1441-3414-1-SP

78
Laporan Studi Pustaka (KPM 403) KEARIFAN LOKAL DAN STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT IKE ROSMANITA

description

keperiwisataan

Transcript of 1441-3414-1-SP

Page 1: 1441-3414-1-SP

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

KEARIFAN LOKAL DAN STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT

IKE ROSMANITA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 2: 1441-3414-1-SP

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat” benar-benar hasil karya saya yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari Pustaka yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.

Bogor, Desember 2014

Ike Rosmanita NIM. I34110036

Page 3: 1441-3414-1-SP

iii

ABSTRAK

IKE ROSMANITA. Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat. Di bawah bimbingan SAHARUDDIN

Masyarakat adat memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini dikarenakan masyarakat adat memiliki aturan atau kelembagaan lokal yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat, termasuk tata aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Tata aturan yang tercermin dalam kelembagaan lokal yang ada di masyarakat tidaklah bersifat statis melainkan bersifat dinamis dan cenderung mengalami perubahan. Kondisi ini akan berdampak pada kuat atau lemahnya implementasi kelembagaan lokal dalam masyarakat. Kuat atau lemahnya kelembagaan lokal yang ada disuatu wilayah akan berdampak pula pada strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat.

Kata kunci: masyarakat adat, kelembagaan lokal, strategi nafkah

ABSTRACT

IKE ROSMANITA. Local Wisdom and Livelihood Strategy of Indigenous People. Supervised by SAHARUDDIN

Indigenous peoples play an important role in natural resource management. This is because the indigenous peoples or local institutional rules that serve as guidelines for community life, including the rules governing the management of natural resources. The regulations reflected in local institutions in society is not static but dynamic and prone to change. These conditions will have an impact on the strength or weakness of the implementation of local institutions in the community. Strong or weak local institutions that exist in a region will impact the livelihood strategies undertaken by the community

Keywords:indigenous people,local institutional,livelihood strategies

Page 4: 1441-3414-1-SP

iv

KEARIFAN LOKAL DAN STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT ADAT

Oleh:

IKE ROSMANITA

NRP. I34110036

Laporan Studi Pustaka

Sebagai syarat kelulusan (KPM 403)

pada

Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 5: 1441-3414-1-SP

v

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh :

Nama Mahasiswa : Ike Rosmanita

Nomor Pokok : I34110036

Judul : Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat

dapat diterima sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403)

pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor.

Disetujui oleh

Dr Ir Saharuddin, MSDosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MScKetua Departemen

Tanggal Pengesahan:

Page 6: 1441-3414-1-SP

vi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, atas rahmat dan karunia baik jasmani maupun rohani yang dilimpahkan kepada penulis sehingga Studi Pustaka yang berjudul “Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat” dapat diselesaikan dengan lancar serta tidak mengalami rintangan dan kendala yang begitu berarti. Salawat serta salam tidak lupa juga penulis hanturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga beliau, para sahabat dan juga pengikutnya hingga hari akhir.Laporan studi pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa penulisaan studi pustaka ini mampu terselesaikan dengan baik atas bantuan baik doa, tenaga, waktu dan fikiran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Saharuddin, MS selaku dosen pembimbing yang baik dan bijaksana, senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta saran dan masukan yang membangun selama penulisan studi pustaka ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Lihamdani dan juga Ibu Ilma Hartini, kakak tercinta Jhony Hardiansyah atas doa dan juga dorongan semangat. Selain itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Erekso Hadiwijoyo, Indah Erina Priska, Dwi Yuni Atik, dan Maria Maghdalena yang telah meluangkan waktu dan menemani penulis selama penulisan studi pustaka ini. Terima kasih juga kepada teman-teman satu bimbingan Fitri, Dheva, Romanna dan juga keluarga SKPM 48 yang telah memberikan warna baru dan kebersamaan selama ini.

Akhirnya penulis berharap nantinya studi pustaka ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami tentang “Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat”

Bogor, Desember 2014

Ike Rosmanita NIM. I34110036

Page 7: 1441-3414-1-SP

vii

DAFTAR ISI

DAFTARTABEL....................................................................................................... ixDAFTAR GAMBAR.................................................................................................. ixDAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. ix

PENDAHULUAN...................................................................................................... 1Latar Belakang............................................................................................................ 1Tujuan.......................................................................................................................... 2Metode Penulisan........................................................................................................ 2

RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA............................................................ 51 Jurnal ‘Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili

Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur’ (Juniarta dkk 2013)................................................................................................................... 5

2 Jurnal ‘Kearifan Lokal Suku Amungme dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kabupaten Mimika Papua’ (Kaiar 2013)................. 7

3 Jurnal ‘Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy’ (Permana dkk 2011)........................................................................................... 9

4 Skripsi ‘Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huluya Desa Bongoime Provinsi Gorontalo’ (Annas 2013).................................................................................... 11

5 Jurnal ‘Kearifan Lokal Orang Bajo dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut’ (Bahtiar 2012).................................................................................................... 13

6 Jurnal ‘Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam’ (Indrawardana 2012)........................................................... 15

7 Jurnal ‘Pengetahuan Lokal Masyarakat Kesepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis’ ( Rahmawati dkk 2012)........................................... 17

8 Jurnal ‘Adaptasi Sistem Pean Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano Di Desa Concong Luar Kabupaten Indragili Hilir Provinsi Riau’ (Amrifo 2012)................................................................................................................... 20

9 Jurnal ‘Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat’ (Mardyaningsih dkk 2010)........................................... 21

10 Jurnal ‘Konservasi Tradisional Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tani Kabupaten Paser (Studi Kasus Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser)’ (Yulianto 2013)................................................................... 24

11 Jurnal ‘Eksistensi Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan’ (Susanto 2006)....... 26

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN.................................................................... 29Kehidupan Sosial Masyarakat Adat............................................................................ 29Nilai dan Peranan Kearifan Lokal............................................................................... 30Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Kearifan Lokal................................... 32Penetrasi Nilai-nilai Luar dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat............................................................................................................................. 33

SIMPULAN................................................................................................................. 35Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat............................................... 35Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi.............................................. 36Kerangka Analisis Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat................. 36

Page 8: 1441-3414-1-SP

viii

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 37LAMPIRAN................................................................................................................ 39RIWAYAT HIDUP..................................................................................................... 41

Page 9: 1441-3414-1-SP

ix

DAFTAR TABEL

1 Daftar Literatur dan Konsep yang Digunakan................................................. 32 Peranan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 32

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Konseptual 1................................................................................... 62 Kerangka Konseptual 2................................................................................... 83 Kerangka Konseptual 3................................................................................... 104 Kerangka Konseptual 4................................................................................... 125 Kerangka Konseptual 5................................................................................... 146 Kerangka Konseptual 6................................................................................... 167 Kerangka Konseptual 7................................................................................... 188 Kerangka Konseptual 8................................................................................... 219 Kerangka Konseptual 9................................................................................... 2210 Kerangka Konseptual 10................................................................................. 2511 Kerangka Konseptual 11................................................................................. 2712 Pengelompokan Status Aset dalam Sebuah Pentagon.................................... 3513 Kerangka Analisis Baru...................................................................... 38

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel 1 Daftar literatur konsep yang digunakan...................................................... 39Gambar 2 Kerangka Konseptual.............................................................................. 40

Page 10: 1441-3414-1-SP

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya alam merupakan aset penting yang harus di lestarikan dan harus di perhatikan dalam pengelolaannya. Pengelolaan sumberdaya alam ini melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Salah satu pihak yang memiliki kepentingan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam ini adalah masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan entitas sosial yang memiliki ciri unik dan nilai-nilai tersendiri yang digunakan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang dikutip oleh Kafiar (2013) masyarakat adat adalah Komunitas – komunitas yang hidup berdasarkan asal – usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat adat tentu tidak dapat berdiri sendiri. Masyarakat adat akan bersinergi dengan pihak lain seperti pemerintah dan pihak swasta.

Namun, fakta di lapang menunjukan bahwa keterlibatan pihak luar tidak jarang justru mengesampingkan masyarakat adat di wilayah bersangkutan. Selain itu, pembangunan juga membawa dampak-dampak negatif yang tidak inginkan. Percepatan ekonomi sering kali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Lingkungan sebagai sumberdaya yang melimpah dieksploitasi secara terus menerus demi mendapatkan keuntungan ekonomi semata. Hal ini terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang di Publikasikan oleh BPLH Jawa Barat (2013) tercatat bahwa telah terjadi peningkatan lahan kritis dari tahun sebelumnya. BPLH Jawa Barat juga mengemukakan bahwa kawasan pesisir di Jawa Barat juga mengalami kerusakan seperti tingkat abrasi yang mencapai 35,35 ha/tahun di pantai selatan, 370,3 ha/tahun di pantai utarahingga index pencemaran air laut antara 7,391-9,843 yang menunjukan sudah tercemar berat.

Kerusakan ini akan terus meningkat jika tidak ditanggulangi dengan baik, hal ini dikarenakan populasi manusia yang terus meningkat tidak diimbangi dengan potensi sumberdaya alam yang terbatas. Guna menanggulangi hal tersebut, pemerintah sudah menetapkan peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut menjelaskan berbagai aspek mengenai pengelolaan lingkungan hidup, diantaranya mengenai kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Hal serupa juga diungkapkan oleh Marfai (2012) yang menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan formulasi dari keseluruhan bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Salah satu contoh kearifan lokal yang ada yaitu tradisi keduk beji di desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Tradisi keduk beji merupakan tradisi yang mengandung nilai luhur yang ingin dilestarikan yaitu pelestarian sumber air

Page 11: 1441-3414-1-SP

2

yang sangat bermanfaat bagi lahan pertanian, penduduk dan pelestarian sifat ajakan untuk menghormati tata kehidupan para leluhurnya (Isyanti 2013). Hal tersebut menunjukan bahwa kearifan lokal memiliki peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan akan menjamin kehiduapan masyarakat sekitar. Ini dapat dilihat dari strategi nafkah masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya alam. Oleh karena itu menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai “Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat”.

Tujuan

Tujuan penulisan tugas akhir studi pustaka dengan judul “Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat” adalah sebagai berikut:1. Mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam2. Mengidentifikasi peran kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam3. Mengidentifikasi peran kearifan lokal terhadap strategi nafkah

Metode Penulisan

Jenis pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan studi pustaka ini adalah pengumpulan data sekunder. Data sekunder yang digunakan diantaranya adalah hasil-hasil penelitian, skripsi, artikel dan jurnal ilmiah. Data sekunder yang diperoleh tersebut kemudian di review, dianalisis, dan disusun guna menjadi suatu tulisan yang utuh. Literatur mengenai konsep masyarakat adat dalam tulisan ini sebanyak satu literatur. Tulisan ini juga memuat konsep mengenai kearifan lokal yang diambil dari 11 literatur. Konsep mengenai kelembagaan lokal diambil dari satu literatur sedangkan konsep strategi nafkah diambil dari lima literatur. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep-konsep dan daftar literatur yang digunakan dalam tulisan ini sebagai berikut:

Page 12: 1441-3414-1-SP

3

Tabel 1 daftar literatur dan konsep yang digunakanNo Konsep yang

digunakanLiteratur ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 191 Masyarakat

Adat√

2 Kearifan Lokal

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

3 Kelembagaan Lokal

4 Strategi Nafkah

√ √ √ √ √

Keterangan Literatur:1. Etika Lingkungan Hidup (Keraf 2010)2. Sustainable Rural Livelihoods A Framework for Analysis (Scoones 1998)3. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries (Ellis F)4. Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten

Probolinggo Jawa Timur ( Juniarta 2013) 5. Kearifan Lokal Suku Amungme dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di

Kabupaten Mimika Papua (Kaiar 2013)6. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy ( Permana 2011)7. Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huluya Desa Bongoime Provinsi Gorontalo (Annas 2013)8. Kearifan Lokal Orang Bajo dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut (Bahtiar 2012)9. Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam (Indrawardana

2012)10. Pengetahuan Lokal Masyarakat Kesepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis

( Rahmawati 2012) 11. Adaptasi Sistem Penghidupan Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano Di Desa Concong Luar

Kabupaten Indragili Hilir Provinsi Riau (Amrifo 2012)12. Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat (Dyah Ita

Mardyaningsih 2010)13. Konservasi Tradisional Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tani Kabupaten Paser (Studi Kasus

Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser) (Yulianto 2013)14. Eksistensi Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem

Sumber Daya Hutan (Santoso 2006)15. Perspektif kelembagaan dalam pengelolaan daerah aliran sungai Citanduy (studi desentralisasi

pengelolaan dan sistem tata pemerintahan sumberdaya alam) (Tonny 2004)

Page 13: 1441-3414-1-SP

4

Page 14: 1441-3414-1-SP

5

RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA

1. Judul : Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Hagi Primadasa Juniarta, Edi Susilo,

Mimit PrimyastantoKota dan Nama Penerbit : -Nama Jurnal : ECSOFiMVolume (Edisi) Halaman : 01(01): 11-25Alamat URL : http://ecsofim.ub.ac.id/index.php/ecsofim/

article/view/10Tanggal Unduh : 9 September 2014

Peranan dan status kearifan lokal yang dilakukan di masing-masing wilayah dimaksudkan sebagai kontrol terhadap manusia akan kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas. Umumnya peran kearifan lokal sebagai hukum atau aturan yang diturunkan secara turun-temurun, kearifan lokal berbeda di masing-masing wilayah. Menurut penulis kearifan lokal merupakan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berbentuk religi, budaya ataupun adat istiadat yang umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk sistem sosial suatu masyarakat. Definisi lain yang digunakan oleh penulis seperti yang dikemukakan oleh Ridwan (2007) yaitu kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.

