15 BAB II...15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Obesitas pada Anak Obesitas merupakan penyakit kronis yang...

44
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Obesitas pada Anak Obesitas merupakan penyakit kronis yang terjadi akibat jalinan faktor genetik dan lingkungan. Pengertian tentang mengapa dan bagaimana obesitas terjalin, belum dipahami sepenuhnya. Namun keterlibatan faktor sosial, budaya, perilaku, metabolik, dan genetik dalam jalinan ini tidak terbantahkan lagi (Arisman, 2010). Sementara di masyarakat dijumpai konsep bahwa anak gemuk adalah anak sehat. Konsep gemuk adalah anak sehat tidak benar, oleh karena gemuk menyebabkan berbagai penyakit kronis di kemudian hari. Meskipun konsep ini tidak benar, akan tetapi prevalensi anak gemuk atau obesitas meningkat di negara maju maupun di negara berkembang. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh De Onis, dkk. tahun 2010 di 144 negara, sebanyak 43 juta anak menderita obesitas, 35 juta diantaranya berada di Negara berkembang. Prevalensinya meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7% tahun 2010 dan diperkirakan menjadi 9,1% atau sekitar 60 juta anak pada tahun 2020. Prevalensi di Afrika lebih tinggi dibandingkan di Asia (De Onis et al., 2010). Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak meningkat dari 9,5% tahun 2007 menjadi 11,7% tahun 2010. Sedangkan di Provinsi Bali prevalensi obesitas pada usia 13-15 tahun yaitu sebesar 3,1% (Depkes RI, 2008; Depkes RI, 2010). Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi kegemukan pada anak umur 13-15 tahun 15

Transcript of 15 BAB II...15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Obesitas pada Anak Obesitas merupakan penyakit kronis yang...

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Obesitas pada Anak

Obesitas merupakan penyakit kronis yang terjadi akibat jalinan faktor

genetik dan lingkungan. Pengertian tentang mengapa dan bagaimana obesitas

terjalin, belum dipahami sepenuhnya. Namun keterlibatan faktor sosial, budaya,

perilaku, metabolik, dan genetik dalam jalinan ini tidak terbantahkan lagi

(Arisman, 2010).

Sementara di masyarakat dijumpai konsep bahwa anak gemuk adalah anak

sehat. Konsep gemuk adalah anak sehat tidak benar, oleh karena gemuk

menyebabkan berbagai penyakit kronis di kemudian hari. Meskipun konsep ini

tidak benar, akan tetapi prevalensi anak gemuk atau obesitas meningkat di negara

maju maupun di negara berkembang. Seperti dalam penelitian yang dilakukan

oleh De Onis, dkk. tahun 2010 di 144 negara, sebanyak 43 juta anak menderita

obesitas, 35 juta diantaranya berada di Negara berkembang. Prevalensinya

meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7% tahun 2010 dan diperkirakan

menjadi 9,1% atau sekitar 60 juta anak pada tahun 2020. Prevalensi di Afrika

lebih tinggi dibandingkan di Asia (De Onis et al., 2010). Di Indonesia, prevalensi

obesitas pada anak meningkat dari 9,5% tahun 2007 menjadi 11,7% tahun 2010.

Sedangkan di Provinsi Bali prevalensi obesitas pada usia 13-15 tahun yaitu

sebesar 3,1% (Depkes RI, 2008; Depkes RI, 2010). Berdasarkan Data Riset

Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi kegemukan pada anak umur 13-15 tahun

15

16

di Indonesia sebesar 10.8%, terdiri dari 8,3% gemuk (overweight) dan 2,5%

sangat gemuk (obesity). Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi dengan

prevalensi obesitas diatas nasional (Kemenkes RI, 2013). Di Kota Denpasar,

prevalensi obesitas pada anak meningkat dari 11% tahun 2002 menjadi 21,7%

tahun 2010 (Gary & Soetjiningsih, 2002; Yoga & Sidiartha, 2010).

Lebih dari separuh obesitas pada masa anak-anak dan remaja akan tetap

menjadi obesitas pada masa dewasa dengan berbagai dampak buruk terhadap

kesehatan (Wang et al. 2011). Fakta ini mengindikasikan bahwa obesitas pada

anak sudah menjadi masalah kesehatan global yang memerlukan penanganan

segera. Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa

dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif

dikemudian hari (Kasiman, 2011). Obesitas pada anak dan remaja dikaitkan terkait

dengan metabolisme yang merugikan dan risiko terjadinya kardiovaskular,

eksaserbasi asma, rendahnya harga diri dan kemungkinan peningkatan menjadi

obesitas di masa dewasa (Daniels & Greer, 2008).

Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit

kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar

(Lenders & Hoppin, 2003). Penelitian Syarif menemukan hipertensi pada 20–30%

anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal (Syarif, 2003). Faktor

Risiko ini meliputi peningkatan: kadar insulin, trigliserida, LDL-kolesterol dan

tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL-kolesterol. Risiko penyakit

Kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7 - 2,6. IMT

mempunyai hubungan yang kuat (r=0,5) dengan kadar insulin. Anak dengan

17

IMT>persentile ke 99,40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15%

mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida

tinggi (Freedman et al., 2001). Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan

tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi (Syarif,

2003).

2.1.1. Definisi Obesitas

Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh. Obesitas juga disebutkan

sebagai keadaan patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang

berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Apabila energi yang

bersumber dari makanan masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang

dikeluarkan untuk aktivitas, maka berat badan akan bertambah dan sebagian besar

kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak tubuh (Adriani &

Wiratmadi, 2012).

WHO mendefinisikan obesitas sebagai penumpukan lemak tubuh

berlebihan yang berdampak buruk terhadap kesehatan (WHO, 2015). Jaringan

lemak adalah salah satu komponen tubuh yang berkontribusi terhadap berat badan.

Pada saat lahir, tubuh mengandung 12% lemak, kemudian meningkat menjadi 15-

18% pada laki-laki dan 25-28% pada perempuan pada saat berusia 18 tahun.

Sementara itu peningkatan berat badan sekitar 10-15%. Hal ini menunjukkan

bahwa kenaikan berat badan didominasi oleh peningkatan lemak (Aycan, 2009).

Bila asupan energi melebihi kebutuhannya, maka kelebihan ini akan diubah

menjadi lemak dalam bentuk trigliserida dan disimpan pada jaringan lemak.

Timbunan lemak akan meningkatkan berat badan dan meningkatkan

18

keseimbangan baru terhadap kebutuhan energi. Keadaan ini membutuhkan asupan

energi lebih tinggi, sehingga anak obesitas akan cenderung menjadi lebih obesitas

apabila asupan energinya tidak dikendalikan (Sudargo, et al., 2014).

2.1.2. Metode Pengukuran Lemak Tubuh

Lemak tubuh dapat diukur dengan berbagai metode. Metode berdasarkan

densitas misalnya hydrodensitometry dan air displacement plethymografphy;

metode berdasarkan scanning misalnya computerized tomography, magnetic

resonance imaging dan dual-energy x-ray absorptiometry; metode berdasarkan

bioelectrical impedance analysis; dan metode antropometri misalnya skinfold,

waist circumference, waist-hip ratio dan Body Mass Indeks (Sweeting, 2007).

Komisi ahli dari Divisi Pediatri telah merekomendasikan Body Mass

Indeks (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai pengukuran kegemukan

dan obesitas pada anak dan remaja diatas usia 2 tahun sampai dengan 20 tahun

berdasarkan jenis kelamin dan umur. IMT merupakan petunjuk untuk menentukan

kelebihan berat badan berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi dengan

kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Hasil perhitungan IMT kemudian di-

plot ke dalam grafik IMT sesuai jenis kelamin dan usia anak (Barlow et al., 2007).

Penghitungan IMT merupakan cara praktis, mudah dikerjakan dan banyak

digunakan untuk kepentingan klinis dan penelitian. Penghitungan IMT dilakukan

dengan membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan

dalam satuan meter (kg/m2). Indeks massa tubuh memiliki sensitivitas dan

spesivisitas yang baik terhadap lemak tubuh (Bailey & Luzzi, 1995).

19

2.1.3. Klasifikasi Obesitas

Interpretasi IMT berdasarkan CDC (2000) dan CDC (2008) terhadap status

gizi dikelompokkan dalam empat kategori yaitu :

Tabel 2.1

Klasifikasi IMT berdasarkan Centers for Disease Control end Prevention (CDC)

Klasifikasi Batasan

Underweight IMT persentil < 5Normal IMT persentil ke 5 – 84

Overweight IMT persentil ke 85 -94Obesitas IMT persentil ≥ 95

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar anthropometri penilaian

status gizi dan mengacu pada standar WHO, 2007 yaitu dengan menghitung IMT

menurut umur (IMT/U) pada anak umur 5-18 tahun pada tabel 2.2.

