149418771 case-report-chairul-epilepsi

37
Get Homework Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites BAB I LAPORAN KASUS Tanggal Masuk Rumah Sakit : 29-10-2012 Pukul : 06.15 WIB Ruangan : Anak A. IDENTITAS Nama : An. AP 1

Transcript of 149418771 case-report-chairul-epilepsi

Get Homework Done

Homeworkping.com

Homework Help

https://www.homeworkping.com/

Research Paper help

https://www.homeworkping.com/

Online Tutoring

https://www.homeworkping.com/

click here for freelancing tutoring sites

BAB I

LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 29-10-2012

Pukul : 06.15 WIB

Ruangan : Anak

A. IDENTITAS

Nama : An. AP

1

Usia : 7 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Anak ke : Pertama

Agama : Islam

Alamat : Karya Mukti

Nama Ayah : Bpk. CA

Usia : 28 tahun

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Karya Mukti

Nama Ibu : Ny. IS

Usia : 25 tahun

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Karya Mukti

B. ANAMNESIS

Anamnesa dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2012 pukul 11.00 WIB, di

ruang Anak RSUD Ahmad Yani, Metro. Alloanamnesa oleh ibu kandung

pasien.

1. Keluhan Utama

Kejang sejak ± 1 jam SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang

± 1 jam SMRS, pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali selama 1

jam. Kejang sudah mulai timbul sejak umur pasien 3 bulan. Sejak umur

2

pasien 3 bulan sampai sekarang, pasien sudah mengalami 5 kali yang lama

kejangnya bervariasi dari 15 menit sampai 1 jam. Kejang sering terjadi

tiba-tiba, pasien tiba-tiba terdiam, bengong dan tidak sadar. Setelah itu

otot-otot tangan, kaki, badan, dan wajah menjadi kaku dan timbul gerakan

kejang pada tubuhnya. Jika ia sedang memegang benda ketika kejang,

maka benda tersebut akan terjatuh. Pasien tidak mengeluarkan buih dari

mulutnya.

Pasien tidak mengalami demam sebelumnya, tidak mengalami batuk

maupun pilek. Muntah tidak ada. BAB pasien normal, warna kuning

konsistensi padat. Buang air kecil normal dengan warna kuning jernih.

Dikarenakan keluarga khawatir dengan keadaan pasien, kemudian pasien

dibawa ke RSAY untuk berobat.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat kejang Pasien pernah mengalami kejang sudah sejak umur pasien

3 bulan. Sejak umur pasien 3 bulan sampai sekarang, pasien sudah mengalami

5 kali yang lama kejangnya bervariasi dari 15 menit sampai 1 jam. Kejang

bersifat umum. Setelah kejang pasien menjadi sering mengantuk dan lemas.

Kejang tidak didahului demam.

Riwayat trauma kepala disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan serupa.

5. Riwayat Penyakit di Lingkungan

Orang tua pasien mengatakan di lingkungan sekitarnya tidak ada yang

mengalami keadaan seperti anaknya.

6. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Berat badan lahir : 3500 gr

3

Panjang badan lahir : 50 cm

Berat badan sekarang : 7,5 kg

Tinggi badan sekarang : 75 cm

Gigi keluar : 7 bulan

Tersenyum : 2 bulan

Miring : 3 bulan

Tengkurap : 4 bulan

Duduk : belum

Merangkak : belum

Berdiri : belum

Berjalan : belum

Berbicara : belum

7. Makan dan Minum Anak

ASI : 0 bulan sampai sekarang

Dihentikan : Belum dihentikan

Susu formula : Susu SGM

Buah : 6 bulan

Bubur susu : 7 bulan

Tim saring : 7 bulan

Makan padat dan lauknya : -

4

8. Pemeriksaan Prenatal

Periksa di : Bidan

Penyakit kehamilan : -

Obat-obat yang sering diminum : -

9. Riwayat Kelahiran

Lahir di : Rumah Bersalin

Ditolong oleh : Bidan

Usia dalam kandungan : 9 bulan 10 hari

Jenis partus : Spontan

Bayi langsung menangis saat dilahirkan.

