15 BAB II...15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Obesitas pada Anak Obesitas merupakan penyakit kronis yang...
Transcript of 15 BAB II...15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Obesitas pada Anak Obesitas merupakan penyakit kronis yang...
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Obesitas pada Anak
Obesitas merupakan penyakit kronis yang terjadi akibat jalinan faktor
genetik dan lingkungan. Pengertian tentang mengapa dan bagaimana obesitas
terjalin, belum dipahami sepenuhnya. Namun keterlibatan faktor sosial, budaya,
perilaku, metabolik, dan genetik dalam jalinan ini tidak terbantahkan lagi
(Arisman, 2010).
Sementara di masyarakat dijumpai konsep bahwa anak gemuk adalah anak
sehat. Konsep gemuk adalah anak sehat tidak benar, oleh karena gemuk
menyebabkan berbagai penyakit kronis di kemudian hari. Meskipun konsep ini
tidak benar, akan tetapi prevalensi anak gemuk atau obesitas meningkat di negara
maju maupun di negara berkembang. Seperti dalam penelitian yang dilakukan
oleh De Onis, dkk. tahun 2010 di 144 negara, sebanyak 43 juta anak menderita
obesitas, 35 juta diantaranya berada di Negara berkembang. Prevalensinya
meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7% tahun 2010 dan diperkirakan
menjadi 9,1% atau sekitar 60 juta anak pada tahun 2020. Prevalensi di Afrika
lebih tinggi dibandingkan di Asia (De Onis et al., 2010). Di Indonesia, prevalensi
obesitas pada anak meningkat dari 9,5% tahun 2007 menjadi 11,7% tahun 2010.
Sedangkan di Provinsi Bali prevalensi obesitas pada usia 13-15 tahun yaitu
sebesar 3,1% (Depkes RI, 2008; Depkes RI, 2010). Berdasarkan Data Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi kegemukan pada anak umur 13-15 tahun
15
16
di Indonesia sebesar 10.8%, terdiri dari 8,3% gemuk (overweight) dan 2,5%
sangat gemuk (obesity). Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi dengan
prevalensi obesitas diatas nasional (Kemenkes RI, 2013). Di Kota Denpasar,
prevalensi obesitas pada anak meningkat dari 11% tahun 2002 menjadi 21,7%
tahun 2010 (Gary & Soetjiningsih, 2002; Yoga & Sidiartha, 2010).
Lebih dari separuh obesitas pada masa anak-anak dan remaja akan tetap
menjadi obesitas pada masa dewasa dengan berbagai dampak buruk terhadap
kesehatan (Wang et al. 2011). Fakta ini mengindikasikan bahwa obesitas pada
anak sudah menjadi masalah kesehatan global yang memerlukan penanganan
segera. Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa
dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif
dikemudian hari (Kasiman, 2011). Obesitas pada anak dan remaja dikaitkan terkait
dengan metabolisme yang merugikan dan risiko terjadinya kardiovaskular,
eksaserbasi asma, rendahnya harga diri dan kemungkinan peningkatan menjadi
obesitas di masa dewasa (Daniels & Greer, 2008).
Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit
kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar
(Lenders & Hoppin, 2003). Penelitian Syarif menemukan hipertensi pada 20–30%
anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal (Syarif, 2003). Faktor
Risiko ini meliputi peningkatan: kadar insulin, trigliserida, LDL-kolesterol dan
tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL-kolesterol. Risiko penyakit
Kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7 - 2,6. IMT
mempunyai hubungan yang kuat (r=0,5) dengan kadar insulin. Anak dengan
17
IMT>persentile ke 99,40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15%
mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida
tinggi (Freedman et al., 2001). Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi (Syarif,
2003).
2.1.1. Definisi Obesitas
Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh. Obesitas juga disebutkan
sebagai keadaan patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang
berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Apabila energi yang
bersumber dari makanan masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang
dikeluarkan untuk aktivitas, maka berat badan akan bertambah dan sebagian besar
kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak tubuh (Adriani &
Wiratmadi, 2012).
WHO mendefinisikan obesitas sebagai penumpukan lemak tubuh
berlebihan yang berdampak buruk terhadap kesehatan (WHO, 2015). Jaringan
lemak adalah salah satu komponen tubuh yang berkontribusi terhadap berat badan.
Pada saat lahir, tubuh mengandung 12% lemak, kemudian meningkat menjadi 15-
18% pada laki-laki dan 25-28% pada perempuan pada saat berusia 18 tahun.
Sementara itu peningkatan berat badan sekitar 10-15%. Hal ini menunjukkan
bahwa kenaikan berat badan didominasi oleh peningkatan lemak (Aycan, 2009).
Bila asupan energi melebihi kebutuhannya, maka kelebihan ini akan diubah
menjadi lemak dalam bentuk trigliserida dan disimpan pada jaringan lemak.
Timbunan lemak akan meningkatkan berat badan dan meningkatkan
18
keseimbangan baru terhadap kebutuhan energi. Keadaan ini membutuhkan asupan
energi lebih tinggi, sehingga anak obesitas akan cenderung menjadi lebih obesitas
apabila asupan energinya tidak dikendalikan (Sudargo, et al., 2014).
2.1.2. Metode Pengukuran Lemak Tubuh
Lemak tubuh dapat diukur dengan berbagai metode. Metode berdasarkan
densitas misalnya hydrodensitometry dan air displacement plethymografphy;
metode berdasarkan scanning misalnya computerized tomography, magnetic
resonance imaging dan dual-energy x-ray absorptiometry; metode berdasarkan
bioelectrical impedance analysis; dan metode antropometri misalnya skinfold,
waist circumference, waist-hip ratio dan Body Mass Indeks (Sweeting, 2007).
Komisi ahli dari Divisi Pediatri telah merekomendasikan Body Mass
Indeks (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai pengukuran kegemukan
dan obesitas pada anak dan remaja diatas usia 2 tahun sampai dengan 20 tahun
berdasarkan jenis kelamin dan umur. IMT merupakan petunjuk untuk menentukan
kelebihan berat badan berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi dengan
kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Hasil perhitungan IMT kemudian di-
plot ke dalam grafik IMT sesuai jenis kelamin dan usia anak (Barlow et al., 2007).
Penghitungan IMT merupakan cara praktis, mudah dikerjakan dan banyak
digunakan untuk kepentingan klinis dan penelitian. Penghitungan IMT dilakukan
dengan membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan
dalam satuan meter (kg/m2). Indeks massa tubuh memiliki sensitivitas dan
spesivisitas yang baik terhadap lemak tubuh (Bailey & Luzzi, 1995).
19
2.1.3. Klasifikasi Obesitas
Interpretasi IMT berdasarkan CDC (2000) dan CDC (2008) terhadap status
gizi dikelompokkan dalam empat kategori yaitu :
Tabel 2.1
Klasifikasi IMT berdasarkan Centers for Disease Control end Prevention (CDC)
Klasifikasi Batasan
Underweight IMT persentil < 5Normal IMT persentil ke 5 – 84
Overweight IMT persentil ke 85 -94Obesitas IMT persentil ≥ 95
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar anthropometri penilaian
status gizi dan mengacu pada standar WHO, 2007 yaitu dengan menghitung IMT
menurut umur (IMT/U) pada anak umur 5-18 tahun pada tabel 2.2.
Tabel. 2.2
Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT menurut Umur
Klasifikasi Batasan
Kurus -3 SD sampai dengan -2 SDNormal -2 SD sampai dengan -1 SDGemuk > 1 SD sampai dengan 2 SDObesitas > 2 SD
2.1.4. Faktor Risiko Obesitas
Faktor risiko terjadinya obesitas sangat kompleks mulai dari faktor
genetik, individual hingga lingkungan fisik dan sosial. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk mengurai permasalahan obesitas pada anak. Dua pandangan yang
20
menjadi penyebab utama obesitas adalah dari faktor genetika dan keseimbangan
energi positif. Review saat ini terhadap penyebab primer terjadinya peningkatan
prevalensi obesitas pada remaja adalah difokuskan pada ketidakseimbangan
energi kronis yang disebabkan karena kelebihan asupan energi dan/atau
ketidakcukupan pengeluaran energi. Jadi pada dasarnya keseimbangan energi
positif menurut beberapa hasil penelitian terhadap penyebabnya mengarah pada
dua bidang utama yaitu asupan makanan yang berlebih dan tidak adekuatnya
aktivitas fisik. Namun dibalik kedua faktor tersebut, masih banyak faktor yang
memengaruhinya terutama terkait dengan faktor sosial budaya. Karena
sebagaimana terjadinya suatu kelainan dalam tubuh atau penyakit bukan hanya
karena penyebab tunggal namun disebabkan karena penyebab yang majemuk
(multi factorial). Penelitian-penelitian epidemiologis dengan pendekatan kohort
dan kasus kontrol menunjukkan tren makanan (fast food), gaya hidup sedentary,
penurunan aktivitas fisik, stres psikologis, dan budaya merupakan kontributor
terhadap epidemi obesitas pada anak dan remaja (Lenders & Hoppin, 2003).
a. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila
kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua
obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas,
prevalensi menjadi 14% (Syarif, 2003).
Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi
intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama
kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama
21
dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya
berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap
obesitas melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non exercise,
kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan demikian
kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan
menentukan ekspresi fenotipe (Kopelman, 2000; Newnham, 2002).
b. Faktor lingkungan
Lingkungan dalam hal ini termasuk perilaku/gaya hidup. Hal ini
menyangkut tentang bagaimana lingkungan memengaruhi apa yang dimakan,
berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya (Adriani & Wiratmadi,
2013).
Adapun faktor lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Gizi dan Makanan
Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama
kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak
serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Heird,
2002b).
2) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan
mengurangi massa lemak tubuh. Sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat
dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas
(Patschan & Scholze, 2007).
22
Aktivitas fisik cenderung menurun pada anak perempuan umur 10-12
tahun, sementara pada anak laki-laki tetap lebih aktif meskipun tingkat aktivitas
fisiknya lebih rendah daripada mereka yang berumur 15-18 tahun (More, 2014).
3) Sosial ekonomi
Status sosial ekonomi dapat diperkirakan dari pendapatan keluarga.
Semakin baik sosial ekonomi suatu keluarga maka ketersediaan bahan pangan dan
makanan keluarga tersebut lebih terjamin. Namun apabila tidak diimbangi dengan
pengetahuan yang cukup tetang makanan sehat maka keluarga dengan sosial
ekonomi yang tinggi juga memiliki potensi yang besar untuk menderita obesitas.
Disisi lain keluarga dengan penghasilan rendah juga cenderung memiliki
kemampuan membeli bahan makanan yang tinggi karbohidrat, selain itu apabila
anak-anak mereka mengalami obesitas penurunan berat badan pada kelompok ini
dianggap bukan suatu hal yang penting (Cobb, 2013).
c. Obat-obatan
Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti depresi) dapat
menyebabkan penambahan berat badan (Adriani & Wiratmadi, 2013).
2.1.5. Dampak Obesitas pada Anak
1. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
Faktor Risiko ini meliputi peningkatan: kadar insulin, trigliserida, LDL-
kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL-kolesterol.
Risiko penyakit Kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7-2,6.
IMT mempunyai hubungan yang kuat (r = 0,5) dengan kadar insulin. Anak
dengan IMT > persentile ke 99, 40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi,
23
15% mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar
trigliserida tinggi (Freedman et al., 2001). Anak obesitas cenderung mengalami
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita
hipertensi (Syarif, 2003).
2. Diabetes Mellitus tipe-2
Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas. Prevalensi
penurunan glukosa toleran test (GTT) pada anak obesitas adalah 25% sedang
diabetes mellitus tipe-2 hanya 4%. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes
mellitus tipe-2 mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) > + 3SD atau > persentile
ke 99 (Syarif, 2003; Freedman et al., 2001; Bluher, 2004).
3. Obstruktive sleep apnea
Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala
mengorok (Syarif, 2003). Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah
dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan
diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru
serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan
tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan
kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang
menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan
obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga
keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini
berkurang seiring dengan penurunan berat badan (Syarif, 2003; Kopelman, 2000).
24
4. Gangguan ortopedik
Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik
yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris
yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan
panggul (Syarif, 2003).
5. Pseudotumor serebri
Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada
obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-paru yang menyebabkan
peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala, papil edema,
diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas (Syarif, 2003).
2.1.6. Tata Laksana Obesitas pada Anak
Mengingat penyebab obesitas bersifat multifaktor, maka penatalaksanaan
obesitas seharusnya dilaksanakan secara multidisiplin dengan mengikut sertakan
keluarga dalam proses terapi obesitas. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah
mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi, dengan cara
pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, dan mengubah / modifikasi pola hidup
(Syarif, 2003; Kiess, et al., 2004).
1. Menetapkan target penurunan berat badan
Untuk penurunan berat badan ditetapkan berdasarkan: umur anak, yaitu
usia 2 - 7 tahun dan diatas 7 tahun, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit
penyerta/komplikasi. Pada anak obesitas tanpa komplikasi dengan usia dibawah 7
tahun, dianjurkan cukup dengan mempertahankan berat badan, sedang pada
obesitas dengan komplikasi pada anak usia dibawah 7 tahun dan obesitas pada
25
usia diatas 7 tahun dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Target penurunan
berat badan sebesar 1 - 2 kg per bulan (AsDI, IDAI, & Persagi, 2014).
2. Pengaturan diet
Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai
dengan AKG, karena anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan
(AsDI, IDAI, & Persagi, 2014). Intervensi diet harus disesuaikan dengan usia anak,
derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta. Pada obesitas sedang dan
tanpa penyakit penyerta, diberikan diet seimbang rendah kalori dengan
pengurangan asupan kalori sebesar 30%. Sedang pada obesitas berat (IMT > 97
persentile) dan jika penyakit penyerta, diberikan diet kalori sangat rendah (Kiess,
et al., 2004).
Dalam pengaturan diet ini perlu diperhatikan tentang (Syarif, 2003) :
a. Menurunkan berat badan dengan tetap memertahankan pertumbuhan normal.
b. Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20-30% dengan
lemak jenuh <10% dan protein 15-20% energi total serta kolesterol <300 mg
per hari.
c. Diet tinggi serat, dianjurkan pada anak usia > 2 tahun dengan penghitungan
dosis menggunakan rumus: (umur dalam tahun + 5) gram per hari.
3. Pengaturan aktifitas fisik
Peningkatan aktifitas fisik mempunyai pengaruh terhadap laju
metabolisme. Latihan fisik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktifitas fisik untuk anak
usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan ketrampilan otot, seperti
26
bersepeda, berenang, menari dan senam. Dianjurkan untuk melakukan aktifitas
fisik selama 20-30 menit per hari (Syarif, 2003).
Tabel 2.3
Jenis kegiatan dan jumlah kalori yang dibutuhkan
Jenis kegiatan Kalori yang digunakan/jam
Jalan kaki 3 km/jamJalan kaki 6 km/jamJoging 8 km/jamLari 12 km/jamTenis tunggalTenis gandaGolfBerenangBersepeda
150300480600360240180350660
4. Mengubah pola hidup/perilaku
Untuk perubahan perilaku ini diperlukan peran serta orang tua sebagai
komponen intervensi, dengan cara:
a. Pengawasan sendiri terhadap: berat badan, asupan makanan dan aktifitas fisik
serta mencatat perkembangannya.
b. Mengontrol rangsangan untuk makan. Orang tua diharapkan dapat
menyingkirkan rangsangan disekitar anak yang dapat memicu keinginan untuk
makan.
c. Mengubah perilaku makan, dengan mengontrol porsi dan jenis makanan yang
dikonsumsi dan mengurangi makanan camilan.
d. Memberikan penghargaan dan hukuman.
e. Pengendalian diri, dengan menghindari makanan berkalori tinggi yang pada
umumnya lezat dan memilih makanan berkalori rendah (Syarif, 2003).
27
5. Peran serta orangtua, anggota keluarga, teman dan guru.
Orang tua menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori dan sesuai
petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru dan teman ikut berpartisipasi dalam
program diet, mengubah perilaku makan dan aktifitas yang mendukung program
diet (Kiess, et al. 2004).
6. Terapi intensif (Syarif, 2003), (Kiess, et al., 2004).
Terapi intensif diterapkan pada anak dengan obesitas berat dan yang
disertai komplikasi yang tidak memberikan respon pada terapi konvensional,
terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi dan
terapi bedah.
a. Indikasi terapi diet dengan kalori sangat rendah bila berat badan > 140% BB
Ideal atau IMT > 97 persentile, dengan asupan kalori hanya 600-800 kkal per
hari dan protein hewani 1,5 - 2,5 gram/kg BB Ideal, dengan suplementasi
vitamin dan mineral serta minum > 1,5 L per hari. Terapi ini hanya diberikan
selama 12 hari dengan pengawasan dokter.
b. Farmakoterapi dikelompokkan menjadi 3, yaitu: memengaruhi asupan energi
dengan menekan nafsu makan, contohnya sibutramin; memengaruhi
penyimpanan energi dengan menghambat absorbsi zat-zat gizi contohnya
orlistat, leptin, octreotide dan metformin; meningkatkan penggunaan energi.
Farmakoterapi belum direkomendasikan untuk terapi obesitas pada anak,
karena efek jangka panjang yang masih belum jelas.
c. Terapi bedah diindikasikan bila berat badan > 200% BB Ideal. Prinsip terapi
ini adalah untuk mengurangi asupan makanan atau memerlambat pengosongan
28
lambung dengan cara gastric banding, dan mengurangi absorbsi makanan
dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus.
Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang manfaat dan bahaya terapi ini
pada anak.
