1. Pengertian Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1026/3/BAB II.pdf · fisik dan...

57
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Setiap individu dalam hidupnya akan mengalami berbagai macam peristiwa, ada peristiwa yang menyenangkan adapula peristiwa yang tidak menyenangkan. Apabila individu yang bersangkutan tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi, maka akan timbul emosi yang tidak menyenangkan dalam diri. Bahkan keadaan ini dapat menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak puas dan tidak bahagia (Nisfiannor, Rostiana & Puspasari 2004). Pengalaman internal yang dialami oleh individu tersebut dapat digambarkan dengan istilah subjective well-being (Diener dkk dalam Nisfiannor dkk, 2004). Diener (2002) mengungkapkan bahwa subjective well-being merupakan suatu bentuk evaluasi mengenai kehidupan individu yang bersangkutan baik terkait masa kini maupun masa lampau. Bentuk evaluasi ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penilaian secara kognitif seperti kepuasan hidup dan respon emosional terhadap kejadian seperti merasakan emosi yang positif (Diener, 2002). Sedangkan menurut (Andrews dkk, Ozmete, 2011) kesejahteraan subjektif adalah evaluasi subjektif masyarakat terhadap kehidupan, dan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, pemenuhan perasaan, kepuasan

Transcript of 1. Pengertian Subjective Well-Beingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1026/3/BAB II.pdf · fisik dan...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Setiap individu dalam hidupnya akan mengalami berbagai macam

peristiwa, ada peristiwa yang menyenangkan adapula peristiwa yang tidak

menyenangkan. Apabila individu yang bersangkutan tidak mampu

mengatasi masalah yang dihadapi, maka akan timbul emosi yang tidak

menyenangkan dalam diri. Bahkan keadaan ini dapat menyebabkan

individu yang bersangkutan merasa tidak puas dan tidak bahagia

(Nisfiannor, Rostiana & Puspasari 2004). Pengalaman internal yang

dialami oleh individu tersebut dapat digambarkan dengan istilah subjective

well-being (Diener dkk dalam Nisfiannor dkk, 2004).

Diener (2002) mengungkapkan bahwa subjective well-being

merupakan suatu bentuk evaluasi mengenai kehidupan individu yang

bersangkutan baik terkait masa kini maupun masa lampau. Bentuk evaluasi

ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penilaian secara kognitif seperti

kepuasan hidup dan respon emosional terhadap kejadian seperti merasakan

emosi yang positif (Diener, 2002). Sedangkan menurut (Andrews dkk,

Ozmete, 2011) kesejahteraan subjektif adalah evaluasi subjektif

masyarakat terhadap kehidupan, dan termasuk konsep-konsep seperti

kepuasan hidup, emosi menyenangkan, pemenuhan perasaan, kepuasan

dengan domain seperti perkawinan dan pekerjaan, serta tingkat emosi

menyenangkan.

Diener dkk (dalam Nisfiannor dkk, 2004) menjelaskan bahwa

subjective well-being diukur berdasarkan pada perspektif individu yang

bersangkutan, melalui tiga komponen yang saling berhubungan yaitu;

kepuasan hidup yang kemudian dibagi menjadi dua subdevisi yaitu

kepuasan hidup secara global dan kepuasan dalam domain yang penting

dalam hidup, misalnya cinta, perkawinan, persahabatan dan lain-lain.

Komponen selanjutnya adalah afek positif, dan rendahnya afek negatif

yang dirasakan. Jadi disimpulkan bahwa subjective well-being terdiri dari

tiga komponen yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif. Afek

positif adalah frekuensi dan intensitas emosi yang menyenangkan

sedangkan afek negatif adalah intensitas emosi yang tidak menyenangkan

sedangkan kepuasan hidup adalah penilaian individu secara global

mengenai kehidupannya atau penilaian kognitif terhadap keseluruhan

hidup individu (Diener, 2003).

