176554984 Al Quran Dan Perempuan

download 176554984 Al Quran Dan Perempuan

of 22

description

bias gender

Transcript of 176554984 Al Quran Dan Perempuan

Al-Qur'an tentang perempuan

Al-Qur'an tentang perempuanSalah satu karya yang cukup jernih yang membicarakan kedudukan perempuan dalam pandangan al-Qur'an ditulis oleh Amina Wadud-Muhsin. Dalam kesimpulannya Amina mengatakan bahwa bila nilai-nilai semisal keadilan, kewajaran, harmoni, tanggungjawab moral, kesadaran spiritual, dan kemajuan telah menjadi kenyataan, maka tujuan al-Qur'an untuk kepentingan masyarakat telah tercapai. Persoalannya adalah bahwa nilai-nilai itu di banyak negeri Muslim belum seluruhnya di bawa turun ke bumi, terutama yang menyangkut keadilan dan kewajaran. Perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang merugikan perempuan tetap saja bertahan sampai sekarang, karena memang pada umumnya juru tafsir itu adalah laki-laki

Salah satu ayat yang sering dikutip tentang superiornya posisi laki-laiki adalah: "Kaum laki-laki qawwamuna atas kaum perempuan." Saya ingin berkonsentrasi untuk memahami ayat ini serta implikasinya terhadap posisi perempuan dalam masyarakat. Setelah membuka beberapa tafsir al-Qur'an, kelasik dan kontemporer, memang penafsiran terhadap ayat itu bervariasi, bahkan ada yang ekstrem, seperti dalam al-Jalalain perkataan qawwamuna diartikan musallithun (penguasa). Jadi menurut pandangan ini kaum laki-laki adalah penguasa atas perempuan. Yang lebih moderat diberikan misalnya oleh al-Thabari, qawwamuna 'ala al-nisa' diartikan sebagai ahlu qiyam 'ala nisaihim fi ta'dibihinna (orang yang bertanggungjawab dalam pendidikan isteri-isteri mereka). Tetapi karena pengaruh perubahan sosial yang cepat menjadi tidak mustahil pula bahwa pihak isterilah yang berperan mendidik sang suami. Menurut al-Thabari, ayat ini berkaitan dengan persoalan keluarga, bukan dengan urusan publik. Mufassir Muhammad Asad mengartikan qawwamuna (bentuk mufrad: qawwam) sebagai "bentuk intensif dari qaim: orang yang bertanggungjawab untuk atau yang menjaga sesuatu/seseorang). Tafsir Dep. Agama mengartikan qawwamuna dengan pemimpin. Jadi "kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggungjawab penuh terhadap kaum wanita yang menjadi isteri dan yang menjadi keluarganya." Seperti halnya al-Thabari, tafsir Depag mengalamatkan ayat 34 surat al-Nisa' itu untuk lingkungan rumah tangga sebagai tanggungjawab suami terhadap isteri dan keluagranya. Tampaknya tafsiran moderat jauh lebih adil, wajar, dan proporsional.Namun masalah akan muncul, jika pencari nafkah itu tidak semata-mata suami. Isteri juga turut serta dalam menghidupi keluarga. Bahkan dalam dalam kasus-kasus tertentu, bolehjadi isteri sebagai pencari nafkah dan suami sebagai pengasuh anak dan pemelihara perkutut di rumah, di mana letak posisi kepemimpinan kaum laki-laki di sini? Tentu diperlukan pemikiran lebih jauh, sebab kita tidak boleh menyangkal fakta. Sikap adil dan wajar adalah kunci dalam memahami suatu ayat bila digumulkan dengan realitas sosial tertentu.

Sebenarnya dari segi keutamaan, komitmen terhadap ajaran agama dan tugas-tugas publik, prinsip kesetaraan gender didukung sepenuhnya oleh al-Qur'an. Ayat di bawah ini adalah salah bukti yang kuat:

"Dan orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan, mereka adalah penolong terhadap satu sama lain; mereka menyuruh berbuat baik dan melarang perbuatan jahat; mereka dirikan salat, bayarkan zakat, dan taat kepada Allah dan rasulNya. Mereka akan mendapat rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah itu gagah, bijaksana."