The Expert Committee Of American Academy Of Pediatrics
merekomendasikan 4 langkah penanganan obesitas pada anak. Langkah pertama
adalah mengonsumsi 5 porsi atau lebih sayur dan buah per hari,
mengurangi/menghentikan konsumsi minuman yang manis, mengurangi
menonton televisi atau bermain video game (<2 jam per hari), dan melakukan
aktivitas fisik minimal 1 jam sehari. Apabila dalam waktu 6 bulan tidak ada
perbaikan IMT maka lakukan langkah kedua yaitu membatasi asupan energi,
pengaturan pola makan (3 kali makan utama dan 2 kali selingan), melakukan
aktivitas fisik lebih dari 1 jam sehari, membatasi menonton televisi atau sejenis
nya <1 jam sehari dan melakukan monitoring yang ketat terhadap perilaku anak
dan menentukan target IMT. Apabila dalam waktu 3-6 bulan tidak ada perbaikan
IMT maka lakukan langkah ketiga yaitu intervensi multidisiplin dengan
melibatkan psikolog, nutrisionis dan fisiolog; target asupan energi dan aktivitas
seperti pada langkah kedua namun pelaksanaan lebih ketat dengan target IMT
<persentil-85. Langkah keempat jarang dilakukan pada anak-anak, biasanya
dikerjakan pada remaja dengan obesitas berat. Penanganan ini meliputi
penggunaan obat-obatan atau pembedahan (Spear et al., 2007).
29
2.1.7. Determinan Sosial Obesitas
Pola makan, tingkat aktivitas, etnisitas, genetic, status sosial-ekonomi
rendah, dan lingkungan, semuanya berperan di dalam perkembangan obesitas.
Selanjutnya ditemukan bukti-bukti bahwa perbedaan genetik dapat membuat
sebagian anak lebih rentan mengalami obesitas di lingkungan yang obesogenik
(More, 2014).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurai permasalahan obesitas
pada anak. Dua pandangan yang menjadi penyebab utamanya yaitu pada masalah
genetika dan keseimbangan energi positif. Review saat ini terhadap penyebab
primer terjadinya peningkatan prevalensi obesitas pada remaja adalah difokuskan
pada ketidakseimbangan energi kronis yang disebabkan karena kelebihan asupan
energi dan/atau ketidakcukupan pengeluaran energi. Jadi pada dasarnya
keseimbangan energi positif menurut beberapa hasil penelitian terhadap
penyebabnya mengarah pada dua bidang utama yaitu intake makanan yang
berlebih dan tidak adekuatnya aktivitas fisik. Namun dibalik kedua faktor
tersebut, masih banyak faktor yang memengaruhi utamanya masalah yang terkait
dengan sosial budaya. Karena sebagaimana terjadinya suatu kelainan dalam tubuh
atau penyakit bukan hanya karena penyebab tunggal namun disebabkan karena
penyebab yang majemuk (multi factorial).
Penambahan berat badan berlebih pada anak-anak pra-sekolah juga
menghawatirkan. Sebuah studi di Belanda menemukan bahwa pola gaya hidup
yang buruk pada usia 5 tahun berkaitan dengan obesitas masa kanak-kanak pada
usia yang lebih lanjut.
30
Namun pertanyaan berikutnya adalah perubahan apa yang terjadi dalam
masyarakat dan pola-pola perilaku masyarakat didalamnya dalam beberapa tahun
terakhir sehingga mengakibatkan peningkatan pesat dalam prevalensi obesitas
belumlah didukung oleh bukti-bukti yang jelas. Termasuk didalamnya mengapa
anak mengonsumsi terlalu banyak energi dan atau tidak cukup berolah raga?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai penyebab peningkatan
prevalensi obesitas tetap diperdebatkan. Mungkin tidak ada jawaban sederhana
atau tepat, terutama karena obesitas adalah suatu kondisi yang berkembang lambat
(jeda waktu seringkali menutupi penyebab) dan juga penyebab timbulnya obesitas
ini cenderung multifactorial dengan banyak faktor perancu. Untuk itu perlu
dilakukan identifikasi determinan sosial terhadap kejadian obesitas pada anak usia
sekolah dasar.
a. Keseimbangan Energi Positif
Seseorang mengonsumsi makanan dengan kandungan energi sesuai yang
dibutuhkan tubuh, maka tidak ada energi yang disimpan. Keseimbangan energi
dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan
energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan yang stabil
(Eko, 2011). Sebaliknya jika mengonsumsi makanan dengan energi melebihi yang
dibutuhkan tubuh, maka kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi
terutama sebagai lemak.
Hukum pertama termodinamika (thermodynamics) mengungkapkan bahwa
obesitas terjadi akibat adanya ketidak seimbangan energi dalam kurun waktu yang
lama, yakni pengeluaran energi yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
31
energi yang dikonsumsi (Sudargo, et al., 2014). Banyak hal yang secara
intrapersonal dapat memengaruhi terjadinya keseimbangan energi positif
(kelebihan asupan energi) pada anak. Konsumsi berlebih jika dikaitkan dengan
perilaku antara lain karena pengetahuan dan sikap terhadap makanan. Faktor
internal ini selanjutnya akan menyebabkan pilihan terhadap makanan itu seperti
konsumsi minuman tinggi gula (softdrink), konsumsi makanan jajanan, aktivitas
fisik dan kebiasaan berolahraga.
b. Perilaku makan keluarga
Pada masyarakat perkotaan yang berpenghasilan mapan, disinyalir
konsumsi makanan sehari-harinya sangat bernuansa pola konsumsi hedonik, yakni
pola konsumsi yang mengutamakan kepuasan. Dasar pertimbangan dari pola
konsumsi hedonik ini umumnya ada tiga yaitu berdasar selera, gengsi dan
ekonomi (Suiraoka, 2012).
c. Pola Makan
Disadari atau tidak disadari hampir semua orang mengalami perubahan
pola makan. Hal ini disebabkan karena globalisasi dalam bidang ekonomi dan
perdagangan. Karena bagaimanapun juga kita tidak akan mungkin menutup diri
terhadap hal-hal yang terjadi dalam lingkungan kita. Bahan makanan atau
makanan jadi yang dibeli adalah mengikuti situasi pasar. Disisi lain, ada suatu
pesan yang berlaku universal bahwa perilaku makan sehat merupakan perilaku
mengonsumsi beberapa variasi kelompok makanan yang direkomendasikan yaitu
karbohidrat, buah dan sayur, protein dan lemak (Ogden, 2010).
32
Perilaku makan sehat ditujukan bagi setiap individu untuk semua usia,
budaya dan situasi geografis. Setiap individu direkomendasikan untuk
mengonsumsi setiap kelompok makanan, namun sebagian besar individu hanya
mengonsumsi kelompok makanan tertentu dan melewatkan atau sedikit
mengonsumsi buah dan sayuran.
Kemajuan teknologi pengolahan pangan, menjamurnya supermarket dan
minimarket, informasi pemasaran beragam produk pangan, urbanisasi dan
kemajuan ekonomi terutama bagi golongan menengah ke atas, serta dampak
globalisasi mendorong perubahan pola pangan atau perilaku makan yang tidak
sehat. Bahan makanan jadi yang tersedia dewasa ini cenderung tidak mengandung
gizi yang seimbang yaitu konsumsi padat energi, tinggi kandungan garamnya,
tinggi gula, rendah serat dan sudah pasti menggunakan bahan pengawet.
Permasalahan lainnya adalah asupan makanan camilan/snack yang berlebihan
pada anak. Dampak asupan snack yang berlebihan terkait dengan
kandungan/komposisi energi dan zat gizi dalam snack tersebut. Umumnya
makanan yang dikonsumsi sebagai snack seringkali tinggi lemak dan tinggi
karbohidrat. Terlalu banyak konsumsi snack akan menunda makanan utamanya
atau juga bisa memberi dampak berlebihnya energi dan zat gizi yang masuk ke
dalam tubuh.
Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya obesitas adalah
mengonsumsi makanan porsi besar (melebihi kebutuhan), makan tinggi energi,
tinggi lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat (Sudargo et al., 2014)
33
d. Gaya Hidup Anak dalam hal konsumsi makanan
“Gaya hidup konsumsi makanan”, termasuk bagian dari gaya hidup dalam
memilih tempat makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Perubahan gaya
hidup dalam hal konsumsi makanan ini terutama dipicu oleh
perbaikan/peningkatan di sektor pendapatan (ekonomi), kesibukan kerja yang
tinggi dan promosi makanan trendy ala barat, utamanya fast food maupun health
food yang populer di Amerika dan Eropa, namun tidak diimbangi dengan
pengetahuan dan kesadaran gizi. Akhirnya budaya makan berubah menjadi tinggi
lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro.
Gaya konsumsi makanan ini juga dipicu karena anak-anak atau remaja
umumnya lebih percaya kepada teman mereka dibandingkan dengan orang dari
kelompok usia lainnya. Hal ini berdampak pula terhadap pilihan makanan mereka.
