10 M. Zainuddin...SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009 96 Namun, kelompok ini kemudian...

24
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009 Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama Oleh: M. Zainuddin * Abstrak Ada dua tujuan penelitian ini, pertama untuk memahami perilaku elit agama, kedua untuk memahami perdebatan pluralisme agama dari para elit agama. Hasil penelitian ini adalah: pertama, tipologi perilaku keagamaan dapat dikategorikan sebagai eksklusif, inklusif, dan plural; kedua, terdapat dua pendapat mengenai pluralisme agama. Menurut kelompok pertama, pluralisme agama adalah sesuatu yang harus ada (conditio sin quanon), sementara bagi kelompok kedua, pluralisme agama adalah sejenis gagasan dan bukan sesuatu yang harus ada. Menurut kelompok inklusif (yakni kelompok yang menolak pluralisme agama), makna pluralisme dan plural berbeda. Plural merupakan sesuatu yang harus ada (conditio sin quanon), sementara pluralisme merupakan sebuah gagasan yang menyatakan bahwa seluruh agama itu benar dan itu sunnatullah (hukum alam). Menurut Islam radikal, seperti MMI, HTI, FPI, dan MUI, mereka dengan jelas menolak pluralisme agama. Sementara bagi elit Kristen persoalan yang terkenal disebut extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja). Kata kunci: pluralisme agama, eksklusif, inklusif, plural A. Pendahuluan Jika ditinjau dari sudut keberagamaan, manusia memiliki sikap keberagamaan yang berbeda-beda. Ada yang eksklusif, inklusif dan plural (paralel). 1 Sejalan dengan kategori di atas, Mulder 2 juga membagi sikap keberagamaan seseorang dalam empat kelompok atau aliran: pertama, ”aliran kanan”, 3 kedua, aliran ”sedikit kanan”, 4 ketiga, aliran ”sedikit kiri”, 5 * Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 1 Raimondo Panikkar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 18-22, Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-Islam” dalam Elga Sarapung dan Tri Widiyanto (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2005), pp. 170-180. 2 Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama di Dunia Modern” dalam Th Sumartana et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), pp. 212-214. 3 Pandangan di atas juga disebut eksklusif. 4 Aliran yang menerima dialog antarumat beragama, namun mereka berpandangan bahwa dialog antarumat beragama harus bersifat missioner. Pandangan seperti ini menurut Mulder masih dianut oleh beberapa teolog terkemuka di kalangan Dewan- dewan Gereja se-Dunia. 5 Pandangan di atas juga disebut inklusif.

Transcript of 10 M. Zainuddin...SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009 96 Namun, kelompok ini kemudian...

  • SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    Oleh: M. Zainuddin *

    Abstrak

    Ada dua tujuan penelitian ini, pertama untuk memahami perilaku elit agama, kedua untuk memahami perdebatan pluralisme agama dari para elit agama. Hasil penelitian ini adalah: pertama, tipologi perilaku keagamaan dapat dikategorikan sebagai eksklusif, inklusif, dan plural; kedua, terdapat dua pendapat mengenai pluralisme agama. Menurut kelompok pertama, pluralisme agama adalah sesuatu yang harus ada (conditio sin quanon), sementara bagi kelompok kedua, pluralisme agama adalah sejenis gagasan dan bukan sesuatu yang harus ada.

    Menurut kelompok inklusif (yakni kelompok yang menolak pluralisme agama), makna pluralisme dan plural berbeda. Plural merupakan sesuatu yang harus ada (conditio sin quanon), sementara pluralisme merupakan sebuah gagasan yang menyatakan bahwa seluruh agama itu benar dan itu sunnatullah (hukum alam). Menurut Islam radikal, seperti MMI, HTI, FPI, dan MUI, mereka dengan jelas menolak pluralisme agama. Sementara bagi elit Kristen persoalan yang terkenal disebut extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja).

    Kata kunci: pluralisme agama, eksklusif, inklusif, plural

    A. Pendahuluan

    Jika ditinjau dari sudut keberagamaan, manusia memiliki sikap keberagamaan yang berbeda-beda. Ada yang eksklusif, inklusif dan plural (paralel).1 Sejalan dengan kategori di atas, Mulder2 juga membagi sikap keberagamaan seseorang dalam empat kelompok atau aliran: pertama, ”aliran kanan”,3 kedua, aliran ”sedikit kanan”,4 ketiga, aliran ”sedikit kiri”,5

    * Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 1 Raimondo Panikkar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 18-22,

    Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-Islam” dalam Elga Sarapung dan Tri Widiyanto (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2005), pp. 170-180.

    2Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama di Dunia Modern” dalam Th Sumartana et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), pp. 212-214.

    3Pandangan di atas juga disebut eksklusif. 4 Aliran yang menerima dialog antarumat beragama, namun mereka berpandangan

    bahwa dialog antarumat beragama harus bersifat missioner. Pandangan seperti ini menurut Mulder masih dianut oleh beberapa teolog terkemuka di kalangan Dewan-dewan Gereja se-Dunia.

    5Pandangan di atas juga disebut inklusif.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    94

    keempat, ”aliran kiri”.6 Sedangkan Mukti Ali7 membagi sikap keberagamaan seseorang dalam lima aliran: pertama, sinkretis8, kedua, reconception,9 ketiga, sintesis,10 keempat, penggantian,11 kelima, agree in disagreement.12

    Pluralisme agama merupakan isu yang sangat popular di kalangan agamawan maupun para akademisi. Sejak pluralisme agama dieksternalisasi oleh agama Kristen Protestan di Barat, sejak itu isu tersebut sangat fenomenal dan menyejarah. Tidak hanya di kalangan agamawan Kristen, tetapi juga di kalangan agamawan Islam.

    Di Indonesia, isu pluralisme agama menjadi marak setelah diusung oleh Nurcholish Madjid, Mukti Ali, Djohan Efendi, dan pada tahun-tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, Budhy Munawar Rahman dengan Paramadina-nya, Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya. Di kalangan agamawan Indonesia, baik Islam maupun Kristen, pluralisme agama juga direspon dan dimaknai secara berbeda-beda (terdapat pro dan kontra).

