19566116-Demam-BerdarahTrombositHematokrit

47
1 1 KORELASI NILAI TROMBOSIT DAN HEMATOKRIT DENGAN DERAJAT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) Kajian Retrospektif terhadap Penderita DBD di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin Periode 1 Januari-31 Desember 2006 Karya Tulis Ilmiah Diajukan guna memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Diajukan Oleh: Azeli Riswan I1A002019 UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEDOKTERAN BANJARBARU Pebruari, 2008

Transcript of 19566116-Demam-BerdarahTrombositHematokrit

1

1

KORELASI NILAI TROMBOSIT DAN HEMATOKRIT DENGAN

DERAJAT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

Kajian Retrospektif terhadap Penderita DBD

di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin

Periode 1 Januari-31 Desember 2006

Karya Tulis Ilmiah

Diajukan guna memenuhi sebagian syarat

untuk memperoleh derajat Sarjana Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat

Diajukan Oleh:

Azeli Riswan

I1A002019

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

BANJARBARU

Pebruari, 2008

2

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang disebabkan oleh 4

(empat) serotipe virus dengue (DEN 1,DEN 2,DEN 3, DEN 4 ) dan ditularkan

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (1). Demam berdarah

dengue dapat ditandai oleh manifestasi perdarahan (hemoragik) , trombositopenia dan

peningkatan permeabilitas vaskuler (2). Permeabilitas vaskuler yang meningkat

menyebabkan kebocoran plasma. Kebocoran plasma dapat menimbulkan sindrom

syok dengue (SSD) dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (3).

Demam berdarah dengue telah menjadi endemis di wilayah Asia dan Amerika,

jumlah kasusnya terus meningkat dan merupakan masalah kesehatan masyarakat

utama di daerah tropis dan subtropis. Demam berdarah dengue adalah salah satu

penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak di area endemis (3).

Setiap tahun diperkirakan 250.000 sampai 500.000 kasus DBD dilaporkan oleh

World Health Organization (WHO) (3). World Health Organization

merekomendasikan kepada negara endemis DBD agar dapat menurunkan Case

fatality rate (CFR) menjadi kurang dari 1% (4). Indonesia adalah salah satu negara

endemis DBD dan merupakan penyumbang kasus terbesar DBD di Asia Tenggara

sejak tahun 1968 hingga saat ini (5). Kejadian luar biasa (KLB) DBD terbesar terjadi

pada tahun 1998 dengan Incidence rate (IR) 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2

%. (1).

3

3

Epidemi demam berdarah dengue dilaporkan di Kalimantan Selatan pada tahun

1974 (6). Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan jumlah

kasus DBD pada tahun 2006 sebanyak 389 kasus. Jumlah kasus DBD secara nasional

tercatat dari 22 januari 2007 sebanyak 1.500 kasus dan sepuluh penderita meninggal

dunia sedangkan jumlah kasus DBD di Kalimantan Selatan selama Januari 2007

sebanyak 231 orang dan dua diantaranya meninggal dunia. (1).

Pedoman yang dipakai dalam menegakkan diagnosis DBD ialah kriteria yang

disusun oleh WHO tahun 1999. Kriteria tersebut terdiri atas kriteria klinis dan

laboratoris. Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan dua kriteria klinis dan

dua kriteria laboratoris. (7)

Pemeriksaan klinis yang lengkap disertai pemeriksaan laboratorium yang baik

dapat membantu menegakkan diagnosis DBD terutama bila gejala klinis kurang

memadai. Namun demikian, penegakkan diagnosis klinis tidak selalu mudah,

perjalanan penyakit demam berdarah sulit diprakirakan, penderita yang pada waktu

masuk keadaan umumnya tampak baik dalam waktu singkat dapat memburuk dan

menimbulkan kematian (8).

Jumlah trombosit rendah (trombositopenia) dan kebocoran plasma yang

ditandai dengan hemakonsentrasi merupakan indikator keparahan penyakit DBD (9).

Dua orang peneliti yakni Saito dan Tantracheewathorn mengungkapkan dalam

penelitian mereka bahwa diduga terdapat korelasi antara nilai trombosit dan

hematokrit dengan derajat DBD (10).

4

4

Sedangkan, penelitian Eva Harris dkk melaporkan adanya manifestasi tidak

khas DBD pada sejumlah pasien yang telah dikonfirmasi mengalami infeksi dengue,

pasien mengalami syok tanpa ditemukan adanya trombositopenia atau

hemokonsentrasi, hal itu tidak sesuai dengan kriteria yang diajukan WHO untuk

diagnosis DBD. Phoung dkk juga melaporkan hal serupa sehingga diperlukan

pengamatan klinis dan laboratoris yang cermat (11).

Untuk mengetahui kemungkinan perubahan pola manifestasi DBD tersebut

maka diperlukan penelitian terhadap korelasi nilai hematokrit dan trombosit dengan

derajat DBD di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana korelasi nilai trombosit

dan hematokrit dengan derajat DBD?.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi nilai trombosit

dan hematokrit pada penderita DBD di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD

Ulin Banjarmasin periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2006.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata jumlah trombosit,

rerata hematokrit, distribusi derajat DBD, korelasi jumlah trombosit terhadap derajat

DBD, dan korelasi hematokrit terhadap derajat DBD pada penderita DBD di

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode 1 Januari-31

Desember 2006.

5

5

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan informasi dalam

penatalaksanaan DBD yang tepat. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan

sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya demi perkembangan ilmu pengetahuan.

6

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam 5-7 hari disertai gejala

perdarahan dan bila timbul renjatan menimbulkan mortalitas cukup tinggi. Hasil

pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari

100.000) dan hematokrit cenderung meningkat lebih dari 20% dari normal(12).

B. Epidemiologi

Demam berdarah dengue telah menjadi endemis di 112 negara di wilayah tropis

dan subtropis yang meliputi benua Amerika, Eropa Selatan,Timur Tengah, Afrika

Utara, Asia, dan Australia serta pada beberapa pulau di Samudera Hindia, Pasifik

dan Karibia (13). Distribusi geografis DBD tersebar luas dan jumlah kasusnya terus

meningkat selama 3 dekade terakhir. Empat puluh persen dari populasi dunia ( 2.5-3

milyar orang) memiliki risiko terinfeksi, dan diprediksikan terjadi 50 juta infeksi

pertahun (2,3).

Setiap tahun diperkirakan 250.000-500.000 kasus DBD dengan mortalitas

sekitar 5% atau 25.000 kematian dilaporkan oleh World Health Organization (WHO)

(3).

7

7

Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyebab morbiditas dan

mortalitas pada anak di negara tropis dan subtropis. Sekitar 95% kasus DBD terjadi

pada anak usia <15 tahun dan 5% terjadi pada bayi (14).

