15 revisi naskah akademik perda desa 02 juli 2015 dengan dprd

28
Naskah Akademik PERDA Desa| 1 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR TENTANG DESA DISUSUN OLEH BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR TAHUN 2015

Transcript of 15 revisi naskah akademik perda desa 02 juli 2015 dengan dprd

Naskah Akademik PERDA Desa| 1

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR

TENTANG

DESA

DISUSUN OLEH

BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA

KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR

TAHUN 2015

Naskah Akademik PERDA Desa| 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Desa merupakan unsur penyelenggaraan pemerintahan terkecil di

dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Desa adalah desa dan desa

adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,

dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengatur

penyelenggaraan pemerintahan desa telah diterbitkan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43

Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Tentang Desa

serta Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang

besumber dari Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negera. Penerbitan

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut dimaksudkan sebagai

pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengatur

penyelenggaraan pemerintahan desa.

Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Pemerintah Desa (Kepala

Desa dibantu perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa yang

merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah

dan ditetapkan secara demokratis. Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai

bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Selatan . Luas Kabupaten Ogan

Komering Ilir sebesar 19.023,47 Km2 dengan kepadatan penduduk sekitar

40-41 jiwa per Km2. Kabupaten ini terdiri atas 18 kecamatan Secara

geografis wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir terletak antara 112o – 113o

Bujur Timur dan 7o – 8o Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 10

meter di atas permukaan air laut

Pemerintahan di Kabupaten Ogan Komering Ilir terdiri atas 18

kecamatan,314 desa dan 13 kelurahan. Penyelenggaraan pemerintahan

desa dilaksanakan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-

undangan, baik yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Guna memberikan payung hukum bagi Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan

kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang

berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal

Ika perlu dibentuk Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir

Tentang Desa sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 yang mana disebutkan

dalam Undang-Undang dan Peraturan Perintah tersebut sebagai berikut:

Naskah Akademik PERDA Desa| 3

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

1. Pasal 14 berbunyi : “Pembentukan, penghapusan, penggabungan,

dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau

kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

ditetapkan dalam Peraturan Daerah”;

2. Pasal 31 ayat (2) berbunyi: “Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara

serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota”;

3. Pasal 50 ayat (2) berbunyi:” Ketentuan lebih lanjut mengenai

perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan

Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

berdasarkan Peraturan Pemerintah”;

4. Pasal 65 ayat (2) berbunyi:” Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan

Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota”;

5. Pasal 84 ayat (3) berbunyi: “Pengaturan lebih lanjut mengenai

perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan,

pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014

1. Pasal 65 ayat (2) berbunyi : “Syarat lain pengangkatan perangkat

Desa yang ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota

harus memperhatikan hak asal usul dan nilai sosial budaya

masyarakat”

2. Pasal 72 ayat (4) berbunyi : “Penetapan mekanisme pengisian

keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan

daerah kabupaten/kota.”

Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir tentang Desa ini

sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang

Peraturan Perlaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa

yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

1.2. Identifikasi Masalah

Peraturan daerah merupakan alat untuk menjawab berbagai

persoalan yang berkaitan dengan ranah pengaturan suatu produk hukum.

Sebagai wahana untuk menjawab persoalan dimaksud, tentu saja

diperlukan inventarisasi isu strategis sebagai sasaran yang harus menjadi

target fungsional perda itu sendiri. Berikut ini beberapa isu strategis yang

cukup prinsip dan mendasar berkaitan dengan rencana Peraturan Daerah

yaitu:

Naskah Akademik PERDA Desa| 4

1. Perlu adanya regulasi yang jelas tentang pemekaran desa,

penggabungan desa, penghapusan desa dan peningkatan status desa

menjadi kelurahan.

2. Perlu adanya regulasi yang jelas tentang pelaksanaan pemilihan kepala

desa serentak.

3. Perlu adanya regulasi yang jelas tentang pemerintahan desa baik itu

kepala desa, perangkat desa maupun BPD.

4. Perlu adanya regulasi yang jelas tentang kelembagaan desa.

5. Perlu adanya regulasi yang jelas tentang keuangan dan kekayaan desa.

6. Perlu adanya regulasi yang jelas tentang Badan Usaha Milik Desa.

1.3 Tujuan dan Kegunaan

Penyusunan naskah akademik tentang Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Ogan Komering Ilir ini dalam rangka mengatur tentang desa

secara fungsional dengan tujuan:

1. Sebagai landasan ilmiah untuk memberikan arah dan menetapkan

ruang lingkup bagi penyusunan rancangan peraturan daerah tentang

desa.

2. Melakukan analisis akademik mengenai berbagai aspek dari

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan desa.

3. Mengkaji secara mendalam dasar-dasar yuridis, filosofis dan

sosiologis mengenai arti pentingnya peraturan daerah tentang desa.

4. Sebagai wahana yang memuat materi muatan Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir mengenai desa yang di

dalamnya dilengkapi urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum,

prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-

norma yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum sesuai politik hukum

yang dikehendaki Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Kegunaan Naskah Akademik dari Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Ogan Komering Ilir tentang Desa ini adalah:

1. Sebagai bahan pertimbangan yang dapat digunakan dalam usul

prakarsa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.

2. Sebagai bahan dasar bagi pembentuk Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Ogan Komering Ilir.

3. Sebagai dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan

Peraturan Daerah yang akan dibahas.

Naskah Akademik PERDA Desa| 5

1.4. Metode Penyusunan

Metode penelitian sebagai langkah untuk melakukan eksplorasi bahan

hukum dan realitas sosial yang akan diakomodasikan dalam produk hukum

nantinya dilakukan dengan tipe Yuridis Normatif ditopang dengan berbagai

informasi dari para pihak termasuk elemen masyarakat di Kabupaten Ogan

Komering Ilir melalui pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group

Discussion), wawancara, mendengar pendapat narasumber atau para ahli,

termasuk menyebarkan questioner dan sebagainya. Pengertian penelitian

dengan tipe Yuridis Normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

mengkaji dan menganalisa substansi peraturan perundang-undangan atas

pokok permasalahan1 atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas

hukum, teori hukum termasuk pendapat ahli. Beberapa peraturan

perundang-undangan dimaksud antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah

Tingkat II dan Praja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 1821);

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5495);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5589);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang

Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5558);

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman

Teknis Peraturan di Desa;

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Kepala Desa;

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Keuangan Desa;

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pembangunan Desa;

1 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal 90.

Naskah Akademik PERDA Desa| 6

Melalui penggunaan metode penelitian dengan tipe yuridis normatif

tersebut maka dapat dilakukan kajian dan analisa secara komprehensif

sehingga akan diperoleh preskripsi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah dengan tingkat akurasi kebenaran yang maksimal yang pada

gilirannya memberikan nilai tambah konkrit dan berarti dalam rangka

pembentukan peraturan daerah tentang Desa. Naskah akademik ini disusun

dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach).2

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan semua regulasi yang bersangkutan dengan desa.

