BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · Bursa ini diresmikan oleh Presiden...

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar modal memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara. Pasar modal merupakan bagian dari sistem perekonomian negara, khususnya pada sektor keuangan. Peran utama pasar modal yaitu untuk menjalankan fungsi ekonomi, dimana pasar modal mampu mempertemukan dua pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana atau investor dan pihak yang memerlukan dana atau perusahaan (Husnan, 2015). Pihak investor menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki di pasar modal untuk memperoleh keuntungan. Pihak perusahaan dapat memanfaatkan dana tersebut sebagai sumber dana dalam melakukan investasi. Berdasarkan hal tersebut, pasar modal dapat meningkatkan produktivitas perusahaan yang pada nantinya mendukung kemakmuran negara. Pasar modal pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bursa Efek Jakarta (BEJ). Bursa ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1977. Tahun 1989, Bursa Efek Surabaya didirikan dan mulai beroperasi dibawah pengelolaan Perseroan Terbatas milik swasta. PT Bursa Efek Surabaya bergabung dengan Bursa Efek Jakarta pada tahun 2007 dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Visi yang dimiliki oleh BEI adalah “Menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Selain itu, BEI memiliki Misi yaitu “Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · Bursa ini diresmikan oleh Presiden...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasar modal memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian suatu

negara. Pasar modal merupakan bagian dari sistem perekonomian negara,

khususnya pada sektor keuangan. Peran utama pasar modal yaitu untuk

menjalankan fungsi ekonomi, dimana pasar modal mampu mempertemukan dua

pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana atau

investor dan pihak yang memerlukan dana atau perusahaan (Husnan, 2015). Pihak

investor menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki di pasar modal untuk

memperoleh keuntungan. Pihak perusahaan dapat memanfaatkan dana tersebut

sebagai sumber dana dalam melakukan investasi. Berdasarkan hal tersebut, pasar

modal dapat meningkatkan produktivitas perusahaan yang pada nantinya

mendukung kemakmuran negara.

Pasar modal pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bursa Efek

Jakarta (BEJ). Bursa ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1977.

Tahun 1989, Bursa Efek Surabaya didirikan dan mulai beroperasi dibawah

pengelolaan Perseroan Terbatas milik swasta. PT Bursa Efek Surabaya bergabung

dengan Bursa Efek Jakarta pada tahun 2007 dan berubah nama menjadi Bursa

Efek Indonesia (BEI). Visi yang dimiliki oleh BEI adalah “Menjadi bursa yang

kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Selain itu, BEI memiliki Misi yaitu

“Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui

1

2

pemberdayaan anggota bursa dan partisipan, penciptaan nilai tambah, efisiensi

biaya serta penerapan good governance” (www.idx.com).

Pasar modal Indonesia menunjukkan perkembangan tiap tahunnya. Hal ini

dapat terlihat dari meningkatnya jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI. Pada

tahun 2006, jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI adalah 344 unit dengan nilai

perdagangan sebesar Rp 445.708 Milyar (IDX Statistics, 2006). Kemudian pada

tahun 2010, perusahaan yang terdaftar di BEI berjumlah 420 unit dengan total

nilai perdagangan Rp 1.176.237 Milyar (IDX Statistics, 2010). Perkembangan ini

juga terlihat pada tahun 2015, dimana jumlah perusahaan terdaftar di BEI

meningkat menjadi 521 unit dengan nilai perdagangan mencapai Rp 1.406.362

Milyar (IDX Statistics, 2015).

Perkembangan pasar modal Indonesia sangat terlihat dengan

meningkatnya jumlah perusahaan terdaftar dan nilai perdagangan di BEI setiap

tahunnya. Namun saat ini, yang menjadi tantangan utama bagi perusahaan-

perusahaan di BEI adalah bagaimana perusahaan mampu menghadapi globalisasi,

liberalisasi dunia dan teknologi yang semakin maju. Ketiga hal tersebut dapat

menjadi faktor pendukung produktivitas perusahaan jika perusahaan mampu

menghadapinya dengan baik. Akan tetapi, ketiga hal tersebut juga dapat menjadi

ancaman besar bagi perusahaan. Hanafi (2014) menjelaskan bahwa globalisasi,

liberalisasi dan teknologi merupakan faktor pendorong peningkatan risiko yang

dihadapi perusahaan.

Globalisasi membuat perekonomian dunia mempunyai keterkaitan yang

sangat erat. Kejadian pada suatu negara dapat mempengaruhi negara lainnya

3

secara lebih cepat. Kondisi seperti ini mengakibatkan peningkatan fluktuasi,

sehingga risiko yang dihadapi perusahaan saat ini cenderung meningkat.

Terbukanya pasar domestik terhadap investor asing merupakan suatu bentuk

liberalisasi dunia, yang menyebabkan hambatan antar negara berkurang. Hal ini

dapat mempermudah aliran modal untuk masuk atau keluar dan pada nantinya

meningkatkan fluktuasi. Teknologi yang semakin maju mendorong pelaku pasar

untuk lebih cepat memperoleh informasi dan bertindak lebih cepat atas informasi

tersebut. Kemudahan ini akan mendorong fluktuasi harga yang semakin tinggi.

