13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

46
13 MASALAH PENGELOLAAN KEUANGANNEGARA DAN DAERAHA By Turiman Fachturahman Nur Reformasi Tata Kelola Keunagan Daerah sudah digulirkan Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah. Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik- baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah. Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan

description

Mengukap masalah pengelolaan KEUDA

Transcript of 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Page 1: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

13 MASALAH PENGELOLAAN KEUANGANNEGARA DAN DAERAHA

By Turiman Fachturahman Nur

Reformasi Tata Kelola Keunagan Daerah sudah digulirkan

Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat,

yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya.

Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup

reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik

merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan

daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-

sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam

rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.

Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan

landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan

negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah,

kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang

diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana

tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas

pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam

pengelolaan keuangan daerah.

Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan

keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber

daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri.

Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada

akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat.

Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen

Page 2: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah

yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien,

efektif dan akuntabel.

Dalam perundang-undangan bidang keuangan negara ini secara tegas diatur

bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang

keuangan. Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara,

kewenangan pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja

negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan

investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban

APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah,

serta pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan

pendekatan prestasi kerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian

Neraca Daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala

Daerah, merupakan beberapa hal baru yang diamanahkan dalam peraturan tersebut.

Urgensi UU NO 17 Tahun 2003

Berdasarkan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31,

Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD

dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa

Keuangan). Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan

Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen

pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif.

Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting

dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini

dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang

integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian laporan-

laporan di atas dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu Sistem Informasi

Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) yang terintegrasi dengan sistem-sistem lain dalam

manajemen keuangan daerah.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

pasal 51 ayat (2), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna

Page 3: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan

ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung

jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit

kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat setiap

unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan

Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kas adalah Kepala Satuan Kerja

Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah.

Sistem Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata

kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem.

Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai,

pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya,

serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat harus

memahamai alur sistem secara global, sehingga mereka akan lebih sadar akan hak dan

kewajibannya. Para eksekutif di pemerintah daerah harus memiliki pengetahuan

tentang bagaimana memanfaatkan laporan-laporan internal yang dapat dihasilkan dari

sistem akuntansi.

Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah

1. Dasar Hukum

Yang mendasari perundang-undangan penting yang melandasai pelaksanaan

pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut :

1. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah;

3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan

4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara;

5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah;

8. PP. No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;

9. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;

Page 4: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

10. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No.

37 Tahun 2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007;

11. PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;

12. PP 23 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

13. PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan

14. PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;

15. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;

16. PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;

17. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;

18. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

19. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estándar

Pelayanan Minimal;

20. PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;

21. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi

Pemerintah;

22. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah;

23. Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang

Milik Daerah

24.Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

25.Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam

rangkaberakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah;

26. Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan

Masyarakat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;

27. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam

Negara No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

PEMBARUAN TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double

entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM daerah khususnya

Page 5: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah)

umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan

pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar di

daerah. Meskipun pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah

bagi daerahnya, namun demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum

memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak

memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar

Akuntansi Pemerintahan.

Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah

menjadi kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean

government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu

upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen

keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian

serius... Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan

dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan

sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini menguraikan 13

permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerahberdasarkan. Edy

Marbyanto.

1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering

mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat

yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses

Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru

DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan

merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari

motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga

anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu

ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk

mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan

mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau

pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan

Page 6: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif

dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak

budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD

missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana

Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk

menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana

aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.

2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme

musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih

didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari

SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa

dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi

realisasinya sangat minim.

3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena

ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan

masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak

seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang

disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar

banyak sasaran yang terjerat.

4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan

dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan

pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia.

Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai

bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.

5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak

nyambung(match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra

SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun

RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas

tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam

beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran

Page 7: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan

kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.

6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal.

Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut

adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat

berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta

analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang

mengarah pada “how to achieve”suatu target.

7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin

menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming,

disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk

menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya

dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi

menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan

lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu

didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi

kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga

direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian

Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.

8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga

kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul

egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan

mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan

memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.

9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan

dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang

memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering

diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi

kepada SKPD dalam penyusunan rencana.

10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop

mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu

Page 8: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi

anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama

dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah

(kabupaten/kota).

11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena

kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses

perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan)

seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat

edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan

fasilitasi di lapangan.

12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66

tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan

secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat

desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal

pengetahuan, teknologi dll.

13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang

HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan

bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di

sebuah desa di daerah masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa

rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber

bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk

dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan

dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak

pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa

demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun

gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan

buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan

untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan

terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan

minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa

Page 9: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan,

buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat

untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk

pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur

berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang

ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek

dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang

dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Berdasarkan 13 permasalahan diatas sekurangnya ada tiga (mala)praktik tata kelola

yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini

Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal

(pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan

desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya

peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi

Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja

langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.

Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita

beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana

dekonsentrasi, medebewinddan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu

amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda

masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian

daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.

Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan

uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu

menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan

anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses

legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja

instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik

dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor

swasta.

Page 10: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar

memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi

pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata

pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen

penegakan good governance di daerah.

Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas

pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21

daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah

wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat)

dan 10 daerah adverse(tak wajar).

Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran inspektorat

(dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda

depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis

pemberantasan korupsi ini justru mandul.

Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya

gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak

adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai

orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.

Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi

lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas

eksternal (BPK, KPK, dll). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang

terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan

sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari

kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan

tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik

dan temuan BPK.

Opsi Kuratif

Isu manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi

mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber dana

perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap temuan

Page 11: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal pula

(pemotongan DAU).

Opsi kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau

masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan (preventif)

mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan kapasitas aparat

perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain kelembagaan institusi

inspektorat.

Page 12: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Reformasi Lima Pilar Tata Kelola Pemerintahan Daerah Berdasarkan Good Governance dan Clean

GovermentOleh Turiman Fachturahman Nur

Makalah Bintek Akuntabilitas SKPD di Kal-Bar

1. Apa Tujuan Seminar yang ingin dicapai ?

Seminar yang bertajuk “Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah Berbasis

Parisipasi Masyarakat Menuju Keadilan dan Perdamaian”, yang bertujuan:

Pertama, Menggali konsep dan pembelajaran praktek tata kelola pemerintahan

daerah yang baik di Indonesia.Kedua, Memetakan arah dan trend kebijakan

desentralisasi di Indonesia. Ketiga,Mengelaborasi gagasan dan pengalaman praktek

tata kelola pemerintahan daerah yang dapat menjadi model di Kalbar.

