10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

52
25 0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap BAB IV PEMBAHASAN Kekayaan laut Indonesia memang tidak ada duanya. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah perairan yang memiliki keragaman hayati berupa terumbu karang dan biodiversity tertinggi di dunia. Tidak hanya itu, tercatat bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki kepulauan terbanyak di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 dan garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 95.181 km setelah Kanada. Megapotensi ini secara alami sudah siap untuk menyejahterakan penduduk Indonesia. Jika tidak dikelola secara baik justru akan menimbulkan kerusakan dan tidak memiliki nilai guna bagi masyarakat. Gambar 4.1. Produksi Perikanan Menurut Subsektor (Ribu Ton) 2003-2013 Sumber: KKP, 2015 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* Perikanan Tangkap 4.691.796 4.651.121 4.705.869 4.806.112 5.044.737 5.003.115 5.107.971 5.384.418 5.714.271 5.829.194 5.863.170 Perikanan Budidaya 1.224.192 1.468.610 2.163.678 2.682.597 3.193.566 3.855.206 4.708.564 6.277.925 7.928.961 9.675.554 13.703.360

Transcript of 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

Page 1: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

25

0

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Perikanan

Budidaya

Perikanan

Tangkap

BAB IV

PEMBAHASAN

Kekayaan laut Indonesia memang tidak ada duanya. Seperti yang telah kita

ketahui bersama bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah perairan yang memiliki

keragaman hayati berupa terumbu karang dan biodiversity tertinggi di dunia.

Tidak hanya itu, tercatat bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki kepulauan

terbanyak di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 dan garis pantai

terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 95.181 km setelah Kanada.

Megapotensi ini secara alami sudah siap untuk menyejahterakan penduduk

Indonesia. Jika tidak dikelola secara baik justru akan menimbulkan kerusakan dan

tidak memiliki nilai guna bagi masyarakat.

Gambar 4.1. Produksi Perikanan Menurut Subsektor (Ribu Ton) 2003-2013

Sumber: KKP, 2015

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013*

Perikanan

Tangkap 4.691.796 4.651.121 4.705.869 4.806.112 5.044.737 5.003.115 5.107.971 5.384.418 5.714.271 5.829.194 5.863.170

Perikanan

Budidaya 1.224.192 1.468.610 2.163.678 2.682.597 3.193.566 3.855.206 4.708.564 6.277.925 7.928.961 9.675.554 13.703.360

Page 2: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

26

Pada dasarnya sektor perikanan Indonesia sangat berpotensi untuk

dikembangkan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.1, bahwa selama periode

2003-2013 volume produksi perikanan di Indonesia memiliki tren yang positif dan

terus mengalami peningkatan di setiap tahunnya baik dari perikanan budidaya

maupun perikanan tangkap. Meskipun jika dilihat pada Gambar 4.2, volume

ekspor hasil perikanan berfluktuasi dalam kurun waktu 7 tahun dari tahun 2008-

2014 namun terjadi penurunan volume ekspor perikanan yang paling drastis pada

tahun 2014. Fadila (Bisnis.com, 2014) menyatakan bahwa penurunan ekspor hasil

perikanan ini disebabkan karena faktor perubahan iklim yaitu peningkatan suhu di

laut yang tinggi, penurunan harga ekspor dan masih terjadinya ketidakcocokan

antara jumlah produksi dan timing untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

Gambar 4.2. Volume Ekspor Hasil Perikanan Indonesia

Sumber: KKP, 2015

Page 3: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

27

Udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang banyak diekspor

ke banyak negara seperti Amerika, Jepang, Cina, dll. Sehingga tidak heran jika

terjadi kenaikan effort nelayan untuk menjadikan udang sebagai salah satu

prioritas tangkapan mereka yang pada akhirnya akan berdampak pada munculnya

masalah overfishing.

Disamping itu, tantangan lain yang harus dihadapi oleh Indonesia adalah

kegiatan perikanan illegal yang biasa disebut dengan Illegal Unreported and

Unregulated Fishing (IUU Fishing). Dari Gambar 4.3, dapat dikatakan bahwa

pengelolaan sektor perikanan di Indonesia belum dilaksanakan secara

berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi bahwa kurang dari 50%

wilayah perikanan Indonesia yang bebas dari kegiatan illegal dan merusak alam

dalam kurun waktu 4 tahun dari 2010-2014. Sedikitnya wilayah perairan yang

bersih dari kerusakan dan tindakan illegal ini memberikan kenyataan bahwa

memang pada dasarnya penerapan prinsip berkelanjutan di dalam pengelolaan

perikanan di Indonesia belum optimal.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menyatakan penolakan keras

terhadap tindakan IUU Fishing. Dikemukakan oleh Badan Koordinasi Keamanan

Laut (Bakorkamla) Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tindakan

illegal ini setiap tahunnya telah merugikan negara sebesar Rp 300 triliun

(Kompas, 26 November 2014). Pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat

akan eksistensi laut Indonesia yang semakin menurun sehingga membutuhkan

perhatian dan dukungan pemerintah untuk dapat memperbaiki dan membuat

Page 4: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

28

35 38 41.13 47.2736.56

2010 2011 2012 2013 2014

berbagai kebijakan yang mendukung terwujudnya pengelolaan sektor perikanan

berkelanjutan. Mengingat sumberdaya laut di Indonesia yang melimpah

seharusnya hal tersebut dapat menjadikan sektor perikanan sebagai prime mover

di dalam perekonomian Indonesia kedepannya.

Gambar 4.3.

Wilayah Perairan Bebas IUU Fishing dan Kegiatan yang Merusak (%)

Sumber: KKP, 2015

Disisi lain, meskipun memiliki luas perairan yang jauh lebih kecil jika

dibandingkan dengan Indonesia yaitu 101.000 km2 justru menjadikan Norwegia

sebagai salah satu negara yang maju dan makmur karena sektor perikanannya.

Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB mencapai 25% (Dahuri 2004). Disisi

lain, Norwegia menjadi salah satu negara eksportir produk perikanan di dunia.

Hampir 95% hasil produksi yang ada disana digunakan untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi luar negeri.

Dengan demikian, tidak heran jika saat ini Norwegia memegang peranan

penting dalam industri perikanan dunia. Dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana

perbedaan implementasi kebijakan perikanan berkelanjutan dan pengamanan laut

di Indonesia dan Norwegia.

Page 5: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

29

4.1 Implementasi Kebijakan Perikanan Berkelanjutan di Indonesia

Terlena. Mungkin inilah salah satu ungkapan yang tepat untuk

menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Nelayan dibuai

oleh kekayaan sumberdaya hayati yang begitu melimpah sehingga tidak

memperhitungkan pemanfaatan yang terkadang melebihi batas produksi.

Karenanya, jika tidak ditindak tegas maka sumberdaya hayati yang tadinya

bersifat renewable bisa juga berubah menjadi sumberdaya non-renewable.

Oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya maka diperlukan suatu

konsep pengelolaan kelautan berkelajutan yang berdasarkan pada kearifan lokal.

Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya bukanlah suatu konsep yang baru

untuk diterapkan di dalam pengelolaan sektor perikanan di Indonesia. Hal tersebut

sudah diamanatkan di dalam UU No. 31 Tahun 2004 Pasal 2 yang menyatakan

bahwa “Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,

kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang

berkelanjutan”.

Seolah hanyut di dalam laut, nyatanya Undang-Undang Perikanan ini

masih belum bisa mengatasi segala permasalahan di sektor perikanan. Bagaimana

tidak, di bidang produksi perikanan Indonesia sendiri misalnya, hal ini bisa

ditunjukkan dengan adanya ketidakmerataan pengelolaan wilayah perikanan

tangkap yang ada di perairan Indonesia dimana ada wilayah yang telah mengalami

overfishing seperti Selat Malaka, perairan timur Sumatera, Laut Jawa dan Selat

Page 6: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

30

Bali. Namun disisi lain, wilayah perairan di Indonesia timur tingkat

pemanfaatannya masih belum optimal atau underfishing.

Secara sederhana overfishing dapat diartikan sebagai penurunan jumlah

sumberdaya laut yang tajam yang disebabkan karena aktivitas penangkapan yang

semakin tinggi untuk memenuhi kebutuhan protein sehingga menimbulkan

degradasi pada sistem di laut, sementara sumber daya ikan dan biota laut lainnya

semakin berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi. Selain itu, hal ini

juga bisa menjadi bukti bahwa telah terjadi ketidakmerataan pengelolaan

perikanan yang cenderung bersifat eksploitasi berlebih yang dapat mengancam

kelestarian sumberdaya perikanan dan ekosistem laut saat ini.

Kondisi overfishing ini tidak hanya disebabkan karena tingkat

penangkapan ikan yang melampaui potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi

juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan yang

telah mengalami penurunan atau kerusakan akibat pencemaran dan degradasi fisik

ekosistem perairan sebagai tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi

sebagian besar biota laut tropis. Selain itu juga, pembangunan yang tidak ramah

lingkungan, pemberian izin untuk perikanan tangkap yang melebihi kuota dan

pencurian ikan dari negara asing juga merupakan penyebab terjadinya penurunan

ketersediaan ikan di Indonesia .

Maraknya overfishing yang terjadi di Indonesia juga disumbang oleh

banyaknya aktivitas nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan yang dilarang

untuk digunakan seperti trawls dan pukat yang berpotensi merusak ekosistem laut.

Page 7: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

31

Meskipun pada tahun 1980, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang

mendorong pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan didukung

dengan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) No. 39 Tahun 1980 tentang

Penghapusan Jaring Trawl (Pukat Harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali

guna menjaga kesehatan habitat serta produktivitas penangkapan nelayan

tradisional. Namun dalam dua dekade terakhir, alat penangkapan ikan jenis trawl

telah berkembang pesat dalam bentuk serta nama yang beragam, dan semuanya

mengacu pada sifat penangkapannya yang tidak ramah lingkungan.

Penggunaan trawl dengan mengeruk dasar perairan merusak habitat serta

penggunaan mata jaring yang kecil juga menyebabkan tertangkapnya berbagai

jenis biota yang masih anakan atau belum matang (WWF 2015).

Gambar 4.4.

Alat Tangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

a) Pukat Udang b) Pukat Tarik Pantai c) Scottish Seines

Sumber: Permen KKP, 2015

Pada dasarnya pemerintah sudah membuat berbagai macam regulasi yang

mengacu pada prinsip berkelanjutan, namun memang tidak bisa cepat

memulihkan kondisi laut jika masih menjamurnya aktivitas yang merusak

Page 8: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

32

lingkungan. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015 yang diterbitkan pada

tanggal 8 Januari 2015. Aturan ini ditujukan sebagai upaya perlindungan

sumberdaya hayati yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementrian

Perikanan dan Kelautan Indonesia. Peraturan ini berisi tentang larangan untuk

menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine

nets) di seluruh WPP Negara Republik Indonesia.