    Bagi kelompok Islam radikal seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ismail Yusanto, juru bicara HTI, bahwa pluralisme agama adalah absurd. Senada dengan Anis, Yusanto menegaskan bahwa pluralisme agama adalah paham dari Barat yang dikembangkan dari teologi inklusif yang bertentangan dengan QS. Ali Imran: 85; “Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi”. Berdasarkan ayat tersebut, Yusanto yakin bahwa kebenaran hanyalah milik dan monopoli umat Islam.13 Di kalangan Kristen, pandangan ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama, sehingga dikenal ungkapan extra ecclesiam nulla salus

    6Pandangan di atas juga disebut plural/ paralel. 7Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam

    Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992), pp. 227-229.

    8Pandangan di atas juga disebut plural/ paralel. 9Yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan

    agama-agama lain. 10Yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari

    pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu.

    11Istilah lain yang lebih tepat menurut penulis adalah ekslusif. 12Istilah lain yang sinonim dengan ini adalah inklusif. 13Sumbulah, “Islam Radikal dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial

    Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”, Disertasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006), p. 13.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    95

    (tidak ada keselamatan di luar gereja). Tokohnya antara lain Karl Bath dan Hendrick Kraemer dan pada umumnya para teolog evangelis.14

    Sementara itu, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan pluralisme agama dalam pengertian, bahwa "semua agama adalah sama". Karena menurut MUI, implikasi pemahaman seperti ini akan mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti ajaran lain, yang demikian itu tidak dikehendaki oleh ajaran manapun.15 Sejalan dengan MUI, Frans Magnis Suseno juga tidak setuju dengan paham relativisme agama-agama ini. Menurut Suseno,16 pluralisme bukanlah relativisme dan bukan pula paham yang mengakui bahwa semua agama adalah sama benarnya, melainkan pluralisme adalah suatu realitas yang harus diterima bahwa manusia hidup bersama dalam keberbedaan baik budaya maupun agama. Suseno meniscayakan “pluralisme”, tetapi tidak dalam pengertian “relativisme”.

    Di Barat sendiri terdapat dua aliran besar terkait dengan hal di atas, yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan agama-agama (trancendent unity of religions), atau dengan istilah lain, paham ”modern” dan paham ”tradisional”. Munculnya kedua aliran di atas dilatarbelakangi oleh motif yang berbeda. Bagi aliran pertama (modern) yang pada umumnya diwarnai oleh perspektif sosiologis, motif utamanya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi. Atas dasar ini, maka agama harus dikaitkan dengan dua tuntutan dimaksud. Gagasan yang ditawarkan oleh kelompok ini adalah konsep dunia tanpa batas geografis, kultural, ideologis, teologis dan seterusnya. Artinya, semua identitas tersebut harus dilebur dengan zaman modern. Mereka yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan pada gilirannya akan saling mendekat, tidak ada perbedaan, alias ”semua agama sama”.17

    Sementara aliran kedua (tradisional) yang pada umumnya menggunakan pendekatan filosofis dan teologis, justru menolak dua tuntutan modernisasi dan globalisasi tersebut yang cenderung menepikan agama. Kelompok ini berusaha mempertahankan eksistensi agama dan tradisi-tradisinya melalui pendekatan religius-filosofis. Agama tidak bisa begitu saja diubah sesuai tuntutan zaman, modernisasi atau globalisasi.

    14Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-

    Islam”, p. 171. Lebih detail pembahasan ini bisa dibaca dalam tulisan Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), pp. 31-86.

    15Ibid. 16 Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin

    et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006), pp. 13-26.

    17Ibid.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    96

    Namun, kelompok ini kemudian juga menawarkan konsep yang diambil secara paralel dari tradisi-tradisi agama. Salah satu konsep utamanya adalah ”Sophia-Perrenis” (al-hikmah al-khalidah), atau dalam Hindu disebut Sanata Dharma.18

    Dalam konteks ini, terdapat dua kelompok pemikiran besar dalam merespon pluralisme agama. Kelompok pertama menganggap bahwa pluralisme agama sebagai sesuatu yang niscaya (conditio sin quanon), sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa pluralisme agama sebagai paham dan bukan hal yang niscaya.

    Menurut kelompok yang menolak pluralisme agama, mereka berpendapat bahwa ”pluralitas agama” dan ”pluralisme agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas agama adalah kondisi di mana pelbagai macam agama mewujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan ”pluralisme agama” adalah suatu paham yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Pluralisme tersebut menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu, menganggap ”pluralisme agama” sebagai sunnah Allah adalah claim yang keliru dan berlebihan.19 Tulisan ini melihat perdebatan di seputar pluralisme agama, dan bagaimana mereka merespon pluralisme agama tersebut.

    B. Pluralisme Agama dalam Perdebatan

    Pluralisme semula merupakan terminologi filsafat yang berkembang di dunia Barat. Istilah ini muncul dari pertanyaan ontologis tentang ”yang ada” (what is being?). Dalam menjawab pertanyaan tersebut kemudian muncul empat aliran yaitu: monisme, dualisme, pluralisme dan agnotisisme. Monisme beranggapan bahwa ”yang ada” itu hanya satu, yang serba spirit, serba roh dan serba ideal. Aliran ini kemudian dikenal dengan monisme-idealisme yang dipelopori oleh Plato. Dualisme beranggapan bahwa ”yang ada” itu terdiri dari dua hakikat, yaitu materi dan roh. Aliran ini dipelopori oleh Descartes. Pluralisme beranggapan, ”yang ada” itu tidak hanya terdiri dari materi dan roh atau ide, melainkan terdiri dari banyak unsur. Lalu agnotisisme mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakekat materi maupun rohani termasuk juga yang mutlak dan transenden.20

    18Ibid., p. 7. 19Lihat Majalah Islamiya dalam Pengantar, Tahun I No. 3 (September-Nopember