Tabel. 2.2

Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT menurut Umur

Klasifikasi Batasan

Kurus -3 SD sampai dengan -2 SDNormal -2 SD sampai dengan -1 SDGemuk > 1 SD sampai dengan 2 SDObesitas > 2 SD

2.1.4. Faktor Risiko Obesitas

Faktor risiko terjadinya obesitas sangat kompleks mulai dari faktor

genetik, individual hingga lingkungan fisik dan sosial. Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk mengurai permasalahan obesitas pada anak. Dua pandangan yang

20

menjadi penyebab utama obesitas adalah dari faktor genetika dan keseimbangan

energi positif. Review saat ini terhadap penyebab primer terjadinya peningkatan

prevalensi obesitas pada remaja adalah difokuskan pada ketidakseimbangan

energi kronis yang disebabkan karena kelebihan asupan energi dan/atau

ketidakcukupan pengeluaran energi. Jadi pada dasarnya keseimbangan energi

positif menurut beberapa hasil penelitian terhadap penyebabnya mengarah pada

dua bidang utama yaitu asupan makanan yang berlebih dan tidak adekuatnya

aktivitas fisik. Namun dibalik kedua faktor tersebut, masih banyak faktor yang

memengaruhinya terutama terkait dengan faktor sosial budaya. Karena

sebagaimana terjadinya suatu kelainan dalam tubuh atau penyakit bukan hanya

karena penyebab tunggal namun disebabkan karena penyebab yang majemuk

(multi factorial). Penelitian-penelitian epidemiologis dengan pendekatan kohort

dan kasus kontrol menunjukkan tren makanan (fast food), gaya hidup sedentary,

penurunan aktivitas fisik, stres psikologis, dan budaya merupakan kontributor

terhadap epidemi obesitas pada anak dan remaja (Lenders & Hoppin, 2003).

a. Faktor Genetik

Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila

kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua

obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas,

prevalensi menjadi 14% (Syarif, 2003).

Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi

intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama

kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama

21

dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya

berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap

obesitas melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non exercise,

kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan demikian

kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan

menentukan ekspresi fenotipe (Kopelman, 2000; Newnham, 2002).

b. Faktor lingkungan

Lingkungan dalam hal ini termasuk perilaku/gaya hidup. Hal ini

menyangkut tentang bagaimana lingkungan memengaruhi apa yang dimakan,

berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya (Adriani & Wiratmadi,

2013).

Adapun faktor lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Gizi dan Makanan

Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama

kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak

serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi (Heird,

2002b).

2) Aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan

mengurangi massa lemak tubuh. Sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat

dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas

(Patschan & Scholze, 2007).

22

Aktivitas fisik cenderung menurun pada anak perempuan umur 10-12

tahun, sementara pada anak laki-laki tetap lebih aktif meskipun tingkat aktivitas

fisiknya lebih rendah daripada mereka yang berumur 15-18 tahun (More, 2014).

3) Sosial ekonomi

Status sosial ekonomi dapat diperkirakan dari pendapatan keluarga.

Semakin baik sosial ekonomi suatu keluarga maka ketersediaan bahan pangan dan

makanan keluarga tersebut lebih terjamin. Namun apabila tidak diimbangi dengan

pengetahuan yang cukup tetang makanan sehat maka keluarga dengan sosial

ekonomi yang tinggi juga memiliki potensi yang besar untuk menderita obesitas.

Disisi lain keluarga dengan penghasilan rendah juga cenderung memiliki

kemampuan membeli bahan makanan yang tinggi karbohidrat, selain itu apabila

anak-anak mereka mengalami obesitas penurunan berat badan pada kelompok ini

dianggap bukan suatu hal yang penting (Cobb, 2013).

c. Obat-obatan

Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti depresi) dapat

menyebabkan penambahan berat badan (Adriani & Wiratmadi, 2013).

2.1.5. Dampak Obesitas pada Anak

1. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler

Faktor Risiko ini meliputi peningkatan: kadar insulin, trigliserida, LDL-

kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL-kolesterol.

Risiko penyakit Kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7-2,6.

IMT mempunyai hubungan yang kuat (r = 0,5) dengan kadar insulin. Anak

dengan IMT > persentile ke 99, 40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi,

23

15% mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar

trigliserida tinggi (Freedman et al., 2001). Anak obesitas cenderung mengalami

peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita

hipertensi (Syarif, 2003).

2. Diabetes Mellitus tipe-2

Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas. Prevalensi

penurunan glukosa toleran test (GTT) pada anak obesitas adalah 25% sedang

diabetes mellitus tipe-2 hanya 4%. Hampir semua anak obesitas dengan diabetes

mellitus tipe-2 mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) > + 3SD atau > persentile

ke 99 (Syarif, 2003; Freedman et al., 2001; Bluher, 2004).

3. Obstruktive sleep apnea

Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala

mengorok (Syarif, 2003). Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah

dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan

diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru

serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan

tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan

kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang

menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan

obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga

keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini

berkurang seiring dengan penurunan berat badan (Syarif, 2003; Kopelman, 2000).

24

4. Gangguan ortopedik

Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik

yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris

yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan

panggul (Syarif, 2003).

5. Pseudotumor serebri

Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada

obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-paru yang menyebabkan

peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala, papil edema,

diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas (Syarif, 2003).

2.1.6. Tata Laksana Obesitas pada Anak

Mengingat penyebab obesitas bersifat multifaktor, maka penatalaksanaan

obesitas seharusnya dilaksanakan secara multidisiplin dengan mengikut sertakan

keluarga dalam proses terapi obesitas. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah

mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi, dengan cara

pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, dan mengubah / modifikasi pola hidup

(Syarif, 2003; Kiess, et al., 2004).

1. Menetapkan target penurunan berat badan

Untuk penurunan berat badan ditetapkan berdasarkan: umur anak, yaitu

usia 2 - 7 tahun dan diatas 7 tahun, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit

penyerta/komplikasi. Pada anak obesitas tanpa komplikasi dengan usia dibawah 7

tahun, dianjurkan cukup dengan mempertahankan berat badan, sedang pada

obesitas dengan komplikasi pada anak usia dibawah 7 tahun dan obesitas pada

25

usia diatas 7 tahun dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Target penurunan

berat badan sebesar 1 - 2 kg per bulan (AsDI, IDAI, & Persagi, 2014).

2. Pengaturan diet

Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai

dengan AKG, karena anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan

(AsDI, IDAI, & Persagi, 2014). Intervensi diet harus disesuaikan dengan usia anak,

derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta. Pada obesitas sedang dan

tanpa penyakit penyerta, diberikan diet seimbang rendah kalori dengan

pengurangan asupan kalori sebesar 30%. Sedang pada obesitas berat (IMT > 97

persentile) dan jika penyakit penyerta, diberikan diet kalori sangat rendah (Kiess,

et al., 2004).

Dalam pengaturan diet ini perlu diperhatikan tentang (Syarif, 2003) :

a. Menurunkan berat badan dengan tetap memertahankan pertumbuhan normal.

b. Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20-30% dengan

lemak jenuh <10% dan protein 15-20% energi total serta kolesterol <300 mg

per hari.

c. Diet tinggi serat, dianjurkan pada anak usia > 2 tahun dengan penghitungan

dosis menggunakan rumus: (umur dalam tahun + 5) gram per hari.

3. Pengaturan aktifitas fisik

Peningkatan aktifitas fisik mempunyai pengaruh terhadap laju

metabolisme. Latihan fisik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat

perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktifitas fisik untuk anak

usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan ketrampilan otot, seperti

26

bersepeda, berenang, menari dan senam. Dianjurkan untuk melakukan aktifitas

fisik selama 20-30 menit per hari (Syarif, 2003).

Tabel 2.3

Jenis kegiatan dan jumlah kalori yang dibutuhkan

Jenis kegiatan Kalori yang digunakan/jam

Jalan kaki 3 km/jamJalan kaki 6 km/jamJoging 8 km/jamLari 12 km/jamTenis tunggalTenis gandaGolfBerenangBersepeda

150300480600360240180350660

4. Mengubah pola hidup/perilaku

Untuk perubahan perilaku ini diperlukan peran serta orang tua sebagai

komponen intervensi, dengan cara:

a. Pengawasan sendiri terhadap: berat badan, asupan makanan dan aktifitas fisik

serta mencatat perkembangannya.

b. Mengontrol rangsangan untuk makan. Orang tua diharapkan dapat

menyingkirkan rangsangan disekitar anak yang dapat memicu keinginan untuk

makan.

c. Mengubah perilaku makan, dengan mengontrol porsi dan jenis makanan yang

dikonsumsi dan mengurangi makanan camilan.

d. Memberikan penghargaan dan hukuman.

e. Pengendalian diri, dengan menghindari makanan berkalori tinggi yang pada

umumnya lezat dan memilih makanan berkalori rendah (Syarif, 2003).

27

5. Peran serta orangtua, anggota keluarga, teman dan guru.

Orang tua menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori dan sesuai

petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru dan teman ikut berpartisipasi dalam

program diet, mengubah perilaku makan dan aktifitas yang mendukung program

diet (Kiess, et al. 2004).

6. Terapi intensif (Syarif, 2003), (Kiess, et al., 2004).

Terapi intensif diterapkan pada anak dengan obesitas berat dan yang

disertai komplikasi yang tidak memberikan respon pada terapi konvensional,

terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi dan

terapi bedah.

a. Indikasi terapi diet dengan kalori sangat rendah bila berat badan > 140% BB

Ideal atau IMT > 97 persentile, dengan asupan kalori hanya 600-800 kkal per

hari dan protein hewani 1,5 - 2,5 gram/kg BB Ideal, dengan suplementasi

vitamin dan mineral serta minum > 1,5 L per hari. Terapi ini hanya diberikan

selama 12 hari dengan pengawasan dokter.

b. Farmakoterapi dikelompokkan menjadi 3, yaitu: memengaruhi asupan energi

dengan menekan nafsu makan, contohnya sibutramin; memengaruhi

penyimpanan energi dengan menghambat absorbsi zat-zat gizi contohnya

orlistat, leptin, octreotide dan metformin; meningkatkan penggunaan energi.