Oleh karena itu, globalisasi, liberalisasi dunia, dan teknologi yang semakin maju

merupakan penyebab peningkatan fluktuasi dan faktor pendorong meningkatnya

risiko perusahaan (Hanafi, 2014).

Risiko secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang

berpotensi menyebabkan kerugian. Risiko ini muncul karena adanya kondisi

ketidakpastian. Ketidakpastian ini tercermin dari fluktuasi pergerakan yang tinggi,

sehingga semakin tinggi fluktuasi maka semakin besar tingkat ketidakpastiannya.

Perusahaan saat ini memiliki berbagai macam risiko yang harus dihadapi seperti

risiko perubahan tingkat bunga, risiko nilai tukar, risiko pasar, risiko kredit, risiko

operasional, risiko teknologi, risiko likuidasi, risiko perubahan harga komoditas,

risiko terjadinya krisis keuangan global dan lainnya (Saunders dan Cornett, 2014).

Risiko perubahan tingkat bunga ditunjukkan pada Gambar 1.1 yang

mengilustrasikan perubahan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) dalam

persentase dari tahun 2010 hingga 2015. Pada Gambar 1.1 dapat dicermati bahwa

tingkat suku bunga BI cukup berfluktuasi. Penurunan tingkat suku bunga yang

4

paling tinggi terjadi pada bulan November 2011. Pada bulan Juli 2013 terjadi

peningkatan suku bunga yang paling tinggi. Fluktuasi tingkat suku bunga sangat

berpengaruh pada perusahaan yang memiliki pinjaman dan memberikan kredit ke

konsumennya, karena tingkat suku bunga sangat mempengaruhi tingkat

keuntungan dan kerugian dari perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut.

*sumber: www.bi.go.id (diakses pada bulan Februari 2016)

Gambar 1.1 Perubahan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia Setiap Bulan

dalam Persentase Tahun 2010-2015

-10%

-8%

-6%

-4%

-2%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

Feb-

10

May

-10

Aug

-10

Nov

-10

Feb-

11

May

-11

Aug

-11

Nov

-11

Feb-

12

May

-12

Aug

-12

Nov

-12

Feb-

13

May

-13

Aug

-13

Nov

-13

Feb-

14

May

-14

Aug

-14

Nov

-14

Feb-

15

May

-15

Aug

-15

Nov

-15

5

*sumber: www.bi.go.id (diakses pada bulan Februari 2016)

Gambar 1.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap United States

Dollar Tahun 2007 – 2015

Risiko perubahan kurs merupakan jenis risiko lainnya yang dihadapi oleh

perusahaan. Risiko perubahan kurs disebabkan karena adanya fluktuasi nilai tukar

rupiah yang dapat dicermati pada Gambar 1.2. Gambar tersebut menunjukkan

perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap United States Dollar (USD) mulai

tahun 2007 hingga 2015. Pada awal tahun 2007 hingga 2008, nilai Rupiah cukup

stabil dengan harga rata-rata Rp9.000 per $1. Tahun 2009 awal, nilai tukar Rupiah

melemah cukup tajam mencapai Rp12.000 per $1. Pada tahun 2011 nilai tukar

rupiah kembali menguat dengan harga rata-rata Rp9.000 per $1. Selanjutnya pada

tahun 2015, nilai tukar Rupiah melemah menjadi Rp14.000 per $1. Fluktuasi nilai

7,000

8,000

9,000

10,000

11,000

12,000

13,000

14,000

15,000

16,000

2-Jan-07 2-Jan-08 2-Jan-09 2-Jan-10 2-Jan-11 2-Jan-12 2-Jan-13 2-Jan-14 2-Jan-15

6

tukar Rupiah ini menyebabkan kerugian bagi perusahaan yang melakukan ekspor

dan impor, karena transaksi perdagangan luar negeri mereka sangat dipengaruhi

oleh nilai tukar mata uang (Hanafi, 2014).

Risiko-risiko tersebut bisa terjadi kapan saja dan sulit untuk dihindari.

Akibatnya perusahaan dapat mengalami kerugian yang signifikan sehingga

menyebabkan kesulitan keuangan dan masalah underinvestment. Masalah

keuangan yang dialami perusahaan ini akan sangat berpengaruh pada nilai

perusahaan. Oleh karena itu, semua risiko yang dihadapi oleh perusahaan akan

tercermin pada volatilitas nilai perusahaan (Guay, 1999). Sesuai dengan penelitian

yang telah dilakukan oleh Guay (1999) dan Bartram et al. (2008), risiko

perusahaan dapat diukur dengan volatilitas returns saham, karena volatilitas nilai

perusahaan tidak mudah diakses. Penelitian ini akan menggunakan volatilitas

return saham untuk mengukur risiko perusahaan.

Perkembangan returns saham bulanan pada perusahaan industri non-

keuangan dapat dicermati pada Gambar 1.3. Terdapat delapan sektor perusahaan

yang termasuk pada industri non-keuangan. Fluktuasi returns saham bulanan

dapat terlihat dengan jelas pada Gambar 1.3. Perusahaan di industri pertanian

memiliki fluktuasi returns saham yang sangat tinggi, dengan returns saham

terendah -17,15% pada bulan Agustus 2015 dan tertinggi 15,56% pada bulan Mei

2015. Hal ini dipicu karena perusahaan industri pertanian memiliki berbagai

macam risiko yang dihadapi termasuk risiko alam yang cukup sulit dikelola.