10. Pemeliharaan Postnatal

Periksa di : Puskesmas, Posyandu

Keadaan anak : Sehat

11. Jadwal Imunisasi

ImunisasiUsia saat imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG 0 bulan - - - - -

Polio 0 bulan 2 bulan - - - -

Campak - - - - - -

DPT 2 bulan - - - - -

5

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan - - - -

6

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Berat Badan : 7,5 kg

Panjang Badan : 75 cm

Status gizi : gizi baik

Tanda Vital : Nadi 128x/menit, regular, kuat

Pernafasan 32x/menit

Temperatur axila 36,7 o C

Kepala/leher

Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva tidak anemis (-/-), sclera

ikterik (-/-), pupil isokor diameter

3mm/3mm, reflex cahaya (+/+),

Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping

hidung (-)

Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-),

lidah bersih, faring hiperemis (-),

pembesaran tosil (-)

Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah

bening (-)

Thorax

7

Paru Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,

retraksi ICS (-)

Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Ictus cordis tampak pada ICS V MCL

sinistra

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V MCL

sinistra

Perkusi : Normal pada batas jantung

Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-),gallop

(-)

Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak

teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

Status Neurologis

8

Kesadaran : E4V5M6

Tanda meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig (-), Brudzinski I

(-), Brudzinski II (-)

Refleks Fisiologis : Reflex biceps (+/+) normal

Refleks triceps (+/+) normal

Refleks patella (+/+) normal

Refleks achiles (+/+) normal

Refleks patologis : Babinsky(-),Hoffman(-), Chaddock

(-),Tromer(-), Openheim (-), Klonus

pergelangan kaki (-)

D. Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap tgl 29/10/12:Leukosit 8.000/mm3

Hb 11.8 g/DlHct

Trombosit

33.8 %

399.000/mm3

Hasil EEG tanggal 31/10/2012 :

Didapatkan hasil EEG abnormal dengan ditemukan gelombang iritatif

difus

Mendukung diagnosa Epilepsi

E. Diagnosis Kerja

Epilepsi

F. Penatalaksanaan

Asam Valporate (Depacone) 2 x 50 mg pulv

G. Prognosis

9

Dubia ad Bonam

10

Tabel Perjalanan Klinis

Tanggal S O A P29-10-2012

Kejang (-) Tubuh tiba-tiba lemas (-), demam (-),Batuk (-),pilek (-) muntah (-)BAB N,BAK N

E4V5M6

N:120 x/menitRR: 32 x/menitT: 36.7oCBB: 7.5 kgKaku kuduk (-)Refleks

fisiologis + normalRefleks

patologis (-)

Suspect Epilepsi

• Cek DL

• Rencanakan EEG

30-10-2012

Kejang (-), demam (-),Batuk (-), pilek (-),

E4V5M6

N:124 x/menitRR: 28 x/menitT: 36,5oCBB:7,5 kg

Suspect Epilepsi

• EEG Hasil abnormal,

ditemuaknnya gelombang iritatif difus

31-10-2012

Kejang (-), demam (-),Batuk (-), pilek (-),

E4V5M6

N:128 x/menitRR: 28 x/menitT: 36.3oCBB:7,5 kg

Epilepsi

11

BAB IITEORI DAN ANALISA KASUS

Diagnosis akhir : Epilepsi

Anamnesa

Fakta TeoriRiwayat Penyakit Sekarang :

• Tiba-tiba terdiam (bengong) & tidak

sadar. Setelah itu otot-otot tangan, kaki,

badan, dan wajah menjadi kaku dan

timbul gerakan kejang pada tubuhnya

• Hal ini sudah sering dialami sejak umur

pasien 3 bulan.

• Ada gerakan tonik maupun klonik pada

anggota tubuh lainnya

• Tidak keluar busa dari mulutnya

• Tidak ngompol selesai kejang

• Kejang terjadi selama sekitar 1 jam

• Setelah kejang pasien sadar kembali

• Muntah (-)

• Batuk (-)

• Pilek (-)

• Demam (-)

• BAK normal

• BAB normal

• Epilepsi merupakan kejang yang tidak

diprovokasi. Terjadi secara berulang-

ulang dalam 24 jam. (1)

• Terdapat 2 macam kejang epilepsi

menurut ILAE yakni kejang parsial

(terdiri dari kejang simple parsial, kejang

parisal kompleks dan kejang tonik klonik

generelized sekunder) dan kejang umum

(kejang absens, kejang tonik, kejang

klonik, kejang myoklonik, kejang tonik

klonik generalized primer dan kejang

atonik) (1)

Kejang Tonik-Klonik

• Diawali dengan hilangnya kesadaran dan

saat tonik, kaku umum pada otot

ektremitas, batang tubuh, dan wajah,

yang langsung kurang dari 1 menit.

• Dapat disertai dengan hilangnya kontrol

kandung kebih dan usus.

• Tidak adan respirasi dan sianosis

• Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik

pada ekstremitas atas dan bawah.

