100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

49
Ujian Tengah Semester Perencanaan Kota “Studi Kasus Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota” Dwi Octavianty Tanjung 100406009 ([email protected] ) UNIVERSITAS SUMATRA UTARA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR MEDAN 2012

Transcript of 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Page 1: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Ujian Tengah Semester

Perencanaan Kota

“Studi Kasus Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota”

Dwi Octavianty Tanjung

100406009

([email protected])

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN ARSITEKTUR

MEDAN

2012

Page 2: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,

Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam

bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai

salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Adapun judulnya yaitu : “Studi

Kasus Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota”

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman

bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga

kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki

sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-

masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Medan, 31 October 2012

Penyusun

Page 3: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Abstrak

Kota adalah tempat kita tinggal. Kota menyediakan berbagai kebutuhan kita: sandang,

pangan, dan papan. Kota sebagai sebuah fenomena ”urban” memberikan kita lingkungan sosial

budaya dan ekonomi yang sangat menentukan preferensi dan perilaku kita. Saya lebih suka

menyebut permukiman kota sebagai keseluruhan yang meliputi kota sebagai tempat tinggal

dengan lingkungan sosial ekonomi dan budaya yang mempengaruhi.

Planner (sebenarnya saya tidak begitu suka mendefinisikan diri saya dengan kata itu saat

ini), kota seringkali dianggap hanya sebagai hanya sebuah ”kota”. Makna ini tidak lebih luas dari

yang saya sampaikan sebagai sebuah urban. Di bangku kuliah kita berdiskusi tentang

perencanaan kota atau city planning, bukan urban planning. Saya melihat ada dua kecenderungan

yang dibawa oleh perbedaan pemahaman antara kedua istilah tersebut. Pertama, city planning

melihat kota secara analitis, dibagi menurut komponen-komponennya: fisik geografis, tata guna

lahan, sosial ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Sementara itu, urban planning memiliki

makna yang dalam yang diamati secara empiris, seperti pola kehidupan masyarakat, protes

sosial, organisasi, dan pemerintahan.

Ketika kita menerjemahkan perencanaan kota sebagai city planning, cara pandang

perencana menjadi bersifat mekanis dan analitis. Justru yang berlangsung saat ini adalah hal

yang sebutkan tersebut. Mau bukti. Rencana kota menjadi dokumen yang dibuat oleh ”para ahli”

yang memetakan kebutuhan masyarakat atas lahan dan pengaturan ruang. Seluruhnya disusun

dengan menggunakan pedoman yang dianggap sebagai kitab suci. Kerangka rencana dibuat

menurut pedoman tersebut, tinggal isinya yang dilengkapi. Isi yang dilengkapi tersebut disusun

dengan menggunakan metode perencanaan yang sifatnya analitis: formula yang generik

diaplikasikan untuk memproyeksikan pertumbuhan dan jumlah penduduk. Siapa yang tidak

kenal rumus-rumus ajaib, seperti: metode pertumbuhan linier, eksponsial, bunga berganda,

maupun pertumbuhan dengan batasan sumber daya? Parameter kuantitas penduduk ini digunakan

untuk mengestimasikan kebutuhan terhadap ruang maupun komponen-komponennya, seperti

infrastruktur sampah, air bersih, sekolah, rumah sakit, dll.

Page 4: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Betapa susahnya dosen saya yang saya kagumi karena memiliki pendekatan berbeda dari

kebanyakan pengajar yang lain pada mata kuliah yang sama untuk merubah cara kerja

mahasiswa calon planner yang cenderung mekanistik dan analitis tersebut. Beliau senantiasa

menekankan perencana harus ”turun gunung” dan merumuskan rencana melalui keterlibatan

langsung dengan kegiatan-kegiatan masyarakat yang membutuhkan ruang. Hal ini tidak mudah

diterima karena memakan waktu dan untuk beberapa orang tidak mudah untuk beradaptasi

dengan lingkungan yang berbeda dari konteks budayanya.

Saya beranggapan bahwa dokumen rencana ruang kita dibuat tebal namun kurang sekali

memiliki makna. Masih banyak pula konsep dan program ruang yang dibuat dengan metode

yang kabur dan mereduksi kenyataan di lapangan. Parameter yang digunakan untuk menyusun

program ruang masih lemah dan kurang lengkap, tidak hanya cukup dengan pertimbangan

kuantitas penduduk seperti yang saya sampaikan di atas. Atas dasar prerogatif perencana maupun

tim teknis proyek, seringkali rencana dibuat dengan rumusan yang hanya dapat ditemui di kepala

mereka. Bahkan, kepentingan politis sepihak seringkali dengan mudah masuk.

Berbeda dengan standar, pedoman disusun dengan memberikan keleluasaan yang lebih

besar kepada seseorang atau dalam hal perencana untuk menggali permasalahan di lapangan dan

menyusun rekomendasi. Pedoman hanya memberikan kerangka, bukan menetapkan urutan

langkah atau hasil-hasil yang akan dicapai. Hal ini berbeda dengan kegiatan di bidang konstruksi

bangunan dan jalan yang objeknya memiliki parameter-parameter yang dapat dikendalikan

dengan mudah. Sementara itu, objek dalam tata ruang bukanlah ruang per se, melainkan warga

kota.

Dari pengamatan ini, saya menyarankan perencanaan kota sebagai city planning

kuranglah tepat. Kita musti bergerak ke arah perencanaan kota sebagai urban planning yang

menekankan kepada pengamatan mendalam atas fenomena keruangan. Dalam pengertian ini,

keruangan didekati secara empiris, tidak a priori, dan mendefinisikan isu spesifik yang

ditentukan di lapangan, bukan di kepala planner. Parameter disusun dengan kehati-hatiaan dan

bersifat unik karena lokasi, konteks sosial, dan posisi strategis dibandingkan lokasi lainnya.

Produk dari semua proses tersebut adalah rencana kota yang yang ditujukan untuk menciptakan

Page 5: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

sebuah ”place”, bukan sekedar ruang yang di dalam rencana direpresentasikan dengan legenda

dan warna-warna.

Saya meyebutkan pola perencanaan saat ini adalah mekanistik. Sebagai analogi, di

bidang teknologi jalan, dikenal kategori kajian: empirik, mekanistik, dan analitik. Sampai saat

ini, saya memahami teknologi jalan di Indonesia masih diciptakan dan dikembangkan melalui

metode empirik. Hal ini dikarenakan karena para insiyur jalan kita masih sangat berhari-hati

untuk menentukan parameter-parameter untuk melangkah ke perencanaan atau perancangan

yang sifatnya mekanis dan analitis. Bukan mereka tidak mampu, melainkan beragamnya kondisi

lingkungan di Indonesia yang menyulitkan rumusan fungsi konstruksi yang melibatkan

parameter yang teridentifikasi jelas yang sifatnya generik.

Page 6: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Bab I Pendahuluan

Perencanaan kota merupakan proses penyusunan rencana tata ruang kota, yang

didalamnya terkandung arahan penataan ruang kota. Pada mulanya, kegiatan perencanaan

dilakukan oleh orang-orang “pilihan” yang dianggap mampu menerjemahkan visi dan keinginan

manusia akan tata ruang yang lebih baik, atau mereka yang sangat berduit untuk merealisasikan

cita-cita mereka mengenai masyarakat yang dianggap ideal. Orang-orang ini diantaranya seperti

Daniel Burnham yang merencanakan Wangshinton D.C., Frederick Law Olmsted, Jr. yang

merencanakan Kota New York, atau Ebenezer Howard yang merumuskan konsep Garden City.

Pengetahuan mereka tentang subastansi rencana sangat dipengaruhi oleh bentuk

intervensi yang dapat mengarahkan masyarakat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.

Howard memikirkan mengenai kota industri yang penuh dengan polusi sehingga merasa perlu

untuk memindahkan komunitas kota ke daerah pedesaan yang masih alami. Kota baru ini

disebutnya dengan Garden City.

Dalam prakteknya, perencanaan pada masa yang lampau sangat dipengaruhi oleh

“keterpesonaan” perencana agar dapat memahami alam dengan lebih baik dan menciptakan

keterhubungan antara manusia dan alam. Dalam skala mikro, hal ini dipraktikkan oleh Frank

Llyod Wright dengan rancangan arsitektur yang memadukan antara alam dan lingkungan buatan.

Dalam skala yang lebih makro, beberapa komunitas masih memperlihatkan upaya

penyeimbangan antara manusia – alam melalui perancangan kota, seperti yang ditunjukkan

dalam prinsip perancangan ruang komunitas di Bali yang tetap berpegangan pada pengetahuan

lokal. Salah satu praktik yang menonjol adalah pemisahan ruang menjadi tiga yang merupakan

upaya pengaturan ruang kosmologis yang menyeimbangkan antara manusia – Tuhan, manusia –

manusia, dan manusia – alam. Pada skala kota, keseimbangan ini dijaga dengan mengendalikan

agar lingkungan memberikan hidup yang nyaman bagi yang tinggal di dalamnya, misalnya

dengan mempertahankan ruang terbuka hijau (pemakaman yang harus selalu ada).