Sudah menjadi konsekuensi, setiap adanya pemberlakuan kebijakan dari

pemerintah pasti akan menuai berbagai respon dari lapisan masyarakat, baik itu

positif maupun negatif. Begitu juga dengan diberlakukannya Permen KP

No.2/2015 ini, pada awalnya banyak nelayan yang melakukan aksi unjuk rasa dan

menolak pemberlakuan aturan ini. Seperti halnya yang dilakukan oleh ribuan

nelayan dari berbagai wilayah di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang nekat

memblokir jalur utama Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah dengan melakukan

aksi demo (Kliping KKP, 4 Maret 2015). Mereka menganggap bahwa aturan ini

justru akan mematikan sumber mata pencaharian mereka karena penggunaan alat

tangkap tersebut digunakan secara turun temurun untuk aktivitas melaut.

Peraturan Menteri KP No. 2/2015 ibarat dua sisi mata uang. Meskipun

pada awalnya memiliki dampak negatif karena sebagian besar nelayan Indonesia

menggunakan alat yang dilarang dan harus menggantinya, namun disisi lain

nelayan juga merasakan dampak positif. Di beberapa lokasi sentra nelayan

cantrang (Muara Baru, Tegal, Karawang, Lamongan, Karimun Jawa, Brebes, dan

Page 9: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

33

Sibolga) misalnya, hal tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya waktu tempuh

melaut nelayan, penghematan konsumsi BBM, lebih dekatnya fishing ground,

produksi ikan tangkapan nelayan non cantrang meningkat berkisar antara + 10-

20% dari sebelumnya, peningkatan pendapatan nelayan non cantrang meningkat

sebesar + 5-15% dari sebelumnya, berkurangnya frekuensi konflik antara nelayan

cantrang (andon) dengan nelayan setempat, berkurangnya kerugian nelayan

tradisional akibat rusak atau hilangnya alat penangkapan ikan (rumpon dasar,

bubu) yang terseret oleh cantrang, terselamatkannya sumberdaya ikan non target

yang tertangkap dan kemudian dibuang (discarding) oleh nelayan cantrang

sebesar 30-50% dari total hasil tangkapan cantrang, serta akses dan distribusi

BBM bersubsidi teralokasi kepada nelayan non-cantrang.

Dilihat dari sisi ekologis, penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan No. 2 Tahun 2015 merupakan langkah yang tepat, karena alat tangkap

tersebut berkontribusi besar terhadap rusaknya habitat laut, pemborosan

sumberdaya laut, mempengaruhi siklus hidup biota laut, dan mengancam populasi

biota kunci yang menjaga keseimbangan alam, seperti penyu dan hiu (WWF

2015).

Pentingnya menjaga populasi ikan dapat dilakukan dengan cara

menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Mengingat

trawls dan pukat digolongkan menjadi alat tangkap yang tidak ramah lingkungan,

terdapat beberapa alat tangkap lain yang bisa digunakan oleh nelayan seperti

jaring lingkar, jaring angkat, jaring insang (gill nets), rawai dasar (pancing), dan

Page 10: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

34

bubu. Jika menggunakan alat tersebut memang nelayan tidak memperoleh hasil

tangkapan yang besar seperti saat menggunakan pukat dan trawls tapi dalam

jangka panjang ini akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan stok ikan dan

ekosistem laut.

Sejalan dengan hal tersebut, Satria (Kompas 2015) menyatakan bahwa

Permen KP No.2/2015 yang berorientasi pada keberlanjutan sumberdaya ikan ini

juga telah ditunggu-tunggu nelayan tradisional yang selama ini dirugikan oleh

praktik kapal pukat hela dan variasinya. Bahkan, para nelayan Labuhan Deli

Belawan melakukan upacara syukuran atas keluarnya Permen tersebut.

Selain dipicu oleh penggunaan alat tangkap yang dilarang, masalah

overfishing juga dapat dipicu oleh faktor cuaca. Perubahan cuaca yang ekstrim,

memiliki konsekuensi logis bagi nelayan untuk menangkap ikan berlebih untuk

menutup kerugian saat nelayan tidak bisa melaut. Hal ini memang tidak bisa

dipungkiri, karena tingkat kesejahteraan nelayan dimana rata-rata pengeluaran

nelayan hanya sekitar Rp 561.000 per bulan dan lebih rendah dibandingkan

dengan mereka yang bukan nelayan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp

744.000 per bulan (Harmadi 2014). Diduga, tingginya tuntutan untuk memenuhi

konsumsi dan kebutuhan hidup lainlah yang menyebabkan tingginya effort

nelayan untuk menangkap ikan tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Permen KP No. 2 Tahun 2015 merupakan amandemen dari Keputusan

Presiden No. 39 Tahun 1980 yang muncul kembali setelah 25 tahun karena

banyaknya kasus pelanggaran kelautan termasuk pencurian ikan oleh kapal-kapal

Page 11: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

35

asing. Hal ini mengindikasikan bahwa kepatuhan nelayan terhadap kebijakan yang

dibuat oleh pemerintah masih rendah. Nelayan seringnya merasa aturan yang

dibuat pemerintah tidak berpihak kepada mereka, akan tetapi disisi lain

pemerintah memang harus tegas dalam mengaja laut. Seringnya, aturan yang

dibuat pemerintah menimbulkan ketidakharmonisan dengan kalangan nelayan.

Hal ini diduga terjadi karena kurangnya sosialisasi kebijakan kepada nelayan dan

kurangnya keterlibatan nelayan dalam penyusunan kebijakan itu sendiri.

Jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang menjadi cikal bakal

terwujudnya Permen KP No. 2/2015, kedua jenis peraturan ini memiliki tujuan

yang serupa meskipun memiliki perbedaan yang cukup signifikan di dalam

lingkup penerapan aturannya. Permen KP No.2/2015 saat ini memiliki cakupan

yang lebih luas dan detil terkait dengan wilayah operasional dan jenis alat tangkap

nelayan yang dilarang digunakan. Selain itu, diduga aturan ini juga memiliki

kekuatan hukum yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kepres No. 39/1980

yang pada waktu itu masih berada dibawah Menteri Pertanian.

Meskipun sebelumnya pemerintah pernah memberlakukan kebijakan yang

serupa dengan adanya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980, nyatanya sampai

saat ini masalah overfishing di Indonesia masih belum bisa dihentikan.

Diharapkan, dengan adanya KKP yang secara struktural memiliki kewenangan

penuh dalam mengelola sektor perikanan maka tujuan pemerintah untuk mengatur

produksi perikanan Indonesia dengan mengembalikan stok ikan dan menjaga

keberlanjutan ikan dapat terwujud kedepannya.

Page 12: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

36

Permasalahan lain yang dihadapi bidang produksi perikanan Indonesia

adalah terkait dengan masih rendahnya produktivitas perikanan yang diduga

disebabkan karena struktur armada yang masih didominasi oleh kapal berukuran

kecil, belum terintegrasinya sistem produksi hulu dan hilir, dan masih terbatasnya

sarana dan prasarana yang dibangun. Dijelaskan dalam Permen KP No.3 Tahun

2014 bahwa Indonesia juga masih menghadapi beberapa kondisi yang belum

sepenuhnya dapat mendukung untuk memenuhi persyaratan mutu produk ekspor

hasil perikanan yang semakin ketat dari negara pengimpor, seperti Uni Eropa.

Disamping itu, aspek yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan produktivitas

yang sangat mendasar adalah dalam aspek kualitas SDM dan kelembagaannya.

Dimana jumlah SDM yang bergantung pada kegiatan usaha kelautan dan

perikanan sangat besar dan dengan pengetahuan, penguasaan teknologi dan

kemampuan serta infrastuktur untuk akses informasi yang minim dan tidak merata

di seluruh wilayah Indonesia yang berkepulauan.

4.2 Implementasi Kebijakan Perikanan Berkelanjutan di Norwegia

Selain Indonesia, Norwegia juga merupakan salah satu negara yang

menggantungkan perekonomiannya kepada sektor perikanan. Dikatakan oleh

Olivert dan Amando (2008) bahwa Norwegia memiliki fishing ground terkaya di

dunia sehingga tidak heran jika sektor perikanan menjadi komponen penting

dalam dunia bisnis, industri dan ekspor. Saat ini, Norwegia menjadi salah satu

Page 13: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

37

penyedia seafood terbesar di dunia baik untuk wild catch maupun aquaculture dan

menjadi salah satu eksportir seafood terbesar di dunia.

Prinsip fundamental yang sejak lama dipegang Norwegia dalam mengelola

sumberdaya laut adalah sustainable harvesting. Arti “sustainable” pada umumnya

diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat memenuhi kebutuhan

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk

memenuhi kebutuhannya sekarang. Untuk itu, tujuan dari pemerintah Norwegia

adalah memiliki pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem yang bertujuan

untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya laut yang ada.

Dengan prinsip tersebut, pengelolaan perikanan dilakukan dengan

beberapa model seperti sustainable harvesting yang mengatur cara-cara

pengambilan ikan secara berkelanjutan, multi-species approach yang

memanfaatkan keberagaman jenis ikan untuk ditangkap sehingga tidak terjadi

overfishing pada salah satu jenis ikan saja, efisiensi pelaksanaan dan kontrol

terhadap aturan perundangan yang diberlakukan.

Lebih spesifik lagi, sistem perikanan di Norwegia diatur dengan 3

kebijakan terkait dengan sistem kuota, pembatasan akses untuk menangkap ikan

dan pengaturan teknis (technical regulation). Untuk lebih mendukung pengelolaan

perikanan yang berkelanjutan, pemerintah sangat memperhatikan keterlibatan The

International Council for the Explorations of the Sea (ICES) sebagai lembaga

riset perikanan dan kelautan. ICES merupakan badan internasional yang dibentuk

untuk menganalisis informasi yang berkaitan dengan ketersediaan stok dan

Page 14: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

38

konservasi ikan. Banyak negara yang bergabung di dalam ICES yang dapat saling

berdiskusi untuk menentukan kuota tangkapan yang akan diperoleh masing-

masing negara anggota.

Di Norwegia, ICES merupakan badan yang memegang peranan penting

dalam menentukan kebijakan kuota yang direkomendasikan kepada pemerintah.

