148986866 Laporan Resmi Docx
-
Upload
milamustika -
Category
Documents
-
view
126 -
download
5
description
Transcript of 148986866 Laporan Resmi Docx
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI
PERCOBAAN V
DAYA TERAPI ANTIDOTUM NATRIUM NITRIT DAN NATRIUM
THIOSULFAT
I. TUJUAN
Mengetahui daya terapi antidot natrium tiosulfat dan natrium nitrit pada keracunan sianida
hewan uji.
II. DASAR TEORI
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya
dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara fungsi
vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi
upaya membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun (Donatus, 2001).
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun (bentuk
senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan racun
tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya
intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan
takaran pemejanannya (Donatus, 2001).
Takrif terapi antidot yang dinyatakan oleh Loomis (1978). Tujuan terapi antidot ialah
untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya
efek berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas
efek toksik racun (Donatus, 2001). Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot
dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan metode tak
khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian besar racun. Metode khas,
ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang kemungkinan bertindak sebagai
penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada (Donatus, 2001).
Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar, cara,
dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas
efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik
(KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi
antidote meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan
atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001).
Sianida merupakan senyawa kimia yang toksik dan memiliki beragam kegunaan,
termasuk sintesis senyawa kimia, analisis laboratorium, dan pembuatan logam. Nitril alifatik
(acrylonitrile dan propionitrile digunakan dalam produksi plastic yang kemudian dimetabolisme
menjadi sianida. Obat vasodilator seperti nitroprusida melepaskan sianida pada saat terkena
cahaya ataupun pada saat metabolisme. Sianida yang berasal dari alam (amigdalin dan glikosida
sinogenik lainnya) dapat ditemukan dalam biji aprikot, singkong, dan banyak tanaman lainnya,
beberapa diantaranya dapat berguna, tergantung pada keperluan ethnobotanikal. Acetonitrile,
sebuah komponen pada perekat besi, dapat menyebabkan kematian pada anak-anak (Olson,
2007).
Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna,
yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti
sodium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN) (Utama, 2006). Hidrogen sianida
merupakan gas yang mudah dihasilkan dengan mencampur asam dengan garam sianida dan
sering digunakan dalam pembakaran plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya.
Keracunan hidrogen sianida dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari
sianida (termasuk garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun
bunuh diri (Olson, 2007).
Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh, lewat
pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga
yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan
napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung
meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak
jantung melambat, kehilangan kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban
meninggal (Utama, 2006).
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi pemejanan sianida antara lain:
a. Jenis pemejanan : akut dan kronis
b. Jalur pemejanan : inhalasi, mata, dan saluran pencernaan
c. Lama, kekerapan : akut atau berulang
d. Takaran atau dosis :
Antidotum Sianida diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme
aksi utamanya, yaitu : detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang lebih
tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung. Pengobatan pasti dari
intoksikasi sianida berbeda pada beberapa negara, tetapi hanya satu metode yang disetujui untuk
digunakan di Amerika Serikat. Keamanan dan kemanjuran dari tiap-tiap antidotum masih
menjadi perdebatan yang signifikan. Dan tidak terdapat konsensus antar seluruh negara untuk
pengobatan intoksikasi sianida (Meredith, 1993).
Natrium nitrit merupakan obat yang paling sering digunakan untuk keracunan sianida.
Dosis awal standart adalah 3% larutan natrium nitrit 10 ml, memerlukan waktu kira-kira 12
menit untuk membentuk kira-kira 40% methemoglobin. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa
risiko karena bila berlebihan dapat mengakibatkan methemoglobinemia yang dapat
menyebabkan hipoksia atau hipotensi, untuk itu maka jumlah methemoglobin harus dikotrol.
Penggunaan natrium nitrit tidak direkomendasikan untuk pasien yang memiliki kekurangan
glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6DP) dalam sel darah merahnya karena dapat menyebabkan
reaksi hemolisis yang serius (Meredith, 1993).
Sodium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk
yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti
nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada
keracunan sianida. Penelitian dengan hewan uji menunjukkan kemampuan sebagai antidot yang
lebih baik bila dikombinasikan dengan hidroksokobalamin (Olson, 2007). Natrium tiosulfat
merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak 50 ml dalam 25
% larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh tiosulfat, namun tiosianat memberikan
efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan dan disfungsi pada SSP.
(Meredith, 1993).