2 Ibid, hal 94

Naskah Akademik PERDA Desa| 7

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS

2.1. Landasan Teoritis Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-

undangan yang merupakan bagian integral dari kerangka hukum (“legal

framework”) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Istilah “peraturan

perundang-undangan” mencakup substansi arti kata “legislation” sebagai

produk “state legislature” yang di Indonesia berwujud undang-undang dan

peraturan daerah serta “regulation” yang memiliki padanan makna sebagai

peraturan pelaksana. Karakter norma hukum yang termuat dalam peraturan

perundang-undangan adalah “algemene strekking”3 (bersifat umum) yang

mengatur hubungan antara rakyat dengan institusi pemerintahan.4

Sebagaimana dikemukakankan oleh J.H.A. Logemann; F.R. Bohtlink yang

menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan itu berlaku umum berarti:

a. “umum” itu dapat berhubungan dengan lingkup ruang berlakunya

(ruimtelijk geldingsgebied, ruimtegebied) dalam arti berlaku di mana-mana;

b. “umum” itu dapat berhubungan dengan lingkup waktu (tijdsgebied) dalam

arti berlaku terus menerus tanpa maksud terlebih dahulu akan mengubah

atau menariknya;

c. “umum” itu berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma

hukum tersebut, yakni tidak boleh bersifat individual …, tetapi berlaku

untuk semua orang;

d. “umum” itu akhirnya berhubungan dengan fakta hukum (rechtsfeit) dari

hukum tersebut harus merupakan fakta yang selalu dan di mana-mana

dapat terulang.5

Sifat umum peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut

subyek hukum yang dikenai pengaturan yang memang berwatak non-

individual, tetapi juga berkenaan dengan lingkup: ruang, waktu dan fakta

hukumnya. Hal ini berarti bahwa aturan hukum yang dituangkan dalam

bentuk Peraturan Daerah ataupun keputusan (misalnya Keputusan Presiden,

Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur maupun Keputusan

Bupati/Walikota) dapat dikategorisasikan sebagai peraturan perundang-

undangan6 apabila norma hukumnya berada dalam tataran “regeling” dan

bukannya “beschikking”.7 Dalam konteks sekarang Keputusan Presiden yang

dahulu bisa berlaku umum sudah diganti dengan Peraturan Presiden, sedang

3Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, h.

116. A. Hamid S. Attamimi, “UUD 1945-Tap MPR-Undang-undang” dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, h. 123.

Henry Campbell Black, … loc.cit. 4Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, h.

116. A. Hamid S. Attamimi, “UUD 1945-Tap MPR-Undang-undang” dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, h. 123. Henry Campbell Black, … loc.cit.

5A. Hamid S. Attamimi, UUD 1945-Tap MPR … op.cit., h. 135. Hal menjadi penting bagi

penggunanya. 6A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan … op.cit., h. 227-228. Sri Soemantri

Martosoewignyo, Ketetapan (MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara, Remadja

Karya, Bandung, 1985, h. xi dan 306. 7H.D. van Wijk en Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht,

Uitgeverij Lemma B.V. Culemborg, 1988, h. 207-235.

Naskah Akademik PERDA Desa| 8

Kepres adalah bersifat khusus dan individual. Demikian pula dengan

Keputusan kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) yang berlaku

umum saat ini dituangkan dengan Peraturan Kepala Daerah, sedang untuk

mengatur hal-hal yang bersifat khusus dan individual tetap dituangkan dalam

bentuk Keputusan Kepala Daerah.

Peraturan Daerah di Indonesia secara hirarkhis menjadi bagian dari

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Bentuk peraturan

perundang-undangan di Indonesia diatur menurut UUD 1945 dan Ketetapan

MPR No. III/MPR/2000, yang kemudian dijabarkan lagi dalam Undang

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 menempatkan UUD 1945 dan

Ketetapan MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan.

Memasukkan UUD 1945 dan Ketetapan MPR ke dalam peraturan perundang-

undangan secara teoritis-konseptual tidaklah tepat. UUD 1945 telah diakui

sebagai “hukum dasar” yang memuat “norma dasar” dan Ketetapan MPR

mempunyai kekuatan hukum berderajat “aturan dasar”, sehingga secara

yuridis teoritik-konseptual dipahami bahwa keduanya bukanlah peraturan

perundang-undangan. Mengklasifikasi UUD 1945 dan Ketetapan MPR dalam

peraturan perundang-undangan adalah salah, namun, menempatkan

keduanya di atas undang-undang adalah benar.8 Pandangan teoritik tersebut

menjadi tidak banyak berlaku dalam praktek karena tidak memiliki dasar

hukum positif.

Dengan berpaling pada UUD 1945 dan Ketetapan MPR No.

III/MPR/2000 serta konsep dasar “norma hukum negara”, bentuk peraturan

perundang-undangan di Indonesia tercermin dalam tataran aturan hukum

berupa:

Undang-undang (UU)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

Peraturan Pemerintah (PP)

Keputusan Presiden (Keppres), dan

Peraturan Daerah (Perda).

Sebagaimana pengaturan hukum pada umumnya, maka Peraturan

Daerah tentang Perda juga merupakan bagian dari norma hukum yang akan

berlaku di masyarakat. Pengaturan hukum dalam konteks yuridis pada

dasarnya dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa aturan hukum haruslah

dipahami sebagai penuangan norma hukum dengan konsekuensi empirisnya.

Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa setiap aturan memang merupakan

pencerminan dari suatu norma dan kondisi realistisnya. Dinyatakan oleh

Robert B. Seidman:

“Every rule of law is a norm, as John Austin grasped when he defined law

as a’command’. It is a rule prescribing the behaviour of the role occupants.

One can divide all norms between law and custom. By custom I mean any

norm which people come to hold or to follow without its having been

promulgated by an agency of the state. By ‘a law’ or ‘a rule of law’, I mean

any norm so promulgated. A custom becomes a law when it is so

8A. Hamid S. Attamimi, UUD 1945-Tap MPR … op.cit., h. 136. Moh. Tolchah Mansoer,

Sumber Hukum dan Urutan Tertib Hukum Menurut Undang-undang Dasar ’45, Binacipta,

Bandung-Jakarta, 1979, h. 31.

Naskah Akademik PERDA Desa| 9

promulgated. This definition ignores the question, whether a role-

occupant has internalized a rule of law. It leaves problematical, whether

role performance matches the behaviour prescribed by the rule. ‘Phantom’

laws-i.e. rules promulgated the state which do not induce the prescribed

behaviour-may still appropriately be denoted rules of law”.9

Pada kenyataannya hukum bukanlah sebuah tatanan normatif belaka

yang terbebas dari permasalahan praktis. Apalagi dalam pandangan ilmu

hukum, hukum juga dapat dianggap sebagai suatu institusi sosial dan

berfungsi menjadi mekanisme pengintegrasi. Posisi hukum termasuk

peraturan daerah ini nanti musti juga sebagai institusi sosial yang dapat

terlihat dengan baik dalam bagan asupan-luaran yang dibuat oleh Harry C.