Konsep yang digunakan oleh penulis seperti yang diungkapkan oleh Wignjodipoero (1967) dalam Sulaiman (2010) Hukum adat memiliki dua unsur yaitu: (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum.

Berdasarkan konsep tersebut dapat dianalisis bahwa unsur kenyataan dan juga unsur psikologis dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurut Belkes (1995) dalam Sulaiman (2010) kearifan lokal bersifat kumulatif dengan kepercayaan yang turun temurun terkait antara hubungan masyarakat dengan lingkungan, dalam hubungan masyarakat dengan lingkungan dibutuhkan pengetahuan lokal dari masyarakat itu sendiri. Penulis menggunakan definisi Menurut Sulaiman (2010) yaitu pengetahuan lokal secara lebih detil sebagai “pengetahuan yang yang dibangun oleh kelompok komunitas secara turun temurun terkait hubungannya dengan alam dan sumberdaya alam”. Pengetahuan lokal masyarakat meliputi segenap pengetahuan tentang hal-hal yang terkait dengan lingkungan hingga pengetahuan sosial, politik dan geografis. Penulis juga menggunakan konsep Community Based Management (CBM) yang merupakan suatu system pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

Page 15: 1441-3414-1-SP

6

Berdasarkan hasil penelitian, potensi kearifan lokal yang ada di pulau Gili mencakup a) petik laut b) nyabis c) pengambek d) onjem dan rumpon e) kontrak kerja f) telasan g) andun. Masing-masing tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir umumnya masih dilakukan secara tradisional, mengikuti nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur, serta adanya kepercayaan atau mistis dan masih didasari oleh kekeluargaan atau musyawarah dalam keberlangsungan kegiatan tersebut. Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian umumnya ada hukum adat yang mengatur agar kearifan lokal dapat terjadi. Dasar kearifan lokal sebenarnya bersumber dari hukum adat dalam masyarakat. Kearifan lokal masyarakat pulau Gili dapat dijadikan sebagai upaya pemberdayaan lokal dalam aspek pengelolaan sumberdaya pesisir. Kearifan lokal memiliki kekuatan hukum yang dapat dijadikan sebagai pegangan atau tata aturan dalam menjalankan pemberdayaan lokal dan juga menyeimbangkan manusia dan lingkungan agar mampu meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa merusak kesetabilan ekosistem yang ada. Hasil penelitian menunjukan bahwa kearifan lokal berperan dalam pemberdayaan lokal, dimana unsur-unsur pembentuk kearifan lokal terdiri dari pengetahuan, pemahaman, adat kebiasaan, relasi manusia dengan lingkungan, sikap, perilaku.

Pemaparan singkat mengenai hasil penelitian dan alur pemikiran penulis dapat dilihat pada gambar 1 berikut. Kerangka konseptual yang terdapat dalam bagan 1 menunjukkan adanya hubungan antara kearifan lokal dan Community Based Management (CBM)

Keterangan:: Berhubungan

Gambar 1 Kerangka konseptual Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur

Analisis:Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Pulau Gili meliputi pengetahuan,

pemahaman, adat kebiasaan, relasi manusia dengan lingkungan mampu menjadi modal untuk melakukan pemberdayaan lokal dengan menggunakan Community Based Management (CBM). Kearifan lokal ini dijadikan sebagai dasar atau pegangan dalam melakukan pemberdayaan lokal. Hal ini dimaksudkan agar sesuai dengan aturan serta nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Pulau Gili. Konsep kearifan lokal dalam tulisan ini sudah dijelaskan dengan baik, konsep-konsep ini kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis kearifan lokal di Pulau Gili. Hasil yang dikemukakan mampu menggambarkan kondisi kearifan lokal yang ada di sana. Kearifan lokal ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk melakukan pemberdayaan lokal dengan menggunakan konsep Community Based Management (CBM). Hal ini menunjukan

Community Based Management (CBM)

Kearifan Lokal Pengetahuan Pemahaman adat kebiasaan relasi manusia dengan

lingkungan sikap perilaku

Page 16: 1441-3414-1-SP

7

bahwa kearifan lokal berkolerasi dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam melakukan pemberdayaan lokal dengan Community Based Management (CBM). 2 Judul :1. Kearifan Lokal Suku Amungme dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kabupaten Mimika Papua

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Frans P KaiarKota dan Nama Penerbit : -Nama Jurnal : EKOSAINSVolume (Edisi) Halaman : 05(01): 35-43Alamat URL : http://jurnal.pasca.uns.ac.id/index.php/

ekosains/article/view/279Tanggal Unduh : 9 September 2014

Jurnal ‘

Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam sistem sosial budaya masyarakat di suatu wilayah dapat dijadikan sebagai tata aturan bagi masyarakat sekitarnya. Aturan ini dapat menjadikan manusia bersikap dan berperilaku baik sesama manusia maupun dengan lingkungan alam sekitar sebagaimana mestinya. Seperti yang diungkapkan oleh penulis mengutip Keraf (2010) kearifan lokal (tradisional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Selain itu penulis juga mengemukakan konsep mengenai masyarakat adat seperti yang dikutip oleh Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus-menerus secara turun temurun. Konsep tersebut juga diperkuat oleh penulis dengan mengutip Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun (1999) mengatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun atas satu wilayah adat, yang diatur oleh hukum adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Masyarakat suku Amungme termasuk ke dalam golongan masyarakat adat. Seperti yang diungkapkan oleh penulis masyarakat adat adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat Suku Amungme yang memiliki kearifan Lokal yakni mereka menganggap “tanah” sebagai figur seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah juga dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu, tempat pemakaman dan juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur. Beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat oleh Suku Amungme. Magaboarat Negel Jombei-Peibei adalah tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan bagi mereka.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, adanya kebijakan dari pemerintah yaitu masuknya pertambangan Freeport membuat kestabilan ekosistem masyarakat Suku Amungme menjadi terguncang. Kehadiran Freeport yang mengambil alih seluruh tanah masyarakat menyebabkan perubahan yaitu lenyapnya beberapa puncak gunung yang bernilai magis dan mitologis bagi mereka. Namun, masyarakat suku Amungme

Page 17: 1441-3414-1-SP

8

tetap menjaga kearifan lokal yang mereka miliki walaupun ada beberapa kearifan lokal yang sudah terkikis akibat masuknya freeport. Pemujaan terhadap roh leluhur tetap dipraktikkan meskipun sebagian besar dari mereka telah beragama Katolik dan Kristen. Agama Katolik dan Kristen merupakan hasil dari praktik zending yang dibawa oleh para misionaris Belanda. Adanya kearifan lokal yang dimilki oleh masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan terkait pengelolaan sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah tempat mereka tinggal. Adanya pengelolaan sumberdaya alam yang kurang memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat lokal akan dapat menimbulkan konlik terutama dalam pengelolaan, alternatif pengelolaan lahan, dan pemetaan sumberdaya alam serta kepentingan antar kelompok masyarakat lokal.

Gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan oeh penulis menunjukkan bahwa faktor ekternal yang meliputi pembangunan dan juga kebijakan dapat mempengaruhi tingkat kerusakan lingkungan yang akhirnya berdampak pada terkikisnya kearifan lokal masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pola adaptasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

Keterangan:: Berpengaruh

Gambar 2. Kerangka Konseptual Kearifan Lokal Suku Amungme dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kabupaten Mimika Papua

AnalisisAdanya pembangunan atau kebijakan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat

lokal yang ada di sekitar wilayah Suku Amungme akan mengganggu kestabilan sistem sosial budaya yang mereka miliki. Faktor eksternal ini kemudian menyebabkan kerusakan lingkungan sekitar masyarakat Suku Amungme. Masyarakat Suku Amungme yang memiliki kearifan lokal seperti selalu menjaga lingkungan tempat mereka tinggal, mengelola sumberdaya alam sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki, serta memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang dianggap gaib kemudian perlahan menjadi terkikis. Terkikisnya kearifan lokal yang dimiliki Masyarakat Suku Amungme ini juga disebabkan karena lemahnya kelembagaan lokal yang mereka miliki. Selain itu, keberpihakkan pemerintah kepada masyarakat lokal juga masih kurang. Masuknya modernisasi dan adanya kebijakan ini juga menjadi pemicu potensi konflik sosial karena berbagai kepentingan komunitas yang ada. Konsep yang digunakan dalam penulisan ini akan lebih baik jika ditambahkan dengan konsep modal sosial terutama pernan jaringan

Faktor Eksternal

Pembangunan Kebijakan

pemerintah

Tingkat kerusakan lingkungan

Pola adaptasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal

Terkikisnya Kearifan Lokal Masyarakat Amungme

Page 18: 1441-3414-1-SP

9

dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam antara masyarakat lokal dengan pihak Freeport.

3. Judul :2. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy

Tahun : 2011Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Raden Cecep Eka Permana, Isman

Pratama Nasution, dan Jajang GunawijayaKota dan Nama Penerbit : -Nama Jurnal : MAKARA, SOSIAL HUMANIORAVolume (Edisi) Halaman : 15(01): 67-76Alamat URL : http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/

article/view/954Tanggal Unduh : 9 September 2014

Jurnal ‘Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy’ (Raden Cecep Eka Permana RCE dkk 2011)

Masyarakat adat umumnya memiliki pengetahuan lokal tersendiri. Pengetahuan lokal ini dipakai untuk menjaga lingkungan tempat tinggal mereka. Seperti halnya masyarakat Baduy, mereka menggunakan kearifan lokal yang mereka miliki sebagai mitigasi bencana alam. Konsep yang digunakan dalam penulisan ini seperti yang diungkapkan oleh penulis yang mengutip Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006), sedangkan konsep mengenai mitigasi bencana menurut penulis yaitu sebagai upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana. Menurut Subiyantoro (2010: 45) yang dikutip oleh penulis mitigasi bencana sesungguhnya berkaitan dengan siklus penanggulangan bencana berupa upaya penanganan sebelum terjadinya bencana. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003, mitigasi (diartikan juga sebagai penjinakan) diartikan sebagai upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan.

Masayarakat Baduy memiliki banyak kearifan lokal pada mitigasi bencana. Kearifnan lokal yang pertama adalah tradisi perladangan atau disebut huma. Pada tradisi perladangan ini, masyarakat Baduy melakukan perladangannya secara berpindah-pindah. Umumnya perladangan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy yaitu tanaman padi, mereka sangat menghormati padi, karena mereka percaya bahwa padi merupakan jelmaan dari Nyi Sri atau Dewi Padi. Padi yang mereka tanam menurut tradisi masyarakat Baduy tidak boleh diperjualbelikan, mereka menggunakan padi untuk upacara adat dan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tanah atau lahan yang ada pada masyaarakat baduy umumnya tidak datar atau miring, untuk mengantisipasi bencana longsor, mereka tidak melakukan penebangan pohon-pohon besar yang ada disekitar perladangan. tradisi ngahuru atau ngaduruk, tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Baduy yaitu membakar sisa-sisa tebangan di ladang. Masyarakat Baduy memilki pengetahuan tersendiri dalam melakukan pembakarannya dimana mereka berpatokan pada bintang. Jika mereka melihat bintang kidang (waluku) seperti pada posisi matahari pagi, maka waktunya mulai membakar sisa-sisa tebangan di ladang. selain itu pengetahuan lokal yang juga mereka praktekan saat melakukan pembakaran itu sendiri, dimana mereka mengumpulkan atau menumpuk sampah dengan ukuran

Page 19: 1441-3414-1-SP

10

besar, dan dikelilingi dengan gundukan sampah yang kecil-kecil mengelilingi gundukan sampah yang besar. Hal ini tidak menyebabkan kebarakan hutan bagi masyarakat Baduy. Tradisi dalam perladangan tidak boleh menggunakan peralatan pacul apalagi bajak, masyarakat Baduy meyakini bahwa dengan menggunakan peralatan tersebut akan merusak permukaan tanah dan dapat berakibat pada longsor. Oleh sebab itu dalam perladangan mereka menggunkan tugal.

