100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf
-
Upload
abdul-joshua-oh-mandai -
Category
Documents
-
view
45 -
download
3
Transcript of 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf
Ujian Tengah Semester
Perencanaan Kota
“Studi Kasus Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota”
Dwi Octavianty Tanjung
100406009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
MEDAN
2012
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Adapun judulnya yaitu : “Studi
Kasus Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota”
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Medan, 31 October 2012
Penyusun
Abstrak
Kota adalah tempat kita tinggal. Kota menyediakan berbagai kebutuhan kita: sandang,
pangan, dan papan. Kota sebagai sebuah fenomena ”urban” memberikan kita lingkungan sosial
budaya dan ekonomi yang sangat menentukan preferensi dan perilaku kita. Saya lebih suka
menyebut permukiman kota sebagai keseluruhan yang meliputi kota sebagai tempat tinggal
dengan lingkungan sosial ekonomi dan budaya yang mempengaruhi.
Planner (sebenarnya saya tidak begitu suka mendefinisikan diri saya dengan kata itu saat
ini), kota seringkali dianggap hanya sebagai hanya sebuah ”kota”. Makna ini tidak lebih luas dari
yang saya sampaikan sebagai sebuah urban. Di bangku kuliah kita berdiskusi tentang
perencanaan kota atau city planning, bukan urban planning. Saya melihat ada dua kecenderungan
yang dibawa oleh perbedaan pemahaman antara kedua istilah tersebut. Pertama, city planning
melihat kota secara analitis, dibagi menurut komponen-komponennya: fisik geografis, tata guna
lahan, sosial ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Sementara itu, urban planning memiliki
makna yang dalam yang diamati secara empiris, seperti pola kehidupan masyarakat, protes
sosial, organisasi, dan pemerintahan.
Ketika kita menerjemahkan perencanaan kota sebagai city planning, cara pandang
perencana menjadi bersifat mekanis dan analitis. Justru yang berlangsung saat ini adalah hal
yang sebutkan tersebut. Mau bukti. Rencana kota menjadi dokumen yang dibuat oleh ”para ahli”
yang memetakan kebutuhan masyarakat atas lahan dan pengaturan ruang. Seluruhnya disusun
dengan menggunakan pedoman yang dianggap sebagai kitab suci. Kerangka rencana dibuat
menurut pedoman tersebut, tinggal isinya yang dilengkapi. Isi yang dilengkapi tersebut disusun
dengan menggunakan metode perencanaan yang sifatnya analitis: formula yang generik
diaplikasikan untuk memproyeksikan pertumbuhan dan jumlah penduduk. Siapa yang tidak
kenal rumus-rumus ajaib, seperti: metode pertumbuhan linier, eksponsial, bunga berganda,
maupun pertumbuhan dengan batasan sumber daya? Parameter kuantitas penduduk ini digunakan
untuk mengestimasikan kebutuhan terhadap ruang maupun komponen-komponennya, seperti
infrastruktur sampah, air bersih, sekolah, rumah sakit, dll.
Betapa susahnya dosen saya yang saya kagumi karena memiliki pendekatan berbeda dari
kebanyakan pengajar yang lain pada mata kuliah yang sama untuk merubah cara kerja
mahasiswa calon planner yang cenderung mekanistik dan analitis tersebut. Beliau senantiasa
menekankan perencana harus ”turun gunung” dan merumuskan rencana melalui keterlibatan
langsung dengan kegiatan-kegiatan masyarakat yang membutuhkan ruang. Hal ini tidak mudah
diterima karena memakan waktu dan untuk beberapa orang tidak mudah untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang berbeda dari konteks budayanya.
Saya beranggapan bahwa dokumen rencana ruang kita dibuat tebal namun kurang sekali
memiliki makna. Masih banyak pula konsep dan program ruang yang dibuat dengan metode
yang kabur dan mereduksi kenyataan di lapangan. Parameter yang digunakan untuk menyusun
program ruang masih lemah dan kurang lengkap, tidak hanya cukup dengan pertimbangan
kuantitas penduduk seperti yang saya sampaikan di atas. Atas dasar prerogatif perencana maupun
tim teknis proyek, seringkali rencana dibuat dengan rumusan yang hanya dapat ditemui di kepala
mereka. Bahkan, kepentingan politis sepihak seringkali dengan mudah masuk.
Berbeda dengan standar, pedoman disusun dengan memberikan keleluasaan yang lebih
besar kepada seseorang atau dalam hal perencana untuk menggali permasalahan di lapangan dan
menyusun rekomendasi. Pedoman hanya memberikan kerangka, bukan menetapkan urutan
langkah atau hasil-hasil yang akan dicapai. Hal ini berbeda dengan kegiatan di bidang konstruksi
bangunan dan jalan yang objeknya memiliki parameter-parameter yang dapat dikendalikan
dengan mudah. Sementara itu, objek dalam tata ruang bukanlah ruang per se, melainkan warga
kota.
Dari pengamatan ini, saya menyarankan perencanaan kota sebagai city planning
kuranglah tepat. Kita musti bergerak ke arah perencanaan kota sebagai urban planning yang
menekankan kepada pengamatan mendalam atas fenomena keruangan. Dalam pengertian ini,
keruangan didekati secara empiris, tidak a priori, dan mendefinisikan isu spesifik yang
ditentukan di lapangan, bukan di kepala planner. Parameter disusun dengan kehati-hatiaan dan
bersifat unik karena lokasi, konteks sosial, dan posisi strategis dibandingkan lokasi lainnya.
Produk dari semua proses tersebut adalah rencana kota yang yang ditujukan untuk menciptakan
sebuah ”place”, bukan sekedar ruang yang di dalam rencana direpresentasikan dengan legenda
dan warna-warna.
Saya meyebutkan pola perencanaan saat ini adalah mekanistik. Sebagai analogi, di
bidang teknologi jalan, dikenal kategori kajian: empirik, mekanistik, dan analitik. Sampai saat
ini, saya memahami teknologi jalan di Indonesia masih diciptakan dan dikembangkan melalui
metode empirik. Hal ini dikarenakan karena para insiyur jalan kita masih sangat berhari-hati
untuk menentukan parameter-parameter untuk melangkah ke perencanaan atau perancangan
yang sifatnya mekanis dan analitis. Bukan mereka tidak mampu, melainkan beragamnya kondisi
lingkungan di Indonesia yang menyulitkan rumusan fungsi konstruksi yang melibatkan
parameter yang teridentifikasi jelas yang sifatnya generik.
Bab I Pendahuluan
Perencanaan kota merupakan proses penyusunan rencana tata ruang kota, yang
didalamnya terkandung arahan penataan ruang kota. Pada mulanya, kegiatan perencanaan
dilakukan oleh orang-orang “pilihan” yang dianggap mampu menerjemahkan visi dan keinginan
manusia akan tata ruang yang lebih baik, atau mereka yang sangat berduit untuk merealisasikan
cita-cita mereka mengenai masyarakat yang dianggap ideal. Orang-orang ini diantaranya seperti
Daniel Burnham yang merencanakan Wangshinton D.C., Frederick Law Olmsted, Jr. yang
merencanakan Kota New York, atau Ebenezer Howard yang merumuskan konsep Garden City.
Pengetahuan mereka tentang subastansi rencana sangat dipengaruhi oleh bentuk
intervensi yang dapat mengarahkan masyarakat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.
Howard memikirkan mengenai kota industri yang penuh dengan polusi sehingga merasa perlu
untuk memindahkan komunitas kota ke daerah pedesaan yang masih alami. Kota baru ini
disebutnya dengan Garden City.
Dalam prakteknya, perencanaan pada masa yang lampau sangat dipengaruhi oleh
“keterpesonaan” perencana agar dapat memahami alam dengan lebih baik dan menciptakan
keterhubungan antara manusia dan alam. Dalam skala mikro, hal ini dipraktikkan oleh Frank
Llyod Wright dengan rancangan arsitektur yang memadukan antara alam dan lingkungan buatan.
Dalam skala yang lebih makro, beberapa komunitas masih memperlihatkan upaya
penyeimbangan antara manusia – alam melalui perancangan kota, seperti yang ditunjukkan
dalam prinsip perancangan ruang komunitas di Bali yang tetap berpegangan pada pengetahuan
lokal. Salah satu praktik yang menonjol adalah pemisahan ruang menjadi tiga yang merupakan
upaya pengaturan ruang kosmologis yang menyeimbangkan antara manusia – Tuhan, manusia –
manusia, dan manusia – alam. Pada skala kota, keseimbangan ini dijaga dengan mengendalikan
agar lingkungan memberikan hidup yang nyaman bagi yang tinggal di dalamnya, misalnya
dengan mempertahankan ruang terbuka hijau (pemakaman yang harus selalu ada).
