15

61
BAB 1 PENDAHULUAN Pterigium adalah satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan di negara berkembang. Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva pada mata dan dapat menganggu penglihatan . Kondisi ini menciptakan beberapa masalah, termasuk mata kering (dry eye), astigmatisme irregular, dan masalah kosmetik yang sulit diterima. Pada tingkat lanjut, pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan operasi kompleks untuk rehabilitasi visual secara penuh.Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering yang

description

baru

Transcript of 15

Page 1: 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Pterigium adalah satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan

di negara berkembang. Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi

dan jaringan ikat subkonjungtiva pada mata dan dapat menganggu penglihatan .

Kondisi ini menciptakan beberapa masalah, termasuk mata kering (dry eye),

astigmatisme irregular, dan masalah kosmetik yang sulit diterima. Pada tingkat lanjut,

pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan operasi kompleks

untuk rehabilitasi visual secara penuh.Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia,

tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering yang merupakan karakteristik

dari daerah di sekitar khatulistiwa. Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai

1,2% di daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi

berkulit hitam di Barbados. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007,

prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan

pterigium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan

bertambahnya umur.  Jawa timur menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan

prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada satu mata.Banyak cara dapat

dilakukan untuk mencegah pterigium menimbulkan masalah, antara lain dengan

menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi seperti kekeringan, debu,

angin, dan sinar Ultraviolet, dan melakukan tindakan bedah eksisi atas indikasi namun

tidak semua penderita mengetahui kondisi penyakitnya dan melakukan pengobatan

dengan tepat. Pengetahuan mengenai faktor risiko, penyebab, dan distribusi penyakit

dapat bemanfaat untuk mencegah bekembangnya penyakit sampai ke tingkat lanjut

yang diharapkan dapat menurunkan dampak sosial dan ekonomi untuk penyakit ini.

Melalui makalah pterigium ini, penulis berharap dokter umum dapat mengenali gejala

dan tanda, dapat membuat diagnosis berdasakan pemeriksaan fisik, dan memberi

terapi pendahuluan sesuai kompetensinya sebelum merujuk ke spesialis mata. 

Page 2: 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Konjungtiva

Anatomi

Struktur dan fungsi mata sangat rumit dan mengagumkan. Secara konstan

mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian

pada objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang

kontinu yang dengan segera dihantarkan ke otak.

Mata  adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga

lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan-lapisan tersebut adalah : 

Sklera/korneaKoroid/badan siliar/iris, dan Retina,Sebagian besar mata

dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sclera

yang membentuk bagian putih.Di anterior (kearah depan), lapisan luar

terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkas-berkas cahaya ke

anterior mata.Lapisan tengah dibawah sclera adalah koroid yang sangat

berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk member

makan retina.Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang

terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah

lapisan saraf didalam.Retina mengandung sel batang dan sel kerucut,

fotoreseptor yang mengubah energy cahaya menjadi impuls

syaraf.Struktur mata manusia berfungsi utama mengfokuskan cahaya ke

retina. Semua komponen-komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai

ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan

cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan

perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang

impuls-impuls saraf ini dan menjalarkannya ke otak.Konjungtiva

merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

Page 3: 15

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva

bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan

mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.Sesuai dengan namanya,

konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari

kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik

dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan

forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari

limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan

tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus

konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata

superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan

forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang

penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih

dalam hingga 14 mm dari limbus.Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas

3 bagian: 

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior

kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi

konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam

kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona

marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai

pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum

bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra

sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem

lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari

konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini

bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir  adalah zona

orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan

bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital,

Page 4: 15

terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra

merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.

Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat

translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.

Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan

alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.

Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang

tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva

bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.

3. Konjungtiva Forniks

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain

halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya

konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu

fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya

bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata

ketika otot-otot tersebut berkontraksi. Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris

anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan

bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya

membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe

konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung

dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva

menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus.

Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.Secara histologis konjungtiva

terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel

epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat

Page 5: 15

limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak

mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung

sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk

mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata 

prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-

sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi

menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid

mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur

semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang

sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi

pada nenonatus  bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi

folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada

lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang

konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal

aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar

lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks

atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri pelpebralis.

Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva

yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler

konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan

superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak

mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima

persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V, saraf ini hanya relatif

sedikit mempunyai serat nyeri.

2.1.2 Histologi

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel

epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Sel- sel epitel superfisial mengandung

sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk

Page 6: 15

mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata

prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-

sel superfisial dan dapat mengandung pigmen.