2. Bagaimana Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah ?

Menurut penulis Perlunya 5 Pilar Tata Kelola Pemerintahan Daerah dalam Era

Reformasi, yaitu:

Pilar Pertama, Demokrasi melalui PILKADA

Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan

yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih

dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang

diselenggarakan sejak tahun 2005 ini, membuat kepala daerah terpilih mendapat

legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Tentunya kepala

daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi

masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat. Tetapi harapan

tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Kekuatan visi & kompetensi

kepala daerah terpilih menjadi salah satu penentu, di samping faktor-faktor lain.

Tantangan terberat bagi kepala daerah terpilih adalah melaksanakan visi, misi,

dan janji-janji semasa kampanye, yang hampir semuanya pasti baik.

Setidaknya ada empat hal yang harus dimiliki dan disiapkan oleh seorang Kepala

Daerah agar visi membangun dan mensejahterakan rakyatnya menjadi

kenyataan, diperlukan pilar berikutnya yang diharapkan seorang kepala daerah

Page 13: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

dapat menjalankan perannya dalam membangun daerahnya bisa optimal, atau

kata kuncinya adalah daerah membangun bukan lagi membangun daerah.

Pilar Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM)

Mengapa SDM ? Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan

penentu. SDM seperti apa yang diperlukan ? Yaitu SDM yang memiliki: moral

yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan

manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang

kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi

tersebut, diberbagai level jabatan & fungsinya.

Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua

kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-

sia. Tentunya kita menyaksikan terjadinya krisis moneter yang dimulai tahun

1997 lalu, kemudian krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, dan masih terus

berlanjut yang hingga sekarang masih dirasakan dampaknya. Sebab utama

terjadinya krisis itu tidak lain adalah rendahnya moral sebagian pengambil

kebijakan negeri ini.

Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan

korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu

saja.Saat ini tuntutan penerapan 3G (Good Government Governance) terus-

menerus digaungkan oleh berbagai pihak. Penerapan prinsip-prinsip

transparansi & akuntabilitas tanpa didukung oleh aparat yang bermoral baik,

pada akhirnya hanya akan berhenti di tingkat wacana saja. Oleh karena itu, sejak

awal dilantik, seorang kepala daerah harus segera menyiapkan aparatnya dalam

aspek moral ini. Termasuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi semua

bawahannya.

Moral yang baik belumlah cukup, tapi juga harus diimbangi dengan kompetensi.

Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk

mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian

yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya

menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus

menjadi perhatian.

Page 14: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa

menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif & cepat

tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Pilar Ketiga, Kebijakan

Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada berbagai

stakeholder, terutama kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan

tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan

kepala daerah.

Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan &

berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif & efisien, konsep

investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep

kebijakan lainnya.

Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang

mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi & misinya

selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah

pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika

pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan,

sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan. Selain itu kepala

daerah harus mampu melihat suatu permasalahan secara komprehensif dan

integratif, jangan sampai terjebak hanya melihat secara sektoral dan parsial,

ataupun keuntungan jangka pendek.

Jangan sampai seorang kepala daerah tidak tahu harus berbuat apa. Jika

demikian, pemerintahan akan berjalan tak tentu arah. Sehingga pada akhirnya,

rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.

Pilar Keempat, Sistem

Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada

figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem

pemerintahan yang kuat.

Page 15: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara

baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan

keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem

pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan

standar pelayanan, sistem pengawasan.

Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis

teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak

dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif.

Penerapan sistem-sistem tersebut akan mendorong terjadinya 3G (Good

Government Governance), yang pada akhirnya akan menghasilkan

pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Pilar Keempat: Investasi

Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD

untuk membangun daerahnya. Mengapa ? Karena bisa dikatakan, sebagian

besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai

penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk

pembangunan.

Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun

infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara,

telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat

agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka

mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana

yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana

APBD saja.

Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah

daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam

membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang

kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.

Setidaknya ada empat stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya saat

kita bicara tentang investasi, yaitu pihak investor, pemerintah daerah,

Page 16: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

masyarakat, dan lingkungan. Investor tentunya berkepentingan agar dana yang

dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan

berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak

pemerintah daerah ingin agar pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat.

Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja

makin terbuka. Lingkungan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kelestariannya.

Jangan sampai karena terlalu bersemangat, akhirnya secara jangka panjang

terjadi pengrusakan lingkungan

3. Pilar mana yang paling Penting dan selaras dengan reformasi ?

Dari kelima pilar yang perlu diekplorasi adalah : Pilar Ketiga Kebijakan

Pengertian Kebijakan

Dalam beberapa literatur, pengertian kebijakan sangat beragam. Namun secara

umum kebijakan publik dapat dikatakan merupakan rumusan keputusan

pemerintah yang menjadi pedoman tingkah laku guna mengatasi masalah publik

yang mempunyai tujuan, rencana dan program yang akan dilaksanakan secara

jelas.

Menurut Anderson (Dalam, Nyimas Dwi Koryati, 2004:7) menyatakan kebijakan

publik merupakan pengembangan dari kebijakan yang dilakukan oleh institusi

pemerintah dan aparaturnya. Sedangkan William Dunn mengatakan kebijakan

publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk

keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor

pemerintah (Dunn, 2001) Adanya beberapa konsep kebijakan tersebut

menunjukkan bahwa unsure tujuan, sasaran dan cara-cara bagaimana tujuan itu

harus dicapai merupakan unsur pokok yang harus ditetapkan oleh pejabat

pemerintah dalam membuat kebijakan pemerintah. Suatu keadaan yang

diinginkan akan nampak pada tujuan kebijakan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah.

Implementasi Kebijakan

Sebagaimana diuraikan, mengingat analisis ini adalah merupakan analisis yang

memfokuskan pada kajian implementasi program yang mempengaruhi kinerja

program pemberdayaan wilayah terpadu, sebelum menganalisis apakah

Page 17: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

implementasi kebijakan berjalan sesuai yang digariskan atau tidak perlu untuk

dipahami benar apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan itu sendiri.