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Baduy dalam mitigasi bencana alam selanjutnya yaitu bangunan tradisional. Bangunan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Baduy menggunakan bahan yang sederhana, dimana dalam pembuatan rumah mereka tidak menggunakan paku, mereka membuat rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu, ijuk, bambu dan rumbia. Hal ini didasari pada pengetahuan lokal yang mereka miliki, jiak terjadi gempa bumi, maka struktur bangunan akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kehancuran. Masyarakat Baduy juga memiliki kearifan lokal dalam aspek pembuatan lumbung padi, mereka membuat lumbung yang ada tiangnya agar tidak dimasuki tikus, mereka juga memiliki pengetahuan lokal yakni mengetahui jenis-jenis tanaman atau daun yang digunakan untuk melindungi padi agar tidak diganggu oleh hama.

Selanjutnya kearifan lokal dalam mitigasi bencana hutan dan air .Masyarakat Baduy juga memiliki kearifan lokal dalam menanggulangi bencana banjir dan juga longsor. Diamana mereka membagi hutan ke dalam tiga bagian, yaitu hutan larangan, hutan dungusan dan hutan garapan. Masing-masing hutan ini memiliki fungsi yang berbeda, hutan larangan dianggap masyarakat Baduy sebagai tempat keramat para leluhur. Hutan dungusan yang terdapat di hulu dimaksudkan agar dapat menahan resapan air agar tidak terjadi banjir dan juga lonngsor. Sedangkan hutan garapan, hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy dalam perladangan.

Berdasarkan uraian diatas tentang kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Baduy ternyata mampu mengatasi atau meminimalisir bencana alam yang dimungkinkan terjadi pada masyarakat Baduy, seperti upaya meminimalisir terjadinya banjir, longsor dan krisis air bersih. Upaya meminimalisir ini dilakukan masyarakat Baduy dengan melakukan ladang berpindah, pembangunan tradisional dan adanya pembagian zona hutan yang dapat dimanfaatkan dan tidak dapat dimanfaatkan. Oleh sebab itu, kearifan lokal berperan penting dalam mitigasi bencana. Pemaparan singkat dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.

Keterangan:: Mempengaruhi

Gambar 3. Kerangka Konseptual Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy

Kearifan lokal Mitigasi

bencana

Page 20: 1441-3414-1-SP

11

Analisis Kearifan lokal memiliki peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini dapat dilihat pada Masyarakat Baduy. Kearifan Lokal yang dimiliki masyarakat Baduy masih dipertahankan hingga saat ini. Kearifan lokal ini mampu memainkan berbagai peran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti aturan- aturan adat yang mereka kenal dengan pamali serta pengetahuan lokal yang mereka miliki dalam menjaga lingkungan. Kearifan lokal ini juga yang berperan dalam upaya pencegahan bencana alam. Hal ini menunjukan bahwa kearifan lokal memiliki peranan yang sangat penting dalam mitigasi bencana pada Masyarakat Baduy. Namun, tulisan ini hanya memfokuskan penelitian pada konsep kearifan lokal saja sehingga kurang mampu memberikan gambaran mengenai peranan faktor-faktor lain yang mampengaruhi seperti peranan kelembagaan lokal yang ada di Masyarakat Baduy. Selain itu penelitian ini juga dapat menggunakan konsep modal sosial untuk menggambarkan keharmonisan interaksi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam mereka.

4. Judul :3. Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huluya Desa Bongoime Provinsi Gorontalo

Tahun : 2013Jenis Pustaka : SkripsiBentuk Pustaka : CetakNama Penulis : Faris Budiman AnnasKota dan Nama Penerbit : -Nama Jurnal : -Volume (Edisi) Halaman : -Alamat URL : -Tanggal Unduh : -

Penulis mengunakan konsep kearifan lokal, salah satu konsep yang dikutip oleh penulis yaitu menurut Ridwan (2007) yang menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang didasarkan pada nilai-nilai budaya lokal.Kearifan lokal dapat dirasakan melalui kehidupan sehari-hari masyarakat karena akhir dari sedimentasi kearifan lokal. Konsep yang juga digunakan dalam tulisan ini yaitu konsep mengenai bentuk-bentuk kearifan lokal yang diungkapkan oleh Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Selain itu penulis juga menggunakan konsep mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku.

Kearifan lokal tidaklah bersifat statis melainkan bersifat dinamis. Kearifan lokal yang bersifat dinamis inilah yang tak jarang membuat kearifan lokal yang ada disuatu wilayah mengalami pelemahan atau penguatan di mata masyarakat. Seperti yang diketahui, kearifan lokal adalah aturan, nilai dan norma yang terkandung di dalam masyarakat secara turun-turun. Kearifan lokal yang ada di masyarakat Bongoime dikenal dengan Huluya. Huluya merupakan sistem saling membantu antara anggota keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar untuk kepentingan bersama. Huluya ini mampu dijadikan sebagai landasan bagi masyarakat Bongoime untuk hidup saling tolong-menolong dan juga bergotong royong.

Praktek langsung yang dirasakan dengan adanya kearifan lokal Huluya ini yaitu acara kematian, kerja bakti, pembersihan lingkungan pedesaan, pembuatan jalan,

Page 21: 1441-3414-1-SP

12

pembersihan saluran irigasi, maupun kegiatan pertanian. Huluya sebagai suatu bentuk kearifan lokal yang dijadikan sebagai solusi yang dapat membantu petani dalam pengelolaan pertanian padi sawah. Namun, sistem huluya semenjak era reformasi sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Bongoime. Hal ini dikarenakan sudah ada sistem upah dalam pengelolaan lahan dan penanaman. Akan tetapi kearifan lokal Huluya di masyarakat Bongoime masih diterapkan pada aspek pembersihan saluran irigasi.

Terkikisnya kearifan lokal huluya dalam bidang pertanian padi sawah disebabkan karena pembangunan yang terus berkembang dan kemajuan tekhnologi yang ada seperti munculnya traktor dan lain sebagainya. Guna mengetahui eksistensi kearifan lokal huluya di mata masyarakat Bongoime dilakukanlah penelitian dengan menggunakan faktor internal dan juga faktor eksternal. Faktor internal meliputi umur, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, pekerjaan non pertanian, sedangkan faktor eksternal meliputi intensitas penyuluhan. Faktor internal dan juga faktor eksternal ini berhubungan dengan tinggat kearifan lokal yang meliputi pengetahuan, sikap dan juga perilaku masyarakat dalam Bongoime. Faktor usia dan intensitas penyuluhan mempengaruhi pengetahuan, sikap dan juga perikalu petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi usia petani dan juga semakin tinggi intensitas penyuluhan maka semakin tinggi juga pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huluya.

Kearifan lokal huluya harus tetap dilestarikan oleh masyarakat Bongoime guna menjaga nilai-nilai yang ada di masyarakat tersebut. Selain itu kearifan Huluya ini akan mampu menjaga solidaritas kekeluargaan dimasyarakat sekitar. Peranan masyarakat serta pihak-pihak yang terkait sangat diperlukan untuk menjaga agar kearifan huluya ini tetap terjaga eksistensinya. Perlu adanya sosialisasi yang dilakukan secara rutin kepada generasi muda mengenai manfaat positif dengan adanya kearifan lokal huluya tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tambak bahwa pembangunan menyebabkan terkikisnya kearifan lokal. Hal ini berpengaruh pada eksistensi dari kearifan lokal itu sendiri. Keterkaiatan antara ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Keterangan:

: Mempengaruhi

Gambar 4. Kerangka Konseptual Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huluya Desa Bongoime Provinsi Gorontalo

Analisis:Masuknya pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Desa

Bongoime berdampak terhadap kestabilan dan eksistensi kearifan lokal yang ada di Masyarakat tersebut. Pembangunan di Desa Bongoime terbukti mengakibatkan terkikisnya kearifan lokal yang selama ini masyarakat pertahankan. Sehingga berpengaruh pada eksistensi kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Bongoime tersebut. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu konsep perubahan perilaku pada masyarakat di Desa Bongoime. Namun, penulis tidak melengkapinya dengan konsep lain seperti peranan kelembagaan lokal dalam implementasi kearifan lokal. Selain itu tulisan ini juga dapat dilengkapi dengan penggunaan konsep gender untuk

Pembangunan Terkikisnya Kearifan

Lokal

Eksistensi Kearifan Lokal

Page 22: 1441-3414-1-SP

13

melihat pengaruh pembangunan terhadap pembagian kerja dalam mengelola sumberdaya alam5. Judul : Kearifan Lokal Orang Bajo

dalam Pengelolaan Sumber Daya LautTahun : 2012Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : BahtiarKota dan Nama Penerbit : -Nama Jurnal : WalisongoVolume (Edisi) Halaman : 27 (02): 178-185Alamat URL : http://repo.isidps.ac.id/1654/1/007._Bahtiar.pdfTanggal Unduh : 4 Oktober 2014

Tulisan ini menggunakan konsep dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Penulis mengutip Wahyudin (2005) bahwa proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih memperhatikan masyarakat dan kebudayaannya, baik sebagai bagian dari subjek maupun objek pengelolaan tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Masyarakat Suku Bajo di Tiworo Kepulauan dan Napa Balano Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara memiliki bentuk kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya perairan yang ada di lingkungan mereka. Terdapat dua bentuk kearifan lokal yang digunakan suku Bajo untuk tetap menjaga dan melindungi ekosistem perairan mereka, yaitu ongko dan pamali (pantang larang). Masyarakat Bajo memiliki kepercayaan tersendiri terhadap laut yang mereka miliki, dimana mereka meyakini bahwasaannya ada Mbo atau dewa laut yang menjadi penghuni laut. Oleh sebab itu, Masyarakat suku Bajo kerap melakukan upacara atau berdoa terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan kepada dewa laut dan juga dimaksudkan agar dewa laut memberikan rezeki dan melindungi mereka saat melaut. Konsep pamali yang dipegang oleh masyarakat Bajo ini membuat banyak larangan yang dipatuhi oleh masyarakat setempat. Masyarakat dilarang untuk mengambil ikan disekitar karang, menangkap ikan gurita, ikan hiu, ikan lumba-lumba dan juga binatang laut lainnya yang merupakan jelmaan dari dewa laut. Suku Bajo juga bersikap sesuai dengan aturan, adat dan norma yang ada di masyarakat. Mereka percaya bahwa akan ada musibah yang mereka terima jika mereka tidak mentaati aturan serta berprilaku sebagaimana mestinya. Budaya pamali yang sangat dipatuhi oleh orang Bajo ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan laut, terutama lingkungan sekitar terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut. Kearifan lokal yang juga diterapkan pada suku Bojo dalam mengelola sumberdaya laut dikenal dengan ongko.

Sistem ongko merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan cara memanfaatkan wilayah laut sebagai areal tangkapan, mengatur tingkat eksploitasinya termasuk melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan. Dalam ongko juga diatur tentang sistem kepemilikan, teknik-teknik penangkapan dan peralatan tangkap yang akan digunakan, serta sumber daya yang akan ditangkap dan dikumpulkan. Masyarakat suku Bajo memiliki aturan tersendiri yang disepakati untuk wilayah tangkapan ikan bagi mereka, batas wilayah tangkapan bagi suku Bajo yaitu sejauh mata memandang. Hal ini di maksudkan agar mereka mengetahui langsung adanya orang asing atau orang yang bukan dari suku Bajo menangkap atau mengambil ikan di wilayah perairan mereka.

Page 23: 1441-3414-1-SP

14

Masyarakat suku Bajo juga menetapkan aturan bagi penduduk lain yang bukan orang asli Bajo untuk menangkap ikan di laut mereka akan dikenakan denda sesuai aturan yang telah disepakali. Adanya kearifan lokal yang ada di suku Bojo yaitu pamali dan juga ongko yang dijadikan sebagai budaya untuk dipatuhi oleh orang Bajo merupakan wujud kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan laut, terutama lingkungan sekitar terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut dan hasil-hasil laut lainnya.

Uraian singkat mengenai bentuk kearifan lokal yang ada di Suku Orang Bajo serta kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Keterangan:: Berhubungan

Gambar 5. Kerangka Konseptual Kearifan Lokal Orang Bajodalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

Analisis:Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan

kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Bajo. Hal ini dapat digunakan sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya kearifan lokal yang ada disuatu wilayah. Bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Bajo diantaranya Ongko dan Juga Pamali. Bentuk kearifan lokal ini dapat dijadikan sebagai kontrol sosial masyarakat Bajo dalam menjaga lingkungan alam mereka. Tulisan ini juga sudah memaparkan tentang aturan adat atau kelembagaan lokal yang ada disana, hanya saja hasil temuan yang didapatkatkan belum didukung dengan konsep atau teori yang jelas. Penelitian ini juga dapat menggunakan konsep Comunity Based Managenet (CBM) seperti yang digunakan dalam penelitian Juniarta dkk (2013).