Page 7: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Seiring dengan modernsisasi tata ruang, kota tumbuh melewati batas yang dapat

ditoleransi oleh lingkungan perkotaan. Seiring dengan siklus perkotaan, bagian pusat kota

menjadi terbengkalai dan perlu direvitalisasi, sementara bagian pinggiran merupakan kawasan

yang baru terbangun dengan “memakan” ruang terbuka hijaunya. Bentukan fisik kota mengalami

penyeragaman rupa dengan penonjolan indivualitas bangunan-bangunan. Dalam hal ini, sesuatu

yang megah ditunjukkan oleh ukuran gedung (luas dan tinggi) maupun skala pelayanan. Dalam

hal ini modernisasi tata ruang merefleksikan keinginan manusia untuk menciptakan kebaharuan-

kebaharuan melalui penguasaan terhadap alam dan lingkungan.

Titik balik dimana manusia mulai meninggalkan yang tradisional dan mulai

memfokuskan kepada kebutuhannya secara personal mempengaruhi praktik perencanaan. Dalam

sejarahnya, perencanaan kota sendiri merupakan upaya untuk memanipulasi ruang yang sudah

ada agar manusia hidup nyaman dan layak. Ilmu perencanaan sendiri, dalam pandangan saya,

mengesahkan suatu metode pemisahan manusia dan lingkungan (alam). Melalui objektivitas

berpikir dan rasio yang digunakannya, manusia merumuskan konsep dan menciptakan teknologi

serta standar yang semakin memperkuat kecenderungan untuk memanipulasi lingkungan.

Perencanaan kota menjadi kurang pada aspek penonjolan terhadap subjektivitas pengamatan

unsur-unsur di dalam ruang, sehingga perencana sedikit memiliki sensitivitas dalam pengamatan

terhadap lingkungan. Pada titik ekstrem dari perencanaan modern ini, muatan rencana pun

mengalami standardisasi. Pedoman maupun standar menjadi pegangan untuk menentukan isi,

sedangkan aspek-aspek yang direncanakan pun telah ditetapkan dengan prosedur. Dalam hal ini,

perencana telah kehilangan “keterpesonaan” terhadap lingkungan.

Studio Perencanaan Kota: Sebuah Catatan

Studio perencanaan kota merupakan mata kuliah wajib yang diikuti oleh mahasiswa

sarjana. Studio ini memberikan perkuliahan kepada mahasiswa agar mampu membuat rencana

tata ruang kota. Penekanan lebih kepada kemampuan mahasiswa untuk mampu mengikut

prosedur perencanaan yang telah ada.

Page 8: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Untuk mampu mengerjakan sebuah rencana tata ruang kota, para mahasiswa mengacu

kepada pedoman penyusunan rencana tata ruang yang dikeluarkan oleh Kepmen Kimpraswil No.

327/KPTS/2002. Peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi tata ruang juga turut

dipertimbangkan. Dalam hal ini, tujuan perkuliahan adalah memperkenalkan dan melatih

mahasiswa untuk melakukan proses codified planning. Dalam pengerjaannya, mahasiswa

melakukan analisis dengan menerapkan pengetahuan metode yang dipelajari pada mata kuliah

sebelumnya, serta ditujukan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada pada pedoman dan

standar dalam penataan ruang kota, permukiman, maupun infrastruktur.

Kedalaman rencana ditentukan pada Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan

(RDTRK). Dalam hal ini, pemilihan terhadap kedalaman rencana merupakan pertimbangan

strategis. Pertama, RDTRK tidak terlalu makro, sehingga mahasiswa mampu mendapatkan

pemahaman mengenai hal-hal teknis menyangkut lingkungan fisik (lahan, bangunan, dan

infrastruktur). Kedua, RDTRK masih merupakan “area kerja” bagi perencana, karena pada

kedalaman yang lebih rinci adalah RTBL yang sudah menyangkut bangunan (pemanfaatan dan

pengendalian) yang merupakan area kerja arsitek. Sementara itu, pada lingkup yang diatasnya

RUTRK lebih menyerupai Rencana Tata Ruang Wilayah yang lebih makro.

Selama satu minggu, para mahasiswa melakukan kegiatan observasi dan pengumpulan

data di lapangan. Dalam kegiatan ini para mahasiswa dihadapkan langsung dengan persoalan tata

ruang: menemukenali dan mencatat, serta merumuskan langkah-langkah apa yang harus

dikerjakan berikutnya. Kegiatan observasi lebih menonjolkan kepada pengamatan terhadap aspek

fisik dan aspek kegiatan perkotaan. Para mahasiswa menyiapkan seragkaian set observasi untuk

melakukan pencatatan terhadap tata guna lahan, lingkungan bangunan, dan infrastruktur yang

diprioritaskan.

Page 9: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Dari kesan yang diperoleh mahasiswa dari kegiatan observasi ini, terdapat beberapa hal yang

patut mendapatkan perhatian:

1. Para mahasiswa lebih memfokuskan kepada hal-hal yang bersifat fisik, dibandingkan

unsur-unsur lainnya: kegiatan, akses, dan kehidupan kultural komunitas

2. Para mahasiswa lebih condong kepada penyajian fakta lingkungan, dibandingkan

kemampuan mengungkapkan subjektivitas yang diperoleh dari pengamatan mandiri

3. Kemampuan menguasai lingkungan perkotaan masih rendah yang berdampak terhadap

penyampaian informasi yang salah.

Hal ini menunjukkan bahwa proses perkuliahan sendiri belum mampu meningkatkan

sensitivitas mahasiswa terhadap lingkungan perkotaan. Seringkali mahasiswa tidak mampu

menyampaikan hal-hal yang termasuk di luar pengamatan fisik. Informasi dari lingkungan yang

diperoleh memang melimpah, tetapi tidak banyak memberikan variasi terhadap aspek-aspek

yang ingin direncanakan, yang termasuk di dalamnya, seperti: (1) akses di dalam maupun dari

dan ke luar kota, (2) kegiatan yang berkembang, maupun (3) konteks kehidupan sosial budaya

masyarakat.

Informasi yang berasal dari pengamatan kemudian dicek silang dengan data dari wawancara,

namun sedikit sekali memberikan arti karena metode yang diterapkan kurang sistematis.

Meskipun demikian, sedikit dengan sedikit seiring dengan perjalanan waktu selama mengikuti

observasi di lapangan para mahasiswa ini mulai mampu memberikan deskripsi yang lebih padat

terhadap lingkungan perkotaan.

Memperkuat Sensitivitas terhadap Lingkungan Perkotaan: Menjadikan Perencanaan Kota

sebagai Proses Placemaking

Beranjak dari permasalahan yang dihadapi diatas, perkuliahan studio perencanaan kota

harus mampu keluar dari kebiasaan selama ini. Penekanan kepada codified planning memang

memberikan pengalaman yang berharga bagi mahasiswa yang akan mengerjakan rencana tata

Page 10: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

ruang kota nantinya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan Sarjana PWK adalah mampu

menyusun rencana tata ruang, salah satunya rencana tata ruang kota, sehingga proses yang

demikian tidak dapat diabaikan begitu saja.

Sayangnya, dengan lebih menekankan kepada praktik yang terstandar, mahasiswa seakan

kehilangan sensitivitas mereka terhadap lingkungan perkotaan (kreativitas juga!). Tuntutan

terhadap aspek fisik lebih mengemuka, padahal elemen-elemen perkotaan sangat ragam dan

membutuhkan kepekaan untuk mengungkapkan makna yang tersirat di dalamnya. Sebagian besar

mahasiswa membandingkan Kota Bandung dengan kota wilayah studi (dalam hal ini

Temanggung) yang jelas memiliki karateristik yang berbeda, sehingga tidak memungkinkan

untuk dilakukan penjajaran. Selain itu, pengamatan terhadap elemen yang membangun struktur

ruang kota lebih difokuskan kepada elemen yang baru. Pola ruang pun diamati melalui batas-

batas administrasi desa, yang kurang memberikan arti bagi perencanaan ruang kota dengan

struktur dan pola ruang yang harus mampu diwujudkan di dalam pikiran perencana maupun

dalam rencana.

Proses perkuliahan ini memberikan pelajaran bahwa perencanaan kota tidak dapat

dilakukan sebagai business as usual. Para perencana sendiri perlu melakukan interaksi yang

lebih intensif dan mulai mempertimbangkan beragam subjektivitas yang berkembang, baik yang

berasal refleksi pribadi maupun masyarakat kota. Dengan demikian, perencana harus mampu

menjadikan perencanaan sebagai proses placemaking yang berarti perencana perlu mengenali

unsur-unsur nonfisik yang turut berpengaruh terhadap rencana. Hal ini juga ditujukan untuk

merekatkan kembali perencanaan yang lebih memperhatikan masyarakat dan berorientasi kepada

kehidupan yang harmonis dengan alam.

