siapapun juga, tidak terkecuali bagi pelaku

usaha.

10. Macam-macam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif

a. Arbitrase.

Istilah arbitrase berasal dari kata “arbitrare” (bahasa lain), yang

berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut

kebijaksanaan. Apabila memperhatikan pengertian di atas nampak jelas

bahwa lembaga arbitrase memang dimaksudkan menjadi suatu lembaga

yang berfungsi untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa tetapi

tidak mempergunakan suatu metode penyelesaian yang klasik, dalam hal

ini lembaga peradilan.

Pasal 1 angka 1 dari Undang-undang Nomor 30 tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan

definisi arbitrasi, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pemilihan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang

timbul di antara para pihak dilandasi oleh banyaknya keuntungan yang

diperoleh, antara lain:17 

1) Keuntungan dari satu peradilan arbitrase sebagaimana

tersebut di atas ialah menang waktu, karena dapat dikontrol

17 Agnes M, Toar Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, artikel dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1995, hlm. 44

Page 24: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 24/49

24

oleh para pihak sehingga kelambatan dalam proses

peradilan pada umumnya dapat dihindari;

2) Di samping keuntungan tersebut, kerahasiaan proses

penyelesaian sengketa suatu hal yang sangat dibutuhkan

dalam dunia usaha dapat dikatakan lebih terjamin;

3) Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang

tidak terletak dalam bidang yuridis pun dapat digunakan,

sehingga tidak perlu terlambat karena ketentuan undang-

undang mengenai pembuktian yang bersangkutan;

4) Suatu putusan arbitrase pada umumnya terjamin, tidak

memihak, mantap, dan jitu karena diputuskan oleh (orang)

ahli yang pada umumnya menjaga nama dan martabatnya

oleh karena berprofesi dalam bidang tersebut;

5) Keuntungan yang lain ialah peradilan arbitrase potensial

menciptakan profesi yang lain, yaitu sebagai arbiter yang

merupakan faktor pendorong untuk para ahli lebih menekuni

bidangnya untuk mencapai tingkat paling atas secara

nasional.

b. Negosiasi

Kata negosiasi pada umumnya dipakai untuk suatu pembicaraan

atau perundingan dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan antara

para peserta tentang hal yang dirundingkan. Hal yang sama dikemukakan

oleh C. Chatterjee18 pada saat menyatakan: To negotiate means to ‘hold 

communication or conference for the purpose of arranging some matter by 

mutual agreement, to discuss a matter with a view to some settlement or 

compromise”.

18 Chatterjee C, (2000), Negotiations Techniques in International Commercial, Ashgate Publishing,England, 2000, hlm. 1-2

Page 25: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 25/49

25

Dari dua pengertian di atas dapat diketahui bahwa negosiasi

merupakan suatu proses pembicaraan atau perundingan mengenai suatu

hal tertentu untuk mencapai suatu kompromi atau kesepakatan di antara

para pihak yang melakukan negosiasi.

Menurut Howard Raiffia, sebagaimana dikutip oleh Suyud

Margono,19 ada beberapa tahapan negosiasi, yaitu:

1. Tahap persiapan, dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama

yang dipersiapkan adalah apa yang kita butuhkan/inginkan.

Dengan kata lain, kenali dulu kepentingan kita sebelum mengenali

kepentingan orang lain. Tahap ini sering distilahkan know yourself. Dalam tahap persiapan kita juga perlu menelusuri berbagai

alternatif lainnya apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak

tercapai atau disebut BATNA (best alternative to a negotiated 

agreement);  

2. Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit), dalam tahap ini biasanya

perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berkaitan

dengan pertanyaan siapakah yang harus terlebih dahulu

menyampaikan tawaran. Apabila kita menyampaikan tawaran awal

dan perunding lawan tidak siap (ill prepared), terdapat

kemungkinan tawaran pembuka kita mempengaruhi persepsi

tentang reservation price dari perunding lawan.

3. Tahap Pemberian Konsesi (The Negotiated Dance), konsesi yang

harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan

konsesi yang diberikan oleh perunding lawan. Dalam tahap ini

seorang perunding harus dengan tepat melakukan kalkulasitentang agresifitas serta harus bersikap manipulatif.

19 Margono, Suyud, (2000), ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum , GhaliaIndonesia, Jakarta, 2000, hlm. 52

Page 26: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 26/49

26

4. Tahap Akhir (End Play), Tahap akhir permainan adalah pembuatan

komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan

sebelumnya.

Lebih lanjut Howard Raiffia menyatakan, agar suatu negosiasi

dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat

stabil, ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:

1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan

kesadaran penuh (willingness);  

2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);  

3. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);  

4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat

menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining 

power);  

5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah.

c. Mediasi

Mediasi adalah proses pemecahan masalah di mana pihak luaryang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang

bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan

perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter,

mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara

para pihak, namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada

mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di

antara mereka. 20 

Menurut Kovact, sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono

mediasi yaitu: facilitated negotiation. It process by which a neutral third 

20 Goodpaster, Gary, (1995), Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, artikel dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 11

Page 27: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 27/49

27

party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually 

satisfaction solution”.21 

Dari rumusan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa

pengertian mediasi mengandung unsur-unsursebagai berikut:

1. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan

perundingan;

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di

dalam perundingan;

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk

mencari penyelesaian;

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan

selama perundingan berlangsung;

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan

kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa

guna mengakhiri sengketa.