Seiring dengan modernsisasi tata ruang, kota tumbuh melewati batas yang dapat
ditoleransi oleh lingkungan perkotaan. Seiring dengan siklus perkotaan, bagian pusat kota
menjadi terbengkalai dan perlu direvitalisasi, sementara bagian pinggiran merupakan kawasan
yang baru terbangun dengan “memakan” ruang terbuka hijaunya. Bentukan fisik kota mengalami
penyeragaman rupa dengan penonjolan indivualitas bangunan-bangunan. Dalam hal ini, sesuatu
yang megah ditunjukkan oleh ukuran gedung (luas dan tinggi) maupun skala pelayanan. Dalam
hal ini modernisasi tata ruang merefleksikan keinginan manusia untuk menciptakan kebaharuan-
kebaharuan melalui penguasaan terhadap alam dan lingkungan.
Titik balik dimana manusia mulai meninggalkan yang tradisional dan mulai
memfokuskan kepada kebutuhannya secara personal mempengaruhi praktik perencanaan. Dalam
sejarahnya, perencanaan kota sendiri merupakan upaya untuk memanipulasi ruang yang sudah
ada agar manusia hidup nyaman dan layak. Ilmu perencanaan sendiri, dalam pandangan saya,
mengesahkan suatu metode pemisahan manusia dan lingkungan (alam). Melalui objektivitas
berpikir dan rasio yang digunakannya, manusia merumuskan konsep dan menciptakan teknologi
serta standar yang semakin memperkuat kecenderungan untuk memanipulasi lingkungan.
Perencanaan kota menjadi kurang pada aspek penonjolan terhadap subjektivitas pengamatan
unsur-unsur di dalam ruang, sehingga perencana sedikit memiliki sensitivitas dalam pengamatan
terhadap lingkungan. Pada titik ekstrem dari perencanaan modern ini, muatan rencana pun
mengalami standardisasi. Pedoman maupun standar menjadi pegangan untuk menentukan isi,
sedangkan aspek-aspek yang direncanakan pun telah ditetapkan dengan prosedur. Dalam hal ini,
perencana telah kehilangan “keterpesonaan” terhadap lingkungan.
Studio Perencanaan Kota: Sebuah Catatan
Studio perencanaan kota merupakan mata kuliah wajib yang diikuti oleh mahasiswa
sarjana. Studio ini memberikan perkuliahan kepada mahasiswa agar mampu membuat rencana
tata ruang kota. Penekanan lebih kepada kemampuan mahasiswa untuk mampu mengikut
prosedur perencanaan yang telah ada.
Untuk mampu mengerjakan sebuah rencana tata ruang kota, para mahasiswa mengacu
kepada pedoman penyusunan rencana tata ruang yang dikeluarkan oleh Kepmen Kimpraswil No.
327/KPTS/2002. Peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi tata ruang juga turut
dipertimbangkan. Dalam hal ini, tujuan perkuliahan adalah memperkenalkan dan melatih
mahasiswa untuk melakukan proses codified planning. Dalam pengerjaannya, mahasiswa
melakukan analisis dengan menerapkan pengetahuan metode yang dipelajari pada mata kuliah
sebelumnya, serta ditujukan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada pada pedoman dan
standar dalam penataan ruang kota, permukiman, maupun infrastruktur.
Kedalaman rencana ditentukan pada Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan
(RDTRK). Dalam hal ini, pemilihan terhadap kedalaman rencana merupakan pertimbangan
strategis. Pertama, RDTRK tidak terlalu makro, sehingga mahasiswa mampu mendapatkan
pemahaman mengenai hal-hal teknis menyangkut lingkungan fisik (lahan, bangunan, dan
infrastruktur). Kedua, RDTRK masih merupakan “area kerja” bagi perencana, karena pada
kedalaman yang lebih rinci adalah RTBL yang sudah menyangkut bangunan (pemanfaatan dan
pengendalian) yang merupakan area kerja arsitek. Sementara itu, pada lingkup yang diatasnya
RUTRK lebih menyerupai Rencana Tata Ruang Wilayah yang lebih makro.
Selama satu minggu, para mahasiswa melakukan kegiatan observasi dan pengumpulan
data di lapangan. Dalam kegiatan ini para mahasiswa dihadapkan langsung dengan persoalan tata
ruang: menemukenali dan mencatat, serta merumuskan langkah-langkah apa yang harus
dikerjakan berikutnya. Kegiatan observasi lebih menonjolkan kepada pengamatan terhadap aspek
fisik dan aspek kegiatan perkotaan. Para mahasiswa menyiapkan seragkaian set observasi untuk
melakukan pencatatan terhadap tata guna lahan, lingkungan bangunan, dan infrastruktur yang
diprioritaskan.
Dari kesan yang diperoleh mahasiswa dari kegiatan observasi ini, terdapat beberapa hal yang
patut mendapatkan perhatian:
1. Para mahasiswa lebih memfokuskan kepada hal-hal yang bersifat fisik, dibandingkan
unsur-unsur lainnya: kegiatan, akses, dan kehidupan kultural komunitas
2. Para mahasiswa lebih condong kepada penyajian fakta lingkungan, dibandingkan
kemampuan mengungkapkan subjektivitas yang diperoleh dari pengamatan mandiri
3. Kemampuan menguasai lingkungan perkotaan masih rendah yang berdampak terhadap
penyampaian informasi yang salah.
Hal ini menunjukkan bahwa proses perkuliahan sendiri belum mampu meningkatkan
sensitivitas mahasiswa terhadap lingkungan perkotaan. Seringkali mahasiswa tidak mampu
menyampaikan hal-hal yang termasuk di luar pengamatan fisik. Informasi dari lingkungan yang
diperoleh memang melimpah, tetapi tidak banyak memberikan variasi terhadap aspek-aspek
yang ingin direncanakan, yang termasuk di dalamnya, seperti: (1) akses di dalam maupun dari
dan ke luar kota, (2) kegiatan yang berkembang, maupun (3) konteks kehidupan sosial budaya
masyarakat.
Informasi yang berasal dari pengamatan kemudian dicek silang dengan data dari wawancara,
namun sedikit sekali memberikan arti karena metode yang diterapkan kurang sistematis.
Meskipun demikian, sedikit dengan sedikit seiring dengan perjalanan waktu selama mengikuti
observasi di lapangan para mahasiswa ini mulai mampu memberikan deskripsi yang lebih padat
terhadap lingkungan perkotaan.
Memperkuat Sensitivitas terhadap Lingkungan Perkotaan: Menjadikan Perencanaan Kota
sebagai Proses Placemaking
Beranjak dari permasalahan yang dihadapi diatas, perkuliahan studio perencanaan kota
harus mampu keluar dari kebiasaan selama ini. Penekanan kepada codified planning memang
memberikan pengalaman yang berharga bagi mahasiswa yang akan mengerjakan rencana tata
ruang kota nantinya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan Sarjana PWK adalah mampu
menyusun rencana tata ruang, salah satunya rencana tata ruang kota, sehingga proses yang
demikian tidak dapat diabaikan begitu saja.
Sayangnya, dengan lebih menekankan kepada praktik yang terstandar, mahasiswa seakan
kehilangan sensitivitas mereka terhadap lingkungan perkotaan (kreativitas juga!). Tuntutan
terhadap aspek fisik lebih mengemuka, padahal elemen-elemen perkotaan sangat ragam dan
membutuhkan kepekaan untuk mengungkapkan makna yang tersirat di dalamnya. Sebagian besar
mahasiswa membandingkan Kota Bandung dengan kota wilayah studi (dalam hal ini
Temanggung) yang jelas memiliki karateristik yang berbeda, sehingga tidak memungkinkan
untuk dilakukan penjajaran. Selain itu, pengamatan terhadap elemen yang membangun struktur
ruang kota lebih difokuskan kepada elemen yang baru. Pola ruang pun diamati melalui batas-
batas administrasi desa, yang kurang memberikan arti bagi perencanaan ruang kota dengan
struktur dan pola ruang yang harus mampu diwujudkan di dalam pikiran perencana maupun
dalam rencana.
Proses perkuliahan ini memberikan pelajaran bahwa perencanaan kota tidak dapat
dilakukan sebagai business as usual. Para perencana sendiri perlu melakukan interaksi yang
lebih intensif dan mulai mempertimbangkan beragam subjektivitas yang berkembang, baik yang
berasal refleksi pribadi maupun masyarakat kota. Dengan demikian, perencana harus mampu
menjadikan perencanaan sebagai proses placemaking yang berarti perencana perlu mengenali
unsur-unsur nonfisik yang turut berpengaruh terhadap rencana. Hal ini juga ditujukan untuk
merekatkan kembali perencanaan yang lebih memperhatikan masyarakat dan berorientasi kepada
kehidupan yang harmonis dengan alam.
Salah satu solusi yang berkesan sangat naif adalah perlu merubah pola perkuliahan
studio. Para dosen harus mampu menggugah rasa ingin tahu terhadap isu yang ada di perkotaan
dan memberikan kerangka metode yang lebih sesuai bagi pengamatan dan penyusunan rencana.