Farmakoterapi belum direkomendasikan untuk terapi obesitas pada anak,

karena efek jangka panjang yang masih belum jelas.

c. Terapi bedah diindikasikan bila berat badan > 200% BB Ideal. Prinsip terapi

ini adalah untuk mengurangi asupan makanan atau memerlambat pengosongan

28

lambung dengan cara gastric banding, dan mengurangi absorbsi makanan

dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus.

Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang manfaat dan bahaya terapi ini

pada anak.

The Expert Committee Of American Academy Of Pediatrics

merekomendasikan 4 langkah penanganan obesitas pada anak. Langkah pertama

adalah mengonsumsi 5 porsi atau lebih sayur dan buah per hari,

mengurangi/menghentikan konsumsi minuman yang manis, mengurangi

menonton televisi atau bermain video game (<2 jam per hari), dan melakukan

aktivitas fisik minimal 1 jam sehari. Apabila dalam waktu 6 bulan tidak ada

perbaikan IMT maka lakukan langkah kedua yaitu membatasi asupan energi,

pengaturan pola makan (3 kali makan utama dan 2 kali selingan), melakukan

aktivitas fisik lebih dari 1 jam sehari, membatasi menonton televisi atau sejenis

nya <1 jam sehari dan melakukan monitoring yang ketat terhadap perilaku anak

dan menentukan target IMT. Apabila dalam waktu 3-6 bulan tidak ada perbaikan

IMT maka lakukan langkah ketiga yaitu intervensi multidisiplin dengan

melibatkan psikolog, nutrisionis dan fisiolog; target asupan energi dan aktivitas

seperti pada langkah kedua namun pelaksanaan lebih ketat dengan target IMT

<persentil-85. Langkah keempat jarang dilakukan pada anak-anak, biasanya

dikerjakan pada remaja dengan obesitas berat. Penanganan ini meliputi

penggunaan obat-obatan atau pembedahan (Spear et al., 2007).

29

2.1.7. Determinan Sosial Obesitas

Pola makan, tingkat aktivitas, etnisitas, genetic, status sosial-ekonomi

rendah, dan lingkungan, semuanya berperan di dalam perkembangan obesitas.

Selanjutnya ditemukan bukti-bukti bahwa perbedaan genetik dapat membuat

sebagian anak lebih rentan mengalami obesitas di lingkungan yang obesogenik

(More, 2014).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurai permasalahan obesitas

pada anak. Dua pandangan yang menjadi penyebab utamanya yaitu pada masalah

genetika dan keseimbangan energi positif. Review saat ini terhadap penyebab

primer terjadinya peningkatan prevalensi obesitas pada remaja adalah difokuskan

pada ketidakseimbangan energi kronis yang disebabkan karena kelebihan asupan

energi dan/atau ketidakcukupan pengeluaran energi. Jadi pada dasarnya

keseimbangan energi positif menurut beberapa hasil penelitian terhadap

penyebabnya mengarah pada dua bidang utama yaitu intake makanan yang

berlebih dan tidak adekuatnya aktivitas fisik. Namun dibalik kedua faktor

tersebut, masih banyak faktor yang memengaruhi utamanya masalah yang terkait

dengan sosial budaya. Karena sebagaimana terjadinya suatu kelainan dalam tubuh

atau penyakit bukan hanya karena penyebab tunggal namun disebabkan karena

penyebab yang majemuk (multi factorial).

Penambahan berat badan berlebih pada anak-anak pra-sekolah juga

menghawatirkan. Sebuah studi di Belanda menemukan bahwa pola gaya hidup

yang buruk pada usia 5 tahun berkaitan dengan obesitas masa kanak-kanak pada

usia yang lebih lanjut.

30

Namun pertanyaan berikutnya adalah perubahan apa yang terjadi dalam

masyarakat dan pola-pola perilaku masyarakat didalamnya dalam beberapa tahun

terakhir sehingga mengakibatkan peningkatan pesat dalam prevalensi obesitas

belumlah didukung oleh bukti-bukti yang jelas. Termasuk didalamnya mengapa

anak mengonsumsi terlalu banyak energi dan atau tidak cukup berolah raga?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai penyebab peningkatan

prevalensi obesitas tetap diperdebatkan. Mungkin tidak ada jawaban sederhana

atau tepat, terutama karena obesitas adalah suatu kondisi yang berkembang lambat

(jeda waktu seringkali menutupi penyebab) dan juga penyebab timbulnya obesitas

ini cenderung multifactorial dengan banyak faktor perancu. Untuk itu perlu

dilakukan identifikasi determinan sosial terhadap kejadian obesitas pada anak usia

sekolah dasar.

a. Keseimbangan Energi Positif

Seseorang mengonsumsi makanan dengan kandungan energi sesuai yang

dibutuhkan tubuh, maka tidak ada energi yang disimpan. Keseimbangan energi

dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan

energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan yang stabil

(Eko, 2011). Sebaliknya jika mengonsumsi makanan dengan energi melebihi yang

dibutuhkan tubuh, maka kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi

terutama sebagai lemak.

Hukum pertama termodinamika (thermodynamics) mengungkapkan bahwa

obesitas terjadi akibat adanya ketidak seimbangan energi dalam kurun waktu yang

lama, yakni pengeluaran energi yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah

31

energi yang dikonsumsi (Sudargo, et al., 2014). Banyak hal yang secara

intrapersonal dapat memengaruhi terjadinya keseimbangan energi positif

(kelebihan asupan energi) pada anak. Konsumsi berlebih jika dikaitkan dengan

perilaku antara lain karena pengetahuan dan sikap terhadap makanan. Faktor

internal ini selanjutnya akan menyebabkan pilihan terhadap makanan itu seperti

konsumsi minuman tinggi gula (softdrink), konsumsi makanan jajanan, aktivitas

fisik dan kebiasaan berolahraga.

b. Perilaku makan keluarga

Pada masyarakat perkotaan yang berpenghasilan mapan, disinyalir

konsumsi makanan sehari-harinya sangat bernuansa pola konsumsi hedonik, yakni

pola konsumsi yang mengutamakan kepuasan. Dasar pertimbangan dari pola

konsumsi hedonik ini umumnya ada tiga yaitu berdasar selera, gengsi dan

ekonomi (Suiraoka, 2012).

c. Pola Makan

Disadari atau tidak disadari hampir semua orang mengalami perubahan

pola makan. Hal ini disebabkan karena globalisasi dalam bidang ekonomi dan

perdagangan. Karena bagaimanapun juga kita tidak akan mungkin menutup diri

terhadap hal-hal yang terjadi dalam lingkungan kita. Bahan makanan atau

makanan jadi yang dibeli adalah mengikuti situasi pasar. Disisi lain, ada suatu

pesan yang berlaku universal bahwa perilaku makan sehat merupakan perilaku

mengonsumsi beberapa variasi kelompok makanan yang direkomendasikan yaitu

karbohidrat, buah dan sayur, protein dan lemak (Ogden, 2010).

32

Perilaku makan sehat ditujukan bagi setiap individu untuk semua usia,

budaya dan situasi geografis. Setiap individu direkomendasikan untuk

mengonsumsi setiap kelompok makanan, namun sebagian besar individu hanya

mengonsumsi kelompok makanan tertentu dan melewatkan atau sedikit

mengonsumsi buah dan sayuran.

Kemajuan teknologi pengolahan pangan, menjamurnya supermarket dan

minimarket, informasi pemasaran beragam produk pangan, urbanisasi dan

kemajuan ekonomi terutama bagi golongan menengah ke atas, serta dampak

globalisasi mendorong perubahan pola pangan atau perilaku makan yang tidak

sehat. Bahan makanan jadi yang tersedia dewasa ini cenderung tidak mengandung

gizi yang seimbang yaitu konsumsi padat energi, tinggi kandungan garamnya,

tinggi gula, rendah serat dan sudah pasti menggunakan bahan pengawet.

Permasalahan lainnya adalah asupan makanan camilan/snack yang berlebihan

pada anak. Dampak asupan snack yang berlebihan terkait dengan

kandungan/komposisi energi dan zat gizi dalam snack tersebut. Umumnya

makanan yang dikonsumsi sebagai snack seringkali tinggi lemak dan tinggi

karbohidrat. Terlalu banyak konsumsi snack akan menunda makanan utamanya

atau juga bisa memberi dampak berlebihnya energi dan zat gizi yang masuk ke

dalam tubuh.

Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya obesitas adalah

mengonsumsi makanan porsi besar (melebihi kebutuhan), makan tinggi energi,

tinggi lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat (Sudargo et al., 2014)

33

d. Gaya Hidup Anak dalam hal konsumsi makanan

“Gaya hidup konsumsi makanan”, termasuk bagian dari gaya hidup dalam

memilih tempat makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Perubahan gaya

hidup dalam hal konsumsi makanan ini terutama dipicu oleh

perbaikan/peningkatan di sektor pendapatan (ekonomi), kesibukan kerja yang

tinggi dan promosi makanan trendy ala barat, utamanya fast food maupun health

food yang populer di Amerika dan Eropa, namun tidak diimbangi dengan

pengetahuan dan kesadaran gizi. Akhirnya budaya makan berubah menjadi tinggi

lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro.

