11-69

17
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Growth hormone deficiency, selanjutnya akan disebut GHD, adalah suatu kelainan yang terjadi pada kelenjar hipofisis. Pada keadaan ini, kelenjar hipofisis tidak dapat memproduksi GH (growth hormone) secara adekuat, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat dari keadaan normal. Pola pertumbuhan anak-anak merupakan hal penting dalam menentukan suatu pertumbuhan yang normal. Pertumbuhan normal pada anak-anak sekitar 2 inchi per tahun, sedangkan pada anak-anak yang mengalami GHD pertumbuhannya kurang dari 2 inchi per tahun. 1 Walaupun jauh lebih kecil dari keadaan normal, seorang anak dengan GHD memiliki proporsi ukuran tubuh yang normal dan terlihat lebih muda dibandingkan anak normal yang sama usianya. Pada banyak kasus, awalnya seorang anak tumbuh dengan normal sampai usia 2 atau 3 tahun dan kemudian tanda dari perlambatan pertumbuhan mulai terlihat. Namun, ada pula kasus lain yang menunjukkan seorang anak mengalami perlambatan pertumbuhan di awal kehidupannya. Insiden GHD diperkirakan berkisar diantara 1 : 4.000 dan 1 : 3.500, sehingga kasus GHD ini bukan lagi merupakan suatu kasus yang langka. 2 Sehingga, penting bagi seorang tenaga kesehatan, khususnya dokter, untuk mengetahui dan memahami bagaimana etiologi dan patofisiologi dari GHD.

description

k

Transcript of 11-69

Page 1: 11-69

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Growth hormone deficiency, selanjutnya akan disebut GHD, adalah suatu kelainan

yang terjadi pada kelenjar hipofisis. Pada keadaan ini, kelenjar hipofisis tidak dapat

memproduksi GH (growth hormone) secara adekuat, sehingga menyebabkan

pertumbuhan yang lebih lambat dari keadaan normal.

Pola pertumbuhan anak-anak merupakan hal penting dalam menentukan suatu

pertumbuhan yang normal. Pertumbuhan normal pada anak-anak sekitar 2 inchi per

tahun, sedangkan pada anak-anak yang mengalami GHD pertumbuhannya kurang dari 2

inchi per tahun.1 Walaupun jauh lebih kecil dari keadaan normal, seorang anak dengan

GHD memiliki proporsi ukuran tubuh yang normal dan terlihat lebih muda dibandingkan

anak normal yang sama usianya.

Pada banyak kasus, awalnya seorang anak tumbuh dengan normal sampai usia 2

atau 3 tahun dan kemudian tanda dari perlambatan pertumbuhan mulai terlihat. Namun,

ada pula kasus lain yang menunjukkan seorang anak mengalami perlambatan

pertumbuhan di awal kehidupannya. Insiden GHD diperkirakan berkisar diantara 1 :

4.000 dan 1 : 3.500, sehingga kasus GHD ini bukan lagi merupakan suatu kasus yang

langka.2 Sehingga, penting bagi seorang tenaga kesehatan, khususnya dokter, untuk

mengetahui dan memahami bagaimana etiologi dan patofisiologi dari GHD.

Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitr akron (ekstremitas) atrd megale

(besar), yang didasarkan atas salah satu temuan klinis akromegali, yaitu pembesaran

tangan dan kaki. Sebagian besar (98%o) kasus akromegali disebabkan oleh tumor

hipofisis. Gejala klinis yang dijumpai pada pasien akromegali disebabkan oleh massa

tumor dan hipersekresi hormon pertumbuhan (growth hormone) yangterj adi setelah

lempeng peftrmbuhan tulang menutup.l-4 Seiring dengan kemajuan dalam bidang

pencitraan dan waluasi hormonal, makin banyak pasien Akromegali ditemukan dan

mendapatkan tata laksana di Indonesia. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai

akromegali ditinjau dari aspek patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, serta tata

laksana.

I.2 Rumusan Masalah

1.2.a Apakah etiologi terjadinya GHD?

1.2.b Bagaimana proses patofisiologi dari GHD?

Page 2: 11-69

1.2.c Bagaimana proses patofisiologi dari Akromegali?

1.2.d Terapi Apa yang dapat diberikan pada kelainan Akromegali?