Ayat ini dengan gamblang menegaskan tentang kesetaraan gender dalam ruang-lingkup pergaulan yang sangat luas. Ayat lain semakin memperkuat asumsi dasar kita di atas: "Barangsiapa yang berbuat baik, laki-laki dan perempuan, dan mereka beriman, semuanya akan masuk surga; dan mereka tidak akan dianiaya sedikit pun." Berdasarkan dua ayat ini saja, terlihat oleh kita bahwa dua makhluk berlain jenis itu diberi peluang yang sangat luas untuk mengembangkan kariernya masing-masing dalam batas-batas kemanusiaan mereka. Ungkapan al-rijal qawwamuna 'ala al-nisa' tidak dapat dijadikan hujjah untuk menjegal pengembangan karier kaum perempuan itu. Yang dipesankan agama adalah agar masing-masing pihak menjaga diri dalam kesopanan dan etika pergaulan hingga terhindar dari segala macam fitnah yang dapat menghancurkan bangunan sebuah keluarga.

Namun dalam masalah yang sangat khusus di mana prinsip kesetaraan gender itu tidak berlaku, yaitu dalam urusan mengandung dan melahirkan anak yang sepenuhnya dimonopoli oleh perempuan. Persoalan yang satu ini jangan dianggap enteng. Salah-salah dalam mengarahkan gerakan liberasi perempuan, akibatnya akan sangat jauh dan fatal.

Cobalah bayangkan, misalnya, pada suatu hari semua perempuan menolak dihamili suaminya, maka eksistensi spesies manusia akan berada dalam bahaya besar: mengalami kemusnahan dan kepunahan. Roda peradaban umat manusia akan berhenti berputar, planit bumi ini akan kosong dari spesies ini. Sementara hewan ternak dan binatang buas akan tetap berproduksi, makin lama makin banyak, karena habitatnya tidak ada lagi yang mengganggu dan merusak. Dapatkah kita membayangkan sebuah bumi tanpa hunian manusia?

Dalam masalah yang satu ini kekuatan peradaban kalau perlu harus bersimpuh dan bertekuk lutut di depan perempuan agar mereka tetap koperatif untuk menjaga masa depan eksistensi umat manusia. Janganlah sampai terjadi, demi kesetaraan gender dan hak asasinya, kaum perempuan menjadi makhluk yang serba ekstrem, tidak mau mengandung, karena fungsi hamil dan melahirkan tidak dapat diambilalih. Oleh sebab itu al-Qur'an sangat empatik dalam menjaga segala kemungkinan ini. " dan taqwalah kamu kepada Allah yang kamu memohon atas namaNya dan jangalah rahim, karena Allah itu adalah pengawas atas kamu." Perhatikan baik-baik, dalam surat al-Nisa' ayat 1 ini nama Allah dijejerkan dengan rahim-rahim (al-arham) ibu, rahim tempat penyemaian bibit, dan kepada kesediaan rahim untuk mengandung itulah nasib hari depan manusia dipertaruhkan.

Dalam perspektif ini, jika ada kaum laki-laki yang merendahkan dan menghina perempuan, jelas mereka adalah jenis manusia yang berada diluar wilayah peradaban. Tetapi untuk tetap dimuliakan, kaum perempuan harus pula tetap menjaga martabat dan kehormatan dirinya. Dalam kaitan penghinaan terhadap perempuan, saya gagal memahami seorang F. Nietzsche (1844-1900) yang demikian garang dalam sikapnya sebagai anti perempuan yang dipandangnya sebagai makhluk yang tidak layak bagi kebenaran. Nietzshe menulis: "Sejak masa yang sangat dini, tidak ada yang lebih asing, lebih menjijikkan, lebih berbahaya bagi perempuan, selain kebenaran. Seninya yang hebat adalah berbohong; perhatiannya yang tertinggi adalah untuk rupa lahiriah, untuk kecantikan (yaitu sebagai tipuan)." Lalu Nietzshe mengutip Napoleon: "Mulier taceat in politics" (Perempuan harus membisu dalam masalah politik." Bahkan yang agak menggelikan adalah ungkapan ini: "Perempuan tidak paham apa makna makanan, tetapi tetap saja mereka ingin memasak." Saya tidak tahu virus macam apa yang bekerja dalam benak Nietzsche hingga bencinya kepada perempuan sudah terlalu jauh melampaui batas. Bandingkan dengan Muhammad yang berujar: "Surga terletak di bawah telapak kaki ibu," sekalipun surga itu tidak selalau dijaga oleh sebagian kaum perempuan karena demikian kuatnya tarikan neraka. Memang hidup ini selalu penuh oleh dilema yang tidak mudah untuk dipahami, apalagi dicarikan pemecahannya. Inilah tantangan kita sepanjang zaman, sampai rubuhnya dunia ini. Oleh sebab itu doktrin yang harus dikembangkan bukan berani mati, tetapi berani hidup secara bermartabat dan bermakna.