Langkah penetapan kuota awalnya dilakukan dengan ICES yang menegoisasikan

rekomendasi kuota kepada negara lain yang bekerjasama dengan Norwegia seperti

Eropa, Rusia, dll. Ilmuan dari masing-masing negara anggota ICES

mengembangkan berbagai macam advice atau saran-saran melalui grup atau

komite penasehat. Setelah ICES memberikan rekomendasi kuota, pemerintah

Norwegia melakukan negosiasi dengan pemerintah negara lain yang menjadi

anggota ICES. Setelah negosiasi internasional terbentuk, dilanjutkan dengan

membuat regulasi domestik terkait dengan alokasi kuota yang akan diterapkan.

Dilanjutkan dengan Dewan Perikanan yang membuat proposal untuk

mengajukan regulasi domestik kepada Kementerian Perikanan. Keterlibatan

stakeholders dalam menentukan kesepakatan dilakukan melalui the Advisory

Meeting for Fisheries Regulation / rapat dewan penasehat dimana pihak yang

terlibat didalamnya adalah asosiasi nelayan, industri perikanan, serikat

perdagangan, the Sami Parliament (semacam DPR), pemerintah daerah,

organisasi lingkungan dan sebagainya. Proses terakhir adalah Kementrian

Perikanan memutuskan kebijakan terkait dengan alokasi kuota bagi kapal-kapal

Page 15: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

39

dan mengatur aturan teknis terkait dengan rencana penangkapan ikan untuk tahun

yang akan datang.

Gambar 4.5. Kerangka Regulasi Penetapan Kuota di Norwegia

Sumber: www.fisheries.no

Salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Norwegia

adalah Cod, Haddock, dan Saithe. Untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan

terutama pada jenis ikan cod, maka pemerintah bergabung dalam Norwegian-

Russian Fisheries Commision. Untuk spesies ikan haddock pemerintah

menetapkan sistem kuota, ukuran minimum ikan, ukuran jaring minimum,

maksimum bycatch berupa ikan dengan ukuran dibawah batas ukuran yang

ditentukan, maksimum bycatch berupa ikan yang tidak masuk dalam target

Page 16: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

40

tangkapan, penutupan area tangkap ikan yang memiliki banyak populasi ikan atau

ikan yang masih sangat kecil dan pembatasan wilayah lainnya.

Pada dasarnya eksploitasi stok ikan dipengaruhi oleh besarnya usaha

tangkap yang dilakukan, kemampuan menangkap ikan dan pemilihan alat tangkap

yang digunakan, pemilihan waktu yang tepat untuk melaut dan pemilihan area

tangkap ikan. Selain itu, pengetahuan nelayan tentang pemilihan fishing gear atau

alat tangkap ikan merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan

strategi penangkapan ikan yang akan dilakukan. Pemerintah Norwegia juga

menetapkan beberapa aturan teknis yang terkait dengan landing ikan di darat dan

di laut, salah satu hal yang penting adalah menentukan ukuran minimum ikan

yang didaratkan (minimum landing size) yang disesuaikan dengan ukuran

minimum jaring yang digunakan oleh nelayan.

Terkait dengan aturan mengenai minimum landing size yang diterapkan di

Norwegia, terdapat pula regulasi yang mengatur jenis ikan tertentu yang bertujuan

untuk menjaga siklus hidup ikan. Misalnya saja untuk jenis ikan cod, dimana

ukuran minimal ikan yang boleh ditangkap adalah 47 cm dan jika diketahui hasil

tangkapan ikan memiliki 15% dari ikan yang ukurannya masih dibawah ukuran

standar (undersized fish) maka fishing ground akan ditutup.

Dalam upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem laut, pemerintah

Norwegia menetapkan discard ban atau semacam larangan pembuangan sebagian

dari jumlah tangkapan ikan yang tidak bisa lagi ditampung di dalam kapal dan

dibuang lagi ke dalam laut. Pembuangan ikan dapat terjadi jika 1) Tidak adanya

Page 17: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

41

pembatasan kuota ikan untuk spesies tertentu yang ditangkap oleh nelayan; 2)

Menangkap ikan yang berukuran dibawah landing size; 3) Adanya pertimbangan

ekonomis terkait dengan tangkapan ikan yang high grading. Norwegia adalah satu

dari sedikit negara yang menerapkan larangan pembuangan ikan (discard ban)

dan mulai dikembangkan di Norwegia sejak tahun 1983 untuk jenis ikan cod,

makarel, herring dan chapelin. Hal ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa

jumlah kematian ikan secara aktual dapat diketahui pada saat pendaratan ikan.

Larangan ini berlaku di perairan internal, laut teritorial dan ZEE. Discard ban

termasuk dalam salah satu kegiatan illegal yang tidak boleh dilakukan di perairan

Norwegia.

Selama nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan, tidak menutup

kemungkinan adanya bycatch (hasil sampingan). Di Norwegia, untuk

meminimalisir bycatch bisa dilakukan dengan cara memilih ukuran ikan yang

akan ditangkap dan menutup area penangkapan ikan tertentu. Penutupan area

perairan ini dilakukan sebelum diberlakukannya aturan pembatasan kuota

penangkapan ikan. Penutupan area ini dikontrol oleh sistem pelacak dan record

kejadian di masa lalu dijadikan sebagai dasar untuk memutuskan apakah area

penangkapan ikan bisa dibuka kembali (re-opening) atau tidak. Re-opening area

penangkapan ikan ini dapat dilakukan jika jumlah spesies ikan sudah pulih

kembali pada limit tertentu.

Untuk memperkuat kontrol aktivitas perikanan di Norwegia di laut

maupun di darat sejak tahun 1950-an pemerintah Norwegia telah memiliki sistem

Page 18: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

42

yang komprehensif baik melalui rescue control dan resource control. Rescue

control yang bertujuan untuk menjaga rantai produksi seperti kapan penangkapan

ikan dilakukan di laut, bagaimana penyimpanan dan penjualan untuk memenuhi

kebutuhan ekspor ke luar negeri, pengamanan secara menyeluruh yang dilakukan

oleh the Ministry of Fisheries and Coastal Affairs. Pihak yang melakukan fungsi

resource control adalah Coast Guard yang melakukan inspeksi lebih dari 2000

kali terhadap kapal Norwegia dan kapal asing yang beraktivitas di perairan

Norwegia serta kerjasama dengan Sales Organisations yang berperan penting

dalam first-handling tangkapan ikan. Efektivitas kerjasama yang dilakukan coast

guard di laut dan Kementrian Perikanan serta sales organisations di darat

merupakan faktor penting dalam mengaja rantai nilai produksi ikan itu sendiri.

Berikut adalah penjelasan terkait ketiga pihak tersebut:

a. Kementrian Perikanan

Memiliki fungsi pengawasan dalam perikanan dan kelautan di Norwegia

yang bekerja berdasarkan pada the Norwegian Sea Water Fisheries Act.

Selain itu, Kementerian ini juga memiliki peran sebagai rescue control

yang bertujuan untuk mengawasi bahwa tidak ada aktivitas penangkapan

ikan di area yang telah ditutup dan memantau illegal fishing tidak terjadi

di area pinggir pantai. Hal penting lainnya adalah memastikan bahwa data

terkait dengan hasil tangkapan tidak dilaporkan secara curang dengan

memanipulasi data dari area dimana penangkapan ikan dilakukan.

Kementrian Perikanan mengawasi kapal Norwegia di perairan Norwegia

Page 19: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

43

dan perairan internasional dan kapal asing di perairan Norwegia. Lembaga

ini juga berhubungan dengan pengawasan di darat terhadap perusahaan

perikanan, atau pihak manapun yang memiliki tujuan bisnis, transportasi

dan penjualan ikan, atau siapa saja yang memiliki dokumen yang terkait

dengan sektor perikanan dan kelautan.

b. Coast Guard

Merupakan pihak kedua yang melakukan resource control di perairan

Norwegia. Bertugas untuk menjaga keamanan laut dan memiliki

koordinasi langsung dengan Kementrian Pertahanan yang bekerja

berdasarkan pada hukum yang diatur dalam The Coast Guard Act.

Berdasarkan pada data tahunan, ada sekitar 3000 kapal Norwegia dan

kapal asing yang telah diinspeksi dari per tahunnya.

c. The Sales Organisation

Merupakan pihak ketiga yang bertugas untuk meregistrasi dan mengontrol

hasil tangkapan dan landing ikan baik dari sisi kuantitas maupun jenis

spesiesnya. Di Norwegia, semua ikan yang ditangkap oleh nelayan harus

dijual melalui sales organisation yang juga berperan penting dalam

pengawasan sistem kuota. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan agar

data alur masuk produksi ikan mulai dari asal ikan, waktu penangkapan,

penyimpanan dan bahkan sampai pada pemenuhan kebutuhan ekspor ke

negara lain dapat tercatat dengan baik. Secara ketat, sales organisation ini

Page 20: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

44

juga bertugas untuk mengawasi kesesuaian dokumen perijinan kapal

penangkapan ikan.

Terkait dengan sistem pembayaran yang dilakukan dalam transaksi jual

beli hasil tangkapan, maka pembayaran dilakukan oleh kesepakatan pada saat

pelelangan dan pembayaran kepada nelayan dilakukan melalui sales

organisations. Hal ini menjadi penting karena sales organisation sekaligus

melakukan pemantauan terhadap pengawasan kuota tangkapan yang legal. Jika

ada nelayan yang berbuat curang dengan menjual ikan lebih dari kuota yang

ditetapkan (overfishing) maka nelayan hanya akan memperoleh 10% dari

penjualan hasil tangkapan.

Sales organisation juga memberikan catch certificates kepada hasil

tangkapan nelayan yang diterima dan yang akan dijual kembali. Sertifikat ini

menyatakan keaslian bahwa hasil tangkapan nelayan telah sesuai dengan aturan

kuota yang ditetapkan dan berisi tentang informasi nelayan terkait dengan jenis

kapal, catch area, alat tangkap yang digunakan, spesies ikan, berat ikan dan trade

information (seller, buyer and prices). Pentingnya sertifikasi hasil tangkapan ini

di dalam industri perikanan di Norwegia karena akan memberikan prestise dan

jaminan mutu produk kepada pembeli bahwa ikan yang diekspor dari Norwegia

merupakan ikan yang legal.

Untuk dapat melakukan fungsi pengawasan dari semua aktivitas perikanan

yang ada di Norwegia, maka beberapa hal lain yang harus dilakukan untuk setiap

Page 21: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

45

kapal adalah: sattelite tracking, catch log book untuk semua kapal Norwegia yang

berukuran lebih dari 13 meter dan untuk semua kapal asing di wilayah ZEE

Norwegia, menentukan gross drawing yang mengindikasikan besaran muatan

kapal maksimal (gross capacity of fish holds on board in cubic meters) untuk

kapal ukuran 24 meter, laporan pemberitahuan di pelabuhan (port notifications),

landing declaration/sales note, access-lisences and inspection data.