I.3 Tujuan Penulisan

1.3.a Mengetahui etiologi terjadinya GHD.

1.3.b Mengetahui proses patofisiologis dari GHD.

1.3.c Mengetahui proses patafisiologi dari Akromegali

1.3.d.Mengetahui terapi yang diberikan akromegali

Page 3: 11-69

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Etiologi

GHD dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kongenital dan didapat (acquired).

Penyebab GHD kongenital berkaitan dengan abnormalitas pada kelenjar hipofisis.

Sedangkan GHD didapat (acquired) disebabkan oleh adanya trauma, infeksi, radiasi pada

kepala, dan penyakit lain, seperti tumor.1,3 Pada beberapa kasus GHD tidak diketahui

penyebab terjadinya atau idiopatik. Kebanyakan pasien dengan kasus GHD idiopatik

mengalami kekurangan GHRH (growth hormone releasing hormone). Kelainan pada gen

juga dikatakan sebagai penyebab terjadinya GHD.2,4

II.2 Patofisiologi

Sekresi GH (growth hormone) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti stress, olahraga,

nutrisi, tidur, dan GH itu sendiri. Kontrol utama pada pelepasan GH adalah GHRH dan

somatostatin. GHRH memiliki peranan dalam stimulasi sintesis serta sekresi GH.

Sedangkan somatostatin menghambat pelepasan GH sebagai respon dari GHRH dan

faktor stimulus lain, seperti rendahnya konsentrasi glukosa darah.5 GH akan terikat pada

suatu growth hormone-binding protein (GHBP) dan bersirkulasi ke seluruh jaringan

tubuh. Ketika GH beredar di dalam sirkulasi sistemik, terjadi pelepasan IGF-1 (insulin-

like growth factor 1) yang akan berikatan dengan IGF-binding proteins (IGFBPs). IGF-1

bekerja sebagai penghambat dari pelepasan GH.3,5

GHD dapat terjadi karena adanya gangguan pada axis GH di otak, hipotalamus, atau

hipofisis. Terdapat dua jenis GHD, yaitu MPHD (Multiple Pituitary Hormone

Deficiency) dan IGHD (Isolated Growth Hormone Deficiency), baik secara kongenital

ataupun didapat (acquired).3,4

MPHD kongenital disebabkan oleh adanya mutasi dari berbagai faktor trankripsi

pada hipofisis sehingga terjadi berbagai bentuk defisiensi hormon hipofisis. Gen-gen

yang mengalami mutasi, diantara lain HESX1, LHX3, LHX4, PTX2, PROP1, dan

PIT1/POU1F1.2,4

a. HESX1 diekspresikan di dalam prekursor kelima tipe sel dari hipofisis anterior

pada awal perkembangan embriologik. Mutasi pada HESX1 dapat menyebabkan

terjadinya defisiensi GH, prolaktin (PRL), TSH, LH, FSH, dan ACTH. Mutasi

pada HESX1 menghasilkan suatu kompleks fenotip dengan defek pada

Page 4: 11-69

perkembangan saraf optikus. Mutasi loss-of-function heterozigot menunjukkan

kombinasi dari IGHD dan hipoplasia saraf optikus. Sedangkan mutasi homozigot

dapat menyebabkan septo-optic dysplasia (SOD), yang berakibat pada

perkembangan tidak sempurna dari septum pellucidum dengan hipoplasia saraf

optikus dan abnormalitas lainnya.

b. LHX3 mengaktifkan α-GSU promoter dan bekerja secara sinergis dengan

PIT1/POU1F1 untuk meningkatkan transkripsi dari PRL, β-TSH, dan

PIT1/POU1F1 promoter. Mutasi dari LHX3 akan menyebabkan defisiensi dari

GH, PRL, TSH, LH, dan FSH, tetapi tidak ACTH. Defisiensi yang terjadi masih

belum dapat dijelaskan mekanismenya, apakah terjadi sejak lahir atau pun

muncul kemudian pada masa kanak-kanak.

c. LHX4 bila mengalami mutasi akan menyebabkan defisiensi produksi GH secara

konsisten dengan atau tanpa adanya defisiensi TSH dan ACTH.

d. PTX2 yang mengalami mutasi akan menyebabkan terbentuknya suatu fenotip

yang kompleks, dan kemudian gangguan ini disebut sebagai sindrom Rieger. Hal

tersebut menyebabkan terjadinya berbagai macam defisiensi hormon dari

hipofisis anterior. Anak dengan sindrom Rieger mengalami colobomas pada iris

dan abnormalitas perkembangan ginjal, gastrointestinal, dan umbilikus.

e. PROP1 ditemukan pada nucleus dari sel somatotrope, lactotrope, dan thyrotroph.