Epidemi pertama kali di wilayah Asia Tenggara terjadi pada tahun 1954 di

Manila,Philipina. Selanjutnya secara berangsur-angsur menyebar ke negara yang

berdekatan. Pada tahun 2005 jumlah kasus DBD di Asia Tenggara cenderung

meningkat 19% dan mortalitas meningkat sekitar 43% dibandingkan tahun 2004 dan

Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus DBD untuk wilayah Asia Tenggara

(5).

Demam berdarah dengue masuk wilayah Indonesia tahun 1968. Kasus di

Indonesia pertama kali di laporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah

kematian sebanyak 24 orang (15). Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terbesar terjadi

pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2

% (1).

Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko terjangkit DBD karena virus

penyebab dan vektornya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas

umum. Laporan yang ada sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue sudah

menjadi masalah yang endemis pada 122 daerah tingkat II, 605 daerah kecamatan dan

1800 desa/kelurahan di Indonesia. Morbiditas DBD cenderung meningkat dari tahun

ke tahun, sebaliknya mortalitas cenderung menurun. Akhir tahun 60-an atau awal

tahun 70-an sebesar 41,3% menjadi berkisar antara 3-5% pada saat ini (1). World

Health Organization pada tahun 2004 merekomendasikan kepada negara endemis

DBD agar dapat menurunkan Case Fatality Rate (CFR) menjadi kurang 1% (5).

8

8

Epidemi demam berdarah dengue dilaporkan di Kalimantan Selatan pada tahun

1974 (14). Berdasarkan data kasus DBD Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan

Selatan tahun 2005 terdapat 341 kasus dan 9 diantaranya meninggal, dengan IR per

100.000 penduduk sebesar 9,3 dan CFR 2,6%. Pada tahun 2006 jumlah kasusnya

mengalami peningkatan menjadi 457 kasus dan 7 diantaranya meninggal, dengan IR

per 100.000 penduduk sebesar 12,45 dan CFR 1,53% (17).

Demam berdarah dengue dapat terjadi pada semua usia kehidupan, di Asia

Tenggara yang merupakan wilayah hiperendemis DBD seringkali terjadi pada anak di

bawah usia 15 tahun, di Indonesia penderita DBD terbanyak adalah anak usia 5-11

tahun. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita tetapi

kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki (16). Demam

berdarah dengue juga dapat terjadi pada semua ras (18).

Faktor yang berkaitan dengan kembalinya epidemi DBD antara lain

pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pengolahan limbah dan persediaan air, distribusi

vektor, kepadatan vektor dan transportasi (19,20):

C. Etiologi

Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue yang dapat dibedakan menjadi 4

strain yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group

B Arthropod borne viruses (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus

Flavivirus, famili Flaviviridae (1,13).

Virus dengue merupakan virus RNA untai tunggal. Virus ini hidup (survive) di

alam lewat dua mekanisme yaitu (15):

9

9

1. Melalui transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Dimana virus dapat ditularkan

oleh nyamuk betina dan telurnya yang nantinya akan menjadi nyamuk. Virus

juga dapat ditularkan dari nyamuk jantan kepada nyamuk betina melalui kontak

seksual.

2. Melalui transmisi virus yang berasal dari nyamuk masuk ke dalam tubuh

vertebrata seperti manusia dan kelompok kera tertentu atau sebaliknya.

Nyamuk mendapatkan virus pada saat menggigit manusia yang terinfeksi virus

dengue. Virus yang berada di lambung nyamuk akan mengalami replikasi, kemudian

akan bermigrasi dan akhirnya sampai ke kelenjar ludah (5).

Virus masuk tubuh manusia lewat gigitan nyamuk yang menembus kulit,

kemudian masuk sirkulasi darah dengan cepat (2,3).

Reaksi tubuh terhadap virus dengue dapat berbeda. Sehingga manifestasi gejala

klinis dan perjalanan penyakitpun akan berbeda. Bentuk reaksi tubuh terhadap adanya

virus dengue itu adalah seperti(15):

1. Mengendapnya bentuk netralisasi komplek Ig serum pada pembuluh darah kecil di

kulit berupa gejala ruam (rash).

2. Gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan jumlah dan

kualitas faktor koagulasi yang menimbulkan manifestasi perdarahan.

3. Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya komponen

plasma menuju ke ruang ekstravaskuler dengan manifestasi asites dan efusi pleura.

Jika tubuh manusia hanya memberi reaksi pertama dan kedua, orang itu akan

menderita demam dengue. Sementara, jika ketiga reaksi terjadi, orang itu akan

mengalami DBD (21). Pada tahun 1944 Sabin berhasil mengisolasi 2 jenis virus yang

10

10

berkaitan namun secara imunologis menimbulkan reaksi yang berbeda yakni yang

dikenal sekarang sebagai DEN-1 dan DEN-2 dari pasien yang secara klinis

terdiagnosis DBD. Kemudian pada tahun 1956 Hammon dkk, telah mengisolasi dua

serotipe baru virus dengue yang dinamakan sebagai DEN-3 dan DEN-4 selama

epidemi DBD di Philipina (22).

Survei virologi penderita DBD yang telah dilakukan di beberapa rumah sakit

Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995 melaporkan keempat serotipe

virus dengue yang berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun

berat. Selama 17 tahun, serotipe yang mendominasi ialah DEN 2 atau 3 namun virus

dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat (16).

D. Patofisiologi dan Patogenesis

Patogenesis DBD dan sindroma syok dengue (SSD) masih merupakan masalah

yang kontroversial karena sejauh ini belum ada suatu teori yang dapat menjelaskan

secara tuntas patogenesis demam berdarah dengue, namun dua perubahan

patofisiologi utama yang terjadi yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler dan

hemostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskuler yang meningkat mengakibatkan

kebocoran plasma, hipovolemi dan syok. Kebocoran plasma dapat menyebabkan

asites. Gangguan homeostasis dapat menimbulkan vaskulopati, trombositopeni dan

koagulopati, sehingga memunculkan manifestasi perdarahan seperti petekie,

ekimosis, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis dan melena.(5).

Secara garis besar ada dua teori yang banyak dianut untuk menjelaskan

perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu teori infeksi primer/teori virulensi

11

11

dan teori infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau teori infection

enhancing antibody (23).

Teori pertama menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain

dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan

replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik

dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi

virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan

wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan

wabah (1).

Teori tersebut dibuktikan oleh para peneliti di bidang virus yang mencoba

memeriksa sekuens protein virus. Penelitian secara molekuler biologi ini

mendapatkan hal yang menarik. Pada saat sebelum KLB, selama KLB dan setelah

reda KLB ternyata sekuens protein tersebut berbeda (16).

Teori kedua menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer

dengan satu jenis virus , akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi jenis virus

tersebut untuk jangka waktu yang lama tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi

sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat (23).

Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE),suatu

proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator

vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (1,16).

12

12

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous

infection dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang

pasien, respons limfosit T memori akan mengakibatkan proliferasi dan diferensiasi

limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu,

replikasi dapat juga terjadi dalam plasmosit. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan

aktivasi sistem komplemen yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah sehingga plasma keluar. Pada pasien dengan syok berat,

volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-

48 jam. Kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit dan

penurunan natrium. Akibat pindahnya plasma ke rongga tubuh seperti pleura dan

cavum abdominal dapat menimbulkan efusi pleura dan asites. Syok yang tidak

ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat

berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah

kematian. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris

(1,5).

13

13

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain

mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah

(Gambar 1.2), akhirnya dapat mengakibatkan perdarahan. Agregasi trombosit terjadi

sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat

satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo

endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

menyebabkan penglepasan platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulasi

Gambar 2.1 Patogenesis Terjadinya Syok Dengue (1)

14

14

intravaskular diseminata (KID), sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan yang

ditandai dengan peningkatan FDP (fibrin degradation product) (1,5).

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,

aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman akibatnya terjadi

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat

mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi

trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan

memperberat syok yang terjadi (1).

Gambar 2.2 Patogenesis Perdarahan pada DBD (1)

15

15

E. Manifestasi Penyakit DBD

1. Gejala Klinis

Demam berdarah dengue dapat memperlihatkan berbagai macam gejala antara

lain (18,4):

a. Gejala pada penyakit DBD diawali dengan demam mendadak dengan facial

flushing dan gejala-gejala konstitusional non-spesifik yang lain seperti anoreksia,

lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, sakit kepala (retroorbital pain), nyeri otot

,tulang dan sendi. Beberapa pasien mengeluh sakit tenggorokan, tapi rinitis dan

batuk jarang terjadi. Suhu biasanya tinggi (>39 °C) dan tetap seperti itu selama 2-7

hari. Kadang-kadang suhu dapat mencapai 40-41°C yang dapat menyebakann

kejang demam khususnya pada bayi.

b. Fenomena perdarahan yang paling umum adalah uji tourniquet positif, petekia,

ekimosis dan purpura. Epistaksis dan perdarahan gingiva jarang terjadi, perdarahan

gastrointestinal dapat diamati selama periode demam.

c. Hepatomegali (pembesaran hati). Hepar biasanya dapat dipalpasi pertamakali pada

fase demam dan ukurannya bermacam-macam yaitu 2-4 cm dibawah batas kosta.

Walaupun ukuran hepar tidak berkorelasi dengan berat penyakit, pembesaran hepar

ditemukan lebih sering pada kasus syok daripada non-syok. Limfadenofati pada

DBD bersifat generalisata.

d. Tahap kritis dari rangkaian penyakit didapatkan pada akhir fase demam. Setelah 2-

7 hari demam, penurunan cepat suhu acapkali diikuti tanda-tanda gangguan

sirkulasi. Pasien tampak berkeringat, menjadi gelisah, ekstrimitasnya dingin, dan

16

16

menunjukkan perubahan pada frekuensi denyut nadi dan tekanan darah. Pada kasus

yang kurang berat, perubahan ini minimal dan sementara, merefleksikan suatu

derajat ringan kebocoran plasma. Sebagian besar pasien sembuh spontan, atau

setelah periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus lebih berat, ketika

kehilangan banyak melampaui batas kritis maka syok pun terjadi dan berkembang

kearah kematian bila tidak ditangani secara tepat.

e. Sindroma syok dengue didiagnosa bila memenuhi semua dari empat kriteria untuk

DBD ditambah bukti kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lemah dan cepat dan

tekanan nadi menurun menjadi <20 mmHg, hipotensi, kulit lembab dan

dingin,gelisah serta perubahan status mental.

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pada DBD hasil pemeriksaan laboratorium umumnya memberikan hasil sebagai

berikut:

a. Leukopenia dan limfositosis

Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang

penderita DBD pada masa awal demam,terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan

hambatan pematangan dari semua sistem hemopoesis (16).

Pada penderita DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai leukositosis sedang.

Leukopenia dapat dijumpai antara hari pertama dan ketiga dengan hitung jenis yang

masih dalam batas normal. Jumlah granulosit menurun pada hari ketiga sampai

kedelapan. Dalam sediaan apus darah tepi penderita DBD dapat ditemukan limfosit

bertransformasi atau atipik, terutama pada infeksi sekunder (19).

b. Trombositopenia

17

17

Penyebab trombositopenia pada DBD antara lain diduga trombopoesis yang

menurun dan destruksi trombosit dalam darah meningkat serta gangguan fungsi

trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai

penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem

retikuloendotelial khususnya dalam limpa dan hati (19).

c. Hemokonsentrasi, hiponatremia, hipoalbuminemia

Hemakonsentrasi, hiponatremia, hipoalbuminea rendah adalah suatu tanda

hemokensentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma sebagai akibat

permeabilitas vaskuler yang meningkat (19).

d. PTT dan APTT memanjang, FDP meningkat.

Kompleks virus antibodi atau mediator dari fagosit yang terinfeksi virus pada

DBD dapat mengaktifkan sistem koagulasi, dimulai oleh aktivasi faktor XII menjadi

XIIa, faktor koagulasi kemudian akan diaktifkan secara berurutan mengikuti suatu

kaskade sehingga akhirnya terbentuk fibrin. Selain itu Faktor XIIa juga mengaktifkan

sistem fibrinolisis yang menyebabkan perubahan plasminogen menjadi plasmin.

Plasmin mempunyai sifat proteolitik dengan sasaran fibrin. Aktivasi sistem koagulasi

dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai faktor koagulasi

seperti fibrinogen,V,VII,VIII, IX dan X serta plasminogen. dan sebagai imbasnya

FDP meningkat, PTT dan APTT memanjang (13,16).

e. Aspartate transaminase dan alanine transaminase

Hepatitis atau nekrosis fokal pada hepar yang disebabkan oleh infeksi virus

dengue pada hepatosit menyebabkan peningkatan aspartate transaminase dan alanine

transaminase (13).

18

18

F. Diagnosis DBD

Pedoman yang dipakai dalam menegakkan diagnosis DBD ialah kriteria yang

disusun oleh WHO (1999) . Kriteria tersebut terdiri atas kriteria klinis dan laboratoris

(8).

Kriteria klinis terdiri atas:

1. Demam tinggi mendadak 2-7 hari, terus menerus.

2. Manifestasi perdarahan seperti uji torniquet positip, perdarahan spontan (bintik-

bintik merah dikulit, epitaksis/mimisan, perdarahan gusi dan perdarahan saluran

cerna).