Hampir 90% dari perikanan Norwegia diatur dalam sistem kuota yang

dibagi bersama dengan negara lain terkait dengan penentuan stok ikan, besaran

kuota dan management strategies diatur dan disepakati dengan negara lain. Rusia

adalah negara yang bekerjasama dengan Norwegia terkait dengan share ikan cod,

haddock dan capelin di Barents Sea. Jenis ikan yang paling berperan dalam ekspor

ikan cod adalah jenis North East Arctic Cod. Hanya sebagian kecil dari jumlah

ikan cod yang diekspor dari Norwegia datang dari area lain. Kerjasama yang baik

antara Norwegia dan Rusia ini dibutuhkan untuk memastikan rational

management dari sumberdaya perikanan yang ada.

Selain Rusia, Norwegia bekerjasama dengan Uni Eropa (UE) dalam

managemen stok ikan di North Sea yang memiliki jumlah shared stock yang lebih

tinggi dibandingkan dengan Rusia dan Norwegia. Strategi ini dimaksudkan untuk

memastikan jumlah tangkapan ikan secara nasional dan menjaga stabilitas catch

level. Negara lain yang juga bekerjasama dengan Norwegia dalam mengelola

sumberdaya perikanan adalah Greenland terkait dengan upaya pelarangan IUU

Fishing di masing-masing ZEE, Iceland bersepakat dalam hubungan triateral

Page 22: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

46

dengan Norwegia dan Rusia terkait dengan stok ikan di Barents Sea dan

Nowegian Sea diatur di dalam the Joint Norwegian-Russian Fisheries Commision.

4.3 Implementasi Kebijakan Pengamanan Wilayah Perairan di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia

adalah wilayah perairan yang secara geografis terletak diantara dua benua (Benua

Asia dan Benua Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Pasifik). Dengan demikian, posisi tersebut menjadikan wilayah perairan Indonesia

menjadi sangat penting dan strategis untuk lalu lintas pelayaran nasional maupun

internasional. Di satu sisi, posisi ini memberikan dampak positif karena akan

mendukung terhadap aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia. Namun disisi

lain, hal ini akan menimbulkan kerawanan terhadap pengaruh luar karena wilayah

Indonesia yang terbuka dan tersebar sehingga dapat mengganggu stabilitas

keamanan nasionalnya.

Karena keberadaan laut Indonesia yang begitu luas maka diperlukan

pengamanan terhadap wilayah perairan. Hal ini selaras dengan salah satu pokok

penting di dalam Deklarasi Djuanda 1957 yang menyatakan bahwa setiap negara

berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dipandangnya

perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. Kumalasari (2006),

menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan di bidang maritim di

Indonesia seperti adanya potesi konflik daerah perbatasan yang belum sepenuhnya

mendapatkan perhatian dan pengelolaan dari pemerintah; pelanggaran hukum

Page 23: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

47

tindak pidana di laut termasuk penangkapan illegal, perompakan, pembajakan,

penyelundupan, imigran gelap, pengambilan harta karun, penambangan pasir laut

secara illegal, perdagangan manusia, narkotika, dll. Semakin terbukanya wilayah

perairan Indonesia tentunya akan semakin memperbesar peluang bagi pihak-pihak

yang akan melakukan aktivitas maritim yang melanggar aturan baik secara

nasional maupun internasional.

Dalam aspek perikanan, salah satu tantangan utama yang terjadi di wilayah

perairan Indonesia dan termasuk dalam tindakan kejahatan trans-nasional adalah

praktek Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing). Secara

sederhana, Illegal fishing berarti penangkapan ikan secara illegal/pencurian ikan.

Unreported fishing adalah kegiatan yang menyangkut penangkapan ikan

walaupun secara legal namun tidak dilaporkan. Di dalam unreported fishing

terdapat dua hal yaitu: adanya kesalahan dalam pelaporan (misreported) dan

pelaporan yang tidak semestinya. Sedangkan unregulated fishing adalah kegiatan

perikanan yang tidak diatur oleh negara yang bersangkutan (Sodik 2009).

Penyebab terjadinya praktik IUU Fishing sangat kompleks mulai dari luas

perairan Indonesia yang sangat besar, keamanan wilayah laut yang lemah dan

rendahnya jangkauan nelayan di perairan lepas sehingga menjadikan sumberdaya

yang dimiliki Indonesia masih banyak dicuri oleh negara lain.

Page 24: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

48

31%

47%

22%Perahu Tanpa Motor

Perahu Motor

Tempel

Gambar 4.6. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Tahun 2013 (Unit)

a). Kapal Berdasarkan Jenis b). Kapal Motor Berdasarkan Ukuran (GT)

Sumber: Litbang “Kompas”/INO, diolah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan

Rendahnya jangkauan nelayan Indonesia diperairan lepas (high sea)

diduga disebabkan karena kurangnya fasilitas pendukung yang digunakan oleh

nelayan. Dari Gambar 4.6 maka dapat kita ketahui bahwa jenis perahu yang

digunakan nelayan masih didominasi dengan perahu motor tempel dengan

presentase 47% (252.590 unit), perahu motor sebanyak 31% (199.740 unit), dan

sisanya 22% (165.990 unit) merupakan perahu tanpa motor. Disisi lain, perahu

motor yang digunakan di Indonesia ini masih sangat terbatas dan tidak memadai

karena sebanyak 68,89% masih berukuran kurang dari 5 GT. Maka tidak heran

jika praktik IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal asing masih marak terjadi di

perairan Indonesia.

Menurut Satria (Kompas 2015), perikanan illegal masih marak terjadi

dengan modus pelanggaran batas wilayah, berbendera ganda, alih muatan,

dokumen palsu, atau tanpa dokumen. Ditemukan pula satu kapal eks-asing diiringi

Perahu Tanpa

MotorPerahu Motor

TempelKapal Motor

Page 25: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

49

dengan tiga kapal tanpa izin. Jadi, apabila kapal eks-asing yang resmi berjumlah

1.132, pada kenyataannya bisa beranak pinak menjadi jauh lebih dari itu. Selain

itu, adanya manipulasi terhadap ukuran tonage (GT) dan perijinan (SIPI dan

SIKPI) kapal ikan. Hal ini menyebabkan sulitnya membuat kebijakan yang dapat

mengontrol pengelolaan perikanan berkelanjutan. Diduga, adanya manipulasi

yang dilakukan oleh pemilik kapal tersebut adalah alasan sulitnya mengurus

perijinan karena birokrasi yang sulit dan diduga untuk menghindari pajak, dll.

Sejalan dengan hal tersebut, dikemukakan dalam Buku Data Pokok KKP

(2014), berbagai modus operasi IUU fishing secara lebih rinci adalah sebagai

berikut:

1. Penangkapan ikan tanpa izin;

2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu;

3. Penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang dilarang;

4. Penangkapan jenis (spesies) ikan yang dilarang, atau tidak sesuai izin;

5. Pemalsuan data tangkapan, atau hasil tangkapan tidak dilaporkan

dengan benar;

6. Membawa hasil tangkapan langsung ke negara lain (transhipment di

tengah laut), tidak melaporkan hasil tangkapan di pelabuhan yang telah

ditetapkan;

7. Melanggar ketentuan: alat penangkapan ikan/alat bantu penangkapan

ikan (API/ABPI), fishing ground, port of call;

8. Manipulasi persyaratan: deletion certificate, bill of sale;

Page 26: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

50

9. Kapal perikanan menggunakan bendera ganda;

10. Kapal perikanan berbendera Indonesia menggunakan ABK asig

melebihi prosentase yang ditetapkan;

11. Kapal perikanan berganti-ganti nama dan nomor kapal, untuk

mengelabui aparat pengawas, dan sebagainya.

Tabel 4.1 menunjukkan hasil tangkapan kapal pengawas ketika kapal-

kapal baik Kapal Ikan Indonesia (KII) maupun Kapal Ikan Asing (KIA)

melakukan pelanggaran penangkapan ikan di WPP Indonesia dari tahun 2009-

2013.

Tabel 4.1

Jumlah Kapal Hasil Gelar Operasi Kapal Pengawas Tahun 2009-2013

Satuan: buah

Tahun

Hasil ∑ Kapal

Pengawas Riksa Ad-Hock Tenggelam

Deportasi KII KIA ∑ KII KIA ∑

2009 3.961 78 125 203 0 32 32 17 24

2010 2.255 24 159 183 0 3 3 30 24

2011 3.348 34 76 110 0 1 1 12 25

2012 4.326 42 70 112 0 1 1 10 26

2013 3.643 19 39 58 0 0 0 1 26

Jumlah 17.533 197 469 666 0 37 37 70 Sumber: Buku Data Pokok KKP, 2014

Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa terbukti kapal pencurian ikan yang

masuk ke wilayah Indonesia didominasi oleh kapal asing. Kasus IUU Fishing

masih marak terjadi di perairan Indonesia. Meskipun dari sebagian besar kapal

ditindak dengan dilakukan pengawalan, namun beberapa kapal asing tersebut juga

sudah ada yang ditindak dengan cara dideportasi bahkan ditenggelamkan.

Page 27: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

51

Maraknya kasus IUU Fishing yang terjadi di wilayah perairan Indonesia

diduga disumbang karena lemahnya penegakan keamanan yang solid, seperti di

Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Norwegia yang sudah memiliki Coast

Guard atau Coast Maritime. Padahal, Indonesia memiliki 12 lembaga/institusi

yang berperan dalam penegakan hukum di laut Indonesia, namun keamanan laut

Indonesia faktanya masih belum optimal. Menurut Gugustomo (2014), hal ini

disebabkan karena Indonesia masih menganut sistem multi-agent yang merupakan

sistem kelembagaan dimana terdapat lebih dari 1 institusi/lembaga yang

berinteraksi secara bersama-sama untuk mencapai atau untuk menyelesaikan

masalah yang sama (single-tasking). Sejalan dengan hal tersebut, Ferber &

Gutknecht (1998) berpendapat bahwa agen-agen tersebut merupakan suatu entitas

otonom yang berperilaku individual, bahkan cenderung mementingkan diri

sendiri.