Bredemeier yang memanfaatkan kerangka besar sistem masyarakat dari teori

Talcott Parsons menyatakan bahwa terdapat singgungan antara berbagai

faktor dalam dimensi hukum yang ternyata tidak “kebal” dari dimensi non

hukum.

Deskripsi dari Bredemeier tersebut mampu memberikan pemahaman

untuk menunjukkan betapa pekerjaan peraturan daerah serta hasil-hasilnya

tidak hanya merupakan urusan hukum, melainkan merupakan bagian dari

proses kemasyarakatan yang lebih besar. Mengikuti pemikiran tersebut maka

pola kerja hukum (Perda) yang dipakai sebagai acuan oleh Bredeimeir adalah

yang menempatkan hukum sebagai media pengintegrasi penting semua

kebutuhan sosial. Bagan sebagaimana dibuat oleh Bredemeier dapat

bermanfaat bagi upaya untuk melihat pengembangan peraturan daerah

tentang Perda dan untuk memahami bagaimana kerja hukum sebagai suatu

institusi sosial yang acapkali bersentuhan dengan kenyataan.10 Oleh karena

itulah, Ranperda ini jelas memiliki sandaran teoritis-sosiologis untuk dijadikan

pedoman dalam mengatur Desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Azas pembentukan peraturan daerah tetap terikat pada perangkat

hukum nasional mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan

nasional berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Secara konseptual asas tersebut berkembang lebih jauh dari sekedar

deretan yang sederhana seperti yang diatur dalam Undang-undang. Apa saja

yang menjadi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

dapat diikuti dalam rangka pembentukan peraturan daerah di Kabupaten

Ogan Komering Ilir yang mengatur tentang desa. Mengikuti pemikiran Baron

de Montesquieu, C.K. Allen, Lon L. Fuller, Jeremy Bentham, Van der Vlies,

P. Nicolai dan A. Hamid S. Attamimi, dapat dikemukakan bahwa asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah:

9Robert R Seidman, The State Law And Development, St Martin’s Press, New York, 1978, h. 72.

10Hal ini diambil pula dari Ibid., h. 144.

Naskah Akademik PERDA Desa| 10

1. asas tujuan yang jelas (“het beginselen van de duidelijke doelstelling”)

2. asas kebutuhan adanya pengaturan yang bersifat umum (“het

noodzakelijkeidsbeginsel”)

3. asas institusi dan substansi yang tepat (het beginselen van het juiste

orgaan en substantie”)

4. asas dapat diimplementasikan (“het beginsel van de uitvoerbaarheid”)

5. asas diumumkan dan mudah dikenali (“het beginsel van de publicatie en

kenbaarheid”)

6. asas perumusan yang ringkas dan padat (“irredudency principle”)

7. asas penggunaan istilah yang mudah dimengerti dan sistematis (“het

beginsel van de duidelijke terminologie en duidelijke systematiek”)

8. asas konsensus dan konsistensi (“het beginsel van de consensus en

consistentie”)

9. asas tidak saling bertentangan (“noncontradiction”/”non controversy

principle”)

10. asas kepastian hukum (“het rechtszekerheidsbeginsel”)

11. asas tidak berlaku surut (“non retroactive legislation principle”), serta

12. asas menjangkau masa depan (prediktabilitas atau “rule prospective

principle”).11

Kedua belas asas tersebut merupakan “pedoman” (“richtlijn”) bagi setiap

langkah dan upaya pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk

pembentukan peraturan daerah. Dengan berpedoman pada asas-asas

termaksud diharapkan bahwa peraturan daerah mengenai desa di Kabupaten

Ogan Komering Ilir memiliki kualifikasi sebagai peraturan perundang-

undangan yang baik (“behoorlijke wetgewing/regelgeving”). Peraturan Daerah

yang dimaksud di sini adalah Peraturan Daerah yang dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten bersama dengan Bupati Ogan Komering

Ilir.

Dalam ketentuan di atas, yang dimaksud dengan hierarki adalah

penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan

pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, dalam teknik pembentukan peraturan perundang-undangan

(legal drafting), harus diperhatikan asas-asas penting yang menyertainya, di

antaranya adalah asas harmonisasi hukum dan sinkronisasi hukum, dalam

arti bahwa sebuah produk perundang-undangan, termasuk Perda, tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Suatu Perda harus sinkron

dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang di atasnya

11C.K. Allen, Law in The Making, Oxford University Press, London, 1961, h. 467-468.

Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and London, 1973, h. 39.

P. Nicolai, Beginselen van Behoorlijk Bestuur, Kluwer, Deventer, 1990, h. 187. A. Hamid S.

Attamimi, Peranan Keputusan … op.cit., h. 324-342. Satjipto Rahardjo, op.cit., h. 94-101.

W.G. van der Velden, De Ontwikkeling van de Wetgevingswetenschap, Koninklijke Vermande

B.V., Lelystad, 1988, h. 118-119. J.J. Oostenbrink, “Rechtsvorming door Rechtshandhaving” dalam P. de Haan, Rechtsvorming in de Sociale Rechtsstaat”, Kluwer, Deventer, 1989, h. 51-55. H.J. van Eikema Hommes, De Elementaire Grondbegrippen der Rechtswetenschap, Kluwer,

Deventer, 1972, h. 355-360. I.C. van der Vlies, Handboek Wetgeving, W.E.J. Tjeenk Willink,

Zwolle, 1991, h. 150-180. Semua ini sudah terdapat dalam kajian yang dikembangkan dalam Suparto Wijoyo, Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum … Semua ini menandakan bahwa

secara konseptual masalah asas pembentukan peraturan perudang-undangan menjadi sangat

penting dan harus diperhatikan pembuat peraturan.

Naskah Akademik PERDA Desa| 11

serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sejajar

(harmonis). Hirarkhi atau penjenjangan tersebut berlaku pula dalam

pembentukan Peraturan Daerah yang mengatur pengangkatan dan

pemberhentian perangkat desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Apabila

terdapat perbedaan substansi dan penormaan antara Peraturan Daerah

dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, maka ketentuan dalam

peraturan daerah harus disesuaikan atau diharmonisasikan/

disinkronisasikan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan

Komering Ilir tentang Desa, merupakan sebuah produk hukum yang

membanggakan DPRD Kabupaten Ogan Komering Ilir, Pemerintah Daerah

2.2 Struktur Pemerintahan Desa Sebagai miniatur negara Indonesia, Desa menjadi arena politik paling

dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan . Di satu

sisi, para perangkat Desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang

mempunyai daftar tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level

Desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan

administratif kepada masyarakat. Tugas penting pemerintah Desa adalah

memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga.