Masalahnya, hal ini sangat sulit dilakukan apabila tuntutan terhadap format rencana yang selama
ini ada, sudah sangat demikian baku. Terkadang satu dengan lainnya tidak jelas bedanya dalam
hal penekanan analisis maupun arahan yang dijabarkan. Perencanaan kota sebagai upaya
placemaking masih jauh panggang dari api.
Bab II Teori
Di dalam perencanaan, atau lebih spesifik perencanaan kota, dapatkah kita melakukan
pemisahan antara teori dan praktik? Dalam kenyataannya, pemisahan tersebut sangat sulit untuk
dilakukan. Dengan merentang sejarah perencanaan, John Friedmann dalam bukunya yang
monumental Planning in the Public Domain mengungkapkan definisi perencanaan sebagai
pemanfaatan pengetahuan metode dan teknis untuk mencari solusi dalam jangka waktu tertentu.
Praktik tidak dapat dipisahkan dari teori karena memberikan paradigma dan kerangka untuk
melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam perencanaan. Dalam hal ini saya
mengambil posisi bahwa antara teori dan praktik tidak dapat dipisahkan sama sekali.
Berawal dari Theory of Planning dan Theory in Planning
Ketegangan antara teori dan praktik sebenarnya sudah muncul ketika Faludi berbicara
mengenai perbedaan antara theory of planning dan theory in planning. Pada pengertian yang
pertama, perencanaan dianggap sebagai serangkaian prosedur untuk mencapai tujuan dalam
perencanaan. Terdapat urutan logis perencanaan yang mesti diikuti untuk menghasilkan rencana.
Theory in planning mengungkapkan hal yang sebaliknya. Pertanyaan yang lebih dahulu
mengemuka adalah: teori atau substansi apa yang perlu diketahui oleh perencana untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini perencana mencari konsep dan metode yang tepat atau
semacam formula untuk menemukan solusi-solusi.
Theory of planning atau procedural planning dikritik karena terlalu kaku dalam
mempraktikkan perencanaan dalam kenyataannya. Perencana menjalani serangkaian tahapan
yang sudah mapan yang mengarahkan tindakan mereka. Procedural planning umumnya
bergantung kepada aspek administratif. Perencana yang lebih pragmatis akan sangat cepat untuk
menyesuaikan dengan gaya perencanaan ini. Pada konteks sebaliknya, theory in planning atau
substantive planning lebih berkutat kepada pemahaman terhadap konsep dan metode yang sesuai
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Substansive planning memberikan
fleksibilitas dalam merumuskan persoalan dan pemecahannya. Perencana yang cenderung idealis
akan sangat menyukai pendekatan ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, antara theory of planning dan theory in planning
mampu berjalan beriringan. Selain mengikuti tahapan logis, perencanaan juga diisi oleh sejumlah
teori dan konsep yang diambil dari ilmu-ilmu yang relevan. Selain mengembangkan serangkaian
prosedur, perencana juga melakukan adopsi dan adaptasi terhadap bidang-bidang keilmuan yang
terkait.
Menuju Perencanaan Komunikatif
Perkembangan selanjutnya, menurut teori sosial, teori dan tindakan tidaklah dapat
dipisahkan. Dalam Theory of Communicative Action, bahwa gagasan-gagasan yang
berkembang di kepala para ahli, yang terkait kontribusinya terhadap arah perkembangan
masyarakat, tidak dapat dapat diterapkan secara mekanis. Karena para ahli yang bersangkutan
perlu menjalani proses komunikatif yang berarti melihat perspektif yang ragam di dalam
masyarakat. Dalam hal ini, sebuah teori tidak berbicara sendiri, namun menjadi kontekstual bagi
suatu komunitas. Para ahli justru menggali lebih lanjut mengenai yang sesungguhnya terjadi di
dalam masyarakat.
Konteks teori komunikasi ini sangat relevan bagi perencanaan. Perencanaan bukanlah
ilmu pasti yang terkait dengan perilaku alam dan keinginan untuk melakukan kontrol, melainkan
terkait dengan pemahaman sosial mengenai cita-cita dan keinginan masyarakat. Partisipasi
masyarakat menjadi sangat penting karena akan menjadi cara untuk menggali aspirasi
masyarakat. Tidak hanya itu, seorang perencana menjadi seorang komunikator yang
menyampaikan gagasan-gagasannya, namun bukan pihak yang dominan dalam prosesnya.
Untuk konteks saat ini di Indonesia, perencana sebagai komunikator masih berada di
angan-angan. Para perencana yang termasuk ke dalam kelompok akademisi memang berperan
besar dalam pemahaman-pemahaman baru baik dalam theory of planning maupun theory in
planning, namun dapat dikatakan masih masih ada “jarak” dengan masyarakat atau bertindak
sebagai komunikator. Meskipun pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat yang menjadi fitrah
mereka di kehidupan akademik menjadi sangat penting untuk dikerjakan, lebih sering merupakan
bagian dari pelayanan terhadap kelompok tertentu, seperti pemerintah maupun pengembang
besar. Ada peluang untuk menjadikan perencanaan menjadi cara-cara untuk memecahkan
persoalan yang dihadapi masyarakat sekaligus menjadi lebih dekat dengan komunitas. Dalam hal
ini saya menafsirkan praktik perencanaan sebagai upaya memecahkan masalah masyarakat
sekaligus keberpihakan terhadap mereka.
Dengan perkembangan masyarakat yang ada sekarang yang dipahami sebagai
postmodern society, seorang perencana tidak mungkin bertindak lepas dari paradigma yang
memandang bahwa perencanaan seharusnya tidak menjadi instrumen untuk memproduksi
metanarasi (sebuah produk rencana pada dasarnya adalah sebuah metanarasi karena sifatnya
yang mengatasi wacana lain menyangkut perikehidupan masyarakat, dalam hal ini tata ruang).
Perencana pun memiliki tanggung jawab untuk membentuk masyarakat secara bertanggung
jawab yang dilakukan secara diskursif, bukan melalui ego keahlian. Aspirasi dari seluruh
kelompok pun harus dipertimbangkan sebagai perwujudan bahwa masyarakat memiliki culture
yang ragam.
Perencana sebagai Teoritisi atau Praktisi?
Dengan uraian di atas sesungguhnya tidak relevan lagi menanyakan apakah perencana
adalah seorang teoritisi atau praktisi. Perencana haruslah seseorang yang mampu mengkaitkan
antara teori dan metode untuk memecahkan persoalan-persoalan di dalam masyarakat dengan
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan politik yang ada. Bukan pekerjaan yang mudah.
Dalam prakteknya, perencana memanfaatkan paradigma tertentu yang mengarahkan kepada
tindakan tertentu. Saya sangat menyanyangkan apabila terdapat pendapat bahwa antara keduanya
dapat dipisahkan. Saya beranggapan bahwa perencana haruslah orang yang mampu menjebatani
antara teori dan metode yang diketahuinya atau harus diketahuinya untuk memecahkan
persoalan.
Saya cenderung melihat bahwa mereka yang terlibat di dalam praktek perencanaan lupa
untuk meng-update teori yang mereka miliki atau setidaknya merenung tentang apa yang mereka
telah kerjakan. Saya memiliki kesan bahwa dengan memasuki dunia praktek, tidak perlu lagi
berhubungan dengan teori maupun metode. Terdapat penyakit yang menghinggapi para praktisi
ini, yaitu copy paste dokumen rencana satu ke rencana yang lainnya, padahal terdapat persoalan
yang berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya. Saya menduga hal ini terjadi karena
merasa ranah teori maupun metode bukanlah milik mereka.
Sementara itu, para akademisi perlu berperan dan terlibat dalam tindakan praktis. Mereka
dapat menjadi bagian dari perubahan di dalam masyarakat atau turut melakukan proses
perencanaan dapat menjadi pilihan. Dalam hal ini, perencana yang termasuk ke dalam kelompok
akademisi tidak hanya sekedar berteori melainkan terlibat dalam praktik perencanaan. Dengan
demikian, mereka dapat memiliki kepekaan untuk menentukan mana teori maupun metode yang
tepat, serta berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan mereka pada masa mendatang.
Terdapat jargon bagi sebagian orang, “kota telah berubah”. Dalam benak sebagian besar
orang, kota memiliki dinamika yang cepat. Perubahan komponen-komponennya, baik itu yang
berasal dari lingkungan fisik, ekonomi, maupun budaya, seringkali tidak dapat diprediksikan.
Rencana, kalau pun itu ada, biasanya dituding lebih lambat dibandingkan dengan perubahan
yang tengah berlangsung tersebut.