Pada tanggal 29 Desember 2005 ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres)

Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut

(BAKORKAMLA). Badan ini berperan sebagai multi-agent yang bertugas untuk

mengkoordinir seluruh kegiatan operasional keamanan di laut, memecahkan

semua permasalahan pelanggaran hukum di laut, menyelenggarakan kerjasama

dengan negara-negara tetangga dengan maksud agar penyelengaraan operasi

keamanan di laut senantiasa terjamin daya maupun hasil gunanya secara optimal.

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam kajian Lemhannas RI (2012)

menyatakan bahwa saat ini ada dua belas instansi yang melakukan pengamanan

Page 28: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

52

laut yaitu: Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian

Pertahanan, Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Keuangan, Kementerian

Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung, Mabes

TNI, Polri, Badan Intelijen dan Mabesal, yang didukung dengan adanya produk

undang-undang yang isinya hampir bersinggungan dan tumpang-tindih. 12

Instansi inilah yang dikoordinasi oleh Bakorkamla untuk menjaga wilayah

perairan Indonesia.

Gambar 4.7.

Illustrasi Interaksi Bakorkamla dan 12 Instansi Keamanan Laut Indonesia

Sumber: Gustomo, 2014

Meski kehadiran Bakorkamla yang memiliki kejelasan landasan hukum,

namun tetap dinilai masih memiliki kelemahan, sebab faktanya masing-masing

institusi yang harusnya saling berkoordinasi dengan Bakorkamla sering berjalan

sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangannya. Badan tersebut hanya bersifat

koordinasi bagi instansi-instansi menyangkut tugas-tugas penegakan hukum yang

tercakup dalam perundang-undangan masing-masing dan tidak memiliki otoritas

Page 29: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

53

memaksa, sehingga pelaksanaan pengamanan wilayah maritim menghadapi

berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Seperti saat Bakorkamla sudah

merencanakan patroli laut secara gabungan, rencana tersebut sering tidak

terlaksana karena kurang mendapat dukungan dari institusi terkait, terutama

mengenai pengoperasian kapal patroli.

Bakorkamla dibentuk dengan harapan dapat menjadi koordinator bagi

lembaga/institusi tersebut, namun terdapat beberapa kelemahan dalam

Bakorkamla sehingga tidak dapat menjalankan fungsi sebagai koordinator dengan

optimal. Sampai pada saatnya Pemerintah baru Joko Widodo merevitalisasi

Bakorkamla menjadi Bakamla (Badan Keamanan Laut) melalui PP No. 178

Tahun 2014 pada 8 Desember 2014 dan memberikan organisasi ini wewenang

yang lebih luas. Kebijakan tersebut sekaligus merubah sistem kelembagaan dari

multi-agent menjadi single-agent. Single agent merupakan sistem yang

menggunakan satu institusi untuk menjalankan tugas dan kewenangan pertahanan

dan keamanan, penegakan hukum, sampai pada fungsi search and rescue (SAR).

Dengan adanya satu institusi saja, sistem operasi institusi tersebut dapat didesain

secara serdehana dengan komando yang tegas dan jelas.

Page 30: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

54

Gambar 4.8.

Kapal Patroli Bakamla, KN Bintang Laut 4801 dan KN Singa Laut 4802

Sumber: Gugustomo, 2014

Upaya penindakan terhadap adanya praktik IUU Fishing tidak berhenti

pada aspek pengamanan wilayah yang dilakukan oleh Bakamla saja. Lebih jauh

lagi, pemerintah juga mengeluarkan Permen KP No.115 Tahun 2015 yang

diundangkan pada tanggal 20 Oktober 2015 yang berisi tentang pembentukan

Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Illegal. Satgas ini dikomando

langsung oleh Menteri KKP dan bertugas khusus untuk menindak tegas kasus

unreported fishing.

Mengingat kawasan perairan Indonesia masih menjadi target utama

pencurian ikan, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan liar (Illegal,

Unreported and Unregulated / IUU Fishing). Karenanya negara diperkirakan

mengalami kerugian melebihi Rp 101 triliun per tahunnya. Tingkat kerugian

tersebut sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia

sebesar 1,6 juta ton per tahun. Kerugian akibat IUU Fishing menjadi salah satu

Page 31: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

55

tantangan besar Indonesia selain tekanan terhadap sumberdaya laut dari praktek

kelautan yang tidak berkelanjutan.

KKP yang saat ini berada dibawah pimpinan Susi Pudjiastuti, sedang

gencar-gencarnya memberantas pencurian ikan yang terjadi di wilayah Indonesia.

Salah satunya adalah dengan menenggelamkan kapal ikan asing yang terbukti

secara ilegal di wilayah perairan Indonesia. Dasar hukum untuk melaksanakan

penenggelaman tersebut adalah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan. Merujuk pada UU tersebut, KKP bersama TNI AL bisa langsung

melaksanakan eksekusi penenggelaman kapal jika minimal sudah memiliki dua

bukti yang kuat. Alasan pelanggaran batas teritorial wilayah perairan dan

pencurian ikan diduga dapat menjadi bukti yang kuat untuk dapat menindak kapal

illegal dengan ditenggelamkan.

Gambar 4.9. Proses Penenggelaman Kapal Illegal di Perairan Indonesia

Sumber: www.google.com

Page 32: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

56

Ambari (2015) dalam Mongbay.co.id menyatakan kasus dimana terdapat

16 kapal yang akan ditenggelamkan pada 14 Oktober 2015, di antaranya terdiri

dari 7 (tujuh) kapal berasal dari Vietnam, yakni KG 9352 TS, KG 91490 TS, KG

9387 TS, KG 93577 TS, KM. BV 9980 TS, KM. BV 9952 TS, KM. BV9261 TS.

Kapal-kapal tersebut berukuran 88 gross tonnage (GT) hingga 139 GT.

Kemudian, ada dua kapal berbendera Indonesia, yaitu KM Ethan Gofir-02 dan

KM Bintang Terang. Keduanya berukuran 23 GT dan 11 GT tapi tetap ditangkap

karena terbukti melakukan pencurian ikan.

Keputusan kontroversional tentang penenggelaman kapal yang dilakukan

Susi Pudjiastuti untuk mengatasi kasus IUU Fishing terjadi diduga karena adanya

kekecewaan terhadap birokrasi pengadilan yang ada di Indonesia. Bagaimana

tidak, kapal yang terbukti melakukan IUU Fishing di Indonesia yang diurus di

pengadilan dapat dilelang dan dibeli lagi oleh oknum dan dapat kembali lagi ke

negara asalnya. Hal ini membuktikan bahwa ketegasan hukum di Indonesia untuk

mengatasi kasus IUU Fishing masih rendah.

Selain itu, kendala lain dalam penegakan hukum Indonesia yaitu adanya

tumpang-tindih kewenangan KKP dengan penegak hukum lain yang juga

memiliki wewenang di wilayah perairan yang sama. Zakaria (2012), mencatat

bahwa kelemahan hukum terjadi karena tumpang-tindih peraturan yang ada di

Indonesia sehingga penerapan sanksi pidana di ZEE adalah bertentangan, tidak

hanya dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tetapi juga

hukum laut internasional.

Page 33: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

57

Adanya tumpang-tindih kebijakan yang terjadi di perairan Indonesia ini

diduga terjadi karena kurangnya koordinasi antar instansi mengenai pengendalian

sumberdaya ikan sehingga masih banyak terdapat celah untuk melakukan

pelanggaran. Idris, dkk (2007) mengemukakan bahwa terdapat banyak

ketimpangan terhadap lima UU yang diterapkan di wilayah pesisir yaitu UU No.9

Tahun 1985 junto UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU

No.24 Tahun 1992 junto UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU

No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

Idris menyatakan bahwa terdapat sepuluh (10) ketimpangan yang ada

diantara kelima UU tersebut yang memperlihatkan tidak adanya koordinasi,

ketidakjelasan dan tumpang tindih di dalam pengaturan pemanfaatan dan

pengelolaan laut secara terpadu. Sebagai contoh dalam aspek keterpaduan dispilin

ilmu, UU Pelayaran mengakui dan mengatur pengolahan serta pengelolaan usaha

pelayaran rakyat secara tradisional. Sedangkan UU Perikanan mengakui dan

mengatur berbagai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan namun kedua

UU ini tidak saling terkait satu sama lain. Padahal kegiatan ini seharusnya

dilakukan secara terpadu dalam multi disiplin ilmu karena merupakan satu

kesatuan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.

Selain itu, UU Perikanan dan UU Penataan Ruang seharusnya ada

koordinasi di dalam keterpaduan wilayah/ekologis. UU Penataan Ruang telah

Page 34: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

58

mengatur berbagai kegiatan dalam ruang lingkup penataan ruang, namun

perikanan malah tidak diatur.

Kebijakan yang tumpang-tindih berdampak pada kurang efektifnya

kegiatan pengawasan karena adanya biaya operasi yang mahal karena kurangnya

koordinasi, yang akan mempengaruhi investasi usaha perikanan yang menurun

karena tidak terjaminnya usaha investasi perikanan tangkap yang legal (Bappenas

2015). Tidak akan mudah membentuk kesatuan penegak hukum laut jika masing-

masing pihak yang berkecimpung di dalamnya masih mengutamakan ego

sektoralnya sendiri-sendiri.

Kapasitas kelembagaan penegakan hukum di bidang perikanan yang belum

kuat, tegas, dan independent (mandiri) juga diduga menjadi faktor yang

menghambat penegakan keamanan perairan Indonesia. Kendala lain yang

dihadapi terkait penindakan penenggelaman kapal illegal menurut Kepala Pusat

Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya dalam Kompas 26 November 2014,

adalah terkait dengan BBM yang memengaruhi waktu operasi. Selama ini, TNI

banyak belum membayar BBM dari Pertamina. Ia juga mengatakan bahwa dua

Guskamla (Bakorkamla dan TNI) itu belum optimal untuk seluruh perairan

Nusantara, demikian juga jumlah kapal patroli. Hal ini dibuktikan dengan merujuk

pada Tabel 4.1 yang menunjukkan bahwa banyaknya jumlah kapal pengawas pada

dasarnya secara kuantitas belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah kapal

yang melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia.

Page 35: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

59

Gambar 4.10. Potensi Kekuatan Armada Laut Indonesia

Sumber: Litbang “Kompas”/BIM/SAP, diolah dari KKP dan Laman Bakorkamla

Indonesia, The Military Balance 2014, www.jurnalmaritim.com

Lemahnya penegakan hukum di laut yang mendorong peningkatan kasus

pelanggaran oleh kapal asing menyebabkan Susi Pudjiastuti geram. Kasus IUU

Fishing yang semakin banyak terjadi dan tidak kunjung usai ditambah dengan

proses audit kapal asing yang jumlahnya ribuan tidak bisa dilakukan dengan cepat

karena proses audit yang begitu ketat. Hal ini melatarbelakangi munculnya

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2014 tentang

penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di

wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang berlaku sejak

November 2014.