III. ALAT DAN BAHAN
a) Alat:
Jarum suntik
Timbangan
Stopwatch
Alat-alat gelas
b) Bahan:
Larutan KCN 1,5%
Larutan NaNO2 2%
Larutan Na2S2O3 25%
Kelom
pok Tikus
T (DETIK)
Sianosis Kejang Sesak
Nafas
Hilang
Sadar
Kematian Pulih Waktu
pulih
I 1 44 86 27 539 617 - -
2 123 191 313 570 4161 - -
3 74 109 131 663 - - -
II 1 - - - - - - -
2 - - - - - - -
3 - - - - - - -
III 1 30 33 125 105 - 2310
2 46 134 142 253 - 2482
3 23 125 145 225 - 2672
IV 1 25 40 283 - 140 - -
2 23 63 140 200 - 3730
3 22 55 333 530 - 2420
V 1 - - - - - - -
2 - - - - - - -
3 - - - - - - -
VI 1 63 111 135 178 - 2079
2 58 76 77 - - 1723
3 54 67 68 - - 1358
VII 1 111 131 864 - - 3667
2 163 134 234 178 - 634
3 84 119 515 266 - 1889
PEMBAHASAN
Pada praktikum toksikologi kali ini kami melakukan percobaan uji daya
terapi antidotum menggunakan antidotum Na nitrit dan Na thiosulfat dengan
KCN (sianida ) sbg zat racun penyebab ketoksikan.
Keracunan sianida berarti meningkatkan keberadaan zat beracun
sianida di sel sasaran, di mana terjadi translokasi sianida dari jalan masuk ke
tempat reseptornya. Hal ini menyebabkan perubahan sianida menjadi
produk aktif yang stabil, sehingga dapat menimbulkan gejala efek toksik
mulai dari jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang bahkan
sampai mematikan.
Mekanisme yang memperantarai keracunan adalah sianida bereaksi
dengan sejumlah enzim yang mengandung logam, seperti feri sitokrom
oksidase. Karena metabolisme aerob tergantung pada sistem enzim ini,
maka jaringan tidak dapat lagi menggunakan oksigen dan jaringan itu
mengalami hipoksia. Sianida menyebabkan hipoksia seluler dengan
menghambat sitokrom oksidase pada bagian sitokrom a3 dari rantai
transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan
oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung. Hasilnya, selain persediaan
oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi
dibentuk, sehingga dapat terjadi gagal nafas, kejang dan akhirnya
mematikan.
Terapi antidotum spesifik yang dilakukan adalah dengan
pemberian Natrium nitrit dan Na2S2O3 (Natrium tiosulfat) secara intra
peritoneal agar efek penghambatan racun dapat dicapaidengan cepat.
Sianida yang terpejan didalam tubuh dapat bereaksi dengan komponen besi
dalamenzim sitokrom oksidase mitokondria. Hasil reaksi oksidasi
tersebut adalah pigmen berwarnac o k l a t k e h i j a u a n s a m p a i
h i t a m y a n g d i s e b u t m e t h e h e m o g l o b i n . I o n F e r i S i a n i d a
d a l a m methehemoglobin akan berikatan dengan sianida dalam plasma
membentuk sian-methemoglobinyang menyebabkan ikatan sianida dalam
sitokrom oksidase terputus sehingga enzim pernafasanyang semua terblok
tersebut menjadi teregenerasi kembali.
Pemberian natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB intraperitoneal
menyebabkan pembentukan methemoglobin dengan cara mengembangkan
perubahan besi fero dalam hemoglobin menjadi besi feri. Natrium nitrit akan
mengoksidasi sebagian hemoglobin (methemoglobin), sehingga dalam aliran
darah akan terdapat ion ferri, yang oleh ion sianida akan diikat menjadi sian
methemoglobin. Ini akan menyebabkan enzim pernafasan yang terblok
(reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi (sifat terbalikkan).
Reaksinya adalah sebagai berikut:
Sianida
+
Hemoglobin (Fe ++ ) nitrit metheboglobin ( Fe +++ )
Sianmethemoglobin
Hasil terapi dengan pemberian natrium nitrit secara teoritis akan
menurunkan level methemoglobin sebanyak 20 – 30%.
Natrium tiosulfat bekerja dengan mempercepat perubahan sianida
dengan bantuan rhodanase menjadi tiosianat [SCN]- yang bersifat kurang
toksik. Selain itu, tiosianat berbentuk ion sehingga dapat lebih mudah untuk
diekskresikan. Hal ini dapat mempercepat keluarnya sianida dari tubuh.
Reaksinya adalah sebagai berikut:
Na2S2O3 + CN- rhodanase SCN- + Na2SO3.
