11-69
description
Transcript of 11-69
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Growth hormone deficiency, selanjutnya akan disebut GHD, adalah suatu kelainan
yang terjadi pada kelenjar hipofisis. Pada keadaan ini, kelenjar hipofisis tidak dapat
memproduksi GH (growth hormone) secara adekuat, sehingga menyebabkan
pertumbuhan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Pola pertumbuhan anak-anak merupakan hal penting dalam menentukan suatu
pertumbuhan yang normal. Pertumbuhan normal pada anak-anak sekitar 2 inchi per
tahun, sedangkan pada anak-anak yang mengalami GHD pertumbuhannya kurang dari 2
inchi per tahun.1 Walaupun jauh lebih kecil dari keadaan normal, seorang anak dengan
GHD memiliki proporsi ukuran tubuh yang normal dan terlihat lebih muda dibandingkan
anak normal yang sama usianya.
Pada banyak kasus, awalnya seorang anak tumbuh dengan normal sampai usia 2
atau 3 tahun dan kemudian tanda dari perlambatan pertumbuhan mulai terlihat. Namun,
ada pula kasus lain yang menunjukkan seorang anak mengalami perlambatan
pertumbuhan di awal kehidupannya. Insiden GHD diperkirakan berkisar diantara 1 :
4.000 dan 1 : 3.500, sehingga kasus GHD ini bukan lagi merupakan suatu kasus yang
langka.2 Sehingga, penting bagi seorang tenaga kesehatan, khususnya dokter, untuk
mengetahui dan memahami bagaimana etiologi dan patofisiologi dari GHD.
Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitr akron (ekstremitas) atrd megale
(besar), yang didasarkan atas salah satu temuan klinis akromegali, yaitu pembesaran
tangan dan kaki. Sebagian besar (98%o) kasus akromegali disebabkan oleh tumor
hipofisis. Gejala klinis yang dijumpai pada pasien akromegali disebabkan oleh massa
tumor dan hipersekresi hormon pertumbuhan (growth hormone) yangterj adi setelah
lempeng peftrmbuhan tulang menutup.l-4 Seiring dengan kemajuan dalam bidang
pencitraan dan waluasi hormonal, makin banyak pasien Akromegali ditemukan dan
mendapatkan tata laksana di Indonesia. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai
akromegali ditinjau dari aspek patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, serta tata
laksana.
I.2 Rumusan Masalah
1.2.a Apakah etiologi terjadinya GHD?
1.2.b Bagaimana proses patofisiologi dari GHD?
1.2.c Bagaimana proses patofisiologi dari Akromegali?
1.2.d Terapi Apa yang dapat diberikan pada kelainan Akromegali?
I.3 Tujuan Penulisan
1.3.a Mengetahui etiologi terjadinya GHD.
1.3.b Mengetahui proses patofisiologis dari GHD.
1.3.c Mengetahui proses patafisiologi dari Akromegali
1.3.d.Mengetahui terapi yang diberikan akromegali
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Etiologi
GHD dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kongenital dan didapat (acquired).
Penyebab GHD kongenital berkaitan dengan abnormalitas pada kelenjar hipofisis.
Sedangkan GHD didapat (acquired) disebabkan oleh adanya trauma, infeksi, radiasi pada
kepala, dan penyakit lain, seperti tumor.1,3 Pada beberapa kasus GHD tidak diketahui
penyebab terjadinya atau idiopatik. Kebanyakan pasien dengan kasus GHD idiopatik
mengalami kekurangan GHRH (growth hormone releasing hormone). Kelainan pada gen
juga dikatakan sebagai penyebab terjadinya GHD.2,4
II.2 Patofisiologi
Sekresi GH (growth hormone) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti stress, olahraga,
nutrisi, tidur, dan GH itu sendiri. Kontrol utama pada pelepasan GH adalah GHRH dan
somatostatin. GHRH memiliki peranan dalam stimulasi sintesis serta sekresi GH.