Moratorium merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan perikanan

yang bertanggung jawab dan biasa dilakukan di dunia internasional. Kapal

perikanan yang terkena moratorium tidak bisa beroperasi karena izinnya tidak

diperpanjang. Dasar pelaksanaan moratorium ini diantaranya adalah pemulihan

sumberdaya ikan yang sudah terkuras, perbaikan lingkungan yang rusak sesuai

Page 36: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

60

asas keberlanjutan (sustainability) dan memantau kepatuhan pelaku usaha

penangkapan ikan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun

2014, maka berkuranglah jumlah kapal eks asing yang beroperasi di WPP NRI.

Konsekuensi lebih lanjut, akan berdampak pada penurunan hasil tangkap ikan di

PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera) dan PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara).

Mengacu pada Buku Data Pokok KKP (2014) diperoleh dua kondisi yang berbeda

antara sebelum moratorium yaitu 14 September s.d 2 November 2014 dan sesudah

moratorium yaitu 3 November s.d 23 Desembember 2014. Jika dilihat dari segi

nilai, total nilai produksi PPS dan PPN antara periode sebelum dan sesudah

moratorium mengalami penurunan sebesar 6,27 persen. Total nilai produksi PPS

dan PPN pada periode sesudah moratorium sebesar 1,84 triliyun rupiah, menurun

dari 1,97 triliyun rupiah pada periode sebelum moratorium.

Namun disisi lain, hal ini akan berbanding terbalik dengan volume dan

nilai produksi tangkapan di PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) yang cenderung

meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan aktivitas penangkapan

kapal-kapal eks asing dan secara tidak langsung membuat stok ikan di laut akan

tetap terjaga kelestariannya. PPP yang didominasi oleh nelayan kecil akan

mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak

saat berlayar.

Page 37: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

61

Tabel 4.2

Volume Tangkap Ikan di PPP Periode Sebelum dan Sesudah Moratorium

Satuan: Volume (Kg)

Sumber: Direktorat Pelabuhan Perikanan, Ditjen Penangkapan Tangkap, 2014

Memang tidak mudah untuk mengatasi permasalahan penangkapan ikan

illegal. Dan lagi, penegakan aturan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Susi ini

tidak berjalan mulus. Meskipun aturan ini dimaksudkan untuk menekan masuknya

kapal asing ke perairan Indonesia yang melakukan IUU Fishing, disisi lain

Grahadyarini (Kompas 27 Mei 2015) mengatakan bahwa aturan ini telah berimbas

pada tutupnya sejumlah usaha penangkapan ikan dalam negeri. Selama ini,

banyak usaha penangkapan ikan skala besar membeli kapal-kapal ikan dari luar

negeri karena produksi kapal ikan di dalam negeri belum memadai. Terhentinya

sejumlah usaha penangkapan ikan dalam negeri mengakibatkan merosotnya

pasokan bahan baku untuk unit pengolahan ikan. Di Manado, Sulawesi Utara,

tercatat delapan pabrik pengolahan ikan tutup dan sebanyak 26.000 buruh pabrik

dan usaha terkait perikanan dirumahkan.

Page 38: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

62

Bersusah-susah dahulu baru senang kemudian. Inilah ungkapan yang

harusnya disadari oleh banyak pihak untuk mendukung keberhasilan implementasi

kebijakan yang dibuat pemerintah dalam mewujudkan pengelolaan perikanan

yang berkelanjutan. Meskipun tidak dalam waktu yang sebentar, pastinya

kebijakan moratorium kapal lambat laun akan berdampak positif pada

perkembangan industri galangan kapal dalam negeri yang akan mendukung

terhadap perkembangan sektor perikanan di Indonesia. Tentunya hal tersebut juga

harus didukung dengan kerjasama dari seluruh stakeholders yang terkait.

Untuk mendukung sinergi yang kuat dalam penegakan hukum di laut maka

sejumlah kebijakan lain juga diterapkan, antara lain Permen KP No. 57 Tahun

2014 tentang pelarangan alih muatan kapal di tengah laut (transhipment). Aturan

ini diharapkan mampu berkontribusi dalam menekan tingginya jumlah kasus

pencurian ikan oleh kapal asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia.

4.4 Implementasi Kebijakan Pengamanan Wilayah Perairan di Norwegia

Luas wilayah perairan di Norwegia jauh lebih besar dibandingkan luas

daratannya yaitu enam kali lipat dari wilayah daratannya. Sama halnya dengan

Indonesia, pemerintah Norwegia menentang keras adanya Illegal, Unreported and

Unregulated Fishing (IUU Fishing) di wilayah perairannya. Untuk semua negara

yang memiliki wilayah laut, IUU Fishing adalah satu permasalahan trans-nasional

yang paling krusial yang harus dihadapi.

Page 39: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

63

Illegal fishing diartikan bahwa adanya pelanggaran terhadap hukum

nasional maupun internasional. Sedangkan unreported adalah suatu tindakan yang

tidak dilaporkan atau adanya kesalahan pelaporan kepada pihak yang berwenang

baik secara nasional maupun internasional atau bertentangan dengan aturan yang

ada. Unregulated diartikan bahwa kapal penangkap ikan tidak memiliki bendera

atau berasal dari negara yang tidak bergabung dalam member regional fisheries

management organisation. Jika ada kapal atau oknum yang termasuk dalam salah

satu kriteria tersebut maka sudah bisa dikatakan menjadi IUU Fisher.

Terkait dengan upaya memerangi terhadap praktik IUU Fishing,

pemerintah Norwegia menetapkan banyak regulasi. Untuk salah satu jenis ikan

cod yang bernama The Northeast Arctic Cod ini misalnya, pemerintah Norwegia

sangat tegas terhadap kasus pelanggaran penangkapan ikan illegal karena populasi

stok ikan inilah yang paling besar di dunia yang terdapat di Norwegia. Sejak tahun

2000, pemburuan ikan secara illegal terhadap jenis ikan ini hampir mencapai pada

level yang membahayakan.

Mengetahui hal tersebut, pemerintah secara tegas menegakkan aturan

melalui beberapa mekanisme. Salah satunya adalah mewajibkan semua kapal

yang beroperasi di wilayah perairan Norwegia untuk menggunakan satellite

tracking, melakukan pencatatan aktivitas perikanan dalam catch log book rangkap

dua dimana salah satunya akan dilaporkan kepada Kementrian Perikanan,

memberikan laporan dari awal mulai melakukan aktivitas penangkapan ikan

sampai selesai secara elektronik maupun menulis laporan secara manual, memiliki

Page 40: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

64

landing note, memiliki lisence to fish yang mengatur akses kapal untuk

menangkap spesies ikan tertentu, dll.

Dengan menegakkan aturan tersebut, diharapkan penangkapan ikan oleh

nelayan menjadi lebih bisa diawasi dan dapat dikoordinir untuk menjaga stok ikan

dan lingkungan laut itu sendiri. Memang tidak mudah untuk dapat

mewujudkannya dan tidak bisa dilakukan tanpa bantuan dari pihak lain. Untuk itu,

pemerintah Norwegia mulai fokus terhadap pengembangan resource control yang

dilakukan dengan adanya kerjasama dengan negara lain sejak tahun 1994 untuk

menjaga kawasan laut dan darat.

Salah satu kontrol yang dilakukan di laut dilakukan dengan cara

memeriksa kelengkapan dan kecocokan dokumen legalisasi penangkapan ikan

dengan data yang masuk di log book yang telah merekam spesifikasi karakteristik

tangkapan ikan. Kontrol di laut ini banyak dilakukan oleh coast guard. Sedangkan

kontrol yang dilakukan saat landing di darat dilakukan dengan cara memeriksa

bobot dan spesies hasil tangkapan yang dicatat ke dalam landing/sales note yang

di legalisasi oleh kapten kapal maupun pihak pembeli. Akurasi data disaat landing

ikan ini dapat dipantau dan terekam langsung oleh Kementrian Perikanan.

Salah satu wilayah perairan Norwegia yang dijaga ketat adalah laut

Barents yang menjadi cross-loading ikan dari luar negeri. Kapal asing yang akan

berlayar di wilayah Norwegia wajib memiliki lisensi dari Kementrian Perikanan

dan melaporkan hasil tangkapan apa saja yang diambil. Mereka diwajibkan untuk

memberikan laporan, baik dari awal terkait dengan penentuan prioritas spesies

Page 41: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

65

ikan yang akan ditangkap saat akan memasuki zona perairan Norwegia, maupun

laporan akhir saat mereka akan keluar dari zona perairan Norwegia. Apabila

diindikasi bahwa terjadi pelanggaran oleh kapal asing maka pengawas laut akan

langsung bertindak untuk melakukan inspeksi.

Salah satu sistem yang digunakan sehari-harinya oleh pengawas laut untuk

memonitoring kapal yang berada di perairan Norwegia adalah Vessels Monitoring

System (VMS). Laporan ini berisi tentang kepatuhan pengisian log book untuk

semua kapal terkait dengan pelaporan detil waktu, lokasi penangkapan ikan dan

spesies ikan yang ditangkap selambat-lambatnya 24 jam sebelum melakukan

pendaratan ikan. Lalu, kapal penerima hasil tangkapan ikan harus melapor

maksimum 1 jam setelah melakukan cross-landing, dan mengirim laporan paling

lambat 2 jam sebelum mendaratkan ikan. Kapal yang berlayar tanpa menggunakan

bendera identitas negara asal dilarang untuk melakukan cross-load dari wilayah

tertentu.

Jika terjadi pelanggaran terhadap hukum legal yang diberlakukan di

Norwegia, maka dapat dikenakan sanksi hukum dan sanksi administratif bagi

kapal Norwegia dan kapal asing yang beroperasi di perairan Norwegia. Sanksi

administratif ini dapat berupa penyitaan hasil tangkapan yang melebihi alokasi

kuota, menyita tangkapan ilegal dan penarikan lisensi penangkapan maupun

lisensi penjualan ikan. Sedangkan sanksi hukum dapat berupa memberikan

berbagai jenis denda, hukuman penjara yang bisa mencapai 2 tahun dan

mengambil alih kapal maupun sarana penangkapan ikan lainnya.

Page 42: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

66

Norwegia telah bekerjasama dengan banyak negara yang berkontribusi

penting dalam penghentian illegal fishing dan mengurangi pendaratan ikan illegal.