Peran pempuan dalam proses politik demokratikJika kita dapat berangkat dari dasar filosofis yang relatif sama, seperti yang telah diuraikan di atas, maka tidak akan sulit bagi kita untuk bersikap adil dan lapang dada terhadap partisipasi perempuan dalam proses politik. Hingga kini, di mana pun di muka bumi ini, saya kira belum pernah tercapai angka 30% jumlah kaum perempuan yang terwakili dalam wilayah legislatif, apalagi eksekutif dan yudikatif. Begitu pula pada sektor swasta, sementara persentase populasi mereka di beberapa negara di atas angka 50%. Ini kalau kita berbicara dalam konteks demokrasi politik dan kiprah dalam dunia privat. Oleh sebab itu hambatan kultur dan penafsiran agama harus dapat diatasi, hingga kaum perempuan berhenti menjadi sasaran cercaan. Biarlah seorang Nietzsche menyesal di alam kuburnya karena gambaran buramnya tentang perempuan tidak didukung oleh kenyataan empirik abad-abad berikutnya

Untuk mendekati target yang ideal, pendidikan dan pelatihan kaum perempuan memang harus lebih digalakkan, kualitatif dan kuantitatif. Dari segi kecanggihan intelektual dan kemampuan spiritual, tampaknya tidak ada yang patut yang dikhawatirkan. Bahkan pada beberapa perguruan tinggi IPK mahasiswi melampaui IPK mahasiswa. Ini je las pertanda kemajuan yang harus disyukuri.Untuk memaksimalkan perannya dalam politik, kaum perempuan masih harus mempertimbangkan kondisi biologisnya sebagai satu-satunya pemilik rahim. Apakah misalnya peran itu akan dapat lebih ditingkatkan pada saat perempuan tidak lagi berurusan dengan bayi yang selalu merindukan kasih sayangnya. Atau katakanlah, sebagian perempuan akan dapat lebih bebas berkiprah dalam politik secara penuh setelah usianya di atas 40 tahun? Sebagai pemilih dalam pemilu tidak ada rintangan apa-apa sebelum usia itu, tetapi sebagai yang terpilih untuk jabatan publik, masih ada beberapa pertimbangan yang harus dibicarakan dengan pihak keluarga agar keharmonisan rumah tangga tetap utuh dan terjaga. Amina Wadud menulis tentang potensi setara antara laki-laki dan perempuan:

" harus diulangi bahwa sekalipun terdapat pembengkokan kultural terhadap ajaran-ajaran Islam, prinsip-prinsip utama ideologi terletak pada potensi yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mengerti tentang Allah. Apa yang diperlukan dalam masyarakat adalah mekanisme untuk mengembangkan potensi batiniah secara sama bagi kedua gender itu."

Memang di kalangan sebagian ulama, pikiran-pikiran maju dari beberapa penulis perempuan Muslim masih susah untuk dicerna karena begitu dominannya tafsiran tradisional yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tak setara. Di Saudi misalnya seorang perempuan Muslim tidak boleh memiliki SIM untuk membawa mobil. Semuanya ini tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi semata-mata karena pembengkokan kultural yang membelenggu. Beruntunglah orang Indonesia kita bebas dari belenggu-belenggu kultural yang tidak adil dan tidak sehat itu. Maka terpulanglah kepada kaum perempuan untuk mengisi peluang-peluang karier yang tersedia dalam kultur Indonesia modern. Peluang itu harus direbut tanpa banyak merengek minta surat sakti ke berbagai pihak.

Profesionalisme dan kualitas diri adalah kunci utama untuk memenangkan persaingan dalam masyarakat yang semakin terbuka. Dua alat bantu yang harus dikuasai secepatnya untuk kepentingan karier seseorang, laki-laki dan perempuan, di masa depan adalah: penguasaan Bahasa Inggris dan komputer. Bila keutuhan bangsa kita masih dapat ditolong, dan seharusnya dapat, maka quality-oriented wajib dijadikan agenda penting dan utama untuk menyongsong sebuah Indonesia baru yang lebih adil dan lebih ramah.