Sedangkan somatostatin menghambat pelepasan GH sebagai respon dari GHRH dan
faktor stimulus lain, seperti rendahnya konsentrasi glukosa darah.5 GH akan terikat pada
suatu growth hormone-binding protein (GHBP) dan bersirkulasi ke seluruh jaringan
tubuh. Ketika GH beredar di dalam sirkulasi sistemik, terjadi pelepasan IGF-1 (insulin-
like growth factor 1) yang akan berikatan dengan IGF-binding proteins (IGFBPs). IGF-1
bekerja sebagai penghambat dari pelepasan GH.3,5
GHD dapat terjadi karena adanya gangguan pada axis GH di otak, hipotalamus, atau
hipofisis. Terdapat dua jenis GHD, yaitu MPHD (Multiple Pituitary Hormone
Deficiency) dan IGHD (Isolated Growth Hormone Deficiency), baik secara kongenital
ataupun didapat (acquired).3,4
MPHD kongenital disebabkan oleh adanya mutasi dari berbagai faktor trankripsi
pada hipofisis sehingga terjadi berbagai bentuk defisiensi hormon hipofisis. Gen-gen
yang mengalami mutasi, diantara lain HESX1, LHX3, LHX4, PTX2, PROP1, dan
PIT1/POU1F1.2,4
a. HESX1 diekspresikan di dalam prekursor kelima tipe sel dari hipofisis anterior
pada awal perkembangan embriologik. Mutasi pada HESX1 dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi GH, prolaktin (PRL), TSH, LH, FSH, dan ACTH. Mutasi
pada HESX1 menghasilkan suatu kompleks fenotip dengan defek pada
perkembangan saraf optikus. Mutasi loss-of-function heterozigot menunjukkan
kombinasi dari IGHD dan hipoplasia saraf optikus. Sedangkan mutasi homozigot
dapat menyebabkan septo-optic dysplasia (SOD), yang berakibat pada
perkembangan tidak sempurna dari septum pellucidum dengan hipoplasia saraf
optikus dan abnormalitas lainnya.
b. LHX3 mengaktifkan α-GSU promoter dan bekerja secara sinergis dengan
PIT1/POU1F1 untuk meningkatkan transkripsi dari PRL, β-TSH, dan
PIT1/POU1F1 promoter. Mutasi dari LHX3 akan menyebabkan defisiensi dari
GH, PRL, TSH, LH, dan FSH, tetapi tidak ACTH. Defisiensi yang terjadi masih
belum dapat dijelaskan mekanismenya, apakah terjadi sejak lahir atau pun
muncul kemudian pada masa kanak-kanak.
c. LHX4 bila mengalami mutasi akan menyebabkan defisiensi produksi GH secara
konsisten dengan atau tanpa adanya defisiensi TSH dan ACTH.
d. PTX2 yang mengalami mutasi akan menyebabkan terbentuknya suatu fenotip
yang kompleks, dan kemudian gangguan ini disebut sebagai sindrom Rieger. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya berbagai macam defisiensi hormon dari
hipofisis anterior. Anak dengan sindrom Rieger mengalami colobomas pada iris
dan abnormalitas perkembangan ginjal, gastrointestinal, dan umbilikus.
e. PROP1 ditemukan pada nucleus dari sel somatotrope, lactotrope, dan thyrotroph.
Gen ini memiliki fungsi untuk mengaktifkan ekspresi gen PIT1/POU1F1. Mutasi
dari PROP1 merupakan penyebab umum terjadinya MPHD resesif. Pada mutasi
PROP1 terjadi defisiensi dari GH, PRL, LH, FSH, dan terkadang ACTH.
f. PIT1/POU1F1 merupakan suatu protein nuclear yang terikat pada GH dan PRL
promoter. PIT1/POU1F1 dibutuhkan pada pembentukan dan fungsi matur dari
somatotrope, lactotrope, dan thyrotrope. Mutasi dominan dan resesif
PIT1/POU1F1 memegang peranan penting dalam defisiensi komplit dari GH dan
PRL serta variable defisiensi TSH.