    2004), pp. 5-6. 20M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka,

    2006), pp. 25-26.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    97

    Dalam pandangan selanjutnya, pluralisme beranggapan bahwa kebenaran tidak hanya datang dari sumber yang satu, yang serba ideal, melainkan juga berasal dari sumber lainnya, yang bersifat plural. Pandangan ini dipelopori oleh Leibniz dan Russel. Di Inggris pluralisme semakin populer pada awal abad 20 melalui para tokoh seperti F. Maitland, S.G. Hobson, Harold Laski, R.H. Tawney dan GDH Cole.21

    Wacana pluralisme baik yang digulirkan oleh Leibniz, Russel, Maitland dan kawan-kawan dilakukan untuk menetralisir kontroversi antara Gereja Anglikan dan Gereja Katolik serta munculnya denominasi (sekte-sekte) yang ada dalam Protestan. Dari sinilah kemudian para filsuf itu menggagas perlunya kebebasan beragama, tanpa ada dominasi kelompok mayoritas Katolik terhadap minoritas Protestan di Perancis abad 17.22

    Dalam bidang filsafat, paham pluralisme—yang berbeda dengan monisme dan dualisme—setidaknya menyatakan dua ciri utama, yaitu bahwa (a) realitas tidak tersusun dari satu atau salah satu dari jenis substansi yang unik; (b) realitas dapat dipecahkan dalam sejumlah lingkungan yang sama sekali berbeda dan tidak dapat direduksi menjadi satu kesatuan. Dalam hal ini, orang memiliki pandangan yang secara mendasar berbeda berkenaan dengan asas-asas utama, khususnya berkaitan dengan agama dan makna terdalam dari kehidupan manusia. Perbedaan itu dapat dianggap mengandung potensi konflik mendalam yang hanya dapat ditepis manakala ada sistem nilai yang bersifat umum yang diterima bersama (misalnya martabat manusia yang sama), jika diandaikan perlunya ada tindakan sosial dan politik dalam satu masyarakat tertentu. Implikasi lebih jauh dari pluralisme adalah pembenaran keberagaman filsafat, seraya menegaskan bawa semua kebenaran bersifat nisbi, bahwa semua keyakinan filosofis dan keagamaan bersifat nisbi secara murni, yang merupakan ungkapan pendapat pribadi yang mempunyai nilai yang sama. Itu berarti bahwa dianggap tidak ada satu sumber atau asas dari kebaikan, melainkan yang ada adalah banyak, kebaikan yang terpisah dari otonom dan masing-masing kebaikan itu tidak dapat direduksi ke dalam satu kesatuan.23

    21Lihat pula Muhyar Fanani, “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide

    Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat’ dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam, (Salatiga: P3M STAIN Salatiga, 2003), p. 19.

    22Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2 (Jakarta: Kanisius, 1980), p. 36.

    23M.M. Billah, "Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM", Makalah (Malang: UIN Malang, 2007), p. 7.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    98

    Jika perspektif pluralisme ini digunakan untuk melihat fenomena aliran keagamaan, maka lahirlah pandangan bahwa: (a) kebenaran yang diakui oleh setiap aliran (agama) bersifat nisbi, dengan kata lain, bahwa tidak ada kebenaran tunggal; (b) kebenaran yang diakui oleh setiap aliran memiliki nilai yang sama dan tidak satupun berada di atas yang lainnya; (c) aliran keagamaan harus diperlakukan sebagai entitas eksistensial mandiri yang menganut pandangan filsafat dan sistem nilai sendiri yang dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk dan tradisi. Ini artinya, bahwa setiap aliran keagamaan tidak bisa direduksi dan dipaksa bersatu dengan aliran lain, dan tidak satupun aliran keagamaan yang bisa meniadakan aliran yang lain. Dengan demikian, menurut M.M. Billah, filsafat pluralisme yang pro-eksistensi dapat dijadikan landasan yang kokoh bagi kemajemukan agama dan kebenaran berbagai aliran keagamaan serta kesuburan bagi perkembangan pemikiran keagamaan.24

    Billah melihat pluralisme agama dalam beberapa aspek kajian: filsafat, sosial, budaya dan politik. Menurut Billah, perspektif pluralisme sosial menangkal relasi sosial antar kelompok dan aliran keagamaan yang dominatif dan hegemonis, dan menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu kelompok atau aliran. Sedangkan perspektif pluralisme budaya akan mencegah hilangnya satu aliran karena dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis, dan di sisi lain menangkal arogansi aliran keagamaan arus utama yang seringkali tergoda atau secara historis-empiris melakukan pelecehan dan penindasan aliran atau agama lain. Sementara pluralisme politik dapat menjadi dasar bagi jaminan kebebasan memiliki keyakinan dan mengekspresikannya tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan, karena tersedia lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran keagamaan.

    Bertolak dari aspek-aspek pluralisme agama di atas, maka menurut Billah, pluralisme agama memiliki afinitas yang kuat bagi kehidupan demokrasi di masa depan, dan oleh karenanya dapat dijadikan salah satu unsur dari semua anasir yang digunakan untuk memahami dan bersikap terhadap pluralitas agama dan keberadaan aliran keagamaa yang ada, serta menjadi landasan bagi pemberdayaan masyarakat sipil yang demokratis dan menjunjung tinggi martabat manusia.25

    Sebagaimana inklusivisme yang muncul karena keberatan terhadap eksklusivisme, maka pluralisme muncul karena keraguan terhadap inklusivisme. Jika kaum inklusivis bersifat Kristosentris, maka kaum pluralis bersifat Teosentrik. Tetapi bukan berarti kekhususan Yesus

    24Ibid. 25Ibid, pp. 8-9.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    99

    dipertanyakan. Bagi orang Kristen ya, tetapi tidak bisa dipaksakan kepada agama lain. Dalam hal ini Paul F. Knitter memperkenalkan model pluralisme korelasional, sebagaimana ungkapnya: “Jika kita mengubah (tidak berarti meninggalkan) pendekatan Kristosentrisme terhadap penganut agama lain menjadi pendekatan Teosentris, hal itu merupakan suatu usaha untuk memahami dan mempertahankan iman Kristen secara lebih dalam”. Alasannya karena misteri Ilahi yang kita kenal dalam Yesus dan yang kita sebut sebagai Allah, itu jauh lebih luas daripada realitas dan pewartaan Kristus. Jadi, harus ada keterbukaan pada kemungkinan bahwa agama-agama lain bisa mempunyai pandangan dan jawabannya sendiri terhadap misteri Ilahi sehingga mereka tidak harus secara sepihak dimasukkan ke dalam agama Kristen. Justru yang terjadi harus sebaliknya, saling memberi masukan untuk memahami misteri Ilahi itu. Sehubungan dengan pengakuan dimensi keselamatan dalam agama lain, model ini juga bersifat Soteriosentrik. Dimensi keselamatan dalam setiap agama diakui sebagai yang benar menurut penganutnya. Yesus adalah jalan keselamatan, tetapi bukan satu-satunya.26