Pada sisi yang lain, ”kota yang berubah” dipahami dari perubahan paradigma kita
memandang kota sebagai sebuah entitas. Makna yang lainnya dari ”kota telah berubah” adalah
kota dipandang sebagai lingkungan liar yang tak ramah. Apabila dalam kerangka pandang
modern, kota merupakan sebagai sesuatu yang memiliki keajegan, maka dalam paradigma baru
ini kota identik dengan ”ketidakteraturan”. Dalam kerangka pandang ini pula, sebuah kota
dianggap dapat dikendalikan atau dikontrol sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Hal ini
berbeda dengan kerangka pandang postmodern, yang melihat kota sebagai entitas kota yang
chaotic dan selalu berubah.
Sebuah contoh untuk menggambarkan kondisi kota yang selalu berubah tersebut dapat
dilihat di dalam lansekap kota. Kota senantiasa dicirikan dengan dualisme karakter: wilayah
produktif – berkembang dan terpencil, pejalan kaki – wilayah padat kendaraan yang macet. Kota
senantiasa menampilkan karakternya yang tidak stabil dan tidak ada yang berarti untuk waktu
yang relatif lama. Perubahan pada suatu lokasi akan diikuti oleh perubahan pada titik atau area
lainnya yang menciptakan adanya organisasi mandiri.
Urban chaos
Kota adalah mikrokosmos dan cermin masyarakat, dan budaya dalam skala besar. Jadi
untuk menumbuhkan pemahaman menyeluruh tentang kota, kita harus memikirkan sebanyak
mungkin, bila tidak seluruhnya, keragaman yang melahirkan kota yang kontemporer. Ide-ide
konvensional tentang kota sebagai gambaran besar arsitektur (architecture-writ-large) tidak
dapat dengan mudah dihubungkan dengan teori kota sebagai sistem-sistem sosial, budaya,
ekonomi, dan institusi.
Oleh karena itu, sistem-sistem sosial tidak mudah dikaitkan dengan bentuk ruang.
Pemahaman perencana diliputi oleh kompleksitas dan keragaman. Ada berbagai dimensi sosial
yang harus dipertimbangkan dan memerlukan pendalaman pemahaman. Guna lahan tidak dengan
sendirinya mampu menjelaskan mengenai aliran transportasi, melainkan juga karakteristik
ekonomi suatu lokasi dan budaya ”berkendaraan” penduduk kota tersebut. Disamping itu, kota
senantiasa adalah sebuah sistem terbuka yang menerima aliran energi, orang, dan komoditas dari
sekitarnya, yang berpengaruh pula terhadap terbentuknya suatu pola guna lahan.
Adanya ketidakteraturan pada sebagian besar wilayah kota, maka lansekap kota dilihat dalam
pemahaman geometri fraktal. Pada kenyataannya pula, kota-kota mempunyai struktur-struktur
fraktal yang berbeda dimana fungsi-fungsinya saling menyerupai dirinya sendiri (self similiarity)
dalam banyak keteraturan dan skala. Pemahaman terhadap geomtri fraktal ini sangat penting
untuk mengamati langsekap kota yang beragam dari skala dan ukurannya.
Chaos Planning
Prof. Batty dari Univerity of College London berpendapat bahwa perencanaan selalu
bergantung kepada pembuatan rencana geometris yang ideal yang berakar dari perencanaan kota
yang muncul pada abad ke-19. Pada abad tersebut, kota-kota dilihat sebagai entitas yang tidak
teratur, menyebar ke segala arah, dan kumuh. Rencana-rencana yang dibuat sangat kental dengan
penentuan tatanan yang stabil dan hirakis dalam pengaturan ruang kota. Rencana geometris
seperti ini, seperti yang dibuat oleh Ebernezer Howard dengan Garden City mengajukan sebuah
rencana kota yang ideal dalam ukuran dan struktur, yang menurut Prof. Batty mengabaikan cara
alamiah sebuah kota tumbuh:
”Idealized cities are simply too naive with respect to the workings of the
development process and competition for the use of the space that characterises the
contemporary city and degree of diversity and heterogenity that the most vibrant
cities manifest.”
Tradisi ini masih muncul sampai saat ini, kota ditata untuk menentukan struktur dan pola
ruang yang ideal, yang dirasa menjadi tujuan jangka panjang semua pihak. Apabila pada abad
ke-19, pengaruh perencana kota yang visioner yang menentukan bentuk kota, maka saat ini
penggunaan teknik-teknik yang terstandar dan melalui prosedur ilmiah menentukan tata ruang
kota.
Tata ruang merupakan perwujudan ideal dari teknologi dan ilmu pengetahuan yang
diaplikasikan para perencana. Struktur dibuat dengan ketat dengan memperhatikan kaitan-kaitan
antar pusat menurut hirarkinya. Terdapat anggapan bahwa kota dapat dikendalikan pada masa
mendatang, sehingga persoalan-persoalan seperti kemacetan akan dapat tertangani.
Pola ruang disusun menurut perencanaan yang deterministik. Kota dibagi habis ke dalam
blok-blok peruntukan yang menentukan lokasi dari kegiatan – kegiatan utama kota. Peluang
perubahan dijaga seminimal mungkin untuk mengarahkan tindakan dan perilaku masyarakat
dalam memanfaatkan ruang kota. Instrumen lain dibutuhkan untuk melakukan pengendalian
seperti melakukan penertiban terhadap ”pemanfataan yang tidak sesuai”.
Kota ideal dalam konteks perencanaan terhadap ketidakterturan (chaos planning)
memberikan karakteristik perencanaan sebagai kegiatan yang otoriter. Perencana merupakan
pihak di belakang rencana yang ideal yang didesakkan ke dalam masyarakat. Di balik itu,
terdapat persoalan menyangkut daya tanggap rencana terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di dalam ruang kota. Umumnya, rencana kota sangat jarang mampu dengan cepat
menangkap perubahan tersebut, sehingga akumulasi terhadap penyimpangan semakin besar. Kita
dapat melihat suatu kawasan yang dilanggar oleh satu pihak akan diikuti oleh pihak lainnya yang
menginginkan manfaat yang sama dari pemanfaatan ruang. Tidak sadar, rencana yang baru pun
telah menjadi usang.
Planning in Chaos
Menurut Prof. Batty, kota tumbuh secara allometri – tumbuh dalam kecepatan yang
berbeda – yang menghasilkan perubahan terhadap proporsi - dan hal ini merubah keseimbangan
energi yang digunakan untuk melestarikannya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
mengenai network science yang akan:
“… provides a way of linking size to the network forms that enable cities to function
in different ways. The impacts of climate change, the quest for better performance,
and the seemingly intractable problems of ethnic segregation and deprivation due
to failures in job and housing markets can all be informed by a science that links
size to scale and shape through information and material and social networks that
constitute the essential functioning of cities.”
Dengan menyadari adanya keterbatasan di dalam perencanaan kota yang ideal, dalam
merencanakan ketidakteraturan, maka paradigma mengenai ketidakteraturan kota mengarahkan
kepada keterbatasan dari perencanaan. Dengan memahami persoalan-persoalan secara mendetil
atau fungsi-fungsi dari sistem yang kompleks, kita akan melakukan intervensi lebih sedikit,
tetapi dalam cara-cara yang lebih realitis.
Dengan kata lain: sebagus-bagusnya sebuah rencana, dilihat dari visi masa depan dan
pemanfaatan sumber dayanya, masih lebih baik tidak ada rencana sama sekali. Disini, perencana
perlu memikirkan lagi proses perencanaan kita yang selama ini yang lebih condong kepada:
”penentuan struktur dan pola ruang kota apa yang akan terbentu pada masa mendatang”, menjadi
kepada: ”bagaimana rencana itu akan dipahami dan dilakukan”. Mau tidak mau, perencanaan
dalam konteks paradigma chaos ini adalah model partisipatif yang luas.
Persoalan-persoalan yang Melingkupi Peraturan Zonasi
Saat ini, seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai peraturan zonasi dengan rencana tata
ruang. Banyak orang menganggap, terutama para profesional, bahwa pengerjaan rencana tata
ruang dan peraturan zonasi adalah sama. Oleh karenanya, pengerjaan keduanya disatukan.
Padahal, jelas disebutkan bahwa antara keduanya berbeda. Peraturan zonasi (zoning regulation)
ditujukan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, sementara itu, rencana tata ruang
masuk ke dalam lingkup perencanaan yang merupakan proses untuk menentukan struktur dan
pola ruang. Dalam Ketentuan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pengertian peraturan zonasi sama sekali tidak disebutkan. Hal ini sama sekali tidak
mengherankan karena instrumen-instrumen lainnya dalam konteks pengendalian pun tidak
diuraikan lebih lanjut. Namun, dalam penjelasan umum angka 6, peraturan zonasi dijelaskan
sebagai:
“Ketentuan yang mengatur tentang tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang
penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.”
Pada penjelasan pasal 36 ayat 1 disebutkan:
“Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan
unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan
rencana rinci ruang.”