3. Pembesaran hati

4. Manifestasi kebocoran plasma (hemokonsentrasi), mulai yang ringan seperti

kenaikan nilai hematokrit > 20% dibandingkan sebelumnya, sampai yang berat

yaitu syok (nadi cepat, lemah, kaki/tangan dingin, lembab, anak gelisah,

sianosis/kebiruan dan kencing berkurang).

Kriteria laboratoris terdiri atas:

1. Trombositopenia ( jumlah trombosit < 100.000/ul )

2. Hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit > 20%).

Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan dua kriteria klinis dan dua

kriteria laboratoris. (8)

Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:

a.. Derajat I: demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu-satunya tanda

perdarahan adalah tes torniquet positif atau mudah memar.

19

19

b. Derajat II: gejala derajat 1 ditambah dengan perdarahan spontan di kulit atau di

tempat lain.

c..Derajat III: Ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi ( nadi cepat, lemah,

hipotensi, kaki/tangan dingin, lembab, sianosis, anak menjadi gelisah)

d. Derajat IV: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan

darah yang tidak dapat diperiksa.

Untuk diagnosis pasti DBD dapat ditegakkan bila ditemukannya virus dengue di

dalam darah. Metode isolasi virus merupakan baku emas (gold standard)

pemeriksaan infeksi virus dengue (13).

Pengambilan darah idealnya harus diambil selama periode demam dan lebih baik

sebelum hari kelima sakit. Setelah spesimen diambil selanjutnya dilakukan kultur sel

dan akhirnya dapat diidentifikasi setelah 2-3 minggu. Keterbatasan metode ini adalah

sulitnya peralatan dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil,

sehingga isolasi virus hanya dilakukan untuk tujuan penelitan (23).

Karena isolasi virus sulit dilakukan sehingga uji serologis merupakan alternatif

yang sering dipakai dalam membantu diagnosis DBD. Pemeriksaan serologis

ditujukan untuk deteksi antibodi spesifik terhadap virus dengue berupa antibodi IgM

maupun IgG. Pemeriksaan yang banyak digunakan adalah berupa uji HI

(hemagglutination inhibition test = uji hambatan hemaglutinasi) yang merupakan

gold standard WHO untuk infeksi virus dengue (13,23).

Uji HI bertujuan untuk menetapkan titer antibodi anti-dengue yang dapat

menghambat kemampuan virus dengue mengaglutinasi sel darah merah angsa (13).

Uji ini membutuhkan sepasang serum dengan perbedaan waktu fase akut dan

20

20

konvalesen paling sedikit 7 hari, optimalnya 10 hari. Berdasarkan titer antibodinya,

uji HI dapat digunakan untuk membedakan infeksi primer dan sekunder (23).

Infeksi virus dengue akut ditandai dengan terdapatnya peningkatan titer empat

kali atau lebih antara sepasang serum yaitu serum akut dan serum konvalesen,

disamping itu titer ≥ 1:2560 menunjukkan interpretasi infeksi flavivirus sekunder

(13).

Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai bertahun-tahun, sehingga uji ini

baik untuk studi sero-epidemiologi (13,23).

21

21

Tabel 2.1 Interpretasi Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI) (23).

Kenaikan Titer Interval Serum I-II Titer konvalesen Interpretasi

≥ 4 kali ≥ 7 hari ≤ 1 : 1280 Infeksi flavivirus

akut, primer

≥ 4 kali Spesimen apapun ≥ 1 : 2560 Infeksi flavivirus

akut, sekunder

≥ 4 kali < 7 hari ≤ 1 : 1280 Infeksi flavivirus

akut, primer atau

sekunder

Tidak ada

Kenaikan

Spesimen apapun ≥ 1 : 2560 Infeksi Flavivirus

baru,sekunder

Tidak ada

Kenaikan

≥ 7 hari≥ 7 hari ≤ 1 : 1280 Bukan dengue

Tidak ada

Kenaikan

≥ 7 hari ≤ 1 : 1280 Tidak dapat

diinterpretasi

Tidak ada

Kenaikan

Spesimen tunggal ≤ 1 : 1280 Tidak dapat

diinterpretasi

G. Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding untuk DBD antara lain:

1. Campak

Penyakit campak disebabkan oleh virus campak, Genus Morbilivirus Famili

Paramyxoviridae dengan masa inkubasi selama 8-12 hari dan penularan melalui

aerosol (percikan batuk maupun bersin penderita). Gejala prodromal ditandai

22

22

dengan malaise, panas mencapai 38 ◦C berlangsung 7-10 hari, anoreksia batuk

pilek dan konjungtivitis. Patognomonis penyakit campak adalah adanya bercak

Koplik berupa bercak merah dengan warna putih ditengahnya di mukosa pipi

berhadapan dengan gigi molar kedua, dijumpai sekitar akhir masa prodromal,

tepat sebelum timbul ruam. Pada hari ke 3-7 hari sakit timbul ruam kemerahan

pada kulit yang menyebar keseluruh tubuh mulai di muka , kemudian meliputi

badan dan akhirnya mencapai ekstrimitas, akan tetapi telapak tangan dan kaki

tidak ditemukan adanya ruam tersebut. Setelah 1 minggu ruam itu pun kemudian

menghitam dan mengelupas. Dijumpai pula limfadenopati generalisata dan

hepatomegali ringan serta apendisitis (24).

2. Chikungunya

Chikungunya adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes

aegypti. Penyakit ini terdapat di daerah tropis, khususnya di perkotaan wilayah

Asia, India, dan Afrika Timur. Masa inkubasi diantara 2-4 hari dan bersifat self-

limiting dengan gejala akut (demam onset mendadak (>40°C,104°F), sakit kepala,

nyeri sendi (sndi-sendi dari ekstrimitas menjadi bengkak dan nyeri bila diraba,

mual, muntah,, nyeri abdomen, sakit tenggorokan, limfadenopati, malaise, kadang

timbul ruam, perdarahan juga jarang terjadi) berlangsung 3-10 hari. Gejala diare,

perdarahan saluran cerna, refleks abnormal, syok dan koma tidak ditemukan pada

chikungunya. Sisa arthralgia suatu problem untuk beberapa minggu hingga

beberapa bulan setelah fase akut. Kejang demam bisa terjadi pada anak. Belum

ada terapi spesifik yang tersedia, pengobatan bersifat suportif untuk demam dan

nyeri (analgesik dan antikonvulsan) (25).

23

23

3. Malaria

Malaria adalah penyakit menular yang dapat bersifat akut maupun kronik,

disebabkan oleh protozoa intraselular obligat Plasmodium falciporum, P. vivax,

P. ovale, dan P. malariae yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina.

Penularan juga dapat terjadi melalui tranfusi darah, transplantasi organ, dan

transplasenta. Masa inkubasi 1-2 minggu, tetapi kadan-kadang lebih dari setahun.