Secara sederhana implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagaia suatu

proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif

atau instruksi presiden (Wahab, 1991:50)

Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan ini dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian

antara pelaksanaan/penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran

kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi

pemecahan permasalahan yang dihadapi. Asumsi yang dapat dibangun

mengenai konsep keberhasilan implementasi kebijakan adalah “semakin tinggi

derajat kesesuaiannya maka semakin tinggi pula peluang keberhasilan kinerja

implementasi kebijakan untuk menghasilkan out put yang telah digariskan”

Dalam rangka pencapaian kesesuaian antara tujan dan sasaran kebijkan dengan

kenyataan dilapangan, salah seorang pakar bernama Jan Merse (Dalam

Sunggono, 1994) mengidentifikasi factor-faktor yang dapat menjadi penybab

kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan yakni informasi, isi kebijakan dan

dukungan serta pembagian potensi dalam arti kinerja koordinasi yang intensif.

4. Bagaimana Model Implementasi Kebijakan ?

Berikut akan diuraikan beberapa model implementasi kebijakan yang

dikemukakan oleh para pakar yakni :

Pertama, model Meter & Horn (1975) dimana model ini mengandaikan bahwa

implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik,

implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa indicator yang disertakan

yakni aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik dan

agen pelaksana, kondisi ekonomi, social dan politik, kecendrungan dari

pelaksana/implementator.

Kedua, model Mazmanian & Sabatier yang mengklasifikasikan proses

implementasi kebijakan kedalam tiga variable yakni variable independen, terkait

dengan mudah idaknya masalah dikendalikan, variable intervening yakni

Page 18: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

kemampuan untuk menstrukturkan proses implementasi dan variable dependen

yang terkait dengan tahapan dalam proses implementasi kebijakan.

Ketiga, model Hoogwood & Gun yang mempersyaratkan adanya jaminan

bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak

akan menimbulkan masalah yang besar, syarat ketersediaan sumber daya.

Syarat ketiga yakni perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar

ada, syarat berikutnya yakni apakah kebijakan yang akan diimplementasikan

didasari hubungan kausal yang andal dan berapa banyak hubungan kausal yang

terjadi. Syarat berikutnya yakni pemahaman mendalam terhadap tujuan dan

tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar, koordinasi dan

komunikasi dan adanya pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat

menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Keempat. Model Grindle (1980) yang ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks

implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan

ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan.

Kelima, model Elmore, Lipsky, Hjern & O’Porter. Dimana model ini dimulai dari

mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan

menanyakan kepada mereka, tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang

mereka miliki.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan dapat

dirumuskan sebagai tindakan yang dilakukan individu/kelompok/pejabat

pemerintah atau swasta yang diarahkan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan

dalam keputusan kebijakan dan sekalipun tindakan kebijakan yang dirancang

sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut

dapat diwujudkan semua kehendak kebijakan jika proses implementasi tidak

tepat.

Analisis ini secara khusus mengadopsi dan mengadaptasi model implementasi \yang

dikemukakan oleh Grindle dengan mengedepankan dua variable utama yakni

content of policy, context of implementation dan dampak-dampak dari kebijakan

itu sendiri. Variable yang digunakan untuk mengkaji keberhasilan program

adalah variable yang diturunkan dari isi kebijakan yakni kepentingan para pelaku,

Page 19: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

dukungan lingkungan yang berkaitan dengan pengerahan sumber daya dan

karekteristik pelaksana yang diturunkan dari konteks implementasi.

Selanjutnya, jika diamati model Grindle, maka isi kebijakan terdiri dari kepentingan

yang dipengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat

perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa yang menjadi

pelaksana program, sumber daya yang dikerahkan. Sedangkan konteks

implementasi terdiri dari kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat,

karakteristik lembaga dan penguasa, kepatuhana dan daya tangap.

5. Faktor-Faktor Apa Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan ?

Pendapat Jan Merse (Sunggono, 1994) di atas secara implicit telah mengungkapkan

factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yakni meliputi isi

kebijakan, informasi, dukungan dan pembagian potensi. Mudah tidaknya

masalah dikendalikan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan yang diambil

untuk diimplementasikan. Kesukaran teknis misalnya merupakan hal yang sulit

untuk dihindari dalam implementasi kebijakan. Untuk itu diperlukan suatu

kebijakan yang mudah dikendalikan untuk memperkecil tingkat kesulitan yang

terjadi

Program pemberdayan dengan alokasi dana zakat, infaq dan shadaqah ini

merupakan salah satu program yang berupaya untuk menunjang kebijakan

pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat berupa pengentasan kemiskinan

dan peningkatan daya saing sector riil.

Menyadari bahwa beragamnya pendapat para ahli mengenai factor-faktor yang

mempengaruhi kebrhasilan kinerja implementasi kebijakan sebagai variable

dependen dan mengingat implementasi program ini bertumpu pada keterpaduan

program dari para pelaksana, maka dalam menganalisa peneliti hanya akan

mengadopsi dua variable independen dari Grindle yakni kepentingan pelaksana

program dan dukungan lingkungan serta satu dari Meter dan Horn yakni variable

karakteristik pelaksana kebijakan.

Proses desentralisasi yang secara resmi ditandai dengan diberlakukannya UU No.

22/1999 dan UU No. 25/1999, mulai diimplementasikan pada tahun 2001 yang

lalu. Kedua UU tersebut telah disempurnakan melalui UU No. 32/2004 dan UU

Page 20: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

No. 33/2004. Pada hakikatnya, proses ini memberikan otonomi yang amat luas

kepada pemerintahan kabupaten dan kota untuk dapat memberikan pelayanan

publik yang lebih baik kepada masyarakat. Dengan ”didekatkannya”

pemerintahan kepada rakyat yang memberikan mandat, maka pemerintah

diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang lebih responsif terhadap

kebutuhan masyarakat

Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, pemerintahan daerah kabupaten

dan kota perlu memiliki kapasitas yang tinggi untuk dapat mengelola sumber

daya yang ada dengan baik dan efisien, serta untuk meningkatkan investasi

publik dan swasta di daerahnya. Jika semua hal ini dapat terjadi, diharapkan

bahwa kemiskinan dapat dikurangi dengan signifikan.