MPHD yang didapat (acquired) disebabkan oleh lesi yang menyebabkan kerusakan
hipotalamus, pituitary stalk, atau hipofisis anterior yang mengakibatkan defisiensi
hormon hipofisis.4 Lesi yang biasa menyebabkan MPHD didapat (acquired) adalah
craniopharyngioma, yaitu suatu tumor intrakranial benigna berasal dari sel-sel pada
kantong Rathke atau pituitary stalk yang memiliki struktur kistik dan solid.6 Apabila
craniopharyngioma menekan pituitary stalk atau mengenai area dari kelenjar hipofisis,
maka tumor tersebut dapat menyebabkan defisiensi parsial atau komplit dari hormon
hipofisis, salah satunya adalah GH.7
IGHD kongenital disebabkan oleh abnormalitas reseptor GHRH, gen GH, dan gen
pada kromosom X.4 IGHD tipe 1A diturunkan dengan pola resesif autosomal, dimana
pasien mengalami delesi, mutasi frameshift, dan mutasi nonsense pada gen GH. Pasien
dengan IGHD tipe 1B mengalami mutasi splice site resesif dan defisiensi GH inkomplit.
Sedangkan IGHD tipe 2 berkaitan dengan defisiensi GH autosomal dominan akibat
adanya mutasi splice site dan mutasi missense.2 Pada pasien IGHD tipe 2 dengan
defisiensi GH terkait kromosom X seringkali berkaitan dengan
hypogammaglobulinemia.2,4 Adapun yang dimaksud dengan hypogammaglobulinemia
merupakan suatu keadaan dimana tubuh mengalami defisiensi seluruh jenis
immunoglobulin. Sehingga, tubuh berada dalam keadaan imunodefisiensi dan tidak dapat
membentuk antibodi secara efektif.8 Terdapat hipogammaglobulinemia yang terkait
dengan kromosom X, yang disebut sebagai X-linked Agammaglobulinemia (XLA). Pada
keadaan tersebut kromosom X mengalami defek sehingga immunoglobulin tidak
terbentuk. Sesungguhnya, defek yang terjadi pada XLA tidak berkaitan dengan
immunoglobulin, tetapi lebih pada sel B yang memproduksi immunoglobulin. Sel B
tidak dapat memproduksi immunoglobulin karena adanya defek pada enzim yang penting
dalam maturasi sel B, yaitu Bruton’s agammaglobulinemia tyrosine kinase (Btk), dimana
gen pembentuk Btk ditemukan di kromosom X. Pada XLA terdapat defek kromosom X
sehingga terjadi mutasi yang menyebabkan terjadinya defek Btk dan kemudian
mengakibatkan maturasi sel B tidak terjadi. Oleh karena maturasi sel B tidak terjadi,
maka immunoglobulin pun tidak dapat terbentuk.9
Penyebab IGHD didapat (acquired) diantaranya adalah penggunaan radioterapi untuk
kasus keganasan, meningitis, histiocytosis, dan trauma. Anak-anak yang menjalani
radioterapi untuk tumor CNS atau untuk mencegah keganasan CNS, seperti leukemia,
memiliki resiko tinggi mengalami defisiensi GH.2,4 Radiasi dari radioterapi dapat
menyebabkan kerusakan pada sel somatotrope, sehingga mengganggu pelepasan dari
GH.10
II.2.1 Patofisiologi Akromegali
Tumor hipofisis afiterior akan menimbulkan efek massa terhadap struktur
sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit kepala dan gangguan
penglihatan. Pembesaran ukuran tumor akan menyebabkan timbulnya keluhan sakit
kepala, dan penekanan pada kiasma optikum 280 akan menyebabkan gangguan
penglihatan dan penyempitan lapang pandang. Selain itu, penekanan pada daerah otak
lainnya juga dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, dan gangguan kepribadian. 35
Pada akromegali dapat terjadi hipersekresi maupun penekanan sekresi hormon yang
dihasilkan oleh hipofisis anterior. Hiperprolaktinemia drjumpu pada30% kasus sebagai
akibat dari penekanan tangkai atau histopatologi tumor tipe campuran. Selain itu, dapat
terjadi hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh massa hrmor.