Gaya konsumsi makanan ini juga dipicu karena anak-anak atau remaja

umumnya lebih percaya kepada teman mereka dibandingkan dengan orang dari

kelompok usia lainnya. Hal ini berdampak pula terhadap pilihan makanan mereka.

Kecenderungan memilih makanan sesuai dengan anjuran teman sebaya menjadi

salah satu tren yang membentuk kebiasaan makan pada remaja dewasa ini. Junk

food adalah istilah yang mendeskripsikan makanan yang tidak sehat dan memiliki

sedikit kandungan gizi. Di kota-kota besar di Indonesia junk food dijual di

berbagai pusat perbelanjaan dan pusat jajanan. Saat ini akses ke tempat-tempat

makan yang dapat menyajikan makanan secara instan sangat mudah. Akses

makanan cepat saji itu dapat diperoleh di gerai makanan cepat saji yang dianggap

bergengsi sampai dengan di kedai-kedai makanan cepat saji yang mulai marak

hingga ke desa-desa. Disisi lain sejalan dengan isu tuntutan waktu yang sempit.

Sehingga orang lebih memilih membeli makanan cepat saji dibanding

mempersiapkan sendiri makanan untuk keluarga.

34

Di negara-negara berkembang, perubahan pada ketersediaan pangan,

komposis produk dan pemasaran makanan telah menuntun pada situasi yang

sering disebut sebagai “lingkungan makanan kurang sehat”. Masyarakat kanyak

terpapar dengan makanan tinggi lemak, natrium dang la sederhana. Makanan

tersedia hampir dimana saja, mulai dari sekolah, kantor, hingga lingkungan sekitar

rumah (Sudargo et al., 2014). Selain disediakan di tempat penjualnya, saat ini

masyarakat juga dimanjakan dengan adanya layanan pesan antar untuk makanan.

Hal ini seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Fasilitas ini ada yang

disediakan oleh penjual makanan cepat saji dalam bentuk layanan pesan antar

(delivery service) dan ada juga fasilitas ojek makanan online yang siap

mengantarkan makanan pesanan kliennya. Sehingga kapanpun seseorang ingin

makan makanan tertentu (khususnya makanan cepat saji) maka mereka akan

mendapatkannya.

e. Pengetahuan gizi

Pengetahuan masyarakat untuk memilih makanan yang cukup dan

seimbang untuk individu dan keluarga masih kurang. Hal ini sangat dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan budaya. Pada keluarga miskin,

umumnya karena akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan pangan rendah,

kurang gizi merupakan masalah yang disertai dengan tingginya angka penyakit

infeksi. Keluarga yang tidak mampu ini juga terbukti sangat terpapar dengan

kebiasaan merokok yang memperparah kondisi kesehatan mereka. Ketidaktahuan

akan makanan yang sehat dan bergizi juga menyebabkan masyarakat terjebak

pada pilihan makanan yang tidak sehat yang cenderung miskin zat gizi. Bila

35

pilihan makanan tersebut adalah makanan yang tinggi karbohidrat sederhana dan

tinggi lemak (jenis makanan ini justru bisa diperoleh dengan harga yang relatif

murah) maka tidak tertutup pula kemungkinan kejadian obesitas banyak terjadi

pada golongan masyarakat tidak melek kesehatan dan miskin.

Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang pola konsumsi makanan

yang sehat dan seimbang, menyebabkan perilaku yang salah. Hal ini disebabkan

tidak efektifnya pendidikan gizi kepada anak semenjak usia dini sampai anak usia

sekolah.

f. Aktivitas fisik yang kurang

Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan

pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan

mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang

hari.

Kemajuan teknologi dewasa ini juga mempunyai pengaruh langsung dan

tidak langsung terhadap berkurangnya aktivitas fisik. Tidak hanya dalam hal

tersedianya fasilitas/alat-alat yang mengurangi aktivitas fisik, misalnya escalator

dan lift sebagai pengganti tangga, atau mesin cuci yang mengurangi gerak

seseorang dalam mencuci atau yang lainnya. Tetapi beragam bentuk jasa

ditawarkan dengan memberi kemudahan bagi orang yang membutuhkan, seperti

misalnya salon/tempat cuci mobil yang mengurangi aktivitas orang mencuci

mobil, jasa laundry yang membuat orang tidak perlu mencuci atau menyetrika

(Suiraoka, 2012).

36

Saat ini perkembangan teknologi telah memengaruhi berbagai aspek

kehidupan manusia termasuk gaya hidup. Anak-anak dan remaja kini lebih banyak

menghabiskan waktu mereka dengan menonton televisi dan bermain game

(Tremblay et al., 2011).

g. Aktivitas fisik di sekolah

Anak sekolah menghabiskan sebagian waktu mereka di rumah dan

sekolah. Jika anak-anak kurang bergerak di rumah, maka harapannya mereka

beraktivitas fisik lebih banyak di sekolah. Namun kegiatan olahraga yang

terjadwal dalam satu minggu mungkin hanya satu dua kali ditambah dengan ekstra

olahraga bagi yang mengikuti. Sehingga anak-anak dan remaja mungkin lebih

banyak aktivitas diamnya juga di sekolah. Apalagi bila sekolahnya tidak memiliki

halaman yang cukup luas bagi pergerakan siswa atau sekolah berada di

lingkungan yang padat lalu lintas. Maka semakin terkungkunglah anak-anak dan

remaja tersebut.

h. Gaya hidup Sedentary

Pola hidup sedentary adalah kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan

seseorang yang tidak banyak melakukan aktivitas fisik atau tidak banyak

melakukan gerakan. Gaya hidup sedentary umumnya disebabkan karena

kenyamanan akibat kemajuan teknologi yang menyebabkan orang tidak terlalu

banyak bergerak dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup sedentary ini menjadi

popular karena kaitannya dengan kerentanan seseorang terkena penyakit jantung,

diabetes, kanker kolon, tekanan darah tinggi, kegemukan (obesitas), depresi dan

batu ginjal.

37

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang bergaya hidup sedentary antara

lain : 1) Pekerjaan: pekejaan tertentu seperti programmer membuat orang selalu

duduk di depan komputer; 2) Kesenangan: misalnya menonton tv, main game

komputer atau konsol (Playstation, Xbox, Nintendo, dsb) membuat orang betah

untuk duduk berjam-jam; 3) Fasilitas/kemudahan: dahulu untuk menaiki gedung

yang bertingkat orang menggunakan tangga. Sekarang banyak orang yang tinggal

atau bekerja di gedung bertingkat tidak perlu menaiki tangga satu-persatu karena

ada lift; 4) Kebiasaan: misalnya orang pergi ke toko atau mini market hanya

berjarak beberapa rumah dari tempat tinggalnya menggunakan mobil atau motor.

Anak-anak pergi kesekolah dengan diantar menggunakan kendaraan meskipun

jaraknya dekat. Pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada pembantu; 5) Kurang

berolahraga: kurang berolahraga bisa jadi merupakan alasan yang paling tepat

mengapa orang menganut pola hidup sedentary, karena keempat alasan

sebelumnya di atas pada dasarnya dapat dimaklumi.

Gaya hidup sedentary juga didukung karena kondisi lingkungan

perumahan dimana mereka tinggal. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan di

lingkungan yang relatif tidak aman cenderung tidak akan dibiarkan beraktivitas

secara bebas di luar rumah oleh orangtua mereka. Sehingga mereka lebih banyak

beraktivitas di dalam rumah.

i. Kebiasaan olahraga

Olahraga yang teratur adalah olahraga yang dilakukan dengan frekuensi

3-5 kali seminggu dengan selang waktu satu hari istirahat. Selain itu kita juga

mengenal istilah olahraga rekreasi. Olahraga rekreasi adalah olahraga yang

38

dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan

berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk

kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan.

Kebiasaan olahraga ini hendaknya ditanamkan sejak dini. Jika pada anak-

anak balita dan anak pra sekolah di dorong dan diberikan kesempatan untuk

bermain aktif, mereka akan mengembangkan koordinasi dan keterampilan-

keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk menikmati olahraga saat

usia mereka bertambah (More, 2014).

Berdasarkan uraian diatas dapat digambarkan model roda (wheel model)

dari determinan sosial obesitas pada anak sekolah sebagai berikut :

Gambar 2.1Model ekologi obesitas pada anak sekolah

Obesitaspada Anak

Sekolah

Asupanenergi

Aktivitasfisik

Perilakusedentary

Pengetahuangizi

Perilakumakankeluarga

Preferensimakankeluarga

Ketersediaanmakanan

Kebiasaanmenonton TV,

Game dankomputer

Aktivitasdi rumah

Interaksi dgnsebaya (peer)

Pola aktivitasorang tua

Preperensiorang tua

Aktivitasdi sekolah

Monitoring ortuterhadap

kebiasaan diam

Keamananlingkungan

Budayaterkait

makanan

Perubahanfisik/

lingkungan

Ekstrakulikuler

Pendidikankesehatan OR

di sekolah

Wakturekreasi

Hubungansosial

Norma sosial

Kantinsekolah

Daya belikeluarga

Etnik

Kondisiperumahan

Fasilitas OR/rekreasi

Typekeluarga

39

2.1.8. Persepsi Kerentanan terhadap Obesitas

Penyebab utama obesitas pada anak-anak selain faktor genetik adalah

keseimbangan asupan energi dan zat gizi lainnya dengan penggunaannya oleh

tubuh. Asupan energi dan zat gizi lainnya dipengaruhi oleh pola makan sedangkan

penggunaan energi digambarkan dengan pola aktivitas fisik (Arisman, 2010).