Pelayanan publik yang responsif pada kebutuhan rakyat tersebut hanya dapat

dilakukan jika terwujud mekanisme yang menjamin akses masyarakat untuk

mendapatkan informasi yang memadai (transparansi) serta dapat terlibat dalam

proses pengambilan kebijakan publik (partisipasi). Selain itu, diperlukan juga

suatu mekanisme yang menjamin akuntabilitas atas pengelolaan keuangan

daerah dan proses pengadaan barang dan jasa karena selama ini keduanya

merupakan titik-titik kritis yang sering menimbulkan inefisiensi atas pengelolaan

sumberdaya. Semua ini merupakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang

baik (good governance) yang perlu dilaksanakan di semua bidang¾mulai dari

kebijakan dan peraturan sampai pada implementasinya. Sampai saat ini, secara

umum proses desentralisasi menunjukkan kemajuan positif. Namun demikian,

otonomi daerah jelas bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan. Setiap

kabupaten/kota mempunyai kapasitas dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga

laju reformasinya berbeda-beda pula. Beberapa kabupaten sudah sangat maju

dengan program-program pembangunan yang terfokus dan serangkaian

pembaruan dalam pengelolaan pemerintahannya. Sementara itu, sejumlah

kabupaten lainnya, dengan memikul berbagai tanggungjawab baru, menjalankan

otonomi daerah dengan susah payah. Di samping itu, kesempatan untuk

melakukan pertukaran informasi dan pengalaman di antara kabupaten pun

sangat terbatas.

Page 21: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

7. Apa yang dimaksud Good Governance ?

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan

mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil

pembangunan. Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton (1999)

menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu indikator

pemerintahan menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali pendapatan per

kapita (range yang sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan

kenaikan tingkat melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa

penelitian lainnya juga menunjukkan hubungan kausalitas positif antara efisiensi

birokrasi dan menurunnya tingkat korupsi dengan pertumbuhan ekonomi dan

investasi asing

Bagi Indonesia, relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak

menyalahkan ‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini

menjadiyang kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara

Asia yang terkena krisis moneter 1997.

Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan

di dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan

digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan

kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap

berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir

dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan

representasi

Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu.

Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang

terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang

perlu dilakukan pemerintah.Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui

bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam

menjalankan kewenangan itu tinggi.Representasi diartikan sebagai hak untuk

mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya

dengan alokasi sumber daya.

Page 22: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana

pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi –lebih penting

lagi– adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol

pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable).

Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah

bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi,

akuntabilitas, dan partisipasi.

8. Apa tiga tiang dari Good Governance ?

A. Transparansi

Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap

setiap informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan,

serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial,

ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat

diakses oleh public (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung

jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi

yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau.

Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan

keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai

informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan

kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil

keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar

tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini

dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat

publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh

masyarakat luas.

B. Akuntabilitas

Akuntabilitas atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan

untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam

melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan

secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan

Page 23: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan,

implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi.

Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu

dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu,

akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat,

kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa

berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja

instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan

tercapainya berbagai standar tersebut.

Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-

accountabilitystructure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas

pada sektor public bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai

pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme

masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat

dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi

nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu

berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama

pentingnya.

Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan

resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui

publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan

tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator

penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan,

legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.

C. Partisipasi

Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran

masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima

manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek)

yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”,

mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan

pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga

Page 24: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini.Hubungan yang pertama

mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif

dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang

dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah –-yang diberi

mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini—dengan masyarakat (yang

diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik.

Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan

keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat

sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses

“pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau

“kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya.

Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang

kondusif. Sektor swasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya

meningkatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya

masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat,

organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi

interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi,

sosial, dan politik.

Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan

informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan

pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan

meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di

tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan

mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku

(stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan.

9. Bagaimana Hubungan antar Komponen Good Governance ?

Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu

mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam

mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas

penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi

public untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit

Page 25: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Di lain

pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya

hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah.

Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak

bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses

berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat

berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya. Satu hal penting

lainnya –untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang

besar seperti Indonesia– dibutuhkan adanyaotonomi yang demokratis di tingkat

pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan

masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil.

10. Bagaimanakah konsep Tata Kelola Pemerintahan Daerah ?

Tata kelola pemerintahan merupakan suatu konsep lama yang berasal dari teori politik

demokrasi awal yang membahas hubungan antara penguasa dengan rakyat. Sebagai

contoh, pada abad ke 19 Woodrow Wilson mendefinisikan tata kelola pemerintahan

sebagai ìsebuah pemerintahan yang dengan benar dan berhasil melaksanakan suatu

kebijakan dengan memperhatikan tingkat efisiensi dan dengan mengeluarkan biaya

dan tenaga yang paling sedikitî (dikutip oleh LaPorte 2002:3).

Meskipun tata kelola pemerintahan merupakan konsep yang sudah lama dikembangkan,

namun baru dalam satu dekade terakhir ini konsep tata kelola pemerintahan

mendapat perhatian cukup besar di kalangan pembuat kebijakan internasional.

Perkembangan demikian dimotivasi oleh suatu anggapan bahwa bantuan bilateral

dan multilateral dari negara maju ke negara berkembang telah gagal mencapai

tujuannya (misalnya untuk menanggulangi kemiskinan, mencapai pertumbuhan

ekonomi yang berkesinambungan, dll). Menurut mereka, hal ini terjadi karena

kapasitas administratif pemerintah negara sedang berkembang sangat buruk dalam

mengelola proyek-proyek bantuan, dan maraknya praktek KKN dalam

melaksanakan program bantuan tersebut. Dari pengalaman ini negara donor

kemudian menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik sangat penting

bagi suskesnya program bantuan luar negeri mereka di negara sedang berkembang.

Karena itu, negara donor telah mulai mengaitkan bantuan luar negeri mereka

Page 26: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

dengan upaya mewujudkan praktek tata kelola pemerintahan yang baik di negara-

negara sedang berkembang.