• Penderita tidak memberikan respon

terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh,

pingsan maupun menyentak-nyentak. (8)

12

• Pasien segera sadar kembali setelah

kejang. (8)

Analisis

Pada kasus ini didapatkan hasil anamnesa yang sesuai dengan manifestasi

klinik dari epilepsi umum tipe tonik-klonik atau grand mal. Dimana diperoleh

adanya penurunan kesadaran disertai gerakan tonik maupun klonik dari anggota

tubuh.

Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal) merupakan jenis bangkitan

yang paling dramatis, terjadi pada 10% populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase, yaitu

fase tonik, fase klonik, dan fase pasca keja. Fase tonik merupakan kontraksi otot

yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya

terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh

batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak

dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, pupil

dilatasi. Sedangkan, fase klonik hanya terjadi kejang kelojot dan dijumpai

terutama sekali pada anak.

Penunjang

Diagnosa epilepsi dapat didukung dengan pemeriksaan penunjang EEG,

dimana diperoleh adanya gelombang EEG yang abnormal dengan gelombang

iritatif difus.

Penatalaksanaan

Fakta Teori

Obat anti epileptic :

Asam Valporat (Depacone) 2 x 50 mg

pulv

Obat anti epileptic :

Valproate

Lamotrigine

Topiramate

Carbamazepine

13

Analisis

Jenis Bangkitan OAE Lini Pertama OAE Lini Kedua OAE yang

DipertimbangkanBangkitan umum

tonik klonik

Sodium Valproate

Lamotrigine

Topiramate

Carbamazepine

Clobazam

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Clonazepam

Phenobarbital

Phenytoin

Acetazolamide

Selain memberikan terapi farmakologis hendaknya orang tua pasien diberikan

edukasi mengenai epilepsi mengenai pengertian epilepsi, etiologi, lamanya

gangguan kejang, efek samping obat epilepsi, , serta akibat sosial dan akademik.

Orangtua harus didorong untuk mengobati anaknya senormal mungkin. Pada

kebanyakan anak dengan epilepsi, pembatasan aktifitas fisik tidak diperlukan

kecuali bahwa anak harus diikuti oleh orang dewasa yang bertanggung jawab

sementara anak sedang mandi dan berenang. Nasehat harus meliputi cara

pertolongan pertama yang digunakan jika kejang berulang. Untungnya,

kebanyakan orangtua dan anak dengan mudah menyesuaikan diri pada gangguan

kejang dan pada kebutuhan antikonvulsan jangka panjang. Kebanyakan anak

dengan epilepsi yang terkendali baik dengan obat, mempunyai intelegensi normal,

dan dapat diharapkan mengarah pada kehidupan normal. Namun anak ini

memerlukan pemantauan yang cermat karena ketidakmampuan belajar adalah

lazim pada anak dengan epilepsi daripada pada populasi umum. Kerjasama dan

pengertian pada orangtua, dokter, guru, dan anak memperbesar harapan penderita

dengan epilepsi (16).

14

15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI

I. PENDAHULUAN

Epilepsi kini menjadi salah satu masalah kesehatan yang menonjol di

masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga

sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.

Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan atau diwariskan

biasanya terjadi pada masa anak-anak. Hal ini disebabkan karena ambang

rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

Menurut Damudoro salah satu risiko penderita epilepsi adalah faktor

keturunan. Risiko epilepsi pada anak yang mempunyai ayah dan ibu

menyandang epilepsi adalah lima kali lebih besar dari pada anak dengan

ayah dan ibu bukan menyandang epilepsi. (1)

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama serta nama

umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat

yang timbul spontan dan berulang dengan episode singkat (bangkitan

berulang atau recurrent seizure, yang diakibatkan oleh aktivitas listrik

yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak dengan gejala

utama kesadaran menurun sampai hilang. Keadaan ini bisa di indikasikan

sebagai disfungsi otak serta gangguan fungsional kronik dan banyak

jenisnya dan ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Seorang

penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami 2 kali

bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi (epileptic seizure)

merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik) yang

berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan

inhibisi serebral, bangkitan ini akan muncul pada ekitabilitas yang tidak

terkontrol. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh hiperaktivitas listrik

sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak

16

akut (unprovoked). Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala

dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang

berhubungan dengan etiologi, umur, awitan, jenis bangkitan, faktor

pencetus dan kronisitas. (2,6)

II. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu : (3)

1. epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan

penyebabnya

2. epilepsi sekunder yaitu yang penyebabnya diketahui.

Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga

terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel

saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Sedangkan pada epilepsi

sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari

adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena

dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan

otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut : (3)

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,

seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,

menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.

2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang

mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama

pada anak-anak.

5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

17

7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose

dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang

berulang.

8. Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini

disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari

normal diturunkan pada anak.