Dalam penelitian pendahuluan diketahui anak sekolah obesitas, ada yang

tidak biasa sarapan pagi, biasa sarapan pagi dan ada pula yang sarapan berlebih.

Kebiasaan makan anak-anak obesitas yang kurang teratur ini dialami oleh

beberapa orangtua karena mereka tidak sepenuhnya bisa mengontrol karena alasan

bekerja. Terkadang orangtua memberi kebebasan anaknya untuk makan apa saja

yang penting mereka tenang/diam. Kebiasaan anak makan di sekolah tidak

terlepas dari bekal yang disiapkan dan makanan jajanan di sekolah. Beberapa

informan yang mengungkapkan pihak sekolah tidak ada yang melarang atau

mewajibkan anak-anak membawa bekal makanan ke sekolah. Makanan bekal

sekolah yang disiapkan orangtua biasanya adalah makanan yang simpel yang

teridir dari nasi mie dan lauk saja (Suiraoka, 2016b). Hal ini belum sesuai dengan

anjuran gizi seimbang dimana asupan makanan hendaknya berasal dari beragam

bahan makanan sehingga mampu memenuhi kebutuhan zat gizinya. Kebiasaan

hanya menyukai satu atau dua jenis makanan tertentu adalah kebiasaan yang tidak

sehat (Soekirman, et al., 2006). Penanaman pola makan yang baik, hendaknya

dilakukan sejak masa kanak-kanak, hal ini dimaksudkan untuk menghindari

penyakit akibat pola makan yang kurang sehat (Adriani & Wiratmadi, 2013).

40

Sebagian anak-anak sekolah sangat susah mengonsumsi sayur. Beberapa

orangtua menyatakan anak mereka tidak suka sayur, tetapi ada pula anak yang

hanya memilih sayur tertentu yang disukai seperti kangkung. Kondisi yang sama

juga dijumpai di kantin sekolah. Makanan yang dijual di kantin sekolah umumnya

juga tidak menyertakan sayur dalam nasi bungkus yang mereka jual.

Hasil penelitian Riskesdas menunjukkan bahwa penduduk Denpasar, sebanyak

97,3% konsumsi buah dan atau sayurnya masih kurang (Depkes RI., 2008).

Konsumsi karbohidrat berlebih disebabkan karena anak sangat suka mie

dan juga minuman manis. Demikian juga halnya dengan konsumsi makanan cepat

saji juga cukup tinggi di kalangan anak-anak (Suiraoka, 2016b). Remaja obes

mengkonsumsi makanan cepat saji 2-3 kali lebih sering daripada yang tidak obes

(Mahdiah, et al., 2004). Sebanyak 50% anak-anak obes di Kota Denpasar sering

mengkonsumsi fast food yang berkalori tinggi dan lemak tinggi (Padmiari, 2002).

Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan terjadi peningkatan prosentase ukuran

porsi dan intake energy anak-anak dengan mengonsumsi fast food berkalori tinggi

dan lemak tinggi dan minuman dengan pemanis gula (Nelson, et al., 2006).

Tingginya konsumsi makanan cepat saji salah satunya disebabkan karena

mudahnya memperoleh makanan cepat saji saat ini dan juga demikian banyaknya

variasi penyedia makanan cepat saji itu sendiri (Suiraoka, 2016b). Diet yang

tinggi dalam makanan cepat saji, gula, minuman ringan dan kurang pada produk

susu, buah-buahan, dan sayuran menjadi salah satu penyebab kekurangan zat gizi

penting pada masa anak-anak (More, 2013).

41

Anak sekolah memiliki jadwal yang cukup padat untuk aktivitas belajar

disekolah yaitu sekitar 6 sampai 7 jam/hari atau 41 jam dalam seminggu. Selain

itu mereka juga dijadwalkan mengikuti les oleh orangtuanya. Dari aktivitas belajar

tersebut, meskipun cukup banyak menyita waktu anak-anak tetapi itu adalah

aktivitas duduk dan tidak terlalu banyak bergerak. Kesempatan untuk bermain dan

bergerak seperti yang sudah dijadwalkan hanya 2 kali dalam waktu belajar di

sekolah yaitu istirahat pagi dan istirahat siang. Kemudian waktu olahraga itu juga

di setting hanya satu minggu sekali. Karena memperhatikan jadwal antar kelas

dan juga luas lapangan yang dimiliki sekolah tersebut. Hari sabtu dijadwalkan

untuk pengembangan diri, dimana anak-anak melakukan kegiatan seperti menari,

menabuh gamelan, menyanyi, ekstra pencak silat dan sebagainya. Hal ini

berpotensi meningkatkan aktivitas fisik bergerak pada anak sekolah. Selain

pengembangan diri beberapa sekolah juga menyediakan fasilitas tempat bermain

aneka macam permainan tradisional di sekolah (Suiraoka, 2016b).

Sebagian besar anak itu diantar ke sekolah, dengan alasan karena waktu,

sekalian berangkat kerja, dan alasan keamanan anak-anak. Tetapi beberapa

informan orangtua yang menyatakan anak-anak tersebut justru suka main sepeda

setelah dia pulang sekolah. Beberapa orangtua juga mengikutkan anak-anak

mereka untuk extra olahraga diluar jam sekolah seperti olahraga basket, takraw,

renang, sepakbola, bulutangkis, dan yang lainnya. Selain itu beberapa anak masih

sering bermain aneka macam permainan tradisional di lingkungan mereka

(Suiraoka, 2016a)

42

Kerentanan terhadap obesitas lainnya adalah pada anak-anak lebih banyak

beraktivitas diam selama di rumah, seperti menonton televisi, bermain HP/gadget

dan bermain komputer (Suiraoka, 2016b). Anak-anak yang kurang aktivitas

fisiknya menunjukkan hubungan yang kuat dengan peningkatan berat badannya

(Cooper et al., 2003). Sebanyak 19% anak-anak yang menghabiskan lebih dari 2

jam per hari menonton televisi atau di depan layar mengalami overweight (Fisher

et al., 2006). Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan sebanyak 43,1% penduduk

Denpasar kurang aktivitas fisiknya (Anonim, 2008).

Anak-anak obesitas cenderung susah untuk diberi tahu untuk beraktivitas

fisik ataupun melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak diam. Bahkan menjadi

salah satu keluhan orangtua yaitu anak susah bangun pagi dan susah bergerak.

Anak-anak tersebut jarang mau bermain karena mereka lebih senang di rumah.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nelson bahwa waktu yang

digunakan oleh anak-anak untuk melakukan aktivitas fisik semakin berkurang

dengan semakin meningkatnya waktu yang digunakan untuk aktivitas sedentary

(Nelson et al., 2006).

2.2. Gaya Hidup Anak Obesitas

2.2.1. Definisi Gaya Hidup

Gaya hidup adalah cara hidup berdasarkan pola perilaku yang dibentuk oleh

hubungan antara personal karakteristik individu, interaksi sosial, sosial ekonomi,

dan kondisi lingkungan tempat tinggal (WHO, 2000). Gaya hidup adalah perilaku

dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup seseorang, yang dapat memengaruhi tingkat

43

kesehatan seseorang (Merki & Merki, 1994). Gaya hidup merupakan frame of

reference yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan

membentuk pola perilaku tertentu. Kebiasaan hidup yang ditunjukkan dengan

gaya hidup (lifestyle) memberi perbedaan tingkat kesehatan seseorang secara

umum, kebahagiaan dan angka harapan hidup mereka. Orang yang secara teratur

memraktekkan kebiasaan hidup sehat cenderung lebih sehat dan hidup lebih lama.

Berikut ini adalah beberapa faktor gaya hidup sehat yang penting pada anak

usia sekolah : tidur 9 – 10 jam setiap hari (Guyton & Hall, 2007), makan 3 kali

sehari pada waktu yang teratur dengan diet tinggi serat, menghindari fast food dan

minuman bersoda, sarapan pagi tiap hari, melakukan latihan aerobik/aktivitas fisik

minimal 60 menit setiap hari, menonton televisi, bermain game atau komputer ≤ 2

jam per hari, dan menjaga berat badan ideal (Barlow, 2013).