Ada beberapa definisi yang berbeda tentang tata kelola pemerintahan yang diajukan

oleh lembaga donor bilateral dan multilateral. Bank Dunia (1992) mendefinisikan

tata kelolapemerintahan yang baik sebagai: Suatu pelayanan publik yang efisien,

sebuah sistem peradilan yang dapat dipercaya, dan sebuah administrasi

pemerintahan yang bertanggungjawab kepada publik... Tata kelola pemerintahan

yang baik, bagi Bank Dunia, berkaitan erat dengan manajemen pembangunan yang

baik [Ini] sangat penting untuk membuat dan menciptakan suatu lingkungan yang

mendukung berlangsungnya pembangunan yang kuat dan merata, dan ini

merupakan suatu komponen yang penting untuk membuat kebijakan ekonomi yang

baik.

Lebih lanjut, Bank Dunia (1992) mendefinisikan tiga dimensi tata kelola

pemerintahan: (1) bentuk suatu rezim politik (parlementer atau presidensial,

pemerintahan militer atau sipil, dan otoriter atau demokratis); (2) proses di mana

kewenangan dilaksanakan dalam manajemen sumber ekonomi dan sosial suatu

negara; dan (3) kapasitas pemerintah untuk merancang, membentuk, dan

melaksanakan kebijakan, dan secara umum kapasitas untuk melaksanakan fungsi-

fungsi pemerintahan.

Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato yang menjelaskan kebijakan baru pemerintah

Amerika Serikat terhadap bantuan luar negeri ke negara sedang berkembang, Wakil

Presiden Albert Gore, Jr. (dikutip LaPorte (2002:4) menyebutkan lima dasar tata

kelola pemerintahan yang baik, yaitu: (1) administrasi negara haruslah jujur dan

transparan; (2) administrasi negara harus disederhanakan dan diselenggarakan

seefisien mungkin; (3) pemerintah pusat harus mendesentralisasikan sebagian

besar fungsinya kepada pemerintah di bawahnya dan melayani publik pada tingkat

yang paling dekat dengan rakyat; (4) negara demokratis harus menjamin keamanan

warga negaranya (baik dalam bidang politik maupun ekonomi); dan (5) negara

demokratis harus berdasar pada sistem pengadilan yang terbuka dan modern.

Sementara itu The United Nations Development Program (UNDP, 1997) mendefinisikan

tata kelola pemerintahan sebagai: Pelaksanaan kewenangan ekonomi, politik, dan

Page 27: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

administratif untuk menangani persoalan suatu negara dalam setiap tingkatan. Hal

ini terdiri dari mekanisme, proses, dan institusi dimana warga negara dan lembaga

masyarakat mengutarakan pendapat mereka, menggunakan hak hukum mereka,

memenuhi kewajibannya, dan menengahi perbedaan pendapat diantara mereka.

Terakhir, ekonom Bank Dunia Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Pablo Zoido- Lobation

(1999) mendefinisikan tata kelola pemerintahan yang baik sebagai: tradisi dan institusi

dimana kewenangan di sebuah negara dilaksanakan, yaitu: (1) proses dimana

pemerintahan dipilih, dimonitor, dan diganti; (2) kemampuan pemerintah untuk

merancang dan melaksanakan suatu kebijakan secara efektif; dan (3) rasa hormat warga

negara dan pemerintah terhadap institusi yang mengontrol interaksi ekonomi dan sosial

di antara mereka. Kesimpulannya, tata kelola pemerintahan merupakan suatu konsep

multidimensi yang terdiri dari variabel politik, ekonomi, dan sosial budaya yang

menentukan apakah kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dapat mencapai

tujuan yang ditargetkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai

definisi tata kelola pemerintahan yang baik di atas, Kinutha-Njenga (1999)

menyimpulkan bahwa praktek-praktek pemerintahan yang mencirikan bahwa suatu

negara melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut:a.

Pemerintah negara yang bersangkutan terpilih secara demokratis dan

mempromosikan/mendukung hak asasi manusia dan kepastian hukum (rule of law); b.

Terdapat gerakan masyarakat madani yang kuat dan sehat; c. Pemerintah negara

tersebut dapat membuat dan melaksanakan kebijakan public yang efektif; dan d.

Pemerintah negara tersebut mengatur ekonomi negaranya berdasarkan atas pasar yang

bebas, kompetitif, dan efisien serta pemilik modal.

11.Bagaimana Reformasi Pemerintah Daerah dalam Pembangunan di

Indonesia?Implementasi desentralisasi di banyak daerah otonom kini tidak

sepenuhnya bersifat reaksioner. Beranjak dari pengalaman getir bahwa

kebijakan otonomi daerah di Indonesia diwarnai arogansi pemerintah daerah

dalam membuat perda, tindakan eksploitatif terhadap sumberdaya

& stakeholders demi penimbunan PAD, serta ketimpangan antardaerah

berdasarkan polarisasi kaya-miskin, kini sedikit-banyak mulai memiliki alternatif

bentuk aplikasi yang terencana, inovatif, dan tentunya reformis. Jumlahnya tidak

Page 28: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

banyak, memang, tetapi taksiran awal sebanyak hanya 5% dari seluruh

kabupaten/ kota dan propinsi di Indonesia yang berinovasi serta melaksanakan

reformasi birokrasi dalam pemerintah daerahnya bisa menjadi bukti bahwa

otonomi daerah memiliki dampak positif dalam skala lokal, regional, dan

nasional.

Pembangunan daerah tentu memiliki banyak aspek dan pekerjaan rumah yang

menumpuk sehingga sulit bagi pemerintah daerah jika harus menggarap semua

aspek dan jenis pembangunan. Untuk mengoptimalkan pembangunan

daerahnya, pemerintah daerah mesti mencari daya pengungkit (leverage) yang

berujung pada penentuan skala prioritas. Keberhasilan pembangunan daerah

pada pokoknya menggunakan sejumlah pola leverage, yakni:

1. Reformasi birokrasi pemerintah daerah

2. Perluasan akses pendidikan bagi masyarakat

3. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat

12. Apakah Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah ?

Reformasi birokrasi publik pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya

mencakup pembenahan—jika tidak disebut perombakan—struktural menuju

perampingan ukuran dan komponen birokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam

PP No. 8 Tahun 2003. Lebih dari itu, reformasi birokrasi publik juga mencakup

perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat

pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik,

hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan &

pengayoman.