Dalam pengertian ini, peraturan zonasi dibuat sebagai penjabaran dari zona peruntukan yang
termuat di dalam rencana rinci, yang merupakan pengaturan terhadap pemanfaatan ruang dan
pengendaliannya. Apa yang disebut sebagai rencana rinci? Rencana rinci tediri atas:
a. Rencana tata ruang pulau/kepulauan, dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
b. Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota, dan rencana tata ruang kawasan strategisnya.
Hanya saja, terdapat ketentuan yang menyatakan rencana detail tata ruang didasarkan dasar
bagi penyusunan peraturan zonasi. Hal ini didasarkan atas interpretasi terhadap Pasal 14 ayat (6)
UU No. 26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa:
“Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan
dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.”
Dengan demikian, terdapat kesulitan untuk menerjemahkan dalam lingkup mana sebaiknya
peraturan zonasi diterapkan. Pasal 14 (6) ini memberikan arahan bahwa peraturan zonasi hanya
meliput kepada tata ruang kabupaten/kota. Sementara itu, pada Pasal 36 ayat (2) disebutkan
peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan
ruang. Kebingungan mulai muncul dari ayat selanjutnya (Pasal 36 ayat 3) yang menyebutkan
bahwa peraturan zonasi ditetapkan peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem
nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi, dan peraturan
daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi. Apakah ini berarti bahwa nasional dan propinsi
juga memiliki peraturan zonasi? Apakah muatan peraturan zonasi yang terdapat dalam RTRWN,
RTRWP, RTRWKabupaten/Kota, dan rencana rinci dapat dibedakan? Apabila benar ada
demikian, apa saja muatan dari peraturan zonasi yang disusun oleh nasional dan propinsi? Belum
lagi pertanyaan-pertanyaan teknis seperti: bagaimana menyusun amplop ruang pada kedalaman
sistem nasional dan propinsi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membingungkan bagi mereka yang akan
menyusun peraturan zonasi. UU Penataan Ruang menetapkan adanya istilah “indikasi arahan
peraturan zonasi untuk sistem nasional” untuk arahan pengendalian pemanfaatan ruang pada
tingkatan RTRWN dan RTRWP, “ketentuan umum peraturan zonasi” untuk
RTRWKabupaten/Kota dan arahan peraturan zonasi untuk RTR Kaw.
Metropolitan/Megapolitan, dan Agropolitan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengani: apa
perbedaan peraturan zonasi tersebut dengan yang disusun dari rencana rinci tata ruang?
Persoalan lainnya adalah: siapa yang menetapkan peraturan zonasi untuk RTR Kaw.
Metropolitan/Megapolitan/Agropolitan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan ketetapan yang mengatur pelaksanaannya
secara lebih operasional. Saat ini saja, sudah terdapat “suara-suara” untuk melakukan revisi
terhadap UU Penataan Ruang, sehingga pemahaman yang “membingungkan” di atas dapat
diperjelas.
“Kebiasaan-Kebiasaan” dalam Menyusun Peraturan Zonasi
Saya sebutkan dengan “kebiasaan-kebiasaan” disini adalah praktik yang umum
diterapkan dalam menyusun peraturan zonasi, terlebih yang diinterpretasikan di kalangan
akademisi di PWK – ITB.
Dalam kaitannya dengan pengendalian pemanfaatan ruang, Denny Zulkaidi, salah satu
anggota Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota Institut Teknologi Bandung
(KK PPK – ITB), menempatkan peraturan zonasi sebagai perangkat utama dalam pengendalian
pemanfaatan ruang. Di bawahnya terdapat perangkat insentif dan disinsentif, perizinan, dan
sanksi. Dalam pernyataan UU Penataan Ruang, keempat instrumen tersebut (termasuk peraturan
zonasi dibuat sejajar), namun pertimbangan praktis bahwa ketiga perangkat yang disebut
belakangan didasarkan atas peraturan zonasi. Hal inilah yang menyebabkan peraturan zonasi
berkesan dominan dan perlu mendapat perhatian lebih dalam melaksanakan pengendalian
pemanfaatan ruang. Hal tersebut memang tidak salah, namun dalam hemat sama, perizinan pun
dapat dilakukan tanpa menunggu disusunnya peraturan zonasi, melainkan mengacu kepada
rencana. Namun, apabila peraturan zonasi telah ada, maka keterkaitannya dengan perizinan
menjadi tidak terhindarkan lagi.
Lebih mudah memahami penyusunan peraturan zonasi dalam kaitannya dengan
penyusunan rencana rinci (atau RDTR Kawasan Perkotaan). Dalam praktiknya, keduanya
(rencana dan peraturan zonasi) dapat dilaksanakan bersamaan dalam penyusunannya. Hal ini
dapat menghemat biaya penyusunan RDTRK dan peraturan zonasi, karena ada bagian-bagian
yang overlap. Peraturan zonasi berisi: guna lahan, intensitas bangunan dan tata massa, dan aturan
pemanfaatan ruang. Dua hal pertama yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian yang harus
ada di dalam RDTRK. Dalam konteks selanjutnya, antara rencana rinci kota dan peraturan zona
dapat menjadi pedoman dalam penyusunan RDTRK dan rencana yang lebih teknis (RTRK /
RTBL). Pelaksanaan survei lapangan akan lebih menghemat waktu dan biaya apabila
dilaksanakan secara berbarengan, namun tetap keduanya adalah entitas yang berbeda.
Di berbagai negara, peraturan zoning terdiri dari dua unsur, yaitu zoning text/zoning
statement dan zoning map. Zoning map berisi aturan-aturan (atau menjadi sisi dari regulasinya),
yang menjelaskan mengenai tata guna lahan dan kawasan, pemanfaatan yang diizinkan dan
diizinkan dengan syarat, standar pengembangan, minumum lot requirement, dll.. Sementara itu,
zoning map berisi pembagian blok peruntukan dengan ketentuan aturan untuk tiap blok
peruntukan. Selain itu, zoning map menggambarkan mengenai tata guna lahan dan lokasi tiap
fungsi lahan dan kawasan. Dalam praktiknya peta zonasi dibuat dalam kode zonasi yang
digambarkan dalam bentuk huruf dan angka. Kuncinya adalah membuat sistem pengkodean yang
konsisten yang dapat dengan mudah diingat dan dibaca.
Dilihat dari rincian materi yang diatur, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kegiatan yang diperbolehkan
2. Kegiatan yang dilarang
3. Aturan khusus untuk kegiatan
4. Kegiatan tambahan dan aturannya
5. Kegiatan bersyarat dan aturannya
6. Pengecualian khusus
7. Ketentuan luas persil
8. Ketentuan luas pekarangan (sempadan depan, samping, belakang)
9. KDB maksimum
10. Luas minimum/maksimum lantai bangungan
11. Batas tinggi bangunan
12. Variansi
Bab III Studi Kasus
1. Studi Kasus Penerapan Unsur Pedestrian di San Jose, California,
Amerika Serikat
Gambar Pusat Kota San Jose
San José (baca: San Hosé) merupakan nama kota di Amerika Serikat. Letaknya di bagian
barat. Tepatnya di negara bagian California, Amerika Serikat. Wilayah metropolitan San Jose
adalah kota San Jose, Santa Clara, Sunnyvale, serta daerah disekitarnya.
Pada tahun 2006, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 953.679 jiwa dan
memiliki luas wilayah 461,5 km². Dengan kepadatan penduduk 1.976,1 km².
San Jose adalah kota ketiga terbesar di California, kesepuluh terbesar di AS, dan
kabupaten kursi Santa Clara County yang terletak di ujung selatan San Francisco Bay. San Jose
adalah kota terbesar di Lembah Silicon, yang merupakan komponen utama dari area San
Francisco Bay besar, sebuah wilayah yang terdiri dari 7,6 juta orang dan daerah metropolitan
terbesar keenam (CSA) di Amerika Serikat. Kota ini juga merupakan kota terpadat di California.
San José terkenal tidak memiliki tempat penyebrangan untuk pejalan kaki
Ini adalah sangat umum di sisi kiri persimpangan "T", seperti yang terlihat dalam foto
yang diambil di sudut The Alameda dan Lenzen. Dalam contoh yang khas, tempat
penyeberangan pejalan kaki yang tepat dibuat hanya tersedia di sisi kanan dari "T." Dengan
demikian, tidak ada yang bisa menuduh kendaraan apabila terjadi kecelakaan. Kota ini tidak
nyaman bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan.
Tanda penyeberangan jalan kadang-kadang hilang dibenarkan oleh para insinyur lalu
lintas di nama "melindungi" pejalan kaki untuk mempercepat lalu lintas.
Namun, mungkin untuk merancang sebuah persimpangan sedemikian rupa sehingga
memaksa pejalan kaki 'right-of-way, Jika desain persimpangan ini adalah tidak ramah bagi
pejalan kaki, itu jelas bahwa prioritas adalah mobil, bukan orang. Keputusan desain yang tidak
baik.