Salah satu solusi yang berkesan sangat naif adalah perlu merubah pola perkuliahan

studio. Para dosen harus mampu menggugah rasa ingin tahu terhadap isu yang ada di perkotaan

dan memberikan kerangka metode yang lebih sesuai bagi pengamatan dan penyusunan rencana.

Masalahnya, hal ini sangat sulit dilakukan apabila tuntutan terhadap format rencana yang selama

ini ada, sudah sangat demikian baku. Terkadang satu dengan lainnya tidak jelas bedanya dalam

Page 11: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

hal penekanan analisis maupun arahan yang dijabarkan. Perencanaan kota sebagai upaya

placemaking masih jauh panggang dari api.

Page 12: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Bab II Teori

Di dalam perencanaan, atau lebih spesifik perencanaan kota, dapatkah kita melakukan

pemisahan antara teori dan praktik? Dalam kenyataannya, pemisahan tersebut sangat sulit untuk

dilakukan. Dengan merentang sejarah perencanaan, John Friedmann dalam bukunya yang

monumental Planning in the Public Domain mengungkapkan definisi perencanaan sebagai

pemanfaatan pengetahuan metode dan teknis untuk mencari solusi dalam jangka waktu tertentu.

Praktik tidak dapat dipisahkan dari teori karena memberikan paradigma dan kerangka untuk

melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam perencanaan. Dalam hal ini saya

mengambil posisi bahwa antara teori dan praktik tidak dapat dipisahkan sama sekali.

Berawal dari Theory of Planning dan Theory in Planning

Ketegangan antara teori dan praktik sebenarnya sudah muncul ketika Faludi berbicara

mengenai perbedaan antara theory of planning dan theory in planning. Pada pengertian yang

pertama, perencanaan dianggap sebagai serangkaian prosedur untuk mencapai tujuan dalam

perencanaan. Terdapat urutan logis perencanaan yang mesti diikuti untuk menghasilkan rencana.

Theory in planning mengungkapkan hal yang sebaliknya. Pertanyaan yang lebih dahulu

mengemuka adalah: teori atau substansi apa yang perlu diketahui oleh perencana untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini perencana mencari konsep dan metode yang tepat atau

semacam formula untuk menemukan solusi-solusi.

Theory of planning atau procedural planning dikritik karena terlalu kaku dalam

mempraktikkan perencanaan dalam kenyataannya. Perencana menjalani serangkaian tahapan

yang sudah mapan yang mengarahkan tindakan mereka. Procedural planning umumnya

bergantung kepada aspek administratif. Perencana yang lebih pragmatis akan sangat cepat untuk

menyesuaikan dengan gaya perencanaan ini. Pada konteks sebaliknya, theory in planning atau

substantive planning lebih berkutat kepada pemahaman terhadap konsep dan metode yang sesuai

untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Substansive planning memberikan

Page 13: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

fleksibilitas dalam merumuskan persoalan dan pemecahannya. Perencana yang cenderung idealis

akan sangat menyukai pendekatan ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, antara theory of planning dan theory in planning

mampu berjalan beriringan. Selain mengikuti tahapan logis, perencanaan juga diisi oleh sejumlah

teori dan konsep yang diambil dari ilmu-ilmu yang relevan. Selain mengembangkan serangkaian

prosedur, perencana juga melakukan adopsi dan adaptasi terhadap bidang-bidang keilmuan yang

terkait.

Menuju Perencanaan Komunikatif

Perkembangan selanjutnya, menurut teori sosial, teori dan tindakan tidaklah dapat

dipisahkan. Dalam Theory of Communicative Action, bahwa gagasan-gagasan yang

berkembang di kepala para ahli, yang terkait kontribusinya terhadap arah perkembangan

masyarakat, tidak dapat dapat diterapkan secara mekanis. Karena para ahli yang bersangkutan

perlu menjalani proses komunikatif yang berarti melihat perspektif yang ragam di dalam

masyarakat. Dalam hal ini, sebuah teori tidak berbicara sendiri, namun menjadi kontekstual bagi

suatu komunitas. Para ahli justru menggali lebih lanjut mengenai yang sesungguhnya terjadi di

dalam masyarakat.

Konteks teori komunikasi ini sangat relevan bagi perencanaan. Perencanaan bukanlah

ilmu pasti yang terkait dengan perilaku alam dan keinginan untuk melakukan kontrol, melainkan

terkait dengan pemahaman sosial mengenai cita-cita dan keinginan masyarakat. Partisipasi

masyarakat menjadi sangat penting karena akan menjadi cara untuk menggali aspirasi

masyarakat. Tidak hanya itu, seorang perencana menjadi seorang komunikator yang

menyampaikan gagasan-gagasannya, namun bukan pihak yang dominan dalam prosesnya.

Untuk konteks saat ini di Indonesia, perencana sebagai komunikator masih berada di

angan-angan. Para perencana yang termasuk ke dalam kelompok akademisi memang berperan

besar dalam pemahaman-pemahaman baru baik dalam theory of planning maupun theory in

planning, namun dapat dikatakan masih masih ada “jarak” dengan masyarakat atau bertindak

sebagai komunikator. Meskipun pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat yang menjadi fitrah

mereka di kehidupan akademik menjadi sangat penting untuk dikerjakan, lebih sering merupakan

Page 14: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

bagian dari pelayanan terhadap kelompok tertentu, seperti pemerintah maupun pengembang

besar. Ada peluang untuk menjadikan perencanaan menjadi cara-cara untuk memecahkan

persoalan yang dihadapi masyarakat sekaligus menjadi lebih dekat dengan komunitas. Dalam hal

ini saya menafsirkan praktik perencanaan sebagai upaya memecahkan masalah masyarakat

sekaligus keberpihakan terhadap mereka.

Dengan perkembangan masyarakat yang ada sekarang yang dipahami sebagai

postmodern society, seorang perencana tidak mungkin bertindak lepas dari paradigma yang

memandang bahwa perencanaan seharusnya tidak menjadi instrumen untuk memproduksi

metanarasi (sebuah produk rencana pada dasarnya adalah sebuah metanarasi karena sifatnya

yang mengatasi wacana lain menyangkut perikehidupan masyarakat, dalam hal ini tata ruang).

Perencana pun memiliki tanggung jawab untuk membentuk masyarakat secara bertanggung

jawab yang dilakukan secara diskursif, bukan melalui ego keahlian. Aspirasi dari seluruh

kelompok pun harus dipertimbangkan sebagai perwujudan bahwa masyarakat memiliki culture

yang ragam.

Perencana sebagai Teoritisi atau Praktisi?

Dengan uraian di atas sesungguhnya tidak relevan lagi menanyakan apakah perencana

adalah seorang teoritisi atau praktisi. Perencana haruslah seseorang yang mampu mengkaitkan

antara teori dan metode untuk memecahkan persoalan-persoalan di dalam masyarakat dengan

mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan politik yang ada. Bukan pekerjaan yang mudah.

Dalam prakteknya, perencana memanfaatkan paradigma tertentu yang mengarahkan kepada

tindakan tertentu. Saya sangat menyanyangkan apabila terdapat pendapat bahwa antara keduanya

dapat dipisahkan. Saya beranggapan bahwa perencana haruslah orang yang mampu menjebatani

antara teori dan metode yang diketahuinya atau harus diketahuinya untuk memecahkan

persoalan.

Saya cenderung melihat bahwa mereka yang terlibat di dalam praktek perencanaan lupa

untuk meng-update teori yang mereka miliki atau setidaknya merenung tentang apa yang mereka

telah kerjakan. Saya memiliki kesan bahwa dengan memasuki dunia praktek, tidak perlu lagi

berhubungan dengan teori maupun metode. Terdapat penyakit yang menghinggapi para praktisi

Page 15: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

ini, yaitu copy paste dokumen rencana satu ke rencana yang lainnya, padahal terdapat persoalan

yang berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya. Saya menduga hal ini terjadi karena

merasa ranah teori maupun metode bukanlah milik mereka.

Sementara itu, para akademisi perlu berperan dan terlibat dalam tindakan praktis. Mereka

dapat menjadi bagian dari perubahan di dalam masyarakat atau turut melakukan proses

perencanaan dapat menjadi pilihan. Dalam hal ini, perencana yang termasuk ke dalam kelompok

akademisi tidak hanya sekedar berteori melainkan terlibat dalam praktik perencanaan. Dengan

demikian, mereka dapat memiliki kepekaan untuk menentukan mana teori maupun metode yang

tepat, serta berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan mereka pada masa mendatang.

Terdapat jargon bagi sebagian orang, “kota telah berubah”. Dalam benak sebagian besar

orang, kota memiliki dinamika yang cepat. Perubahan komponen-komponennya, baik itu yang

berasal dari lingkungan fisik, ekonomi, maupun budaya, seringkali tidak dapat diprediksikan.

Rencana, kalau pun itu ada, biasanya dituding lebih lambat dibandingkan dengan perubahan

yang tengah berlangsung tersebut.