D. Konsiliasi

Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan

suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan

melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.

Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses yang mana pihak

ketiga bertindak sebagai pihakyang mengirimkan suatu penawaran

penyelesaian antara para pihak tetapi perannya lebih sedikit dalam proses

negosiasi dibandingkan seorang mediator.

Seperti juga mediator, tugas dari konsiliasi hanyalah sebagai pihak

fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara pihak sehingga dapat

diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak

konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu

21 Suyud Margono, op cit, hlm. 59

Page 28: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 28/49

28

dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan,

membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut

tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka

langsung, dan lain-lain.22 

E. Pembahasan

1. Faktor Pendorong dipilihnya Penyelesaian Sengketa Alternatif

(ADR) dalam penyelesaian sengketa electronic commerce  

Dipilihnya Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute 

Resolution) sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memang

bukanlah tanpa sebab, banyak faktor yang menjadi penyebab para pihak

memililih mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute 

Resolution).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan para pihak memilih

lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute 

Resolution) untuk menyelesaian sengketa yang timbul dalam transaksi

electronic commerce, yaitu:

a. Murah, transaksi yang dilakukan oleh para pihak tujuannya tidak

lain adalah untuk memperoleh uang (investasi), sehingga dalam

penentuan cara penyelesaian sengketa pun, faktor ekonomi, dalam

hal ini murahnya biaya yang dikeluarkan, menjadi bahan

pertimbangan yang utama. Kenyataan membuktikan, penyelesaian

sengketa melalui lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR)

relatif lebih murah dibandingkan penyelesaian melalui lembaga

pengadilan (litigasi). Murahnya biaya yang dikeluarkan dalam

setiap penyelesaian sengketa melalui mekanisme ini tidak terlepas

dari cepatnya proses pengambilan keputusan yang dihasilkan.

22 Munirm Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis , Citra Aditya Bhakti,Bandung, 200, hlm. 52

Page 29: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 29/49

29

Pada saat penyelesaian sengketa berlangsung, para pihak tetap

dapat melanjutkan aktivitasnya masing-masing tanpa takut

terganggu oleh proses pemeriksaan sengketa, hal yang mustahil

terjadi apabila sengketa diselesaikan melalui proses pengadilan.

Perlu ditambahkan, dengan dipergunakannya lembaga peradilan

dalam penyelesaian suatu sengketa, memungkinkan para pihak

untuk menempuh upaya hukum lain (banding, kasasi, atau

peninjauan kembali) apabila salah satu pihak tidak puas dengan

keputusan yang dihasilkan. Akibatnya, proses penyelesaian

sengketa menjadi semakin lama dan tentunya membutuhkan

penambahan biaya.

b. Cepat, dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan

(litigasi) tentunya Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) relatif

lebih cepat dan tidak bertele-tele. Lamanya proses penyelesaian

sengketa melalui pengadilan terjadi mulai saat menunggu

kepastian kapan sengketa akan diperiksa/disidangkan hingga

eksekusi putusan, yang seringkali memerlukan waktu yang sangat

lama. Di samping itu, adanya beberapa upaya hukum (Banding,Kasasi, dan Peninjauan Kembali) yang menjadi hak dari para pihak

yang bersengketa, terlebih apabila hak tersebut dipergunakan,

semakin menambah lamanya proses penyelesaian sengketa.

Kondisi ini tentunya dapat menjadi penghambat bagi para pihak

dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Oleh karena itu, dengan

dipergunakannya mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif

(ADR) diharapkan lamanya waktu pemeriksaan sengketa dapat

dikurangi, karena prosedur pemeriksaan sengketa ditentukansendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak

ketiga.

c. Dalam dunia bisnis, hubungan baik (good relationships) di antara

para pihak merupakan hal yang paling utama sekaligus pondasi

Page 30: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 30/49

30

(dasar) bagi berkembangnya suatu hubungan kerjasama. Begitu

pula halnya dalam penyelesaian sengketa, sedapat mungkin

diselesaikan melalui cara-cara yang dapat menjaga hubungan di

antara para pihak agar tetap harmonis. Keinginan tersebut dapat

dicapai apabila sengketa diselesaikan melalui mekanisme

penyelesaian sengketa alternatif (ADR), karena melalui

penyelesaian sengketa alternatif (ADR) tujuan yang hendak dicapai

adalah win-win solution , yaitu kedua belah pihak akan memperoleh

penyelesaian yang memuaskan, tanpa ada yang merasa dirugikan.