Anti-pejalan kaki di persimpangan juga dapat dibenarkan dengan menyatakan bahwa apa
yang disebut tingkat-of-service pedoman itu harus dipertahankan. Tentu saja, pedoman ini hanya
berlaku untuk mobil, jadi mereka mustahil untuk bersengketa dengan pejalan kaki itu karena sia-
sia, mencoba untuk berdebat dengan seseorang.
SATU CORNER: besar, bulat anti-sudut pejalan kaki di mana-mana
Suatu hari, saat melintasi jalan di sudut San Jose yang familiar, Anda bertanya-tanya
mengapa persimpangan terasa lebih besar dari biasanya. Apakah Anda hanya membayangkan
itu? Mungkin tidak, jika ada pekerjaan jalan yang baru-baru selesai. Ketika persimpangan yang
dibangun kembali di San José, persimpangan ini sering dibangun kembali dengan lebih luas,
menggunakan sudut bulat sehingga mobil dapat berkendara lebih nyaman dan cepat.
Ini hanya salah satu dari banyak cara untuk mengingatkan Anda bahwa mobil yang lebih
penting daripada orang-orang di San José. Jika Anda berjalan, hati-hati! Misalnya, sudut ini di
San Fernando dan baru-baru ini dibulatkan sehingga pengemudi bergegas tidak harus sangat
berhati-hati sambil berpaling lagi. San Jose adalah kota yang sangat buruk bagi pejalan kaki.
Tully Road: kebijakan desain yang disempurnakan di San José yang anti-pedestrian
Sudut-sudut jalan yang paling di San José Tully Jalan telah dirancang dengan besar, jari-
jari sudut lebar, sehingga lalu lintas tidak harus memperlambat terlalu banyak saat berputar.
Tidak kebetulan, beberapa persimpangan di sepanjang Jalan Tully yang terdaftar di antara yang
paling berbahaya di kota itu untuk pejalan kaki tertabrak. Hal ini telah diketahui selama
bertahun-tahun, tapi tidak ada substansi yang telah dilakukan tentang hal itu. Satu pengecualian
langka adalah persimpangan Tully dan Kenoga, di mana sudut adalah cukup ketat bahwa lalu
lintas sebenarnya tidak harus memperlambat sebelum berbalik.
Tully Jalan pelebaran.Namun, Tully Jalan sedang melebar, dan ini sudut ketat akan
dibangun kembali segera. Ketika jalanan sudut yang dibangun kembali di San José, mereka
sering melebar menjadi bulat dan lebih ramah untuk speeders. Warga Kenoga kemungkinan akan
melihat lebih ngebut di jalan mereka setelah pembangunan kembali sudut.
Selain itu, pejalan kaki menyeberang di sini untuk mendapatkan ke perpustakaan baru
perlu lebih berhati-hati di persimpangan ini daripada yang mereka lakukan sekarang. Karena
mobil datang pertama di San José. Ini kebijakan.
Tidak ada pejalan kaki silahkan selama konstruksi kota (lalu lintas mobil adalah OK)
Ini adalah fakta kehidupan bahwa situs konstruksi akan mengganggu lalu lintas yang
lewat dan pejalan kaki. Namun, di kota pejalan kaki-bermusuhan seperti San José, salah satu
biasanya menemukan trotoar berdekatan dengan pembangunan yang akan ditutup.
Tentu saja, City bisa memberikan trotoar sementara di luar bidang konstruksi, namun
hasil ini sering dalam penghapusan jalur lalu lintas. Tujuan San José, tentu saja, adalah untuk
menjaga lalu lintas yang lewat mobil sebagai terpengaruh mungkin, meskipun ada jalan memutar
nyaman yang mungkin diperlukan pejalan kaki. Perhatikan tidak adanya trotoar di boulevard
kelapa-pohon di seberang trotoar tertutup dalam foto di Almaden Boulevard, pusat kota San
José, Juli, 2002.
Branham LANE TIMUR MEMENUHI TRAIL CREEK COYOTE
(baik, ia mencoba untuk)
Perpanjangan baru-baru Branham Lane East off Hellyer Avenue di selatan-timur San
José mati-berakhir di Trail Coyote Creek, sebuah utara-selatan utama pejalan kaki-sepeda trail.
Alih-alih menghubungkan trotoar Branham Lane terhadap Trail Coyote Creek, sekitar 75 meter
jauhnya, San José diblokir akhir trotoar dengan pagar bercat putih. Dengan tidak adanya trotoar
yang tepat, pengguna jalan hanya membuat jalan mereka sendiri melalui rumput. Gerakan kecil
seperti ini cukup jelas menunjukkan kurangnya San José tentang bunga dalam hal pejalan kaki.
BLOSSOM HILL JALAN-kesaksian besar untuk anti-pejalan kaki Misi San José ini.
Blossom Hill Road adalah jalan satu-satunya yang melintasi Hwy 101 di bagian kota.
Dalam perjalanan, ia menyatu dengan ngebut beberapa on-landai dan off-landai, dan membuat
untuk pengalaman rambut penggalangan bagi mereka yang bekerja di kawasan industri di sisi
lain dan berani menentang budaya mobil San José dengan memilih untuk berjalan atau sepeda.
Tentu, pejalan kaki secara teoritis diperbolehkan di sini, dan bahkan ada trotoar parsial di
sisi lain dari jalan untuk mereka, suatu tempat-jika Anda dapat mengetahui bagaimana untuk
mendapatkan di sana.
Bersepeda dan program pedestrian
Iklim ringan San José dan daerah datar menyediakan lingkungan yang ideal untuk sepeda
dan pejalan kaki. The City of San José sepeda & Program Pedestrian membangun
fasilitas dan mengoperasikan program untuk mendukung bersepeda dan berjalan.
Saat ini, fasilitas mencakup lebih dari 1.000 mil dari trotoar, 16.000 landai pinggir jalan,
200 mil dari Lanes Bike, 50 mil dari multi guna jalan, dan sembilan pejalan kaki-sepeda
overcrossings jalan bebas hambatan.
Program meliputi Sepeda / Analisis Tabrakan Ped, Bicycling Keterampilan bebas Kelas,
dan sepeda Pedestrian bulanan Komite Penasehat (BPAC) pertemuan.
Program sepeda & Pedestrian juga berkoordinasi dengan program Kota lainnya,
seperti Program Keamanan Sekolah dan Program Trails, untuk meningkatkan sepeda
dan pejalan kaki keamanan di sekitar sekolah dan di lingkungan.
San José Crosswalk sedikit lebih lama
Penyeberangan pusat kota San José di San Fernando di Almaden Blvd cepat dan sibuk.
menjadi beberapa meter lagi dan sedikit kurang nyaman untuk pejalan kaki beberapa tahun yang
lalu ketika sudut tenggara dari San Fernando dan Almaden dibulatkan sehingga lalu lintas benar-
balik tidak akan memperlambat sebanyak seperti sebelumnya. Hal semacam ini adalah bisnis
rutin di San José dan tidak benar-benar penting.
Atas: garis putih menunjukkan perkiraan lokasi trotoar tenggara mantan Almaden Blvd / San
Fernando sebelum dibulatkan untuk mempercepat kanan balik mobil.. Mulai sekarang, Anda
sekarang akan menjadi sedikit lebih hati-hati ketika menyeberang di penyeberangan ini dan
berjalan di depan salah satu yang benar-balik mobil.
Tiga lainnya dari sudut persimpangan Fernando-Almaden San sudah dibulatkan tahun
lalu untuk lebih mengakomodasi cepat-balik pengendara. Ingat, jika Anda belum pernah
mendengar hal itu sudah dari seorang insinyur lalu lintas José San: lalu lintas lebih lambat di
lingkungan Anda menciptakan lebih banyak polusi. Di San José, bergerak cepat lalu lintas yang
baik dan bersih, polusi buruk.
San José sekarang menyatakan dirinya sebagai "kota hijau" (siapa yang tidak?), Sehingga
keuntungan dari mobil menjaga bergerak secepat mungkin yang ditafsirkan sebagai "hijau,"
terlepas dari efek buruk tentang wisata pejalan kaki. Tentu, pejalan kaki adalah hijau dari semua
pengguna jalan, tapi itu bukan jenis lalu lintas hijau yang San José adalah tentang.
Meskipun semua bla bla tentang-pusat kota San José menjadi lebih baik untuk pejalan
kaki (yang sebenarnya terjadi di daerah-daerah tertentu demonstrasi di pusat kota, khususnya di
sekitar balai kota), San José menghabiskan ribuan dolar dari pembulatan sudut persimpangan
pusat kota ini. Pembulatan sudut dengan cara ini umum di San José selama proyek rekonstruksi,
selalu ada tampaknya cukup uang untuk menambahkan item ini untuk anggaran proyek.