Bentuk kearifan lokal

Ongko Pamali atau tabo

Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan

Page 24: 1441-3414-1-SP

15

6. Judul : Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam

Tahun : 2012Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Ira IndrawardanaKota dan Nama Penerbit

: -

Nama Jurnal : KomunitasVolume (Edisi) Halaman

: 4 (1): 1-8

Alamat URL : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2390

Tanggal Unduh : 8 Oktober 2014

Hasil penelitian ini diperkaya dengan menggunakan konsep kearifan lokal seperti yang penulis gunakan mengutip (Hidayat 2000), kearifan tradisional adalah instrument pemelihara lingkungan yang paling baik. Selain itu penulis juga mengutip Koentjaraningrat (1981) bahwa masyarakat petani Indonesia hidup selaras dengan alam sebagai suatu konsepsi yang lazim dalam mentalitas petani Indonesia. Hidup selarat dengan alam yang dilakukan oleh masyarakat Sunda dalam penelitian ini mampu menjaga kestabilan lingkungan mereka.

Masyarakat Sunda khususnya Masyarakat Adat Kanekes secara umum merasa terikat dengan alam dan lingkungannya. Masyarakat adat Kanekes ini beranggapan bahwa alam bukanlah sesuatu yang harus ditakhlukkan, melainkan harus dihormati, dirawat dan dipelihara dengan baik. Adanya kesadaran masyarakat adat Kanekes terhadap lingkungan alam membuat hubungan yang terjalin diantara keduanya berjalan harmonis. Hubungan harmonis yang terjalin antara masyarakat adat dengan lingkungan alam sekitar tidak terlepas dari peranan kearifan lokal. Kearifan lokal yang di dalamnya terkandung pengetahuan lokal dari masyarakat adat di pakai sebagai landasan bagi masyarakat dalam mengelola alam sekitarnya. Pengetahuan lokal yang mereka miliki tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya dimana nilai-nilai tersebut diperoleh dari warisan para leluhur terdahulu. Hal ini dapat dilihat dari cara bertani masyarakat adat Kanekes yang harus melaksanakan tradisi kepercayaan mereka berupa sesajen, tumbal-tumbal hewan serta benda-benda lainnya. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat karena dipercaya akan menanggulangi permasalahan kehidupan yang mereka rasakan.

Masyarakat adat Kanekas tidak memandang alam atau lingkungan dari sisi ekomomi semata, melainkan mereka menganggap alam dari aspek sastra alam yang sering dijadikan sebagai lambang bagi kehidupan manusia, etik dan estetik. Adanya anggapan tersebut membuat alam dijadikan sebagai pengandaian dan juga dijadikan sebagai perumpamaan tabiat perilaku manusia. Sehingga mereka dengan sendirinya mengetahui dan memahami nilai-nilai yang dimaksud dalam perumpamaan dan pengandaian tersebut. Selain itu, kehidupan masyarakat adat Kanekas yang masih terikat pada tradisi adat membuat mereka secara khusus memiliki sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan ini tersusun dalam hubungan mereka terhadap dunia nyata maupun dunia tidak nyata. Secara empiric biasnya lingkungan tempat tempat tinggal mereka dibagi dalam batasan lingkungan alam yang (1) disucikan berupa kabuyutan, (2) boleh

Page 25: 1441-3414-1-SP

16

digarap atau dimanfaatkan untuk kehidupan tetapi tidak boleh mendirikan tempat tinggal , (3) boleh mendirikan tempat tinggal. Adanya aturan tersebut membuat masyarakat adat Kanekas senantiasa mentaatinya. Selain itu, masyarakat adat Kanekas juga memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal yang ada, norma-norma serta sistem kepercayaan yang berlaku dalam mengelola lingkungan alam sekitar. hal tersebut membuat hubungan masyarakat yang terjalin dengan alam menjadi seimbang.

Kearifan lokal yang ada dalam masyarakat adat sunda tidak terlepas dari modal sosial yang ada dalam masyarakat. Kearifan lokal masyarakat adat sunda ini kemudian dapat digunakan sebagai salah satu upaya pengolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat. Singkatnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Keterangan:: Mempengaruhi

Gambar 6. Kerangka Konseptual Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam

Analisis:Masyarakat Sunda khususnya Masyarakat Adat Kanekes memiliki kearifan lokal

dalam menjaga lingkungan tempat tinggal mereka. Adanya kearifan lokal yang dimiliki masyarakat mempengaruhi implementasi dari kearifan lokal itu sendiri. Implementasi kearifan lokal ini mampu mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal, dimana kearifan lokal dapat dijadikan sebagai pegangan atau dasar aturan bagi masyarakat dalam berperilaku. Tulisan ini sudah mampu menggambarkan hubungan kearifan lokal masyarakat adat dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Selain itu, bentuk-bentuk kearifan lokal juga dipaparkan dengan baik dalam tulisan ini. Namun, peranan modal sosial pada tulisan ini dijelaskan secara eksplisit dan tidak dijelaskan secara terperinci. Tulisan ini juga tidak dilengkapi dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penulisan. Sehingga, konsep mengenai modal sosial dapat dijadikan sebagai pelengkap dari tulisan ini. Dengan demikian,dapat dilihat peranan modal sosial dalam implementasi kearifan lokal yang ada. Konsep mengenai kelembagaan lokal yang mampu menjaga kestabilan kehidupan masyarakat dalam menjaga alam serta hidup selaras dengan alam juga tidak dijelaskan.

Implementasi kearifan lokal

Modal sosial

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakakat

Bentuk kearifan lokal

Page 26: 1441-3414-1-SP

17

7 Judul : Pengetahuan Lokal Masyarakat Kesepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis

Tahun : 2008Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Rita Rahmawati, Subair, Idris, Gentini, Dian

Ekowati, Usep SetiawanKota dan Nama Penerbit : -Nama Jurnal : SoladityVolume (Edisi) Halaman : 2 (2): 151-190Alamat URL : http:// journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/

viewArticle/5886 Tanggal Unduh : 8 Oktober 2014

Pengetahuan lokal seperti yang penulis kutip oleh Geriya (2009) yaitu kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Berkes (1995) juaga mengemukakan bahwa pengetahuan lokal dalam aspek ekologis dan juga pengetahuan lokal tentang sistem nafkah, sangat penting peranannya dalam konservasi biodeversity, dalam arti dengan sistem pengetahuan tersebut diperoleh “suistainable use for human benefit without compromisng the interest of future generation”. Berkes juga menambahkan bahwa kekuatan utama sistem pengetahuan lokal yaitu self interes, sistem pengetahuan yang akumulatif, pengetahuan yang potensial. Selain itu konsep pembanguanan juga penulis kemukaka mengutip Hobart (1993) diamana pembangunan yang dirancang secara top down tanpa melibatkan partisipasi penduduk setempat sehingga gagal mengakui secara tepat pentingnya dan berpotensinya pengetahuan lokal.

Tulisan ini menceritakan tentang masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal. Masyarakat adat Kesepuhan hidup disekitar Taman Nasional Gunung Halimun Slak (TNGHS). Masyarakat adat ini memiliki pengetahuan lokal yang diwarisi secara turun-menurun oleh para leluhur mereka. Pengetahuan lokal masyarakat Kesepuhan dapat dilihat dari cara pengolahan lahan pertanian mereka. Masyarakat hanya menanam padi dengan jenis tertentu, pantang menjual beras, dan juga perintah untuk berpindah tempat merupakan tradisi yang harus dijalankan oleh masyarakat. Mereka percaya jika mengingkari taradisi tersebut maka mereka akan mendapatkan hukum adat yang disebut kabenon, diamana mereka akan terkena sakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Masyarakat yang melanggar tradisi ini harus mengakui kesalahan terlebih dahulu dan meminta maaf kepada leluhur agar dapat sembuh dari sakit yang diderita.

Sumber utama matapencaharian masyarakat ialah sebagai petani, baik petani ladang maupun petani padi sawah. pengelolahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat masih menggunakan sistem tradisional dimana mereka melakukan penanaman padi setahun sekali. Hal ini mereka lakukakan demi penghormatan kepada “Ibu Bumi”. Tradisi lain yang mereka lakukan yaitu melakukan upacara terlebih dahulu sebelum melakukan penanaman, setelah usia padi sudah memasuki fase berbunga upacara selamatan juga dilakukan. upaca ini dilakukan mereka agar hasil yang mereka dapatkan banyak. Penanaman padi dialakukan oleh masyarakat adat secara serentak dengan melihat langit dan juga karti atau kidang sebagai patokan mereka untuk memulai melakukan penanman padi dengan melihat tanda tersebut. Masyarakat adat memiliki

Page 27: 1441-3414-1-SP

18

tempat tersendiri yang dijadikan sebagai tempat padi atau disebut leuit, yang masing-masing rumah minimal memiliki satu tempat penyimpanan padi. Adanya refolusi hijau yang menjadi program pemerintah membuat tradisi mereka menjadi berubah, dimana masyarakat dipaksa untuk menanam padi sebanyak dua kali setahun atau bahkan tiga kali dalam setahun. Namun, program ini tidak mendatangkan manfaat bagi mereka. penggunaan pupuk kimia yang awalnya mereka anggap tabuh menjadi biasa dilakukan, tanah-tanah menjadi tidak subur, padi yang mereka hasilkan harus langsung dijual kepasar karena padi yang dihasilkan tidak tahan lama. Hal demikian membuat masyarakat adat kembali kepada pengetahuan lokal yang mereka miliki dalam hal pengelolaan padi sawah. Masyarakat adat tidak hanya bertumpu pada tanaman padi, mereka menanam tanaman keras yang kemudian dijadikan sebagai alat bangunan bagi rumah mereka. selain itu mereka juga menanam tanaman palawija dan juga budidaya ternak. Kehidupan masyarakat adat yang sangat selaras dengan alam ini menjadi tergoncang, masuknya modernisasi membuat nilai-nilai kearifan yang ada dimasyarakat menjadi terkikis seperti bangunan rumah yang sudah menggunakan genteng dan seng, adanya televisi, handphone dan lain sebagainya. Namun, nilai-nilai kearifan lainnya seperti tradisi-tradisi masih tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Masyarakat adat tidak semata-mata langsung mengadopsi teknologi dan lain sebagainya akibat adanya modernisasi, mereka harus izin terlebh dahulu kapada “Abah” kemudian Abah baru mendapatkan wangsit dari leluhur mengenai hal tersebut boleh atau tidaknya dilakukan.

Masyarakat Kesepuhan memandang kawasan gunung halimun sebagai wilayah adat mereka, sehingga mereka membagi zona menurut warisan terdahulu yaitu: hutan titipan, hutan tutupan dan hutan garapan. Masyarakat mengenal persisi hutan yang boleh mereka ambil manfaatnya, hutan yang dilarang karena dipercaya sebagai daerah resapan air dan hutan yang memang tidak boleh disentuh. Namun, adanya kebijakan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tentang perluasan Taman Nasional yang tadinya milik perhutani menjadi kawasan Taman Nasional. Hal ini berimplikasi terhadap hak akses warga untuk menggarap lahan dikawasan tersebut. Terbitnya SK perluasan tersebut pihak pengelola TNGHS mengeluarkan perintah penghentian semua aktivitas pada daerah kawasan Taman Nasional. Hal ini tentu saja menjadi pemicu konflik antara masyarakat adat dengan pihak TNGHS. Pengetahuan masyarakat lokal dan peranannya tidak dilibatkan dalam pengelolaan kawasan TNGHS sehingga konflik antar keduanya kerap kali mencuat di masyarakat.

Penjelasan mengenai pengetahuan lokal Masyarakat Adat Kesepuhan dimana pengetahuan loal serta kelembagaan lokal yang ada di masyarakat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Masuknya modernisasi dan adanya kebijakan dari pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat mengakibatkan bergesernya nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat. Apabila hal ini dibiarkan lebih lanjut maka akan memicu timbulnya konflik karena masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Penjelasan lebih singkat dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Page 28: 1441-3414-1-SP

19

Keterangan:: Mempengaruhi: Korelasi negatif

Gambar 7. Kerangka Konseptual Pengetahuan Lokal Masyarakat Kesepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis

Analisis:Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat melibatkan peranan

kelembagaan lokal yang ada di Masyarakat Kesepuhan. Masuknya modernisasi dan juga kebijakan dari pemerintah mengenai kawasan THGS meminggirkan masyarakat adat yang awalnya bermukim disana. Selain itu, masuknya modernisasi dan juga kebijakan membuat nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki menjadi terkikis. Namun, nilai kearifan lokal yang tetap mereka jaga membuat mereka harus melakukan strategi nafkah untuk kelangsungan hidup. Masyarakat Adat Kesepuhan yang tidak dianggap keberadaannya dalam mengeluarkan kebijakan, akhirnya menimbulkan konflik antara Masyarakat Adat Kesepuhan dengan pengelola THGS. Tulisan ini sudah memaparkan konsep-konsep mengenai strategi nafkah, pengetahuan lokal dan kelembagaan lokal yang ada pada masyarakat kesepuhan degan baik. Tulisan ini juga dapat ditambahkan mengenai konsep gender, diamana peran kerja antara laki-laki dan juga perempuan dalam upaya strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat Kesepuhan. Selain itu, tulisan ini juga dapat menambahkan konsep-konsep yang berkaitan dengan upaya penanggulangan konflik.