Hipenekresi hormon pefiumbuhan dapat menimbulkan berbagai macam
perubahan metabolik dan sistemik, seperti pembengkakan jaringan lunak akibat
peningkatan deposisi glikosaminoglikan serta retensi cahan dan natrium oleh gnjal,
perhunbuhan tulang yangberlebihan, misalnya pada tulang wajah dan ekstremitas,
kelemahan tendon dan ligamen sendi, penebalan jaringan kartilago sendi dan jningan
fibrosa periartikular, osteoartritis, serta peningkatan aktivitas kelenjar keringat dan
sebasea.
Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan organ
dalam dan metabolik. Pembesaran organ dalam (organomegali) seringkali ditemukan.
Pada jantrng terjadi hipertrofi keduaventrikel. Retensi cairan dan natrium akan
menyebabkan peningkatanvolume plasrna dan berperanan dalam terjadinya hipertensi
pada pasien akromegali. Selain itu, efek kontra hormon pertumbuhan terhadap kerja
insulin di jaringan hati maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu (
I 5TQ, gangguan glukosa darah puasa dan diabetes mellitus.
Efek tersebut diperkirakan terjadi melalui peningkatan produksi dan ambilan
asam lemak bebas. Resistensi insulin terjadi akibat peningkatan massa jaringan lemak,
pentrunan lean body mass, serta gangguan aktivitas fisik.e Gangguan kerja enzim
trigliserida lipase dan lipoprotein lipase di hati akan menyebabkan hipertrigli seridefi.
Perubahanjuga dapat terjadi pada saluran napas atas, seperti pembesaran sinus paranasal
dan penebalan pita suara. Selain itu, lidah dapat membesar dan massajaringan lunak di
daerah saluran napas atas bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan Pada
pasien akromegali juga dapat terjadi hiperkalsiuri hiperkalsemia, dan nefrolitiasis, yang
disebabkan oleh stimulasi enzim lcr-hidroksilase, sehingga meningkatkan kadar vitamin
D, yang akan meningkatkan absorbsi
kalsium. Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dan sensorik.
Neuropati yang terjadi diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang sering ditemukan
pada pasien akromegali.
Edema pada sinovium sendi pergelangan tangan dan pertumbuhan tendon dapat
menyebabkan sindrom terowongan karpal (carpal tunne I syndrome). Terapi yang
diberikan pada kelainan Akromegali
Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas dua hingga
empatkali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat
menurunkan angka mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah
mengendalikan
pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan, dan
normalisasi kadar IGF-I. Terdapat tiga modalitas terapi yangdapat dilalnrkan pada kasus
akromegali, yaitu pembedahan, medikamentosa dan radioterapi, Masing-masing
modalitas memiliki keuntungan dan kelemahan, tetapi kombinasi berbagai modalitas
yang ada dlharapkan dapat menghasilkan tata laksana yang optimal.