9. Demensia

10. Penyakit Meningitis, AIDS, Ensefalitis virus

III. EPIDEMIOLOGI

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa

memandang umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 %

populasi, secara umum diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi

menunjukkan pola bimodal, puncak insiden terdapat pada golongan anak

dan lanjut usia. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar

50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000,

dimana 1% pada umur 15 tahun. Pendataan secara global ditemukan 3.5

juta kasus baru pertahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa

sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut. Di Indonesia,

diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di Bagian

llmu

Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak

pada kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.

Penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan

86 kasus epilepsi pada anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 -

6 tahun (46,5%), kemudian 6 - 10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%)

dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi prevalensi epilepsi pernah dilakukan di

Yogyakarta pada tahun 1984 dengan sampel 1 wilayah. Hasil studi

didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per 1000 penduduk. Selain

18

penelitian mengenai prevalensi penderita epilepsi di Indonesia, adapun

penelitian mengenai penyebab epilepsi itu sendiri, yang dilakukan oleh

Eriksson dan Koivikko di Finlandia, mereka menemukan penyebab

epilepsi pada anak-anak adalah idiopatik (64%), prenatal (15%), perinatal

(9%) dan postnatal (12%). (1,6)

IV. ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI

IV.1. Anatomi

Otak memiliki kurang lebih 15 miliar neuron yang membangun

subtansia alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang

sangat komplek dan sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan

pengatur seluruh aktivitas, meliputi gerakan motorik, sensasi, berpikir

dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat kedudukan

memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom.

Sel-sel otak bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-

signal listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang

berlebihan dan tidak teratur dari sekelompok sel yang menghasilkan

serangan atau seizure. (1)

Sistem limbik merupakan bagian otak yang paling sensitif

terhadap serangan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa

gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Neokorteks (area

korteks yang menutupi permukaan otak ), hipokampus, dan area

fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal

munculnya serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus,

substansia nigra dan korpus striatum berperan dalam menyebarkan

aktivitas serangan dan mencetuskan serangan epilepsi umum. Pada

otak normal, rangsang penghambat dari area subkorteks mengatur

neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak lainnya serta

membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap

aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat

19

memudahkan penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan

parsial atau munculnya serangan epilepsi umum primer. (1)

IV.2. Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam

eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler,

voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi

neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan

aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi

ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan

keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron. Lima buah elemen

fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri penting

dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi

dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan

eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory

connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif

yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum

terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks,

termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat

paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan

daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas

penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga

merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di

korteks.

20

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps

inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron

abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan

dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang di

korteks. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-

neuron yang terkait di dalam proses dan akan melampaui ambang

inhibisi neuron di sekitarnyam kemudian menyebar melalui hubungan

sinaps kortio-kortikal. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak

apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul

secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam

otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan

epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah

dan fungsi otak yang terkena dan terlibat, misalnya salivasi, midriasis,

takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus

korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan

terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui

jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang

tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul kellahan neuron pada

fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi. (1,2)

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitasn parsial meliputi

dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. (3)

1. Fase isiniasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang

melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta

hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor

GABA atau kanal ion K+.

2. Fase propagasi.

Dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan dihambat

oleh neuron-neuron inhibisi di sekitarnya yang mengadakan

21

hiperpolarisasi. Namun pada fase propagasi terjadi peningkatan K+

intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi

Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan

neurotransmitor),serta menginduksi resptor eksitasi NMDA (N –

metil- D- Aspartat) dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak

terjadi inhibisi oleh neuro-neuron di sekitarnya. Kemudian akan

dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga

dapat menyebabkan epilepsi umum/sekunder.

V. FAKTOR RESIKO

Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak

yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang

tidak diketahui faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor

genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat

ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simtomatik. Pada epilepsi

idiopatik diduga adanya kelainan genetik yaitu terdapat suatu gen yang

menentukan sintesis dan metabolisme asam glutamik yang menghasilkan

zat gama amino butiric acid (GABA). Zat ini merupakan penghambat

(inhibitor) kegiatan neuron yang abnormal. Penderita yang kurang cukup

memproduksi GABA merupakan penderita yang mempunyai

kecenderungan untuk mendapat serangan epilepsi. (1)

Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat

usia serangan pertama kali. Misalnya usia dibawah 18 tahun, kemungkinan

faktor ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat,

penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma

kepala dan lain-lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang

mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat

prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling

berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dapat

menyebabkan epilepsi. (1)

VI. KLASIFIKASI (2)

22

Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum), yaitu bangkitan yang berasal

dari dua hemisfer/bilateral tanpa adanya onset fokal. Bangkitan ini

terdiri dari :

a. Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal)