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa terdiri dari Kepala Desa, Badan

Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa. Badan Permusyawaratan Desa

terdiri dari Pimpinan dan Anggota sedangkan Perangkat Desa terdiri dari

Sekretaris Desa, Pelaksana Kewilayahan dan Pelaksana Teknis.

2.3. Eksistensi dan Regulasi Perangkat Desa.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 Tentang Desa

disebutkan bahwa: ”Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-

usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Unsur atau struktur

pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan

Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jadi, yang

menjadi motor dalam penyelenggaraan pemerintahan desa adalah Kepala Desa

dan perangkat desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan

bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal

usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desa mempunyai wewenang

untuk mengatur pemerintahan dan urusan sendiri sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, yang memerlukan regulasi secara khusus

diatur di masing-masing kabupaten sesuai dengan sosial budaya masyarakat

desa.

Naskah Akademik PERDA Desa| 12

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANGAN TERKAIT

3.1. Analisis Relevansi dan Korelasi Terhadap UUD 1945

Pasal 18.b Undang-undang Dasar 1945 mengakui adanya kesatuan

masyarakat hukum adat. Kemudian pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6

Tentang Desa berbunyi: “Pengaturan Desa bertujuan:

a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada

dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam

sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi

seluruh rakyat Indonesia;

c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;

d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk

pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;

e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,

terbuka, serta bertanggung jawab;

f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna

mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna

mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial

sebagai bagian dari ketahanan nasional;

h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan

pembangunan nasional; dan

i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Sejumlah isu yang terkandung UUD 1945 tentu membutuhkan

penjabaran lebih lanjut dalam bentuk undang-undang. Termasuk pasal 18

yang mengatur keberadaan daerah besar dan kecil. Pasal 18 itu berbunyi:

”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk

susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang

bersifat istimewa”.

Desa sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil yang mempunyai hak-

hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga ditegaskan:

“Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi

akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil’. Ini berarti bahwa daerah yang

lebih kecil mencakup kabupaten/kota dan Desa, atau setidaknya undang-

undang juga harus memberi kedudukan yang tepat keberadaan Desa yang

telah ada jauh sebelum NKRI lahir.

Naskah Akademik PERDA Desa| 13

3.2 Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah

Ketentuan Khusus tentang Desa diatur pada Bab XI Pasal 371 dan Pasal

372 dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014

Tentang Desa yang merupakan dasar hukum pembuatan peraturan daerah tentang

desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

3.3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa, disebutkan dalam rangka mengoptimalkan

penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Ruang Lingkup Pengaturan Peraturan Pemerintah ini ialah penataan Desa,

kewenangan Desa, Pemerintahan Desa, tata cara penyusunan peraturan di

Desa, keuangan dan kekayaan Desa, pembangunan Desa dan pembangunan

kawasan perdesaan, badan usaha milik Desa, kerja sama Desa, lembaga

kemasyarakatan Desa dan lembaga adat Desa, serta pembinaan dan

pengawasan Desa oleh camat.

Peraturan Pemerintah ini disusun dalam rangka mewujudkan

penyelenggaraan Desa yang didasarkan pada asas penyelenggaraan

pemerintahan yang baik serta sejalan dengan asas pengaturan Desa

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, antara lain kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan,

tertib kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas,

efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman serta partisipasi. Dalam

melaksanakan pembangunan Desa, diutamakan nilai kebersamaan,

kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan

keadilan sosial.

Peraturan Pemerintah ini menjadi pedoman bagi Pemerintah dan

pemerintah daerah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam

mewujudkan tujuan penyelenggaraan Desa sebagaimana diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni terwujudnya Desa

yang maju, mandiri, dan sejahtera tanpa harus kehilangan jati diri.

Peraturan Pemerintah ini dijadikan dasar pembentukan Peraturan

Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir tentang Desa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

disebutkan bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah

sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Naskah Akademik PERDA Desa| 14

Berdasarkan dasar pemikiran berikut hirarki normatif sebagaimana

ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 dapat dipahami

bahwa kedudukan Peraturan Daerah berada di bawah Peraturan

Pemerintah.12 Dengan kata lain dalam konteks persoalan rancangan peraturan

daerah tentang desa, maka kedudukan peraturan daerah tersebut nantinya

merupakan subordinasi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tetang Desa Nomor 43 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

12 Periksa penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 Dalam ketentuan ini

yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Naskah Akademik PERDA Desa| 15

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS

Untuk mewujudkan tatanan masyarakat desa yang baik dimulai dengan

pembentukan karakter kepemimpinan lokal yang arif yang dapat membawa

rasa aman, nyaman, terlindungi dari sisi keadilan dan hidup dengan

kebersamaan dan kegotongroyongan serta pembangunan dan kegiatan

pemberdayaan masyarakat lainnya. Untuk itu perlu instrument dan pranata

hukum yang baik pula. Perlu suatu pengaturan hukum yang tegas dan pasti

tentang rule of law tentang desa.

Suatu peraturan perundang-undangan agar dapat berlaku di

masyarakat harus menjadi parameter bagi masyarakat agar norma-norma

yang terkandung di dalamnya ditaati dan dilaksanakan sehingga tidak sekedar

menjadi muatan di atas kertas. Hukum-hukum yang dibuat hendaknya

mencerminkan keadilan, ketertiban disamping adanya suatu kepastian

hukum.

Tatanan hukum yang merupakan obyek dari pengetahuan ini

merupakan tatanan norma perilaku manusia yakni sebuah sistem norma yang

mengatur perilaku manusia untuk berperilaku dengan cara tertentu, dimana

bermakna bahwa tindakan manusia yang satu diarahkan kepada perilaku

manusia yang lain (Hans Kelsen, 2006: 4-5).

Pada awalnya suasana hukum, meliputi semata-mata hubungan-

hubungan dan perimbangan kemasyarakatan, yang mempunyai arti yang

fundamental bagi keterikatan dan keterpaduan kelompok (Emeritus John

Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, 2005: 31). Hubungan-hubungan antar

anggota kelompok, kelompok dan kekuasaan umum yang berisikan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban perlu dituangkan dalam peraturan-peraturan

melalui satu atau lain cara. hal ini bermaksud untuk memberikan suatu

keadilan. Gustav Radbruch (1973: 164) beranggapan sebagai salah satu dari

komponen (dan sekaligus antinomy) ide hukum, yakni keadilan, yang oleh

HLA. Hart, dalam Le Concept du Droit (1976: 103) dinamakan norma-norma

yang mengatur perikatan “aturan-aturan” hukum primer.

Hukum adalah “Keadilan”, sehubungan dengan keadilan Ulpianus

sebagaimana dikutip oleh Johnny Ibrahim bahwa, “Iustitia est constan et

perpetua voluntas ius cuique tribuendi” yang mengandung makna bahwa

“keadilan adalah kehendak yang bersifat tetap dan tak ada akhirnya untuk

memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya”. Paradigma

keadilan tersebut diserap dan dijabarkan lebih lanjut oleh Justianus dalam

Corpus Iuris Civilis (dasar hukum sipil Romawi) menyebutkan, “Juris

praecepta sunt haec: honeste vivere, alterum non laedeere, Undang-Undang

cuique tribure, yang bermakna “ peraturan dasar dari hukum adalah hidup

dengan patut, tidak merugikan orang lain, dan memberi pada orang lain apa

yang menjadi bagiannya”.