Pada konjungtiva terdapat kelenjar Bruch, yaitu kelenjar limfe konjungtiva yang

terletak pada kelopak bawah, dan kelenjar Krause yang merupakan kelenjar lakrimal

aksesori yang terletak dekat forniks konjungtiva. 

2.2 Pterigium

2.2.1 Definisi

Pterigium berasal dari kata Yunani “pterygos” yang berarti “sayap kecil”. Pterigium

adalah suatu pertumbuhan dari epitel konjungtiva bulbaris dan jaringan ikat

subkonjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif yang terdapat dicelah kelopak

mata bagian medial atau nasal berbentuk segitiga, dengan puncaknya mengarah

kebagian tengah dari kornea. Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal

daripada dibagian temporal, namun dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan

temporal pada satu mata disebut double pterigium. Pterigium dapat mengenai kedua

mata dengan derajat pertumbuhannya yang berbeda.

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat 

degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian

nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas kedaerah kornea. Pterygium

berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau didaerah kornea. Pterygium

mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna

merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata.Timbulnya pterygium kadang-kadang

bersamaan dengan pinguekula. Pinguekula terletak dalam fissura interpalpebral di

meridian horizontal. Pinguekula sendiri merupakan suatu penonjolan berwarna putih

kekuningan yang tumbuh di dekat kornea, diduga pinguekula adalah degenarasi hialin

jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula

akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka disekitar bercak degenerasi ini

akan terlihat pembuluh darah yang melebar.  Ukurannya bisa semakin besar,

Page 7: 15

penyebabnya tidak diketahui tetapi pertumbuhannya didukung oleh pemaparan sinar

matahari dan iritasi mata. Pinguekula tidak enak dilihat tetapi biasanya tidak

menyebabkan masalah yang serius dan tidak perlu dibuang/diangkat.

2.2.2. Etiologi

            Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan

suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh

iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab paling

umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh

mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu

dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi

lainnya.

Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut :

Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim

subtropics dan tropis.

Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta  orang yang hidup

di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah berangin. Petani,

nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar garis khatulistiwa sering terpengaruh.

Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu.

Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan

perempuan, meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya

paparan sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.

            Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya

disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal) dan

Page 8: 15

Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal

yang tidak meluas sampai ke kornea).

2.2.3 Epidemiologi

Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah dengan

sinar matahari yang tinggi dan udara yang kering serta tingginya angin dan debu yang

merupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa. Istilah umum yang

dipakai untuk menunjukkan daerah dengan peningkatan prevalensi  pterigium adalah

“sabuk pterigium”, yang terletak di antara 37 derajat lintang utara dan selatan. Di

populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai 1,2% di daerah perkotaan pada

penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi berkulit hitam di Barbados.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium di

Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata

1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur.  Jawa timur

menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata,

dan 2,7% pada satu mata.Suatu penelitian epidemiologi di Adelaide (Australia)

menemukan faktor risiko independen terjadinya pterigium berhubungan dengan umur,

jenis kelamin (laki-laki), daerah tinggal (desa) dan paparan sinar matahari.

Prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki lebih

banyak melakukan aktivitas di luar ruangan sehingga lebih sering berhubungan

dengan faktor risiko terjadi pterigium seperti sinar ultraviolet, debu, angin dan udara

yang kering.

 2.2.4 Patofisiologi

Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan

mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan

berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini

biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya

pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang

Page 9: 15

tidak tampak itu sangat berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata

diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding

dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat

paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar

yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet

secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan

merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi

pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari

konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal

inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap

paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.

Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi

fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen

abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan

hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic

akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa

dihancurkan oleh elastase.

            Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel

gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini

membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi

sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke

dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas.

Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma konjungtiva dengan

penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung

pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan diganti dengan jaringan hialin dan

elastis. Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi muncul sebagai luka

fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada

Page 10: 15

hubungannya dengan radiasi sinar ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan

pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran

bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus,

pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye

syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan

ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.

I. KLASIFIKASI PTERYGIUM 

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,

stadium, progresifitasnya danberdasarkan terlihatnya pembuluh darah

episklera , yaitu:

1.      Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

-       Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau

menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari

kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea

dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering

mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat

mengalami keluhan lebih cepat.

-          Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau

ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium

sering nampak kapiler-kapiler yang membesar.Lesi menutupi kornea

sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh

dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

-          Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona

optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona

optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4

mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus

rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas

ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola

mata serta kebutaan

Page 11: 15

2.      Berdasarkan stadium pterygiumdibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai

pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter

pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupilsehingga

mengganggu penglihatan.                               