PenutupDalam Islam, untuk meraih surga, peluang terbuka sama bagi kedua gender: laki-laki dan perempuan. Maka terserahlah kepada kemauan dan pilihan bebas mereka untuk bergerak ke sana dengan memanfaatkan peluang dunia ini semaksimal mungkin dalam batas-batas kemanusiaan mereka masing-masing. Partisipasi dalam politik hanyalah salah satu sarana belaka untuk mengaktualisikan potensi diri dalam sebuah dunia yang semakin menyempit dan lintang-pukang. Dibandingkan dengan kedudukan perempuan di Afrika, Asia Barat, dan di Asia Selatan, posisi kaum perempuan Indonesia secara legal-formal-konstitusional tidaklah jauh lebih baik. Bahkan di sini seorang perempuan dapat menjadi presiden, apalagi menjadi lurah, wali nagari, dan bupati/wali kota. Apakah ada posisi yang lebih tinggi dalam sistem politik Indonesia dari posisi seorang presiden? Adapun posisi itu tidak dimanfaatkan secara bijak dan efektif, semuanya itu bukan menyangkut masalah gender, tetapi sepenuhnya masalah kualitas dan komitmen seseorang kepada amanah yang diterimanya.

Dikotomi Gender Sebuah Tinjauan Sosiologis[1]Oleh: Indraswari[2]

Pendahuluan

Perempuan dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki secara umum berada dalam posisi tersubordinasi, termarginalisasi dan mengalami diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan.

Tersubordinasi, dalam arti berada dalam status yang lebih rendah, secara sosial, ekonomi, budaya, politik, dibandingkan dengan laki-laki. Marginalisasi perempuan berarti peminggiran perempuan, yang meliputi empat dimensi: 1) Marginalisation as exclusion from productive employment, 2) Marginalisation as concentration on the margins of the labour market, 3) Marginalisation as feminisation or segregation, 4) Marginalisation as economic inequality (Scott, 1986:653). Diskriminasi, berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (CEDAW, 1998:157).

Semua kondisi tersebut saling dukung satu sama lain, mengakibatkan berbagai kerugian yang ditanggung perempuan. Ironisnya kerugian tersebut seringkali tersembunyi, dianggap bukan masalah, bahkan dianggap sebagai kodrat perempuan. Dengan memunculkan terminologi kodrat, seringkali diskusi terhenti. Selanjutnya upaya untuk mengangkat isu perempuan-pun mandeg karena faktor kodrat tersebut. Terdapat kecenderungan bahwa istilah kodrat selalu diperuntukan bagi perempuan dan istilah martabat dialamatkan kepada laki-laki (Noerhadi, dalam Soetrisno, 1997:71). Dengan memakai istilah martabat, kita telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang mempunyai potensi untuk maju ke segenap kemungkinan, sedangkan kalau kita tetap menggunakan istilah kodrat sepertinya manusia ini terjebak di dalam keadaan baku yang tidak bisa diubah, kodrat seakan-akan membatasi ruang gerak manusia itu sendiri (ibid). Kalaupun istilah kodrat tetap digunakan, menurut hemat penulis, kodrat perempuan harus dibatasi hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan fungsi reproduksi biologis perempuan yaitu hamil, melahirkan dan menyusui.

Dalam makalah ini, dikotomi gender dan kaitannya dengan persoalan subordinasi, marginalisasi dan diskriminasi perempuan akan dibahas dalam konteks dikotomi publik-domestik dimana perempuan (dan juga laki-laki) terlibat didalamnya.

Dikotomi Gender vs Dikotomi Publik-Domestik

Pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan seringkali mencari pembenaran melalui perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memiliki alat dan fungsi reproduksi yang berbeda. Perbedaan ini kemudian melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Karena perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui (reproduksi biologis), maka perempuan dipandang sudah seharusnya bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak (reproduksi sosial) dan selanjutnya melebar ke seluruh hal di lingkup domestik. Sementara itu laki-laki dipandang sebagai pihak yang bertanggungjawab menanggung perempuan (dan anak-anak), sehingga tempat laki-laki adalah di sektor publik.