Kecenderungan memilih makanan sesuai dengan anjuran teman sebaya menjadi
salah satu tren yang membentuk kebiasaan makan pada remaja dewasa ini. Junk
food adalah istilah yang mendeskripsikan makanan yang tidak sehat dan memiliki
sedikit kandungan gizi. Di kota-kota besar di Indonesia junk food dijual di
berbagai pusat perbelanjaan dan pusat jajanan. Saat ini akses ke tempat-tempat
makan yang dapat menyajikan makanan secara instan sangat mudah. Akses
makanan cepat saji itu dapat diperoleh di gerai makanan cepat saji yang dianggap
bergengsi sampai dengan di kedai-kedai makanan cepat saji yang mulai marak
hingga ke desa-desa. Disisi lain sejalan dengan isu tuntutan waktu yang sempit.
Sehingga orang lebih memilih membeli makanan cepat saji dibanding
mempersiapkan sendiri makanan untuk keluarga.
34
Di negara-negara berkembang, perubahan pada ketersediaan pangan,
komposis produk dan pemasaran makanan telah menuntun pada situasi yang
sering disebut sebagai “lingkungan makanan kurang sehat”. Masyarakat kanyak
terpapar dengan makanan tinggi lemak, natrium dang la sederhana. Makanan
tersedia hampir dimana saja, mulai dari sekolah, kantor, hingga lingkungan sekitar
rumah (Sudargo et al., 2014). Selain disediakan di tempat penjualnya, saat ini
masyarakat juga dimanjakan dengan adanya layanan pesan antar untuk makanan.
Hal ini seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Fasilitas ini ada yang
disediakan oleh penjual makanan cepat saji dalam bentuk layanan pesan antar
(delivery service) dan ada juga fasilitas ojek makanan online yang siap
mengantarkan makanan pesanan kliennya. Sehingga kapanpun seseorang ingin
makan makanan tertentu (khususnya makanan cepat saji) maka mereka akan
mendapatkannya.
e. Pengetahuan gizi
Pengetahuan masyarakat untuk memilih makanan yang cukup dan
seimbang untuk individu dan keluarga masih kurang. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan budaya. Pada keluarga miskin,
umumnya karena akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan pangan rendah,
kurang gizi merupakan masalah yang disertai dengan tingginya angka penyakit
infeksi. Keluarga yang tidak mampu ini juga terbukti sangat terpapar dengan
kebiasaan merokok yang memperparah kondisi kesehatan mereka. Ketidaktahuan
akan makanan yang sehat dan bergizi juga menyebabkan masyarakat terjebak
pada pilihan makanan yang tidak sehat yang cenderung miskin zat gizi. Bila
35
pilihan makanan tersebut adalah makanan yang tinggi karbohidrat sederhana dan
tinggi lemak (jenis makanan ini justru bisa diperoleh dengan harga yang relatif
murah) maka tidak tertutup pula kemungkinan kejadian obesitas banyak terjadi
pada golongan masyarakat tidak melek kesehatan dan miskin.
Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang pola konsumsi makanan
yang sehat dan seimbang, menyebabkan perilaku yang salah. Hal ini disebabkan
tidak efektifnya pendidikan gizi kepada anak semenjak usia dini sampai anak usia
sekolah.
f. Aktivitas fisik yang kurang
Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan
pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan
mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang
hari.
Kemajuan teknologi dewasa ini juga mempunyai pengaruh langsung dan
tidak langsung terhadap berkurangnya aktivitas fisik. Tidak hanya dalam hal
tersedianya fasilitas/alat-alat yang mengurangi aktivitas fisik, misalnya escalator
dan lift sebagai pengganti tangga, atau mesin cuci yang mengurangi gerak
seseorang dalam mencuci atau yang lainnya. Tetapi beragam bentuk jasa
ditawarkan dengan memberi kemudahan bagi orang yang membutuhkan, seperti
misalnya salon/tempat cuci mobil yang mengurangi aktivitas orang mencuci
mobil, jasa laundry yang membuat orang tidak perlu mencuci atau menyetrika
(Suiraoka, 2012).
36
Saat ini perkembangan teknologi telah memengaruhi berbagai aspek
kehidupan manusia termasuk gaya hidup. Anak-anak dan remaja kini lebih banyak
menghabiskan waktu mereka dengan menonton televisi dan bermain game
(Tremblay et al., 2011).
g. Aktivitas fisik di sekolah
Anak sekolah menghabiskan sebagian waktu mereka di rumah dan
sekolah. Jika anak-anak kurang bergerak di rumah, maka harapannya mereka
beraktivitas fisik lebih banyak di sekolah. Namun kegiatan olahraga yang
terjadwal dalam satu minggu mungkin hanya satu dua kali ditambah dengan ekstra
olahraga bagi yang mengikuti. Sehingga anak-anak dan remaja mungkin lebih
banyak aktivitas diamnya juga di sekolah. Apalagi bila sekolahnya tidak memiliki
halaman yang cukup luas bagi pergerakan siswa atau sekolah berada di
lingkungan yang padat lalu lintas. Maka semakin terkungkunglah anak-anak dan
remaja tersebut.
h. Gaya hidup Sedentary
Pola hidup sedentary adalah kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan
seseorang yang tidak banyak melakukan aktivitas fisik atau tidak banyak
melakukan gerakan. Gaya hidup sedentary umumnya disebabkan karena
kenyamanan akibat kemajuan teknologi yang menyebabkan orang tidak terlalu
banyak bergerak dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup sedentary ini menjadi
popular karena kaitannya dengan kerentanan seseorang terkena penyakit jantung,
diabetes, kanker kolon, tekanan darah tinggi, kegemukan (obesitas), depresi dan
batu ginjal.
37
Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang bergaya hidup sedentary antara
lain : 1) Pekerjaan: pekejaan tertentu seperti programmer membuat orang selalu
duduk di depan komputer; 2) Kesenangan: misalnya menonton tv, main game
komputer atau konsol (Playstation, Xbox, Nintendo, dsb) membuat orang betah
untuk duduk berjam-jam; 3) Fasilitas/kemudahan: dahulu untuk menaiki gedung
yang bertingkat orang menggunakan tangga. Sekarang banyak orang yang tinggal
atau bekerja di gedung bertingkat tidak perlu menaiki tangga satu-persatu karena
ada lift; 4) Kebiasaan: misalnya orang pergi ke toko atau mini market hanya
berjarak beberapa rumah dari tempat tinggalnya menggunakan mobil atau motor.
Anak-anak pergi kesekolah dengan diantar menggunakan kendaraan meskipun
jaraknya dekat. Pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada pembantu; 5) Kurang
berolahraga: kurang berolahraga bisa jadi merupakan alasan yang paling tepat
mengapa orang menganut pola hidup sedentary, karena keempat alasan
sebelumnya di atas pada dasarnya dapat dimaklumi.
Gaya hidup sedentary juga didukung karena kondisi lingkungan
perumahan dimana mereka tinggal. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan di
lingkungan yang relatif tidak aman cenderung tidak akan dibiarkan beraktivitas
secara bebas di luar rumah oleh orangtua mereka. Sehingga mereka lebih banyak
beraktivitas di dalam rumah.
i. Kebiasaan olahraga
Olahraga yang teratur adalah olahraga yang dilakukan dengan frekuensi
3-5 kali seminggu dengan selang waktu satu hari istirahat. Selain itu kita juga
mengenal istilah olahraga rekreasi. Olahraga rekreasi adalah olahraga yang
38
dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk
kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan.
Kebiasaan olahraga ini hendaknya ditanamkan sejak dini. Jika pada anak-
anak balita dan anak pra sekolah di dorong dan diberikan kesempatan untuk
bermain aktif, mereka akan mengembangkan koordinasi dan keterampilan-
keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk menikmati olahraga saat
usia mereka bertambah (More, 2014).
Berdasarkan uraian diatas dapat digambarkan model roda (wheel model)
dari determinan sosial obesitas pada anak sekolah sebagai berikut :
Gambar 2.1Model ekologi obesitas pada anak sekolah
Obesitaspada Anak
Sekolah
Asupanenergi
Aktivitasfisik
Perilakusedentary
Pengetahuangizi
Perilakumakankeluarga
Preferensimakankeluarga
Ketersediaanmakanan
Kebiasaanmenonton TV,
Game dankomputer
Aktivitasdi rumah
Interaksi dgnsebaya (peer)
Pola aktivitasorang tua
Preperensiorang tua
Aktivitasdi sekolah
Monitoring ortuterhadap
kebiasaan diam
Keamananlingkungan
Budayaterkait
makanan
Perubahanfisik/
lingkungan
Ekstrakulikuler
Pendidikankesehatan OR
di sekolah
Wakturekreasi
Hubungansosial
Norma sosial
Kantinsekolah
Daya belikeluarga
Etnik
Kondisiperumahan
Fasilitas OR/rekreasi
Typekeluarga
39
2.1.8. Persepsi Kerentanan terhadap Obesitas
Penyebab utama obesitas pada anak-anak selain faktor genetik adalah
keseimbangan asupan energi dan zat gizi lainnya dengan penggunaannya oleh
tubuh. Asupan energi dan zat gizi lainnya dipengaruhi oleh pola makan sedangkan
penggunaan energi digambarkan dengan pola aktivitas fisik (Arisman, 2010).
Dalam penelitian pendahuluan diketahui anak sekolah obesitas, ada yang
tidak biasa sarapan pagi, biasa sarapan pagi dan ada pula yang sarapan berlebih.