Pada sisi yang lain, ”kota yang berubah” dipahami dari perubahan paradigma kita

memandang kota sebagai sebuah entitas. Makna yang lainnya dari ”kota telah berubah” adalah

Page 16: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

kota dipandang sebagai lingkungan liar yang tak ramah. Apabila dalam kerangka pandang

modern, kota merupakan sebagai sesuatu yang memiliki keajegan, maka dalam paradigma baru

ini kota identik dengan ”ketidakteraturan”. Dalam kerangka pandang ini pula, sebuah kota

dianggap dapat dikendalikan atau dikontrol sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Hal ini

berbeda dengan kerangka pandang postmodern, yang melihat kota sebagai entitas kota yang

chaotic dan selalu berubah.

Sebuah contoh untuk menggambarkan kondisi kota yang selalu berubah tersebut dapat

dilihat di dalam lansekap kota. Kota senantiasa dicirikan dengan dualisme karakter: wilayah

produktif – berkembang dan terpencil, pejalan kaki – wilayah padat kendaraan yang macet. Kota

senantiasa menampilkan karakternya yang tidak stabil dan tidak ada yang berarti untuk waktu

yang relatif lama. Perubahan pada suatu lokasi akan diikuti oleh perubahan pada titik atau area

lainnya yang menciptakan adanya organisasi mandiri.

Urban chaos

Kota adalah mikrokosmos dan cermin masyarakat, dan budaya dalam skala besar. Jadi

untuk menumbuhkan pemahaman menyeluruh tentang kota, kita harus memikirkan sebanyak

mungkin, bila tidak seluruhnya, keragaman yang melahirkan kota yang kontemporer. Ide-ide

konvensional tentang kota sebagai gambaran besar arsitektur (architecture-writ-large) tidak

dapat dengan mudah dihubungkan dengan teori kota sebagai sistem-sistem sosial, budaya,

ekonomi, dan institusi.

Oleh karena itu, sistem-sistem sosial tidak mudah dikaitkan dengan bentuk ruang.

Pemahaman perencana diliputi oleh kompleksitas dan keragaman. Ada berbagai dimensi sosial

yang harus dipertimbangkan dan memerlukan pendalaman pemahaman. Guna lahan tidak dengan

sendirinya mampu menjelaskan mengenai aliran transportasi, melainkan juga karakteristik

ekonomi suatu lokasi dan budaya ”berkendaraan” penduduk kota tersebut. Disamping itu, kota

senantiasa adalah sebuah sistem terbuka yang menerima aliran energi, orang, dan komoditas dari

sekitarnya, yang berpengaruh pula terhadap terbentuknya suatu pola guna lahan.

Page 17: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Adanya ketidakteraturan pada sebagian besar wilayah kota, maka lansekap kota dilihat dalam

pemahaman geometri fraktal. Pada kenyataannya pula, kota-kota mempunyai struktur-struktur

fraktal yang berbeda dimana fungsi-fungsinya saling menyerupai dirinya sendiri (self similiarity)

dalam banyak keteraturan dan skala. Pemahaman terhadap geomtri fraktal ini sangat penting

untuk mengamati langsekap kota yang beragam dari skala dan ukurannya.

Chaos Planning

Prof. Batty dari Univerity of College London berpendapat bahwa perencanaan selalu

bergantung kepada pembuatan rencana geometris yang ideal yang berakar dari perencanaan kota

yang muncul pada abad ke-19. Pada abad tersebut, kota-kota dilihat sebagai entitas yang tidak

teratur, menyebar ke segala arah, dan kumuh. Rencana-rencana yang dibuat sangat kental dengan

penentuan tatanan yang stabil dan hirakis dalam pengaturan ruang kota. Rencana geometris

seperti ini, seperti yang dibuat oleh Ebernezer Howard dengan Garden City mengajukan sebuah

rencana kota yang ideal dalam ukuran dan struktur, yang menurut Prof. Batty mengabaikan cara

alamiah sebuah kota tumbuh:

”Idealized cities are simply too naive with respect to the workings of the

development process and competition for the use of the space that characterises the

contemporary city and degree of diversity and heterogenity that the most vibrant

cities manifest.”

Tradisi ini masih muncul sampai saat ini, kota ditata untuk menentukan struktur dan pola

ruang yang ideal, yang dirasa menjadi tujuan jangka panjang semua pihak. Apabila pada abad

ke-19, pengaruh perencana kota yang visioner yang menentukan bentuk kota, maka saat ini

penggunaan teknik-teknik yang terstandar dan melalui prosedur ilmiah menentukan tata ruang

kota.

Tata ruang merupakan perwujudan ideal dari teknologi dan ilmu pengetahuan yang

diaplikasikan para perencana. Struktur dibuat dengan ketat dengan memperhatikan kaitan-kaitan

Page 18: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

antar pusat menurut hirarkinya. Terdapat anggapan bahwa kota dapat dikendalikan pada masa

mendatang, sehingga persoalan-persoalan seperti kemacetan akan dapat tertangani.

Pola ruang disusun menurut perencanaan yang deterministik. Kota dibagi habis ke dalam

blok-blok peruntukan yang menentukan lokasi dari kegiatan – kegiatan utama kota. Peluang

perubahan dijaga seminimal mungkin untuk mengarahkan tindakan dan perilaku masyarakat

dalam memanfaatkan ruang kota. Instrumen lain dibutuhkan untuk melakukan pengendalian

seperti melakukan penertiban terhadap ”pemanfataan yang tidak sesuai”.

Kota ideal dalam konteks perencanaan terhadap ketidakterturan (chaos planning)

memberikan karakteristik perencanaan sebagai kegiatan yang otoriter. Perencana merupakan

pihak di belakang rencana yang ideal yang didesakkan ke dalam masyarakat. Di balik itu,

terdapat persoalan menyangkut daya tanggap rencana terhadap penyimpangan-penyimpangan

yang terjadi di dalam ruang kota. Umumnya, rencana kota sangat jarang mampu dengan cepat

menangkap perubahan tersebut, sehingga akumulasi terhadap penyimpangan semakin besar. Kita

dapat melihat suatu kawasan yang dilanggar oleh satu pihak akan diikuti oleh pihak lainnya yang

menginginkan manfaat yang sama dari pemanfaatan ruang. Tidak sadar, rencana yang baru pun

telah menjadi usang.

Planning in Chaos

Menurut Prof. Batty, kota tumbuh secara allometri – tumbuh dalam kecepatan yang

berbeda – yang menghasilkan perubahan terhadap proporsi - dan hal ini merubah keseimbangan

energi yang digunakan untuk melestarikannya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman

mengenai network science yang akan:

“… provides a way of linking size to the network forms that enable cities to function

in different ways. The impacts of climate change, the quest for better performance,

and the seemingly intractable problems of ethnic segregation and deprivation due

to failures in job and housing markets can all be informed by a science that links

size to scale and shape through information and material and social networks that

constitute the essential functioning of cities.”

Page 19: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Dengan menyadari adanya keterbatasan di dalam perencanaan kota yang ideal, dalam

merencanakan ketidakteraturan, maka paradigma mengenai ketidakteraturan kota mengarahkan

kepada keterbatasan dari perencanaan. Dengan memahami persoalan-persoalan secara mendetil

atau fungsi-fungsi dari sistem yang kompleks, kita akan melakukan intervensi lebih sedikit,

tetapi dalam cara-cara yang lebih realitis.

Dengan kata lain: sebagus-bagusnya sebuah rencana, dilihat dari visi masa depan dan

pemanfaatan sumber dayanya, masih lebih baik tidak ada rencana sama sekali. Disini, perencana

perlu memikirkan lagi proses perencanaan kita yang selama ini yang lebih condong kepada:

”penentuan struktur dan pola ruang kota apa yang akan terbentu pada masa mendatang”, menjadi

kepada: ”bagaimana rencana itu akan dipahami dan dilakukan”. Mau tidak mau, perencanaan

dalam konteks paradigma chaos ini adalah model partisipatif yang luas.

Persoalan-persoalan yang Melingkupi Peraturan Zonasi

Saat ini, seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai peraturan zonasi dengan rencana tata

ruang. Banyak orang menganggap, terutama para profesional, bahwa pengerjaan rencana tata

ruang dan peraturan zonasi adalah sama. Oleh karenanya, pengerjaan keduanya disatukan.

Padahal, jelas disebutkan bahwa antara keduanya berbeda. Peraturan zonasi (zoning regulation)

ditujukan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, sementara itu, rencana tata ruang

masuk ke dalam lingkup perencanaan yang merupakan proses untuk menentukan struktur dan

pola ruang. Dalam Ketentuan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

pengertian peraturan zonasi sama sekali tidak disebutkan. Hal ini sama sekali tidak

mengherankan karena instrumen-instrumen lainnya dalam konteks pengendalian pun tidak

diuraikan lebih lanjut. Namun, dalam penjelasan umum angka 6, peraturan zonasi dijelaskan

sebagai:

“Ketentuan yang mengatur tentang tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan

ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang

penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.”

Pada penjelasan pasal 36 ayat 1 disebutkan:

Page 20: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

“Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan

unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan

rencana rinci ruang.”