7

*sumber: www.idx.co.id (diakses pada Februari 2016)

Gambar 1.3 Returns Saham Bulanan Perusahaan Industri Non-Keuangan

Tahun 2015

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

Jan-15

Feb-15

Mar-15

Apr-15

May-15

Jun-15

Jul-15

Aug-15

Sep-15

Oct-15

Nov-15

Dec-15

Industri Barang Konsumsi

Properti, Real Estat dan Konstruksi Bangunan

Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi

Perdagangan, Jasa dan Investasi

-20

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

Jan-15 Feb-15 Mar-15 Apr-15 May-15 Jun-15 Jul-15 Aug-15 Sep-15 Oct-15 Nov-15 Dec-15

Pertanian

Pertambangan

Industri Dasar dan Kimia

Aneka Industri

8

Selain itu, fluktuasi yang tinggi juga terlihat pada perusahaan-perusahaan aneka

industri dan industri dasar dan kimia. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan

menghadapi risiko yaitu volatilitas nilai perusahaan yang dapat dicerminkan oleh

volatilitas returns saham perusahaan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dicermati juga bahwa risiko perusahaan

sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor eksternal ini berasal dari luar

perusahaan yang berkaitan dengan lingkungan ekonomi seperti tingkat suku

bunga, nilai tukar, inflasi dan kelesuan ekonomi (Gitman, 2004). Kaplan dan

Mikes (2012) mengungkapkan bahwa risiko yang timbul dari peristiwa diluar

perusahaan, seperti perubahan ekonomi makro, politik, bencana alam, tidak dapat

dikendalikan oleh perusahaan. Perusahaan memerlukan pendekatan lain untuk

mengatasi risiko yang berasal dari faktor eksternal seperti mengidentifikasi dan

memitigasi dampaknya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan

manajemen risiko perusahaan yang baik.

Hanafi (2014) mengemukakan bahwa manajemen risiko perusahaan sangat

penting diterapkan untuk menghadapi risiko. Penerapan manajemen risiko

perusahaan bertujuan agar perusahaan mampu mengelola risiko sehingga

perusahaan dapat bertahan dan meminimalkan risiko tersebut. Ketika perusahaan

mampu mengelola risiko dengan baik, maka perusahaan tersebut akan mampu

memaksimumkan nilainya. Teori manajemen risiko oleh Froot et al. (1993),

Hentschel dan Kothari (2001) menyatakan bahwa perusahaan dapat mengelola

risikonya dengan menggunakan produk derivatif. Guay (1999) menjelaskan

bahwa pelaksanaan manajemen risiko dengan menggunakan produk derivatif

9

bermanfaat dalam menurunkan risiko perusahaan seperti volatilitas nilai

perusahaan, kesulitan keuangan dan masalah underinvestment.

Derivatif merupakan suatu instrumen keuangan yang nilainya tergantung

pada nilai-nilai variabel lain yang mendasarinya, dimana variabel yang mendasari

derivatif adalah harga aset yang diperdagangkan (Hull, 2009). Jenis-jenis produk

derivatif yang umum diperdagangkan adalah forward contracts, futures contracts,

options dan swaps. Manfaat utama penggunaan produk derivatif adalah sebagai

alat manajemen risiko (Ross et al., 2012; McDonald, 2006). Dengan

menggunakan derivatif, perusahaan dapat mengunci harga suatu aset atau produk

sehingga perusahaan akan terhindar dari risiko perubahan nilai aset atau produk

tersebut dimasa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan derivatif

dapat mengurangi ekposur risiko perusahaan. Perusahaan dalam hal ini disebut

melakukan hedging. Teori corporate hedging yang dikembangkan oleh Smith dan

Stulz (1985) menyatakan bahwa hedging dibenarkan secara ekonomi karena dapat

menurunkan risiko dan meningkatkan nilai perusahaan.

Perkembangan produk derivatif cukup signifikan, terlihat dari tersedianya

beragam produk derivatif yang diperdagangkan di pasar keuangan global saat ini

seperti credit derivatives, electricity derivatives, weather derivatives, insurance

derivatives, interest rate derivatives, foreign exchange derivatives dan commodity

derivatives (McDonald, 2006). Perusahaan dapat memilih jenis produk derivatif

sesuai dengan kebutuhannya. Perusahaan di negara maju maupun berkembang

telah menggunakan produk derivatif selama bertahun-tahun karena instrumen

derivatif ini menyediakan suatu jalan untuk mengelola risiko keuangan yang

10

dihadapi perusahaan. Mallin et al. (2001) menemukan bahwa 60% perusahaan di

Inggris telah menggunakan produk derivatif paling tidak satu macam produk.

Sedangkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan produk derivatif di

Hongkong hanya 37% (Yu et al., 2001). Schiozer and Saito (2009) menemukan

54% perusahaan yang menggunakan produk derivatif di Brazil. Tetapi, Lantara

(2010) menemukan bahwa hanya 18,4% perusahaan di Indonesia yang

menggunakan produk derivatif. Hasil ini sangat rendah jika dibandingkan dengan

di negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan

Indonesia memandang risk exposure yang dihadapi tidak signifikan, adanya biaya

dalam penggunaan produk derivatif melebihi manfaatnya dan adanya kesulitan

dalam proses penilaian dan pricing derivatif (Lantara, 2010). Penelitian mengenai

penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan sangat diperlukan di

Indonesia.