Strategi nafkah

Pengetahuan lokal Pengelolaan SDA berbasis masyarakat

Kelembagaan lokal

Teknologi

gi

Modernisasi

Kebijakan pengelolahan

SDA dikawsan TNGHS

Pergeseran sistem nilai

Konflik

Page 29: 1441-3414-1-SP

20

8. Judul : Adaptasi Sistem Penghidupan Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano Di Desa Concong Luar Kabupaten Indragili Hilir Provinsi Riau

Tahun : 2012Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Viktor AmrifoKota dan Nama Penerbit

: -

Nama Jurnal : Berkala Perikanan TerubukVolume (Edisi) Halaman

: 40 (02) : 1-12

Alamat URL : ejournal.unri.ac.id/index.php/JT/article/download/1768/1739

Tanggal Unduh : 8 Oktober 2014

Jurnal ‘Adaptasi Sistem Pean Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano Di Desa Concong Luar Kabupaten Indragili Hilir Provinsi Riau’ (Amrifo V 2012)

Era globalisasi mendatangkan guncangan bagi masyarakat adat Suku Duano. Masyarakat Suku Duano tergolong dalam Ras Proto Melayu yang tinggal di kawasan Indragiri Hilir. Mereka mendiami perahu sebagai tempat tinggal dan juga rumah panggung. Masyarakat adat ini beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka tinggal, awalnya masyarakat melakukan sistem penghidupan dari kegiatan berburu, meramu dan juga hortikultura sederhana. Masuknya modernisasi dalam kehidupan masyarakat adat membuat masyarakat harus beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Lingkungan sekitar yang merupakan kawasan laut dan juga sungai menjadikan nelayan sebagai sumber matapencaharian utama mereka. hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh langsung dijual kepada tauke sedagkan ikan yang tidak laku terjual mereka konsumsi sendiri.

Tulisan ini berisikan adanya adaptasi stategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lokasi tempat tinggal yang banyak lumpur membuat masyarakat juga mengambil kerang untuk tambahan dalam pemenuhan kebutuhan. Kegiatan pengambilan kerang ini dilakukan menggunakan tangan dengan memungut langsung kerang-kerang yang ada di lumpur. Menongkah adalah salah satu kearifan lokal yang ada di masyarakat. Menongkah berasal dari kata dasar tongkah yang berarti sebilah papan datar dari kayu alam yang berukuran kurang lebih 40x100 cm. Menongkah adalah alat bantu bagi masyarakat untuk meluncur diatas lumpur dalam kegiatan mengumpulkan kerang. Kegiatan ini telah menjadi simbol-simbol bagi masayarakat Suku Duano yang menunjukan kekhasan sistem penghidupan mereka. Selain itu, masuknya sistem ekonomi pasar dalam kehidupan masyarakat adat Suku Duano mulai mengarahkan mereka pada kegiatan budidaya kerang. Kegiatan menongkah dalam pandangan ekonomi pasar terlalu tergantung pada tenaga manusia dan kondisi alam, sehingga mereka beralih pada budidaya kerang. Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat mengikuti perubahan lingkungan bio-fisik dan juga keterbatasan akses akibat adanya kebijakan. Perubahan ini mengharuskan masyarakat untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan mereka, beralih pada sumber-sumber alam yang lain atau mencari lokasi baru dapat dijadikan alternatif untuk melanjutkan penghidupan.

Page 30: 1441-3414-1-SP

21

Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa modernisasi dan kebijakan mempengaruhi strategi nafkah masyarakat adat. Penjelasan singkat mengenai hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar berikut.

Keterangan:: mempengaruhi

Gambar 8. Kerangka Konseptual Adaptasi Sistem Penghidupan Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano Di Desa Concong Luar Kabupaten Indragili Hilir

Provinsi Riau

Analisis:Adanya modernisasi dan juga kebijakan membuat masyarakat adat melakukan

adaptasi dalam strategi nafkah rumah tangga. Konsep mengenai strategi nafkah tidak dijelaskan dengan secara tegas dan rinci oleh penulis. Konse-konsep lain seperti konsep mengenai kelembagaan lokal yang mengatur nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat juga perlu ditambahkan untuk memperkaya argumen penulis serta menambah wawasan pengetahuan. Konsep mengenai stategi nafkah dan juga kearifan lokal ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan struktur nafkah masyarakat setelah masuknya modernisasi, sedangkan kelembagaan okal untuk melihat peranan kelembagaan lokal yang ada dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang ada dimasyarakat adat. Strategi nafkah yang dilakukan oleh masyarakat tentu saja tidak terlepas dari peranan gender. Oleh sebab itu, konsep mengenai peranan gender juga dapat digunakan dalam penelitian ini.

9. Judul : Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat

Tahun : 2010Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Dyah Ita Mardyaningsih, Arya Hadi Dharmawan,

Fredian TonnyKota dan Nama Penerbit

: -

Nama Jurnal : SodalityVolume (Edisi) Halaman

: 04 (01) : 115-145

Alamat URL : journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/5850/4515

Tanggal Unduh : 8 Oktober 2014Jurnal ‘Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat’ (Mardyaningsih dkk 2010)

Konsep strategi nafkah yang digunakan oleh penulis yaitu mengutip Farrington et.al (1999) dalam Dharmawan (2007) dimana terdapat lima jenis sumber nafkah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pedesaan untuk mempertahankan hidupnya yaitu: 1) financial capital 2) physical capital 3) natural capital 4) human capital 5) social capital. Konsep ini akan digunakan dalam penelitian selanjutnya.

Modernisasi kebijakan Strategi nafkahMasyarakat

adat

Page 31: 1441-3414-1-SP

22

Tulisan ini membandingkan dua lokasi yang berbeda yaitu Komunitas Kesepuhan Sinar Resmi, Kabupaten Sukabumi dan Desa Sumurjaya Kabupaten Subang. Pemilihan dua lokasi yang berbeda ini dilakukan untuk membandingkan strategi nafkah yang terjadi pada masyarakat yang masih memiliki kelembagaan lokal (masyarakat Kesepuhan) dengan masyarakat yang sudah terkena imbas dari adanya modernisasi (masyarakat Sumurjaya). Kedua komunitas ini memiliki sumber nafkah modal alam, dimana mereka memanfaatkan lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kepemilikan tanah pada masyarakat Kesepuhan yaitu kepemilikan secara komunal, pola penguasaan lahan komunal ini digarap secara bersama-bersama oleh masyarakat dalam sistem gotong royong. Lahan yang ada diolah oleh masyarakat dengan mengikuti aturan adat yang ada. Selain itu, hasil yag diperoleh tidak boleh diperjual belikan. Awalnya masyarakat Desa Sumurjaya melakukan hal yang sama dengan masyarakat Kesepuhan. Masuknya modernisasi seperti BIMAS, SUPRA, SUPRA INSUS, INMAS, dan POMPANISASI membuat tatanan aturan yang ada bergeser dan mengalami perubahan. Perubahan yang paling terasa bagi masyarakat akibat adanya POMPANISASI untuk pengairan. Program pompanisasi untuk memperlancar sistem pengairan telah meningkatkan produktivitas dan intensitas tanam yang sebelumnya hanya dilakukan satu kali dalam setahun menjadi dua kali atau tiga kali. Masuknya pompanisasi awalnya dikordinir oleh kelompok tani dan biaya operasional ditanggung bersama oleh masyarakat. Seiring berjalannya waktu, petani-petani kaya yang umumnya memiliki lahan luas banyak membeli sendiri sistem pompanisasi untuk menekan harga produksi mereka, sehingga pompa air bersama tidak dipakai lagi sampai sekarang. Hal tersebut kemudian diikuti dengan tingkat komersialisasi yang semakin tinggi dalam pengolahan lahan pertanian dan penggunaan tenaga kerja dalam pertanian. Masyarakat akhirnya mengenal dengan istilah upah kerja, bagi masyarakat yang memiliki lahan menengah ke bawah mereka umumnya masih menggunakan sistem ngepak ngedok untuk jaminan tenaga kerja bagi pemilik lahan dan jaminan kesempatan panen bagi buruh tani. Sistem upah yang dilakukan oleh masyarakat membuat hubungan sosial kemasyarakatan petani yang memiliki lahan luas dengan para buruh tani relatif lebih longgar, sebagian dari mereka menerapkan sistem patron klien. Hal ini tentu saja berbeda dengan masyarakat Kesepuhan, dimana modal sosial dalam sistem kepercayaan antar masyarakat relatif tinggi. Masyarakat yang menjadi buruh tani atau memiliki lahan sempit bisa mengambil sendiri padi yang ada di leuit Abah sebagai upah yang mereka terima. Masyarakat Kesepuhan juga tidak mengenal istilah komersialisasi, masyarakat masih memakai sistem ngepak ngedok dalam pengolahan lahan pertanian mereka.

Masyarakat Kesepuhan yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan juga buruh tani melakukan strategi nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aturan adat yang mengharuskan mereka untuk menanam padi satu tahun sekali sedangkan hasil panen yang mereka dapat tidak boleh untuk dijual, membuat masyarakat melakukan stategi nafkah dengan pola nafkah ganda dan juga multiple actors. Masyarakat menanam tanaman palawija, menanam obat-obatan, ternak, menjual kayu, daun rumbia, menyewakan penginapan, berdagang dan ojeg. Pada aspek pengolahan lahan pertanian padi swah, peranan laki-laki dan juga perempuan dalam melakukan pengolahan lahan sampai penen terlihat ada yang berbeda dari beberapa jenis kegiatan seperti mencangkul kaum laki-laki dan sebagainya. Kegiatan yang mereka lakukan tentu saja harus sesuai dengan aturan adat yag ada. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Sukamaju dimana mereka juga membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Masarakat Sukamaju juga melakukan stategi nafka dengan pola nafkah ganda dan multiple actors.

Page 32: 1441-3414-1-SP

23

Adanya kelembagaan atau aturan adat yang mendasari masyrakat Kesepuhan membuat masyarakat masih dalam kontrol atau batasan dalam perubahan struktur nafkah, berbeda halnya dengan masyarakat Sukamaju yang relatif drastis dalam perubahan struktur nafkah masyarakat. Penjelasan lebih singkat dapat dilihat pada gambar berikut

Keterangan: : mempegaruhi : berhubungan

Gambar 9. Kerangka Konseptual Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat

Analisis:Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan lokal dapat memberikan

peranan yang penting dalam mengontrol dan menjaga eksistensi kearifan lokal yang dipegang oleh masyarakat Kesepuhan. Kelembagaan lokal mampu menjadi filter atau penyaring budaya luar yang masuk ke dalam lingkungan masyarakat adat. Berperannya kelembagaan lokal sebagai filter ini mampu meminimalisir perubahan yang terjadi dalam masyarakat khususnya perubahan yang terjadi dalam aspek strategi nafkah sehingga perubahan strategi nafkah yang dialami oleh masyaarakat tidak terlalu signifikan. Tulisan ini mampu mengemukakan peranan kelembagan lokal dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Namun penulis tidak melengkapi dengan konsep kelembagaan lokal secara jelas. Penulis lebih memfokuskan penelitian dengan konsep strategi nafkah. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa strategi nafkah berkaitan langsung dengan pembagian peran atau gender dalam keluarga, namun penulis tidak mengemukakan secara langsung konsep gender yang digunakan. Modal sosial juga menjadi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam penelitian yang dilakukan, sehingga penting bagi penulis untuk menambahkan konsep-konsep kelembagaan lokal, gender dan modal sosial.

Masyarakat Kesepuhan

Kelembagaan Adat

Masyarakat Sukamaju

Staregi nafkah

Perubahan struktur nafkah Signifikan

Perubahan struktur tidak nafkah signifikan

GenderModal sosial

Page 33: 1441-3414-1-SP

24

10. Judul : Konservasi Tradisional Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tani Kabupaten Paser (Studi Kasus Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser)

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Eko Harri YuliantoKota dan Nama Penerbit

: -

Nama Jurnal : AgriforVolume (Edisi) Halaman

: 07 (02) : 140-147

Alamat URL : http:// ejurnal.untagsmd.ac.id/index.php/AG/ article/view/343

Tanggal Unduh : 8 Oktober 2014Jurnal ‘Konservasi Tradisi

onal Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tani Kabupaten Paser (Studi Kasus Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser)’ (Yulianto EH 2013)

Konsep yang digunakan dalam tulisan ini yaitu konsep mengenai kearifan lokal yang penulis kutip dari Pattinama (2009) bahwa kearifan lokal mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Tanah merupakan modal alam yang dimiliki oleh masyarakat Desa Semuntai, Kecamatan Long Ikis yang terdiri atas beragam suku dengan suku Paser sebagai penduduk asli. Masyarakat suku Paser masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki. Nilai-nilai kearifan yang tetap mereka jaga yaitu dalam aspek pertanian. Masyarakat suku Paser awalnya melakukan ladang berpindah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pengolahan lahan yang akan digunakan bagi masyarakat begitu memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa lahan yang digunakan terus-menerus akan kehilangan kesuburannya, untuk itu mereka melakukan ladang berpindah guna mencari lahan yang subur. Pada aspek pembukaan lahan yang akan digunakan, mereka terlebih dahulu meminta izin kepada “penunggu” kawasan ahan tersebut, setelah mendapatkan izin dan juga berdasarkan kesepakan bersama mereka baru akan melakukan pembukaan lahan. Masyarakat terlebih dahulu melakukan penebangan pohon da melakukan pembakaran lahan tanpa terlepas dari aturan lokal yang ada. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat secara bergotong-royong. Setelah itu, pembacaan mantra yang dianggap penting bagi masyarakat sebelum melakukan penanaman dilakukan oleh masyarakat. Terdapat beberapa pantangan yang harus mereka jaga seperti: a) Dilarang menyebut nama-nama binatang seperti babi, tikus, burung tiung (beo), burung pipit, gunung, kayu, rusa dan lain sebagainya. b) Pantangan atau dion dalam melaksanakan penanaman padi bila tasoknya sampai roboh ke tanah. Padi yang sudah mereka tanam haruslah dijaga dengan baik, menurut pendapat mereka padi yang sudah ditanam dan tidak disentuh oleh tangan manusia serta asap dari pembakaran, maka padi tidak akan tumbuh subur.