Hal ini berbeda dengan lembaga pengadilan (litigasi), pada

umumnya hanya satu pihak saja yang menang, sementara yang

lainnya berada di pihak yang kalah (win and lose solution);

d. Kerahasiaan (confidentiality) bagi siapapun, terlebih bagi pihak-

pihak yang bergerak dalam aktivitas bisnis, merupakan hal yang

sangat vital. Oleh karena itu, dalam mekanisme penyelesaian

sengketa melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) masalah

kerahasiaan relatif lebih dapat dijaga dibandingkan dengan

penyelesaian melalui cara konvensional (pengadilan). Kerahasiaansangat penting untuk tetap dijaga, khususnya apabila sengketa

muncul berkaitan dengan lemahnya/tidak berfungsinya sistem

keamanan yang dimiliki oleh satu perusahaan (dalam transaksi

electronic commerce masalah kelemahan sistem keamanan sering

terjadi). Banyak perusahaan tidak menginginkan masalah ini

dipublikasikan pada pihak luar, karena dengan dipublikasikannya

kelemahan perusahaan, kepercayaan konsumen terhadap

perusahaan akan memudar; 

e. Penyelesaian sengketa melalui lembaga Penyelesaian Sengketa

Alternatif (ADR) dilakukan oleh para ahli (expert) di bidangnya,

sehingga hal ini akan berdampak pada kualitas putusan. Keahlian

para pihak yang akan menyelesaikan sengketa sangat

Page 31: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 31/49

31

mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan

lembaga ini, terlebih electronic commerce merupakan sistem yang

relatif kompleks dibandingkan cara- cara konvensional.

f. Tidak berpihak (Impartiality), untuk memperoleh suatu proses

penyelesaian sengketa yang menjunjung tinggi prinsip fairness ,

maka dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa baik melalui

lembaga pengadilan (litigasi) maupun lembaga di luar pengadilan

(non-litigasi), diperlukan adanya jaminan bahwa pihak ketiga yang

akan memutus atau menengahi sengketa adalah mereka yang

berkedudukan bebas dan tidak berpihak pada pihak manapun.

2. Penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif

(ADR) dalam Sengketa Transaksi Electronic Commerce  

Di Indonesia, proses pemeriksaan sengketa secara online  melalui

lembaga arbitrase belum dilaksanakan secara menyeluruh. Suatu proses

pemeriksaan dikatakan menyeluruh apabila seluruh proses dilakukan

secara online , mulai dari pemilihan lembaga yang khusus menyediakan

 jasa online Alternative Dispute Resolution, perjanjian arbitrase, prosedur

beracara, hingga penyampaian putusan dilakukan secara online pula.

Sekalipun demikian, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan

kemungkinan dipergunakannya e.mail  dalam proses penyelesaian

sengketa, sekalipun baru dalam tahap penyampaian surat. Hal ini dapat

dilihat pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi

dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,

faksimil, e-mail  atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib

Page 32: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 32/49

32

disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf miring

dari penulis).

Pemilihan lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif

(ADR) baik yang sifatnya offline  maupun online  untuk menjadi lembaga

yang akan menyelesaikan setiap masalah yang timbul dalam transaksi

electronic commerce , didasarkan pada adanya perjanjian (clausule) di

antara para pihak (baik sebelum maupun setelah terjadinya sengketa)

yang intinya menyatakan akan membawa sengketa kepada lembaga

Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Arbitrase, apapun alat (means) 

yang dipergunakan untuk menyatakan perjanjian tersebut.

Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa alternatif yang

sifatnya offline , khususnya melalui lembaga Arbitrase, adanya perjanjian

yang mendasari dipilihnya lembaga tersebut untuk menyelesaikan

sengketa (arbitration clause) dengan jelas dapat dilihat pada Pasal 1

angka 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan: Arbitrase adalah

cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa. (huruf miring dari penulis), sedangkan perjanjian

yang menjadi dasar dipilihnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif

untuk menyelesaikan sengketa dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-

undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan: Undang-undang ini mengatur

penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu

hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase

yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda 

pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum 

tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif 

penyelesaian sengketa. 

Page 33: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 33/49

33

Dalam penelitian yang dilakukan penulis, ditemukan satu contoh

perjanjian yang memuat pemilihan lembaga Penyelesaian Sengketa

Alternatif (ADR) dalam penyelesaian sengketa electronic commerce yang

disusun oleh Amboi.com, suatu perusahaan electronic commerce  yang

bergerak di bidang lelang online . Ketentuan yang dimaksud selengkapnya

menyatakan: “Anggota menyadari dan setuju bahwa perselisihan yang

terjadi antara anggota dan Amboi.com harus diselesaikan melalui

musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila musyawarah tidak dapat

mencapai mufakat, anggota sepakat untuk membawa kasus mereka ke 

lembaga arbitrase dan melepaskan haknya untuk menyelesaikan 

sengketa melalui pengadilan  (Pasal 58 dari Amboi.com), selanjutnya

Pasal 59 dari Ketentuan Amboi.com menyatakan: Setiap Perselisihan

yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah akan diserahkan

kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk diselesaikan.

Dengan dipilihnya upaya penyelesaian sengketa melalui Alternative 

Dispute Resolution , sebenarnya para pihak yang bersengketa harus

mengacu pada kontraknya sendiri (jika ada) yaitu pada klausul kontrak

yang menunjuk pada penggunaan pihak ketiga untuk membantu dalampenyelesaian sengketa (mediasi, negosiasi, konsiliasi atau arbitrase).

Pembahasan penerapan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam

tulisan ini, akan difokuskan pada penerapan praktek penyelesaian

sengketa alternatif yang umum dilakukan, yaitu melalui cara mediasi,

negosiasi, konsiliasi dan arbitrase, khususnya dalam kaitannya dengan

sengketa electronic commerce. 