Norwegia mengontrol port state atau pelabuhan untuk menekan aktivitas IUU

Fishing dengan berpegang pada payung hukum yang dimiliki NEAFC (North-East

Atlantic Fisheries Commission). NEAFC adalah badan yang mengatur dan

mengawasi alokasi tangkapan dan stok ikan di Northeast Atlantic, mengatur

perairan internasional diluar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengawasan

NEAFC ini termasuk pada landing maupun transhipment ikan beku dan

mengawasi kapal asing yang beroperasi di area teritorial NEAFC.

Salah satu wilayah perairan yang berada dalam pengawasan NEAFC dari

tindakan IUU Fishing adalah the Loophole yaitu area perairan antara wilayah ZEE

Norwegia dan Rusia. Salah satu tindakan pencegahan yang dilakukan adalah

dengan menerapkan unilateral black list system dimana kapal yang pernah

memiliki catatan buruk pernah melakukan tindakan IUU Fishing tidak boleh lagi

mengambil ikan di wilayah ZEE meskipun sudah berganti kepemilikan.

Praktik IUU Fishing telah membuka peluang terjadinya praktek korupsi

terhadap rantai produksi dan distribusi ikan di Norwegia, khususnya ikan cod.

Disisi lain, praktik illegal ini dapat menjadi sarana untuk penyelundupan illegal

atau perdagangan illegal seperti obat-obatan terlarang, senjata dan human

trafficking. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk memerangi

IUU Fishing adalah dengan menerapkan pemeriksaan ketat terhadap dokumen

Page 43: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

67

legalisasi kapal yang dilakukan disetiap pelabuhan ikan serta mempersulit landing

ikan dan transhipment.

4.5 Analisis Perbandingan Kebijakan di Indonesia dan Norwegia

Menyadari betapa pentingnya sumberdaya hayati untuk menunjang

kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan protein, maka sudah menjadi

kewajiban bagi pemerintah dan masyarakat di dalamnya untuk menjaga

keberlanjutannya di masa yang akan datang. Tidak terkecuali di Indonesia dan

Norwegia. Meskipun memang tidak mudah dalam mengatasi permasalahan yang

ada di laut, seperti overfishing dan IUU Fishing maka kedua negara ini memiliki

berbagai macam regulasi perikanan yang telah diterapkan untuk menekan

tingginya masalah baik di bidang produksi dan pengamanan laut.

Pada dasarnya, peraturan yang diterapkan di Indonesia tidak jauh berbeda

dengan yang diterapkan di Norwegia. Di bidang produksi misalnya, untuk

mengatasi masalah overfishing pemerintah menerapkan kebijakan larangan

penggunaan alat tangkap yang dilarang seperti trawls dan seine yang bersifat

destruktif. Meskipun baru diterapkan, nyatanya aturan ini sedikit banyak sudah

mampu mengembalikan kondisi stok ikan yang semakin menipis di beberapa

WPP Indonesia. Meskipun memang pada awalnya aturan ini banyak ditentang

oleh berbagai kalangan namun nyatanya aturan ini mulai diterima oleh nelayan

pada khususnya.

Page 44: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

68

Respon masyarakat yang beragam ini merupakan dampak jangka pendek

yang harus dihadapi oleh KKP sebagai konsekuensi logis pemberlakukan suatu

kebijakan. Namun dilihat dalam jangka panjang ke depan, maka regulasi ini akan

memberikan dampak positif yang jauh lebih besar dengan adanya pemulihan stok

ikan dan perbaikan kondisi lingkungan laut. Norwegia juga memiliki prinsip

pengelolaan yang sama dengan Indonesia. Norwegia juga menerapkan aturan

yang mewajibkan semua kapal penangkap ikan untuk menggunakan alat tangkap

yang tidak bersifat destruktif.

Salah satu perwujudan dari konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan

yang diterapkan di Norwegia adalah sustainable harvesting. Dengan penerapan

prinsip strategis itulah, pemerintah Norwegia sangat menjaga ketat aturan

penangkapan ikan. Kemampuan pemerintah menciptakan kebijakan yang mampu

diimplementasikan dengan baik dan diterima masyarakat sehingga meminimalkan

pelanggaran hukum perlu menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia dalam

menerapkan kebijakan di wilayahnya.

Salah satu produk kebijakan itu adalah kebijakan pembatasan kuota

tangkap ikan di Norwegia yang diduga menjadi salah salah satu kebijakan kunci

keberhasilan di bidang produksi ikan. Kebijakan ini sudah lama diterapkan di

Norwegia. Berkat kerjasama yang baik dari semua stakeholders yang terkait,

maka implementasi kebijakan kuota ini bisa berhasil diterapkan di Norwegia.

Kebijakan ini nyatanya sukses membawa Norwegia menjadi salah satu negara

yang berhasil menerapkan pengelolaan ikan yang berkelanjutan.

Page 45: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

69

Kebijakan inilah yang dirasa perlu untuk diterapkan di Indonesia

kedepannya. Hal ini perlu untuk dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia

mengingat pentingnya menjaga sumberdaya hayati dan ekosistem laut yang

semakin terancam keberlanjutannya. Kebijakan kuota ini diharapkan kedepannya

mampu mengembalikan stok ikan yang semakin berkurang akibat menjamurnya

overfishing dan penggunaan alat tangkap yang merusak. Mengingat bahwa

Indonesia memiliki banyak sekali jenis dan spesies ikan, maka kebijakan kuota ini

bisa diterapkan pada beberapa jenis ikan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan

kriteria tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan domestik maupun luar negeri.

Lebih spesifik lagi, maka pemerintah dapat menerapkan kuota untuk penangkapan

jenis ikan untuk komoditas ekspor yang memiliki nilai ekonomis tinggi maupun

untuk jenis ikan tertentu yang mengalami penurunan stok. Mengingat salah satu

tujuan dari pembuatan regulasi yang dinyatakan oleh Nugroho (2014) adalah

sebagai stabilisator, maka beberapa regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah

dalam mengelola sektor perikanan bisa dikatakan sudah sesuai dengan tujuan

dibentuknya suatu kebijakan publik. Meskipun dalam praktik implementasinya

masih banyak ditemui kendala salah satunya adalah penegakan kebijakan itu

sendiri.

Belajar dari Norwegia, untuk menjamin berhasilnya kebijakan kuota untuk

diterapkan di Indonesia maka pemerintah perlu meninjau kembali fungsi sistem

pengawasan agar mampu mengkoordinir pemantauan segala macam aktivitas

perikanan yang berada di wilayah teritorial Indonesia. Pentingnya teknologi

Page 46: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

70

informasi untuk memantau luasnya laut Indonesia yang terbuka sangat mutlak

diperlukan. Dengan sistem yang dibuat langsung terhubung dengan KKP maka

pemerintah sekaligus dapat memantau kinerja SKPD, status wilayah perikanan

dan penanganannya, pemetaan pemanfaatan WPP, dll.

Dalam bidang keamanan laut, pada dasarnya fungsi peraturan yang dibuat

pemerintah Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan yang sudah diterapkan di

Norwegia. Setiap negara maritim perlu memiliki salah satu lembaga yang

berfungsi sebagai pengaman laut, seperti Norwegia saat ini Indonesia juga telah

memiliki coast guard. Di era pemerintahan Jokowi-JK, penguatan jati diri

Indonesia sebagai negara maritim kembali digairahkan dengan adanya Nawa Cita.

Pemerintah melakukan berbagai upaya perbaikan salah satunya dengan

merevitalisasi Bakorkamla yang bersifat koordinir menjadi Bakamla yang

ditetapkan sebagai Coast Guard yang memiliki kewenangan yang lebih luas

daripada sebelumnya.

Namun yang menarik untuk dibahas adalah kelengkapan kebijakan yang

dibuat oleh banyak lembaga pengelola laut justru tidak dapat saling bekerjasama

dengan baik dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan di

Indonesia. Salah satu kelemahan pemerintah Indonesia adalah lemahnya

kooordinasi diantara lembaga penegak hukum. Hal inilah yang menyebabkan

kebijakan yang dibuat masing-masing pihak tidak terpadu. Misalnya saja pada

kasus penanganan kapal yang terbukti melakukan tindakan illegal IUU Fishing

yang pada akhirnya ditenggelamkan. Hal ini terjadi karena jika tidak dilakukan

Page 47: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

71

penenggelaman, maka kapal tersebut akan bisa lolos dari kasus hukum dan

pengadilan karena dijual-belikan dengan pihak tertentu pada saat pelelangan dan

dapat kembali lagi ke negara asalnya.

Hal tersebut membuktikan bahwa hukum bisa dipermainkan dengan mulus

oleh mafia-mafia ikan di Indonesia. Berbeda dengan Norwegia, keberhasilan

pemerintah mengimplementasikan kebijakan di sektor perikanan dengan efektif

dan meminimalisasi pergerakan mafia perlu dicontoh. Kepatuhan nelayan

terhadap regulasi yang dibuat pemerintah Norwegia terjadi karena adanya

ketegasan hukum yang rigid dan tingginya kesadaran nelayan tentang pengelolaan

perikanan yang berkelanjutan.

Pemerintah Indonesia harus menegakkan kekuatan hukum yang sudah ada

karena saat ini di Indonesia untuk menangani segala macam kasus perikanan,

pemerintah dan aparat hukum dinilai masih belum optimal. Masih banyak kapal

asing yang bebas memasuki wilayah Indonesia serta mematikan alat radar agar

tidak terlacak oleh sistem pemantauan di pelabuhan atau kapal pengawas laut

Indonesia. Selain itu, ketidakpatuhan awak kapal dalam mengisi log book juga

dapat menyebabkan kurangnya akurasi data perikanan saat ini. Selain itu,

banyaknya mafia yang “bermain” di dalam sektor perikanan juga menjadi

penghambat terciptanya pengelolaan sektor perikanan yang kondusif di Indonesia.

Dalam pembuatan kebijakan, kedepannya maka pemerintah perlu

meningkatkan peran dan keterlibatan asosiasi nelayan, asosiasi pedagang,

pemerintah daerah, lembaga konservasi lingkungan dan pihak-pihak lain di dalam

Page 48: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

72

penyusunan suatu kebijakan. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk

meningkatkan sosialisasi pemberlakuan kebijakan kepada seluruh stakeholders di

dalam sektor perikanan dan kelautan terutama adalah nelayan. Sosialisasi yang

transparan sehingga dapat menyampaikan maksud dan tujuan dari si pembuat

kebijakan, maka akan sangat menentukan keberhasilan bagaimana kebijakan itu

bisa diterapkan dan diterima oleh masyarakat, khususnya nelayan yang berperan

sebagai obyek sekaligus subyek kebijakan. Masyarakat sebagai obyek berarti

bahwa kebijakan itu dibuat untuk mengatur masyarakat, sedangkan subyek berarti

bahwa pada dasarnya masyarakatlah yang sebenarnya melakukan kebijakan itu

dan menjadi salah satu kesuksesan implementasi dari kebijakan itu sendiri.