Gejala malaria yaitu demam, menggigil, malaise, anoreksia, mual, muntah, diare

ringan, sakit kepala, pusing, mialgia, nyeri tulang. Peningkatan suhu dapat

mencapai 40 derajat, bersifat intermitten yaitu demam dengan suhu badan yang

mengalami penurunan ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari

diantara periode kenaikan demam. Periode timbulnya demam tergantung pada

jenis plasmodium yang menginfeksi. Pada malaria juga dapat ditemui

hepatomegali, splenomegali,anemia, ikterus, dan dehidrasi. Pada pemeriksaan

laboratorium umumnya ditemukan anemia, leukopenia, dan trombositopenia (26).

4. Demam tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman

Salmonella typhi. Penularan tifoid biasanya melalui makanan atau minuman yang

terkontaminasi feses. Masa inkubasi tifoid sangat berbeda, berkisar dari 3-60 hari.

Gejala awal penyakit adalah demam(peningkatan suhu hingga 40◦C) terutama

sore atau malam hari, kedinginan, malaise, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk,

dan kadang-kadang sakit perut dan konstipasi atau diare. Sebagai perkembangan

penyakit, umumnya didapatkan kelemahan, distensi abdomen,

hepatosplenomegali, anoreksia, dan kehilangan berat badan. . Tanda penting

24

24

yang ditemui antara lain agak tuli, lidah tifoid (tremor, tengah kotor, tepi

hiperemis, nyeri tekan/spontan pada perut di daerah Mc Burney (kanan bawah).

Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leukopenia, limfositosis relatif.

Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan (27).

H. Komplikasi

Demam berdarah dengue dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati,

kegagalan fungsi hati,miokarditis, gagal ginjal akut, sindroma uremik akut dan DIC

yang menyebabkan perdarahan massif. Komplikasi tersebut umumnya jarang terjadi

(13).

I. Prognosis

Demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak

dideteksi lebih dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring

trombosit dan hematokrit maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit

<100.000/ul dan hematokrit meningkat waspadai DSS (22).

J. Penatalaksanaan

Pengobatan simptomatik dan suportif merupakan terapi efektif pada penderita

DBD. Terapi simptomatik yakni pemberian analgetik (parasetamol), kompres hangat.

Terapi suportif antara lain penggantian (replacement) cairan, pemberian oksigen dan

jika diperlukan dapat dilakukan tranfusi darah. Pemantauan tanda vital (tekanan

darah, nadi, respirasi), hematokrit, trombosit, elektrolit, kecukupan cairan, urine

25

25

output, tingkat kesadaran, dan manifestasi perdarahan berguna untuk mengetahui

perkembangan penyakit (13).

K. Pencegahan

Sampai saat ini belum ada obat spesifik atau vaksin yang tersedia untuk

mematikan virus dengue. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada

pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut

dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat yaitu (1,19,28) :

1. Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan perkembangbiakan vektor yakni

dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) :

a. Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.

b. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.

c. Menutup dengan rapat tempat penampungan air.

d. Mengubur kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah.

2. Biologis

Metode kontrol biologi ditujukan untuk stadium larva dari vektor. Pengendalian

biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik seperti Gambusia

affinis dan Poecilia reticulate (ikan adu/ikan cupang), bakteri penghasil endotoksin

(Bacills thuringiensis serotipe H-14 dan Bacillus sphaericus) (13).

3. Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan:

26

26

- Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna

untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

Pengasapan secara luas digunakan dengan alasan harga.

- Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti

gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup,

menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara

ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,

memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang

obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.

27

27

BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESA

A. Landasan Teori

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 dengan manifestasi klinis demam 5-7

hari disertai gejala perdarahan, bila timbul renjatan risiko kematiannya meningkat.

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopeni (trombosit kurang dari

normal) dan hematokrit cenderung meningkat lebih dari 20% dari normal (12).

Demam berdarah dengue dapat disertai syok atau tanpa syok. Demam

berdarah tanpa syok dimasukkan dalam derajat I dan II, sedangkan bila disertai syok

termasuk derajat III dan IV atau sering disebut Sindroma Syok Dengue (SSD) (23).

Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan yaitu:

derajat 1, demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu-satunya tanda perdarahan

adalah tes torniquet positip atau mudah memar; derajat 2, gejala derajat 1 ditambah

dengan perdarahan spontan di kulit atau di tempat lain; derajat 3, ditemukan tanda-

tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi cepat dan lemah, hipotensi, kaki atau tangan

dingin dan lembab, sianosis, anak menjadi gelisah; dan derajat 4, terjadi syok berat

dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat diperiksa (1).

Nilai trombosit dan hematokrit diduga memilliki korelasi terhadap derajat DBD

(29). Bahkan prediksi probabilitas kematian penderita menurut umur dan tingkat

beratnya penyakit menunjukkan bahwa semakin muda penderita dan semakin berat

derajat penyakit, semakin besar pula risiko kematiannya (28).

28

28

Trombosit <100.000 derajat 1

derajat 2

derajat 3

Hematokrit ↑ derajat 4

>20% normal

Memiliki korelasi

Gambar 3.1 Skema hubungan antara nilai trombosit dan hematokrit dengan derajat

DBD

B. Hipotesa

Pada penelitian ini dihipotesiskan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara

jumlah trombosit dan hematokrit terhadap derajat DBD.

29

29

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif retrospektif.

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah pasien DBD di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan

kriteria inklusi meliputi:

1. kriteria klinis dan laboratoris DBD

2. umur 0-14 tahun

3. tanggal dirawat di Bagian/SMF Anak RSUD Ulin Banjarmasin antara 1Januari-31

Desember 2006.

Kriteria eksklusi yakni pasien yang tidak memenuhi kriteria klinis dan

laboratoris DBD menurut WHO.

C. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini meliputi:

1. derajat DBD

2. nilai hematokrit

3. nilai trombosit

30

30

D. Definisi Operasional

1. Penderita DBD adalah orang yang didiagnosis menderita DBD pada status rekam

medis RSUD Ulin Banjarmasin oleh dokter berdasarkan kriteria WHO 1999.

2. Umur penderita DBD adalah lama waktu hidup penderita saat masuk rumah sakit

dan menurut ketentuan WHO batasan umur untuk mengetahui frekuensi penyakit

digolongkan menjadi < 1 tahun, 1 – 4 tahun, 5 – 9, tahun, dan 10 – 14 tahun.

3. Derajat DBD yaitu tingkat berat ringannya penyakit secara klinis, diukur oleh

dokter sesuai gradasi yang ditetapkan WHO (derajat 1, derajat 2, derajat 3 dan

derajat 4) dan datanya terdokumentasi pada rekam medik penderita DBD yang

diteliti.