Dalam pengertian ini, peraturan zonasi dibuat sebagai penjabaran dari zona peruntukan yang

termuat di dalam rencana rinci, yang merupakan pengaturan terhadap pemanfaatan ruang dan

pengendaliannya. Apa yang disebut sebagai rencana rinci? Rencana rinci tediri atas:

a. Rencana tata ruang pulau/kepulauan, dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional;

b. Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan

c. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota, dan rencana tata ruang kawasan strategisnya.

Hanya saja, terdapat ketentuan yang menyatakan rencana detail tata ruang didasarkan dasar

bagi penyusunan peraturan zonasi. Hal ini didasarkan atas interpretasi terhadap Pasal 14 ayat (6)

UU No. 26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa:

“Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan

dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.”

Dengan demikian, terdapat kesulitan untuk menerjemahkan dalam lingkup mana sebaiknya

peraturan zonasi diterapkan. Pasal 14 (6) ini memberikan arahan bahwa peraturan zonasi hanya

meliput kepada tata ruang kabupaten/kota. Sementara itu, pada Pasal 36 ayat (2) disebutkan

peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan

ruang. Kebingungan mulai muncul dari ayat selanjutnya (Pasal 36 ayat 3) yang menyebutkan

bahwa peraturan zonasi ditetapkan peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem

nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi, dan peraturan

daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi. Apakah ini berarti bahwa nasional dan propinsi

juga memiliki peraturan zonasi? Apakah muatan peraturan zonasi yang terdapat dalam RTRWN,

RTRWP, RTRWKabupaten/Kota, dan rencana rinci dapat dibedakan? Apabila benar ada

demikian, apa saja muatan dari peraturan zonasi yang disusun oleh nasional dan propinsi? Belum

lagi pertanyaan-pertanyaan teknis seperti: bagaimana menyusun amplop ruang pada kedalaman

sistem nasional dan propinsi?

Page 21: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membingungkan bagi mereka yang akan

menyusun peraturan zonasi. UU Penataan Ruang menetapkan adanya istilah “indikasi arahan

peraturan zonasi untuk sistem nasional” untuk arahan pengendalian pemanfaatan ruang pada

tingkatan RTRWN dan RTRWP, “ketentuan umum peraturan zonasi” untuk

RTRWKabupaten/Kota dan arahan peraturan zonasi untuk RTR Kaw.

Metropolitan/Megapolitan, dan Agropolitan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengani: apa

perbedaan peraturan zonasi tersebut dengan yang disusun dari rencana rinci tata ruang?

Persoalan lainnya adalah: siapa yang menetapkan peraturan zonasi untuk RTR Kaw.

Metropolitan/Megapolitan/Agropolitan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan ketetapan yang mengatur pelaksanaannya

secara lebih operasional. Saat ini saja, sudah terdapat “suara-suara” untuk melakukan revisi

terhadap UU Penataan Ruang, sehingga pemahaman yang “membingungkan” di atas dapat

diperjelas.

“Kebiasaan-Kebiasaan” dalam Menyusun Peraturan Zonasi

Saya sebutkan dengan “kebiasaan-kebiasaan” disini adalah praktik yang umum

diterapkan dalam menyusun peraturan zonasi, terlebih yang diinterpretasikan di kalangan

akademisi di PWK – ITB.

Dalam kaitannya dengan pengendalian pemanfaatan ruang, Denny Zulkaidi, salah satu

anggota Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota Institut Teknologi Bandung

(KK PPK – ITB), menempatkan peraturan zonasi sebagai perangkat utama dalam pengendalian

pemanfaatan ruang. Di bawahnya terdapat perangkat insentif dan disinsentif, perizinan, dan

sanksi. Dalam pernyataan UU Penataan Ruang, keempat instrumen tersebut (termasuk peraturan

zonasi dibuat sejajar), namun pertimbangan praktis bahwa ketiga perangkat yang disebut

belakangan didasarkan atas peraturan zonasi. Hal inilah yang menyebabkan peraturan zonasi

berkesan dominan dan perlu mendapat perhatian lebih dalam melaksanakan pengendalian

pemanfaatan ruang. Hal tersebut memang tidak salah, namun dalam hemat sama, perizinan pun

dapat dilakukan tanpa menunggu disusunnya peraturan zonasi, melainkan mengacu kepada

Page 22: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

rencana. Namun, apabila peraturan zonasi telah ada, maka keterkaitannya dengan perizinan

menjadi tidak terhindarkan lagi.

Lebih mudah memahami penyusunan peraturan zonasi dalam kaitannya dengan

penyusunan rencana rinci (atau RDTR Kawasan Perkotaan). Dalam praktiknya, keduanya

(rencana dan peraturan zonasi) dapat dilaksanakan bersamaan dalam penyusunannya. Hal ini

dapat menghemat biaya penyusunan RDTRK dan peraturan zonasi, karena ada bagian-bagian

yang overlap. Peraturan zonasi berisi: guna lahan, intensitas bangunan dan tata massa, dan aturan

pemanfaatan ruang. Dua hal pertama yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian yang harus

ada di dalam RDTRK. Dalam konteks selanjutnya, antara rencana rinci kota dan peraturan zona

dapat menjadi pedoman dalam penyusunan RDTRK dan rencana yang lebih teknis (RTRK /

RTBL). Pelaksanaan survei lapangan akan lebih menghemat waktu dan biaya apabila

dilaksanakan secara berbarengan, namun tetap keduanya adalah entitas yang berbeda.

Di berbagai negara, peraturan zoning terdiri dari dua unsur, yaitu zoning text/zoning

statement dan zoning map. Zoning map berisi aturan-aturan (atau menjadi sisi dari regulasinya),

yang menjelaskan mengenai tata guna lahan dan kawasan, pemanfaatan yang diizinkan dan

diizinkan dengan syarat, standar pengembangan, minumum lot requirement, dll.. Sementara itu,

zoning map berisi pembagian blok peruntukan dengan ketentuan aturan untuk tiap blok

peruntukan. Selain itu, zoning map menggambarkan mengenai tata guna lahan dan lokasi tiap

fungsi lahan dan kawasan. Dalam praktiknya peta zonasi dibuat dalam kode zonasi yang

digambarkan dalam bentuk huruf dan angka. Kuncinya adalah membuat sistem pengkodean yang

konsisten yang dapat dengan mudah diingat dan dibaca.

Dilihat dari rincian materi yang diatur, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kegiatan yang diperbolehkan

2. Kegiatan yang dilarang

3. Aturan khusus untuk kegiatan

4. Kegiatan tambahan dan aturannya

5. Kegiatan bersyarat dan aturannya

6. Pengecualian khusus

Page 23: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

7. Ketentuan luas persil

8. Ketentuan luas pekarangan (sempadan depan, samping, belakang)

9. KDB maksimum

10. Luas minimum/maksimum lantai bangungan

11. Batas tinggi bangunan

12. Variansi

Page 24: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Bab III Studi Kasus

1. Studi Kasus Penerapan Unsur Pedestrian di San Jose, California,

Amerika Serikat

Gambar Pusat Kota San Jose

San José (baca: San Hosé) merupakan nama kota di Amerika Serikat. Letaknya di bagian

barat. Tepatnya di negara bagian California, Amerika Serikat. Wilayah metropolitan San Jose

adalah kota San Jose, Santa Clara, Sunnyvale, serta daerah disekitarnya.

Pada tahun 2006, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 953.679 jiwa dan

memiliki luas wilayah 461,5 km². Dengan kepadatan penduduk 1.976,1 km².

Page 25: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

San Jose adalah kota ketiga terbesar di California, kesepuluh terbesar di AS, dan

kabupaten kursi Santa Clara County yang terletak di ujung selatan San Francisco Bay. San Jose

adalah kota terbesar di Lembah Silicon, yang merupakan komponen utama dari area San

Francisco Bay besar, sebuah wilayah yang terdiri dari 7,6 juta orang dan daerah metropolitan

terbesar keenam (CSA) di Amerika Serikat. Kota ini juga merupakan kota terpadat di California.

Page 26: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

San José terkenal tidak memiliki tempat penyebrangan untuk pejalan kaki

Ini adalah sangat umum di sisi kiri persimpangan "T", seperti yang terlihat dalam foto

yang diambil di sudut The Alameda dan Lenzen. Dalam contoh yang khas, tempat

penyeberangan pejalan kaki yang tepat dibuat hanya tersedia di sisi kanan dari "T." Dengan

demikian, tidak ada yang bisa menuduh kendaraan apabila terjadi kecelakaan. Kota ini tidak

nyaman bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan.

Tanda penyeberangan jalan kadang-kadang hilang dibenarkan oleh para insinyur lalu

lintas di nama "melindungi" pejalan kaki untuk mempercepat lalu lintas.

Namun, mungkin untuk merancang sebuah persimpangan sedemikian rupa sehingga

memaksa pejalan kaki 'right-of-way, Jika desain persimpangan ini adalah tidak ramah bagi

pejalan kaki, itu jelas bahwa prioritas adalah mobil, bukan orang. Keputusan desain yang tidak

baik.