Beberapa penelitian empiris telah menganalisis hubungan antara

penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan. Guay (1999)

menemukan bahwa perusahaan pengguna produk derivatif mengalami penurunan

dalam stock-return volatility, interest-rate exposure dan exchange-rate exposure

secara signifikan jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan

derivatif. Hentschel dan Kothari (2001) menemukan bahwa sebagian besar

perusahaan di Amerika Serikat menggunakan derivatif untuk mengelola eksposur

dan perusahaan tersebut mengalami penurunan risiko. Namun sebaliknya, Fletcher

et al. (2002) menemukan bahwa unit trust company di Inggris yang menggunakan

derivatif memiliki risk measures yang lebih tinggi karena menggunakan derivatif

11

untuk berspekulasi. Penelitian oleh Bartram et al. (2008) menemukan bukti yang

kuat bahwa penggunaan derivatif mampu mengurangi risiko total dan risiko

sistematik perusahaan. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk

menganalisis hubungan antara penggunaan produk derivatif terhadap risiko

perusahaan.

Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh

penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan. Untuk meneliti

hubungan ini, maka objek penelitian yang tepat adalah perusahaan yang hanya

sebagai pengguna produk derivatif. Perusahaan dalam industri keuangan tidak

memenuhi kriteria ini, karena perusahaan tersebut dapat bertindak sebagai

pengguna, penerbit dan juga market-makers (Bashir et al., 2013). Oleh karena itu,

penelitian ini menggunakan seluruh perusahaan non-keuangan di BEI sebagai

objek penelitian.

Faktor yang dapat mempengaruhi risiko perusahaan selain penggunaan

produk derivatif adalah kinerja keuangan perusahaan (Beaver et al., 1970;

Hamada, 1972; Mandelker dan Rhee, 1984; Huffman, 1987; Chun and Meharani,

1999; Hardwick dan Adams, 1999; Prevost et al., 2000; De Ceustre et al., 2003).

Selain itu, kinerja keuangan perusahaan juga diduga berpengaruh terhadap

penggunaan produk derivatif (Borokhovich et al., 2004; Nguyen dan Faff, 2003;

Shu dan Chen, 2003). Mulyadi (2008) menjelaskan bahwa kinerja keuangan

merupakan penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi dan

karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang ditetapkan

sebelumnya. Kinerja keuangan perusahaan dapat diartikan sebagai suatu

12

pengukuran subjektif mengenai pencapaian perusahaan atas berbagai aktivitas

yang telah dilakukan dalam suatu periode yang mencerminkan kondisi kesehatan

keuangan perusahaan.

Kinerja keuangan perusahaan dapat dievaluasi dengan melakukan analisis

pada laporan keuangan perusahaan. Analisis laporan keuangan perusahaan dapat

dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan. Horne dan Wachowicz (2008)

menjelaskan bahwa rasio keuangan merupakan suatu alat analisis yang digunakan

untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan. Rasio keuangan merupakan

hubungan matematis antara satu angka dengan angka lainnya yang dihitung

berdasarkan laporan keuangan perusahaan (Paramasivan dan Subramanian, 2009).

Beberapa rasio keuangan perusahaan bermanfaat bagi perusahaan untuk

mengukur tingkat likuiditas, profitabilitas, solvabilitas dan aktivitas perusahaan

(Brealey dan Myers, 2003; Brigham dan Daves, 2007; Horne dan Wachowicz,

2008; Paramasivan dan Subramanian, 2009).

Tingkat likuiditas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan

dalam memenuhi kewajiban lancarnya dengan aktiva lancar yang dimiliki

(Gitman, 2002). Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas yang rendah,

menunjukkan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan jangka

pendeknya (Van Horne, 2008). Tingkat likuiditas yang rendah menandai bahwa

perusahaan tersebut memiliki masalah keuangan sehingga risiko perusahaan

meningkat. Studi empiris oleh Beaver et al. (1970) menemukan korelasi

signifikan yang negatif antara tingkat likuiditas dan risiko sistematik perusahaan.

Selain itu, Biase dan D’Apolito (2012) membuktikan hubungan negatif dan

13

signifikan antara tingkat likuiditas dan risiko sistematik perusahaan di negara

Italia.

Tingkat likuiditas suatu perusahaan juga mempengaruhi kemampuan

perusahaan untuk mengambil peluang-peluang investasi yang tersedia. Jika

perusahaan tidak mampu untuk mengambil peluang investasi tersebut karena

kendala short-term liquidity, maka perusahaan tersebut cenderung untuk

menggunakan produk derivatif untuk mengatasi masalah tersebut (Froot et al.,

1993). Carter dan Sinkey (1998) menemukan bukti bahwa masalah likuiditas

perusahaan berhubungan dengan kebutuhan untuk menggunakan derivatif sebagai

hedging instrumen. Lantara (2012) membuktikan bahwa likuiditas perusahaan

mempengaruhi penggunaan derivatif secara negatif dan signifikan.