3.  Berdasarkan  perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2

yaitu:

-        Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterygium (disebut capdari pterygium)

-        Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi

bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan

harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:

-        T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

-        T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

-        T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

2.2.5 Gejala dan Tanda

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata

sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat

Page 12: 15

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium

3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan

menurun. 

Bagian-bagian mata yang terkena pterygium            Pterygium memiliki

tiga bagian :                                            

i. Bagian kepala atau cap

Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan

terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan

Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat

dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea

yang kering.                                          

ii.Bagain whitish.

Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis

yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.                                        

iii. Bagian badan atau ekor

Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area

vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan

ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi

pembedahan.

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis akan kita dapatkan keluhan-keluhan

pasien seperti adanya ganjalan pada mata yang semula dirasakan didekat kelopak

namun lama-kelamaan semakin ke tengah (kornea), mata merah dan tidak disertai

belek(sekret). Dari anamnesis ini kita juga akan dapatkan informasi mengenai

pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan kebiasaan hidupnya karena hal ini

berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang mengenainya.

            Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan

Page 13: 15

berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal

yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu

iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.

            Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak harus

dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi

dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium yang

didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada

stromanya.

2.2.7 Diagnosis Banding

1.Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna

kekuningan. 2.Pseudopterigium

Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan

dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea

Penatalaksanaan

Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana pada

keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses inflamasi

dapat diberikan steroid topikal untuk menekan proses peradangan, dan pada keadaan

lanjut misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif), pterigium telah menutupi

media penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea) maupun untuk alasan

kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa ekstirpasi pterigium.3

            Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :

-          Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) –

Page 14: 15

untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air.

Obat ini merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar,

Gen Teal (OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan

mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan

air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.

-          Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada

permukaan okular. alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC).

Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini

akan cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan

ini sering dipergunakan pada malam hari terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam

pemakaiannya.

-          Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada

permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat

membantu dalam penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan mengurangi

pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya.

Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal yang

dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi

untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan

pelumas topikal lain.

Kategori Terapi Medikamentosa.        

Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata)

untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada

lapisan air mata.

Nama obat

Merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata

penyegar, Gen Teal (OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan

pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak

Page 15: 15

teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak

terjadi pada keadaan pterygium.

- Dosis dewasa

1 gtt empat kali sehari dan prn untuk irritasi

- Dosis anak-anak

Berikan seperti pada orang dewasa

- Kontra indikasi

Bisa menyebabkan hipersensitivitas

- Interaksi

Tak ada (tak pernah dilaporkan ada interaksi )Untuk ibu hamil

Derajat keamanan A untuk ibu hamil

- Perhatian

Bila gejala masih ada dan terus berlanjut pemakaiannya

b.        Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada

permukaan ocular

Salep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu

pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan ini cenderung

menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini

sering dipergunakan pada malam hari.

- Dosis obatnya

Pergunakan pada cul de sac inferior pada mata yang terserang.

- Dosis anak-anak

Sama dengan dewasa

- Kontra indikasi

Bisa menyebabkan terjadinya hipersensitivitas

- Interaksi

Tidak ada

Tingkat keamanan A untuk ibu hamil

- Perhatian

Page 16: 15

Karena menyebabkan kabur penglihatan sementara dan harus menghindari

aktivitas yang memerlukan penglihatan jelas sampai kaburnya hilang.

c.        Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada

permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan

sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang inflamasi dengan

mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular

di dekat jejasnya.

Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal

yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini

harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa

disembuhkan dengan pelumas topikal lain.

- Dosis dewasa

1 gtt empat kali sehari pada mata yang terserang, biasanya hanya 1- 2

minggu dengan terapi yang terus menerus.

- Dosis anak-anak

Tidak boleh dipergunakan untuk anak-anak oleh karena kasus pterygia

sangat jarang pada anak-anak

- Kontra indikasi

Pasien dengan riwayat kasus herpes simpleks keratitis dentritis atau

glaukoma steroid yang responsif.

- Interaksi

Tak ada laporan interaksi

KehamilanTingkat keamanan B, biasanya aman akan tetapi kegunaannya

harus di perhitungkan dengan resiko yang di akibatkan

- Perhatian

Bisa diserap secara sistemik akan tetapi efek samping sistemik biasanya tak

diketemukan pada pasien yang mempergunakan obat tetes mataprednisolon

asetat topikal , yang bisa diekskresi pada ASI yang sedang

Page 17: 15

menyusui.Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan

Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di

tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk

diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak.

Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico,

yaitu:

Menurut Ziegler :

1.      Mengganggu visus

2.      Mengganggu pergerakan bola mata

3.      Berkembang progresif

4.      Mendahului suatu operasi intraokuler

5.      Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

1.                           Progresif, resiko rekurensi > luas

2.                           Mengganggu visus

3.                           Mengganggu pergerakan bola mata

4.                           Masalah kosmeti

5.                           Di depan apeks pterygium terdapat Grey

Zone

6.                           Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada

nodul pungtat

7.                           Terjadi kongesti (klinis) secara periodic

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan

tindakan operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang

digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:

1.        Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali

Page 18: 15

konjungtiva dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik

ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang

dapat mencapai 40-75%.

2.        Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva

yang terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada

konjuntiva relatif kecil.

3.        Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar

luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya

penempatan flap.

4.        Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di

sekitar luka bekas eksisi untuk  membentuk seperti lidah pada

konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

5.        Conjungtival graft : menggunakanfree graft yang

biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian

superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian

dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat

jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,

Illionis). Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane

transplantation, yaitu teknik gafting dengan menggunakan

membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam dari

plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan

matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi,

membran amnion ini digunakan

sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile

melts, dan untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk

berbagai macam prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan

membran amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De Rotth pada

tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka

kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947.

Page 19: 15

Ada juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide

ini dan mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah

dimana komponen membran basalis dari membran amnion ini

serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan

inilah teori terkini menyatakan bahwa membran amniotik

memperbesar support untuk limbal stem cells dan cornea

transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan

meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih

jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi

miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi scardan

pembentukan vaskuler. Mekanisme ini membantu

penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel,

dan ulserasi stromal.

1.indikasi

A.Eksisi pterigium

Setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan

menyisakan sebuah defek konjungtival. Defek ini dapat

dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui

pendekatan primer, diberikan graft dengan

sebuah autograft konjungtiva, atau diberikan graft dengan

membran amniotik. Dengan injeksi steroid intraoperatif pada

defek jaringan yang mengitarinya. 

B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva

Selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk

teknik rekonstruksi konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan

tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan defek, maka

defek tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik.

Telah dilaporkan penggunaan AMT untuk

Page 20: 15

pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat

digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada

kasus konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera

kadaverik. Satu laporan lainnya menyatakan

bahwa trabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran

amniotik. 

C.Defisiensi stem sel Limbal

Membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus

defisiensi stem sel Limbal parsial dan total. Pada kasus-kasus

kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi

dan perlu penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem

sel allogenik. Untuk kasus-kasus yang parsial, membran

amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan

memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel

Limbal allogenik. 

Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan

allogenik yang diolah di laboratorium pada membran

amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan ini pada

kornea yang rusak berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.

2 Prosedur

Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan

penggunaan membran amniotik yang diambil dari plasenta

pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada

permukaan okuler. Tersedia teknik pengawetan cryopreserved

amniotic membrane dan lazim digunakan dan menjaga sifat

histologis dan morfologis dari jaringan sehat. AMT dapat

ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan

dengan benang absorbable ataupun yang non-

Page 21: 15

absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat digunakan

untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.

3 Resiko

Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit

menular yang tidak terlihat. Secara umum, membran amniotik

didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi sesar

yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV,

hepatitis, dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan

campuran larutan garam yang seimbang, penisilin,

streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion

dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi

yang steril, ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan

disimpan dalam larutan gliserol. Jaringan tersebut juga

disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau

menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius.

Hingga saat ini tidak ada laporan mengenai transmisi penyakit

menular pada AMT. 

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:

Pra-operatif:

Astigmat

Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat

karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat

adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran

daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan

adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini

diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea dan peninggian

Page 22: 15

pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat

“with the rule” dan iireguler astigmat.

Kemerahan

Iritasi

Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan 

menyebabkan diplopia.

Intra-operatif:

Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning),

dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi

dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum

bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 

Pasca-operatif:

Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:Infeksi, reaksi bahan

jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graftkonjungtiva longgar,

perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.Penggunaan

mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera

dan kornea

Pterygium rekuren. 

PENCEGAHAN

            Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi

resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi.

Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai

tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung

dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien

yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas

Page 23: 15

di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing,

ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya

para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.

2.2.9 Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma jinak. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan

dapat dicegah dengan kombinasi operasi sitostatik tetes mata atau Beta radiasi.Eksisi

pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada umumnya setelah 48

jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang

kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting

dengan konjungtiva/limbal autografts atau transplantasi membran amnion .