Sengketa yang muncul dalam transaksi electronic commerce  

tentunya diharapkan dapat diselesaikan secara baik tanpa menyebabkan

hubungan yang semula harmonis di antara para pihak menjadi buruk.

Oleh karena itu, para pihak (yang bersengketa) sedapat mungkin

menghindarkan cara-cara penyelesaian yang lebih berorientasi pada

mengejar kemenangan, seperti halnya melalui lembaga peradilan. Di

Page 34: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 34/49

34

samping itu, dengan dihindarinya penggunaan lembaga peradilan dalam

penyelesaian sengketa electronic commerce, diharapkan  rantai hubungan

yang saling menguntungkan (mutually) di antara para pihak tetap terjaga.

Apabila terjadi sengketa antara penjual (merchant) dan konsumen,

biasanya cara pertama yang ditempuh adalah para pihak akan mencari

 jalan penyelesaian secara damai yang memungkinkan untuk ditempuh,

baik dilakukan oleh mereka sendiri maupun dengan bantuan pihak lain.

Dalam sengketa electronic commerce , mediasi menjadi salah satu

bentuk penyelesaian yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa.

Melalui mediasi pihak ketiga yang netral akan duduk bersama-samadengan para pihak yang bersengketa dan secara aktif akan membantu

para pihak dalam upaya menemukan kesepakatan yang adil dan

memuaskan bagi keduanya. Dalam proses mediasi, seorang mediator

hanya berperan sebagai fasilitator saja.

Oleh karena itu, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk

membuat suatu keputusan yang mengikat para pihak. Seorang mediator

akan membantu para pihak yang bersengketa untuk mengidentifikasi

persoalan-persoalan yang menjadi pokok sengketa, memfasilitasi

komunikasi di antara kedua belah pihak, serta berupaya menemukan

informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang menjadi

kepentingan dan keinginan masing-masing pihak yang bersengketa.

Informasi ini biasanya dapat diketahui pada saat mediator melakukan

interview secara pribadi (private session) dengan masing-masing pihak.

Mediasi dipergunakan dalam penyelesaian sengketa electronic 

commerce  dikarenakan mediasi tidak membatasi jenis sengketa yangdiajukan kehadapannya, mulai dari sengketa yang sederhana hingga yang

kompleks, sengketa dengan jumlah uang yang besar maupun kecil, begitu

pula pihak yang bersengketa bisa perorangan ataupun kelompok.

Page 35: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 35/49

35

Secara garis besar, proses beracara dalam suatu mediasi dibagi

dalan 2 (dua) bagian (sessions), yaitu: pertemuan pendahuluan

(preliminary conference) dan proses mediasi itu sendiri (mediation 

session). Tujuan dari pertemuan pendahuluan di antaranya adalah untuk

memberikan gambaran pada kedua belah pihak yang bersengketa

mengenai jalannya proses mediasi, penandatanganan kesepakatan untuk

mempergunakan mediasi dalam penyelesaian sengketa, merumuskan

tahapan pendahuluan apa yang akan dilakukan sebelum dilakukan proses

mediasi. Selanjutnya dalam proses mediasi (mediation session) para

pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan-

pandangannya mengenai masalah yang menjadi pokok sengketa. Peran

mediator dalam tahap ini adalah mendorong para pihak agar dapat

mengkomunikasikan secara langsung apa yang menjadi keinginan dan

kepentingannya, sehingga dapat diketahui secara jelas posisi satu sama

lain guna memperoleh suatu kondisi saling pengertian. Selama proses

berjalan para pihak diharapkan turut berpartisipasi (dalam pengawasan

mediator), bahkan para pihak dapat menyampaikan atau mendiskusikan

secara pribadi (private session) dengan mediator perihal informasi yang

sifatnya rahasia menyangkut kepentingannya yang tidak mungkin

diberitahukan pada pihak lawannya..

Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak memiliki

kedudukan yang sederajat dan tidak saling berlawanan, sehingga selama

proses berjalan sampai dicapainya kata sepakat hubungan bisnis yang

telah berjalan dengan baik tidak akan menjadi rusak.

Setelah kesepakatan di antara kedua belah pihak tercapai melalui

proses mediasi, pokok-pokok kesepakatan dituangkan dalam suatu

perjanjian tertulis (terms of settlement) yang ditandatangani oleh kedua

belah pihak yang bersengketa serta pihak ketiga yang bertindak sebagai

mediator.

Page 36: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 36/49

36

Untuk menjamin dilaksanakannya kesepakatan yang telah dicapai,

maka dalam perjanjian/kesepakatan tersebut dapat dimuat pula

ketentuan yang menyatakan: apabila salah satu pihak tidak melaksanakan

kesepakatan yang dimaksud, maka pengadilan dapat memaksakan

pelaksanaannya secara hukum. 

Bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) lainnya yang paling

sederhana adalah negosiasi, yaitu suatu proses yang mana para pihak

berupaya untuk menyelesaikan sengketa yang timbul secara informal,

dengan atau tanpa pihak lain mewakilinya.

Konsep negosiasi, pada dasarnya telah pula diterapkan pada saatpara pihak mengajukan sengketa melalui lembaga pengadilan (litigasi).