Masuknya modernisasi melalui pembangunan yaitu adanya kebijakan di bidang pertanian berupa program perkebunan kelapa sawit mendatangkan perubahan dibeberapa aspek, salah satunya yaitu mata pencaharian masyarakat. Modernisasi ini

Page 34: 1441-3414-1-SP

25

juga membentuk jenis mata pencaharian baru bagi masyarakat seperti: buruh, tengkulak, pemilik kebun dan penggarap. Setelah masuknya industri perkebunan kelapa sawit, kegiatan ritual yang dahulu dilakukan sebagai proses perijinan kepada penunggu lahan tidak lagi dilakukan. Nilai-nilai kearifan lokal sedikit demi sedikit mengalami degradasi akibat modernisasi. Uraian singkat dapat dilihat pada gambar berikut.

Keterangan: : mempegaruhi : berhubungan

Gambar 10 Kerangka Konseptual Konservasi Tradisional Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tani Kabupaten Paser (Studi Kasus Desa Semuntai Kecamatan

Long Ikis Kabupaten Paser)

AnalisisTulisan ini mengemukakan bahwa adanya kebijakan dari pemerintah yang

bersikap top down dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan eksistensi kearifan lokal dan juga pola nafkah di masayarakat Suku Paser. Namun, tulisan ini hanya menggunakan konsep kearifan lokal untuk melihat pengaruh modernisasi terhadap daerah konservasi tradisional berdasarkan kearifan lokal. Seperti yang diungkapkan pada literatur sebelumnya yaitu literatur empat dimana penulis mengutip Sirta (2003) dalam Sartini (2004) yang mengatakan bahwa fungsi dari kearifan lokal ada empat yaitu: 1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam. 2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia 3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. Penelitian ini termasuk ke dalam salah satu bentuk dari fungsi kearifan lokal no.2. Hasil dari penelitian ini mengemukakan bahwa kearifan lokal berkaitan dengan pembangunan. Adaya pembangunan berhubungan dengan strategi nafkah, dan modal sosial. namun, penulis tidak menggukan konsep-konsep yang dirasa perlu tersebut untuk memperkuat argumntasi hasil penelitian dan temuan penulis dilapang. Oleh sebab itu, sebaiknya penulis juga menggunakan konsep-konsep yang telah dikemukakan sebelumnya.

modernisasi Perubahan pola nafkah

Terkikisnya Kearifan lokal

Page 35: 1441-3414-1-SP

26

11. Judul : Eksistensi Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan

Tahun : 2006Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Imam SantosoNama Editor : -Judul Buku : -Kota dan Nama Penerbit

: -

Nama Jurnal : WawasanVolume (edisi): hal : 11 (03): 10-20Alamat URL/DOI : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../1/

was-feb2006-%20(2).pdf Tanggal diunduh : 8 Oktober 2014Ju Jurnal ‘Eksistensi Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan’ (Santoso I 2006)ng

Pengembangan Masyarakat’ (Susanto 20

Tulisan ini mendeskripsikan bagaimana eksistensi kearifan lokal petani tepian hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Darmokranenan (desa agraris-industri), Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah dan Desa Pekantan (desa pertanian), Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Petani tepian hutan memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya hutan. Umumnya pola nafkah utama petani tepian hutan adalah mengelola usaha taninya. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan hidup, petani tepian hutan mulai mencari usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Petani tepian hutan di Desa Darmokranean misalnya, selain mengelola usaha tani mereka, petani tepian hutan di wilayah ini juga memiliki usaha sampingan yaitu sebagai buruh tani hutan atau buruh pabrik industri yang ada di sekitar desa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dalam jangka sepuluh tahun terakhir sejak industri berkembang di desa Darmokranean sebagian dari petani mengalami peralihan pola nafkah utama dari petani menjadi pekerja non pertanian. Selain itu, minat penduduk desa terhadap pekerjaan bertani semakin menyusut seiring dengan masuknya intervensi usaha industri yang gencar. Berbeda dengan status hutan Banyumas Barat yang termasuk pada kategori hutan negara dikelola oleh Perum Perhutani maka kawasan hutan di Desa Pekantan sebagai lokasi penelitian lain justru berstatus hutan adat. Hal ini dikarenakan setiap pengelolaan kawasan hutan Muara Sipongi ini tetap diatur secara adat oleh masyarakat lokal bersama pemerintah daerah. Hampir 98,6 persen lahan di desa yang tergolong sangat subur ini masih tetap dipertahankan untuk kepentingan usaha pertanian rakyat setempat. Dengan tetap menjaga dan memelihara eksistensi lembaga adat dalihan na tolu (suatu lembaga kemasyarakatan pada suku Batak Mandailing yang terikat hubungan kekerabatan dan tali perkawinan dibangun dari tiga unsur penegak fungsinya: mora, anakboru dan kahanggi) menyebabkan setiap perilaku anggota masyarakat terkontrol oleh aturan adat istiadat setempat.

Masyarakat petani tepian hutan di Desa Pekantan juga masih mempertahankan tradisi pengelolaan lubuk larangan yaitu adanya pelarangan atau penabuan untuk

Page 36: 1441-3414-1-SP

27

memancing/ menangkap ikan pada sembarangan waktu dengan teknologi yang merusak lingkungan baik dengan memakai teknik kimia dikenal dengan cara mamotas/manuba maupun dengan teknik elektrik). Pada tempat-tempat tertentu di sungai telah disiapkan petakan areal ikan yang diusahakan bersama-sama oleh masyarakat dan boleh dipanen saat besar ukuran ikan telah memenuhi syarat misalnya panen bersama saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Oleh karena itu, kelestarian ekosistem sungai dengan ragam jenis ikan tawar tetap terpelihara dengan baik.

Penulis kemudian mencoba memaparkan faktor-faktor penentu eksistensi kearifan lokal, diantaranya adalah rendahnya angka kepadatan penduduk (population density), man land ratio termasuk tinggi lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas penduduk umumnya relatif rendah, daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi membuat petani tepian hutan lebih adaptif memanfaatkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Faktor ini dinilai mampu memelihara kearifan lokal yang ada, dan sebaliknya.

Penjelasan mengenai hasil penelitian menunjukan bahwa kearifan lokal yang memiliki kelembagaan lokal di dalamnya lebih mampu memelihara nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki kelembagaan lokal di dalamnya cenderung mengalami pemudaran nilai-nilai yang ada di masyarakat. Singkatnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Keterangan: : mempegaruhi

Gambar 11. Kerangka Konseptual Eksistensi Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan

Kearifan lokal

Desa Darmokranena

n

Desa Pekantan

Faktor pengaruh

Rendahnya angka kepadatan penduduk

Sarana prasasarana Mobilitas penduduk

relatif rendah Daya dukung

lingkungan tinggi

pemudaran Pemelihara-an

Kelembagaan lokal

Page 37: 1441-3414-1-SP

28

AnalisisHasil penelitian yang ditemukan tidak jauh berbeda dengan hasil temuan yang

diperoleh pada literatur sembilan, dimana kelembagaan lokal memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Namun, hasil penelitian ini lebih lengkap karena dijelaskan pula faktor-faktor yang berpengaruh dalam eksistensi kearifan lokal dan pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep seperti konsep kearifan lokal dan strategi nafkah dalam menganalisis temuan hasil penelitian yang ada di lapangan. Namun, konsep tersebut tidak dikemukakan secara jelas oleh penulis. Penulis hanya mengemukakan konsep-konsep yang ada berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sehingga penelitian ini akan lebih baik bila penulis juga mengemukakan konsep-konsep yang akan digunakan sebagai pisau analisis secara jelas.

Page 38: 1441-3414-1-SP

29

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN

Kehidupan Sosial Masyarakat Adat

Sumberdaya alam merupakan salah satu aset penting, dimana dalam pengelolaannya melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Salah satu pihak yang berkepentingan mengelola sumberdaya alam yaitu masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan entitas yang unik karena masyarakat adat memiliki nilai-nilai tersendiri yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengelola sumberdaya alam. Nilai-nilai inilah yang kemudian mampu menciptakan dan menjaga eksistensi kearifan lokal. Menurut AMAN ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang dikutip oleh Kafiar (2013) masyarakat adat adalah Komunitas – komunitas yang hidup berdasarkan asal – usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat adat telah lama tumbuh dan berkembang dalam dinamika perkembangan masyarakat.

Keberadaan masyarakat adat yang telah bertahan sejak lama perlu mendapat perhatian lebih seperti yang tercantum dalam Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang 1945 (Hasil Amandemen) diamana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. Pasal tersebut menunjukan pentingnya keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya masyarakat adat yang ada diwilayah bersangkutan. Keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniarta (2013), Bahtiar (2012) dan Indrawardana (2012). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan masyarakat adat mampu menciptakan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Namun, fakta di lapangan menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya alam sering kali tidak melibatkan masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Kaiar (2012) diamana hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan dan peraturan pemerintah yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat adat mengakibatkan timbulnya potensi konflik serta terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal yang mereka pegang teguh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2008) juga menunjukan bahwa tidak dilibatkannya masyarakat adat dalam pengolaan sumberdaya alam mengakibatkan munculnya konflik antara pihak yang berkepentingan.

Masyarakat adat sebagai sebuah entitas akan berinteraksi satu sama lain dalam pengelolaan sumberdaya alam. Interaksi yang terjalin ini akan menimbulkan hubungan sosial antar masyarakat. Hubungan sosial ini dapat dilihat dari hasil penelitian Permana dkk (2011) dimana Masyarakat Adat Baduy masih mengadakan upacara adat bersama-sama. Selain itu, Masyarakat Baduy juga memiliki aturan yang disepakati bersama, khususnya mengenai lahan atau hutan yang diizinkan untuk di garap. Kesepakatan yang disepakati ini mencerminkan adanya hubungan yang harmonis antar masyarakat. Apabila dilihat dari stuktur sosial masyarakat adat umumnya terdapat strata sosial yang terbetuk dalam masyarakat seperti ketua adat atau orang yang dituakan dan anggota masyarakat adat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati

Page 39: 1441-3414-1-SP

30

dkk (2008), dimana “Abah” atau orang yang dianggap sebagai ketua adat memiliki peranan penting khususnya dalam hal mengambil keputusan yang akan dilakukan oleh anggota masyarakat adat. Anggota masyarakat adat yang hendak melakukan kegiatan tertentu harus meminta izin terlebih dahulu kepada ‘Abah”. Setelah itu, “Abah akan memperoleh wangsit, boleh atau tidaknya kegiatan tersebut dilakukan. Setiap anggota masyarakat percaya dan selalu menuruti nasehat yang disampaikan oleh “Abah”. Hal ini menunjukan bahwa dalam masyarakat adat, pemimpin atau ketua adat mampu memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi anggota masyarakat dalam tatanan kehidupan kususnya pada pengelolaan sumberdaya alam.

Nilai dan Peranan Kearifan Lokal

Masyarakat adat umumnya memiliki kearifan lokal yang dijunjung dan dilestarikan. Menurut Keraf (2010) kearifan lokal atau kearifan tradisioanal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Marfai (2012) juga mengemukakan bahwa kearifan lokal merupakan formulasi dari keseluruhan bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Konsep lain mengenai kearifan lokal juga dikemukakan oleh Ridwan (2007) dalam Juniarta dkk (2013) yang mengemukakan bahwa kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan landasan, aturan, serta nilai-nilai yang ada di masyarakat. Aturan dan nilai-nilai tersebut disepakati secara bersama serta ditaati sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Keraf (2010) juga mengemukakan bahwa kearifan lokal mempunyai ciri-ciri dimana sedikitnya terdapat lima ciri kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu: 1) milik komunitas dimana tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat individual. 2) Lebih bersifat praksis atau “pengetahuan bagaimana” hidup dengan baik dengan komunitas ekologis. 3) bersifat holistik karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. 4) aktivitas moral, kegiatan bertani, berburu dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah melainkan aktivitas moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral. 5) bersifat lokal bukan universal. Ciri-ciri ini dapat menjadi pembeda masyarakat yang memiliki kearifan lokal dengan masyarakat yang tidak memiliki kearifan lokal.