    Sementara itu, John Hick27 membagi pluralisme agama dalam empat macam wajah: pertama, pluralisme agama normatif (normative-religious pluralism), yaitu pluralisme agama yang menyeru kepada semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi; kedua, pluralisme agama soteriologis (soteriological-religious pluralism). Pluralisme agama ini berpandangan, bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Pluralisme agama ini merupakan lanjutan dari pluralisme religius-normatif; ketiga, pluralisme agama epistemologis (epistemological-religious pluralism). Pluralisme agama ini menegaskan bahwa umat Kristiani tidak memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas keimanan mereka dibandingkan para penganut agama lain. Oleh kerena itu, para penganut agama-agama besar di dunia ini memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan agama—yang menurut Hick—paling tepat ditemukan dalam pengalaman keagamaan (religious experience); keempat, pluralisme agama aletis (alethic-religious pluralism). Pluralisme agama ini menegaskan, bahwa kebenaran

    26Christian Tanduk, Analisa Kritis Terhadap Tiga Model Perjumpaan dengan Agama lain

    Menuju Kristologi, Misiologi dan Eklesiologi Kontekstual, (Makalah tidak diterbitkan, 2007). Bandingkan dengan Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama Islam-Kristen”, dalam Sumartana et.al. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,. (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2005), pp. 175-176.

    27Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, terj. Arif Mulyadi dan Ana Farida, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), pp. 8-10.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    100

    agama harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama sebagaimana yang dapat ditemukan dalam agama Kristen.28

    Menurut Hick29 bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai pandangan dunia (world-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang, sebagaimana kata Soroush,30 adalah seorang teolog yang membela pluralisme dan inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee.

    Dalam menghadapi pluralisme agama, John Hick menawarkan pendekatan lintas budaya (cross-cultural), yang berpandangan bahwa ada satu Tuhan tak terbatas (Maha Kuasa) yang ada di balik semua kesan dan pandangan agama yang berbeda. Oleh sebab itu, menurut Hick, tidak beralasan bagi suatu agama yang mengklaim dirinya paling benar dan menganggap agama yang lain salah. Adalah tidak mungkin bahwa kesan paling lengkap atau kurang lengkap tentang Tuhan dilakukan dalam tradisi keagamaan yang berbeda. Dalam karyanya, On Grading Religions,31 Hick berusaha menilai agama-agama itu sebagai tradisi-tradisi yang utuh, (total) ketimbang melihatnya sebagai fenomena keagamaan yang partikular dan pada akhirnya merupakan kerja yang tidak realistik. Hick melihat tradisi perbedaan keagamaan dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness, istilah yang dipakai Tracy) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-Centredness). Hick dalam hal ini menganalisis kriteria dan pendekatan-pendekatan evaluatif yang mungkin dapat membantu dalam menilai kultur keagamaan secara lengkap dan utuh.32

    Hick menganalisis tiga kriteria ketika orang menyambut dan menerima perantara Tuhan dalam membangun sebuah tradisi keagamaan.

    28Ibid., pp. 46-47. Karya Legenhausen ini juga diterjemahkan dalam bahasa Arab

    oleh Mukhtar al-Asadi dengan judul al-Islam wa al-Ta'addudiyyah al-Diniyyah, (Iran: Muassasah al-Huda li al-Nashr Wa al-Tab'i, 2000).

    29Lihat Zakiyuddin, Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (Yogyakarta: Lesfi, 2002), p. 20.

    30Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2003), p. 104.

    31Hick, Problem of Religious Pluralism, (London: The MacMillan Press, 1985), p. 467. 32Dean (ed.), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross-Cultural Philosophy of

    Religion, (State University of New York, 1985). Lihat juga Mary Ann Stenger dalam Thomas Dean, ed., (1985), p. 92.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    101

    Pertama, kriteria moral yang didasarkan pada sebuah tatanan moral universal, yang mempertanyakan: Apakah perantara (mediator) itu lebih baik dari kejahatan, dan apakah ajarannya menawarkan sebuah visi moral lebih baik dari pada moralitas umum yang ada? Kedua, kriteria yang menfokuskan pada kemampuan mediator untuk mengungkapkan visi baru tentang realitas yang mendorong manusia untuk mengikutinya: Apakah visi baru itu lebih baik, dan apakah kehidupan baru dan lebih baik itu bisa melalui mediator tersebut? Ketiga, kriteria yang memusatkan pada respon manusia: Apakah manusia bisa berubah dan dijamin bahwa Tuhan kenyataannya mengantarkan mereka?

    Hick mengajukan evaluasi rasional mengenai kognisi, elemen-elemen teori mengenai tradisi keagamaan dan evaluasi moral tentang aktualisasi kultur-sejarah kepercayaan keagamaan. Namun menurut penilaian Stenger,33 keduanya (baik evaluasi rasional maupun moral) mengarah pada kesimpulan positif dan negatif, lebih kuat dan lebih lemah yang memberi contoh setiap tradisi. Orang boleh juga mempertanyakan, apakah visi dasar keagamaan berlanjut menjadi efektif secara “soteriologic” (soteriologically effective) atau hidup yang transformatif, tetapi akhir pembuktian tentang itu menurut Stenger bersifat eskatologis.