Page 49: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

73

Tabel 4.3.

Matriks Perbandingan Pelaksanaan Kebijakan Alat Tangkap Ikan dan Pengamanan Laut Antara Indonesia dan Norwegia

Negara

Item

Indonesia Norwegia

Kebijakan Pelaksanaan Kebijakan Pelaksanaan

Kebijakan Alat

Tangkap Ikan

1. Keppres No.39 Tahun

1980 tentang

penghapusan jaring

trawl di perairan Jawa,

Sumatera, dan Bali

2. Permen KP No.2 Tahun

2015 Tentang

Pelarangan Penggunaan

Pukat Hela (traws) dan

pukat tarik (seine nets)

di seluruh WPP

Indonesia

Reaksi kontra antara lain

ditunjukkan dengan

adanya aksi demo nelayan

di berbagai wilayah. Disisi

lain setelah pemerintah

memberikan jeda waktu

penyesuaian kebijakan

selama 8 bulan terhitung

sejak bulan Januari 2015

sampai dengan September

2015; muncul reaksi pro

antara lain dengan adanya

peningkatan hasil tangkap

ikan. Jeda waktu ini

diberikan sebagai sarana

untuk menggali reaksi

publik yang konsekuensi

terhadap penyesuaian

kebijakan dalam

pelaksanaannya secara riil.

1. Technical Regulation:

- Minimum Landing Size

- Maximum Bycatch

- Ukuran jaring

minimum

- Pemilihan Alat

Tangkap

Dalam perumusan

kebijakan pemerintah

menggunakan pendekatan

partisipatory sehingga

keterlibatan nelayan

dalam perumusan

kebijakan tinggi.

Sehingga, dalam

penerapannya tidak

menemukan kendala yang

berarti. Penerapan aturan

ini langsung direspon

oleh nelayan setempat

dengan kepatuhan

mandiri atau kesadaran

nelayan itu sendiri untuk

mematuhi.

Analisis

Di kedua negara sama-sama menerapkan kebijakan alat tangkap ikan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi di

Norwegia, sementara tidak demikian untuk di Indonesia. Diduga, rendahnya tingkat partisipasi nelayan di dalam

perumusan kebijakan di Indonesia sehingga memunculkan berbagai respon, baik respon pro maupun kontra. Sedangkan

tidak demikian dengan di Norwegia; sehingga jika Indonesia ingin berhasil di dalam penerapan kebijakan maka perlu

Page 50: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

74

meningkatkan partisipasi nelayan di dalam perumusan kebijakan dalam mewujudkan keberlanjutan kesejahteraan

nelayan yang bersumber matapencaharian pada perikanan.

Kebijakan Pembatasan

Akses Kapal ke

Wilayah Laut

- -

1. Penutupan fishing ground

yang menjadi stok basis

dan mengalami degradasi

biologis (closed area to

stock basis)

2. Limit Access to Fisheries

Pemerintah melalui

Kementerian dan Coast

Guard bertanggungjawab

terhadap kontrol aktivitas

semua kapal yang masuk

ke wilayah perairan

Norwegia baik dari kapal

asing maupun kapal

Norwegia itu sendiri.

Penerapan aturan sudah

optimal dan dilakukan

dengan disiplin.

Analisis

Belum adanya kebijakan pembatasan akses kapal ke wilayah laut di Indonesia berdampak pada lemahnya kontrol

terhadap sumberdaya ikan dan berkontribusi pada meningkatnya masalah overfishing. Sedangkan penerapan kebijakan

tersebut sudah berhasil dilakukan di Norwegia, sehingga untuk mendukung peningkatan kontrol sumberdaya ikan dan

mengatasi masalah overfishing maka pemerintah Indonesia perlu membuat kebijakan pembatsan akses kapal ke wilayah

laut di Indonesia secara keseluruhan baik untuk nelayan di PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai), PPS (Pelabuhan Perikanan

Samudera) dan PPN (pelabuhan Perikanan Nusantara). Hal ini dilakukan untuk mendukung managemen strategis dalam

kontrol sumberdaya ikan di laut dan menghindari overfishing di wilayah laut tertentu.

Kebijakan Pembatasan

Penangkapan Ikan - -

1. Pembatasan Kuota

Tangkap Ikan (Total

Allowable Catch)

Sudah berhasil diterapkan

pada 90% hasil tangkapan

ikan di Norwegia dan

memberikan dampak

positif dalam mendukung

pengelolaan perikanan

yang berkelanjutan.

Analisis

Belum adanya penerapan kebijakan pembatasan penangkapan ikan di Indonesia, diduga menjadi alasan maraknya

overfishing yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya itu, hal ini juga diduga dapat memicu aktivitas penangkapan ikan yang

tidak teratur karena tidak adanya kejelasan aturan tentang pedoman pelaksaan teknis dan kuota tangkap. Dimana lambat

laun dalam jangka waktu yang lama akan beresiko terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada di perairan

Page 51: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

75

Indonesia. Berbeda dengan Norwegia yang sudah menerapkan pembatasan kuota dan jelas penerapan aturan ini

membawa dampak yang baik terhadap pengelolaan perikanan berkelanjutan yang ada disana. Untuk itu, Indonesia perlu

menerapkan aturan ini dalam upaya perbaikan dan peningkatan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan kedepannya.

Kebijakan

Pengamanan Laut

Menyeluruh

1. Perpres No.81 Tahun

2005 tentang Badan

Koordinasi Keamanan

Laut (Bakorkamla)

2. PP No.178 Tahun 2014

Tentang Pembentukan

Badan Keamanan Laut

(Bakamla) Sebagai

Coast Guard

Bakorkamla dinilai belum

optimal dan tidak efektif

karena lembaga ini bersifat

multi-agent dan single-

tasking. Selain itu, hanya

bersifat koordinasi bagi 12

instansi pengamanan laut

lainnya yang seringnya

berjalan sendiri-sendiri

dan tidak berkoordinasi

dengan Bakorkamla. Hal

ini justru menimbulkan

tumpang-tindih

kewenangan yang

membuat keamanan laut

tidak optimal.

Berdasarkan latar belakang

inilah kini pemerintah

merevitalisasi Bakorkamla

menjadi Bakamla yang

bersifat single agent –

multi tasking yang menjadi

satu-satunya lembaga

penegak keamanan di laut

Indonesia kedepannya.

1. Resource and Rescue

Control yang dilakukan

oleh:

- Kementerian

Perikanan dan

Kelautan Norwegia

- The Sales

Organisation

- Coast Guard

Kerjasama yang solid dan

kooperatif dari ketiga

lembaga ini sudah

diwujudkan dengan

adanya kontrol yang ketat

terhadap seluruh aktivitas

di perairan Norwegia baik

dari kapal asing maupun

dari kapal domestik itu

sendiri.

Ketiga lembaga ini dapat

berjalan beriringan

sehingga tumpang-tindih

kewenangan sangat bisa

diminimalisir.

Analisis

Di kedua negara sama-sama sudah menerapkan kebijakan pengamanan laut secara menyeluruh dengan tingkat

keberhasilan yang tinggi di Norwegia; sedangkan tidak di Indonesia. Diduga, banyaknya lembaga keamanan laut yang

memiliki ego sektoral yang tinggi di Indonesia menyebabkan sulitnya menciptakan kerjasama yang kooperatif. Selain itu,

hal ini seringnya menyebabkan tumpang-tindih kewenangan yang menjadikan pengamanan laut menjadi tidak efektif dan

Page 52: 10,000,000 Perikanan 5,000,000 Tangkap

76

efisien. Sehingga, jika Indonesia ingin berhasil di dalam penerapan aturan ini maka dengan adanya revitalisasi

Bakorkamla menjadi Bakamla yang bersifat single agent – multi tasking bisa diperkuat dan meningkatkan kontrol ketat

disetiap pelabuhan di seluruh WPP dan meningkatkan kerjasama dengan negara lain sebagai upaya pengamanan wilayah

laut terlebih pada wilayah perbatasan.

Kebijakan Terhadap

Penanganan Pencurian

Ikan Illegal

1. Permen KP No.115

Tahun 2015 tentang

Pembentukan Satgas

Pemberantasan

Penangkapan Ikan

Secara Illegal

2. Permen KP No.56

Tahun 2014 tentang

Penghentian Sementara

(Moratorium) Perizinan

Usaha Tangkap di WPP

Indonesia

3. Permen KP No.57

Tahun 2014 tentang

Pelarangan Alih Muatan

Kapal di Tengah Laut

(Transhipment)

4. Penenggelaman Kapal

Lemahnya penegakan

hukum di laut mendorong

peningkatan kasus

pelanggaran oleh kapal

asing.

Kasus IUU Fishing yang

semakin banyak terjadi;

Birokrasi pengadilan yang

bertele-tele dan tidak tegas;

antara lain adanya kasus

tidak kunjung usai

ditambah dengan proses

audit kapal asing yang

jumlahnya ribuan tidak bisa

dilakukan dengan cepat

karena proses audit yang

begitu ketat.

1. Regional and

International

Cooperation

2. Sanksi Hukum dan

Sanksi Admininstratif

3. Technical Regulation:

- Sattelite Tracking

- Pengisian Catch

Log Book

- Landing Note

- Sertifikat Ikan

- Blacklist System

Norwegia memiliki

kerjasama yang sangat

baik dengan negara

tetangga untuk

mendukung terciptanya

lingkungan yang aman

dan pengawasan yang

ketat terhadap

kriminalitas di laut.

Hal ini juga didukung

dengan penegakan

kebijakan teknis yang

ketat sehingga pada

praktiknya dapat

menekan angka

kriminalitas di laut.

Analisis

Pada dasarnya kedua negara sudah sama-sama menerapkan kebijakan terhadap penanganan pencurian ikan illegal dengan

tingkat keberhasilan yang tinggi di Norwegia. Diduga, keterbatasan teknologi pendukung menyebabkan sistem

monitoring aktivitas perikanan di Indonesia saat ini tidak mampu mengatasi seluruh kasus pencurian ikan illegal. Selain

itu, lemahnya penegakan hukum dan birokrasi pengadilan yang bertele-tele memberikan peluang bagi para mafia untuk

bisa mempermainkan hukum di Indonesia. Sumber: Diolah dari berbagai sumber*, 2016