Pemerintah Kabupaten Sragen, misalnya, melakukan perombakan struktural dengan

penambahan satuan kerja adhoc. Kelembagaan satker adhoc ini tidak masuk ke

dalam struktur birokrasi pemda tetapi mengemban fungsi yang justru menunjang

pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya agar lebih optimal. Marketing

Unit (MU) dibentuk Pemkab Sragen sebagai unit fungsional yang bertugas dalam

memasarkan potensi sumberdaya kompetitif, peluang investasi, serta produk-

produk unggulan kepada pihak-pihak di dalam dan luar Kabupaten Sragen.

Bentuk kelembagaan adhocracy unit fungsional ini tidak hanya menjadikan MU

Page 29: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

dapat lincah dan leluasa bergerak dengan koordinasi langsung dengan Bupati/

Wakil Bupati tetapi juga memenuhi ketentuan PP No. 8 Tahun 2003 yang lebih

menekankan keterpenuhan fungsi daripada pengayaan struktur birokrasi.

Lembaga adhoc lain yang dibentuk adalah Engineering Services ((ES) yang dibentuk

untuk membuat seluruh perencanaan yang bersifat konstruksi. Perencanaan

berikut estimasi yang dibuat oleh satker ini akan menyelaraskan kebutuhan biaya

konstruksi dengan sumberdaya yang harus dikeluarkan pada setiap proyek

konstruksi. Cara kerja ini mirip sekali dengan Tim Owner Estimate (OE) bentukan

Pemkab Jembrana, Bali. Tim OE, melalui estimasi dan kalkulasi matematis atas

kebutuhan pekerjaan konstruksi, memberikan second opinion kepada Bupati

perihal kebutuhan yang sesungguhnya dari suatu pekerjaan konstruksi. Kerja

kedua satker ini, baik ES maupun OE, diarahkan pada minimasi praktek korupsi

yang hamper menjadi keumuman di banyak tempat terjadi dalam proyek-proyek

konstruksi.

13. Bagaimana Reformasi Struktural berdasarkan Goods Goverment ?

1. Pelayan Publik

Reformasi struktural birokrasi pemda juga memiliki varian lain,

yakni reengineering processterhadap pelayanan publik. Reformasi ini

menekankan pada rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan

dengan aspek struktural suatu birokrasi publik. Contoh nyata varian reformasi

ini adalah pelayanan satu pintu (one stop service), tidak sekadar satu atap,

untuk melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Bentuk

pelayanan ini baru bisa direkayasa dengan restrukturisasi organ satuan kerja

ke dalam satu Badan berikut pelimpahan kewenangan padanya, dipadukan

dengan penggunaan teknologi informasi intranet sebagai pewujudane-

government dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagai contoh, Pemkab

Kutai Timur membentuk Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan

Kabupaten (Badan Simpekab) yang melayani 42 jenis pelayanan. Dalam

ragam yang sama, Pemkab Sragen membentuk Badan Pelayanan Terpadu

(BPT) yang melayani 62 jenis pelayanan dengan batas waktu pelayanan

maksimal 12 hari (khusus pelayanan IMB 15 hari). Pengambil keputusan

Page 30: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

dalam pemberian izin tidak lagi bergantung pada Bupati tetapi telah

diserahkan kepada Kepala BPT. Kerja BPT ditunjang oleh teknologi informasi

(TI), menggunakan intranet dalam aplikasi Kantaya (Kantor Maya) yang

secara resiprokal menjamin pertukaran informasi secara efisien sekaligus

mekanisme pengawasan secara transparan antarsatker. Secara lebih luas

Pemkab Sragen memanfaatkan TI dalam pengoperasian kerja pemda

sehingga tidak terbatas pada BPT. Keberadaan Badan pelayanan satu pintu

semacam ini memangkas kesemrawutan pengurusan izin di berbagai dinas

sehingga pelayanan bisa memanfaatkan waktu yang lebih singkat.

Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa

internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari

keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa

kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate

culture yang berlandaskan semangat kewirausahaan. Bupati Sragen,

misalnya, selama enam bulan pertama masa jabatannya secara rutin

mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala satker untuk membicarakan

persoalan masyarakat yang terakumulasi dan belum terselesaikan untuk

kemudian dipecahkan bersama saat pertemuan itu juga. Bupati juga

mencanangkan nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda

berupa 5K: Komitmen, Konseptual, Kontinu, Konsisten, dan konsekuen. 5K

tidak sekadar dicanangkan tapi diintegraskan dalam mekanisme kerja harian,

terutama yang bersinggungan langsung dengan tupoksi Bupati/ Wakil Bupati.

Pemkab Sragen juga mengundang pelaku bisnis di perusahaan swasta untuk

memberikan pelatihan perilaku organisasi bagi pegawai BPT agar mereka

berperilaku dan bertindak selayaknya karyawan swasta yang berorientasi

pada kepuasan pengguna jasa (consumer,customer). Di samping itu,

pelatihan ESQ telah beberapa kali diselenggarakan

Untuk menangani masalah-masalah psikologis pegawai, Pemkab Sragen

membangun Klinik Terapi Holistik yang menjadi pusat konsultasi dan

penyelesaian problem personal pegawai, baik psikologis, spiritual, dan

medis. Klinik ini kemudian dikembangkan menjadi Assessment Center yang

Page 31: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

menjalankan penilaian prestasi kerja secara terukur dan solutif dengan

pendekatan holistik tadi. Semangat keiwarusahaan dipompa melalui

penyediaan professional fee bagi para pegawai satker yang melakukan

kegiatan-kegiatan produktif dan marketable. Production training center (PTC)

Garmen dan Meubel di Badan Diklat, Perangkat Pilkades secara elektronik di

Bag. Pemerintahan Umum Setda, aplikasi TI di Bag. Litbang & PDE Setda,

merupakan sedikit dari sekian banyak contoh satker yang bisa

meraihprofit dari program-program kegiatannya.

Berbeda dengan Pemkab Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme

honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay.

Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur

berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai

yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Di samping itu, pengerjaan

kegiatan-kegiatan Pemprov Gorontalo tidak lagi menggunakan sistem

proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki pembagian

tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah

dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja,

pegawai dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di

samping menekankan anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan,

transparansi dan akuntabilitas Pemprov Gorontalo diwujudkan dengan

pemuatan laporan keuangan yang spesifik di media massa.