Imanuel Kant (1785: 421) memberikan elaborasi lebih lanjut dalam

tesisnya yang terkenal tentang prinsip hukum umum (principle of universal

law), “Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang sama

Anda dapat menghendaki maksim tersebut menjadi hukum umum”. Peran

hukum untuk menciptakan keadilan yang didambakan setiap orang dan yang

menjadi takaran keadilan adalah hukum (justice according to the law). Untuk

Naskah Akademik PERDA Desa| 16

itu Agustinus berani menegaskan dalam suatu postulatnya bahwa hukum

yang tidak adil itu bukanlah hukum (lex iniusta non est lex – an unjust law is

no law).

Hukum berguna untuk menjadi sebagai takaran keadilan, kalau pun

nanti dalam kenyataan tidak sempurna merefleksikan keadilan itu perlu

dilihat bahwa hukum hanyalah hukum, namun tetap maunya adil. Keadilan

harus ditegakkan apapun resikonya, sehingga keadilan harus menjadi “value

that a lawyer should be ready to stand and to die for” dalam praktik penegakan

hukum. Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian, dan

pertimbangan. Karena itu, mekanisme bekerjanya hukum digambarkan

sebagai suatu neraca keadilan. Sehubungan hal tersebut, maka hukum

bersifat kompromistis, karena keadilan manusia tidaklah mutlak.

Unsur lain yang dibutuhkan manusia dari hukum yakni, “Ketertiban”,

dalam kepustakaan common law sering menyandingkan hukum dengan

ketertiban atau menyebutnya law and order, untuk mewujudkan ketertiban

itu, maka manusia memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan

cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Dengan terwujudnya

ketertiban maka berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat

akan terpenuhi.

Sesungguhnya ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia adalah

ketertiban dan kaidah yang secara otentik menciptakan kondisi yang

memungkinkan manusia secara wajar mengekspresikan kepribadiannya

secara utuh dalam rangka pengembangan potensi yang dimilikinya selaku

manusia. Oleh karenanya menjadi penting pemahaman bahwa hukum adalah

tatanan pemikiran demi kebaikan bersama yang diungkapkan oleh siapa saja

yang peduli terhadap ketertiban masyarakat.

Aspek yang tidak kala pentingnya dalam hukum adalah apa yang

dikenal dengan “Kepastian”, ketika kita mengadakan dan mengakui adanya

pranata hukum, lembaga hukum, dituntut adanya komitmen keras untuk

menepatinya. Karena tanpa kepastian hukum akan berimbas pada terjadinya

kekacauan dalam masyarakat. Itulah sebabnya hukum akan berperan dalam

fungsinya untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian dalam

masyarakat.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan mensyaratkan bahwa suatu peraturan perundangan

yang dibuat setidaknya ada beberapa landasan/dasar agar peraturan

perundang-Undangan dapat berlaku dengan baik. Baik disini dalam arti

bahwa peraturan perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara

efektif dan baik dalam teknik penyusunannya. Paling tidak ada 3

landasan/dasar bagi peraturan perundang-undangan yaitu:

4.1. Landasan Filosofis

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang

diidealkan (ideals norm) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur

kehidupan bermasyarakat dan bernegara diarahkan, karena itu undang-

undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu

masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan

dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang

bersangkutan dalam kenyataan. Oleh karena itu cita-cita filosofis yang

Naskah Akademik PERDA Desa| 17

terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita

filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan13.

Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan atau

dasar filosofis (filosofische grondstag) apabila rumusannya atau norma-

normanya mendapatkan pembenaran (rerchtvaardiging) dikaji secara filosofis.

Landasan atau dasar firosofis peraturan perundang-undangan adalah

landasan atau dasar yang berkaitan dengan, filosofis atau ideologi negara.

Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan

keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. Hal ini yang disebut dengan cita

hukum; yaitu yang berkaitan dengan baik dan buruk adil atau tidak.

Hukum diharapkan mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa

adil dalam masyarakat.

Peraturan perundang-undangan harus mencerminkan nilai-nilai (cita

hukum) yang terkandung dalan Pancasila. Menurut Rudolp Stamler, cita

hukum adalah konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk

mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum

berfungsi sebagai bintang pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita

masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak mungkin tercapai,

namun cita hukum memberikan manfaat karena mengandung dua sisi yaitu

dengan cita hukum kita dapat menguji hukum positif yang berlaku dan cita

hukum kita dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha dengan sanksi

pemaksa menuju sesuatu yang adil (zwangversuch zum Richtigen) 14.

Selanjutnya Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum berfungsi

sebagai tolak ukur yang bersifat regulative dan konstruktif. Tanpa cita

hukum, hukum kehilangan maknanya. Dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam

cita hukum kedalam norma hukum tergantung kepada tingkat kesadaran dan

penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk peraturan

perundang-undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-nilai tersebut dapat

terjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat.

Oleh karena itu dalam Negara Indonesia yang memiliki cita Hukum

Pancasila sekaligus sebagai norma fundamental negara, maka peraturan

perundang-undangan yang hendak dibuat, hendaknya diwarnai dan dialiri

nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum tersebut. Menurut Lampiran I

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan bahwa landasan filosofis merupakan pertimbangan atau

alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang

meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber

dari Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian yang menjadi dasar filosofis dari Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Tentang Desa adalah pada pandangan

hidup Bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam butir-butir Pancasila

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Nilai-nilai Pancasila ini dijabarkan dalam hukum yang dapat

menunjukkan nilai-nilai keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. Rumusan

13 Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, RajaGrafindo Persada, 2010., hal 117 14 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (2) , Proses dan Teknik Penyusunan, Kanisius, 2007,

hal 237

Naskah Akademik PERDA Desa| 18

Pancasila ini yang merupakan dasar hidup Negara Indonesia dituangkan

dalam pembukaan UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dinyatakan

dengan tegas bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechstaat) bukan

berdasarkan kekuasaan (machstaat).

4.2. Landasan Yuridis

Landasan Yuridis tidak dapat dilepaskan dengan adanya pondasi

ketatanegaraan Indonesia yang bersendikan atas hukum. Negara Indonesia

adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat) bukan berdasarkan

atas kekuasaan (Machtstaat). Oleh karena itu setiap produk peraturan-

peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memenuhi tata cara yang

ditetapkan oleh undang-undang dengan memenuhi asas-asas yang terdapat

dalam nafas negara hukum.

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan

dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Dengan demikian apabila diterapkan maka landasan yuridis adalah

landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan

(bevoegdheid atau competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan.