Dikotomi publik-domestik ini secara teoretis seharusnya tidak menjadi masalah baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Namun pada tingkat praktis, dikotomi tersebut melahirkan kerugian dan ketidakadilan bagi perempuan. Pertama, dunia publik, adalah dunia yang dengan jelas menetapkan sejumlah peraturan, dengan menggunakan ukuran-ukuran rasional. Sementara itu, dunia domestik tidak memiliki aturan yang baku, dianggap alamiah, dan cenderung emosional. Semua yang berlangsung di lingkup domestik dianggap sudah terberi seperti apa adanya (Arivia, 1999:8). Pemikiran tersebut mengakibatkan masalah-masalah yang muncul dalam dunia domestik tidak dianggap masalah dan tidak dianggap penting. Contohnya kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak muncul ke permukaan. Jika persoalan tersebut mencuat ke permukaan, seringkali masalah tersebut dianggap masalah suami-istri atau masalah intern kelurga. Karenanya masalah tersebut cukup diselesaikan di tingkat keluarga. Kedua, bidang domestik tidak mendapatkan penghargaan yang memadai seperti halnya bidang publik (ibid). Meskipun ibu rumah tangga seringkali diibaratkan ratu rumah tangga, pekerjaan rumah tangga (domestik) adalah pekerjaan mulia, namun dalam kenyataan puja puji tersebut lebih merupakan hiasan bibir belaka dan tidak berkorelasi dengan penghargaan riil terhadap bidang domestik. Hal ini diindikasikan dengan kecenderungan keengganan laki-laki untuk terlibat dalam bidang domestik. Bahkan beberapa kelompok masyarakat menabukan partisipasi laki-laki dalam bidang domestik. Ketiga, dikotomi publik-domestik, dianggap kodrat, sesuatu yang sudah baku dan tidak bisa diubah. Seluruh komponen masyarakat (keluarga, lembaga pendidikan, media massa) memperkuat anggapan tersebut dengan cara langsung atau tidak langsung mensosialisasikan bahwa tugas perempuan adalah di lingkup domestik, sementara tugas laki-laki adalah di lingkup publik. Mill menyatakan seperti seorang laki-laki ketika ia memilih sebuah profesi, demikian pula halnya bila seorang perempuan memilih untuk menikah. Dapat dikatakan bahwa ia telah membuat pilihan untuk mengurus rumah tangga, keluarga, yang merupakan panggilan tugasnya dalam sebagian besar hidupnya dan ia akan menolak segala pekerjaan lainnya yang tidak konsisten dengan tugasnya (dalam Arivia, 1999:9). Sebagaimana halnya Arivia (1999:9), dalam pandangan penulis, membandingkan seorang perempuan yang masuk dalam perkawinan adalah seperti seorang laki-laki yang masuk dalam pekerjaan adalah perbandingan yang tidak adil dan tidak berdasar.

Selanjutnya pada tingkat makro, dikotomi publik-domestik melahirkan ketidakadilan struktural yang mengakibatkan perempuan tersubordinasi, termarginalisasi dan terdiskriminasi, baik di sektor publik maupun di sektor domestik.

Perempuan di Sektor Publik

Meskipun di tingkat ideologis, sektor publik merupakan domain laki-laki, namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun secara absolut tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, namun secara relatif tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat lebih cepat dibandingkan laki-laki. Selama kurun waktu 1980-1990, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat sebanyak 55% sementara tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki meningkat sebanyak 35,5% (Sensus Penduduk 1980 dan 1990). Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh tuntutan ekonomi, peningkatan pendidikan perempuan, dan makin terbukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor publik.

Perempuan bekerja mencari nafkah karena tuntutan ekonomi lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%.

Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun dicirikan oleh skala bawah dari pekerjaan perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan skala kecil (petty trade). Pedagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan.

Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, terjun ke sektor publik dengan pendorong utama adalah faktor ekonomi, maka bagi perempuan di kelas menengah ke atas, keterlibatan mereka di sektor publik - selain karena dorongan ekonomi - banyak pula merupakan kombinasi antara faktor ekonomi dan keinginan untuk mengamalkan bekal pendidikan yang dimiliki, selain juga makin terbukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya diperuntukan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari pembukaan peluang yang lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah.

Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki kestabilan kerja. Dengan kata lain telah terjadi marginalisation as concentration on the margins of the labour market. Hal ini berlaku khususnya bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Untuk kasus urban, sebagai buruh pabrik, sementara untuk kasus pedesaan sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sebuah studi tentang buruh perempuan pada industri sepatu di Tangerang, menemukan bahwa biaya tenaga kerja (upah) buruh laki-laki adalah 10-15% dari total biaya produksi. Sementara bila mempekerjakan perempuan, biaya tenaga kerja dapat ditekan hingga 5-8% dari total biaya produksi (Tjandraningsih, 1991:18). Dalam kasus tersebut, persentase buruh perempuan adalah 90% dari total buruh. Kasus lain dengan substansi yang sama ditemukan pula di sektor pertanian pedesaan. Sebuah penelitian tentang buruh perempuan pada agroindustri tembakau ekspor di Jember bahwa untuk pekerjaan di kebun tembakau, buruh perempuan mendapat upah Rp 1650,00 per hari sementara buruh laki-laki mendapat upah Rp 1850,00 per hari (Indraswari, 1994:52). Persentase buruh perempuan pada kasus tembakau adalah 80%. Paling tidak di kedua kasus tersebut telah terjadi marginalisation as feminisation or segregation. Feminisation adalah penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu. Segregation adalah pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. Derajat feminisation dan segregation dapat dilihat melalui peningkatan atau penurunan rasio perempuan di setiap jabatan.

Bagi perempuan kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar. Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama, namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara pegawai perempuan dan laki-laki. Seorang pegawai perempuan - apakah berstatus menikah atau lajang - tetap dianggap lajang. Seorang pegawai perempuan yang berstatus menikah - karena dia perempuan - tidak mendapatkan tunjangan suami/anak. Demikian pula tunjangan kesehatan hanya diberikan kepada dirinya sendiri - tidak untuk suami dan anak. Dengan demikian - dengan memperhitungkan komponen tunjangan - total penghasilan pegawai laki-laki dan perempuan berbeda jumlahnya untuk pekerjaan yang sama.

Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender adalah segala aturan, nilai, stereotipe, yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitias feminin dan maskulin (Saptari dalam Andria dan Reichman, 1999: 9). Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik sah-sah saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai sampingan untuk membantu suami. Persoalannya, overgeneralisasi bahwa semua perempuan bekerja hanya untuk membantu suami atau semua perempuan bekerja hanya sebagai kegiatan sampingan banyak tidak terbukti validitasnya. Bagi perempuan miskin, dalam situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga atau bersama-sama suami memberikan kontribusi finansial hingga 50% dari total penghasilan keluarga, atau bahkan lebih. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskiriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja.

Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkis yang dominan. Hal ini diindikasikan dengan minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi pengambil keputusan dan posisi strategis lainnya baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Meskipun persentase perempuan lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia, namun perempuan yang menjadi anggota parlemen hanya 7-8% dari total anggota parlemen. Demikian pula dapat dihitung dengan jari, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural, bupati, walikota, menteri, dll.

Dari deskripsi persoalan diatas, dapat dilihat telah terjadi pula marginalisation as economic inequality yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang diindikasikan oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karir.

Perempuan di Sektor Domestik

Selama beratus-ratus tahun pekerjaan domestik mengasuh anak, mencuci, membersihkan rumah, memasak, merupakan tanggungjawab perempuan. Masyarakat Indonesia, dengan struktur sosial patriarkis menempatkan perempuan di wilayah rumah dengan tanggung jawabnya sebagai pengelola rumah tangga yang meliputi tiga hal yaitu makanan, kesehatan dan pendidikan anak (Andria dan Reychman, 1999:8). Perempuan juga bertanggungjawab mengatur pemasukan dan pengeluaran keluarga, sementara laki-laki bertanggung jawab mencari uang dengan bekerja di luar rumah (ibid).

Dilihat dari sisi curahan tenaga, pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang benar-benar menyita energi fisik dan psikis perempuan. Sedangkan dari sisi waktu, sebuah studi mengungkapkan bahwa rata-rata seorang ibu menghabiskan waktu 50 jam per minggu untuk semua pekerjaan rutin rumah tangga, atau sama dengan rata-rata 10 jam kerja sehari (Arivia, 1999:24). Sebagian perempuan menikmati profesinya sebagai ibu rumah tangga sementara sebagian lain merasa terbebani dengan pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya, mulai menyergap mereka saat bangun tidur hingga larut malam (ibid).