Ciri-ciri kearifan lokal yang telah dikemukakan di atas khususnya mengenai pandangan moral dan lokalitas menunjukan bahwa kearifan lokal tidak terlepas dari nilai-nilai dasar pembentunya. Salah satu bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat adat adalah pengetahuan lokal yang dapat dilihat pada masyarakat Pesisir Pulau Gili hasil penelitian Juniarta dkk (2013). Selain itu, bentuk kearifan lokal lain yang dapat ditemukan yakni adanya keyakinan atau kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan tercermin dalam budaya pamali. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bahtiar (2012). Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa adanya keyakinan atau kepercayaan (pamali) pada masyarakat Suku Bajo yang disebut dengan Ongko (pantang larang) memiliki peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Budaya pamali juga dapat dilihat pada Kabupaten

Page 40: 1441-3414-1-SP

31

Pasear sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2013). Yulianto (2013) menemukan bahwa dalam kegiatan masyarakat sebelum melakukan kegiatan penanaman padi, terdapat beberapa pantangan yang harus mereka jaga seperti: a) Dilarang menyebut nama-nama binatang seperti babi, tikus, burung tiung (beo), burung pipit, gunung, kayu, rusa dan lain sebagainya. b) Pantangan atau dion dalam melaksanakan penanaman padi bila tasoknya sampai roboh ke tanah. Padi yang sudah mereka tanam haruslah dijaga dengan baik, menurut pendapat mereka padi yang sudah ditanam dan tidak disentuh oleh tangan manusia serta asap dari pembakaran, maka padi tidak akan tumbuh subur. Nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat dipegang teguh khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat memiliki peranan penting dalam berbagai aspek khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam. berikut akan dikemukakan lebih lanjut mengenai peranan kearifan lokal dalam masyarakat adat.

1. Mitigasi Bencana Kearifan lokal dapat berperan dalam mitigasi bencana, hal ini dapat dilihat dari

hasil penelitian Permana dkk (2012). Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Baduy seperti tradisi perladangan atau huma, tradisi bangunan tradisional dan adanya pembagian zona hutan mampu meminimalisir kerusakan ekosistem sekitar. Sistem perladangan atau huma yang dilaksanakan oleh masyarakat Baduy adalah dengan menerapkan sistem ladang berpindah. Hal ini menyebabkan unsur hara yang telah hilang pada tanah yang telah ditanami sebelumnya dapat menjadi subur kembali. Kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat juga mengharuskan masyarakat untuk tidak menebang pohon-pohon besar disekitar daerah perladangan. Kondisi ini akan meminimalisir terjadinya bencana longsor di wilayah tersebut. Masyarakat Baduy juga memegang tradisi ngaduruk atau membakar sisa-sisa tebangan diladang yang berpatokan pada bintang. Praktek ini mampu meminimalisir terjadinya kebakaran diwilayah hutan Baduy. Bangunan tradisional yang digunakan masyarakat Baduy didasarkan pada pengetahuan lokal yang mereka miliki. Masyarakat Baduy masih menggunakan peralatan dan bahan yang sederhana, dimana ketika terjadi gempa struktur bangunan akan bergerak dinamis, sehingga akan terhindar dari kehancuran. Pembagian zona pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menciptakan wilayah-wilayah yang mampu mempertahankan ekosistem, dimana terdapat hutan yang tetap lestari dan berperan sebagai resapan air agar tidak terjadi banjir dan lngsor.

2. Pengelolaan Sumberdaya Alam BerkelanjutanKearifan lokal yang dimiliki oleh orang Bajo yaitu ongko dan pamali. Hal ini

dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bahtiar (2012). Sistem ongko yang di terapkan oleh orang Bajo berkaitan dengan cara mengatur areal tangkapan dan melindungi dari eksploitasi yang berlebihan. Sistem ongko juga mengatur tentang kepemilikan, teknik-teknik penangkapan dan peralatan tangkap yang akan digunakan. Selain sistem ongko, budaya pamali juga masih dipegang teguh oleh orang Bajo. Budaya pamali yang dipegang teguh yaitu dilarang mengambil ikan disekitar karang, menangkap ikan gurita, ikan hiu, lumba-lumba dan binatang laut lainnya yang merupakan jelmaan dari dewa laut. Ketaatan dan juga kepatuhan orang Bajo dalam budaya pamali ini merupakan wujud dari kepedulian mereka menjaga kelestarian ekosistem bawah laut.

3. Adaptasi strategi nafkahMasyarakat adat yang memiliki kearifan lokal, masih megang nilai-nilai kearifan

lokal yang dianut. Adanya nilai-nilai kearifan lokal ini mampu menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku. Penelitian yang dilakukan oleh Maryadiningsih dkk

Page 41: 1441-3414-1-SP

32

(2010) menunjukan bahwa kearifan lokal berperan penting dalam strategi nafkah. Kearifan lokal mampu meminimalisir dampak masuknya teknologi dari luar khususnya dalam strategi nafkah masyarakat adat. Masyarakat Kesepuhan yang masih memeng teguh nilai kearifan lokal tidak mengalami perubahan strategi nafkah yang terlalu signifikan, berbeda halnya dengan masyarakat Sukamaju yang telah mengalami pelemahan nilai-nilai kearifan lokal. Masyarakat desa Sukamaju ini mengalami perubahan struktur nafkah yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Sukamaju yang sudah mengenal sistem upah dalam perladangan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal berperan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2 peranan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alamNo Peran Hasil Penelitian1 Mitigasi bencana Adanya tradisi perladangan atau huma, tradisi

bangunan tradisional dan adanya pembagian zona hutan dalam Masyarakat Baduy yang berperan sebagai mitigasi bencana (Permana dkk 2012).

2 Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan

Adanya sistem ongko dan budaya pamali yang dipatuhi oleh masyarakat orang Bajo dalam pengelolaan sumberdaya alam (Bahtiar 2012).

3 Adaptasi strategi nafkah Kearifan lokal masyarakat adat Kesepuhan mampu memfilter teknologi yang berasal dari luar sehingga tidak terjadi perubahan strategi nafkah yang terlalu signifikan Maryadiningsih dkk (2010).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Kearifan Lokal

Kearifan lokal tidaklah bersifat statis, melainkan bersifat dinamis dalam perkembangannya. Keraf (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua faktor penyebab melemahnya eksistensi kearifan lokal yang ada. Pertama terjadi proses desakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Annas (2013). Hasil penelitian Annas menunjukan bahwa masuknya teknologi baru dalam pertanian seperti traktor, mengakibatkan terkikisnya tradisi semula yang dijalankan oleh masyarakat atau kearifan lokal yang masyarakat kenal dengan sebutan huluya pada masyarakat Bongoime. Kedua alam tidak lagi bernilai sakral tetapi bernilai ekonomis sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaiar (2013) pada Masyarakat Bongoime. Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya modernisasi dan juga kebijakan yaitu masuknya PT. Freeport, mengakibatkan alam menjadi tereksploitasi demi kepentingan ekonomi serta mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Bongoime. Selain itu, masuknya modernisasi dapat berpengaruh bagi masyarakat dalam aspek lain, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardyaningsih dkk (2010). Hasil penelitian menunjukan bahwa masuknya modernisasi akan merubah pola interaksi dan juga hubungan masyarakat.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Santoso (2006) menunjukan bahwa adanya faktor-faktor penentu eksistensi kearifan lokal, faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Rendahnya angka kepadatan penduduk (population density)2. Man land ratio termasuk tinggi 3. Lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit terjangkau informasi dan

berbagai fasilitas transportasi umum

Page 42: 1441-3414-1-SP

33

4. Mobilitas penduduk umumnya relatif rendah5. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi membuat petani tepian

hutan lebih adaptif memanfaatkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Penetrasi Nilai-Nilai Luar dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Adat

Masyarakat adat juga akan bersentuhan dengan nilai-nilai yang berasal dari luar, baik nilai-nilai yang bersifat positif maupun negatif. Nilai-nilai yang masuk dalam masyarakat adat ini berdampak dalam berbagai aspek, termasuk strategi nafkah masyarakat adat. Masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal umumnya juga akan memiliki kelembagaan lokal sebagai alat yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kelembagaan lokal memiliki peranan penting untuk menjaga keberlangsungan pengelolaan sumberdaya alam bagi masyarakat. Menurut Schmid (1987) yang kutip oleh Tonny (2004) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.

Berperannya kelembagaan lokal mampu menjaga kestabilan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardyaningsih dkk (2010) menunjukan bahwa kelembagaan lokal berperan penting dalam menjaga nilai-nilai yang ada di Masyarakat Kesepuhan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2006). Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya kelembagaan lokal yang mengatur di dalam masyarakat seperti Masyarakat Adat Pekantan lebih mampu mempertahankan eksistensi kearifan lokalnya dibandingkan dengan Masyarakat Darmokranena.

Kelembagaan lokal sebagai salah satu elemen penting bagi masyarakat lokal memiliki beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Seperti yang diungkapkan oleh Tonny (2004) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu 1) kepemimpinan 2) pendidikan anggota 3) aturan tertulis 4) aturan tidak tertulis 5) aturan kelembagaan 6) intervensi pemerintah yang berdampak positif 7) intervensi pemerintah yang berdampak negatif 8) ketersediaan prasarana dan sarana umum 9) jejaring kerjasama antar kelembagaan 10) usia kelembagaan 11) proses berdirinya kelembagaan dan 12) kecukupan anggaran. Salah satu faktor kelembagaan lokal seperti aturan tidak tertulis dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawardana (2012). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa adanya aturan kelembagaan lokal yang tidak tertulis sepeti adanya aturan mengenai pemanfaatan lingkungan alam yaitu (1) disucikan berupa kabuyutan, (2) boleh digarap atau dimanfaatkan untuk kehidupan tetapi tidak boleh mendirikan tempat tinggal , (3) boleh mendirikan tempat tinggal.

Berperan tidaknya kelembagaan lokal akan berdampak terhadap staregi nafkah yang berda di dalamnya. Strategi nafkah menurut Ellis (2000) terdiri dari aset-aset (alam, fisik, manusia, finansial dan modal sosial), aktivitas-aktivitas dan berbagai akses yang dimediasi oleh institusi dan hubungan sosial untuk bersama-sama memperoleh tambahan pendapatan baik secara individu maupun rumah tangga. Pendapat lain mengenai strategi nafkah dikemukakan oleh Scoones (1998) mengemukakan bahwa

Page 43: 1441-3414-1-SP

34

strategi nafkah terdiri dari kapabilitas dan aset (termasuk material dan sumberdaya sosial) dan kumpulan aktivitas demi hidup yang bermakna. Strategi nafkah akan berkelanjutan jika strategi nafkah yang ada dapat menanggulangi stres dan shok serta memelihara kapabilitas dan aset sementara tidak mengurangi sumberdaya alam yang ada.

Ellis (2000) juga mengemukakan bahwa strategi nafkah adalah strategi sumber mata pencaharian yang terdiri dari kegiatan yang menghasilkan sarana kelangsungan hidup rumah tangga. Banyak literatur yang mengkaji kaitan antara strategi nafkah dengan kearifan lokal diantaranya hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dkk (2008) pada Masyarakat Adat Kesepuhan. Masyarakat Adat Kesepuhan yang menjaga nilai-nilai kearifan lokal seperti hanya menanam padi setahun sekali, dan larangan menjual hasil panen mengharuskan mereka untuk beradaptasi terhadap alam. Adaptasi ini berupa sumberdaya lain yang boleh dimanfaatkan seperti berladang, ternak dan juga budidaya ikan.

Strategi nafkah dalam masyarakat adat juga dapat mengalami perubahan akibat modernisasi dan juga kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2013) pada Masyarakat Adat Paser. Masuknya modernisasi dan juga kebijakan merubah strategi nafkah Masyarakat Adat Paser yag awalnya bertani ladang berpindah menjadi buruh perkebunan kelapa sawit, tengkulak, pemilik kebun dan penggarap. Hal ini menunjukan bahwa perubahan strategi nafkah dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat tersebut. semakin lemah nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang masyarakat maka semakin besar pula perubahan strategi nafkah yang terjadi di masyarakat, dan sebaliknya.

Seperti yang dikemukan sebelumnya, strategi nafkah atas aset-aset seperti modal alam, modal manusia, modal finansial, modal fisik dan modal sosial. Kelima modal ini saling memiliki hubungan satu sama lainnya yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Modal Alam

Gambar 12 pengelompokan status aset dalam sebuah pentagon Sumber: Ellis 2000

Berdasarkan gambar diatas, dapat dijelaskan bahwa strategi nafkah tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dengan elemen lain. Salah satu elemen yang ada dalam strategi nafkah seperti modal sosial. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Modal Manusia

Modal Finansial

Modal Sosial

Modal Fisik

Page 44: 1441-3414-1-SP

35

Indrawardana (2012) pada masyarakat adat Sunda memiliki modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam.