Ada tujuh perlakuan terhadap hewan uji (tikus) dalam percobaan
percobaan ini, antara lain sbb:
1. kelompok I : kelompok kontrol dengan pemberian sianida secara
subkutan
2. kelompok II:di berikan perlakuan dengan menggunakan Na
nitrit dengan pemberian secara intra peritoneal yaitu pada
rongga perut
3. kelompok III : d iber ikan per lakuan dengan menyunt ikan
s ianida secara subkutan dan kemudian disuntikan secara
peritonial larutan antidotum Na nitrit setelah tikus
tersebut sudah mengalami sianosis
4. Kelompok IV : diberikan perlakuan dengan menyuntikan
sianida secara subkutan dan kemudian disuntikan kembali
secara peritonial larutan antidotum Na Nitrat setelah menci t
tersebut sudah mengalami kejang
5. Kelompok V:di berikan perlakuan dengan menggunakan Na
thiosulfat dengan pemberian secara intra peritoneal yaitu
pada rongga perut
6. kelompok VI : d iber ikan per lakuan dengan menyunt ikan
s ianida secara subkutan dan kemudian disuntikan secara
peritonial larutan antidotum Na thiosulfat setelah tikus
tersebut sudah mengalami sianosis
7. Kelompok IV : diberikan perlakuan dengan menyuntikan
sianida secara subkutan dan kemudian disuntikan kembali
secara peritonial larutan antidotum Na Thiosul fat setelah
menci t tersebut sudah mengalami kejang
Pada kelompok I (kelompok control) dengan pemberian sianida secara
subcutan dimana kelompok control tersebut di gunakan untuk
mengetahui bagai mana aktifitas sianida dalam mematikan hewan uji
tanpa adanya penambahan antidotum Na nitrit dan Na th iosu l fat dan
dar i has i l pengamatan tersebut kami dapat mel ihat
bagaimana kecepatan sianida dalam mematikan hewan uji hanya dalam
waktu beberapa menit saja.
Per lakuan pada t ikus kelompok I I dan V ket ika t ikus
kelompok II di berikan perlakuan dengan menggunakan Na nitrit dan
Na thiosulfat dengan pemberian secara intra peritoneal yaitu pada
rongga perut. Pada kelompok ini digunakan hanya antidotum saja
karena kami ingin melihat bagaimana pengaruh antidotum, karena
ditakutkan justru antidotumnya yang dapat memberikan efek gejala
toksik bahkan kematian, setelah d i l a k u a k a n p e n g a m a t a n t i d a k
a d a 1 t i k u s p u n d i a n t a r a k e d u a k e l o m p o k t e r s e b u t y a n g
mengalami gejala keracunan yang berarti pada kedua antidotum
tidak menyebabkan keracunan pada mencit sehingga dapat
disimpulkan bahwa apabila terjadi gejala keracunan maka gejala
tersebut diakibatkan karena sianida dan bukan karena pemberian
antidotumnya.
Pada kelompok I I I dan VI menci t d iber ikan per lakuan
dengan menyunt ikan s ianida secara subcutan dan kemudian
disuntikan secara peritonial larutan antidotum setelah tikus tersebut
sudah mengalami sianosis. Pada kelompok III diberikan Na Nitrit dan
pada kelompok VI diberikan Na Thiosulfat. Yang pada kelompok tikus
tersebut dapat dibandingkan bagaimana kerja dari kedua antidotum
sebagai penawar racun dalam fase absorbsi.
Pada kelompok IV dan VII mencit diberikan perlakuan dengan
menyuntikan sianida secara subkutan dan kemudian disuntukan
kembali secara peritonial larutan antidotum setelah t ikus tersebut
sudah mengalami kejang. Pada kelompok IV d iber ikan Na
Ni tr i t dan pada kelompok VI I d iber ikan Na Thiosul fat . Yang
pada kelompok t ikus tersebut dapat d ibandingkan bagaimana
ker ja dar i kedua ant idotum sebagai penawar racun dalam fase
distribusi.
Berdasarkan hasil pengamatan pada pada percobaan diperoleh bahwa pada pada
pemberian antidotum Na Nitrit dan Na Thiosulfat di peroleh hasil bahawa pada
pemberian Na Nitrit ada 5 mencit yang masih hidup sedang pada pemberian
antidotum Na Thiosulfat ada 6 ekor mencit yang masih hidup hal ini menunjukan bahwa
Na Thiosulfat dapat menarwarkan racuna dalam fase distribusi karena untuk menentukan
perbedaan antara sianosis dan kejang sangat tipis sekali.sehingga sianida yang
diperkirakan masih dalam tahap absobsi ternyata sudah memasuki tahap distribusi sehingga Na
Nitrit menjadi tidak berguna lagi. Sedangkan apabila di berikan Na Thiosufat maka Na thiosulfat
akan dapat membebaskan darah dari keterikatannya pada sianida.