Page 27: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Anti-pejalan kaki di persimpangan juga dapat dibenarkan dengan menyatakan bahwa apa

yang disebut tingkat-of-service pedoman itu harus dipertahankan. Tentu saja, pedoman ini hanya

berlaku untuk mobil, jadi mereka mustahil untuk bersengketa dengan pejalan kaki itu karena sia-

sia, mencoba untuk berdebat dengan seseorang.

Page 28: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

SATU CORNER: besar, bulat anti-sudut pejalan kaki di mana-mana

Suatu hari, saat melintasi jalan di sudut San Jose yang familiar, Anda bertanya-tanya

mengapa persimpangan terasa lebih besar dari biasanya. Apakah Anda hanya membayangkan

itu? Mungkin tidak, jika ada pekerjaan jalan yang baru-baru selesai. Ketika persimpangan yang

dibangun kembali di San José, persimpangan ini sering dibangun kembali dengan lebih luas,

menggunakan sudut bulat sehingga mobil dapat berkendara lebih nyaman dan cepat.

Ini hanya salah satu dari banyak cara untuk mengingatkan Anda bahwa mobil yang lebih

penting daripada orang-orang di San José. Jika Anda berjalan, hati-hati! Misalnya, sudut ini di

San Fernando dan baru-baru ini dibulatkan sehingga pengemudi bergegas tidak harus sangat

berhati-hati sambil berpaling lagi. San Jose adalah kota yang sangat buruk bagi pejalan kaki.

Page 29: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Tully Road: kebijakan desain yang disempurnakan di San José yang anti-pedestrian

Sudut-sudut jalan yang paling di San José Tully Jalan telah dirancang dengan besar, jari-

jari sudut lebar, sehingga lalu lintas tidak harus memperlambat terlalu banyak saat berputar.

Tidak kebetulan, beberapa persimpangan di sepanjang Jalan Tully yang terdaftar di antara yang

paling berbahaya di kota itu untuk pejalan kaki tertabrak. Hal ini telah diketahui selama

bertahun-tahun, tapi tidak ada substansi yang telah dilakukan tentang hal itu. Satu pengecualian

langka adalah persimpangan Tully dan Kenoga, di mana sudut adalah cukup ketat bahwa lalu

lintas sebenarnya tidak harus memperlambat sebelum berbalik.

Tully Jalan pelebaran.Namun, Tully Jalan sedang melebar, dan ini sudut ketat akan

dibangun kembali segera. Ketika jalanan sudut yang dibangun kembali di San José, mereka

sering melebar menjadi bulat dan lebih ramah untuk speeders. Warga Kenoga kemungkinan akan

melihat lebih ngebut di jalan mereka setelah pembangunan kembali sudut.

Page 30: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Selain itu, pejalan kaki menyeberang di sini untuk mendapatkan ke perpustakaan baru

perlu lebih berhati-hati di persimpangan ini daripada yang mereka lakukan sekarang. Karena

mobil datang pertama di San José. Ini kebijakan.

Tidak ada pejalan kaki silahkan selama konstruksi kota (lalu lintas mobil adalah OK)

Ini adalah fakta kehidupan bahwa situs konstruksi akan mengganggu lalu lintas yang

lewat dan pejalan kaki. Namun, di kota pejalan kaki-bermusuhan seperti San José, salah satu

biasanya menemukan trotoar berdekatan dengan pembangunan yang akan ditutup.

Page 31: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Tentu saja, City bisa memberikan trotoar sementara di luar bidang konstruksi, namun

hasil ini sering dalam penghapusan jalur lalu lintas. Tujuan San José, tentu saja, adalah untuk

menjaga lalu lintas yang lewat mobil sebagai terpengaruh mungkin, meskipun ada jalan memutar

nyaman yang mungkin diperlukan pejalan kaki. Perhatikan tidak adanya trotoar di boulevard

kelapa-pohon di seberang trotoar tertutup dalam foto di Almaden Boulevard, pusat kota San

José, Juli, 2002.

Branham LANE TIMUR MEMENUHI TRAIL CREEK COYOTE

(baik, ia mencoba untuk)

Perpanjangan baru-baru Branham Lane East off Hellyer Avenue di selatan-timur San

José mati-berakhir di Trail Coyote Creek, sebuah utara-selatan utama pejalan kaki-sepeda trail.

Alih-alih menghubungkan trotoar Branham Lane terhadap Trail Coyote Creek, sekitar 75 meter

jauhnya, San José diblokir akhir trotoar dengan pagar bercat putih. Dengan tidak adanya trotoar

yang tepat, pengguna jalan hanya membuat jalan mereka sendiri melalui rumput. Gerakan kecil

seperti ini cukup jelas menunjukkan kurangnya San José tentang bunga dalam hal pejalan kaki.

Page 32: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

BLOSSOM HILL JALAN-kesaksian besar untuk anti-pejalan kaki Misi San José ini.

Blossom Hill Road adalah jalan satu-satunya yang melintasi Hwy 101 di bagian kota.

Dalam perjalanan, ia menyatu dengan ngebut beberapa on-landai dan off-landai, dan membuat

untuk pengalaman rambut penggalangan bagi mereka yang bekerja di kawasan industri di sisi

lain dan berani menentang budaya mobil San José dengan memilih untuk berjalan atau sepeda.

Tentu, pejalan kaki secara teoritis diperbolehkan di sini, dan bahkan ada trotoar parsial di

sisi lain dari jalan untuk mereka, suatu tempat-jika Anda dapat mengetahui bagaimana untuk

mendapatkan di sana.

Page 33: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Bersepeda dan program pedestrian

Iklim ringan San José dan daerah datar menyediakan lingkungan yang ideal untuk sepeda

dan pejalan kaki. The City of San José sepeda & Program Pedestrian membangun

fasilitas dan mengoperasikan program untuk mendukung bersepeda dan berjalan.

Saat ini, fasilitas mencakup lebih dari 1.000 mil dari trotoar, 16.000 landai pinggir jalan,

200 mil dari Lanes Bike, 50 mil dari multi guna jalan, dan sembilan pejalan kaki-sepeda

overcrossings jalan bebas hambatan.

Program meliputi Sepeda / Analisis Tabrakan Ped, Bicycling Keterampilan bebas Kelas,

dan sepeda Pedestrian bulanan Komite Penasehat (BPAC) pertemuan.

Program sepeda & Pedestrian juga berkoordinasi dengan program Kota lainnya,

seperti Program Keamanan Sekolah dan Program Trails, untuk meningkatkan sepeda

dan pejalan kaki keamanan di sekitar sekolah dan di lingkungan.

Page 34: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

San José Crosswalk sedikit lebih lama

Penyeberangan pusat kota San José di San Fernando di Almaden Blvd cepat dan sibuk.

menjadi beberapa meter lagi dan sedikit kurang nyaman untuk pejalan kaki beberapa tahun yang

lalu ketika sudut tenggara dari San Fernando dan Almaden dibulatkan sehingga lalu lintas benar-

balik tidak akan memperlambat sebanyak seperti sebelumnya. Hal semacam ini adalah bisnis

rutin di San José dan tidak benar-benar penting.

Atas: garis putih menunjukkan perkiraan lokasi trotoar tenggara mantan Almaden Blvd / San

Fernando sebelum dibulatkan untuk mempercepat kanan balik mobil.. Mulai sekarang, Anda

sekarang akan menjadi sedikit lebih hati-hati ketika menyeberang di penyeberangan ini dan

berjalan di depan salah satu yang benar-balik mobil.

Tiga lainnya dari sudut persimpangan Fernando-Almaden San sudah dibulatkan tahun

lalu untuk lebih mengakomodasi cepat-balik pengendara. Ingat, jika Anda belum pernah

mendengar hal itu sudah dari seorang insinyur lalu lintas José San: lalu lintas lebih lambat di

lingkungan Anda menciptakan lebih banyak polusi. Di San José, bergerak cepat lalu lintas yang

baik dan bersih, polusi buruk.

San José sekarang menyatakan dirinya sebagai "kota hijau" (siapa yang tidak?), Sehingga

keuntungan dari mobil menjaga bergerak secepat mungkin yang ditafsirkan sebagai "hijau,"

terlepas dari efek buruk tentang wisata pejalan kaki. Tentu, pejalan kaki adalah hijau dari semua

pengguna jalan, tapi itu bukan jenis lalu lintas hijau yang San José adalah tentang.

Page 35: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Meskipun semua bla bla tentang-pusat kota San José menjadi lebih baik untuk pejalan

kaki (yang sebenarnya terjadi di daerah-daerah tertentu demonstrasi di pusat kota, khususnya di

sekitar balai kota), San José menghabiskan ribuan dolar dari pembulatan sudut persimpangan

pusat kota ini. Pembulatan sudut dengan cara ini umum di San José selama proyek rekonstruksi,

selalu ada tampaknya cukup uang untuk menambahkan item ini untuk anggaran proyek.