2.2.2. Gaya Hidup Tidak Sehat

Gaya hidup tidak sehat adalah hidup dengan perilaku atau kebiasaan yang

berpotensi membahayakan individu menjadi tantangan ketika perilaku atau

kebiasaan mulai menyebabkan masalah. Sebagian besar perilaku ini awalnya

dimulai sebagai pengalaman diinginkan tetapi akhirnya menjadi kebiasaan yang

berbahaya bagi fisik atau psikologis. Beberapa contoh gaya hidup tidak sehat pada

anak obesitas adalah makan berlebihan, makan makanan dengan kandungan gula

dan lemak tinggi, aktivitas fisik yang kurang dan perilaku sedentary (Suiraoka,

2012)

44

2.2.3. Hambatan berperilaku Sehat pada Anak Obesitas

Beberapa hambatan yang dialami anak sekolah obesitas terkait dengan

pola makan adalah nafsu makan yang berlebih, kesukaan berlebih terhadap

makanan tertentu, dan tidak menyukai makanan seperti sayur dan buah. Informan

orangtua menyatakan mereka kesulitan menyetop makan pada anak-anak dan

tidak tega apabila anaknya tidak makan. Orangtua menyatakan bahwa nafsu

makan anak-anak mereka bagus, mereka cenderung makan dengan frekuensi dan

porsi yang berlebih. Disisi lain orangtua juga lebih senang jika anaknya sudah

mau makan. Hal ini tentunya akan menjadi penghambat dalam menanamkan pola

makan yang sehat pada anak-anak. Makan malam berlebih dialami karena anak

sering merasa lapar pada malam hari dan anak yang mengikuti perilaku

orangtuanya makan di malam hari setelah pulang kerja (Suiraoka, 2016b). Anak-

anak yang mengalami obesitas, metabolisme absolutnya meningkat dengan

peningkatan ukuran badan, ini menyebabkan anak yang obesitas selalu merasa

lapar dan lebih banyak makan daripada anak yang normal (Subardja, 2004).

Hambatan untuk pola makan yang sehat pada anak yang juga dialami oleh

orangtua adalah kesulitan mengontrol makan anak-anak mereka, karena mereka

bekerja. Jadi mereka cenderung tidak tahu apa yang dimakan oleh anaknya,

apakah mereka terpenuhi atau justru mereka makan berlebih. Hal ini sebenarnya

tidak terlepas dari pengaruh informasi-informasi yang diterima oleh anak yang

membangun persepsi mereka tentang makanan. Jadi mereka mendapatkan

pengaruh dari televisi tentang jajanan kemudian mereka juga melihat dari

beberapa iklan-iklan tentang makanan tersebut jadi cukup banyak yang

45

memengaruhi anak tersebut memilih makanan jajanan dan menurut orangtua anak

itu justru kalau sudah melihat sesuatu yang enak jadi mereka ingin mencoba dan

memilih mana yang enak, tanpa memerhatikan atau tanpa berpikir apakah

makanan tersebut ada penyedapnya atau tidak ada penyedapnya (Suiraoka,

2016b). Hasil Riskesdas Provinsi Bali tahun 2007 menunjukkan bahwa konsumsi

makanan berisiko prosentasenya tertinggi di Kotamadya Denpasar. Prosentase

konsumsi makanan berlemak 27,1% dan makanan dengan penyedap 95,2%

(Depkes RI., 2008). Konsumsi makanan berisiko dikatakan sering jika

mengkonsumsi makanan berisiko satu kali atau lebih per hari.

Kesulitan mengontrol makanan anak juga diungkapkan oleh orangtua

menyatakan mereka tidak bisa mengontrol camilan apa yang dimakan oleh anak

mereka selama di sekolah. Meskipun ada upaya dari sekolah untuk membatasi dan

melarang anak untuk belanja keluar sekolah, tetapi penilaian orangtua terhadap

makanan yang dijual di kantin sekolah belum sepenuhnya baik. Ditambah pula

kesempatan anak-anak untuk belanja jajanan setelah mereka pulang sekolah

(Suiraoka, 2016b). Pemenuhan zat gizi sehari yang lebih banyak dari makanan

jajanan seperti hasil penelitian Padmiari (2004) yang menemukan bahwa 75%

asupan energi pada anak-anak SD di Denpasar berasal dari makanan jajanan dan

sisanya 25% berasal dari makanan utama (nasi, lauk dan sayuran).

Hambatan dari pola makan lainnya adalah kesukaan berlebih terhadap

suatu jenis makanan. Misalnya konsumsi mie, minuman kemasan atau sereal. Jadi

konsumsi mie itu memiliki kontribusi yang cukup signifikan karena kadang-

kadang anak yang sudah makan pun mereka masih minta makan mie dan ketika

46

dilarang beberapa orangtua menyatakan mereka karena sudah bisa memasak

sendiri atau pun membeli sendiri, mereka akan membeli sendiri mie tersebut.

Informan lainnya mengungkapkan anak mereka ngambek bila tidak diizinkan

membeli minuman kemasan dan ada juga yang cemberut bila tidak diijinkan

makan sereal. Apabila terjadi positif energy balance yang berlangsung lama maka

berat badan akan bertambah dan akhirnya dapat terjadi obesitas (WHO, 2000).

Dengan demikian dianjurkan untuk mengganti makanan jajanan anak dengan

makanan yang rendah energi dan tinggi serat seperti buah dan sayur. Peningkatan

konsumsi buah dan sayur serta pengurangan makanan tinggi lemak dan gula dapat

mengurangi prevalensi obesitas (Epstein et al., 2001).

Hambatan anak untuk melakukan aktivitas fisik, diakui oleh beberapa

informan orangtua, memang mereka itu aktivitas fisiknya sangat kurang. Beberapa

orangtua mengeluhkan anak mereka susah disuruh olahraga dan mereka justru

lebih senang untuk bermain handpone (HP) atau pun gadget. Anak-anak mereka

itu lebih memilih bermain HP/gadget ataupun menonton televisi ketimbang

melakukan aktivitas fisik dan bahkan HP/gadget itu membuat anak tidak mau

beraktivitas di luar. Tetapi kalau kita lihat dari segi penggunaan HP atau gadget

itu sendiri, sebenarnya ada beberapa alasan dari orangtua itu justru memberikan

anak itu bermain HP atau gadget tersebut. Seperti misalnya ketika anak-anak itu

sudah selesai belajar mereka justru bermain HP kalau dilarang mereka akan

marah. Sedangkan orangtua yang lain menyatakan bahwa mereka justru

memberikan atau mengizinkan anak itu menggunakan HP/gadget dengan alasan

47

mereka tidak mau diganggu aktivitasnya atau kesibukanya ketika anak-anak

tersebut ketika mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah (Suiraoka, 2016b).

Beberapa anak obesitas mereka itu malas bergerak, kemudian ada juga

yang menyatakan bahwa anaknya cepat capek. Seperti diungkapkan oleh beberapa

informan orangtua, ketika mengajak anak mereka berolahraga ke lapangan. Anak-

anak itu cepat sekali mengeluh capek padahal baru satu kali putaran di lapangan.

Informan orangtua lainnya menyatakan bahwa meskipun sudah dicoba untuk

diikutkan dalam beberapa kegiatan olahraga tapi anak mengalami kesulitan

mengikutinya. Selain gerakan lambat yang menjadi hambatan ketika anak-anak

obesitas ini diajak berolahraga diungkapkan oleh informan adalah nafas pendek.

Disamping itu menurut salah satu orangtua juga anak yang obesitas susah untuk

memunculkan niatnya berolahraga. Mereka cenderung belum menemukan daya

tarik dari sisi olah raga dan belum merasakan asiknya berolahraga (Suiraoka,

2016b). Hambatan untuk beraktivitas fisik juga dirasakan di sekolah. Terutama

sekolah yang memiliki halaman yang sempit dan tidak ada lapangan olahraga di

dekat sekolah. Seperti diungkapkan oleh salah satu informan kepala sekolah

ketika mereka mengadakan kegiatan olahraga Yoga bersama anak-anak sekolah.

Salah satu hambatan yang dirasakan oleh informan orangtua yang

menghambat dalam menerapkan pola hidup sehat adalah perilaku anak apabila

mereka kurang makan. Informan orangtua menyatakan bahwa anak mereka justru

lebih banyak yang bengong apabila makannya masih kurang. Sedangkan beberapa

informan lainnya menyatakan bahwa anak-anak yang obesitas itu justru emosi dan

marah-marah jika mereka lapar (Suiraoka, 2016b). Namun menyediakan makanan

48

adalah sebuah isu emosional bagi orangtua dan banyak yang menunjukkan

cintanya melalui pemberian makanan (More, 2013).

2.3. Pendekatan Intervention Mapping

Intervention Mapping adalah sebuah protokol untuk mengembangkan

program promosi kesehatan berbasis bukti dan teori. Intervention Mapping

menggambarkan proses perencanaan program promosi kesehatan dalam enam

langkah, yang terdiri dari (Batholomew et al., 2006) :

a. Menilai kebutuhan;

b. Memformulasikan tujuan perubahan;

c. Memilih dasar teori dan strategi praktis;

d. Mengembangkan program intervensi;

e. Mengembangkan rencana adopsi dan implementasi;

f. Mengembangkan rancangan evaluasi.

Intervention Mapping ditandai dengan tiga perspektif : pendekatan

ekologi, partisipasi semua stakeholder, dan penggunaan teori dan bukti. Meskipun

Intervention Mapping disajikan sebagai serangkaian langkah, penulis melihat

proses perencanaan sebagai berulang daripada linier (Batholomew et al., 2006).

Perencana program bergerak bolak-balik antara tugas dan langkah-langkah. Proses

ini juga kumulatif: setiap langkah didasarkan pada langkah sebelumnya, dan tidak

memperhatikan langkah tertentu dapat menyebabkan kesalahan dan keputusan

yang tidak memadai.