    Memang, sebagaimana penilaian Stenger, Hick tidak menemukan kriteria yang cukup untuk perbandingan yang memadai dan penilaian yang baik terhadap tradisi keagamaan secara utuh. Meski begitu menurut Stenger, kriteria-kriteria yang dibuat Hick itu bisa dipakai pada fenomena keagamaan khusus dan oleh karena itu patut dipertimbangkan dalam persoalan yang terkait dengan isu penilaian kebenaran keagamaan tersebut.

    Menurut David Tracy,34 Hick mengatakan bahwa semua cara yang ditempuh agama-agama menuntut transformasi tunggal mengenai diri: dari pemusatan diri (Self-Centredness) menuju pemusatan Tuhan (Reality-Centredness). Dalam beberapa cara keagamaan, orang harus merubah perhatian ego dengan menggunakan hubungan baru dengan Tuhan. Hanya kemudian, dapatkah diri (self) berhenti menjadi ego dan menemukan kebebasan otentik yang dihubungkan dengan alam, sejarah, dan yang lain? Adalah tidak mungkin bahwa semua pencerahan keagamaan berbeda ekspresi dari posisi keagamaan yang sama. Pluralitas di antara agama-agama tidaklah mereduksi terhadap claim bahwa mereka semua memperlihatkan pencerahan yang sama atau praktik yang sama tentang kebebasan.

    33Ibid, p. 93. 34Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope, (University of Chicago

    Press, 1987), pp. 89-90.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    102

    Ada kemiripan di antara agama-agama, tetapi sepanjang pengamatan Tracy35 diantara agama-agama tersebut tidak ada yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau wahyu, tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun dalam semua pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa yang diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan kita tentang harmoni dan disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan penafsiran tentang cara apa yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri secara fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara bebas. Diskurus dan cara-cara agama seperti itu kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada batas tertentu, melengkapi beberapa aspek yang belum maju dari yang lain.

    Dalam konteks Indonesia, pemahaman cendekiawan Muslim Indonesia tentang keagamaan juga berbeda-beda. Sebagaimana dikemukakan oleh Mukti Ali,36 bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromi. Oleh karena itu, dalam satu persoalan yang sama masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Maryam. Mukti Ali setuju dengan istilah agree in disagreement. Ia mengakui jalan inilah yang perlu ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup antarumat beragama. Orang beragama harus yakin dan percaya bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling baik dan paling benar, sementara orang lain juga dipersilahkan untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.

    Senada dengan Mukti Ali, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh umat beragama, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme menurut Shihab adalah: Pertama, tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif terhadap

    35Ibid. 36Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi” dalam

    Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992), p. 230. Hal yang senada juga dilakukan oleh Tabataba’i. Tabataba’i dalam berbicara pada level filosofis tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika berbicara pada level sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Mutahhari. Lihat Andito (ed), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), p. 153.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    103

    kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antarpenduduk, khususnya di bidang agama sangat minim. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme, karena konsekuensi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar, atau “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, dalam pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak meng-claim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk menjadi bagian integral dari agama baru tersebut.37

    Shihab menegaskan, jika konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Oleh karena itu, perlu dibudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama.38 Karena menurutnya, Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain. Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s., al-Qur’an menggunakan kata ahl al-kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl, yang juga berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.39

    Sejalan dengan pemikiran di atas, Abdurrahman Wahid juga menekankan pentingnya keterbukaan untuk menemukan kebenaran di

    37Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:

    Mizan, 1999), pp. 41-43. 38Ibid., p. 43. 39Ibid., p. 67.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    104

    manapun juga.40 Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.41

    Terkait dengan makna salah satu ayat al-Qur’an surat al-Fath: 29,42 Wahid menegaskan bahwa ada perbedaan antara orang non-Muslim sekarang dengan kaum kafir yang memerangi agama Islam waktu itu (dalam konteks ayat tersebut adalah kaum kafir Mekkah). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika Fatimah (putri beliau) mencuri maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama.43

    Kemudian, terkait dengan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah: 120,44 Wahid memandang bahwa ayat tersebut sering digunakan untuk membenarkan sikap dan tindakan anti-toleransi, karena kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pekabaran Injil, dan sebagainya. Menurut Wahid, kata “tidak rela” harus didudukkan secara proporsional. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Tentu saja, ini tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Tidak menerima konsep dasar bukan berarti mesti mengembangkan sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa menerima konsep dasar agama

    40Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta: Lappenas, 1981), p.

    3. 41Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”,

    dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), p. 52.

    42"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal

    yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". 43Ibid., p. 53. 44 ”Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu

    (Muhammad) sampai kamu mengikuti agama mereka”.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    105

    Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya, kita tidak akan goyang dari konsep tauhid, tetapi kita menghargai pendapat orang lain.45

    Berbeda dengan Mukti Ali, Shihab dan Wahid, Djohan Effendi lebih jauh lagi mengakui adanya titik temu agama-agama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara ”agama” dengan ”keberagamaan”. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama—terutama yang bersumber dari wahyu—diyakini sebagai bersifat ilahiyyah. Agama memiliki nilai mutlak, namun ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia bersifat nisbi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri yang hanya dapat diketahui oleh Tuhan.46

    Menurut Djohan, Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Dengan merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama,”47 juga ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya,48 maka Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada, malah mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan perhatian terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman seseorang.49 Djohan merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.50

    Hal yang sama juga dikemukan oleh Nurcholish Madjid yang menolak absolutisme, karena menurutnya, absolutisme merupakan pangkal dari segala permusuhan. Nurcholish mengatakan:

    45Ibid., pp. 53-54. 46Djohan Effendi, “Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi

    Kerukunan?” dalam Majalah Prisma (5 Juni 1978), p. 16, Djohan Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan Agama” dalam Th. Sumarthana dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993), pp. 54-58. Lihat pula Zainul Abas, “Pluralisme dalam Perspektif”, Makalah dalam Annual Conference Kajian Islam di Bandung, 26-30 Nopember, 2006.