SIMPULAN

SPKearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat

Masyarakat adat merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masyarakat adat memiliki nilai-nilai tersendiri yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengelola sumberdaya alam. Menurut AMAN ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang dikutip oleh Kafiar (2013) masyarakat adat adalah Komunitas – komunitas yang hidup berdasarkan asal – usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat adat telah lama tumbuh dan berkembang dalam dinamika perkembangan masyarakat. Masyarakat adat sebagai sebuah entitas akan berinteraksi satu sama lain dalam pengelolaan sumberdaya alam. Interaksi yang terjalin ini akan menimbulkan hubungan sosial antar masyarakat. Adanya upacara adat serta tata aturan di dalam masyarakat yang disepakati secara bersama, menggambarkan hubungan yang harmonis terjalin antar sesama masyarakat. Selain itu, Apabila dilihat dari stuktur sosial masyarakat adat umumnya terdapat strata sosial yang terbetuk dalam masyarakat seperti ketua adat atau orang yang dituakan dan anggota masyarakat adat. Peranan ketua adat atau pemimpin memiliki pengaruh besar bagi tatanan kehidupan masyarakat adat.

Umumnya masyarakat adat memegang nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi landasaran dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Keraf (2010) kearifan lokal atau kearifan tradisioanal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam berbeda di masing-masing wilayahnya. Adanya nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang oleh masyarakat adat mampu memberikan dampak positif khususnya bagi pengelolaan sumberdaya alam. selain itu, kearifan lokal juga memiliki peranan penting yaitu sebagai mitigasi bencana, pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan adaptasi strategi nafkah. Kearifan lokal dalam mempertahankan eksistensinya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya 1) Rendahnya angka kepadatan penduduk (population density) 2) Man land ratio termasuk tinggi 3) Lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit terjangkau informasi dan berbagai fasilitas transportasi umum 4) Mobilitas penduduk umumnya relatif rendah 5) Daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi membuat petani tepian hutan lebih adaptif memanfaatkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat adat diperkuat dengan kelembagaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat itu sendiri. Menurut Schmid (1987) yang kutip oleh Tonny (2004) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu

Page 45: 1441-3414-1-SP

36

dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.

Kelembagaan yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam juga berkaitan dengan strategi nafkah yang ada dalam masyarakat. Strategi nafkah dalam masyarakat adat dapat mengalami perubahan akibat modernisasi dan juga kebijakan. Umumnya masyarakat yang tidak memiliki kelembagaan lokal dan kelembagaan lainnya yang mengatur akan mengalami perubahan strategi nafkah yang relatif signifikan dibandingkan dengan masyarakat adat yang memiliki kelembagaan lokal. Hal ini disebabkan karena adanya filter dan juga aturan yang mengikat bagi masyarakat adat dalam berperilaku.

Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian SkripsiKearifan lokal merupakan salah satu aspek penting yang tidak dapat di pisahkan

dalam kehidupan masyarakat adat. Kearifan lokal yang bersifat unik dan memiliki nilai-nilai tersendiri akan menjadi pembeda dalam kelompok masyarakat. Selain itu, kearifan lokal juga berkaitan dengan berbagai aspek lain yang ada di dalam masyarakat seperti kelembagaan lokal, hingga strategi nafkah masyarakat. Oleh karena itu, rancangan pertanyaan penelitian skripsi yang akan diajukan dalam penulisan skripsi ini yaitu:1) Bagaimana kearifan lokal masyarakat adat di Desa X ?2) Bagaimana implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan kawasan pertanian di

desa X?3) Bagaimana hubungan kearifan lokal terhadap strategi nafkah masyarakat adat di kawasan pertanian?

Kerangka Analisis Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat

Ket:: Berhubungan: Diuji secara kualitatif: Diuraikan secara deskriptif

Faktor internal

Ikatan sosial Modal sosial

Faktor eksternal

Kebijakan teknologi

Kearifan Lokal

Strategi Nafkah Masyarakat Adat Kampung Urug

Implementasi kearifan lokal

Pengetahuan Sikap Perilaku

Page 46: 1441-3414-1-SP

37

Gambar 2 Kerangka Analisis Kearifan Lokal dan Strategi Nafkah Masyarakat Adat

DAFTAR PUSTAKA

Annas FB. 2013. Analisis Eksistensi kearifan lokal Huluya Desa Bongoime Provinsi Gorontalo. [Skripsi]. Bogor [ID]. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Intstitut Pertanian Bogor.

Amrifo V. 2012. Adaptasi sistem penghidupan masyarakat adat (studi kasus Suku Duano di Desa Concong Luar Kabupaten Indragili Hilir Provinsi Riau. Berkala Perikanan Terubuk [internet]. [diunduh 8 Oktober 2014]; 40 (02) : 1-12. Dapat diunduh dari http:// ejournal.unri.ac.id/index.php/JT/article/download/1768/1739

Bahtiar. 2012. Kearifan lokal orang Bajo dalam pengelolaan sumber daya laut. Walisongo [internet]. [diunduh 4 Oktober 2014]; 27 (02): 178-185. Dapat diunduh dari http://repo.isidps.ac.id/1654/1/007._Bahtiar.pdf

Dyah Ita Mardyaningsih, Arya Hadi Dharmawan, Fredian Tonny. 2010. Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat. Sodality [internet]. [diunduh 8 Oktober 2014]; 04 (01) : 115-145. Dapat diunduh pada http:// journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/5850/4515

Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. New York (US): Oxford University.

Indrawardana I. 2012. Kearifan lokal adat Masyarakat Sunda dalam hubungan dengan lingkungan alam. Komunitas [internet]. [diunduh 8 Oktober 2014]; 4 (1): 1-8. Dapat diunduh dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2390

Isyanti S. 2013. Kearifan Lokal. Yogyakarta [ID]: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY.

Juniarta HP, Susilo E, Primyastanto M. 2013. Kajian profil kearifan lokal masyarakat pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. ECSOFiM [internet]. [diunduh 9 September 2014]; 01(01): 11-25. Dapat diunduh dari http://ecsofim.ub.ac.id/index.php/ecsofim/article/view/10

Kaiar FP. 2013. Kearifan Lokal Suku Amungme dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Kabupaten Mimika Papua. EKOSAINS [internet]. [diunduh 9 september 2014]; 05(01): 35-43. Dapat diunduh dari http://jurnal.pasca.uns.ac.id/index.php/ ekosains/article/view/279

Keraf AS. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta [ID] : Kompas. 408 hlm. MPR RI. 2012. [internet]. [Diunduh 12 November 2014]; Dapat diunduh pada

https://pdf.mpr.go.id/data/7%20UUD%20NRI%20Tahun%201945_59-76_2012.pdf

Marfai MA. 2012. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta [ID] : Gadjah Mada University Press.

Permana RCE, Nasution IP, dan Gunawijaya J. 2011. Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada Masyarakat Baduy. MAKARA [internet]. [diunduh 9 september 2014]; 15(01): 67-76. Dapat diunduh dari http://journal.ui.ac.id/index.php/ humanities/article/view/954

Rahmawati R, Subair, Idris, Gentini, Ekowati D, Setiawan U. 2008. Pengetahuan lokal Masyarakat Kesepuhan: adaptasi, konflik dan dinamika sosio-ekologis. Soladity [internet]. [diunduh 8 Oktober 2014]; 2 (2): 151-190 dapat diunduh dari http:// journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewArticle/5886

Page 47: 1441-3414-1-SP

38

Santoso I. 2006. Eksistensi kearifan lokal pada petani tepian hutan dalam memelihara kelestarian ekosistem sumber daya hutan. Wawasan [internet]. [diunduh 8 Oktober 2014]; 11 (03): 10-20. Dapat diunduh pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../1/was-feb2006-%20(2).pdf

Scoones I. 1998. Sustainable Rural Livelihoods A Framework for Analysis. Working Paper 72. Brighton [Uk]. Institute for Development Studies. [Diunduh 24 November 2014]; Dapat diunduh pada http://mobile.opendocs.ids.ac.uk/opendocs/handle/123456789/3390

Sekilas dan Kondisi Umum Daerah Jawa Barat.2013. Tata Ruang Indonesia. [internet]. [Diunduh 24 November 2014]; Dapat diunduh dari http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/sejarah/1371198030/sekilas-dan-kondisi-umum-daerah-jawa-barat.html

Tonny F. 2004. Perspektif kelembagaan dalam pengelolaan daerah aliran sungai Citanduy (studi desentralisasi pengelolaan dan sistem tata pemerintahan sumberdaya alam). [working paper]. Bogor [ID]: Pusat studi pembangunan. Institut Pertanian Bogor. 41 halm.

Yulianto EH. 2013. Konservasi tradisional berbasis kearifan lokal masyarakat tani Kabupaten Paser (studi kasus Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser). Agrifor [internet]. [diunduh 8 Oktober 2014]; 07 (02) : 140-147. Dapat diunduh pada http:// ejurnal.untagsmd.ac.id/index.php/AG/article/view/343

Page 48: 1441-3414-1-SP

39

Page 49: 1441-3414-1-SP

40

Lampiran 1 daftar literatur dan konsep yang digunakan

No Konsep yang

digunakan

Literatur ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

1 Masyarakat Adat

2 Kearifan Lokal

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

3 Kelembagaan Lokal

4 Strategi Nafkah

√ √ √ √ √

Keterangan Literatur:16. Etika Lingkungan Hidup (Keraf AS 2010)17. Sustainable Rural Livelihoods A Framework for Analysis (Scoones I. 1998)18. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries (Ellis F)19. Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten

Probolinggo Jawa Timur (Hagi Primadasa Juniarta HP dkk 2013) 20. Kearifan Lokal Suku Amungme dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di

Kabupaten Mimika Papua (Kaiar FP 2013)21. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy (Raden Cecep Eka Permana

RCE dkk 2011)22. Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huluya Desa Bongoime Provinsi Gorontalo (Annas FB 2013)23. Kearifan Lokal Orang Bajo dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut (Bahtiar 2012)24. Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam (Indrawardana

I 2012)25. Pengetahuan Lokal Masyarakat Kesepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis

( Rahmawati R dkk 2012) 26. Adaptasi Sistem Penghidupan Masyarakat Adat (Studi Kasus Suku Duano Di Desa Concong Luar

Kabupaten Indragili Hilir Provinsi Riau (Amrifo V 2012)27. Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat (Dyah Ita

Mardyaningsih DI 2010)28. Konservasi Tradisional Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Tani Kabupaten Paser (Studi Kasus

Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser) (Yulianto EH 2013)29. Eksistensi Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem

Sumber Daya Hutan (Santoso I 2006)30. Perspektif kelembagaan dalam pengelolaan daerah aliran sungai Citanduy (studi desentralisasi

pengelolaan dan sistem tata pemerintahan sumberdaya alam) (Tonny F 2004)

Page 50: 1441-3414-1-SP

Stratei Nafkah

41

Lampiran 2 kerangka konseptual

Keterangan: : Berhubungan

: Berkaitan

Masyarakat adat Kearifan

lokal

Kelembagaan lokal

GenderModal sosial

Page 51: 1441-3414-1-SP

42

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Hidup

Ike Rosmanita lahir pada tanggal 09 Agustus 1993 di Manna, Provinsi Bengkulu Selatan dan merupakan anak kedua dari pasangan Lihamdani dan Ilma Hartini. Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah SDN 24 Manna, Bengkulu Selatan dalam selang waktu 1999-2005, SMPN 1 Manna, Bengkulu Selatan dalam selang waktu 2005-2008 dan SMAN 1 Manna, Bengkulu Selatan dalam selang waktu 2008-2011. Selama duduk di bangku SMA, penulis terlibat aktif dalam ekstrakulikuler Basket dan Drum Band. Penulis kemudian diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Undangan pada tahun 2011. Kegiatan yang penulis lakukan selain mengikuti kegiatan perkuliahan secara aktif adalah dengan menjabat sebagai bendahara OMDA IMBR (Ikatan Mahasiswa Bumi Raflesia) pada periode kepengurusan 2011-2012. Penulis juga bergabung dengan komunitas Rumah Harapan dan menjadi staf Divisi Kegiatan Belajar Mengajar pada tahun 2013 dan bergabung dan menjadi staf dari Kementerian Sosial Masyarakat BEM KM IPB 2014 (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor). Selain bergabung dengan beberapa komunitas dan organisasi kampus, penulis juga terlibat dalam beberapa kegiatan kepanitian, seperti INDEX 2012, Gebyar Indonesia Berkarya 2012, FAMNIGHT 2012, ISHARE ISHARE 2013 serta Talkshow Relawan Peduli dan Tanggap Aksi 2014. Adapun prestasi yang diperoleh penulis yaitu juara 3 basket putri dalam kegiatan ESPENT 2012 dan Juara 1 Basket Putri dalam kegiatan ESPENT 2013.