Kebiasaan makan anak-anak obesitas yang kurang teratur ini dialami oleh
beberapa orangtua karena mereka tidak sepenuhnya bisa mengontrol karena alasan
bekerja. Terkadang orangtua memberi kebebasan anaknya untuk makan apa saja
yang penting mereka tenang/diam. Kebiasaan anak makan di sekolah tidak
terlepas dari bekal yang disiapkan dan makanan jajanan di sekolah. Beberapa
informan yang mengungkapkan pihak sekolah tidak ada yang melarang atau
mewajibkan anak-anak membawa bekal makanan ke sekolah. Makanan bekal
sekolah yang disiapkan orangtua biasanya adalah makanan yang simpel yang
teridir dari nasi mie dan lauk saja (Suiraoka, 2016b). Hal ini belum sesuai dengan
anjuran gizi seimbang dimana asupan makanan hendaknya berasal dari beragam
bahan makanan sehingga mampu memenuhi kebutuhan zat gizinya. Kebiasaan
hanya menyukai satu atau dua jenis makanan tertentu adalah kebiasaan yang tidak
sehat (Soekirman, et al., 2006). Penanaman pola makan yang baik, hendaknya
dilakukan sejak masa kanak-kanak, hal ini dimaksudkan untuk menghindari
penyakit akibat pola makan yang kurang sehat (Adriani & Wiratmadi, 2013).
40
Sebagian anak-anak sekolah sangat susah mengonsumsi sayur. Beberapa
orangtua menyatakan anak mereka tidak suka sayur, tetapi ada pula anak yang
hanya memilih sayur tertentu yang disukai seperti kangkung. Kondisi yang sama
juga dijumpai di kantin sekolah. Makanan yang dijual di kantin sekolah umumnya
juga tidak menyertakan sayur dalam nasi bungkus yang mereka jual.
Hasil penelitian Riskesdas menunjukkan bahwa penduduk Denpasar, sebanyak
97,3% konsumsi buah dan atau sayurnya masih kurang (Depkes RI., 2008).
Konsumsi karbohidrat berlebih disebabkan karena anak sangat suka mie
dan juga minuman manis. Demikian juga halnya dengan konsumsi makanan cepat
saji juga cukup tinggi di kalangan anak-anak (Suiraoka, 2016b). Remaja obes
mengkonsumsi makanan cepat saji 2-3 kali lebih sering daripada yang tidak obes
(Mahdiah, et al., 2004). Sebanyak 50% anak-anak obes di Kota Denpasar sering
mengkonsumsi fast food yang berkalori tinggi dan lemak tinggi (Padmiari, 2002).
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan terjadi peningkatan prosentase ukuran
porsi dan intake energy anak-anak dengan mengonsumsi fast food berkalori tinggi
dan lemak tinggi dan minuman dengan pemanis gula (Nelson, et al., 2006).
Tingginya konsumsi makanan cepat saji salah satunya disebabkan karena
mudahnya memperoleh makanan cepat saji saat ini dan juga demikian banyaknya
variasi penyedia makanan cepat saji itu sendiri (Suiraoka, 2016b). Diet yang
tinggi dalam makanan cepat saji, gula, minuman ringan dan kurang pada produk
susu, buah-buahan, dan sayuran menjadi salah satu penyebab kekurangan zat gizi
penting pada masa anak-anak (More, 2013).
41
Anak sekolah memiliki jadwal yang cukup padat untuk aktivitas belajar
disekolah yaitu sekitar 6 sampai 7 jam/hari atau 41 jam dalam seminggu. Selain
itu mereka juga dijadwalkan mengikuti les oleh orangtuanya. Dari aktivitas belajar
tersebut, meskipun cukup banyak menyita waktu anak-anak tetapi itu adalah
aktivitas duduk dan tidak terlalu banyak bergerak. Kesempatan untuk bermain dan
bergerak seperti yang sudah dijadwalkan hanya 2 kali dalam waktu belajar di
sekolah yaitu istirahat pagi dan istirahat siang. Kemudian waktu olahraga itu juga
di setting hanya satu minggu sekali. Karena memperhatikan jadwal antar kelas
dan juga luas lapangan yang dimiliki sekolah tersebut. Hari sabtu dijadwalkan
untuk pengembangan diri, dimana anak-anak melakukan kegiatan seperti menari,
menabuh gamelan, menyanyi, ekstra pencak silat dan sebagainya. Hal ini
berpotensi meningkatkan aktivitas fisik bergerak pada anak sekolah. Selain
pengembangan diri beberapa sekolah juga menyediakan fasilitas tempat bermain
aneka macam permainan tradisional di sekolah (Suiraoka, 2016b).
Sebagian besar anak itu diantar ke sekolah, dengan alasan karena waktu,
sekalian berangkat kerja, dan alasan keamanan anak-anak. Tetapi beberapa
informan orangtua yang menyatakan anak-anak tersebut justru suka main sepeda
setelah dia pulang sekolah. Beberapa orangtua juga mengikutkan anak-anak
mereka untuk extra olahraga diluar jam sekolah seperti olahraga basket, takraw,
renang, sepakbola, bulutangkis, dan yang lainnya. Selain itu beberapa anak masih
sering bermain aneka macam permainan tradisional di lingkungan mereka
(Suiraoka, 2016a)
42
Kerentanan terhadap obesitas lainnya adalah pada anak-anak lebih banyak
beraktivitas diam selama di rumah, seperti menonton televisi, bermain HP/gadget
dan bermain komputer (Suiraoka, 2016b). Anak-anak yang kurang aktivitas
fisiknya menunjukkan hubungan yang kuat dengan peningkatan berat badannya
(Cooper et al., 2003). Sebanyak 19% anak-anak yang menghabiskan lebih dari 2
jam per hari menonton televisi atau di depan layar mengalami overweight (Fisher
et al., 2006). Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan sebanyak 43,1% penduduk
Denpasar kurang aktivitas fisiknya (Anonim, 2008).
Anak-anak obesitas cenderung susah untuk diberi tahu untuk beraktivitas
fisik ataupun melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak diam. Bahkan menjadi
salah satu keluhan orangtua yaitu anak susah bangun pagi dan susah bergerak.
Anak-anak tersebut jarang mau bermain karena mereka lebih senang di rumah.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nelson bahwa waktu yang
digunakan oleh anak-anak untuk melakukan aktivitas fisik semakin berkurang
dengan semakin meningkatnya waktu yang digunakan untuk aktivitas sedentary
(Nelson et al., 2006).
2.2. Gaya Hidup Anak Obesitas
2.2.1. Definisi Gaya Hidup
Gaya hidup adalah cara hidup berdasarkan pola perilaku yang dibentuk oleh
hubungan antara personal karakteristik individu, interaksi sosial, sosial ekonomi,
dan kondisi lingkungan tempat tinggal (WHO, 2000). Gaya hidup adalah perilaku
dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup seseorang, yang dapat memengaruhi tingkat
43
kesehatan seseorang (Merki & Merki, 1994). Gaya hidup merupakan frame of
reference yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan
membentuk pola perilaku tertentu. Kebiasaan hidup yang ditunjukkan dengan
gaya hidup (lifestyle) memberi perbedaan tingkat kesehatan seseorang secara
umum, kebahagiaan dan angka harapan hidup mereka. Orang yang secara teratur
memraktekkan kebiasaan hidup sehat cenderung lebih sehat dan hidup lebih lama.
Berikut ini adalah beberapa faktor gaya hidup sehat yang penting pada anak
usia sekolah : tidur 9 – 10 jam setiap hari (Guyton & Hall, 2007), makan 3 kali
sehari pada waktu yang teratur dengan diet tinggi serat, menghindari fast food dan
minuman bersoda, sarapan pagi tiap hari, melakukan latihan aerobik/aktivitas fisik
minimal 60 menit setiap hari, menonton televisi, bermain game atau komputer ≤ 2
jam per hari, dan menjaga berat badan ideal (Barlow, 2013).
2.2.2. Gaya Hidup Tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat adalah hidup dengan perilaku atau kebiasaan yang
berpotensi membahayakan individu menjadi tantangan ketika perilaku atau
kebiasaan mulai menyebabkan masalah. Sebagian besar perilaku ini awalnya
dimulai sebagai pengalaman diinginkan tetapi akhirnya menjadi kebiasaan yang
berbahaya bagi fisik atau psikologis. Beberapa contoh gaya hidup tidak sehat pada
anak obesitas adalah makan berlebihan, makan makanan dengan kandungan gula
dan lemak tinggi, aktivitas fisik yang kurang dan perilaku sedentary (Suiraoka,
2012)
44
2.2.3. Hambatan berperilaku Sehat pada Anak Obesitas
Beberapa hambatan yang dialami anak sekolah obesitas terkait dengan
pola makan adalah nafsu makan yang berlebih, kesukaan berlebih terhadap
makanan tertentu, dan tidak menyukai makanan seperti sayur dan buah. Informan
orangtua menyatakan mereka kesulitan menyetop makan pada anak-anak dan
tidak tega apabila anaknya tidak makan. Orangtua menyatakan bahwa nafsu
makan anak-anak mereka bagus, mereka cenderung makan dengan frekuensi dan
porsi yang berlebih. Disisi lain orangtua juga lebih senang jika anaknya sudah
mau makan. Hal ini tentunya akan menjadi penghambat dalam menanamkan pola
makan yang sehat pada anak-anak. Makan malam berlebih dialami karena anak
sering merasa lapar pada malam hari dan anak yang mengikuti perilaku
orangtuanya makan di malam hari setelah pulang kerja (Suiraoka, 2016b). Anak-
anak yang mengalami obesitas, metabolisme absolutnya meningkat dengan
peningkatan ukuran badan, ini menyebabkan anak yang obesitas selalu merasa
lapar dan lebih banyak makan daripada anak yang normal (Subardja, 2004).