Gen ini memiliki fungsi untuk mengaktifkan ekspresi gen PIT1/POU1F1. Mutasi

dari PROP1 merupakan penyebab umum terjadinya MPHD resesif. Pada mutasi

PROP1 terjadi defisiensi dari GH, PRL, LH, FSH, dan terkadang ACTH.

f. PIT1/POU1F1 merupakan suatu protein nuclear yang terikat pada GH dan PRL

promoter. PIT1/POU1F1 dibutuhkan pada pembentukan dan fungsi matur dari

somatotrope, lactotrope, dan thyrotrope. Mutasi dominan dan resesif

PIT1/POU1F1 memegang peranan penting dalam defisiensi komplit dari GH dan

PRL serta variable defisiensi TSH.

MPHD yang didapat (acquired) disebabkan oleh lesi yang menyebabkan kerusakan

hipotalamus, pituitary stalk, atau hipofisis anterior yang mengakibatkan defisiensi

hormon hipofisis.4 Lesi yang biasa menyebabkan MPHD didapat (acquired) adalah

craniopharyngioma, yaitu suatu tumor intrakranial benigna berasal dari sel-sel pada

kantong Rathke atau pituitary stalk yang memiliki struktur kistik dan solid.6 Apabila

craniopharyngioma menekan pituitary stalk atau mengenai area dari kelenjar hipofisis,

Page 5: 11-69

maka tumor tersebut dapat menyebabkan defisiensi parsial atau komplit dari hormon

hipofisis, salah satunya adalah GH.7

IGHD kongenital disebabkan oleh abnormalitas reseptor GHRH, gen GH, dan gen

pada kromosom X.4 IGHD tipe 1A diturunkan dengan pola resesif autosomal, dimana

pasien mengalami delesi, mutasi frameshift, dan mutasi nonsense pada gen GH. Pasien

dengan IGHD tipe 1B mengalami mutasi splice site resesif dan defisiensi GH inkomplit.

Sedangkan IGHD tipe 2 berkaitan dengan defisiensi GH autosomal dominan akibat

adanya mutasi splice site dan mutasi missense.2 Pada pasien IGHD tipe 2 dengan

defisiensi GH terkait kromosom X seringkali berkaitan dengan

hypogammaglobulinemia.2,4 Adapun yang dimaksud dengan hypogammaglobulinemia

merupakan suatu keadaan dimana tubuh mengalami defisiensi seluruh jenis

immunoglobulin. Sehingga, tubuh berada dalam keadaan imunodefisiensi dan tidak dapat

membentuk antibodi secara efektif.8 Terdapat hipogammaglobulinemia yang terkait

dengan kromosom X, yang disebut sebagai X-linked Agammaglobulinemia (XLA). Pada

keadaan tersebut kromosom X mengalami defek sehingga immunoglobulin tidak

terbentuk. Sesungguhnya, defek yang terjadi pada XLA tidak berkaitan dengan

immunoglobulin, tetapi lebih pada sel B yang memproduksi immunoglobulin. Sel B

tidak dapat memproduksi immunoglobulin karena adanya defek pada enzim yang penting

dalam maturasi sel B, yaitu Bruton’s agammaglobulinemia tyrosine kinase (Btk), dimana

gen pembentuk Btk ditemukan di kromosom X. Pada XLA terdapat defek kromosom X

sehingga terjadi mutasi yang menyebabkan terjadinya defek Btk dan kemudian

mengakibatkan maturasi sel B tidak terjadi. Oleh karena maturasi sel B tidak terjadi,

maka immunoglobulin pun tidak dapat terbentuk.9

Penyebab IGHD didapat (acquired) diantaranya adalah penggunaan radioterapi untuk

kasus keganasan, meningitis, histiocytosis, dan trauma. Anak-anak yang menjalani

radioterapi untuk tumor CNS atau untuk mencegah keganasan CNS, seperti leukemia,

memiliki resiko tinggi mengalami defisiensi GH.2,4 Radiasi dari radioterapi dapat