Pembedahan
Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa tumor
sehingga kendali terhadap sekresi hormon perturnbuhan dapat tercapai. Tindakan ini
menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor. Ukuran
tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka keberhasilanterapi. Pada pasien
dengan mikroadenoma (rikuran trmor <1 0 mm), angka normalimsi IGFI mencapai 75-
95, sementara pada makroadenoma angfua normalisasi hormonal lebih rendah yaitu 40-
68%. Selain ukuran tumor faktor lain yang menenfitkan keberhasilan tindakan operasi
adalah pengalaman dokter bedah dan kadar hormon sebelum operasi. Teknik
pembedahan yang kini dikerjakan di Indcnesia adalah transfenoid per endoskopi. Teknik
tersebut memiliki keunggulan dalam visualisasi lapangan operasi serta angka kesakitan
yang lebih rendah dibandingfuan teknik per milcoskopik. Tidak semua kasus
akromegali dapat diatasi hanya dengan pembedahan.Pada keadaan ini dapat dipilih terapi
alternatif dengan terapi medikamentosa atau radioterapi pasca pembedahan. Tata laksana
medikamentosajuga dapat menjadi pilihan pertama pada kasus tersebut.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan, yakni agonis
dopamin, analog somatostatin, dan antagonis reseptor hormon perhrmbuhan. Dopamin
agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergaline. Monoterapi dengan cabergoline
memiliki efikasi antara syodalanmenorrnalisasi kadar IGF-I. Pasien yang menolak
tindakan operasi dan pemberian obat injeksi dapat menggunakan obat golongan ini,
mengingat dopamine agonis merupakan satu-satunya golongan obat dalam tata laksana
akromegali yang dapat dikonsumsi secara oral.
Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatir yaitu
menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Obat golongan ini memiliki efektivitas
sekitar otot dalam menormalisasi kadar IGF-I dan hormon perhrmbuhan. Efektivitasnya
yang tinggi menjadikan obat golongan analog somatostatin sebagai pilihan pertama
dalam terapi medikamentosa. Studi yang menilai efektivitas obat golongan ini
memperlihatkan bahwa normalisasi IGF-I tercapai pada 51% subjek setelah pernberian
analog somatostatin kerja panjang selama 36 bulax. Pada 32Yo subjek penelitian terjadi
reduksi IGF-1 sekitar lebih dari 5070. 13,16 Selain menormalisasi kadar IGF-I, terapi
analog somatostatin juga dapat mengecilkan ukuran tumor, perbaikan fungsi jantung,
tekanan darah, serta profil lipid. Kendala utama yang dihadapi hingga saat ini adalah
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.
Analog somatostatin diberikan secara injeksi subkutan beberapakali dalam
sehari, tetapi saat ini terdapat terapi Akromegalil sediaan baru dengan masa kerja
panjang yang diberikan secara injeksi intramuskular setiap 28 hari sekali.
Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam terapi
medikamentosa akromegali. Obat golongan ini direkomendasikan pada kasus akromegali
yang tidak dapat dikontrol dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin,
maupun analog somatostatin. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan dapat
menormalisasi kadar IGF-I pada pasien. Sebuah studi yang menilai efektivitas serta
keamanan terapi obat golongan ini sebagai monoterapi atau kombinasi dengan analog
somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalan
menormalisasi kadar IGF- I .
Radioterapi
Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi first line pada kasus
akromegali karena lamanya rentang waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kaii
dimulai. Radioterapi konvensional dengan dosis terbagi memerlukan waktu 10-20 tahun
untuk mencapai terapi yang efektif, sementara beberapa teknik radioterapi yang baru,
yaitu gamma knife, proton beam, linac stereotactic radiotherapy dapat memberikan
remisi yang lebih cepat. Studi yang menilai efektivitas stereotacti c radiotherapy
terhadap para pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi konvensional tahun
pascaterapi. Saat ini di Indonesia modalitas stereotactic radiotherapy telah digunakan
pada kasus akromegali.
Pemantauan Terapi
Pemantauan respon biokimiawi terapi dilakukan dengan memeriksa kadar
hormon perfumbuhan dan IGF-I. Pemeriksaan kadar hormon pertumbuhan setelah
pembebanan glukosa lebih baik dibandingkan pemeriksaan kadar hormone sewaktu.
Umumnya pemeriksaan tersebut dilakukan 3-6 bulan setelah pembedahan. Kendali
biokimiawi didefinisikan sebagai kadar hormon pertumbuhan <1,0 ml setelah
pembebanan glukosa, dan kadar IGF-I yang normal. Pemeriksaan MRI pascaoperasi
umumnya dilakukan 3-4 bulan kemudian. Pada pasien yang menjalani terapi
medikamentosa pemeriksaan MRI dilalilkan setiap 3-4 bulan setelah terapi dimulai.