2. Cara berbeda diterapkan Walikota Tarakan. Pemkot Tarakan,

Kalimantan Barat, melakukan outsourcing SDM dari luar jajaran Pemkot untuk duduk

menjabat sebagai kepala satker tertentu. Kepala Bappeda Kota Tarakan bisa

menjadi salah satu contoh. Target yang hendak dicapai melalui cara ini

adalah terjadinya transfer pengetahuan, budaya, cara berpikir, dan cara kerja

baru di lingkungan Pemkot. Pihak luar yang digandeng untuk ikut

menjalankan roda pemerintahan daerah diasumsikan memiliki karakter yang

masih segar dan belum mengalami kontak asimilasi budaya dengan pegawai

lama. Posisinya yang strategis memudahkannya dalam mengambil

keputusan sekaligus menjalankan peran pentng di lingkungan satker tempat

Page 32: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

ia bertugas. Langkah lain adalah dengan memangkas pengelolaan fungsi-

fungsi yang bukan merupakan pekerjaan pokok (core-business) pemkot.

Pengelolaan pasar, melalui sistem tender yang terbuka dan akuntabel,

dikelola perusahaan swasta dengan regulasi tetap di tangan Pemkot

sehingga intervensi pengelolaan pasar dan pengelolaan keuangan oleh

Pemkot melalui Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi berkurang. Hal ini di

Tarakan diterapkan di Pasar Boom-Panjang yang sekarang dikenal sebagai

pasar dengan kreativitas penggalian potensi laba, bersih dan apik, berbeda

dengan kondisi pasar-pasar tradisional pada umumnya. Perusahaan swasta

dalam mengelola pasar hanya menggunakan setengah karyawannya,

setengah kebutuhan jumlah pengelola diambil dari kalangan pedagang pasar

per blok.

3. Perluasan Akses Pendidikan bagi Masyarakat

Upaya memajukan dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang,

jauh melebihi usia tampuk pemerintahan seorang kepala daerah, bahkan

hingga dua kali masa jabatannya. Inilah yang menyebabkan tidak banyak

kepala daerah menjejakkan program-programnya pada sektor ini karena

dalam kurun waktu periode kekuasaannya, hasilnya tidak langsung

dirasakan, pun bersifat intangible. Tidak banyak pula pemda yang

menjadikan upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagai pengungkit

utama dalam mencapai kemajuan daerah. Namun, yang menjadi tren adalah

mengasumsikan kegiatan penarikan investor dan pengembangan kegiatan-

kegiatan jasa sebagai pengungkit kemajuan daerah. Hal ini tidak sepenuhnya

salah, memang, tetapi memandang dunia pendidikan sebelah mata jelas

bukan sikap yang bijak.

Ditengah-tengah menjamurnya tren tersebut, terdapat beberapa pemda

yangconcern memajukan dunaia pendidikan dengan memperluas akses

pendidikan bagi masyarakat sekaligus memperbaiki mutu

keberlangsungannnya. Di Maluku Utara, Pemkab Halmahera Selatan dalam

dua tahun terakhir telah menerapkan pendidikan gratis agar program wajib

belajar 12 tahun tidak sekadar jargon. Pendidikan gratis bagi para siswa

Page 33: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

sekolah dasar hingga menengah atas berkenaan dengan keadilan antaretnis

yang diharapkan berujung pada kebersamaan etnis. Jika pendidikan gratis

diterapkan untuk semua siswa, tidak akan ada kalangan etnis tertentu yang

merasa didiskriminasikan. Hal yang sama diterapkan di Kabupaten Kutai

Timur dalam setahun terakhir. Pemkab Kutai Timur menerapkan

pembebasan biaya pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi, termasuk

pungutan uang gedung, dan biaya ujian. Selain itu, pemkab juga memberikan

insentif tambahan bagi tenaga pendidik hingga Rp 1,5 juta. Ini semua

soal concern pemda agar tuntutan anggaran sebesar 20% dari APBD, selain

dari APBN, terpenuhi secara riil.

Di Kabupaten Jembrana, Bali, concern terhadap dunia pendidikan telah

dilakukan sejak lama, lebih-kurang enam tahun berjalan. Untuk memajukan

dunia pendidikan Pemkab Jembrana menggunakan kebijakan-kebijakan jitu

berdasarkan pelaku, program, dan sarana yang bermain di sektor ini.

Terhadap para siswa, Pemkab Jembrana menerapkan pendidikan gratis dari

tingkat pendidikan dasar hingga menengah (SMA) bagi mereka yang

menempuh pendidikan di sekolah negeri. Bagi yang bersekolah di swasta,

Pemkab memberikan beasiswa bagi siswa tidak mampu. Program ini untuk

membuka kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat untuk

mengecap pendidikan. Bagi tenaga pendidik, insentif Rp 5.000,00/ jam

mengajar dan tunjangan Rp 1 juta setiap tahun merupakan instrumen

pendorong semangat mengajar sekaligus membantu memperbaiki

kesejahteraan guru. Namun, ini tidak melupakan upaya perbaikan

infrastruktur pendidikan. Di saat banyak sekolah di berbagai daerah

mengalami kondisi fisik yang memperihatinkan, Pemkab Jembrana justru

melakukan perbaikan gedung dan sarana belajar-mengajar. Untuk

mengoptimalkan fungsi pendidikan yang tidak terperangkap pada rutinitas

pengajaran, Pemkab Jembrana menyelenggarakan Sekolah Kajian. Sekolah

ini memadukan sistem pendidikan yang diberlakukan di sejumlah sekolah,

seperti SMA Taruna Nusantara, Pondok Pesantren, serta pola pendidikan di

sekolah-sekolah Jepang. Jadilah kemudian model sekolah ini berorientasi

Page 34: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

pada pengembangan pendidikan secara lebih inovatif, muatan disiplin yang

tinggi, pendidikan akhlak secara intensif, keterampilan praktis, penguasaan

IPTEK sejak dini, dan berwawasan global. Secara praktis sekolah ini

dilaksanakan dengan sistem asrama (boarding school) dengan konsep full-

day school dalam pengertian yang sebenarnya, ditandai dengan waktu

belajar yang lebih lama daripada sekolah-sekolah konvensional serta

interaksi antara peserta didik dan pengasuh/ gurunya lebih intensif. Pilot

project program ini adalah SMPN 4 Mendoyo dan SMAN 2 Negara.