menyebabkan kerusakan pada sel somatotrope, sehingga mengganggu pelepasan dari

GH.10

II.2.1 Patofisiologi Akromegali

Tumor hipofisis afiterior akan menimbulkan efek massa terhadap struktur

sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit kepala dan gangguan

penglihatan. Pembesaran ukuran tumor akan menyebabkan timbulnya keluhan sakit

Page 6: 11-69

kepala, dan penekanan pada kiasma optikum 280 akan menyebabkan gangguan

penglihatan dan penyempitan lapang pandang. Selain itu, penekanan pada daerah otak

lainnya juga dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, dan gangguan kepribadian. 35

Pada akromegali dapat terjadi hipersekresi maupun penekanan sekresi hormon yang

dihasilkan oleh hipofisis anterior. Hiperprolaktinemia drjumpu pada30% kasus sebagai

akibat dari penekanan tangkai atau histopatologi tumor tipe campuran. Selain itu, dapat

terjadi hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh massa hrmor.

Hipenekresi hormon pefiumbuhan dapat menimbulkan berbagai macam

perubahan metabolik dan sistemik, seperti pembengkakan jaringan lunak akibat

peningkatan deposisi glikosaminoglikan serta retensi cahan dan natrium oleh gnjal,

perhunbuhan tulang yangberlebihan, misalnya pada tulang wajah dan ekstremitas,

kelemahan tendon dan ligamen sendi, penebalan jaringan kartilago sendi dan jningan

fibrosa periartikular, osteoartritis, serta peningkatan aktivitas kelenjar keringat dan

sebasea.

Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan organ

dalam dan metabolik. Pembesaran organ dalam (organomegali) seringkali ditemukan.

Pada jantrng terjadi hipertrofi keduaventrikel. Retensi cairan dan natrium akan

menyebabkan peningkatanvolume plasrna dan berperanan dalam terjadinya hipertensi

pada pasien akromegali. Selain itu, efek kontra hormon pertumbuhan terhadap kerja

insulin di jaringan hati maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu (

I 5TQ, gangguan glukosa darah puasa dan diabetes mellitus.

Efek tersebut diperkirakan terjadi melalui peningkatan produksi dan ambilan

asam lemak bebas. Resistensi insulin terjadi akibat peningkatan massa jaringan lemak,

pentrunan lean body mass, serta gangguan aktivitas fisik.e Gangguan kerja enzim

trigliserida lipase dan lipoprotein lipase di hati akan menyebabkan hipertrigli seridefi.

Perubahanjuga dapat terjadi pada saluran napas atas, seperti pembesaran sinus paranasal

dan penebalan pita suara. Selain itu, lidah dapat membesar dan massajaringan lunak di

daerah saluran napas atas bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan Pada

pasien akromegali juga dapat terjadi hiperkalsiuri hiperkalsemia, dan nefrolitiasis, yang

disebabkan oleh stimulasi enzim lcr-hidroksilase, sehingga meningkatkan kadar vitamin

D, yang akan meningkatkan absorbsi

kalsium. Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dan sensorik.

Neuropati yang terjadi diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang sering ditemukan

pada pasien akromegali.

Page 7: 11-69

Edema pada sinovium sendi pergelangan tangan dan pertumbuhan tendon dapat

menyebabkan sindrom terowongan karpal (carpal tunne I syndrome). Terapi yang

diberikan pada kelainan Akromegali

Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas dua hingga

empatkali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat

menurunkan angka mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah

mengendalikan

pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan, dan

normalisasi kadar IGF-I. Terdapat tiga modalitas terapi yangdapat dilalnrkan pada kasus

akromegali, yaitu pembedahan, medikamentosa dan radioterapi, Masing-masing

modalitas memiliki keuntungan dan kelemahan, tetapi kombinasi berbagai modalitas

yang ada dlharapkan dapat menghasilkan tata laksana yang optimal.