Biasanya, penasihat hukum kedua belah pihak melakukan beberapa kali

pertemuan secara informal untuk menemukan kesepakatan yang dapat

memuaskan masing-masing pihak, dan apabila kesepakatan yang

dimaksud tidak tercapai maka sengketa diselesaikan melalui proses

peradilan.

Dalam transaksi electronic commerce, sengketa yang paling

banyak terjadi berkaitan dengan masalah harga, kualitas barang, dan

 jangka waktu pengiriman. Apabila produk yang menjadi obyek sengketa

 jumlahnya (harga maupun kuantitas) relatif kecil, umumnya para pihak

tidak memerlukan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaiannya. Hal ini

wajar, mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar jasa

pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek sengketa.

Terhadap sengketa yang nilainya relatif kecil (dari segi harga

maupun kuantitas), proses negosiasi dilakukan secara langsung (direct) antara penjual (merchant) dan pembeli (consumer), baik melalui

pertemuan secara fisik (face to face) apabila domisili keduanya saling

berdekatan maupun melalui surat-menyurat (e.mail) jika kedua pihak

berjauhan. Tidak menutup kemungkinan proses negosiasi dilakukan

secara kombinasi, artinya di samping para pihak bernegosiasi melalui e.

Page 37: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 37/49

37

mail  (biasanya dilakukan pada tahap permulaan negosiasi), juga

dilakukan melalui pertemuan secara langsung (face to face), biasanya

dengan tujuan untuk memperoleh kejelasan mengenai hasil negosiasi

yang diharapkan. Pertemuan ini dapat dilakukan ditempat kediaman,

penjual, pembeli, atau di tempat lain di luar tempat kediaman para pihak

sesuai dengan kesepakatan bersama.

Dalam sengketa electronic commerce  dengan obyek sengketa

relatif besar (jumlah maupun harga), bisa saja salah satu pihak

mengajukan gugatan ke pengadilan, tetapi dengan risiko proses

pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang harus

dikeluarkan besar pula. Akibatnya, cara penyelesaian yang akan ditempuh

para pihak melalui cara negosiasi.

Proses negosiasi di awali dengan tukar menukar informasi

(exhange information), antara merchant dan konsumen. Dalam tahap ini

konsumen akan mengajuan keluhan (complaint) kepada penjual

(merchant) berkaitan dengan produk yang diterimanya. Keluhan ini dapat

disampaikan melalui surat, telephone, e.mail atau cara lain. Dalam proses

ini, pembeli atau konsumen harus dapat memberikan rincian pokok

permasalahan yang menjadi keluhannya, apakah mengenai kualitas

barang, kuantitas barang, waktu pengiriman, dan sebagainya.

Setelah dipelajari letak permasalahannya (dalam perusahaan besar

biasanya diadakan pertemuan khusus untuk membahas complaint  dari

konsumen yang melibatkan divisi/bagian yang berkaitan dengan proses

pengiriman barang) dan ternyata kesalahan terletak pada pihak penjual

(merchant), maka merchant  akan mengajukan beberapa upaya

penyelesaian yang dapat ditempuh, antara lain:

1) mengganti produk (jika kerugian diakibatkan adanya cacad pada

barang atau barang yang dipesan tidak sesuai dengan jenis/tipe

yang dipesan). Pada umumnya tindakan ini dilakukan untuk

pesanan barang dalam jumlah besar, serta untuk menjaga agar

Page 38: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 38/49

38

hubungan kemitraan antara merchant  dan consumer  tetap terjaga

dengan baik.

2) mengganti barang tetapi dengan harga yang telah di discount ;

Tindakan ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kerugian yang

lebih besar dari perusahaan apabila barang itu dikembalikan ke

Indonesia.

3) mengembalikan biaya pembelian tanpa atau ditambah ganti

kerugian;

4) apabila terjadi kelambatan, diberikan ganti kerugian dalam jumlah

tertentu.

Apabila upaya penyelesaian yang diajukan oleh merchant  kepada

konsumen diterima dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah

merealisasikan kesepakatan-kesepakatan tersebut. Apabila di antara

merchant  dan konsumen telah terjalin suatu hubungan kemitraan yang

baik, maka kesepakatan yang dimaksud tidak perlu dituangkan dalam

suatu perjanjian tertulis. Sebaliknya, apabila salah satu pihak

menghendaki adanya jaminan kepastian bahwa kesepakatan yang

dicapai akan terealisasi, maka kesepakatan tersebut sebaiknya

dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.

Mekanisme Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi (conciliation) 

 juga merupakan suatu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan

pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.

Seperti juga pada tugas seorang mediator, tugas dari konsiliator

hanyalah sebagai fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara para

pihak sehingga pada akhirnya solusi akan dihasilkan oleh para pihak itu

sendiri. Dalam proses konsiliasi, pihak ketiga yang akan membantu, telah

membawa usulan penyelesaian sehingga berperan lebih aktif dalam

mengarahkan para pihak untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian

sengketa yang dapat disepakati para pihak.

Page 39: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 39/49

39

Seorang konsiliator akan melakukan tugas, antara lain: mengatur

waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek

pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika

pesan tersebut tidak mungkin disampaikan secara langsung atau karena

berbagai pertimbangan para pihak tidak mau bertemu muka. Dari hal-hal

tersebut di atas tampak jelas bahwa dalam melakukan proses konsiliasi,

seorang konsiliator harus mampu mengetahui situasi dan kondisi kasus

tersebut, mengetahui apa yang menjadi keinginan para pihak yang

bersengketa serta mengetahui kebutuhan para pihak agar sengketa dapat

diselesaikan secara cepat. 