    47al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 156. 48al-Qur'an, 18 (al-Kahfi) : 29. 49Djohan Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan”, pp. 54-55. 50al-Qur'an, 22 (al-Hajj): 40.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    106

    “Petunjuk kongkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan kita—dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”51

    Nurcholish memang tidak mengingkari bahwa dalam lingkungan keberagamaan yang plural selalu ada potensi kenegatifan yang amat berbahaya.52 Hal ini bisa dilihat tahun 1992 banyak ditandai oleh pelbagai konflik yang bercorak agamis. Ia mengakui, bahwa agama memang bukan satu-satunya faktor, tetapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik itu sangat banyak memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion), misalnya: Irlandia, sekitar Perancis dan Jerman, Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur Dekat, Afrika Hitam, Sudan, Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailand, dan Filipina.53

    Merujuk pada al-Qur’an, Nurcholish menegaskan bahwa setiap umat atau golongan manusia pernah dibangkitkan atau diutus seorang utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Sebagaimana yang disebut dalam surat al-Nahl: 36: “... Semua agama Nabi dan Rasul yang telah dibangkitkan dalam setiap umat adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam bahasa al-Qur’an, kalimatun-sawa’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.”54

    Menurut Nurcholish, kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengherankan, karena semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua

    51Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), p. 259. Lihat pula Zainul Abas, “Pluralisme dalam Perspektif”, pp. 2-3.

    52Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, (No.1 Vol.IV, Th. 1993), pp. 4 dan 6.

    53Ibid., pp. 7-8. Bandingkan dengan Sudarto, Konflik Islam-Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1999), pp. 71-72.

    54al-Qur'an, 16 (al-Nahl): 36.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    107

    Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan hanyalah dalam bentuk responsi khusus seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama. Dalam hal ini dikutip beberapa ayat al-Qur’an, yakni dalam surat al-Baqarah: 136, al-Nisa’: 163-165, al-Maidah: 8, al-Syura: 13, al-Ankabut: 46, dan al-Syura: 15. Ayat-ayat yang dikutip tersebut berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad dengan syariat Nuh, Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa, Sulaiman, Dawud, Isa dan rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad.55

    Terkait dengan titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan dari agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis” paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (ahl al-kitab).56

    Menurut Nurcholish, mengutip hadis Nabi, bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyah al-samhah, agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Ia mengemukakan: “Sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni (al-hanifiyyah) adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan yang tidak bersifat palliative atau menghibur secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyah al-samhah yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.”57

    Oleh karena itu menurutnya, umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain. Dalam konteks Indonesia, pluralisme seharusnya tidak hanya

    55Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan”, pp. 13-14. 56Nurcholish Madjid, “Hubungan Antarumat Beragama: Antara Ajaran dan

    Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia: Beberapa Permasalahan, jilid VII, (Jakarta: INIS, 1990), pp. 108-109.

    57Lihat juga al-Qur'an, 60 (al-Mumtahanah): 8.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    108

    dilihat sebagai fakta sosial, dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majmuk, plural terdiri dari berbagai suku dan agama, tidak juga dipahami sebagai kebaikan negatif (negative good), melainkan pluralisme harus dipahami sebagai bagian dari pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.58

    Dari pelbagai pandangan cendekiawan Muslim di Indonesia di atas, maka jika menggunakan ketegori Panikkar,59 dapat diklasifikasikan dalam tiga perspektif: pertama, pandangan ekslusif, yaitu pandangan yang dikemukakan oleh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), yang dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Sementara MUI menolak pluralisme dalam pengertian “penyamaan semua agama”; kedua, inklusif60 yaitu pandangan yang dikemukakan oleh Mukti Ali, Alwi Shihab dan Abdurrahman Wahid; ketiga, pandangan paralel-pluralis61 yaitu pandangan yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid.

    Teologi inklusif dan pluralis dikembangkan untuk mendukung upaya dialog antaragama. Dari kalangan Kristen, nama-nama seperti Karl Rahner, Raimundo Panikkar, George Khodr dan Hans Kung dikenal sebagai tokoh-tokoh inklusif, sementara W.C. Smith, Paul Kritter dan John Hick dianggap sebagai tokoh-tokoh pluralis. Di kalangan Islam, teologi inklusif dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, Tabataba’i, dan Jawad Mughniyah. Mereka ini mendasarkan pandangannya pada Q.S. al-Baqarah: 6262 dan Q.S. al-Maidah: 6963, yakni ayat-ayat yang menjanjikan keselamatan kepada penganut agama Kristen, Yahudi dan Sabi’in. Sementara itu Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan Fazlurrahman dianggap sebagai tokoh-tokoh yang mewakili pandangan plural. Sebagai contoh, Fazlurrahman

    58Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antarumat Beragama”, p. 111 dan Budhy

    Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 31.

    59Lihat Raimondo Panikkar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), pp. 18-22.

    60Agree in disagreement menurut Mukti Ali. 61Sintesis menurut Mukti Ali. 62"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani

    dan orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".

    63"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Sabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati".

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    109

    yang berpegang pada semangat Q.S al-Baqarah: 14864 dan Q.S al-Maidah: 4865 menegaskan tentang arti pentingnya perbedaan agama dan agar setiap pemeluk agama saling kompetitif untuk berbuat kebajikan bukan sebaliknya, saling bermusuhan, dan di akhirat kelak Tuhan akan menjelaskan perbedaan-perbedaan itu.66 Di kalangan Muslim Indonesia, yang tergolong inklusif misalnya Mukti Ali, Alwi Shihab dan Abdurrahman Wahid, sementara yang tergolong pluralis seperti Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid.

    Sementara dalam konteks sosial, Salie Abraham67 menjelaskan, bahwa pluralisme memiliki dua pengertian, yaitu kontekstual dan kontraktual. Pluralisme kontekstual (contextual pluralism) adalah di mana orang-orang Islam tidak memiliki pengaruh atau kontrol terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka hanya mengajak dalam upaya untuk menghadapi lingkungan dengan berkomunikasi dan berdialog dengan yang lain. Secara khusus ini cocok untuk situasi di banyak wilayah di mana status masyarakat Islamya minoritas atau tidak memiliki kekuatan suara atau ekonomi dalam masyarakat partikular, seperti masyarakat Islam yang hidup di Afrika Utara, Eropa atau Amerika. Sedangkan pluralisme kontraktual (contractual pluralism) adalah, di mana orang-orang Islam memiliki kekuatan dan pengaruh atau kontrol terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap institusi pendidikan Islam, kemudian mereka mengajak untuk menghadapi keadaan secara berani, misalnya dalam memperkuat sistem Islam tanpa mengancam hubungan dengan agama lain. Orang-orang Islam menetapkan kepemimpinan nasional yang mengenalkan perbedaan, membangun komunikasi dan pemahaman interkultural.