4. Hematokrit adalah prosentasi volume eritrosit dalam darah dan datanya terlampir

pada rekam medik penderita DBD yang diteliti.

5. Jumlah trombosit adalah hasil hitung trombosit yang dianalisa melalui alat hitung

trombosit otomatis dan datanya terdokumentasi pada rekam medik penderita DBD

yang diteliti.

E. Prosedur Penelitian

Nomor registrasi semua penderita DBD selama periode penelitian di bagian

rawat inap unit kesehatan anak RSUD Ulin Banjarmasin dilakukan pencatatan.

Kemudian sesuai dengan nomor registrasi tersebut dicari kartu status penderita di

bagian Rekam Medik RSUD Ulin Banjarmasin. Data yang diperoleh dari kartu status

tersebut dibuat catatan yang meliputi nama pasien, jenis kelamin, umur, tanggal

dirawat, derajat DBD dan hasil laboratorium berupa jumlah trombosit dan hematokrit.

31

31

F. Cara Pengumpulan dan Pengolahan Data

Data penelitian didapatkan dari buku registrasi dan kartu status penderita

DBD yang dirawat di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin Banjarmasin

periode 1 Januari – 31 Desember 2006.

Data penelitian yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan dan ditabulasi

dalam tabel dan diolah dalam bentuk distribusi frekuensi. Tabel tersebut memuat

rerata nilai trombosit, rerata nilai hematokrit dan distribusi derajat DBD berdasarkan

umur, jenis kelamin dan bulan.

G. Cara Analisis Data

Setelah data disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalis statistik Korelasi

Spearman dengan tingkat kepercayaan 95% dan diproses dengan komputerisasi.

H. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bagian Rekam Medik dan Bagian Administrasi

ruang rawat inap anak RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Pebruari sampai dengan

Mei 2007.

32

32

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan jumlah penderita

DBD di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode 1 Januari-31 Desember 2006

sebanyak 48 orang. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan penderita DBD terbanyak

adalah anak perempuan sebesar 31 orang, sedangkan pada anak laki-laki sebesar 17

orang. Kelompok umur yang terbanyak terkena DBD adalah usia 5-9 tahun seperti

yang dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi kasus DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin pada

penderita DBD di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode 1 Januari-

31 Desember 2006

Umur

(tahun)

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-

laki

Wanita

<1 1 3 4

1-4 1 6 7

5-9 13 18 31

10-14 2 4 6

Jumlah 17 31 48

Sebanyak 24 orang atau 50% dari total penderita DBD berdasarkan kriteria

DBD WHO digolongkan derajat I. Derajat II terdapat pada 25% penderita DBD atau

33

33

12 orang, demikian pula derajat III sebesar 25% penderita DBD atau 12 orang. Pada

penelitian ini tidak ditemukan penderita DBD derajat IV (syok berat) seperti yang

ditunjukkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi kasus DBD berdasarkan derajat DBD dan jenis kelamin pada

penderita DBD di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode 1 Januari-

31 Desember 2006

Phoung dkk pada penelitian mereka menemukan bahwa semakin muda usia

penderita DBD maka semakin besar pula kemungkinan mengalami syok dan anak

perempuan mempunyai risiko lebih besar terkena DSS dibandingkan anak laki-laki

(3). Sarwanto menyatakan bahwa faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap

terjadinya kematian pada anak karena DBD adalah umur, kecepatan rujukan ke

rumah sakit untuk penanganan segera, beratnya penyakit, jenis kelamin, dan status

gizi. Hanya umur dan beratnya penyakit yang berpengaruh secara bermakna (28).

Banyaknya jumlah penderita DBD derajat I dibandingkan derajat II dan III

yang ada di RSUD Ulin Banjarmasin menunjukkan bahwa sudah cukup tinggi

kewaspadaan masyarakat terhadap gejala demam berdarah, sehingga mereka lebih

Derajat

DBD

Jenis Kelamin

Jlh kasus (N)=

48 (100%)

Laki-

laki

Wanita

I 6 18 24 ( 50%)

II 5 7 12 ( 25%)

III 5 7 12 ( 25%)

IV - - -

34

34

cepat datang untuk berobat ke Rumah Sakit. Sedangkan tidak ditemukannya penderita

DBD derajat IV di RSU Ulin Banjarmasin ini kemungkinan dikarenakan penanganan

yang sudah tepat oleh tenaga medis RSUD Ulin Banjarmasin sehingga tidak sampai

mengarah pada kasus syok berat. Volume cairan intravena yang diberikan untuk

mencegah syok hipovolemik pada penderita DBD secara bermakna lebih besar

diperlukan daripada penderita demam dengue, sehingga diduga besarnya pemberian

cairan intravena untuk mencegah DSS secara bertahap dapat menyebabkan penurunan

hematokrit pada pederita DBD dan pada akhirnya menghambat progresifitas

penyakit (2).

Pada gambar 5.1 terlihat fluktuasi kasus DBD berdasarkan saat terjadinya

penyakit dalam periode bulan. Pada bulan Januari merupakan puncak kasus DBD,

kemudian menurun pada Pebruari, Maret, April dan mengalami peningkatan kasus

lagi pada bulan Mei,seterusnya periode Juni sampai dengan Desember jumlah kasus

DBD menurun dan tidak lagi melampaui kasus pada periode sebelumnya.

35

35

Gambar 5.1 Distribusi kasus DBD berdasarkan bulan di Bagian/SMF Anak RSUD

Ulin Banjarmasin periode 1 Januari- 31 Desember 2006.

Distribusi frekuensi hematokrit dan trombosit tidak normal sehingga untuk

ukuran pemusatan menggunakan modus.

Pada penderita DBD derajat I didapatkan modus hematokrit dan trombosit

masing-masing 27,2 dan 51000 seperti dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Hematokrit dan trombosit pada penderita DBD Derajat I

Jumlah

pasien Minimum Maksimum Modus

Hematokrit 24 27,20 48,10 27,2

Trombosit 24 8000 472000 51000

Pada penderita DBD derajat II didapatkan modus hematokrit dan trombosit

masing-masing 30,4 dan 45000 dapat dilihat pada tabel 5.4.

36

36

Tabel 5.4 Hematokrit dan trombosit pada penderita DBD Derajat II

Jumlah

pasien

Minimum Maksimum Modus

Hematokrit 12 30,4 62,3 30,4

Trombosit 12 16000 87000 45000

Pada penderita DBD derajat III didapatkan modus hematokrit dan trombosit

masing-masing 40 dan 37000 dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Nilai hematokrit dan trombosit pada penderita Derajat III DBD

Jumlah

pasien Minimum Maksimum Modus

Hematokrit 12 34,4 47,7 40

Trombosit 12 12000 498000 37000

Untuk uji korelasi dipakai uji korelasi Spearman karena data yang digunakan

tidak normal hasilnya, didapatkan nilai signifikan 0.021 yang menunjukkan bahwa

korelasi antara trombosit dan derajat DBD adalah bermakna (p<0.05). Nilai korelasi

Spearman (r) sebesar -0.333 menunjukkan arah korelasi negatif dengan kekuatan

korelasi yang lemah (0.20-0.399).