Merupakan jenis bangkitan yang paling dramatis, terjadi pada 10%

populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase, yaitu fase tonik, fase klonik,

dan fase pasca keja.

b. Bangkitan lena (petit-mal)/absence

Bangkitan lena terjadi secara mendadak dan juga hilang secara

mendadak (10-45 detik). Manifestasi klinis berupa kesadaran

menurun sementara, namun kendali atas postur tubuh masih baik

( pasien tidak jatuh), biasanya disertai automatisme (gerakan-

gerakan berulang), maka berkedip gerakan-gerakan ekstremitas

berulang, gerakan mengunyah. Terjadi sejak masa kanak-kanak (4-8

tahun). Remisi spontan 60-70% pasien pada masa remaja. Seringkali

disertai oleh bangkitan umum sekunder.

c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical ansences)

Manifestasi klinisnya berupa perubahan-perubahan postural terjadi

lebih lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental.

Lebih refrakter terhadap terapi.

2. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau lokal)

dimana terjadi letupan listrik yang abnormal pada daerah tertentu di

otak. Bangkitan ini terdiri atas:

a. Bangkitan parsial sederhana.

Bangkitan ini dapat menyebabkan gejala-gejala motorik, sensorik,

otonom, dan psikis tergantung korteks serebri yang aktivasi, namun

kesadaran tidak terganggu, penyebaran cetusan listrik abnormal

minimal, pasien masih sadar.

23

b. Bangkitan parsial kompleks

Penyebaran cetusan listrik yang abnormallebih banyak. Biasanya

terjadi dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap

hipoksia/infeksi. Gejala klinis yang didapatkan, yaitu ada tanda

peringatan/”aura” yang disertai oleh perubahan kesadaran, diikuti

oleh “automatisme”, yakni gerakan otomatis yang tidak disadari

seperti menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan, yang baisanya

berlangsung selama 30-120 detik. Kemudian, biasanya pasien

kembali normal yang disertai kelelahan selama beberapa jam.

c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum,

biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana.

3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk bangkitan sederhan dan bangkitan

kompleks)

a. Kejang demam pada neonatus

Kejang demam pada neonatus adalah kejang pada anak usia 6 bulan-

5 tahun tanpa disertai kelainan neurologis, bersifat umum dan

singkat (<15 menit), terjadi bersamaan dengna demam, hanya terjadi

satu kali dalam waktu 24 jam. Anak-anak dengan infeksi susunan

saraf pusat atau kejang tanpa demam sebelumnya tidak dapat disebut

menderita kejang demam.

b. Status epileptikus

Status epileptikus adalah suatu bangkitan yang terjadi berulang-

ulang. Pasien belum sadar setelah episode perrtama, serangan

berikutnya sudah dimulai. Merupakan suaru kegawatdaruratan. Ada

berbagai jenis status epileptikus, tapi yang paling sering adalah jenis

status epileptikus umum, tonik-klonik (grand-mal). Dapat

disebabkan oleh penghentian terapi yang mendadak, terapi yang

tidak memadai, penyakit-penyakit dalam otak (ensefalitis. Tumor

dalam otak, kelainan serebrovaskular), keracunan alkohol, dan

kehamilan.

24

Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom.

Sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya

sekumpulan gejala klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis

serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat

penyakit . Dikenal 4 kelompok usia yang masing-masing mempunyai

korelasi dengan sindrom epilepsi dapat dikelompokkan sebagai

berikut: (1)

a. Kelompok Neonatus sampai Umur 3 Bulan

Serangan epilepsi pada anak berumur kurang dari 3 bulan

bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari manifestasi serangan

epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip sejenak

biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan

berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak.

Serangan epilepsi disebabkan oleh lesi organik struktural dan

prognosis jangka panjangnya buruk. Kejang demam sederhana

tidak dijumpai pada kelompok ini.

b. Kelompok Umur 3 Bulan sampai 4 Tahun

Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena

kelompok ini sangat peka terhadap infeksi dan demam. Kejang

demam bukan termasuk epilepsi, tetapi merupakan faktor risiko

utama terjadinya epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi

pada kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantile atau

Sindrom West dan sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi

mioklonik.

c. Kelompok Umur 4 - 9 tahun

Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi

umum primer terutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau

epilepsi karena fokus epileptogenik herediter. Jenis epilepsi

pada kelompok ini adalah petit mal, grand mal dan benign

25

epilepsy of childhood with rolandic spikes (BECRS). Setelah

usia 17 tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa

menggunakan obat.

d. Kelompok Umur Lebih Dari 9 Tahun.

1) Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi

fokal atau epilepsi umum lesionik.

2) Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis

atau epilepsi psikomotor. Kecuali BECRS, pasien epilepsi

jenis tersebut dapat tetap dilanda bangkitan epileptik pada

kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat muncul

pada kelompok ini.

VII. MANIFESTASI KLINIS (9)

1. Bentuk Bangkitan

a. Bangkitan Umum Lena

1.) Gangguan kesadaran mendadak (absence) beberapa detik.

2.) Motorik terhenti dan diam tanpa reaksi

3.) Mata memandang jauh ke depan

4.) Mungkin terdapat automatisme

5.) Pasca : Pemulihan kesadaran segera, bingung (-), kembali ke

aktivitas semula.

b. Bangkitan Umum Tonik-Klonik

1.) Prodromal : jeritan, sentakan, mioklonik

2.) Selama kejang, terdapat hilangnya kesadaran, fase tonik 10-

30 detik kemudian fase klonik 30-60 detik, mulut berbusa.

3.) Setelah kejang, terdapat flaksid, ingun, kemudian tertidur.

c. Bangkitan Parsial Sederhana

1.) Gangguan kesadaran, kejang mulai dari tangan ke kaki,

kemudian ke muka, bersifat unilateral/fokal, menyebar

ipsilateral

2.) Kepala berpaling ke arah tubuh yang kejang ( adversif)

26

d. Bangkitan parsial kompleks

1.) Kejang fokal yang disertai gangguan kesadaran

2.) Sering diikuti automatisme yang stereopitik, misalnya:

mengunyah, menelan, tertawa, dan kegiatan motorik lain

tanpa tujuan jelas.

3.) Adversif (+)

e. Bangkitan Umum Sekunder

Berkembang dari parsial sederhana/kompleks ke bangkitan

umum dalam waktu singkat.

2. Sindrom epilepsi

Khas terdapat pada anak-anak.

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis

dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila

secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka

epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1. Anamnesis (1,4)

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan

menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan

serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu

yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala

dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti

dan merupakan kunci diagnosis, jika yang bersangkutan tidak dapat

memberikan informasi yang cukup, keluarga dapat membantu

memberikan informasi emngenai apa yang mereka lihat.

Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala

dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan

metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

a. Pola / bentuk serangan

b. Lama serangan

27

c. Gejala sebelum, selama dan paska serangan

d. Frekwensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat serangan terjadinya pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan Fisis Umum dan Neurologis (1)

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan

dengan epilepsi,seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus.

Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai

pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran

antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan

pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG) (4,12)

EEG merupakan pemeriksaan gold standar yang

direkomendasikan untuk dilakukan pada semua pasien kejang.

Pemeriksaan ini paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi dan untuk mengetahui bagaimana prognosis

jangka panjang penyakit serta berpengaruh dalam pemberian

terapi anti epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,

sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman

EEG dikatakan abnormal.

28

1.) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang

sama di kedua hemisfer otak.

2.) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih

lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.

3.) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak

normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-

ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul

secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai

gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile

mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal

gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik

(3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG

gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang

timbul secara serentak (sinkron).

b.Rekaman video EEG (1)

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita

yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan

diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG

memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta

memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis

yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk

penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta

bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi

fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada

persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis (5,12)

Pemeriksaan neuroimaging, terutama magnetic resonance imaging

(MRI) merupakan alat yang penting untuk mengevaluasi seorang

anak yang baru terkena epilepsi, terutama bagi mereka dengan

defisit neurologi atau kejang fokal. Perkembangan MRI

29

memungkinkan visualisasi noninvasif pada beberapa substrat

epileptogenesis. Penemuan lesi pada beberapa kasus nonlesi

epilepsi, misalnya mesial temporal sclerosis, neoplasms, dan

vascular malformation, ternyata dapat ditemukan lesi dengan

menggunakan MRI, sehingga terjadi perkemabangan penanganan

pembedahan pada kasus epilepsi.

Pemeriksaan radiologi ini menajadi komponen esensial dalam

mengevaluasi anak dengan epilepsi. Karena diantara pemeriksaan

lain, radiologi merupakan satu-satunya pemeriksaan yang dapat

menemukan fokus epileptogenik, maka hasil pemeriksaannya butuh

diinterpretasikan dalam anamnesis, pemeriksaan fisis,

elektroensefalografi, tes neuropsikologi, monitor elektrofisiologi

intrakranial invasif.

IX. DIAGNOSIS BANDING (11)

Kejang Demam

Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada

kenaikan suhu tubuh ( 38o C) yang disebabkan oleh proses

ekstrakranium.