    64"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.

    Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".

    65"Dan Kami iringkan jejak mereka (Nabi-Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa".

    66Nurcholish Madjid et.al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Maysrakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), p. 207. Bandingkan dengan Jamal al-Bana, Al-Ta’addudiyyah fi Mujtama' Islamy (Kairo: Dar al-Fikr al-Ismay, 2001), p. 27.

    67Salie Abraham, ”Pluralism and Islamic Studies Dictate or Dialogue” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006), p. 31.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    110

    C. Kritik terhadap Pluralisme Agama

    Senada dengan penjelasan tentang latar belakang munculnya pluralisme agama ini, Anis Malik Thoha68 mengungkapkan bahwa pluralisme agama muncul dilatarbelakangi oleh maraknya pemikiran liberalisme di bidang sosial politik yang menandai tatanan dunia abad modern. Agama harus mampu menyesuaikan diri dengan wacana-wacana modern-global, seperti: HAM, demokrasi, egalitarianisme, dan pluralisme. Jika proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan ”pluralisme politik”, maka liberalisasi agama juga melahirkan ”pluralisme agama”, yaitu memposisikan semua agama sebagai sama benarnya. Dengan demikian, menurut Anis, pluralisme agama lahir dari rahim liberalisme politik. Di antara tokoh pengusung mazhab pluralisme agama ini adalah Ernest Troeltsch (1865-1923), seorang teolog Kristen liberal yang menganggap bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam semua agama, alias bersifat relatif. Lalu diikuti oleh tokoh lain seperti William E. Hocking dan Arnold Toynbee (1889-1975).

    Menurut Anis, pluralisme agama di dunia Islam masih merupakan wacana baru dan tidak memiliki akar ideologis atau teologis yang kuat. Ide pluralisme agama di dunia Islam adalah akibat dari pengaruh penetrasi Barat modern yang muncul pada masa perang dunia kedua, yaitu ketika para generasi muda Islam telah mengenyam pendidikan Barat.69 Ide pluralisme ini kemudian menyusup ke pemikiran Islam melalui karya-karya mistikus Barat Muslim seperti Fritjhof Schuon,70 Rene Guenon71 dan seterusnya. Di Barat dikenal nama-nama seperti: John Hick, W.C. Smith, T.S. Eliot, Titus Burckardt, Hans Kung, Huston Smith, J.B. Cobb, Raimundo Panikkar, dan seterusnya.

    Kritik Anis, bahwa pluralisme agama pada hakikatnya tidak lebih baik—kalau tidak malah lebih buruk—dari klaim-klaim sebelumnya, karena klaim pluralisme agama tidak saja merelatifkan klaim-klaim kebenaran agama yang ada, tetapi sebenarnya juga ingin menghegemoni klaim-klaim tersebut, sehingga hanya klaim pluralisme saja yang dianggap mutlak benar dan justru tidak toleran. Oleh sebab itu, klaim pluralisme ini

    68Anis Malik Thoha, “Wacana Kebenaran Agama dalam Perspektif Islam (Telaah

    Kritis Gagasan Pluralisme Agama)”, Makalah, (Malang: UMM, 2005), pp. 60-61. Secara lebih mendalam masalah ini ditulis oleh Anis Malik dalam, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), dan bandingkan dengan Muhammad Legenhausen, Islam and Religious pluralism, terjemah Arif Mulyadi dan Ana Farida, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), pp. 17, 19, 23.

    69Ibid. 70Setelah masuk Islam berganti nama Isa Nuruddin Ahmad. 71Setelah masuk Islam berganti nama Abdul Wahid Yahya

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    111

    sangat problematik dan berbahaya bagi kehidupan religius dan spiritual manusia, karena istilah pluralisme agama selama ini telah dipahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal dan logika positivisme Barat. Akibatnya agama dianggap sebagai human response yang hanya bersifat sosiologis. Anis kemudian berkesimpulan, bahwa klaim kebenaran pluralisme agama tidak saja inconsistent, tetapi malah inaplicable.72

    Hal yang senada juga dikemukakan oleh Legenhausen,73 bahwa pluralisme agama menurut Legenhausen merupakan kelanjutan dari Reformasi dan Liberalisme (Protestanisme Liberal) yang berusaha mencari landasan teologis menuju toleransi beragama. Tokoh pluralisme agama ini antara lain Frederick Schleirmacher (1768-1834), Rudolf Otto (1869-1987) dan kemudian dipopulerkan oleh John Hick di dunia modern sekarang. Legenhausen sendiri menganggap pluralisme agama ini memiliki kelemahan mendasar jika dikaitkan dengan pemikiran Islam, karena pemisahan agama dari tatanan sosial didasarkan pada asumsi bahwa pemisahan tersebut sesuai dengan semua sekte, padahal yang demikian itu secara langsung bertentangan dengan Islam.