Hasil analisis statistik korelasi Spearman antara hematokrit dengan derajat

DBD, didapatkan nilai signifikan 0,036 yang menunjukkan bahwa korelasi antara

hematokrit dan derajat DBD adalah bermakna (p<0,05). Nilai korelasi Spearman (r)

sebesar 0,303 menunjukkan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang

lemah (0,20-0,399).

37

37

Jumlah trombosit rendah (trombositopenia) dan kebocoran plasma yang

ditandai dengan hemokonsentrasi merupakan indikator keparahan penyakit DBD (9).

Rendahnya trombosit berhubungan dengan peningkatan hematokrit pada kasus DBD.

Dua orang peneliti yakni Saito dan Tantracheewathorn mengungkapkan dalam

penelitian mereka bahwa diduga terdapat korelasi antara trombosit dan hematokrit

dengan derajat DBD (10).

Sedangkan, penelitian Eva Harris dkk melaporkan adanya manifestasi tidak

khas DBD pada sejumlah pasien yang telah dikonfirmasi mengalami infeksi dengue,

pasien mengalami syok tanpa ditemukan adanya trombositopenia atau

hemokonsentrasi, hal itu tidak sesuai dengan kriteria yang diajukan WHO untuk

diagnosis DBD. Phoung dkk juga melaporkan hal serupa sehingga diperlukan

pengamatan klinis dan laboratoris yang cermat (11).

Penyebab trombositopenia pada DBD antara lain diduga trombopoesis yang

menurun dan destruksi trombosit dalam darah meningkat serta gangguan fungsi

trombosit. Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai

penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh sistem

retikuloendotelial khususnya dalam limpa dan hati. Sedangkan hemokonsentrasi

disebabkan oleh kebocoran plasma sebagai akibat permeabilitas vaskuler yang

meningkat (19).

Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna antara trombosit dan

hematokrit terhadap derajat DBD. Seperti yang telah diketahui, diagnosis derajat

DBD ada 4 berdasarkan gejala klinis yang ditemukan . Berdasarkan kriteria itu, tidak

ada klasifikasi khusus untuk pembagian derajat DBD berdasarkan batasan nilai

38

38

trombosit maupun nilai hematokrit tertentu. Berapapun nilai trombosit maupun

hematokritnya, asalkan menunjukkan nilai trombosit <100.000/uL dan nilai

hematokrit meningkat > 20% serta memenuhi gejala klinis DBD sesuai kriteria WHO

(8), maka pasien didiagnosis DBD sesuai klasifikasi derajat tersebut. Begitu pula data

yang didapatkan pada rekam medis pasien anak di RSUD Ulin Banjarmasin ini,

pembagian derajat DBD didasarkan pada gejala klinis tanpa melihat batasan nilai

trombositopenia dan hemokonsentrasi tertentu. Selain itu, data yang didapatkan

dalam penelitian ini tidak begitu banyak. Hal ini juga diperkirakan mempengaruhi

hasil penelitian ini.

39

39

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bagian Rekam Medik dan Bagian

Administrasi ruang rawat inap anak RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Pebruari

sampai dengan Mei 2007 dengan data penelitian sebanyak 48 data rekam medik

diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Lima puluh persen dari total data penelitian adalah penderita DBD derajat

1, sedangkan penderita DBD derajat 2 dan 3 masing-masing sebesar 25

persen.

2. Pada penderita DBD derajat 1 didapatkan modus hematokrit dan trombosit

masing-masing 27,2 dan 51000.

3. Pada penderita DBD derajat 2 didapatkan modus hematokrit dan trombosit

masing-masing 30,4 dan 45000.

4. Pada penderita DBD derajat 3 didapatkan modus hematokrit dan trombosit

masing-masing 40 dan 37000.

5. Terdapat korelasi yang bermakna antara trombosit dan derajat DBD dengan

kekuatan korelasi yang lemah serta arah korelasi negatif.

6. Terdapat korelasi yang bermakna antara hematokrit dan derajat DBD

dengan kekuatan korelasi yang lemah serta arah korelasi positif.

40

40

B. Saran

Dilakukan tindak lanjut dari hasil penelitian ini untuk menganalisis korelasi

hasil pemeriksaan darah rutin berupa angka eritrosit, leukosit, limfosit dan Hb dengan

derajat DBD

41

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Kristina, Isminah, Wulandari L. Demam berdarah dengue. Badan Litbang Depkes

RI 2004;(online), (http://www.litbang.depkes.go.id/index.htm, diakses 22 Maret

2007).

2. Carlos CC, Oishi K, Cincio MTDD, Mapua CA, Inoue S, Cruz DJM et al.

Comparison of clinical features and hematologic abnormalities between dengue

fever and dengue hemorrhagic fever among children in the Philippines. The

American Society of Tropical Medicine and Hygiene 2005; 73(2):435-440.

3. Phuong CXT, Nhan NT, Kneen R, Thuy PT, Thien CV, Nga NTT et al. Clinical

diagnosis and assessment of severity of confirmed dengue infections in

Vietnamese children: is the World Health Organization classification helpful?. The

American Society of Tropical Medicine and Hygiene 2004;70(2):172-179.

4. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment,

prevention and control. 2nd

ed. Geneva: WHO,1997.

5. WHO Regional Office for South Asia. Dengue. South East Asia Region 2006;

(online),http://www.searo.who.int/EN/Section10/Section332_1103.htm,diakses 26

Pebruari 2007).

6. Sya’roni, A. Demam berdarah dengue, prevalensi dan fluktuasi dalam 10 tahun

(1991-2000) di bagian penyakit dalam FK UNSRI/RSMH Palembang, Indonesia.

JKK 2004; 36(1):684-688.

7. Wichmann O, Gascon J, Schunk M, Puente S, Sikamaki H, Gjorup, et al. Severe

dengue infection in travelers: risk factor and laboratory indicator. The Journal of

Infectious Diseases 2007; 195:1089–96.

8. Tantracheewathorn T. Risk factors of dengue shock syndrome in children. J. Med

Assoc Thai 2007;90(2):272-7

9. Harris E, Videa E, Sandoval, Perez MDA, Cuadra R, Rocha J, et al. Clinical,

epidemiologic, and virologic fetures of dengue in the 1998 epidemic in Nicaragua.

American Society of Tropical Medicine and Hygiene 2000;63(1,2):5-11.