Paradoksnya, San José sering memiliki "tidak punya uang" menabung untuk proyek jalan
lingkungan yang tidak menguntungkan pengendara, seperti Rencana kuplet José San Konversi
diamanatkan oleh San José Dewan Kota pada tahun 2002.
Atas: garis putih menunjukkan perkiraan lokasi sudut trotoar mantan, dan garis putus-putus baru pada
garis trotoar penyeberangan baru yang akan bergaris.
Atas: garis putus-putus baru di trotoar garis penyeberangan baru yang akan bergaris.
Sepertinya itu bagian dari San Fernando St sepeda jalur hanya tersisa dari sudut mungkin
di jalan, bukan? Nah, itu, dan itu dicukur kembali oleh sepuluh meter atau lebih setelah foto ini
diambil agar tidak menjadi halangan ke kanan-balik lalu lintas.
San José Walkable City?
Itu aneh untuk tersandung pada sebuah artikel penamaan San José, California sebagai
salah satu dari 10 pada tahun 2007 sebagian besar kota walkable di Amerika Serikat (# 8
tepatnya).
Sulit untuk membayangkan bahwa ada banyak orang di luar sana yang merasa bahwa San
José secara keseluruhan adalah tempat yang baik untuk pejalan kaki, kecuali mungkin bagi
orang-orang yang terhubung ke organisasi membagikan penghargaan.
Downtown San José memang daerah berjalan yang besar, tetapi hanya terdiri dari
sebagian kecil dari kota dan tidak mencerminkan kota secara keseluruhan. Tidak seperti
kebanyakan San José, Downtown dibangun lama lalu ketika pejalan kaki berorientasi standar
adalah norma. Berjalan di San José di luar pusat kota dapat meminta keberanian. Banyak warga
lebih suka melewati lingkungan mereka daripada berjalan, bahkan untuk jarak pendek, karena
mereka merasa lebih terlindungi dari lalu lintas ketika di dalam mobil mereka.
Satu komentar mendengar di restoran yang cukup banyak meringkas itu: "Ini begitu dekat
sehingga aku bahkan bisa berjalan di sana dari rumah saya, bukan berarti saya akan
melakukannya.”
Setelah keluar dari pusat kota, San José pejalan kaki sering menghadapi desain jalan yang
membuat sebagian besar dari San José tempat yang bagus untuk mobil, tapi mengerikan untuk
pejalan kaki:
1. lebar, multi-jalur, bergerak cepat jalan yang hampir tidak pernah memiliki perlindungan
pejalan kaki di tengah jalan untuk pejalan kaki menyeberang di persimpangan.
2. sudut-sudut jalan sehingga dibulatkan-off bahwa mobil tidak perlu berhenti, dan sering
tidak, sebelum berbelok ke kanan di lampu merah atau tanda berhenti.
3. terkendali freeway on-dan off-landai.
4. persimpangan di mana pejalan kaki tidak diperbolehkan menyeberang di semua sisi,
untuk meminimalkan ketidaknyamanan pengendara
Tentu, ada yang disebut beberapa "lalu lintas menenangkan" proyek yang terjadi di sana-
sini, tetapi ini biasanya dalam menanggapi kematian pejalan kaki atau keluhan oleh asosiasi
lingkungan. Seperti San José asosiasi lingkungan telah belajar, dapat mengambil banyak
berjuang untuk mendapatkan bahkan satu peningkatan signifikan pejalan kaki dilaksanakan.
San José belum mengadopsi jalan-desain standar yang memaksimalkan kenyamanan
pejalan kaki sebagai bagian dari proyek rutin sehari-hari.
Meskipun demikian, itu mendorong untuk melihat upaya perencanaan hari ini yang
bertujuan untuk meningkatkan densitas dan kota-seperti sifat inti pusat kota San José, sementara
mempertahankan karakter walkable. Bahkan jika mobil-berorientasi suburbia sedang dibangun
dan dipelihara di tempat lain di San José.
Jalur Sepeda
Satu hal yang kita perhatikan adalah bahwa penyeberangan dan sepeda-jalur tanda
mendapatkan segar lebih jarang di San José dibandingkan mobil-jalur tanda yang berdekatan.
Setelah beberapa tahun ini, penyeberangan garis-garis dan tanda-tanda jalur sepeda menjadi agak
tak terlihat dan kadang-kadang hilang sepenuhnya.
Praktek ini tidak bisa menjadi hasil dari keyakinan bahwa lalu lintas kendaraan bermotor
di jalan-jalan San José lebih penting daripada pejalan kaki dan sepeda, bisa itu? Apapun alasan
untuk ini, itu bukan kecelakaan anonim, melainkan sebuah praktik yang tampaknya telah
diadopsi oleh San José dan diputus oleh karyawan San José.
Kota kekurangan uang dari San José di miskin Silicon Valley mungkin telah
menyelamatkan ribuan dolar dengan penyeberangan menyegarkan dan sepeda-jalur tanda lebih
jarang daripada jalur lalu lintas bermotor. Dan itu mungkin telah menyelamatkan lingkungan kita
juga dan menjadi "kota hijau" dengan menggunakan cat jalan sehingga jauh lebih sedikit.
Sebuah survei beberapa tahun lalu mencatat bahwa lebih dari setengah dari sepeda-jalur
San José ini tanda-tanda yang hilang atau memudar secara signifikan. Tapi tidak ada yang telah
dilakukan untuk mengubah kebijakan yang telah menulis banyak dari ini.
Atas: marka jalan Faded sepeda di Snell Avenue, San José, California
Atas: penyeberangan Faded di San Carlos Street dan Race Street, San José, California
Atas: penyeberangan Faded di Monterey Road dan Cottage Grove Avenue, San José, California
2. Studi Kasus Penerapan Unsur Pedestrian di Sydney, Australia
Kebanyakan penduduk Sydney bepergian dengan mobil melalui sistem jalan dan
motorway. Rute utama paling penting di wilayah urban adalah sembilan Metroad, yang
mencakup 110 km (68 mil) Sydney Orbital Network. Sydney juga dilayani oleh jaringan luas
kereta api, taksi, bus dan feri.
Jalur kereta api di Sydney dioperasikan oleh CityRail, sebuah perusahaan milik
pemerintah. Kereta beroperasi sebagai layanan kereta komuter pinggiran kota di pinggiran
terluar, kemudian beroperasi sebagai layanan kereta bawah tanah mengitari kota di distrik bisnis
sentral. Pada tahun-tahun setelah Olimpiade 2000, operasi CityRail menurun secara signifikan.
Tahun 2005, CityRail memperkenalkan jadwal terbaru dan mempekerjakan lebih banyak
masinis.Sebuah proyek infrastruktur besar, proyek Clearways, dijadwalkan selesai tahun 2010.
Tahun 2007, sebuah laporan mengatakan bahwa CityRail beroperasi lebih buruk bila
dibandingkan dengan banyak layanan kereta bawah tanah di kota-kota di seluruh dunia.
Sydney memiliki satu jalur kereta api ringan, Metro Light Rail, membentang dari Central
Station ke Lilyfield di sepanjang bekas jalur kereta barang. Juga ada Metro Monorail, yang
membentuk jalur melingkar di sekitar distrik perbelanjaan utama dan Darling Harbour. Sydney
pernah dilayani oleh jaringan trem yang luas, yang ditutup pada 1950-an dan 1960-an.
Sebagian besar wilayah metropolitan dilayani oleh bus, kebanyakan mengikuti rute trem
pra-1961. Di kota dan pinggiran terdalam, Sydney Buses milik negara bagian menjalankan
monopoli. Di pinggiran terluar, layanan dikontrak kepada banyak perusahaan bus pribadi.
Pembangunan jaringan angkutan cepat bus di wilayah yang belum dilayani oleh angkutan umum
dimulai tahun 1999, dan yang pertama, Liverpool-Parramatta Rapid Bus Transitway, dibuka
Februari 2003. Sydney Ferries milik pemerintah negara bagian menjalankan berbagai jasa feri
komuter dan turis ke Sydney Harbour dan Sungai Parramatta.
Gambar tahun 1900-an di Sydney
Bandar Udara Sydney, di pinggiran Mascot, adalah bandar udara utama Sydney, dan
salah satu bandara tertua yang masih beroperasi di dunia. Bandar Udara Bankstown melayani
penerbangan umum dan pribadi. Terdapat sebuah lapangan udara penerbangan ringan di
Camden. RAAF Base Richmond terletak di baratlaut kota.
Pertanyaan mengenai rencana Bandar Udara Sydney Kedua telah memunculkan
kontroversi. Sebuah survei 2003 menemukan bahwa Bandar Udara Sydney dapat berperan
sebagai satu-satunya bandar udara internasional di Sydney selama 20 tahun, dengan peningkatan
signifikan lalu lintas bandara. Perluasan bandara akan mendatangkan dampak terhadap
masyarakat, termasuk bising pesawat tambahan yang mengganggu penduduk. Tanah telah dibeli
di Badgerys Creek untuk bandara kedua, tanah ini berperan sebagai titik fokus untuk argumen
politik.