Paradoksnya, San José sering memiliki "tidak punya uang" menabung untuk proyek jalan

lingkungan yang tidak menguntungkan pengendara, seperti Rencana kuplet José San Konversi

diamanatkan oleh San José Dewan Kota pada tahun 2002.

Atas: garis putih menunjukkan perkiraan lokasi sudut trotoar mantan, dan garis putus-putus baru pada

garis trotoar penyeberangan baru yang akan bergaris.

Page 36: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Atas: garis putus-putus baru di trotoar garis penyeberangan baru yang akan bergaris.

Sepertinya itu bagian dari San Fernando St sepeda jalur hanya tersisa dari sudut mungkin

di jalan, bukan? Nah, itu, dan itu dicukur kembali oleh sepuluh meter atau lebih setelah foto ini

diambil agar tidak menjadi halangan ke kanan-balik lalu lintas.

San José Walkable City?

Itu aneh untuk tersandung pada sebuah artikel penamaan San José, California sebagai

salah satu dari 10 pada tahun 2007 sebagian besar kota walkable di Amerika Serikat (# 8

tepatnya).

Sulit untuk membayangkan bahwa ada banyak orang di luar sana yang merasa bahwa San

José secara keseluruhan adalah tempat yang baik untuk pejalan kaki, kecuali mungkin bagi

orang-orang yang terhubung ke organisasi membagikan penghargaan.

Downtown San José memang daerah berjalan yang besar, tetapi hanya terdiri dari

sebagian kecil dari kota dan tidak mencerminkan kota secara keseluruhan. Tidak seperti

kebanyakan San José, Downtown dibangun lama lalu ketika pejalan kaki berorientasi standar

adalah norma. Berjalan di San José di luar pusat kota dapat meminta keberanian. Banyak warga

lebih suka melewati lingkungan mereka daripada berjalan, bahkan untuk jarak pendek, karena

mereka merasa lebih terlindungi dari lalu lintas ketika di dalam mobil mereka.

Page 37: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Satu komentar mendengar di restoran yang cukup banyak meringkas itu: "Ini begitu dekat

sehingga aku bahkan bisa berjalan di sana dari rumah saya, bukan berarti saya akan

melakukannya.”

Setelah keluar dari pusat kota, San José pejalan kaki sering menghadapi desain jalan yang

membuat sebagian besar dari San José tempat yang bagus untuk mobil, tapi mengerikan untuk

pejalan kaki:

1. lebar, multi-jalur, bergerak cepat jalan yang hampir tidak pernah memiliki perlindungan

pejalan kaki di tengah jalan untuk pejalan kaki menyeberang di persimpangan.

2. sudut-sudut jalan sehingga dibulatkan-off bahwa mobil tidak perlu berhenti, dan sering

tidak, sebelum berbelok ke kanan di lampu merah atau tanda berhenti.

3. terkendali freeway on-dan off-landai.

4. persimpangan di mana pejalan kaki tidak diperbolehkan menyeberang di semua sisi,

untuk meminimalkan ketidaknyamanan pengendara

Tentu, ada yang disebut beberapa "lalu lintas menenangkan" proyek yang terjadi di sana-

sini, tetapi ini biasanya dalam menanggapi kematian pejalan kaki atau keluhan oleh asosiasi

lingkungan. Seperti San José asosiasi lingkungan telah belajar, dapat mengambil banyak

berjuang untuk mendapatkan bahkan satu peningkatan signifikan pejalan kaki dilaksanakan.

San José belum mengadopsi jalan-desain standar yang memaksimalkan kenyamanan

pejalan kaki sebagai bagian dari proyek rutin sehari-hari.

Meskipun demikian, itu mendorong untuk melihat upaya perencanaan hari ini yang

bertujuan untuk meningkatkan densitas dan kota-seperti sifat inti pusat kota San José, sementara

mempertahankan karakter walkable. Bahkan jika mobil-berorientasi suburbia sedang dibangun

dan dipelihara di tempat lain di San José.

Page 38: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Jalur Sepeda

Satu hal yang kita perhatikan adalah bahwa penyeberangan dan sepeda-jalur tanda

mendapatkan segar lebih jarang di San José dibandingkan mobil-jalur tanda yang berdekatan.

Setelah beberapa tahun ini, penyeberangan garis-garis dan tanda-tanda jalur sepeda menjadi agak

tak terlihat dan kadang-kadang hilang sepenuhnya.

Praktek ini tidak bisa menjadi hasil dari keyakinan bahwa lalu lintas kendaraan bermotor

di jalan-jalan San José lebih penting daripada pejalan kaki dan sepeda, bisa itu? Apapun alasan

untuk ini, itu bukan kecelakaan anonim, melainkan sebuah praktik yang tampaknya telah

diadopsi oleh San José dan diputus oleh karyawan San José.

Kota kekurangan uang dari San José di miskin Silicon Valley mungkin telah

menyelamatkan ribuan dolar dengan penyeberangan menyegarkan dan sepeda-jalur tanda lebih

jarang daripada jalur lalu lintas bermotor. Dan itu mungkin telah menyelamatkan lingkungan kita

juga dan menjadi "kota hijau" dengan menggunakan cat jalan sehingga jauh lebih sedikit.

Sebuah survei beberapa tahun lalu mencatat bahwa lebih dari setengah dari sepeda-jalur

San José ini tanda-tanda yang hilang atau memudar secara signifikan. Tapi tidak ada yang telah

dilakukan untuk mengubah kebijakan yang telah menulis banyak dari ini.

Page 39: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Atas: marka jalan Faded sepeda di Snell Avenue, San José, California

Atas: penyeberangan Faded di San Carlos Street dan Race Street, San José, California

Atas: penyeberangan Faded di Monterey Road dan Cottage Grove Avenue, San José, California

Page 40: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf
Page 41: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf
Page 42: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

2. Studi Kasus Penerapan Unsur Pedestrian di Sydney, Australia

Kebanyakan penduduk Sydney bepergian dengan mobil melalui sistem jalan dan

motorway. Rute utama paling penting di wilayah urban adalah sembilan Metroad, yang

mencakup 110 km (68 mil) Sydney Orbital Network. Sydney juga dilayani oleh jaringan luas

kereta api, taksi, bus dan feri.

Jalur kereta api di Sydney dioperasikan oleh CityRail, sebuah perusahaan milik

pemerintah. Kereta beroperasi sebagai layanan kereta komuter pinggiran kota di pinggiran

terluar, kemudian beroperasi sebagai layanan kereta bawah tanah mengitari kota di distrik bisnis

sentral. Pada tahun-tahun setelah Olimpiade 2000, operasi CityRail menurun secara signifikan.

Tahun 2005, CityRail memperkenalkan jadwal terbaru dan mempekerjakan lebih banyak

masinis.Sebuah proyek infrastruktur besar, proyek Clearways, dijadwalkan selesai tahun 2010.

Tahun 2007, sebuah laporan mengatakan bahwa CityRail beroperasi lebih buruk bila

dibandingkan dengan banyak layanan kereta bawah tanah di kota-kota di seluruh dunia.

Sydney memiliki satu jalur kereta api ringan, Metro Light Rail, membentang dari Central

Station ke Lilyfield di sepanjang bekas jalur kereta barang. Juga ada Metro Monorail, yang

Page 43: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

membentuk jalur melingkar di sekitar distrik perbelanjaan utama dan Darling Harbour. Sydney

pernah dilayani oleh jaringan trem yang luas, yang ditutup pada 1950-an dan 1960-an.

Sebagian besar wilayah metropolitan dilayani oleh bus, kebanyakan mengikuti rute trem

pra-1961. Di kota dan pinggiran terdalam, Sydney Buses milik negara bagian menjalankan

monopoli. Di pinggiran terluar, layanan dikontrak kepada banyak perusahaan bus pribadi.

Pembangunan jaringan angkutan cepat bus di wilayah yang belum dilayani oleh angkutan umum

dimulai tahun 1999, dan yang pertama, Liverpool-Parramatta Rapid Bus Transitway, dibuka

Februari 2003. Sydney Ferries milik pemerintah negara bagian menjalankan berbagai jasa feri

komuter dan turis ke Sydney Harbour dan Sungai Parramatta.

Gambar tahun 1900-an di Sydney

Bandar Udara Sydney, di pinggiran Mascot, adalah bandar udara utama Sydney, dan

salah satu bandara tertua yang masih beroperasi di dunia. Bandar Udara Bankstown melayani

penerbangan umum dan pribadi. Terdapat sebuah lapangan udara penerbangan ringan di

Camden. RAAF Base Richmond terletak di baratlaut kota.

Page 44: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Pertanyaan mengenai rencana Bandar Udara Sydney Kedua telah memunculkan

kontroversi. Sebuah survei 2003 menemukan bahwa Bandar Udara Sydney dapat berperan

sebagai satu-satunya bandar udara internasional di Sydney selama 20 tahun, dengan peningkatan

signifikan lalu lintas bandara. Perluasan bandara akan mendatangkan dampak terhadap

masyarakat, termasuk bising pesawat tambahan yang mengganggu penduduk. Tanah telah dibeli

di Badgerys Creek untuk bandara kedua, tanah ini berperan sebagai titik fokus untuk argumen

politik.