Beberapa persoalan yang dihadapi perempuan di sektor domestik; Pertama, pelecehan pekerjaan rumah tangga. Meskipun secara riil seorang ibu mencurahkan banyak waktu dan energi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, namun penghargaan yang diterima minim sekali. Yang sering terjadi adalah pekerjaan rumah tangga dianggap bukan pekerjaan, tidak produktif, dan dipandang sebelah mata. Akibat selanjutnya mudah ditebak, banyak perempuan yang sepenuhnya berprofesi sebagai ibu rumah tangga merasa rendah diri, yang seringkali diungkapkan dengan ekspresi saya hanya ibu rumah tangga biasa. Kedua, labelisasi pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan wajib bagi perempuan (ibu rumah tangga) dan bahwa ia dituntut untuk berperilaku sebagaimana umumnya yang dikehendaki masyarakat (Arivia, 1999:25). Artinya ia harus memenuhi kriteria keibuannya, patuh pada suami, menjaga anak dengan baik dan menganggap bahwa pekerjaan yang tidak dibayar ini adalah pekerjaan yang paling mulia (ibid). Mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap menyimpang dan bukan ibu yang baik. Ketiga, pekerjaan rumah tangga yang nyaris 100% dibebankan kepada perempuan, mengakibatkan perempuan terisolasi dari kehidupan sosial dan menghambat pengembangan diri perempuan. Domestikasi (housewifisation) perempuan menggambarkan bagaimana perempuan diberi tanggung jawab mulia untuk membuat rumah menjadi tempat yang nyaman bagi generasi berikutnya, memberikan batasan ruang gerak perempuan hanya di arena domestik saja (Andria dan Reychman, 1999:8)

Beban Ganda PerempuanDeskripsi perempuan di sektor publik dan domestik, memberikan gambaran situasi tertekan yang dialami perempuan di kedua arena tersebut. Situasi bertambah runyam bagi perempuan yang karena berbagai alasan, harus terjun di kedua sektor tersebut. Bukan hanya peran ganda yang ditanggung perempuan, melainkan beban ganda. Dalam pandangan penulis, istilah peran ganda perempuan yang seringkali digembargemborkan pemerintah orde baru hanya merupakan penghalusan dari beban ganda yang ditanggung perempuan karena perempuan secara tidak proporsional dituntut untuk bertanggungjawab penuh di kedua arena publik dan domestik. Tabel berikut menggambarkan curahan tenaga dan waktu seorang perempuan pedesaan yang menanggung beban ganda tersebut.

Alokasi Pekerjaan Perempuan dan Laki-laki Pedesaan

Istri: Ibu Ijah

Suami: Mang Eman

Anak: 3 orang (kisaran usia 5-14 tahun)

Sumber penghasilan keluarga: Usaha peternakan sapi perah.

Ibu Ijah

Mang Eman

TimeWorkTimeWork

04.00-04.15gets up, prays

04.15-05.00baths, cooks, organises children05.00-05.30gets up, prays

05.00-06.00goes to cow-shed, gives grass to cows and milks them05.30-06.30cleans cow-shed and removes manure

06.00-07.00takes milk to the cooperative06.30-07.30baths and has breakfast

07.00-09.00cleans the cow-shed, gives cows concentrated feed and cleans equipment07.30-13.00goes to fields, works if a job arises, returns home with grass for cows

09.00-12.00shops, cooks and cleans house while caring for children

12.00-13.30gives concentrated feed to cows and cleans equipment13.00-15.00looks for/cuts wood; if work is available

13.30-15.00spends time with children, washes15.00-16.00rest

15.00-15.30milks cows

15.30-17.00takes milk to cooperative, gives fodder to cows, cleans shed16.00-19.00goes out looking for additional work

17.00-18.30warms food for evening meal

18.30-19.00prepares meal, baths children and tidies house

19.00-20.00spends time with children and does small jobs19.00-21.00has evening meals, chats and keeps up with social affairs

Sumber: Sjaifudian, 1992:186

Kasus Ibu Ijah dan Mang Eman, menggambarkan curahan tenaga dan waktu perempuan yang bertanggungjawab bukan hanya di sektor publik melainkan juga di sektor domestik. Dibandingkan Mang Eman, Ibu Ijah mengeluarkan tenaga dan waktu yang lebih besar karena tugas rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ibu Ijah. Partisipasi Ibu Ijah di sektor publik tidak membuat Mang Eman membantu istrinya di sektor domestik Substansi yang sama dapat dengan mudah ditemukan bagi perempuan yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan ibu Ijah, termasuk perempuan perkotaan yang bekerja sebagai buruh maupun perempuan perkotaan menengah ke atas yang bekerja sebagai karyawan perkantoran swasta/pemerintah.