X. PENATALAKSANAAN

Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari

bangkitan epilepsi,tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien

dapat melakukan tugasnya tanpa gangguan. Terapi dapat dilakukan

dengan berbagai cara, dan sebaiknya dengan mempertahankan pedoman

berikut :

1. Melakukan pengobatan kausal kalau perlu dengan pembedahan,

misalnya pada tumor serebri,

2. Menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, misalnya minum

alkohol, emosi, kelelahan fisik maupun mental,

3. Penggunaan antikonvulsi/antieilepsi. (7)

30

Untuk mencapai hasil terapi yang optimal perlu diperhatikan hal berikut

ini : (7)

1. Pengobatan awal harus dimulai dengan obat tunggal

2. Obat perlu dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap

sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping yang tidak

dapat ditoleransi lagi oleh pasien.

3. Interval penyesuaian dosis tergantung dari obat yang digunakan

4. Sebelum penggunaan obat kedua sebagi pengganti, bila fasilitas

laboratorium memungkinkan, sebaiknya kadar obat dalam plasma

diukur. Bila obat telah melebihi kadar terapi sedangkan efek terapi

belum tercapai atau efek toksik telah muncul, maka penggunaan obat

pengganti merupakan keharusan.

5. Obat pertama harus diturunkan secara bertahap untuk menghindari

status epileptikus

Tabel 1. DOSIS, KADAR TERAPI, DAN SEDIAAN OBAT

ANTIKONVULSI YANG BEREDAR DI INDONESIA (8)

No. Obat Dosis Kadar terapi

dalam serum

(Range,

µg/ml)

Kadar

mantap

tercapai

(hari)

Sediaan

1 Asam

Valproat

DD: 5-15

mg/kgBB/hari

DA : 10-30

mg/kgBB/hari

50-100 1-4 Sirup 250

mg/5ml

Tablet 250 mg

(Na divalproat)2. Diazepam DD : 0,2

mg/kgBB/hari

DA : 0,15-0,3

mg/kgBB/hari

0,6 1-4 jam

3. Fenitoin DD : 300

mg/hari

DA :

10-20 7-8 Kapsul 100 mg

Ampul 100

mg/2 ml

31

5mg/kgBB/hari4. Fenobarbital DD : 2-3

mg/kgBB/hari

DA : 3-5

mg/kgBB.hari

10-40 14-21

5. Karbamazepin DD : 1000-

2000 mg/hari

DA : 15-25

mg/kgBB/hari

4-21 3-4 Kaplet salutfilm

200 mg

6. Klonazepam DD:

1,5mg/hari

(max 20

mg/hari

DA : 0,01-0,03

mg/kgBB/hari

(max 0,25-0,5

mg/hari)

0,02-0,008 6 Tablet salut film

2 mg

7 Lamotrigin DD : 100-

500mg/hari

DA : 1,2

mg/kgBB/hari

3 3-5 Tablet 50 mg,

100 mg

8. Levetirasetam

(dalam

kombinasi)

DD :

2x500mg-

2x1500mg/hari

DA : -

- 2 Tablet 250 mg

dan 500 mg

9. Gabapentin

(dalam

kombinasi)

DD : 900 mg-

2,4 g/hari

DA : -

- 24 jam Tablet 300 mg

10. Topiramat DD : 200-600

mg/hari

- 4-6 Tablet 25 mg,

50 mg, 100 mg

Tabel 2. Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan (9)