Apakah kewenangan seseorang pejabat atau lembaga/badan tertentu

mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan atau tidak.

Dengan demikian jenis peraturan perundang-undangan serta lembaga

atau badan yang berwenang membentuknya harus mempunyai landasan

formal secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa landasan

formal demikian, maka prinsip negara berdasar atas hukum akan

menjadi goyah. Oleh karena itu dasar yuridis sangat penting dalam

pemuatan peraturan perundang-undangan yang ditandai dengan:

1. adanya kewenangan untuk pembuat peraturan perundang-undangan,

karena setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh

lembaga/badan atau pejabat yang berwenang.

2. adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan

dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.

3. mengikuti tata cara atau prosedur tertentu, apabila tidak diikuti maka

peraturan perundang-undangan tersebut dimungkinkan batal demi

hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Suatu Undang-undang tidak boleh mengandung kaidah

yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada

peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.

Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga

merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis peraturan

perundang-undangan adalah landasan yuridis material. Landasan yuridis

material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat

dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Pembentuk peraturan

menghendaki bahwa sesuatu materi tertentu hendaknya diatur dalam suatu

Naskah Akademik PERDA Desa| 19

peraturan perundang-undangan tertentu pula. Dalam UUD 1945

disebutkan adanya materi-materi tertentu yang harus diatur dengan Undang-

undang. Isi atau substansi suatu peraturan perundang-undangan harus

sesuai dengan "wadahnya" atau jenis peraturan perundang-undangan. Selain

itu, isi suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan

dengan isi peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.

Dalam doktrin pembentukan peraturan Perundang-undangan, secara

teoritis beberapa ahli telah memperkenalkan asas perundang-undangan

antara lain adalah Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam

Peraturan dan Yurisprudensi (1979) menyebutkan ada enam asas

peraturan perundang-undangan yang meliputi:

1. Undang-undang tidak berlaku surut;

2. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang

yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generali);

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang

yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori);

5. Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat;

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat

mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun

individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (Welvaarstaat).

Berkenaan dengan landasan yuridis ini maka Penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir tentang Desa perlu

memperhatikan beberapa hukum positif yang berlaku, sehingga substansi

pengaturan rancangan peraturan daerah ini nantinya tidak akan bertentangan

dengan peraturan tersebut. Salah satu hukum positif yang harus dijadikan

dasar acuan adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43

Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa, yang di dalamnya juga mengatur tentang penyelenggaraan

pemerintah desa dan kemasyarakatan.

4.3. Landasan Sosiologis

Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah

mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum

yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu

dalam konsideran harus dirumuskan dengan baik, pertimbangan-

pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu gagasan normatif yang

dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan

yang hidup dalam kesadaran masyarakat15.

15 Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang……..op. cit, hal 118

Naskah Akademik PERDA Desa| 20

Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan atau

dasar sosiologis (sociologische grondslag) apabila ketentuan-ketentuannya

sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.

Landasan atau dasar sosiologis peraturan perundang-undangan adalah

landasan atau dasar yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan yang

hidup dalam masyarakat.

Kondisi/kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang

dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan

memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan

diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku

secara efektif.

Berangkat dari sebuah ide desa sebagai sebuah self governing community 16, sebenarnya identik dengan konsep desa sebagai kesatuan masyarakat

hukum adat yang sudah lama dikenal dalam undang-undang, termasuk UU

No. 5/1979. Namun konsep self governing community yang terus-menerus

dikemukakan oleh Prof. Ryaas Rasyid sebenarnya identik dengan konsep

“otonomi asli” yang sering dibicarakan. “Serahkan sepenuhnya desa menjadi

urusan rakyat, pemerintah tidak perlu mengurus desa”.

Berdasarkan sketsa teori dan pengalaman sejarah, setidaknya ada tiga

posisi politik desa bila ditempatkan dalam formasi Negara 17 :

a. Pertama, desa sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai

pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing community.

Dalam tradisi Minangkabau, self-governing community ini identik dengan

“republik kecil”, sebuah posisi yang dimiliki nagari-nagari pada masa

lampau.

Self-governing community berarti komunitas lokal membentuk dan

menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal,

bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan

tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara.

Secara historis, tidak hanya nagari di Minangkabau yang punya predikat

self-governing community, tetapi juga desa-desa di Jawa maupun

komunitas adat di daerah-daerah lain di Indonesia.

Kita juga mengenal pengalaman self-governing community dalam bentuk

commune di Eropa Daratan atau parish di Inggris Raya, yang setara

dengan desa di Indonesia. Meskipun sudah ada negara-bangsa yang lebih

besar, sampai saat ini commune dan parish masih tetap ada sebagai

organisasi komunitas lokal yang tidak berurusan dengan adminitrasi

pemerintahan negara.

b. Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom atau

disebut local self government. Posisi ini sama dengan proyeksi tentang

“desa otonom” yang dikemukakan Selo Sumardjan dan Ibnu Tricahyo.

Local self government ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara

otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi), yakni

negara mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk

daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan

kewenangan kepada pemerintah lokal. Menurut UU No. 22/1999 dan UU

16Suryokoco Suryoputro “posisi politik dan kewenangan desa dalam http://relawandesa.wordpress.com .

17 Ibid

Naskah Akademik PERDA Desa| 21

No. 32/2004, daerah sudah diposisikan sebagai local self government.

Artinya daerah membentuk sendiri institusi-institusi pemerintah daerah,

pemerintah daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam perencanaan

pembangunan dan anggaran, menyelenggarakan pelayanan publik serta

bertanggungjawab kepada rakyat setempat.

Sementara, bagi desa, sebutan “otonomi asli” merupakan bentuk otonomi

tradisional dalam kerangka self governing community , dan posisi local self

government merupakan bentuk “otonomi modern” dalam payung negara

bangsa. Jika desa akan dikembangkan menjadi local self government, maka

yang harus dilakukan bukan sekadar menegaskan kewenangan asal-usul,

melainkan negara melakukan desentralisasi politik (devolusi) kepada desa,

seperti yang dilakukan negara kepada daerah. Dalam regulasi, misalnya, perlu

ditegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi

provinsi, kabupaten/kota dan desa.

c. Ketiga, desa sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal atau

disebut dengan local state government. Ini merupakan bentuk lain dari

pemerintahan yang sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan

hanya melakukan dekonsentrasi.

Contoh yang paling jelas dari tipe ini adalah kecamatan dan kelurahan.

Keduanya bukan unit pemerintahan lokal yang otonom atau menerima

desentralisasi dari negara, melainkan sebagai kepanjangan tangan negara

di tingkat lokal.

Daerah maupun desa di masa Orde Baru juga dibuat sebagai kepanjangan

tangan negara (local state government). Model local state government ini

jelas menimbulkan banyak kerugian: ketimpangan ekonomi-politik pusat

dan lokal, ketergantungan dan ketidakmampuan lokal, dan hilangnya

kedaulatan rakyat.