10. Kaspan MF, Soejoso DA,Soegijanto S, Ismoedijanto, Parwati Sb, Widodo D.

Tatalaksana penderita demam berdarah dengue klasik dan demam berdarah

dengue. Pedoman diagnosis dan terapi. Surabaya: Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Dokter Soetomo,1994.

42

42

11. MalavigeGN, Fernando S, Fernando DJ, Seneviratne SL. Dengue viral infection.

Post grad Med J 2004;80:588-601.

12.Hung NT, Lan NT, Lei HY, Lin YS, Lien LB, Huang KJ et al. Association

between sex, nutritional status, severity of dengue hemorrhagic fever, and

immune status in infants with dengue hemorrhagic fever. The American Society

of Tropical Medicine and Hygiene 2005; 72(4): 370-374.

13. Sukri NC, Laras N, Wandra T, Larasati SD, Didi S, Rachdyatmaka JR et al.

Transmission of epidemic dengue hemorrhagic fever in Easternmost Indonesia.

The American Society of Tropical Medicine and Hygiene 2003;68(5):529–535.

14. Rezeki S, Satari HI. Demam berdarah dengue. Jakarta: FKUI, 2002.

15. Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Per Kab/Kota Propinsi

Kalimantan Selatan Tahun 2006. Banjarmasin: Dinas Kesehatan Propinsi

Kalimantan Selatan,2007.

16. Shepherd SM, Hinfey PB. Dengue fever. Emedicine 2006;(online),

(http://www.emedicine.com/med/topic528.htm, diakses 16-03-2007).

17. Dublish V,Shah I. Dengue and dengue hemorrhagic fever/dengue shock

syndrome.Pediatric 2006;(online),(http://www.emedicine.com/med/topic528.htm,

diakses 16-03-2007).

18.Anonymous.Dengue.CDC,2005;(online),(http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/

dengue/index htm, diakses 26-02-2007).

19. Silalahi L. Demam berdarah di Indonesia. Tempointeraktif 2004;(online),

(http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/03/28/nrs,2004032801,id.html,

diakses 26-02-2007).

20. Collins F, Duane J, Gubler, Hayes EB. Dengue and dengue hemorrhagic fever.

CDC1992; (online), (http://www.cdc.gov/search.htm, diakses 16-03-2007).

21. Aryati. Diagnosis laboratorium DBD terkini. Medicinal Jurnal Kedokteran 2004;

4(5):13-19.

22. FennellyGJ.Measles. Emedicine 2006;(online),(http://www.emedicine.com/asp/

emed.css, diakses 05-04-2007).

23. Anonymous.Chikunguya.CBWInfo.com1999; (online), (http://www.google.com/,

diakses 26-02-2007).

43

43

24. Mehta PN. Malaria. Emedicine 2006; (online), (http://cme.emidicine.com/wc,

diakses 22-02-2007)

25. Anonymous. Typhoid and paratyphoid fever. CDC 1999; (online),

(http://www.google.com/, diakses 26-02-2007).

26. Farouk H. Demam berdarah, pemberantasan dan pencegahannya ditinjau dari

sudut Kesehatan Masyarakat. JKK 2004;36(4):912-913.

27. Rachman A, Rinaldi I. Coagulopathy in dengue infection and the role of

interleukin-6. Acta Med Indonesian J Intern Med 2006; 28(2): 105-108.

28. Saito M, Oishi K, Inoue S, Dimaano EM, Alera MT, Robles AM, et al.

Association of increased platelet-associated immunoglobulins with

thrombocytopenia and the severity of disease in secondary dengue virus

infections. Clin Exp Immunol 2004;138:299–303.

29. Sarwanto. Kematian karena DBD pada anak dan faktor penentunya.Badan

Litbang Depkes 2004; (online), (http://www.google.com/, diakses 22-03-2007).

44

44

LAMPIRAN

45

45

1. Gejala klinis DBD pada pasien DBD di Bagian/SMF Anak RSUD Ulin

Banjarmasin periode 1 Januari-31 Desember 2006.

No. Gejala Klinis N= 48 (%)

1. Demam 48(100)

2. Muntah 24(50)

3. Ptekie 22(45)

4. Sakit perut 20(41)

5. Epistaksis 12(25)

6. Rumpel Lede (+) 11(22)

7. Sakit kepala 10(20)

8. Batuk 6(12)

9. Anoreksia 4(8)

10. Hematemesis

melena

4(8)

11. Pusing 3(6)

12. Edema palpebrae 3(6)

13. Ruam 2(4)

14. Diare 2(4)

15. Hepatomegali 2(4)

16. Mual 2(4)

17. Asites 2(4)

18. Menggigil 1(2)

46

46

19. Efusi pleura 1(2)

20. Nyeri ulu hati 1(2)

21. Lemah 1(2)

22. Konstipasi 1(2)

23. Athralgia 1(2)

24. Hematochezia 1(2)

25. Sakit

tenggorokan 1(2)

26. Perdarahan gusi 1(2)

27. Myalgia 1(2)

2. Interpretasi hasil uji korelasi didasarkan pada nilai p, kekuatan korelasi, serta arah

korelasinya. Panduan lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p,

dan arah korelasi

No Parameter Nilai Interpretasi

1 Kekuatan korelasi

(r)

0,00-0,199

0,20-0,399

0,40-0,599

0,60-0,799

0,80-1,000

Sangat lemah

Lemah

Sedang

Kuat

Sangat kuat

2 Nilai p P<0,05

p>0,05

Terdapat korelasi yang bermakna

antara dua variabel yang diuji

Tidak terdapat korelasi yang

bermakna antara dua variabel

yang diuji

3 Arah korelasi + (positif)

- (negatif)

Searah, semakin besar nilai suatu

variabel, semakin besar pula nilai

variabel lainnya

Berlawanan arah, semakin besar

nilai satu variabel, semakin kecil

47

47

nilai variabel lainnya

3. Hasil analisis statistik korelasi Spearman trombosit dengan derajat DBD

Trombosit DerajatDBD

Spearman's rho Trombosit Koefisien Korelasi 1,000 -,333(*)

Sig. (2-arah) . ,021

N=jumlah pasien 48 48

DerajatDBD Koefisien Korelasi -,333(*) 1,000

Sig. (2-arah) ,021 .

N=jumlah pasien 48 48

* Korelasi bermakna pada level 0.05 (2-arah).

4. Hasil analisis statistik korelasi Spearman hematokrit dengan derajat DBD

Hematokrit DerajatDBD

Spearman's rho Hematokrit Koefisien Korelasi 1,000 ,303(*)

Sig. (2-arah) . ,036

N= jumlah pasien 48 48

DerajatDBD Koefisen Korelasi ,303(*) 1,000

Sig. (2-arah) ,036 .

N =jumlah pasien 48 48

* Korelasi bermakna pada level 0.05 (2-arah).