Berbagai studi tentang curahan waktu perempuan di sektor domestik dan publik menunjukan rata-rata perempuan mencurahkan waktu 13-15 jam sehari untuk melakukan pekerjaan domestik dan publik sekaligus. Sementara itu, curahan waktu laki-laki sebanyak + 8-10 jam sehari, bila diasumsikan laki-laki hanya bekerja di sektor publik dan tidak terlibat dalam pekerjaan domestik. Studi UNDP tentang kerja perempuan menunjukan in virtually every country of the world, women work longer hours than men, yet share less in the economic rewards. If womens work were acurately reflected in national statistics, it would shatter the myth that men are the main breadwinners of the world (UNDP, 1999). Studi yang sama menunjukan a stiggering sixteen trilion dollars is missing from the global economy each year . This estimate include the value of the unpaid work performed by women and men and the underpayment of womens work in the market at prevailing prices. Of this US$16 trilion, US$ 11 trilion is the invisible contribution of women (ibid).

Penutup

Perempuan di berbagai strata, di arena publik maupun domestik, secara umum mengalami subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi dalam berbagai variasi. Hal ini antara lain disebabkan nilai-nilai sosial budaya yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Dalam derajat tertentu, dikotomi gender yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam konteks kaku publik-domestik, juga mengakibatkan posisi perempuan semakin terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Rekonstruksi peran gender perempuan dan laki-laki merupakan hal penting yang perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi seluruh komponen masyarakat, laki-laki dan perempuan. Persoalan subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi perempuan adalah persoalan masyarakat, persoalan bersama laki-laki dan perempuan. Mendiamkan ketidakadilan struktural dan penindasan perempuan berarti melanggengkan dehumanisasi laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Laki-laki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan ketidakadilan dan penindasan perempuan, sementara perempuan mengalami dehumanisasi karena terus menerus tertindas.

***

r Pustaka

Andria, Verania dan Reychman, Katarina, 1999, Dampak Krisis Terhadap Perempuan Miskin Perkotaan di Kota Bandung - Perempuan Sebagai Pengelola Rumah Tangga Miskin, Akatiga - Pusat Analisis Sosial, Bandung.

Arivia, Gadis, 1999, Politik Susu: Pemberontakan Ruang Publik, dalam Suara Ibu Peduli, 1999, Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

Arivia, Gadis, 1999, Kekuatan dan Kekuasaan Kaum Ibu, dalam Suara Ibu Peduli, 1999, Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), 1999, dalam APIK dan Ford Foundation, 1999, Perisai Perempuan: Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan, APIK dan Ford Foundation, Jakarta.

Indraswari dan Thamrin, Juni, 1994, Potret Kerja Buruh Perempuan - Tinjauan Pada Agroindustri Tembakau Ekspor di Jember, Akatiga - Pusat Analisis Sosial, Bandung.

Scott, A. McEwen, 1986, Women and Industrialisation: Examining the Female Marginalisation Thesis dalam The Journal of Development Studies, no 22(4).

Sjaifudian, Hetifah, 1992, Women as Family Workers, dalam Grijn, Mies (Ed.), et. al., 1992, Gender, Marginalisation, and Rural Industries - Family Entrepreneurs, Wage Workers, and Family Workers in West Java, Institute of Social Studies - The Hague, bekerja sama dengan Akatiga Foundation, Centre for Social Analysis, Bandung.

Soetrisno, Loekman, 1997, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Tjandraningsih, Indrasari (Ed.), 1991, Tenaga Kerja Pedesaan Pada Industri Besar Sepatu Olahraga Untuk Ekspor, Institute of Social Studies - The Hague, Bandung Research Project Office.

UNDP, 1999, Womens Invisible Contribution to Global Economy, dalam Gender in Development Program (GIDP-UNDP), http://www.undp.org/gender