Tingkat profitabilitas perusahaan mencerminkan kemampuan perusahaan

dalam menghasilkan laba bersih (Horne dan Wachowicz, 2008). Perusahaan yang

mampu menghasilkan laba bersih yang positif, menunjukkan bahwa perusahaan

tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan dan

memiliki permasalahan keuangan yang lebih rendah sehingga risiko perusahaan

tersebut menurun. Chun dan Meharani (1999) menemukan bahwa tingkat

profitabilitas merupakan faktor yang paling penting dalam mempengaruhi risiko

sistematik dibandingkan faktor lainnya seperti tingkat likuiditas dan solvabilitas.

Selain itu, Biase dan D’Apolito (2012) menemukan hubungan yang negatif dan

signifikan antara tingkat profitabilitas dan risiko perusahaan.

Penggunaan produk derivatif oleh perusahaan juga ditentukan oleh tingkat

profitabilitas perusahaan. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang

14

rendah cenderung memiliki financial distress yang lebih tinggi (Bartram et al.,

2009). Alasan yang mendasari bahwa perusahaan dengan profit yang rendah akan

memiliki free cash flow yang rendah dan mengalami kesulitan dalam membayar

kewajiban mereka. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan cenderung untuk

melakukan hedging dengan menggunakan produk derivatif untuk menyelesaikan

kesulitan tersebut. Namun, Allayanis dan Weston (2001) berargumen bahwa

perusahaan yang profitable memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk

melakukan perdagangan instrumen derivatif dibandingkan dengan perusahaan

yang memiliki profit lebih rendah.

Tingkat solvabilitas (leverage) perusahaan mencerminkan proporsi

penggunaan dana pinjaman oleh perusahaan untuk membiayai aktiva yang

dimiliki perusahaan (Gitman, 2002). Semakin tinggi tingkat solvabilitas

perusahaan, maka semakin tinggi tingkat hutang perusahaan. Ketika perusahaan

memiliki hutang yang besar, maka perusahaan tersebut akan mengalami

peningkatan biaya financial distress yang diikuti dengan peningkatan risiko

perusahaan (Hardwick dan Adams, 1999; De Ceustre et al., 2003). Penelitian

empiris oleh Mandelker dan Rhee (1984) menemukan bahwa leverage operasi dan

leverage keuangan mempunyai pengaruh positif pada risiko sistematik

perusahaan. Biase dan D’Apolito (2012) menyatakan bahwa leverage dan risiko

sistematik memiliki hubungan positif yang kuat.

Tingkat solvabilitas juga mempengaruhi penggunaan produk derivatif oleh

perusahaan. Probabilitas dari financial distress dapat diturunkan dengan

menggunakan produk derivatif dengan cara hedging (Froot et al., 1993). Jika

15

perusahaan memiliki tingkat solvabilitas yang semakin tinggi maka perusahaan

tersebut semakin membutuhkan produk derivatif. Bukti empiris menunjukkan

hubungan positif antara debt ratio dan penggunaan derivatif untuk hedging

(Berkham dan Bradburry, 1996; Gay dan Nam, 1998; Haushalter, 2000).

Rasio aktivitas bertujuan untuk mengukur tingkat efektivitas perusahaan

dalam mengelola asetnya. Total asset turnover merupakan rasio aktivitas yang

menganalisis kemampuan perusahaan dalam menggunakan asetnya secara optimal

untuk menghasilkan laba (Ross et al., 2012). Ketika nilai total asset turnover

suatu perusahaan rendah, hal ini menunjukkan perusahaan tersebut tidak

menggunakan aset mereka sesuai kapasitasnya dan mereka harus meningkatkan

penjualan atau mengelola asetnya dengan baik. Keadaan ini akan meningkatkan

risiko yang dihadapi perusahaan.

Penggunaan derivatif semakin meningkat ketika perusahaan mengalami

masalah keuangan dan financial distress (Bartram et al., 2009; Lantara, 2012).

Semakin tinggi rasio aktivitas perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan

memiliki kemampuan yang lebih untuk mengelola asetnya dengan baik sehingga

memperoleh laba yang diharapkan. Namun, rendahnya rasio ini menunjukkan

perusahaan kurang efektif dalam mengelola asetnya untuk meningkatkan

penjualan sehingga laba perusahaan menurun. Hal ini mengakibatkan perusahaan

mengalami masalah keuangan yaitu cash shortfalls, maka perusahaan

memerlukan derivatif untuk mengatasi masalah tersebut (Nguyen, 2011).

Berdasarkan uraian tersebut, kinerja keuangan yang mengukur tingkat

likuiditas, profitabilitas, solvabilitas dan aktivitas perusahaan berpengaruh

16

terhadap risiko perusahaan dan penggunaan produk derivatif. Melemahnya tingkat

rasio likuiditas, profitabilitas dan aktivitas perusahaan, dan naiknya tingkat

solvabilitas, menyebabkan meningkatnya masalah keuangan dan financial distress

perusahaan. Kinerja keuangan yang lemah ini menyebabkan risiko perusahaan

meningkat. Dapat dicermati juga bahwa sebelum kinerja keuangan mempengaruhi

risiko keuangan, kinerja keuangan dapat mempengaruhi keputusan perusahaan

dalam penggunaan produk derivatif. Ketika kinerja keuangan perusahaan

menurun, maka perusahaan cenderung akan menggunakan derivatif untuk

mengatasi masalah tersebut. Peran derivatif dalam hal ini yaitu untuk menurunkan

risiko perusahaan. Oleh karena itu, penggunaan produk derivatif diduga memiliki

peran mediasi antara hubungan rasio keuangan perusahaan terhadap risiko

perusahaan.

Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa risiko perusahaan juga

dipengaruhi oleh corporate governance atau tata kelola perusahaan (Buckley,

2003; Tsorhe et al., 2011; Trinh et al., 2015). Selain itu, tata kelola perusahaan

juga berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif oleh perusahaan (Fama

dan Jensen, 1983; Borokhovich, 2004; Marsden dan Prevost, 2004). Tata kelola

perusahaan merupakan serangkaian hubungan antara manajemen, dewan direksi,

pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya (Organisation for Economic

Co-operation and Development - OECD, 2014). Tata kelola perusahaan berfungsi

untuk memacu penggunaan sumber daya perusahaan secara efisien dimana

dibutuhkan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya tersebut (Osuoha,

2015). Beberapa indikator penting dari tata kelola perusahaan yang perlu

17

diperhatikan dalam pengaruhnya terhadap risiko perusahaan dan penggunaan

produk derivatif yaitu kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen dan

pendidikan komisaris.

Struktur kepemilikan merupakan salah satu mekanisme tata kelola

perusahaan yang penting untuk diperhatikan. Struktur kepemilikan berhubungan

dengan pemilik modal asing, pemilik modal pemerintah, pemilik modal

manajerial dan pemegang saham mayoritas (Trinh et al., 2015). Kepemilikan

manajerial merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi risiko

perusahaan. Ketika perusahaan memiliki kepemilikan manajerial, maka terjadi

kecenderungan pihak manajemen memiliki perilaku risk-averting atau

menghindari risiko sehingga risiko perusahaan cenderung menurun. Chen et al.

(1998) menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki hubungan yang

negatif terhadap risiko pasar. Namun, hasil yang berbeda pada penelitian oleh

Anderson dan Fraser (2000), dimana mereka menemukan risiko spesifik

perusahaan bank dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh kepemilikan

manajerial. Hubungan antara kepemilikan saham oleh orang dalam dan risiko

perusahaan perlu diteliti lebih lanjut.

Kepemilikan manajerial, selain mempengaruhi risiko perusahaan, juga

berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif oleh perusahaan. Semakin

banyak proporsi saham yang dipegang oleh manajerial, maka semakin besar

motivasi para pimpinan perusahaan untuk menggunakan instrumen derivatif

dalam hal mengurangi risiko dan meningkatkan nilai perusahaan (Lantara, 2012).

Penelitian empiris oleh Tufano (1996) memberikan bukti bahwa manajer yang

18

mempunyai kepemilikan saham yang lebih besar, memiliki kecenderungan yang

lebih besar untuk menggunakan produk derivatif untuk mengelola risiko

perubahan harga emas. Oleh karena itu, semakin besar kepemilikan manajerial

maka akan meningkatkan penggunaan derivatif oleh perusahaan.

Independent board merupakan pihak professional atau outsiders yang

dipilih untuk menjadi salah satu anggota board of directors (Odgen et al., 2003).

Perusahaan yang mempunyai rasio independent board yang lebih tinggi,

menghadapi frekuensi tekanan keuangan yang lebih sedikit karena independent

board memiliki kinerja yang lebih baik (Elloumi dan Gueyie, 2001). Selain itu,

penelitian oleh Daily et al. (2003) menemukan bahwa perusahaan dengan proporsi

independent board lebih banyak, memiliki kemungkinan kebangkrutan yang lebih

kecil. Adanya independent board di suatu perusahaan mendukung kemampuan

perusahaan untuk mengatasi masalah konflik keagenan, sehingga risiko yang

dihadapi perusahaan lebih rendah (Tsorhe et al., 2011). Proporsi independent

board yang lebih tinggi akan menurunkan risiko yang dihadapi perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dicermati bahwa anggota dewan independen

merupakan faktor penting dalam kesuksesan perusahaan. Oleh karena itu, anggota

dewan independen di perusahaan berperan dalam mengurangi risiko yang

dihadapi perusahaan.

Penelitian oleh Fama dan Jensen (1983), menemukan bahwa dorongan

yang lebih kuat untuk membuat keputusan yang benar-benar bermanfaat bagi

pemilik saham cenderung dimiliki oleh anggota dewan independen. Mereka juga

menjelaskan bahwa independent board akan menunjukkan kapabilitas mereka

19

sebagai pengawas manajemen yang efektif bagi perusahaan dengan membuat

keputusan yang terbaik untuk perusahaan. Borokhovich (2004) menemukan

bahwa independent board memiliki peran yang aktif dalam keputusan perusahaan

dalam menggunakan produk derivatif dan menyimpulkan adanya hubungan yang

positif antara komposisi dewan direksi independen terhadap penggunaan produk

derivatif. Namun, penelitian oleh Marsden dan Prevost (2004) menemukan hasil

yang berbeda, yaitu hubungan yang negatif antara proporsi dewan direksi

independen dan pemakaian produk derivatif. Osuoha et al. (2015) menyimpulkan

bahwa komposisi dewan independen adalah indikator corporate governance yang

paling kuat yang mempengaruhi penggunaan produk derivatif. Hubungan antara

anggota dewan independen terhadap penggunaan produk derivatif perlu dianalisis

lebih lanjut.