Hambatan untuk pola makan yang sehat pada anak yang juga dialami oleh
orangtua adalah kesulitan mengontrol makan anak-anak mereka, karena mereka
bekerja. Jadi mereka cenderung tidak tahu apa yang dimakan oleh anaknya,
apakah mereka terpenuhi atau justru mereka makan berlebih. Hal ini sebenarnya
tidak terlepas dari pengaruh informasi-informasi yang diterima oleh anak yang
membangun persepsi mereka tentang makanan. Jadi mereka mendapatkan
pengaruh dari televisi tentang jajanan kemudian mereka juga melihat dari
beberapa iklan-iklan tentang makanan tersebut jadi cukup banyak yang
45
memengaruhi anak tersebut memilih makanan jajanan dan menurut orangtua anak
itu justru kalau sudah melihat sesuatu yang enak jadi mereka ingin mencoba dan
memilih mana yang enak, tanpa memerhatikan atau tanpa berpikir apakah
makanan tersebut ada penyedapnya atau tidak ada penyedapnya (Suiraoka,
2016b). Hasil Riskesdas Provinsi Bali tahun 2007 menunjukkan bahwa konsumsi
makanan berisiko prosentasenya tertinggi di Kotamadya Denpasar. Prosentase
konsumsi makanan berlemak 27,1% dan makanan dengan penyedap 95,2%
(Depkes RI., 2008). Konsumsi makanan berisiko dikatakan sering jika
mengkonsumsi makanan berisiko satu kali atau lebih per hari.
Kesulitan mengontrol makanan anak juga diungkapkan oleh orangtua
menyatakan mereka tidak bisa mengontrol camilan apa yang dimakan oleh anak
mereka selama di sekolah. Meskipun ada upaya dari sekolah untuk membatasi dan
melarang anak untuk belanja keluar sekolah, tetapi penilaian orangtua terhadap
makanan yang dijual di kantin sekolah belum sepenuhnya baik. Ditambah pula
kesempatan anak-anak untuk belanja jajanan setelah mereka pulang sekolah
(Suiraoka, 2016b). Pemenuhan zat gizi sehari yang lebih banyak dari makanan
jajanan seperti hasil penelitian Padmiari (2004) yang menemukan bahwa 75%
asupan energi pada anak-anak SD di Denpasar berasal dari makanan jajanan dan
sisanya 25% berasal dari makanan utama (nasi, lauk dan sayuran).
Hambatan dari pola makan lainnya adalah kesukaan berlebih terhadap
suatu jenis makanan. Misalnya konsumsi mie, minuman kemasan atau sereal. Jadi
konsumsi mie itu memiliki kontribusi yang cukup signifikan karena kadang-
kadang anak yang sudah makan pun mereka masih minta makan mie dan ketika
46
dilarang beberapa orangtua menyatakan mereka karena sudah bisa memasak
sendiri atau pun membeli sendiri, mereka akan membeli sendiri mie tersebut.
Informan lainnya mengungkapkan anak mereka ngambek bila tidak diizinkan
membeli minuman kemasan dan ada juga yang cemberut bila tidak diijinkan
makan sereal. Apabila terjadi positif energy balance yang berlangsung lama maka
berat badan akan bertambah dan akhirnya dapat terjadi obesitas (WHO, 2000).
Dengan demikian dianjurkan untuk mengganti makanan jajanan anak dengan
makanan yang rendah energi dan tinggi serat seperti buah dan sayur. Peningkatan
konsumsi buah dan sayur serta pengurangan makanan tinggi lemak dan gula dapat
mengurangi prevalensi obesitas (Epstein et al., 2001).
Hambatan anak untuk melakukan aktivitas fisik, diakui oleh beberapa
informan orangtua, memang mereka itu aktivitas fisiknya sangat kurang. Beberapa
orangtua mengeluhkan anak mereka susah disuruh olahraga dan mereka justru
lebih senang untuk bermain handpone (HP) atau pun gadget. Anak-anak mereka
itu lebih memilih bermain HP/gadget ataupun menonton televisi ketimbang
melakukan aktivitas fisik dan bahkan HP/gadget itu membuat anak tidak mau
beraktivitas di luar. Tetapi kalau kita lihat dari segi penggunaan HP atau gadget
itu sendiri, sebenarnya ada beberapa alasan dari orangtua itu justru memberikan
anak itu bermain HP atau gadget tersebut. Seperti misalnya ketika anak-anak itu
sudah selesai belajar mereka justru bermain HP kalau dilarang mereka akan
marah. Sedangkan orangtua yang lain menyatakan bahwa mereka justru
memberikan atau mengizinkan anak itu menggunakan HP/gadget dengan alasan
47
mereka tidak mau diganggu aktivitasnya atau kesibukanya ketika anak-anak
tersebut ketika mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah (Suiraoka, 2016b).
Beberapa anak obesitas mereka itu malas bergerak, kemudian ada juga
yang menyatakan bahwa anaknya cepat capek. Seperti diungkapkan oleh beberapa
informan orangtua, ketika mengajak anak mereka berolahraga ke lapangan. Anak-
anak itu cepat sekali mengeluh capek padahal baru satu kali putaran di lapangan.
Informan orangtua lainnya menyatakan bahwa meskipun sudah dicoba untuk
diikutkan dalam beberapa kegiatan olahraga tapi anak mengalami kesulitan
mengikutinya. Selain gerakan lambat yang menjadi hambatan ketika anak-anak
obesitas ini diajak berolahraga diungkapkan oleh informan adalah nafas pendek.
Disamping itu menurut salah satu orangtua juga anak yang obesitas susah untuk
memunculkan niatnya berolahraga. Mereka cenderung belum menemukan daya
tarik dari sisi olah raga dan belum merasakan asiknya berolahraga (Suiraoka,
2016b). Hambatan untuk beraktivitas fisik juga dirasakan di sekolah. Terutama
sekolah yang memiliki halaman yang sempit dan tidak ada lapangan olahraga di
dekat sekolah. Seperti diungkapkan oleh salah satu informan kepala sekolah
ketika mereka mengadakan kegiatan olahraga Yoga bersama anak-anak sekolah.
Salah satu hambatan yang dirasakan oleh informan orangtua yang
menghambat dalam menerapkan pola hidup sehat adalah perilaku anak apabila
mereka kurang makan. Informan orangtua menyatakan bahwa anak mereka justru
lebih banyak yang bengong apabila makannya masih kurang. Sedangkan beberapa
informan lainnya menyatakan bahwa anak-anak yang obesitas itu justru emosi dan
marah-marah jika mereka lapar (Suiraoka, 2016b). Namun menyediakan makanan
48
adalah sebuah isu emosional bagi orangtua dan banyak yang menunjukkan
cintanya melalui pemberian makanan (More, 2013).
2.3. Pendekatan Intervention Mapping
Intervention Mapping adalah sebuah protokol untuk mengembangkan
program promosi kesehatan berbasis bukti dan teori. Intervention Mapping
menggambarkan proses perencanaan program promosi kesehatan dalam enam
langkah, yang terdiri dari (Batholomew et al., 2006) :
a. Menilai kebutuhan;
b. Memformulasikan tujuan perubahan;
c. Memilih dasar teori dan strategi praktis;
d. Mengembangkan program intervensi;
e. Mengembangkan rencana adopsi dan implementasi;
f. Mengembangkan rancangan evaluasi.
Intervention Mapping ditandai dengan tiga perspektif : pendekatan
ekologi, partisipasi semua stakeholder, dan penggunaan teori dan bukti. Meskipun
Intervention Mapping disajikan sebagai serangkaian langkah, penulis melihat
proses perencanaan sebagai berulang daripada linier (Batholomew et al., 2006).
Perencana program bergerak bolak-balik antara tugas dan langkah-langkah. Proses
ini juga kumulatif: setiap langkah didasarkan pada langkah sebelumnya, dan tidak
memperhatikan langkah tertentu dapat menyebabkan kesalahan dan keputusan
yang tidak memadai.