Intervention Mapping dikembangkan sebagai reaksi terhadap kurangnya

kerangka kerja yang komprehensif untuk pengembangan program promosi

49

kesehatan (Batholomew et al., 1998). Intervention Mapping bertujuan untuk

membantu promotor kesehatan mengembangkan intervensi terbaik. Kata-kata

kunci dalam protokol ini berencana, penelitian, dan teori. Intervention Mapping

menyediakan kosakata untuk perencanaan intervensi, prosedur untuk kegiatan

perencanaan, dan bantuan teknis dengan mengidentifikasi penentu berbasis teori

dan metode untuk perubahan. Intervention Mapping juga dapat membantu dalam

beradaptasi dengan intervensi yang ada dan pengaturan untuk populasi baru

(Batholomew et al., 2006) dan memberikan taksonomi metode perubahan perilaku

yang dapat digunakan untuk kode konten intervensi (Schaalma & Kok, 2009).

Di bidang promosi kesehatan, Intervention Mapping telah berhasil

diterapkan dalam berbagai pengaturan, untuk berbagai perilaku dan populasi yang

berbeda. (Batholomew et al., 2006). Ini dapat membantu perencana

mengembangkan teori-dan intervensi berbasis bukti untuk mempromosikan

perilaku hidup sehat.

Secara lebih khusus, Intervention Mapping memastikan bahwa model

teoritis dan empiris bukti petunjuk perencana dalam dua bidang yaitu: 1)

identifikasi faktor penentu perilaku dan lingkungan yang terkait dengan masalah

sasaran, dan 2) pemilihan metode teoritis yang paling tepat dan aplikasi praktis

untuk mengatasi penentu diidentifikasi. Meskipun Intervention Mapping dianggap

sebagai alat yang baik untuk merancang program, tetapi prosesnya kompleks dan

memakan waktu, yang mencerminkan sulitnya merubah perilaku kesehatan.

Intervention Mapping telah digambarkan sebagai melelahkan, kompleks, rumit,

mahal dan memakan banyak waktu (Cote, et al., 2008).

50

2.4. Teori Perilaku dalam Pengembangan dan Implementasi IntervensiKesehatan Masyarakat

Perubahan perilaku seringkali menjadi tujuan petugas kesehatan yang

bersentuhan langsung dengan konstitusi, organisasi, pemerintahan atau komunitas.

Orang-orang yang diberikan beban tugas seperti ini lazimnya disebut sebagai

intervensionis yang akan melakukan perencanaan dan implementasi program atau

intervensi yang menghasilkan perubahan perilaku yang diinginkan. Glanz, dkk.

yang menyarankan bahwa suatu perancangan intervensi untuk menghasilkan

perubahan perilaku yang terbaik harus dilakukan dengan pengertian terhadap teori

perilaku dan kemampuan menggunakannya dalam praktek (Glanz et al., 2008).

Sebelum menggali model perubahan perilaku secara mendalam, pemahaman

terhadap variabel utama dalam model merupakan hal yang penting. Berikut ini

adalah variabel-variabel yang banyak digunakan dalam model perubahan perilaku,

serta cara yang dianjurkan untuk memaksimalkan variabel-variabel ketika

mencoba membangkitkan perubahan perilaku (WHO, 2006).

Tabel 2.4Elemen Kunci, Definisi dan Strategi untuk Perubahan Perilaku

Elemen Kunci Definisi Strategi untuk Perubahan PerilakuAncaman Bahaya atau kejadian yang

membahayakan seseorangbaik yang disadari atau tidak

Meningkatkan kesadaran adanyaancaman dengan memfokuskan padaberatnya ancaman dan kerentananindividu terhadap ancaman tersebut.

Rasa Takut Kondisi emosi yangditimbulkan karenapengamatan yang signifikandan personal terhadap adanyaancaman

Rasa takut memengaruhi perilakudengan kuat, jika disalurkan dengancara yang sesuai dapat memotivasiorang untuk mencari informasi,namun dapat pula menyebabkanpenyangkalan terhadap risiko.

TanggapanKemanjuran(efficacy)

Persepsi yang disarankanuntuk mencegah terjadinyaancaman

Menunjukkan bukti dari contoh-contoh respon yang dianjurkan untukmencegah ancaman.

51

Tanggapankemanjuran dirisendiri

Persepsi seseorang ataukepercayaan diri dalamkemampuan mereka untukmenunjukkan respon yangdianjurkan

Membangkitkan kepercayaan diriseseorang bahwa mereka dapatmenunjukkan respon dan membantumemastikan mereka mampumencegah ancaman

Hambatan Sesuatu yang menghalangiseseorang melakukan responyang dianjurkan

Menyadarkan hambatan fisik danbudaya yang masih ada, dan mecobamenghilangkan hambatan

Manfaat Konsekuensi positif yangditunjukkan jika melakukanrespon yang dianjurkan

Mengkomunikasikan manfaat yangditunjukkan jika melakukan responyang dianjurkan

NormaSubjektif

Apa yang seseorang pikirkantentang orang lain yangseharusnya mereka lakukan

Memahami dengan siapa seseorangpatuh

Sikap Evaluasi diri ataukepercayaan terhadap responyang dianjurkan

Menilai sikap sebelum mencobamelakukan perubahan

Niat Rencana seseorang untukmelakukan respon yangdianjurkan

Menentukan apakah niatan tersebutasli atau mewakili perilaku yangsebenarnya

Alasan untukbertindak

Faktor eksternal atau internalyang membantu seseorangmembuat pilihan terhadaprespon

Menyiapkan komunikasi yang kuatyang mampu membuat seseoranguntuk mengambil keputusan

Perlawanan Reaksi melawan seseorangterhadap respon yangdianjurkan

Memastikan seseorang tidak merasabahwa mereka telah dimanipulasiatau menghilangkan keraguan bahwarespon yang dianjurkan tidak dapatmencegah ancaman

Program kesehatan masyarakat yang efektif untuk membantu masyarakat

dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan, mengurangi risiko-risiko

penyakit dan mengelola penyakit biasanya membutuhkan perubahan perilaku

dalam berbagai tingkat (seperti individu, organisasi dan komunitas). Sebagian

besar program kesehatan masyarakat yang sukses didasarkan pada pemahaman

tentang perilaku kesehatan dan dalam konteks bagaimana hal tersebut terjadi

(Glanz & Bishop, 2010).

Teori perilaku kesehatan berkontribusi untuk perencanaan program dan

evaluasi serta untuk kemajuan riset untuk menguji inovasi strategi intervensi.

52

Intervensi untuk memperbaiki perilaku sehat dapat menjadi rancangan terbaik

dengan memahami teori-teori perubahan perilaku yang relevan dan kemampuan

mengaplikasikannya dengan mahir (Glanz et al., 2008).

Teori dapat memandu pencarian untuk memahami mengapa orang

melakukan atau tidak melakukan perilaku yang mempromosikan kesehatan,

membantu mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan untuk merancang

sebuah strategi intervensi yang efektif dan menyediakan wawasan bagaimana

merancang sebuah program yang berhasil (Glanz et al., 2008). Beberapa teori

perilaku yang digunakan dalam perencanaan intervensi kesehatan antara lain :

a. Social Cognitif Theory (Teori Kognisi Sosial)

Model SCT dari Bandura menunjukkan bahwa seseorang bukan

dikendalikan karena kekuatan internal melainkan dari factor eksternal. Model ini

menyarankan agar fungsi manusia dapat dijelaskan dengan interaksi triadic yang

terdiri dari perilaku, faktor personal dan lingkungan. Hal ini sering diketahui

sebagai “repriprocal determinism” (determinan yang timbal balik saling

memengaruhi).

Faktor lingkungan mewakili situasional yang memengaruhi dan lingkungan

dimana perilaku itu dibentuk saat faktor personal yang terdiri dari insting,

dorongan, sifat, dan kekuatan motivasi individu lainnya. Berikut adalah beberapa

variabel yang memengaruhi proses perubahan perilaku meliputi : 1) Self efficacy;

2) Harapan hasil; 3) Kontrol diri; 4) Penguatan kembali; 5) Emotional Coping; 6)

Pembelajaran observasional.

53

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi teori ini terhadap

praktik :

1) Hal yang penting dalam peningkatan level self efficacy adalah menyiapkan

sumber daya dan mendukung kepercayaan diri individu. Hal lain yang

dianjurkan adalah melakukan peningkatan tersebut langkah demi langkah.

2) Bandura menuliskan bahwa bahkan orang-orang mempunyai rasa kuat dari

kemanjuran mereka mungkin tidak melakukan perubahan perilaku apabila

tidak adanya insentif. Disarankan jika kita tertarik membuat orang lain

menetapkan perubahan perilaku adalah hal penting untuk menyediakan

insentif atau hadiah untuk perilakunya.

3) Membentuk lingkungan yang mungkin mendorong perubahan perilaku.