Ketiga posisi di atas bersifat absolut, harus dibedakan dan dipilah secara

tegas dan jelas. Penempatan posisi daerah atau desa tidak boleh

menggabungkan lebih dari satu model, melainkan harus tegas memilih salah

satu model agar penggunaan kewenangan, pengambilan keputusan,

penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan antarpemerintah lebih jelas

dan efektif. Penggabungan lebih dari satu model tentu akan menimbulkan

ketidakjelasan penyelenggaraan pemerintahan. Contoh yang paling konkret

adalah posisi ganda provinsi. Kabupaten/kota maupun masyarakat sering

menuding ketidakjelasan peran provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan

dan pelayanan publik. Ini terjadi karena posisi ganda provinsi: di satu sisi ia

sebagi daerah otonom (local self government) yang menerima desentralisasi, di

sisi lain provinsi juga kepanjangan tangan pusat (local state government) yang

menerima dekonsentrasi.

Dengan landasan atau dasar sosiologis, peraturan perundang –

undangan yang dibuat dapat di terima oleh masyarakat secara wajar

bahkan spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat

dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaedah

hukum, yaitu :

Naskah Akademik PERDA Desa| 22

1. Teori kekuasaan bahwa secara sosiologis kaedah hukum berlaku karena

paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.

2. Teori pengakuan menyatakan bahwa kaedah hukum berlaku berdasarkan

penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

Dalam kaitan ini perlu pula kiranya dicatat pendapat Friedman

sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin dkk yang mengatakan bahwa “The

legal sistem is not a machine, it is run by human being”.

Secara sosiologis tujuan dari dibentuknya Peraturan Daerah tetang Desa

ini, sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:

1. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta

(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

2. Memberdayakan dan mengoptimalkan peran desa sebagai entitas

masyarakat;

3. Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa

mencakup:

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau

pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang

perundangan diserahkan kepada desa.

Naskah Akademik PERDA Desa| 23

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN

Sasaran pengaturan yang menjadi kisi-kisi materi muatan yang

dikemukakan dalam naskah akademik tentang Raperda Kabupaten Ogan

Komering Ilir Tentang Desa ini mencakup beberapa perubahan dalam pasal

yang mengatur tentang tata cara dan persyaratan pengangkatan dan

pemberhentian perangkat desa. Detail pengaturan dalam peraturan daerah

tersebut adalah mencakup:

a. Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1) b. Bab II : Pembentukan Desa

Bagian Kesatu : Tujuan Pembentukan (Pasal 2)

Bagian Kedua : Syarat-Syarat Pembentukan (Pasal 3) Bagian Ketiga : Tata Cara Pembentukan (Pasal 4,5,6,7,8 & 9)

Bagian Keempat : Penggabungan Desa oleh Pemerintah Daerah (Pasal 10 & 11)

Bagian Kelima : Penghapusan Desa (Pasal 12)

Bagian Keenam : Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Pasal 13 & 14)

c. Bab III : Pemerintahan Desa Bagian Kesatu : Kepala Desa

- Paragraf 1 : Tugas dan Wewenang Kepala Desa

(Pasal 16,17 & 18) - Paragraf 2 : Tata Cara Pemilihan Kepala Desa

(Pasal 19,20,21,22,23&24)

- Paragraf 3 : Masa Jabatan Kepala Desa (Pasal 26) - Paragraf 4 : Pemilihan Kades Antar Waktu melalui Musdes

(Pasal 27 &28) - Paragraf 5 : Laporan Kepala Desa

(Pasal 29,30,31,32,33,34 & 35)

- Paragraf 6 : Pemberhentian Kepala Desa (Pasal 36,37,38,39,40 & 41)

Bagian Kedua : Perangkat Desa - Paragraf 1 : Pembagian Tugas Perangkat Desa

(Pasal 42,43,44 & 45)

- Paragraf 2 : Pengesahan Perangkat Desa (Pasal 46,47,48,49 & 50)

- Paragraf 3 : Pembentukan Perangkat Desa

(Pasal 51,52 & 53) Bagian Ketiga : Pakaian Dinas dan Atribut (Pasal 54)

Bagian Keempat : Badan Permusyawaratan Desa - Paragraf 1 : Fungsi, Syarat, Hak, Kewajiban & Larangan BPD

(Pasal 55,56,57,58,59,60,61,62 & 63)

- Paragraf 2 : Musyawarah BPD (Pasal 64) - Paragraf 3 : Pengisian Keanggotaan BPD (Pasal 65,66 & 67)

- Paragraf 4 : Pengisian Keanggotaan BPD Antar Waktu (Pasal 68)

- Paragraf 5 : Pemberhentian Anggota BPD (Pasal 69)

- Paragraf 6 : Peraturan Tata Tertib BPD (Pasal 70) - Paragraf 7 : Hak Pimpinan dan Anggota BPD

(Pasal 71 & 72)

Bagian Kelima : Ketentuan Penyidikan Kades, BPD dan Perangkat Desa (Pasal 73)

Naskah Akademik PERDA Desa| 24

Bagian Keenam : Musyawarah Desa (Pasal 74) Bagian Ketujuh : Penghasilan Pemerintah Desa (Pasal 75 & 76)

d. Bab IV : Tata Cara Peraturan di Desa Bagian Kesatu : Peraturan Desa (Pasal 77 & 78) Bagian Kedua : Peraturan Kepala Desa (pasal 79)

Bagian Ketiga : Pembatalan Peraturan Desa dan Peraturan Kades (Pasal 80)

Bagian Keempat : Peraturan Bersama Kepala Desa (Pasal 81 & 82) e. Bab V : Keuangan dan Kekayaan Desa

Bagian Kesatu : Keuangan Desa

- Paragraf 1 : Kedudukan Keuangan Desa (Pasal 83,84,85 & 86)

- Paragraf 2 : Kedudukan Keuangan Kades dan

Perangkat Desa (Pasal 87,88,89 & 90) Bagian Kedua : Sumber Pedapatan Desa

- Paragraf 1 : Jenis Pendapatan Desa (Pasal 91) - Paragraf 2 : Pendapatan Asli Desa (Pasal 92) - Paragraf 3 : Dana Desa (DD) (Pasal 93 & 94)

- Paragraf 4 : Bagi Hasil Pajak, Retribusi Daerah dan Pendapatan lain-lain yang diserahkan

ke Pemerintah Desa (Pasal 95) - Paragraf 5 : Alokasi Dana Desa (ADD) (Pasal 96) - Paragraf 6 : Dana Bantuan Keuangan Pemerintah Propinsi

Dan Pemerintah Kabupaten (Pasal 97 & 98) - Paragraf 7 : Penyaluran (Pasal 99) - Paragraf 8 : Belanja Desa (Pasal 100)

Bagian Ketiga : Anggaran Pedapatan dan Belanja Desa - Paragraf 1 : Perumusan APBDesa (Pasal 101)