Intervention Mapping dikembangkan sebagai reaksi terhadap kurangnya
kerangka kerja yang komprehensif untuk pengembangan program promosi
49
kesehatan (Batholomew et al., 1998). Intervention Mapping bertujuan untuk
membantu promotor kesehatan mengembangkan intervensi terbaik. Kata-kata
kunci dalam protokol ini berencana, penelitian, dan teori. Intervention Mapping
menyediakan kosakata untuk perencanaan intervensi, prosedur untuk kegiatan
perencanaan, dan bantuan teknis dengan mengidentifikasi penentu berbasis teori
dan metode untuk perubahan. Intervention Mapping juga dapat membantu dalam
beradaptasi dengan intervensi yang ada dan pengaturan untuk populasi baru
(Batholomew et al., 2006) dan memberikan taksonomi metode perubahan perilaku
yang dapat digunakan untuk kode konten intervensi (Schaalma & Kok, 2009).
Di bidang promosi kesehatan, Intervention Mapping telah berhasil
diterapkan dalam berbagai pengaturan, untuk berbagai perilaku dan populasi yang
berbeda. (Batholomew et al., 2006). Ini dapat membantu perencana
mengembangkan teori-dan intervensi berbasis bukti untuk mempromosikan
perilaku hidup sehat.
Secara lebih khusus, Intervention Mapping memastikan bahwa model
teoritis dan empiris bukti petunjuk perencana dalam dua bidang yaitu: 1)
identifikasi faktor penentu perilaku dan lingkungan yang terkait dengan masalah
sasaran, dan 2) pemilihan metode teoritis yang paling tepat dan aplikasi praktis
untuk mengatasi penentu diidentifikasi. Meskipun Intervention Mapping dianggap
sebagai alat yang baik untuk merancang program, tetapi prosesnya kompleks dan
memakan waktu, yang mencerminkan sulitnya merubah perilaku kesehatan.
Intervention Mapping telah digambarkan sebagai melelahkan, kompleks, rumit,
mahal dan memakan banyak waktu (Cote, et al., 2008).
50
2.4. Teori Perilaku dalam Pengembangan dan Implementasi IntervensiKesehatan Masyarakat
Perubahan perilaku seringkali menjadi tujuan petugas kesehatan yang
bersentuhan langsung dengan konstitusi, organisasi, pemerintahan atau komunitas.
Orang-orang yang diberikan beban tugas seperti ini lazimnya disebut sebagai
intervensionis yang akan melakukan perencanaan dan implementasi program atau
intervensi yang menghasilkan perubahan perilaku yang diinginkan. Glanz, dkk.
yang menyarankan bahwa suatu perancangan intervensi untuk menghasilkan
perubahan perilaku yang terbaik harus dilakukan dengan pengertian terhadap teori
perilaku dan kemampuan menggunakannya dalam praktek (Glanz et al., 2008).
Sebelum menggali model perubahan perilaku secara mendalam, pemahaman
terhadap variabel utama dalam model merupakan hal yang penting. Berikut ini
adalah variabel-variabel yang banyak digunakan dalam model perubahan perilaku,
serta cara yang dianjurkan untuk memaksimalkan variabel-variabel ketika
mencoba membangkitkan perubahan perilaku (WHO, 2006).
Tabel 2.4Elemen Kunci, Definisi dan Strategi untuk Perubahan Perilaku
Elemen Kunci Definisi Strategi untuk Perubahan PerilakuAncaman Bahaya atau kejadian yang
membahayakan seseorangbaik yang disadari atau tidak
Meningkatkan kesadaran adanyaancaman dengan memfokuskan padaberatnya ancaman dan kerentananindividu terhadap ancaman tersebut.
Rasa Takut Kondisi emosi yangditimbulkan karenapengamatan yang signifikandan personal terhadap adanyaancaman
Rasa takut memengaruhi perilakudengan kuat, jika disalurkan dengancara yang sesuai dapat memotivasiorang untuk mencari informasi,namun dapat pula menyebabkanpenyangkalan terhadap risiko.
TanggapanKemanjuran(efficacy)
Persepsi yang disarankanuntuk mencegah terjadinyaancaman
Menunjukkan bukti dari contoh-contoh respon yang dianjurkan untukmencegah ancaman.
51
Tanggapankemanjuran dirisendiri
Persepsi seseorang ataukepercayaan diri dalamkemampuan mereka untukmenunjukkan respon yangdianjurkan
Membangkitkan kepercayaan diriseseorang bahwa mereka dapatmenunjukkan respon dan membantumemastikan mereka mampumencegah ancaman
Hambatan Sesuatu yang menghalangiseseorang melakukan responyang dianjurkan
Menyadarkan hambatan fisik danbudaya yang masih ada, dan mecobamenghilangkan hambatan
Manfaat Konsekuensi positif yangditunjukkan jika melakukanrespon yang dianjurkan
Mengkomunikasikan manfaat yangditunjukkan jika melakukan responyang dianjurkan
NormaSubjektif
Apa yang seseorang pikirkantentang orang lain yangseharusnya mereka lakukan
Memahami dengan siapa seseorangpatuh
Sikap Evaluasi diri ataukepercayaan terhadap responyang dianjurkan
Menilai sikap sebelum mencobamelakukan perubahan
Niat Rencana seseorang untukmelakukan respon yangdianjurkan
Menentukan apakah niatan tersebutasli atau mewakili perilaku yangsebenarnya
Alasan untukbertindak
Faktor eksternal atau internalyang membantu seseorangmembuat pilihan terhadaprespon
Menyiapkan komunikasi yang kuatyang mampu membuat seseoranguntuk mengambil keputusan
Perlawanan Reaksi melawan seseorangterhadap respon yangdianjurkan
Memastikan seseorang tidak merasabahwa mereka telah dimanipulasiatau menghilangkan keraguan bahwarespon yang dianjurkan tidak dapatmencegah ancaman
Program kesehatan masyarakat yang efektif untuk membantu masyarakat
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan, mengurangi risiko-risiko
penyakit dan mengelola penyakit biasanya membutuhkan perubahan perilaku
dalam berbagai tingkat (seperti individu, organisasi dan komunitas). Sebagian
besar program kesehatan masyarakat yang sukses didasarkan pada pemahaman
tentang perilaku kesehatan dan dalam konteks bagaimana hal tersebut terjadi
(Glanz & Bishop, 2010).
Teori perilaku kesehatan berkontribusi untuk perencanaan program dan
evaluasi serta untuk kemajuan riset untuk menguji inovasi strategi intervensi.
52
Intervensi untuk memperbaiki perilaku sehat dapat menjadi rancangan terbaik
dengan memahami teori-teori perubahan perilaku yang relevan dan kemampuan
mengaplikasikannya dengan mahir (Glanz et al., 2008).
Teori dapat memandu pencarian untuk memahami mengapa orang
melakukan atau tidak melakukan perilaku yang mempromosikan kesehatan,
membantu mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan untuk merancang
sebuah strategi intervensi yang efektif dan menyediakan wawasan bagaimana
merancang sebuah program yang berhasil (Glanz et al., 2008). Beberapa teori
perilaku yang digunakan dalam perencanaan intervensi kesehatan antara lain :
a. Social Cognitif Theory (Teori Kognisi Sosial)
Model SCT dari Bandura menunjukkan bahwa seseorang bukan
dikendalikan karena kekuatan internal melainkan dari factor eksternal. Model ini
menyarankan agar fungsi manusia dapat dijelaskan dengan interaksi triadic yang
terdiri dari perilaku, faktor personal dan lingkungan. Hal ini sering diketahui
sebagai “repriprocal determinism” (determinan yang timbal balik saling
memengaruhi).
Faktor lingkungan mewakili situasional yang memengaruhi dan lingkungan
dimana perilaku itu dibentuk saat faktor personal yang terdiri dari insting,
dorongan, sifat, dan kekuatan motivasi individu lainnya. Berikut adalah beberapa
variabel yang memengaruhi proses perubahan perilaku meliputi : 1) Self efficacy;
2) Harapan hasil; 3) Kontrol diri; 4) Penguatan kembali; 5) Emotional Coping; 6)
Pembelajaran observasional.
53
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi teori ini terhadap
praktik :
1) Hal yang penting dalam peningkatan level self efficacy adalah menyiapkan
sumber daya dan mendukung kepercayaan diri individu. Hal lain yang
dianjurkan adalah melakukan peningkatan tersebut langkah demi langkah.
2) Bandura menuliskan bahwa bahkan orang-orang mempunyai rasa kuat dari
kemanjuran mereka mungkin tidak melakukan perubahan perilaku apabila
tidak adanya insentif. Disarankan jika kita tertarik membuat orang lain
menetapkan perubahan perilaku adalah hal penting untuk menyediakan
insentif atau hadiah untuk perilakunya.
3) Membentuk lingkungan yang mungkin mendorong perubahan perilaku.