Dari beberapa lembaga penyelesaian sengketa alternatif (ADR)

yang ada, lembaga Arbitrase merupakan yang paling populer

dipergunakan dibandingkan dengan lembaga penyelesaian lainnya. Ciri

khas yang paling menonjol dari lembaga arbitrase dibandingkan dengan

lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya antara lain: proses

beracaranya lebih formal, bahkan memiliki kemiripan dengan lembaga

peradilan, kekuatan putusannya bersifat final and binding, sehingga

memiliki jaminan kepastian pelaksanaan dari putusan yang dihasilkan,adanya keterikatan dengan hukum yang berlaku, dan sebagainya.

Pasal 1 angka 1 dari Undang-undang Nomor 30 tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan

definisi Arbitrase, yaitu: cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena para pihak

telah sepakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul melalui lembaga

arbitrase, maka pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk

memeriksanya, sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 11 ayat (1)

Undang-undang Nomor 30 tahun 1999: Adanya suatu perjanjian arbitrase

tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian 

sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke 

Page 40: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 40/49

40

Pengadilan Negeri . Selanjutnya ayat (2) menyebutkan: Pengadilan Negeri

wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian

sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal

tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Apabila terjadi sengketa dalam suatu transaksi electronic 

commerce  dan para pihak telah memilih penyelesaiannya melalui

lembaga arbitrase (pemilihan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan

suatu sengketa dapat dilakukan sebelum atau sesudah munculnya

sengketa), maka pihak pemohon haruslah terlebih dahulu mengajukan

suatu pemberitahuan kepada pihak lawannya.

Pemilihan lembaga arbitrase untuk membantu para pihak dalam

upaya menyelesaikan sengketa, biasanya ditempuh setelah cara

penyelesaian melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif (mediasi,

negosiasi, atau konsiliasi) tidak menghasilkan suatu kesepakatan.

Dipilihnya arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa

alternatif lain, (setelah mediasi, negosiasi dan konsiliasi) untuk membantu

penyelesaian sengketa electronic commerce, disebabkan antara lain:

prosedur beracara arbitrase lebih formal serta kekuatan putusan

arbitrase bersifat final and binding, sehingga mengikat para pihak dan

apabila para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,

putusan dapat dilaksanakan atas perintah pengadilan.

Kondisi di atas dengan jelas dapat diperhatikan dalam ketentuan

Pasal 6 ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan:

Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai

dengan ayat (6) tidak dapat dicapai (usaha perdamaian yang dimaksudadalah: pertemuan langsung para pihak, penunjukan dan penyelesaian

oleh penasihat ahli atau mediator oleh para pihak, penunjukan mediator

oleh lembaga arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa), maka para

pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha

penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc .

Page 41: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 41/49

41

Prosedur beracara dari Arbitrase telah diatur secara rinci dalam

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, sehingga apabila sengketa electronic commerce  

terjadi dan para pihak telah memilih arbitrase sebagai lembaga yang akan

menyelesaikannya, maka para pihak dapat dengan mudah mengikutinya.

3. Kekuatan Mengikat dari Putusan yang Dihasilkan Lembaga

Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) dalam kaitannya dengan

Sengketa Transaksi Electronic Commerce  

Konsep penyelesaian sengketa dengan mempergunakan

mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute 

Resolution), pada dasarnya bersumber pada upaya mengaktualisasikan

ketentuan tentang kebebasan berkontrak, sehingga putusan akhirnya

berupa perdamaian (apabila ini tercapai) tidak lain merupakan hasil upaya

yang dilakukan oleh pihak-pihak itu sendiri maupun pihak ketiga (jika

mempergunakan bantuan pihak ketiga).

Dalam penyelesaian sengketa melalui mekanisme Penyelesaian

Sengketa Alternatif (di luar lembaga arbitrase) diperolehnya suatu

putusan atas sengketa yang terjadi bukan merupakan suatu keharusan,

dengan kata lain dipilihnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif

tidak selalu melahirkan suatu putusan final.

Pemikiran dasar dipilihnya mekanisme penyelesaian sengketa

alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dikemudian

hari adalah para pihak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui 

suatu lembaga di luar pengadilan   (out of court), yang mana berdasarkan

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa terdiri dari konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi, atau penilaian ahli.

Page 42: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 42/49

42

Jadi, yang menjadi pokok kesepakatan dari para pihak adalah

dipilihnya suatu lembaga yang akan membantu menyelesaian sengketa di

antara para pihak, dalam hal ini lembaga penyelesaian sengketa alternatif

(Alternative Dispute Resolution ).

Kenyataan di atas dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 dari

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang mana dalam pasal tersebut penekanannya

hanya pada dipilihnya lembaga yang akan menyelesaikan sengketa,

bukan pada diperolehnya suatu putusan atas sengketa yang timbul.

Sebagaimana diketahui, apabila sengketa diselesaikan melaluilembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa berarti sengketa

yang dimaksud diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga yang netral.