Berdasarkan hasil dari perhitungan perbandingan antar kelompok dan
dilakukan perhitungan SPSS dengan menggunakan uji statistik ANOVA 1 jalan dengan taraf
kepercayaan 95% . Perbandingan antara kelompok kelompok III dengan kelompok VI
didapatkan hasil signifikasi sebesar 0,05, H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan dari
perhitungan tersebut bahwa tidak ada perbedaan antar kelompok perlakuan yang artinya tidak
ada perbedaan waktu pulih antara pemberian antidotum Na Nitrit (sianosis) dan Na Thiosulfat
(sianosis).
Perbandingan antara kelompok VI dan VII didapatkan hasil signifikasi sebesar 0,827 , H0
diterima sehingga dapat disimpulkan dari perhitungan tersebut bahwa ada perbedaan waktu
pulihnantar kelompok perlakuan yang artinya tidak ada perbedaan antara pemberian antidotum
Na Thiosulfat (sianosis) dan Na Thiosulfat (kejang). Pada kelompok V tidak dapat dilakukan
perhitungan SPSS karena data yang dihasilkan tidak lengkap yaitu pada tikus 1 mengalami
kematian pada detik ke-140. Hal ini di sebabkan karena data yang diperoleh kurang baik.
Adapun kesalahan-kesalahan tersebut diakibatkan pengambilan data tersebut kurang baik antara
lain: kesalahan pada saat penyuntikan secara peritonial kemungkinan kesalahan yang mungkin
terjadi adalah penyuntikan secara peritonial yanag salah. Suntikan tersebut tidak masuk dalam
rongga perut tapi masuk secara subkutan sehingga antidotum tersebut pun menjadi
kurang berarti.kesalahan lain yang mengakibatakan data menjadi kurang baik adalah kesalahan
pada saat pemberian antidotum tersebut, karena perbedaan antara sianosis dan kejang sangat tipis
sehinggakemungkinan kesalahan pemberian sehingga pada pemberian Na Nitrit
tersebut menjadi tidak berarti karena sianida sudah masuk dalam tahap distribusi.
Kesalahan pencatatan waktu juga mungkin terjadi karena perbedaan tiap gejala efek toksik
sangan tipis sehingga pencatatan waktuyang kurang tepat juga dapat mengakibatkan data yang
di dapat menjadi kurang baik.
KESIMPULAN
1. KCN dengan dos i s 1 % ( un tuk menc i t ) sudah mampu men imbu lkan
e f ek t oks ik terhadap hewan uji tikus.
2. Ge j a l a -ge j a l a ke r acunan s i an ida yang t e r ama t i pada hewan u j i
menc i t be r t u ru t - t u ru t yaitu: sianosis, kejang, gagal nafas, dan mati.
3. Natrium Nitrit sebagai antidotum spesifik untuk keracunan sianida tidak
menimbulkan efek toksik terhadap hewan uji mencit
4. Natrium Nitrit lebih tepat jika diberikan sesegera mungkin setelah terkena
racun sianida( lebih tepat diberikan saat terjadi sianosis dari pada saat kejang )
5. H a s i l p e r h i t u n g a n p a d a k e l o m p o k I I I d a n V I d e n g a n c a r a
a n a l i s i s v a r i a n s a t u j a l a n d i k e t a h u i b a h w a t i d a k a d a perbedaan
yang bermakna pada pemberian antidotum saat kejang dan sianosis.
6. H a s i l p e r h i t u n g a n p a d a k e l o m p o k V I d a n V I I d e n g a n c a r a
a n a l i s i s v a r i a n s a t u j a l a n d i k e t a h u i b a h w a a d a perbedaan yang
bermakna pada pemberian antidotum saat kejang dan sianosis
DAFTAR PUSTAKA
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, Laboratotium
Farmakologi dan ToksikologiFakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Loomis, I.A., 1978, Essentiale of Toxycologi, diterjemahkan oleh Imono
Argo Donatus,Toksikologi Dasar, Edisi III, IKIP Semarang Press,
Semarang
L u , F . C . , 1 9 9 5 , T o k s i k o l o g i D a s a r : A s a s , O r g a n
S a s a r a n d a n P e n i l a i a n R e s i k o , diterjemahkan oleh Edi
Nugroho, Edisi II, UI Press, Jakarta