Termasuk didalamnya menyiapkan kesempatan untuk perubahan perilaku,
membantu perubahan tersebut dan menawarkan dukungan sosial. Penting
untuk mengenali kendala lingkungan yang mungkin menghalangi perubahan
perilaku tersebut.
b. Theory Planed Behavior (Teori Perilaku Terencana)
Teori Perilaku terencana menunjukkan bahwa perilaku tergantung pada
niat seseorang untuk berperilaku. Niat ditentukan oleh sikap individu (keyakinan
dan nilai nilai tentang hasil perilaku) serta norma subjektif (keyakinan tentang apa
yang orang lain pikirkan yang seseorang harus lakukan atau tekanan sosial)
(Glanz et al., 2008)
54
Perilaku juga ditentukan oleh persepsi perilaku kontrol yang didefinisikan
sebagai persepsi seseorang untuk kemampuan mereka atau perasaan self efficacy
seseorang untuk berperilaku. Hubungan ini biasanya tergantung pada jenis
hubungan dan situasi yang alamiah.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi teori ini terhadap
praktik:
1) Niat telah terbukti menjadi variabel yang paling penting dalam memprediksi
perubahan perilaku, menunjukkan bahwa perilaku sering dikaitkan dengan
motivasi pribadi seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin penting
untuk menyajikan informasi dalam membantu membentuk sikap positif
terhadap perilaku dengan menekankan pada norma subjektif atau pendapat
yang mendukung perilaku.
2) Kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perubahan mempengaruhi perilaku,
seperti dengan self efficacy, seseorang harus merasa bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan perilaku. Oleh karena itu, seperti yang
disarankan Grisel, kontrol peluang yang dirasakan, sumber daya, dan
keterampilan yang dibutuhkan adalah bagian penting dari proses perubahan.
c. Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan)
Teori Health Belief Model (HBM) merupakan salah satu teori pertama
tentang perilaku kesehatan dan tetap menjadi salah satu teori yang diakui secara
luas di lapangan. Teori ini dikembangkan untuk membantu memahami mengapa
orang-orang menggunakan atau tidak menggunakan pelayanan pencegahan yang
55
ditawarkan oleh departemen kesehatan masyarakat pada tahun 1950 an (Glanz &
Bishop, 2010) dan ditingkatkan untuk hal-hal baru dalam bidang pencegahan dan
pendeteksian (penjaringan mamografy, vaksin influenza) maupun perilaku gaya
hidup seperti risiko perilaku seksual dan pencegahan kecelakaan. Teori HBM
adalah menyangkut hal yang dipercaya orang-orang tentang apapun risiko mereka
terhadap penyakit atau masalah kesehatan dan persepsi mereka tentang manfaat
yang diperoleh apabila menghindari, memengaruhi kesiapan untuk bertindak
(Glanz et al., 2008).
Gagasan inti dari HBM ini antara lain : kerentanan yang dirasa, parahnya
yang dirasakan, manfaat yang dirasa, dan hambatan yang dirasakan, isyarat untuk
bertindak dan tambahan saat ini adalah self-efficacy (Rosenstock et al., 1988).
Health Belief Model adalah teori untuk memahami suatu perilaku kesehatan dan
alasan-alasan yang mendasari terbentuknya perilaku atau menghambat perilaku.
Model ini menganggap bahwa perilaku adalah fungsi dari pengetahuan maupun
sikap. Secara khusus model ini menegaskan bahwa persepsi seseorang terhadap
ancaman masalah kesehatan dan keberhasilan tindakan yang dianjurkan dapat
mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku kesehatan.
HBM seringkali telah diaplikasikan untuk perhatian kesehatan yang terkait
pencegahan dan belum munculnya suatu gejala seperti deteksi dini kanker dan
penjaringan hipertensi, dimana kepercayaan itu penting dan lebih penting dari
gejala yang jelas. HBM juga sangat jelas untuk intervensi mengurangi faktor
risiko penyakit kardiovaskuler (Rosenstock et al., 1988)
56
d. Transtheoritical Model/Stages of Change
Model Transtheoritical mengusulkan mengubah proses dalam enam
tahapan. Tahap Precontemplasi dalam tahap ini dimana orang-orang belum berniat
untuk membuat perubahan di masa mendatang (umumnya dalam jangka waktu 6
bulan). Tahap Kontemplasi adalah dimana seseorang berniat untuk berubah
(dalam jangka waktu 6 bulan). Orang dalam tahap ini menyadari pro dan kontra
dalam mengidentifikasi perubahan. Tahap persiapan merupakan tahap dimana
orang memiliki rencana aksi dan berniat untuk melakukan tindakan dalam waktu
dekat (dalam satu bulan). Tahap Bertindak adalah tahap dimana orang melakukan
perubahan perilaku. Tahap pemeliharan adalah tahap ini orang-orang menjaga
agar tidak kembali ke perilaku semula. Terminasi mewakili tahap dimana orang
memperoleh 100% kemanjuran dan akan menjaga perilaku mereka. Tahap ini
adalah tahap yang tersulit untuk dijaga, sehingga banyak orang akan tetap
berperilaku seperti itu seumur hidupnya (Velicer et al., 1998)
Hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi teori ini terhadap praktik:
1) Menyesuaikan intervensi perubahan perilaku dengan tingkatan orang-orang
adalah hal penting yang harus dilakukan. Sebagai contoh, individu pada tahap
prekontemplasi sangat penting untuk ditingkatkan kesadarannya tentang
perilaku yang membawa mereka ke tahap kontemplasi (perenungan) tentang
perubahan perilaku.
2) Intervensi yang tanpa perencanaan akan membuat orang-orang terhenti pada
suatu tahap tertentu akibat kurangnya motivasi untuk berpindah ke tahap
berikutnya (Anonim, 2006).
57
e. PRECEDE/PROCEED
Green and Kreuter (1991) mengembangkan sebuah teori, yaitu
PRECEDE/PROCEED Model yang banyak digunakan untuk merencanakan
program-program promosi kesehatan. Model ini dikembangkan dari Health Belief
Model (HBM) dengan menganalisis kebutuhan kesehatan masyarakat dengan cara
menetapkan 5 diagnosis yang berbeda, yaitu diagnosis sosial, diagnosis
epidemiologi, diagnosis perilaku, diagnosis pendidikan dan diagnosis kebijakan.
Dalam diagnosis pendidikan, Model Precede/Proceed memberi penekanan pada
faktor predisposing, reinforcing dan faktor enabling (Green, 1991).
Perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor individu maupun faktor
lingkungan. Dalam model ini perilaku kesehatan memiliki dua bagian yaitu: 1)
PRECEDE (Predisposing, Reinforcing, Enabling, Constructs in, Educational
/Ecological, Diagnosis, Evaluation). 2) PROCEED (Policy, Regulatory,
Organizational, Constructs in, Educational, Enviromental, Development).
Precede bagian dari fase (1- 4) berfokus pada perencanaan program, dan
bagian Proceed fase (5-8) berfokus pada implementasi dan evaluasi. Delapan fase
dari model panduan dalam menciptakan program promosi kesehatan, dimulai
dengan hasil yang lebih umum dan pindah ke hasil yang lebih spesifik. Secara
bertahap, proses mengarah ke penciptaan, pemberian, dan evaluasi sebuah
program (Fertman, 2010).
Dalam mengkaji dasar pemikiran rencana intervensi obesitas pada anak
sekolah dasar yang akan dilakukan perlu mengacu pada suatu kerangka teoritis.
Dari beberapa teori perubahan perilaku yang dipaparkan diatas, peneliti memilih
58
model PRECEDE/PROCEED yang dikembangkan oleh Lawrence Green.
Pertimbangannya adalah penelitian kualitatif yang akan dilakukan ini adalah
untuk menemukan suatu intervensi yang nantinya dapat diterima oleh sasaran
penelitian. Sesuai dengan konsep peneliti bahwa intervensi yang dilakukan adalah
dengan pendekatan individual, keluarga dan juga struktural. Faktor penentu dalam
berperilaku pada anak obesitas diuraikan dalam model ini dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu : Predisposing factors (Faktor Predisposisi), Enabling Factors (Faktor
pemungkin) dan Reinforcing factors (Faktor Penguat). Faktor predisposisi terdiri
dari pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai, self efficacy, motivasi dan preferensi,
Faktor pemungkin terdiri dari: Kedai makanan, Fasilitas pemesanan makanan,
Trotoar, Lapangan olahraga, dan Ruang terbuka tempat bermain. Faktor penguat
meliputi : Keluarga, Teman sebaya, Guru dan pegawai sekolah lainnya, Hadiah
dan penghargaan, Nasihat orangtua, Olahraga/kompetisi di sekolah, serta Role
model. Model PRECEDE/PROCEED dalam perilaku anak obesitas digambarkan :
Gambar 2.2Model Faktor Penyebab Status Kesehatan Anak
StatusKesehatan
Faktor Psikologis :Gender, Umur, Genetik danKebutuhan Khusus
Pola Diet
Perilaku
Kontek Lingkungan Sekolah : Kelas sosial Jarak rumah dengan sekolah Budaya dan tradisi Etnik Geografis Iklim
Hukum, Peraturan, danKebijakan
Faktor Predisposisi (internal): Pengetahuan Ketrampilan Sikap Nilai Self efficacy Motivasi Preferensi
Faktor Penguat : Keluarga Teman sebaya Guru dan pegawai sekolah
lainnya Hadiah dan penghargaan Nasihat orangtua Olahraga/kompetisi di sekolah Role model
Faktor Pemungkin (eksternal) : Kedai makanan Fasilitas pemesanan makanan Trotoar Lapangan olahraga Ruang terbuka tempat
bermain