Dengan melihat pada peran pihak ketiga yang hanya bertindak

sebagai penengah atau fasilitator, khususnya dalam proses negosiasi,

mediasi, dan konsiliasi, maka keputusan akhir yang diharapkan tercapai,

tetap diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sehingga tidak

 jarang hasil akhir dari penyelesaian tersebut menjadi buntu (deadlock) 

tanpa menghasilkan keputusan apa-apa.

Kemungkinan tidak diperolehnya hasil akhir berupa kesepakatan

penyelesaian (settlement) di antara para pihak yang bersengketa,

sekalipun telah mempergunakan lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa, juga terlihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (4) Undang-undang

No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa yang menyatakan: Apabila para pihak tersebut dalam waktu

paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai 

kata sepakat, atau mediator tadi tidak berhasil mempertemukan kedua 

belah pihak , maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga atau

lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang

mediator.

Page 43: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 43/49

43

Dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa, baik yang dilakukan

melalui lembaga pengadilan (court) maupun di luar pengadilan (out of 

court), masalah yang paling utama dipertanyakan adalah apakah putusan

yang akan dihasilkan itu mengikat atau tidak (binding or non-binding),

dengan perkataan lain apakah putusan tersebut dapat langsung

dilaksanakan (enforceable) atau tidak.

Apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa perdata

melalui proses beracara di pengadilan (litigasi), permasalahan kekuatan

mengikat dari suatu putusan pengadilan sangat jelas kedudukannya.

Undang-undang memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum

dalam keadaan-keadaan tertentu untuk melawan putusan hakim (dengan

mengajukan upaya hukum lain). Apabila terhadap putusan hakim tersebut

tidak ada upaya hukum yang diajukan, maka putusan tersebut telah

mengikat para pihak dan eksekusi dapat segera dilaksanakan.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kekuatan mengikat dari

putusan yang dihasilkan oleh lembaga Arbitrase dan Penyelesaian

Sengketa Alternatif dalam transaksi electronic commerce, juga memiliki

kesamaan dalam hal kekuatan mengikatnya, dengan putusan yang

diambil oleh lembaga peradilan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa alasan yang

dapat dikemukakan:

Pertama, hendaknya diperhatikan pemikiran dasar yang melatarbelakangi

munculnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute 

Resolution). Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama dari

tulisan ini bahwa salah satu alasan dipilihnya lembaga PenyelesaianSengketa Alternatif untuk menyelesaikan sengketa bisnis adalah Proses

litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal

karena pemeriksaan harus melewati beberapa tahapan pemeriksaan yang

sangat prosedural serta dimungkinkannya para pihak untuk mengajukan

Page 44: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 44/49

44

upaya hukum lain terhadap suatu putusan yang telah diputuskan oleh

majelis hakim, yaitu banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Oleh karena itu, merupakan suatu penyimpangan dari pikiran dasar

(ide) dibentuknya lembaga arbitrase, apabila terhadap putusan lembaga

tersebut dimungkinkan adanya upaya hukum lain untuk menolaknya.

Kekuatan mengikat dari putusan yang diambil oleh lembaga

Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution),

khususnya lembaga arbitrase telah diatur dalam Pasal 60 Undang-

undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan: Putusan arbitrase bersifatfinal dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 60 menyatakan: Putusan arbitrase

merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan

banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Kedua , dipilihnya lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa

untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul di antara para pihak

pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan dari para pihak yang

dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Oleh karena itu, pelaksanaan

dari keputusan/kesepakatan yang dihasilkan, tentunya sangat tergantung

dari kesediaan para pihak untuk menaatinya (khususnya untuk keputusan

yang dihasilkan oleh lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar

arbitrase).

Apabila putusan/kesepakatan yang dihasilkan telah memuaskan

para pihak, dan dianggap telah sesuai dengan apa yang diharapkan

tentunya putusan/kesepakatan mudah untuk dilaksanakan. Namun,apabila putusan/kesepakatan yang dihasilkan tidak memuaskan salah

satu pihak atau kedua belah pihak, tentunya para pihak akan mencari

penyelesaian lain seperti melalui lembaga arbitrase atau pengadilan.

Page 45: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 45/49

45

Apabila terhadap putusan yang diperoleh melalui lembaga

penyelesaian sengketa alternatif lainnya, seperti negosiasi, mediasi, dan

konsiliasi, para pihak telah sepakat dengan penyelesaian (settlement) 

yang dihasilkan, biasanya kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam

suatu agreement  dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang

bersengketa serta pihak ketiga yang membantu penyelesaian, guna

menjamin kepastian pelaksanaan dari kesepakatan tersebut. 

Dalam agreement  tersebut akan dimuat pula ketentuan yang

menyatakan “apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan

yang telah dicapai, maka pihak lainnya dapat meminta pengadilan untuk

memaksa (enforce) dilaksanakannya kesepakatan tersebut (judicial 

proceeding).

F. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian serta analisis yang telah penulis uraikan

pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang mendorong para pihak untuk memilih

Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan sengketa

yang timbul dalam transaksi electronic commerce adalah: prosedur

penyelesaian sengketa dapat berjalan dengan cepat, biaya murah,

terjaganya hubungan baik di antara para pihak yang bersengketa,

kerahasiaan dari masing-masing pihak tetap terjamin

(confidentiality), pihak yang akan membantu dalam penyelesaian

sengketa tidak berpihak (impartiality) serta adanya jaminan bahwa

pihak ke tiga yang akan membantu dalam penyelesaian sengketa

memiliki keahlian (expert) dalam menyelesaikan sengketa;

2. Terdapat perbedaan mekanisme penyelesaian sengketa

dalam sengketa electronic commerce, antara lembaga Arbitrase

Page 46: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 46/49

46

dan Penyelesaian Sengketa Alternatif lainnya, seperti melalui

Mediasi, Negosiasi, dan Konsiliasi. Mekanisme penyelesaian

sengketa melalui Arbitrase telah tersusun secara formal dan

sistematis, sehingga para pihak tidak memiliki keleluasaan untuk

membuat proses beracara sendiri. Proses beracara pada lembaga

Arbitrase di Indonesia (BANI) telah diatur dalam Undang-undang

No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, sedangkan proses beracara melalui mediasi, negosiasi,

dan konsiliasi, mekanisme pelaksanaannya diserahkan pada

kesepakatan para pihak yang bersengketa, dengan dibantu oleh

pihak ketiga yang netral, sebagai penengah atau fasilitator;

3. Kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan melalui

lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Disputes 

Resolution) dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, terhadap putusan

lembaga Arbitrase, berdasarkan Pasal 60 Undang-undang Nomor

30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, sifatnya final dan mempunyai kekuatan hukum yang

tetap dan mengikat para pihak, sedangkan terhadapputusan/kesepakatan yang dihasilkan melalui lembaga Negosiasi,

Mediasi dan Konsiliasi, pelaksanaannya diserahkan pada itikad

baik dari para pihak, dan untuk menjamin dilaksanakannya hasil

kesepakatan, para pihak dapat meminta pengadilan untuk

memaksa dilaksanakannya keputusan tersebut.

Page 47: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 47/49

47

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, Howard E, dan Doenberg, Richard L, (1997), How Electronic 

Commerce Works , Tax Notes International

Alinafiah dan Prasetyo, (2000), Kesiapan Infrastruktur dan Sistem Antaran 

Tepat Waktu dalam Mendukung E-Commerce , makalah pada

seminar “E. Commerce Revolusi Teknologi Informasi dan

Pengaruhnya pada Peta Perdagangan Global yang”

diselenggarakan oleh KM ITB Bandung, 15 April 2000

Budhijanto, Danrivanto, (2002), Aspek Hukum “Digital Signature” dan 

“Certification Authorities” dalam Transaksi E-Commerce , artikel

dalam Cyberlaw Suatu Pengantar , ELIPS Project, Jakarta

Badrulzaman, Mariam Darus, (2001), Mendambakan Kelahiran Hukum 

Saiber (cyber law) di Indonesia, Pidato pada upacara Purna Bhakti

sebagai Guru Besar tetap di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Medan

Chatterjee C, (2000), Negotiations Techniques in International 

Commercial, Ashgate Publishing, England

Diana, Anastasia, (2001), Mengenal E-Business, Andi, Yogyakarta

Fuady, Munir, (2000), Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian 

Sengketa Bisnis , Citra Aditya Bhakti, Bandung

Goodpaster, Gary, (1995), Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa ,

artikel dalam Arbitrase di Indonesia , Ghalia Indonesia, Jakarta

Harahap, Yahya. M et al . (1991), Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta

Imamulhadi, (2002), Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan secara 

Elektronik , artikel dalam Cyberlaw Suatu Pengantar , ELIPS Project,

Jakarta

Page 48: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 48/49

48

Kuner, Christopher, (2000), Legal Obstacles to ADR in European 

Business-to-Consumer Electronic Commerce (article)

Kantaatmadja, Komar, (2001), Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR 

di Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung

Kantaatmadja, Mieke Komar, (2002), Pengaturan Kontrak untuk 

Perdagangan Elektronik, artikel dalam Cyberlaw Suatu Pengantar ,

ELIPS Project, Jakarta

Margono, Suyud, (2000), ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan 

Aspek Hukum , Ghalia Indonesia, Jakarta

Munir, Abu Bakar, (1999), Cyber Law Policies and Challenges ,

Butterworths Asia, Malaysia

Nolan-Haley, Jacqueline M, (1992), Alternative Dispute Resolution in a 

Nutshell, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, USA

Purbo, Onno, W. dan Wahyudi, Aang Arif, (2001), Mengenal E- 

Commerce, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Sanusi, Arsyad, M, (2001), Transaksi Bisnis dalam Elektronic Commerce 

(E. Commerce) Studi tentang Permasalahan-permasalahn Hukum 

dan Solusinya, artikel dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 16

Vol. 8, 2001

Toar, Agnes M, (1995), Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di 

Indonesia, artikel dalam Arbitrase di Indonesia , Ghalia, Jakarta

Ustadiyanto, Riyeke, (2001), Framework e-Commerce , Andi, Yogyakarta

Williams, Amy-Lyne, (2001), Dispute Resolution and Arbitration for 

Electronic Commerce  

Page 49: 1D MPSA e. Commerce

5/16/2018 1D MPSA e. Commerce - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/1d-mpsa-e-commerce-55ab581324e8b 49/49

49