Lalu lintas di pusat kota Sydney akan melambat menjadi 40 km / jam dan Kota Sydney

dewan akan memperkenalkan jalan-jalan bersama dengan kecepatan tertinggi 10 km / jam, di

bawah perjanjian antara walikota tuan, Clover Moore, dan pemerintah NSW.

Anggota Dewan Moore dan Premier, Kristina Keneally, akan merilis nota kesepahaman

hari ini yang juga akan mengunci rencana untuk mengembalikan kereta ringan ke kota dan

overhaul jalur bus dan clearways dalam upaya untuk mempercepat waktu perjalanan bagi

penglaju.

Pemerintah juga telah sepakat untuk timer hitung mundur pada lampu lalu lintas sidang -

umum di kota-kota dari Bangkok ke London dan, terakhir, New York - setelah bertahun-tahun

oposisi oleh Roads and Traffic Authority, yang telah enggan untuk memungkinkan pejalan kaki

untuk memantau berapa lama mereka menunggu untuk lalu lintas.

Page 45: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Rencana tersebut juga berjanji untuk'' meningkatkan prioritas pejalan kaki di

persimpangan pejalan kaki utama dan mengurangi waktu tunggu untuk pejalan kaki dalam

periode puncak''.

Hal ini juga melibatkan tindakan keras terhadap pengendara di persimpangan 21 di kota -

termasuk Pasar dan George jalanan, Macquarie dan Jembatan jalan, Elizabeth dan Park jalan-

jalan dan jalan-jalan Raja dan Clarence - untuk mencegah antrian di jalan-jalan utama.

The 40 baru km / h batas kecepatan kemungkinan untuk diterapkan ke daerah yang

dibatasi oleh Circular Quay dan Central Station di utara dan selatan, dan College Street dan

Sussex Street, di sebelah timur dan barat.

The Herald memahami Ms Keneally membuat perombakan daerah pusat bus di Wynyard

syarat utama memorandum tersebut dan mengancam untuk tidak menandatangani kecuali itu

termasuk dalam keseluruhan merubah kota.

Ini mencakup clearways baru di pagi hari dan jam sibuk sore di York, Jembatan dan

jalan-jalan Pasar dan perluasan kali jalur bus di Clarence Street sampai 9.

Page 46: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Setidaknya tujuh jalan raya akan menjadi daerah sekitar 10km / h dan lalu lintas yang

akan dilarang di York Street selama periode puncak pagi.

Wilmot, Tengah, Cunningham, Hay Little Valentine dan jalan-jalan Pabrik, bersama

dengan Kimber Lane, akan remodelled menyerupai Barrack Street di kota. Dengan gerobak bata

paving, tempat duduk dan makanan, jalan singkat antara George dan jalan-jalan York dirancang

untuk memungkinkan pejalan kaki dan lambat bergerak mobil untuk berbagi streetscape.

Memorandum menegaskan bahwa light rail akan kembali ke jantung kota Sydney,

dengan rincian yang harus diselesaikan awal tahun depan dan mendorong dengan'' persetujuan

perencanaan yang cepat''. '' Memorandum itu akan membimbing meningkatkan pilihan

transportasi umum dan aktif, serta arus lalu lintas untuk seluruh pusat kota,'' kata Cr Moore

Herald dalam email.

'' Ia mengakui bahwa memperluas light rail adalah inisiatif kunci yang fundamental dapat

mengubah pusat kota dengan meningkatkan arus lalu lintas dan mengurangi kemacetan.''

Sebuah negara-kota bersama gugus tugas akan mulai bekerja segera pada penentuan rute

rel ringan, meskipun Herald memahami RTA telah mengajukan keberatan ke trem di Sussex

Street, mengklaim itu terlalu sempit.

Salah satu pilihan adalah untuk meletakkan rel ringan di sepanjang George Street,

perulangan sekitar Point Dawes ke Walsh Bay dan Barangaroo direncanakan kantor polisi.

Page 47: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Bab IV Kesimpulan

Pedestrian adalah trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki untuk menikmati nuansa

bangunan perkotaan dan taman-taman Kota / Kabupaten. Pedestrian menjadi indikator pokok

bagi kemajuan peradaban dan pembangunan kota masa depan. Faktanya banyak pedestrian

menjadi lahan parkir mobil atau sepeda motor, menjadi lahan pedagang kaki lima berjualan

dagangannya. Hal ini menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki maupun wisatawan

yang ingin berjalan-jalan menikmati kawasan perkotaan dan pedesaan. Pedestrian yang salah

peruntukan dan fungsinya akan mempersempit lebar jalan dan akhirnya menambah kemacetan

jalan raya.

Fasilitas pejalan kaki (pedestrian) atau trotoar dibuat untuk keamanan dan kenyaman

pejalan kaki dari benturan dari kendaraan di jalan. Tentu desain tempat pejalan kaki didasarkan

kepadatan lalu lintas pejalan kaki, seperti lebar, batas tinggi yang aman. Fungsi fasilitas

pedestrian adalah memisakan antara pejalan kaki dan kendaraan di jalan, sehingga pejalan kaki

terlindungi dari benturan kendaraan di jalan. Masalahnya pada daerah-daerah yang padat dalam

kota, banyak trotoar beralif fungsi yaitu dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti pedagang

kaki lima, tempat parkir sepeda motor dan mobil, atau kegiatan lain yang bisa mengganggu

keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Akibatnya pejalan kaki berjalan di jalan raya, yang

sewaktu-waktu bisa terancam keselamtannya.

Berdasarkan jejak pendapat dilakukan terhadap 418 responden di Jakarta, Bogor,

Tangerang, Bekasi dan Depok bahwa 70,3 persen “tidak aman”, 27,3 persen” aman” dan 2,4 %

“tidak tahu/tidak jawab”. Ini menunjukkan pejalan kaki di kota-kota besar belum terlindungi

karena banyak jalan-jalan kota besar sudah banyak beralih fungsi. Kondisi ini terlihat di jalan

Agus Salim Jakarta Pusat, area pedestrian digunakan untuk lahan parkir seperti sepeda motor dan

mobil. Di pusat niaga Jakarta Barat, pejalan kaki juga tersingkir dari trotoar, seperti telihat di di

jalan KH Moh.Mansyur dari arah Roxy menuju Kota dan sebaliknya. Disepanjang jalan berdiiri

toko, kantor,bengkel dan tempat usaha lain. Karena tidak ada lahan parkir di depan toko atau

kantor, trotoarpun dijadikan area parkir sepeda motor dan mobil. Penjual makanan, minuman,

buah, bunga, rokok, sayuran dan pulsa telepon berderet di sepanjang trotoar. Hampir setiap 5

Page 48: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

meter, pejalan kaki harus turun ke badan jalan karena trotoar tidak bisa dilewati. Padaha trotoar

sudah ditinggikan hingga 50 centimeter. Jika tidak ingin turun naik dari trotoar, pejalan kaki

terpaksa harus berjalan di badan jalan.

Seperti contoh tersebut, tersingkirnya pejalan kaki dari trotoar, jelas keselamatannya

terancam apabila berjalan di diatas badan jalan. Yang berjalan di atas trotoar bisa celaka seperti

kasus Apriyani menabrak 14 pejalan kaki, apalagi pejalan kaki berjalan di badan jalan, bisa

mudah sekali tertabrak mobil atau sepeda motor. Trotoar tersebut apakah masih layak bagi

pejalan kaki? kemudian trotoar tersebut telah beralih fungsi apakah dibiarkan terus, sampai

mununggu pejalan kaki tertabrak? Kewajiban pemerintah harus menertibkan pedangang-pedang

dan kendaraan bermotor yang menggunakan area pedestrian. Kemudian cari solusi yang terbaik

seperti relokalisasi pedang dan mengatur parkir kembali kendaraan bermotor di tepi jalan pada

jam-jam tertentu atau ada kajian rekayasa lalu lintas memberikan solisi terbaik dan bisa diterima

semua pihak. Yang penting ada kemauan pemerintah daerah melakukan penertiban secara rutin

dan dikoordinasikan dengan instansi terkait memfungsikan kembali area pedestrian. Upaya

pernertiban bisa juga dilakukan dengan penegakatan hukum dan pendekatan sosial agar dapat

diminimalisir kejolak sosial.

Page 49: 100406009 - DWI OCTAVIANTY TANJUNG (UTS).pdf

Daftar Pustaka

http://gedebudi.wordpress.com/category/perencanaan-kota/

http://en.wikipedia.org/wiki/San_Jose,_California

http://sanjosehatespedestrians.priss.org/no-ped-xing01.php

http://www.sanjoseca.gov/transportation/bikeped/bikeped_program.asp

http://www.san-jose-pedestrians.com/?p=23

http://www.smh.com.au/nsw/another-sydney-pedestrian-run-over-

20120709-21q3i.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Sydney