- Paragraf 2 : Struktur APBDesa (Pasal 102) - Paragraf 3 : Pelaporan (Pasal 103) - Paragraf 4 : Peratanggung Jawaban (Pasal 104)

Bagian Keempat : Pelaksanaan Anggaran - Paragraf 1 : Pengelolaan (Pasal 105,106 & 107)

- Paragraf 2 : Pengelolaan Keuangan Desa (Pasal 108) Bagian Kelima : Pembinaan dan Pengawasan

(Pasal 109,110 & 111)

Bagian Keenam : Pengelolaan Kekayaan Milik Desa - Paragraf 1 : Kekayaan Milik Desa (Pasal 112 & 113) - Paragraf 2 : Tatacara Pengelolaan Kekayaan Milik Desa

(Pasal 114,115,116,117 & 118) f. Bab VI : Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Bagian Kesatu : Pembangunan Desa - Paragraf 1 : Perencanaan Pembangunan Desa

(Pasal 119,120,121,122,123,124 & 125)

- Paragraf 2 : Pelaksanaan Pembangunan Desa (Pasal 126 & 127

Bagian Kedua : Pembangunan Kawasan Perdesaan

(Pasal 128,129 & 130) Bagian Ketiga : Pemberdayaan Masyarakat dan Pendampingan

Masyarakat Desa - Paragraf 1 : Pemberdayaan Masyarakat Desa

(Pasal 131 & 132)

- Paragraf 2 : Pendampingan Masyarakat Desa (Pasal 133,134 & 135)

Naskah Akademik PERDA Desa| 25

g. Bab VII : Badan Usaha Milik Desa

Bagian Kesatu : Pendirian dan Organisasi Pengelola (Pasal 136 & 137)

Bagian Kedua : Maksud dan Tujuan Pendirian BUM Desa (Pasal 138)

Bagian Ketiga : Pembentukan BUM Desa (Pasal 139)

Bagian Keempat : Anggaran Dasar dan Anggaran RT BUM Desa (Pasal 140)

Bagian Kelima : Organisasi BUMDes (Pasal 141) Bagian Keenam : Pengelola BUMDes (Pasal 142) Bagian Ketujuh : Pengangkatan dan Pemberhentian Pengurus

BUM Desa (Pasal 143) Bagian Kedelapan: Tugas dan Kewenangan Kepengurusan

BUM Desa (Pasal 144, 145 & 146)

Bagian Kesembilan: Hak dan Kewajiban Kepengurusan BUM Desa (Pasal 147)

Bagian Kesepuluh : Larangan Kepengurusan BUM Des (Pasal 148) Bagian Kesebelas : Jenis Usaha BUM Desa (Pasal 149 & 150) Bagian Kedua belas: Modal dan Kekayaan BUM Desa (Pasal 151)

Bagian Ketiga belas: Pengembangan Kegiatan Usaha BUM Desa (Pasal 152 & 153)

Bagian Keempat belas: Pendirian BUM Desa Bersama (Pasal 154) Bagian Kelima belas: Bagi Hasil Usaha BUM Desa (Pasal 155) Bagian Keenam belas: Keuntungan, Kerugian Dan Kepailitan

BUM Desa (Pasal 156) Bagian Ketujuh belas: Tata Kerja BUM Desa (Pasal 157) Bagian Kedelapan belas: Pembinaan BUM Desa (Pasal 158)

Bagian Kesembilan belas: Pengawasan BUM Desa (Pasal 159, 160 & 161)

h. Bab VIII : Kekayaan Desa (Pasal 162,163,164,165,166,167 & 168) i. Bab IX : Lembaga Kemasyarakatan dan Lembaga Adat Desa

- Paragraf 1 : Lembaga Kemasyarakatan Desa (Pasal 169 & 170)

- Paragraf 2 : Lembaga Adat Desa (Pasal 171 & 172) j. Bab X : Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat (Pasal 173)

k. Bab XI : Ketentuan Peralihan (Pasal 174) l. Bab XII: Ketentuan Penutup (Pasal 175)

Naskah Akademik PERDA Desa| 26

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan sebagaimana pada bab-bab sebelumnya maka

dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :

1. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Peraturan

Daerah Tentang Desa yang akan dibentuk di Kabupaten Ogan

Komering Ilir melalui naskah akademik ini merupakan upaya

untuk menciptakan kepastian hukum tentang Pemerintahan

Desa, Pembangunan, Pembinaan Kemasyarakatan dan

Keberdayaan Masyarakat Desa.

2. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Peraturan

Daerah Tentang Desa yang akan dibentuk di Kabupaten Ogan

Komering Ilir ini merupakan wujud komitmen dan konsistensi

DPRD dan Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir di

bidang legislasi daerah untuk melakukan harmonisasi dan

sinkronisasi Peraturan Daerah sebagai peraturan pelaksanaan

dan subordinat dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 tentang Desa.

3. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Peraturan

Daerah Tentang Desa yang akan dibentuk di Kabupaten Ogan

Komering Ilir ini secara fungsional sebagai instrumen yang

dapat memberikan pedoman bagi masyarakat dan

pemerintah di Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan desa dan kemasyarakatan.

4. Di dalam rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk ini

masih terbuka ruang untuk memperkaya materi muatan yang

sifatnya lokal sekaligus merepresentasikan ‘perasaan’

masyarakat secara aspiratif sebagai basis sosial tempat

produk hukum ini diterapkan.

4.2. Saran

Untuk mendukung realisasi rencana pembentukan Peraturan Daerah

tentang Tentang Desa, berikut ini beberapa hal yang patut diagendakan

antara lain :

1. Mengingat materi muatan dalam Raperda ini cenderung bersifat

tehnis maka diharapkan penyusunan klausul yang ada secara

komunikatif dan detil dapat dipahami oleh para pihak yang

berkepentingan dengan implementasi Peraturan Daerah

tersebut.

Naskah Akademik PERDA Desa| 27

2. Agar proses pembentukan peraturan daerah ini lebih

mendapatkan justifikasi sosial sebagai bagian dari sukses

pembentukan yang mendukung pelaksanaan maka sosialisasi

intensif pra dan pasca pembentukan peraturan daerah harus

dilakukan secara efektif.

3. Agar implementasi peraturan daerah ini kelak dapat

berlangsung efektif maka dalam tataran pelaksanaan harus

diwarnai dengan komitmen dan konsistensi serta rasa memiliki

dari basis sosial masyarakat sebagai wujud kebersamaan dalam

kerangka visi dan misi Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Naskah Akademik PERDA Desa| 28

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Assidhiqi dan M.Ali Safa’at, , Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,2006.

Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, RajaGrafindo Persada, 2010.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (2) , Proses dan Teknik Penyusunan, Kanisius, 2007.

Peter Mahmud Marzuki, , Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta

, 2005.

Raharjdo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan

Pertanian Rosjidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia,

Bandung, CV. Mandar Maju, 1998.

William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.