Pemeriksaan hormon hipofi sis dilalokan segera setelah terapi pembedahan unlrk
mengevaluasi preservasi fungsi hipofisis serta terjadinya insufisiensi adrenal. Pada
pasien yang menjalani terapi medikamentosa, pemeriksaan hormone hipofisis lainnya
dilalskan sesuai penilaian klinis.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Sekresi GH (growth hormone) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti stress,
olahraga, nutrisi, tidur, dan GH itu sendiri. Kontrol utama pada pelepasan GH adalah
GHRH dan somatostatin. GHD dapat terjadi karena adanya gangguan pada axis GH di
otak, hipotalamus, atau hipofisis. Terdapat dua jenis GHD, yaitu MPHD (Multiple
Pituitary Hormone Deficiency) dan IGHD (Isolated Growth Hormone Deficiency), baik
secara kongenital ataupun didapat (acquired).
MPHD kongenital disebabkan oleh adanya mutasi dari berbagai faktor trankripsi pada
hipofisis sehingga terjadi berbagai bentuk defisiensi hormon hipofisis. Gen-gen yang
mengalami mutasi, diantara lain HESX1, LHX3, LHX4, PTX2, PROP1, dan
PIT1/POU1F1. MPHD yang didapat (acquired) disebabkan oleh lesi yang
menyebabkan kerusakan hipotalamus, pituitary stalk, atau hipofisis anterior yang
mengakibatkan defisiensi hormon hipofisis. IGHD kongenital disebabkan oleh
abnormalitas reseptor GHRH, gen GH, dan gen pada kromosom X. Penyebab IGHD
didapat (acquired) diantaranya adalah penggunaan radioterapi untuk kasus keganasan,
meningitis, histiocytosis, dan trauma.
Akromegali merupakan penyakit akibat tumor hipofsis yang mensekresi
hormone pertumbuhan berlebihan. Diagnosis akromegali ditegakkan atas dasar temuan
klinis, evaluasi laboratorium, dan pencitraan hipofisis. Tata laksana akromegali yang
ada saat ini meliputi terapi pembedahan, medikamentosa dan radioterapi
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemp, Stephen. Growth Hormone Deficiency in Children. December 30, 2005.
Available at
http://www.emedicinehealth.com/growth_hormone_deficiency_in_children/
article_em. htm. Accessed on September 28, 2011.
2. Styne, Dennis. Chapter 6: Growth. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology 9th
Edition. China. 2011.
3. Kemp, Stephen. Pediatric Growth Hormone Deficiency. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/923688-overview. Accessed on September 28,
2011.
4. John S. Parks and Eric I. Felner. Chapter 558: Hypopituitarism. Nelson Textbook of
Pediatrics 18th Edition. Philadelphia. 2007.
5. Molina, Patricia E. Chapter 3: Anterior Pituitary Gland. Endocrine Physiology 3rd
Edition. USA. 2010.
6. Mosby’s Medical Dictionary 8th Edition. Available at http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/Craniopharyngioma. Accessed on September 30,
2011.
7. Anonim. Pituitary Disorders: Craniopharyngioma. Available at
http://www.pituitary.org/disorders/craniopharyngiomas.aspx. Accessed on September
30, 2011.
8. Lloyd, Emma. What is Hypogammaglobulinemia. August 26, 2006. Available at
http://www.wisegeek.com/what-is-hypogammaglobulinemia.htm. Accessed on
September 30, 2011.
9. Gale Encyclopedia of Medicine. Available at http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/X-linked+agammaglobulinemia. Accessed on
September 30, 2011.
10. Vera Popovic, Sandra Pekic, Ivana Golubicic et al. The Impact of Cranial Irradiation
on GH Responsiveness to GHRH plus GH-Releasing Peptide 6. JCEM. 2002: 87(5):
2095-2099.