Jenis

Bangkitan

OAE Lini

Pertama

OAE Lini

Kedua

OAE yang

Dipertimbangk

an

OAE yang

Dihindari

32

Bangkitan

umum tonik

klonik

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Topiramate

Carbamazepine

Clobazam

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Clonazepam

Phenobarbital

Phenytoin

Acetazolamide

Bangkitan

lena

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Topiramate

Carbamazepine

Gabapentin

Oxcarbazepine

Bangkitan

mioklonik

Sodium

Valproate

Topiramate

Clobazam

Topiramate

Levetiracetam

Lamotrigine

Piracetam

Carbamazepine

Gabapentin

Oxcarbazepine

Bangkitan

tonik

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbital

Phenytoin

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Bangkitan

atonik

Sodium

Valproate

Lamotrigine

Clobazam

Levetiracetam

Topiramate

Phenobarbital

Acetazolamide

Carbamazepine

Oxcarbazepine

PhenytoinBangkitan

fokal

dengan/

tanpa umum

sekunder

Carbamazepine

Oxcarbazepine

Sodium

Valproate

Topiramate

Lamotrigine

Clobazam

Gabapentin

Levetiracetam

Phenytoin

Tiagabine

Clonazepam

Phenobarbital

Acetazolamide

33

Kegagalan terapi epilepsi paling sering disebabkan oleh

ketidakpatuhan pasien. Dalam menanggulangi epilepsi, pasien perlu

membuat catatan mengenai penyakitnya, kunjungan teratur pada awal

pengoabtan merupakan suatu keharusan untuk mendeteksi efek samping

maupun efek toksik yang biasanya terjadi pada awal terapi. Pada

pengoabtan jangka panjang perlu dilakukan pemeriksaan EEG ulangan

maupun pemeriksaan neurologis. Pemilihan obat anti epilepsi didasarkan

pada bentuk bangkitan dan gambaran EEG. Sebaiknya dipilih obat pilihan

utama yang sesuai dengan bentuk epilepsinya. Antiepilepsi yang

efektivitasnya belum mapan sebaiknya tidak digunakan dalam praktek

umum.

Untuk mendapatkan efek terapi secepatnya, pada keadaan kejang yang

hebat dapat diberikan dosis awal yang tinggi.Tetapi pada umumnya terapi

justru dimulai dengan dosis awal yang rendah untuk menekan kejadian

efek samping yang berkaitan dengan besarnya dosis. (9)

XI. PROGNOSIS

Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi

faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada

umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita

epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 %

pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer,

baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau absence

mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya

mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau

retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek. (10)

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Cavazos, Jose E and Spitz, Mark. Seizures and Epilepsy, Overview and Classification. http://emedicine.medscape.com/article/1184846-overview. [Online] medscape, Agustus 10, 2010. [Cited: Oktober 1, 2010.]

2. Harsono, Endang K and G., Suryani.Pedoman tatalaksana epilepsi. Jakarta : Perdossi, 2006, pp. p. 1-13.

3. Chu-Shore, Catherine J and Tseng, Brian S. First Seizure, Pediatric Perspective. http://emedicine.medscape.com/article/1179097. [Online] medscape, January 14, 2010. [Cited: October 1, 2010.]

35

4. Harsono. Kapita selekta neurologi. Jakarta : Universitas Gajah Mada, 2007. 119-26, p: 137-43.

5.White,Steven. Epilepsy Following Encephalitits. http://www.encephalitis.info/Info/Recovery/SpecificOutcomes/Epilepsy.aspx. [Online] The Encephalitis Society, 2009. [Cited: September 30, 2011.]

6. Shorvon, Simon D. Handbook of epilepsy treatment:forms, causes, and therapy in children and adults. s.l. : Wiley-Blackwell, 2005.

7. Segan, Scott. Absence Seizures. http://emedicine.medscape.com/article/1183858. [Online] May 18, 2010. [Cited: October 1, 2010.]

8. Christopher, Frank L and Westermeyer, Robert R. Seizure in Children. ttp://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=58637. [Online] Oktober 8, 2005. [Cited: Oktober 1, 2010.]

9. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005. 3 :119-145.

10. Sogijanto, Soegeng. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa & Penatalaksanaan . Jakarta : Salemba Medika, 2002.

11. Harden, MA Goldstein and CL. Herpes encephalitis. http://professionals.epilepsy.com/page/viral_herp_enceph.html. [Online] epilepsi.com, Maret 2004. [Cited: Oktober 4, 2010.]

12. Viral encephalitis and epilepsy. Misra, Usha Kant and Tan, Chong Tin , and Kalita, Jayantee. Malaysia : Epilepsia, 2008, Vols. 49(Suppl. 6):13–18.

13. C Anumudu, M Afolami, C Igwe, M Nwagwu, O Keshinro. Children, Nutritional anemia and malaria in pre-school and school age.. Nigeria : Annals of African Medicine, 2008, Vol. 7.

14. M. T. Mandara, S. Pavone and G. Vitellozzi. Internal Hydrocephalus and Associated Periventricular Encephalitis in a Young Fox. http://www.sagepublications.com. [Online] American College of Veterinary Pathologists, European College of Veterinary Pathologists, & the Japanese College of Veterinary Pathologist, 2007. [Cited: Oktober 1, 2010.]

15. Setyo, Agung Priyono. Penanganan Mutakhir Gizi Buruk pada Anak. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:PAE9eaUjMe4J:www.scribd.com/doc/38961736/Penanganan-Mutakhir-Gizi-Buruk-Pada-

36

Anak+penanganan+gizi+kurang+AKG&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a#fullscreen:on. [Online] [Cited: October 2, 2010.]

16. Arvin et al. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edisi 15 Vol. 3. Jakarta : EGC, 1999. 2060-2064.

37