Pembedahan

Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa tumor

sehingga kendali terhadap sekresi hormon perturnbuhan dapat tercapai. Tindakan ini

menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor. Ukuran

tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka keberhasilanterapi. Pada pasien

dengan mikroadenoma (rikuran trmor <1 0 mm), angka normalimsi IGFI mencapai 75-

95, sementara pada makroadenoma angfua normalisasi hormonal lebih rendah yaitu 40-

68%. Selain ukuran tumor faktor lain yang menenfitkan keberhasilan tindakan operasi

adalah pengalaman dokter bedah dan kadar hormon sebelum operasi. Teknik

pembedahan yang kini dikerjakan di Indcnesia adalah transfenoid per endoskopi. Teknik

tersebut memiliki keunggulan dalam visualisasi lapangan operasi serta angka kesakitan

yang lebih rendah dibandingfuan teknik per milcoskopik. Tidak semua kasus

akromegali dapat diatasi hanya dengan pembedahan.Pada keadaan ini dapat dipilih terapi

alternatif dengan terapi medikamentosa atau radioterapi pasca pembedahan. Tata laksana

medikamentosajuga dapat menjadi pilihan pertama pada kasus tersebut.

Medikamentosa

Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan, yakni agonis

dopamin, analog somatostatin, dan antagonis reseptor hormon perhrmbuhan. Dopamin

agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergaline. Monoterapi dengan cabergoline

memiliki efikasi antara syodalanmenorrnalisasi kadar IGF-I. Pasien yang menolak

Page 8: 11-69

tindakan operasi dan pemberian obat injeksi dapat menggunakan obat golongan ini,

mengingat dopamine agonis merupakan satu-satunya golongan obat dalam tata laksana

akromegali yang dapat dikonsumsi secara oral.

Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatir yaitu

menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Obat golongan ini memiliki efektivitas

sekitar otot dalam menormalisasi kadar IGF-I dan hormon perhrmbuhan. Efektivitasnya

yang tinggi menjadikan obat golongan analog somatostatin sebagai pilihan pertama

dalam terapi medikamentosa. Studi yang menilai efektivitas obat golongan ini

memperlihatkan bahwa normalisasi IGF-I tercapai pada 51% subjek setelah pernberian

analog somatostatin kerja panjang selama 36 bulax. Pada 32Yo subjek penelitian terjadi

reduksi IGF-1 sekitar lebih dari 5070. 13,16 Selain menormalisasi kadar IGF-I, terapi

analog somatostatin juga dapat mengecilkan ukuran tumor, perbaikan fungsi jantung,

tekanan darah, serta profil lipid. Kendala utama yang dihadapi hingga saat ini adalah

mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.

Analog somatostatin diberikan secara injeksi subkutan beberapakali dalam

sehari, tetapi saat ini terdapat terapi Akromegalil sediaan baru dengan masa kerja

panjang yang diberikan secara injeksi intramuskular setiap 28 hari sekali.

Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam terapi

medikamentosa akromegali. Obat golongan ini direkomendasikan pada kasus akromegali

yang tidak dapat dikontrol dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin,

maupun analog somatostatin. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan dapat

menormalisasi kadar IGF-I pada pasien. Sebuah studi yang menilai efektivitas serta

keamanan terapi obat golongan ini sebagai monoterapi atau kombinasi dengan analog

somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalan

menormalisasi kadar IGF- I .

Radioterapi

Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi first line pada kasus

akromegali karena lamanya rentang waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kaii

dimulai. Radioterapi konvensional dengan dosis terbagi memerlukan waktu 10-20 tahun

untuk mencapai terapi yang efektif, sementara beberapa teknik radioterapi yang baru,

yaitu gamma knife, proton beam, linac stereotactic radiotherapy dapat memberikan

remisi yang lebih cepat. Studi yang menilai efektivitas stereotacti c radiotherapy

terhadap para pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi konvensional tahun

Page 9: 11-69

pascaterapi. Saat ini di Indonesia modalitas stereotactic radiotherapy telah digunakan

pada kasus akromegali.

Pemantauan Terapi

Pemantauan respon biokimiawi terapi dilakukan dengan memeriksa kadar

hormon perfumbuhan dan IGF-I. Pemeriksaan kadar hormon pertumbuhan setelah

pembebanan glukosa lebih baik dibandingkan pemeriksaan kadar hormone sewaktu.