Lalu lintas di pusat kota Sydney akan melambat menjadi 40 km / jam dan Kota Sydney
dewan akan memperkenalkan jalan-jalan bersama dengan kecepatan tertinggi 10 km / jam, di
bawah perjanjian antara walikota tuan, Clover Moore, dan pemerintah NSW.
Anggota Dewan Moore dan Premier, Kristina Keneally, akan merilis nota kesepahaman
hari ini yang juga akan mengunci rencana untuk mengembalikan kereta ringan ke kota dan
overhaul jalur bus dan clearways dalam upaya untuk mempercepat waktu perjalanan bagi
penglaju.
Pemerintah juga telah sepakat untuk timer hitung mundur pada lampu lalu lintas sidang -
umum di kota-kota dari Bangkok ke London dan, terakhir, New York - setelah bertahun-tahun
oposisi oleh Roads and Traffic Authority, yang telah enggan untuk memungkinkan pejalan kaki
untuk memantau berapa lama mereka menunggu untuk lalu lintas.
Rencana tersebut juga berjanji untuk'' meningkatkan prioritas pejalan kaki di
persimpangan pejalan kaki utama dan mengurangi waktu tunggu untuk pejalan kaki dalam
periode puncak''.
Hal ini juga melibatkan tindakan keras terhadap pengendara di persimpangan 21 di kota -
termasuk Pasar dan George jalanan, Macquarie dan Jembatan jalan, Elizabeth dan Park jalan-
jalan dan jalan-jalan Raja dan Clarence - untuk mencegah antrian di jalan-jalan utama.
The 40 baru km / h batas kecepatan kemungkinan untuk diterapkan ke daerah yang
dibatasi oleh Circular Quay dan Central Station di utara dan selatan, dan College Street dan
Sussex Street, di sebelah timur dan barat.
The Herald memahami Ms Keneally membuat perombakan daerah pusat bus di Wynyard
syarat utama memorandum tersebut dan mengancam untuk tidak menandatangani kecuali itu
termasuk dalam keseluruhan merubah kota.
Ini mencakup clearways baru di pagi hari dan jam sibuk sore di York, Jembatan dan
jalan-jalan Pasar dan perluasan kali jalur bus di Clarence Street sampai 9.
Setidaknya tujuh jalan raya akan menjadi daerah sekitar 10km / h dan lalu lintas yang
akan dilarang di York Street selama periode puncak pagi.
Wilmot, Tengah, Cunningham, Hay Little Valentine dan jalan-jalan Pabrik, bersama
dengan Kimber Lane, akan remodelled menyerupai Barrack Street di kota. Dengan gerobak bata
paving, tempat duduk dan makanan, jalan singkat antara George dan jalan-jalan York dirancang
untuk memungkinkan pejalan kaki dan lambat bergerak mobil untuk berbagi streetscape.
Memorandum menegaskan bahwa light rail akan kembali ke jantung kota Sydney,
dengan rincian yang harus diselesaikan awal tahun depan dan mendorong dengan'' persetujuan
perencanaan yang cepat''. '' Memorandum itu akan membimbing meningkatkan pilihan
transportasi umum dan aktif, serta arus lalu lintas untuk seluruh pusat kota,'' kata Cr Moore
Herald dalam email.
'' Ia mengakui bahwa memperluas light rail adalah inisiatif kunci yang fundamental dapat
mengubah pusat kota dengan meningkatkan arus lalu lintas dan mengurangi kemacetan.''
Sebuah negara-kota bersama gugus tugas akan mulai bekerja segera pada penentuan rute
rel ringan, meskipun Herald memahami RTA telah mengajukan keberatan ke trem di Sussex
Street, mengklaim itu terlalu sempit.
Salah satu pilihan adalah untuk meletakkan rel ringan di sepanjang George Street,
perulangan sekitar Point Dawes ke Walsh Bay dan Barangaroo direncanakan kantor polisi.
Bab IV Kesimpulan
Pedestrian adalah trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki untuk menikmati nuansa
bangunan perkotaan dan taman-taman Kota / Kabupaten. Pedestrian menjadi indikator pokok
bagi kemajuan peradaban dan pembangunan kota masa depan. Faktanya banyak pedestrian
menjadi lahan parkir mobil atau sepeda motor, menjadi lahan pedagang kaki lima berjualan
dagangannya. Hal ini menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki maupun wisatawan
yang ingin berjalan-jalan menikmati kawasan perkotaan dan pedesaan. Pedestrian yang salah
peruntukan dan fungsinya akan mempersempit lebar jalan dan akhirnya menambah kemacetan
jalan raya.
Fasilitas pejalan kaki (pedestrian) atau trotoar dibuat untuk keamanan dan kenyaman
pejalan kaki dari benturan dari kendaraan di jalan. Tentu desain tempat pejalan kaki didasarkan
kepadatan lalu lintas pejalan kaki, seperti lebar, batas tinggi yang aman. Fungsi fasilitas
pedestrian adalah memisakan antara pejalan kaki dan kendaraan di jalan, sehingga pejalan kaki
terlindungi dari benturan kendaraan di jalan. Masalahnya pada daerah-daerah yang padat dalam
kota, banyak trotoar beralif fungsi yaitu dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti pedagang
kaki lima, tempat parkir sepeda motor dan mobil, atau kegiatan lain yang bisa mengganggu
keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Akibatnya pejalan kaki berjalan di jalan raya, yang
sewaktu-waktu bisa terancam keselamtannya.
Berdasarkan jejak pendapat dilakukan terhadap 418 responden di Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi dan Depok bahwa 70,3 persen “tidak aman”, 27,3 persen” aman” dan 2,4 %
“tidak tahu/tidak jawab”. Ini menunjukkan pejalan kaki di kota-kota besar belum terlindungi
karena banyak jalan-jalan kota besar sudah banyak beralih fungsi. Kondisi ini terlihat di jalan
Agus Salim Jakarta Pusat, area pedestrian digunakan untuk lahan parkir seperti sepeda motor dan
mobil. Di pusat niaga Jakarta Barat, pejalan kaki juga tersingkir dari trotoar, seperti telihat di di
jalan KH Moh.Mansyur dari arah Roxy menuju Kota dan sebaliknya. Disepanjang jalan berdiiri
toko, kantor,bengkel dan tempat usaha lain. Karena tidak ada lahan parkir di depan toko atau
kantor, trotoarpun dijadikan area parkir sepeda motor dan mobil. Penjual makanan, minuman,
buah, bunga, rokok, sayuran dan pulsa telepon berderet di sepanjang trotoar. Hampir setiap 5
meter, pejalan kaki harus turun ke badan jalan karena trotoar tidak bisa dilewati. Padaha trotoar
sudah ditinggikan hingga 50 centimeter. Jika tidak ingin turun naik dari trotoar, pejalan kaki
terpaksa harus berjalan di badan jalan.
Seperti contoh tersebut, tersingkirnya pejalan kaki dari trotoar, jelas keselamatannya
terancam apabila berjalan di diatas badan jalan. Yang berjalan di atas trotoar bisa celaka seperti
kasus Apriyani menabrak 14 pejalan kaki, apalagi pejalan kaki berjalan di badan jalan, bisa
mudah sekali tertabrak mobil atau sepeda motor. Trotoar tersebut apakah masih layak bagi
pejalan kaki? kemudian trotoar tersebut telah beralih fungsi apakah dibiarkan terus, sampai
mununggu pejalan kaki tertabrak? Kewajiban pemerintah harus menertibkan pedangang-pedang
dan kendaraan bermotor yang menggunakan area pedestrian. Kemudian cari solusi yang terbaik
seperti relokalisasi pedang dan mengatur parkir kembali kendaraan bermotor di tepi jalan pada
jam-jam tertentu atau ada kajian rekayasa lalu lintas memberikan solisi terbaik dan bisa diterima
semua pihak. Yang penting ada kemauan pemerintah daerah melakukan penertiban secara rutin
dan dikoordinasikan dengan instansi terkait memfungsikan kembali area pedestrian. Upaya
pernertiban bisa juga dilakukan dengan penegakatan hukum dan pendekatan sosial agar dapat
diminimalisir kejolak sosial.
Daftar Pustaka
http://gedebudi.wordpress.com/category/perencanaan-kota/
http://en.wikipedia.org/wiki/San_Jose,_California
http://sanjosehatespedestrians.priss.org/no-ped-xing01.php
http://www.sanjoseca.gov/transportation/bikeped/bikeped_program.asp
http://www.san-jose-pedestrians.com/?p=23
http://www.smh.com.au/nsw/another-sydney-pedestrian-run-over-
20120709-21q3i.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sydney