Berbeda dengan contoh di tiga kabupaten tadi, Pemkab Sragen tidak

menerapkan pendidikan gratis. Anggaran yang ada lebih banyak dialokasikan

pada upaya peningkatan kualitas keterampilan kerja masyarakat, baik untuk

keperluan bersaing di dunia kerja maupun modal nonfinansial dalam

berwirausaha. Inilah yang dijalankan pemkab Sragen melalui program

pelatihan kerja masyarakat secara gratis dan swadana di Badan Diklat.

Pendidikan dalam jalur formal diasumsikan lebih banyak dititikberatkan pada

pengasahan pengetahuan, sementara untuk tetapsurvive di lapangan

dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan, yakni keahlian praktis,

pengalaman yang memadai, dan semangat berwirausaha. Pemkot Tarakan

juga tidak menerapkan pendidikan gratis. Jika di Halmahera Selatan

pendidikan gratis diarahkan untuk mencapai keadilan antaretnis, Pemkot

Tarakan memandang pendidikan gratis justru mengarah pada ketidakadilan

berdasarkan stratifikasi sosial antara masyarakat mampu dan kurang

mampu. Sebagai gantinya, diselenggarakan subsidi silang antara siswa yang

mampu kepada siswa yang kurang mampu. Bentuk beasiswa yang diberikan

pun terbagi atas dua jenis: beasiswa tdak mampu dan beasiswa prestasi,

serta dibagikan kepada para siswa di sekolah negeri dan swasta.

4. Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat

Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan masyarakat biasanya tercermin

atas tiga hal. Pertama, infrastruktur dan sarana penunjang yang tidak

memadai, sebaliknya justru kumuh dan tak terawat. Kedua, pelayanan

kesehatan oleh tenaga medis dan ketersediaan obat-obatan. Ketiga, biaya

Page 35: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

pelayanan kesehatan yang mahal. Pemkab Jembrana, Bali misalnya ,

menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) untuk mengatasi

problem kesehatan masyarakat. Subsidi bidang kesehatan semula diarahkan

pada pengadaan obat-obatan di RSUD dan puskesmas sesuai kebutuhan

masyarakat. Namun, subsidi ini kemudian dialihkan langsung kepada

pengguna jasa kesehatan, yakni masyarakat itu sendiri, dengan mekanisme

asuransi jaminan kesehatan. Subsidi ini diberikan dalam bentuk premi biaya

rawat jalan tingkat pertama di unit-unit pelayanan kesehatan yang telah

melakukan kesepakatan dalam bentuk kontrak kerja dengan Badan

Penyelenggara JKJ. Karena subsidi untuk obat-obatan telah dialihkan ke

premi asuransi JKJ, RSUD dan puskemas mesti mencari sendiri pembiayaan

untuk pengadaannya. Peserta JKJ adalah seluruh masyarakat, terutama

masyarakat miskin dengan perolehan kartu keanggotaan JKJ yang bisa

dipergunakan untuk menjalani pengobatan rawat jalan di unit pelayanan

kesehatan pemerintah dan swasta.

Di Halmahera Selatan, hal serupa dijalankan oleh pemkab melalui Badan

Layanan Umum Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati.

BLUD menyelenggarakan jaminan kesehaan daerah dengan sistem iuran

mirip dengan premi asuransi di Jembrana. Kesehatan gratis diselenggarakan

bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Yang juga

diprioritaskan oleh pemkab adalah pembukaan unit-unit pelayanan kesehatan

di seluruh pelosok wilayah Halmahera Selatan. Hal ini menemukan

urgensinya tersendiri mengingat Halmahera Selatan terdiri atas daratan dan

kepulauan. Namun, diproyeksikan ke depan, melalui iuran masyarakat dalam

jumlah yang terjangkau, Rp 5.000,00/ bulan, bagi tiap orang masyarakat bisa

mendapatkan layanan pengobatan.

Penutup

Perubahan di daerah memang biasanya dimulai dengan pembenahan kelembagaan

birokrasi pemerintah daerah sebelum akhirnya merambah pada pembenahan di

sektor lain, misalnya peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akss

masyarakat ke dalamnya, peningkatan mutu kesehatan, penggalian potensi daerah

Page 36: 13 Masalah Pengelolaan Keuangannegara Dan Daeraha

untuk melakukan pembangunan berbasis keunggulan lokal, penggalakan usaha-

usaha di bidang jasa, dll. Beberapa penelitian hingga kini masih menemukan bahwa

perubahan-perubahan pada aparatur pemda masih terkait erat dengan langgam

keterikatan sistem yang diberlakukan secara birokratis. Belum ada penemuan

mutakhir bahwa perubahan tersebut mencakup perubahan secara ideologis dan

paradigmatik, dua hal yang justru menjadikan perubahan lebih permanen tanpa

ketergantungan pada sistem dan figur kepala daerah.

Hal yang sangat penting adalah penggunaan manajemen strategis dalam mengelola

aparat pemerintah daerah. Manajemen strategis, yang diarahkan dengan pemikiran

yang strategis pula, akan menjamin keberlangsungan pembangunan karena telah

memperhitungkan keuntungan sekaligus risiko di masa depan, jauh melampaui usia

periode kepemimpinan seorang kepala daerah. Di samping itu, manajemen strategis

juga menjadikan pemda turut mencurahkan perhatian mereka pada sektor-sektor

yang memberikan manfaat dalam jangka menengah dan panjang, misalnya sektor

pendidikan dan kesehatan. Namun, dari banyak penelitian di berbagai daerah, peran

kepala daerah sebagai inisiator reformasi dan inovasi pemda dalam pembangunan

regional merupakan faktor penting yang tak bsa ditawar kembali keberadaannya.

Manajemen strategis yang seharusnya dijalankan pemda bisa berjalan dengan pola

pikir visioner kepala daerah beserta aparaturnya agar fenomena Renstrada (rencana

strategis daerah) yang kini hanya menjadi dokumen bisu seakan tiada keharusan

bagi pemda untuk menerapakannya tidak berulang lagi di masa selanjutnya.