Umumnya pemeriksaan tersebut dilakukan 3-6 bulan setelah pembedahan. Kendali

biokimiawi didefinisikan sebagai kadar hormon pertumbuhan <1,0 ml setelah

pembebanan glukosa, dan kadar IGF-I yang normal. Pemeriksaan MRI pascaoperasi

umumnya dilakukan 3-4 bulan kemudian. Pada pasien yang menjalani terapi

medikamentosa pemeriksaan MRI dilalilkan setiap 3-4 bulan setelah terapi dimulai.

Pemeriksaan hormon hipofi sis dilalokan segera setelah terapi pembedahan unlrk

mengevaluasi preservasi fungsi hipofisis serta terjadinya insufisiensi adrenal. Pada

pasien yang menjalani terapi medikamentosa, pemeriksaan hormone hipofisis lainnya

dilalskan sesuai penilaian klinis.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Sekresi GH (growth hormone) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti stress,

olahraga, nutrisi, tidur, dan GH itu sendiri. Kontrol utama pada pelepasan GH adalah

GHRH dan somatostatin. GHD dapat terjadi karena adanya gangguan pada axis GH di

otak, hipotalamus, atau hipofisis. Terdapat dua jenis GHD, yaitu MPHD (Multiple

Pituitary Hormone Deficiency) dan IGHD (Isolated Growth Hormone Deficiency), baik

secara kongenital ataupun didapat (acquired).

MPHD kongenital disebabkan oleh adanya mutasi dari berbagai faktor trankripsi pada

hipofisis sehingga terjadi berbagai bentuk defisiensi hormon hipofisis. Gen-gen yang

Page 10: 11-69

mengalami mutasi, diantara lain HESX1, LHX3, LHX4, PTX2, PROP1, dan

PIT1/POU1F1. MPHD yang didapat (acquired) disebabkan oleh lesi yang

menyebabkan kerusakan hipotalamus, pituitary stalk, atau hipofisis anterior yang

mengakibatkan defisiensi hormon hipofisis. IGHD kongenital disebabkan oleh

abnormalitas reseptor GHRH, gen GH, dan gen pada kromosom X. Penyebab IGHD

didapat (acquired) diantaranya adalah penggunaan radioterapi untuk kasus keganasan,

meningitis, histiocytosis, dan trauma.

Akromegali merupakan penyakit akibat tumor hipofsis yang mensekresi

hormone pertumbuhan berlebihan. Diagnosis akromegali ditegakkan atas dasar temuan

klinis, evaluasi laboratorium, dan pencitraan hipofisis. Tata laksana akromegali yang

ada saat ini meliputi terapi pembedahan, medikamentosa dan radioterapi

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemp, Stephen. Growth Hormone Deficiency in Children. December 30, 2005.

Available at

http://www.emedicinehealth.com/growth_hormone_deficiency_in_children/

article_em. htm. Accessed on September 28, 2011.

2. Styne, Dennis. Chapter 6: Growth. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology 9th

Edition. China. 2011.

3. Kemp, Stephen. Pediatric Growth Hormone Deficiency. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/923688-overview. Accessed on September 28,

2011.

Page 11: 11-69

4. John S. Parks and Eric I. Felner. Chapter 558: Hypopituitarism. Nelson Textbook of

Pediatrics 18th Edition. Philadelphia. 2007.

5. Molina, Patricia E. Chapter 3: Anterior Pituitary Gland. Endocrine Physiology 3rd

Edition. USA. 2010.

6. Mosby’s Medical Dictionary 8th Edition. Available at http://medical-

dictionary.thefreedictionary.com/Craniopharyngioma. Accessed on September 30,

2011.

7. Anonim. Pituitary Disorders: Craniopharyngioma. Available at

http://www.pituitary.org/disorders/craniopharyngiomas.aspx. Accessed on September

30, 2011.

8. Lloyd, Emma. What is Hypogammaglobulinemia. August 26, 2006. Available at

http://www.wisegeek.com/what-is-hypogammaglobulinemia.htm. Accessed on

September 30, 2011.

9. Gale Encyclopedia of Medicine. Available at http://medical-

dictionary.thefreedictionary.com/X-linked+agammaglobulinemia. Accessed on

September 30, 2011.

10. Vera Popovic, Sandra Pekic, Ivana Golubicic et al. The Impact of Cranial Irradiation

on GH Responsiveness to GHRH plus GH-Releasing Peptide 6. JCEM. 2002: 87(5):

2095-2099.