Termasuk didalamnya menyiapkan kesempatan untuk perubahan perilaku,

membantu perubahan tersebut dan menawarkan dukungan sosial. Penting

untuk mengenali kendala lingkungan yang mungkin menghalangi perubahan

perilaku tersebut.

b. Theory Planed Behavior (Teori Perilaku Terencana)

Teori Perilaku terencana menunjukkan bahwa perilaku tergantung pada

niat seseorang untuk berperilaku. Niat ditentukan oleh sikap individu (keyakinan

dan nilai nilai tentang hasil perilaku) serta norma subjektif (keyakinan tentang apa

yang orang lain pikirkan yang seseorang harus lakukan atau tekanan sosial)

(Glanz et al., 2008)

54

Perilaku juga ditentukan oleh persepsi perilaku kontrol yang didefinisikan

sebagai persepsi seseorang untuk kemampuan mereka atau perasaan self efficacy

seseorang untuk berperilaku. Hubungan ini biasanya tergantung pada jenis

hubungan dan situasi yang alamiah.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi teori ini terhadap

praktik:

1) Niat telah terbukti menjadi variabel yang paling penting dalam memprediksi

perubahan perilaku, menunjukkan bahwa perilaku sering dikaitkan dengan

motivasi pribadi seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin penting

untuk menyajikan informasi dalam membantu membentuk sikap positif

terhadap perilaku dengan menekankan pada norma subjektif atau pendapat

yang mendukung perilaku.

2) Kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perubahan mempengaruhi perilaku,

seperti dengan self efficacy, seseorang harus merasa bahwa mereka memiliki

kemampuan untuk melakukan perilaku. Oleh karena itu, seperti yang

disarankan Grisel, kontrol peluang yang dirasakan, sumber daya, dan

keterampilan yang dibutuhkan adalah bagian penting dari proses perubahan.

c. Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan)

Teori Health Belief Model (HBM) merupakan salah satu teori pertama

tentang perilaku kesehatan dan tetap menjadi salah satu teori yang diakui secara

luas di lapangan. Teori ini dikembangkan untuk membantu memahami mengapa

orang-orang menggunakan atau tidak menggunakan pelayanan pencegahan yang

55

ditawarkan oleh departemen kesehatan masyarakat pada tahun 1950 an (Glanz &

Bishop, 2010) dan ditingkatkan untuk hal-hal baru dalam bidang pencegahan dan

pendeteksian (penjaringan mamografy, vaksin influenza) maupun perilaku gaya

hidup seperti risiko perilaku seksual dan pencegahan kecelakaan. Teori HBM

adalah menyangkut hal yang dipercaya orang-orang tentang apapun risiko mereka

terhadap penyakit atau masalah kesehatan dan persepsi mereka tentang manfaat

yang diperoleh apabila menghindari, memengaruhi kesiapan untuk bertindak

(Glanz et al., 2008).

Gagasan inti dari HBM ini antara lain : kerentanan yang dirasa, parahnya

yang dirasakan, manfaat yang dirasa, dan hambatan yang dirasakan, isyarat untuk

bertindak dan tambahan saat ini adalah self-efficacy (Rosenstock et al., 1988).

Health Belief Model adalah teori untuk memahami suatu perilaku kesehatan dan

alasan-alasan yang mendasari terbentuknya perilaku atau menghambat perilaku.

Model ini menganggap bahwa perilaku adalah fungsi dari pengetahuan maupun

sikap. Secara khusus model ini menegaskan bahwa persepsi seseorang terhadap

ancaman masalah kesehatan dan keberhasilan tindakan yang dianjurkan dapat

mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku kesehatan.

HBM seringkali telah diaplikasikan untuk perhatian kesehatan yang terkait

pencegahan dan belum munculnya suatu gejala seperti deteksi dini kanker dan

penjaringan hipertensi, dimana kepercayaan itu penting dan lebih penting dari

gejala yang jelas. HBM juga sangat jelas untuk intervensi mengurangi faktor

risiko penyakit kardiovaskuler (Rosenstock et al., 1988)

56

d. Transtheoritical Model/Stages of Change

Model Transtheoritical mengusulkan mengubah proses dalam enam

tahapan. Tahap Precontemplasi dalam tahap ini dimana orang-orang belum berniat

untuk membuat perubahan di masa mendatang (umumnya dalam jangka waktu 6

bulan). Tahap Kontemplasi adalah dimana seseorang berniat untuk berubah

(dalam jangka waktu 6 bulan). Orang dalam tahap ini menyadari pro dan kontra

dalam mengidentifikasi perubahan. Tahap persiapan merupakan tahap dimana

orang memiliki rencana aksi dan berniat untuk melakukan tindakan dalam waktu

dekat (dalam satu bulan). Tahap Bertindak adalah tahap dimana orang melakukan

perubahan perilaku. Tahap pemeliharan adalah tahap ini orang-orang menjaga

agar tidak kembali ke perilaku semula. Terminasi mewakili tahap dimana orang

memperoleh 100% kemanjuran dan akan menjaga perilaku mereka. Tahap ini

adalah tahap yang tersulit untuk dijaga, sehingga banyak orang akan tetap

berperilaku seperti itu seumur hidupnya (Velicer et al., 1998)

Hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi teori ini terhadap praktik:

1) Menyesuaikan intervensi perubahan perilaku dengan tingkatan orang-orang

adalah hal penting yang harus dilakukan. Sebagai contoh, individu pada tahap

prekontemplasi sangat penting untuk ditingkatkan kesadarannya tentang

perilaku yang membawa mereka ke tahap kontemplasi (perenungan) tentang

perubahan perilaku.

2) Intervensi yang tanpa perencanaan akan membuat orang-orang terhenti pada

suatu tahap tertentu akibat kurangnya motivasi untuk berpindah ke tahap

berikutnya (Anonim, 2006).

57

e. PRECEDE/PROCEED

Green and Kreuter (1991) mengembangkan sebuah teori, yaitu

PRECEDE/PROCEED Model yang banyak digunakan untuk merencanakan

program-program promosi kesehatan. Model ini dikembangkan dari Health Belief

Model (HBM) dengan menganalisis kebutuhan kesehatan masyarakat dengan cara

menetapkan 5 diagnosis yang berbeda, yaitu diagnosis sosial, diagnosis

epidemiologi, diagnosis perilaku, diagnosis pendidikan dan diagnosis kebijakan.

Dalam diagnosis pendidikan, Model Precede/Proceed memberi penekanan pada

faktor predisposing, reinforcing dan faktor enabling (Green, 1991).

Perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor individu maupun faktor

lingkungan. Dalam model ini perilaku kesehatan memiliki dua bagian yaitu: 1)

PRECEDE (Predisposing, Reinforcing, Enabling, Constructs in, Educational

/Ecological, Diagnosis, Evaluation). 2) PROCEED (Policy, Regulatory,

Organizational, Constructs in, Educational, Enviromental, Development).

Precede bagian dari fase (1- 4) berfokus pada perencanaan program, dan

bagian Proceed fase (5-8) berfokus pada implementasi dan evaluasi. Delapan fase

dari model panduan dalam menciptakan program promosi kesehatan, dimulai

dengan hasil yang lebih umum dan pindah ke hasil yang lebih spesifik. Secara

bertahap, proses mengarah ke penciptaan, pemberian, dan evaluasi sebuah

program (Fertman, 2010).

Dalam mengkaji dasar pemikiran rencana intervensi obesitas pada anak

sekolah dasar yang akan dilakukan perlu mengacu pada suatu kerangka teoritis.

Dari beberapa teori perubahan perilaku yang dipaparkan diatas, peneliti memilih

58

model PRECEDE/PROCEED yang dikembangkan oleh Lawrence Green.

Pertimbangannya adalah penelitian kualitatif yang akan dilakukan ini adalah

untuk menemukan suatu intervensi yang nantinya dapat diterima oleh sasaran

penelitian. Sesuai dengan konsep peneliti bahwa intervensi yang dilakukan adalah

dengan pendekatan individual, keluarga dan juga struktural. Faktor penentu dalam

berperilaku pada anak obesitas diuraikan dalam model ini dipengaruhi oleh tiga

faktor yaitu : Predisposing factors (Faktor Predisposisi), Enabling Factors (Faktor

pemungkin) dan Reinforcing factors (Faktor Penguat). Faktor predisposisi terdiri

dari pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai, self efficacy, motivasi dan preferensi,

Faktor pemungkin terdiri dari: Kedai makanan, Fasilitas pemesanan makanan,

Trotoar, Lapangan olahraga, dan Ruang terbuka tempat bermain. Faktor penguat

meliputi : Keluarga, Teman sebaya, Guru dan pegawai sekolah lainnya, Hadiah

dan penghargaan, Nasihat orangtua, Olahraga/kompetisi di sekolah, serta Role

model. Model PRECEDE/PROCEED dalam perilaku anak obesitas digambarkan :

Gambar 2.2Model Faktor Penyebab Status Kesehatan Anak

StatusKesehatan

Faktor Psikologis :Gender, Umur, Genetik danKebutuhan Khusus

Pola Diet

Perilaku

Kontek Lingkungan Sekolah : Kelas sosial Jarak rumah dengan sekolah Budaya dan tradisi Etnik Geografis Iklim

Hukum, Peraturan, danKebijakan

Faktor Predisposisi (internal): Pengetahuan Ketrampilan Sikap Nilai Self efficacy Motivasi Preferensi

Faktor Penguat : Keluarga Teman sebaya Guru dan pegawai sekolah

lainnya Hadiah dan penghargaan Nasihat orangtua Olahraga/kompetisi di sekolah Role model

Faktor Pemungkin (eksternal) : Kedai makanan Fasilitas pemesanan makanan Trotoar Lapangan olahraga Ruang terbuka tempat

bermain