Sesuai dengan peraturan pemerintah Indonesia mengenai tata kelola

perusahaaan Nomor 33/POJK.04/2014, Perusahaan Publik diwajibkan untuk

memiliki Direksi, yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan,

Dewan Komisaris, yang melakukan pengawasan secara umum, dan Komisaris

Independen, yang berasal dari luar perusahaan yang bertugas melakukan

pengawasan. Hal ini berarti Indonesia menganut sistem Two Tier, dimana struktur

dewan ada dua yaitu dewan pelaksana dan dewan pengawas. Oleh karena itu,

dalam penelitian ini akan digunakan proporsi komisaris independen sebagai

ukuran dari anggota dewan independen.

Pengetahuan dan wawasan yang dimiliki anggota dewan komisaris

merupakan faktor penting dalam peningkatan kinerja perusahaan. Pengetahuan

20

dan wawasan ini mendukung kemampuan dewan direksi untuk berkontribusi

secara positif terhadap keputusan-keputusan manajemen sehingga meningkatkan

nilai perusahaan (Nicholson dan Kiel, 2004; Fairchild dan Li, 2005; Adams dan

Ferreira, 2007). Ketika manajemen mampu untuk membuat keputusan yang

bermanfaat bagi perusahaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, maka

perusahaan dapat terhindar dari risiko yang mengancam perusahaan. Oleh karena

itu, pengetahuan dan wawasan dewan direksi berpengaruh terhadap risiko

perusahaan. Pengetahuan dan wawasan dewan direksi dapat diukur dengan

melihat tingkat pendidikan dewan direksi.

Dewan komisaris yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang baik

dapat mendukung keputusan perusahaan untuk menggunakan produk derivatif

(Buckley, 2003). Ketika dewan komisaris memiliki latar belakang pendidikan

yang tinggi, maka mereka akan memiliki pengetahuan dan wawasan mengenai

instrumen keuangan yang lebih luas. Oleh karena itu, pendidikan komisaris

mendukung keputusan perusahaan dalam menggunakan produk derivatif. Sampai

saat ini, belum ada kajian empiris yang meneliti bagaimana pengaruh pendidikan

dewan komisaris terhadap keputusan penggunaan produk derivatif perusahaan.

Penelitian ini menjadi penelitian pertama yang mengangkat bagaimana pengaruh

pendidikan dewan komisaris sebagai salah satu faktor dalam corporate

governance yang berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif dan risiko

perusahaan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diamati bahwa tata kelola perusahaan

diduga berpengaruh terhadap risiko perusahaan. Semakin baik tata kelola

21

perusahaan yang tercermin dari kepemilikan manajerial, proporsi komisaris

independen dan pendidikan komisaris, maka risiko perusahaan pun cenderung

menurun. Ketika perusahaan memiliki tata kelola yang baik, maka perusahaan

akan mampu memberikan keputusan keuangan yang baik bagi perusahaan

termasuk keputusan dalam menggunakan produk derivatif sebagai alat manajemen

risiko. Tata kelola perusahaan yang baik akan mendukung penggunaan produk

derivatif oleh perusahaan, sehingga risiko perusahaan akan mengalami penurunan.

Oleh karena itu, penggunaan produk derivatif diduga memiliki peran mediasi

antara tata kelola perusahaan dan risiko perusahaan.

Pada literatur mengenai risiko perusahaan dan penggunaan produk

derivatif masih terdapat beberapa kelemahan maupun celah yang perlu

diperhatikan untuk perkembangan wawasan akademisi dan praktisi. Penelitian ini

diusulkan untuk menutupi celah-celah penelitian yang ada. Celah penelitian

pertama adalah sejauh ini literatur belum menganalisis mengenai bagaimana

pengaruh pendidikan dewan komisaris terhadap risiko perusahaan dan keputusan

penggunaan produk derivatif. Lantara (2012) menyatakan bahwa latar belakang

pendidikan dewan komisaris merupakan suatu faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam keputusan perusahaan untuk penggunaan produk derivatif. Penelitian ini

akan menjadi penelitian pertama yang memasukkan pendidikan dewan komisaris

sebagai indikator dari tata kelola perusahaan yang mempengaruhi risiko

perusahaan dan penggunaan derivatif oleh perusahaan.

Dalam literatur masih terdapat perbedaan hasil (divergensi) pada saat

menjelaskan pengaruh penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan.

22

Teori klasik dari Modigliani dan Miller (1958) mengungkapkan bahwa

penggunaan produk derivatif dengan cara hedging tidak relevan jika pasar modal

sempurna. Namun, teori ini tidak berlaku jika salah satu asumsi pasar modal

sempurna dilanggar, seperti tidak adanya pajak, biaya financial distress dan biaya

transaksi. Bukti empiris mengungkapkan hasil yang beragam mengenai pengaruh

penggunaan produk derivatif terhadap risiko perusahaan. Oleh karena itu, celah

kedua yang diisi dalam penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris

terbaru mengenai bagaimana pengaruh penggunaan produk derivatif terhadap

risiko perusahaan.