    Ada tujuh catatan kritis yang diajukan oleh Legenhausen74 terkait dengan konsep pluralisme John Hick tersebut: pertama, Hick mengajukan toleransi terhadap tradisi keimanan yang berbeda-beda, padahal kenyataannya menyarankan perusakan terhadap tradisi-tradisi agama agar dapat mengeliminasi perbedaan yang mendasar di antara mereka; kedua, Hick menganggap bahwa konflik-konflik yang nampak di antara tradisi-tradisi keagamaan itu lebih bersifat doktrinal, dan bukan bersifat praktis, sehingga ia mengabaikan pentingnya hukum agama dan masyarakat; ketiga, dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan doktrin-doktrin tersebut, Hick melemahkan kekuatan hukum agama yang telah ditetapkan; keempat, Hick menolak penggunaan akal sebagai sarana meningkatkan pemahaman keagamaan dan menyelesaikan perselisihan (konflik) tanpa melihat bahwa argumentasi rasional semacam itu telah menjadi hal pokok (prinsip) dalam teologi atau tradisi keilmuan dari semua agama besar di dunia; kelima, Hick menjelaskan mistisisme sebagai sarana untuk memperoleh pengalaman religius personal, dan dengan pengalaman tersebut keyakinan dapat terbentuk, sedangkan konsep yang paling dasar dari pengalaman religius tersebut adalah penemuan Protestanisme liberal dan asing terhadap tradisi-tradisi Islam; keenam, Hick mengasumsikan ketepatan etika modern dari liberalisme politis, yang hal ini juga tidak

    72Ibid., pp. 67-72. 73Muhammad Legenhausen, Islam and Religious pluralism, terjemah Arif Mulyadi dan

    Ana Farida, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), pp. 17, 19, 23. 74Ibid., pp. 101-102.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    112

    konsisten dengan tradisi moral agama-agama dunia sebagaimana yang telah dipahami selama berabad-abad; ketujuh, asumsi tentang Realitas Absolut sebagai sesuatu yang sama sekali tak dapat diketahui, bersamaan dengan pendapat bahwa pengalaman dan pemahaman relijius sepenuhnya hasil karya manusia, adalah tidak sejalan dengan kemungkinan dengan wahyu yang benar.

    Di sinilah kemudian Legenhausen menawarkan wajah pluralisme deontis (deontic-religious pluralism), yaitu pluralisme agama yang berpandangan, bahwa pada beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wahyu untuk umat manusia melalui seorang nabi atau rasul. Perintah dan kehendak Ilahi ini terus menyempurna dan melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannya Muhammad sebagai pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai konsekuensi dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi,75 atau dengan istilah lain ia menyebutnya dengan "Pluralisme Religius Non-Reduksionis", yaitu pluralisme agama yang mencegah keberatan-keberatan yang muncul terhadap pluralisme liberal atau reduktif, dan pada saat yang sama juga mempertahankan sikap toleransi dan menolak prasangka.

    D. Penutup

    Terdapat dua kelompok pemikiran besar dalam merespon pluralisme agama. Kelompok pertama menganggap bahwa pluralisme agama sebagai sesuatu yang niscaya (conditio sin quanon), sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa pluralisme agama sebagai paham dan bukan hal yang niscaya. Menurut kelompok yang menolak pluralisme agama, mereka berpendapat bahwa ”pluralitas agama” dan ”pluralisme agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas agama adalah kondisi di mana pelbagai macam agama mewujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan ”pluralisme agama” adalah suatu paham yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Pluralisme tersebut menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu, menganggap ”pluralisme agama” sebagai sunnah Allah adalah claim yang keliru dan berlebihan.

    Bagi Islam radikal seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), termasuk MUI

    75Ibid., p. 46. Penjelasan lebih detail dapat dibaca dalam Legenhausen, pp. 111-

    120.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    113

    dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Di kalangan Kristen, pandangan ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama, sehingga dikenal ungkapan extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Tokohnya antara lain Karl Bath dan Hendrick Kraemer dan pada umumnya para teolog evangelis.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    114

    Daftar Pustaka

    Abas, Zainul, “Pluralisme dalam Perspektif”, Makalah dalam Annual Conference Kajian Islam di Bandung, 26-30 Nopember, 2006.

    Abraham, Salie, ”Pluralism and Islamic Studies Dictate or Dialogue” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006.

    al-Bana, Jamal, Al-Ta’addudiyyah fi Mujtama' Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-Ismay, 2001.

    Ali, Mukti, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS.

    Andito (ed), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

    Beck, Herman Leonard (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992.

    Billah, M.M., "Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM", Makalah, Malang: UIN Malang, 2007.

    Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

    Dean (ed.), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross-Cultural Philosophy of Religion, State University of New York, 1985.

    Effendi, Djohan, “Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan?” dalam Majalah Prisma, 5 Juni 1978.

    Fanani, Muhyar, “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat’ dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam, Salatiga: P3M STAIN Salatiga, 2003.

    Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2, Jakarta: Kanisius, 1980.

    Hick, Problem of Religious Pluralism, London: The MacMillan Press, 1985.

    Legenhausen, Muhammad, Islam and Religious pluralism, terj. Arif Mulyadi dan Ana Farida, Jakarta: Lentera Basritama, 2002.

    Madjid, Nurcholish et.al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Maysrakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    115

    Madjid, Nurcholish, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993.

    Madjid, Nurcholish, “Hubungan Antarumat Beragama: Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia: Beberapa Permasalahan, jilid VII, Jakarta: INIS, 1990.

    Majalah Islamiya dalam Pengantar, Tahun I No. 3, September-Nopember 2004.

    Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama di Dunia Modern” dalam Th Sumartana et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993.

    Panikkar, Raimondo, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

    Rahman, Budhy Munawar, “Pluralisme dan Teologi Agama Islam-Kristen”, dalam Sumartana et.al. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2005.

    Rahman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2000.

    Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.

    Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2003.

    Sudarto, Konflik Islam-Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1999.

    Sumbulah, “Islam Radikal dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”, Disertasi, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006.

    Suseno, Frans Magnis, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia?, Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006.

    Tanduk, Christian, "Analisa Kritis Terhadap Tiga Model Perjumpaan dengan Agama lain Menuju Kristologi, Misiologi dan Eklesiologi Kontekstual", Makalah tidak diterbitkan , 2007.

    Th. Sumarthana dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993.

    Thoha, Anis Malik, “Wacana Kebenaran Agama dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralisme Agama)”, Makalah, Malang: UMM, 2005.

  • M. Zainuddin: Perdebatan di Seputar Pluralisme Agama

    SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

    116

    Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Gema Insani, 2005.

    Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope, University of Chicago Press, 1987.

    Wahid, Abdurrahman, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

    Wahid, Abdurrahman, Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1981.

    Zainuddin, M., Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam, Jakarta: Lintas Pustaka, 2006.

    Zakiyuddin, Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan, Yogyakarta: Lesfi, 2002.