Konteks penelitian mengenai manajemen risiko dengan menggunakan

produk derivatif selama ini lebih banyak dilakukan di negara maju (Fox et al.,

1997; Allayannis dan Ofek, 2001; Kim et al., 2008; Supanyanij dan Strauss, 2010;

Gatopoulos dan Louberge, 2013). Penelitian mengenai penggunaan produk

derivatif di negara berkembang seperti Indonesia sangat diperlukan dan akan

memberikan wawasan baru kepada seluruh pelaku pasar untuk pengembangan

strategi dalam menggunakan produk derivatif di negara berkembang yaitu

Indonesia. Hal ini menjadi celah penelitian yang ketiga.

Penelitian yang menjadikan penggunaan produk derivatif sebagai mediasi

antara kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap risiko perusahaan,

masih terbatas. Celah keempat penelitian ini terkait dengan konseptualisasi model

penelitian. Penelitian ini mencoba menemukan apakah penggunaan produk

derivatif dapat berperan sebagai mediasi antara kinerja keuangan dan tata kelola

perusahaan terhadap risiko perusahaan.

23

Berbagai macam risiko yang harus dihadapi perusahaan saat ini,

mendorong pentingnya penelitian mengenai risiko perusahaan. Risiko perusahaan

dapat dikelola dengan menggunakan produk derivatif. Risiko perusahaan juga

sangat dipengaruhi oleh kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan. Selain itu,

hasil empiris juga menunjukkan adanya hubungan antara kinerja keuangan dan

tata kelola perusahaan terhadap penggunaan produk derivatif. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan produk derivatif, kinerja

keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap risiko perusahaan, serta pengaruh

kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap penggunaan produk

derivatif. Selanjutnya, penelitian ini akan menganalisis peran mediasi penggunaan

produk derivatif antara kinerja keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap

risiko perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Penggunaan Produk

Derivatif?

2. Bagaimana pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Penggunaan

Produk Derivatif?

3. Bagaimana pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Risiko Perusahaan?

4. Bagaimana pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Risiko Perusahaan?

24

5. Bagaimana pengaruh Penggunaan Produk Derivatif terhadap Risiko

Perusahaan?

6. Bagaimana peran Penggunaan Produk Derivatif dalam memediasi Kinerja

Keuangan terhadap Risiko Perusahaan?

7. Bagaimana peran Penggunaan Produk Derivatif dalam memediasi Tata

Kelola Perusahaan terhadap Risiko Perusahaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Penggunaan Produk

Derivatif.

2. Menjelaskan pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Penggunaan

Produk Derivatif.

3. Menjelaskan pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Risiko Perusahaan.

4. Menjelaskan pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Risiko

Perusahaan.

5. Menjelaskan pengaruh Penggunaan Produk Derivatif terhadap Risiko

Perusahaan.

6. Untuk membuktikan dan menjelaskan peran Penggunaan Produk Derivatif

dalam memediasi hubungan antara Kinerja Keuangan terhadap Risiko

Perusahaan.

25

7. Untuk membuktikan dan menjelaskan peran Penggunaan Produk Derivatif

dalam memediasi hubungan antara Tata Kelola Perusahaan terhadap

Risiko Perusahaan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi ilmu

pengetahuan khususnya dalam ilmu manajemen keuangan yang

berkaitan dengan:

a. Memperkaya literatur mengenai teori manajemen risiko, dengan

keterbaruan penelitian yaitu menjelaskan peran penggunaan produk

derivatif dalam memediasi hubungan antara kinerja keuangan dan

tata kelola perusahaan terhadap risiko perusahaan.

b. Memberikan kontribusi empiris tentang kinerja keuangan yang

dapat mempengaruhi penggunaan produk derivatif dalam upaya

untuk menurunkan risiko yang dihadapi oleh perusahaan non-

keuangan di Bursa Efek Indonesia.

c. Memberikan kontribusi empiris mengenai konsep tata kelola

perusahaan, yang terdiri dari kepemilikan manajerial, proporsi

komisaris independen dan pendidikan komisaris yang dapat

meningkatkan penggunaan produk derivatif dan mengurangi risiko

perusahaan.

26

d. Pengembangan model penelitian yang terintegrasi tentang kinerja

keuangan dan tata kelola perusahaan terhadap penggunaan produk

derivatif dan risiko perusahaan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

a. Menambah wawasan bagi Perusahaan Non-Keuangan di Indonesia

mengenai penggunaan produk derivatif, kinerja keuangan dan tata

kelola perusahaan sebagai acuan untuk mengelola risiko sehingga

mereka mampu mengurangi risiko yang dihadapi.

b. Menumbuhkan kepedulian bagi Pemerintah Indonesia untuk

meningkatkan pembangunan pasar derivatif di Indonesia,

khususnya bagi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka

Komoditi di bawah Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.

c. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumber

informasi dan referensi bagi para peneliti selanjutnya, sebagai

pengalaman pembelajaran dan memperluas wawasan bagi peneliti

sendiri, serta pengembangan keilmuan manajemen keuangan pada

masa yang akan datang.