Diener & Scollon (2003) mengemukakan bahwa subjective well-

being berhubungan dengan bagaimana seseorang merasakan dan berfikir

mengenai kehidupannya. Diener (dalam Snyder & Lopez, 2006)

mengungkapkan subjective well-being merupakan konstruk multi

dimensional yang meliputi komponen kognitif dan afektif. Secara lebih

spesifik, Diener mendefinisikan subjective well-being sebagai kombinasi

dari afek positif yang tinggi, afek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup

secara umum. Ketiga komponen ini saling berhubungan tetapi merupakan

konstruk yang terpisah. Istilah subjective well-being di berbagai literatur

psikologi juga sering digunakan sebagai sinonim dari happiness

(kebahagiaan).

Lopez & Snyder (2002) menjelaskan bahwa psikologi positif

menyajikan well-being (kesejahteraan) sebagai studi ilmiah tentang

happiness atau kebahagiaan. Terdapat dua paradigma dalam studi

mengenai kebahagiaan, yaitu paradigma subyektif yang dinyatakan dalam

emotional well-being atau subjective well-being (kesejahteraan subjektif)

dan secara obyektif dinyatakan dalam psychological well-being (Lopez &

Snyder, 2002).

Menurut Baumgardner & Crothers (2010) kesejahteraan psikologis

tidak melihat bagaimana individu merasa bahagia namun makna

kebahagiaan itu sendiri bagi individu. Subjective well-being dilandasi oleh

persepsi yang sifatnya sangat subjektif terhadap eksistensi dan pengalaman

hidupnya masing-masing (Baumgardner & Crothers, 2010). Remaja yang

tinggal di panti asuhan memiliki latar belakang yang berbeda dengan anak

yang tinggal dan diasuh oleh orangtuanya, hal ini turut memberikan efek

subyetif bagaimana remaja memiliki persepsi terkait kehidupannya.

Dalam menjalani kehidupan, setiap orang memiliki kesempatan untuk

menampilkan dirinya sebagai orang yang bahagia, untuk menampilkan diri

sebagai orang bahagia tidak akan lepas dari kesejahteraan subjektif

(Baumgardner & Crothers, 2010). Seorang remaja yang memiliki

subjective well-being tinggi ditandai dengan tingginya kepuasan hidup,

rendahnya afek negatif dan tingginya afek positif. (Diener & Oishi, 2004).

Ryan & Daci (2001) juga menjelaskan bahwa konsep subjective well-

being menilai bahwa individu sejahtera bila secara subjektif ia merasa

bahagia, sedangkan kesejahteraan psikologis adalah apabila ia dapat

menggunakan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian subjective well-

being mencerminkan penilaian masing-masing individu terhadap diri

sendiri tentang kualitas hidupnya (Ryan & Daci, 2001).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa subjective well-being adalah penilaian yang mencakup aspek

kognitif, dan afektif atas kehidupan yang dijalani seseorang. Subjective

well-being yang tinggi ditandai atas adanya penilaian kognitif individu

yang bahagia berupa kepuasan terhadap berbagai aspek kehidupan yang

dijalani masing-masing individu, sedangkan penilaian afektif berupa

banyaknya pengalaman perasaan positif yang dirasakan individu seperti

(perasaan cinta, kasih sayang, ejoy), dan sedikitnya pengalaman perasaan

negatif yang dirasakan individu seperti (adanya perasaan malu, cemas,

kecewa, marah dst).

2. Subjective Well-Being pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan

Remaja sebagai tahapan yang dipenuhi berbagai perubahan dalam segi

fisik dan emosi sangat membutuhkan stabilitas, rasa aman dan nyaman

yang dapat mendukungnya untuk dapat melewati tahapan tersebut.

Santrock (2013) mengklasifikasikan masa remaja akhir berada pada rentan

usia 19-22 tahun, masa ini adalah persiapan akhir untuk memasuki peran

orang dewasa, keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima

dalam kelompok sebaya dan orang dewasa sudah terbentuk. Remaja akhir

menurut Sarwono (dalam Nisfiannor dkk, 2004) merupakan masa

konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan 5 hal yaitu; (a)

minat makin besar terhadap fungsi intelektual, (b) memiliki ego untuk

mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam

pengalaman-pengalaman baru, (c) terbentuknya identitas yang tidak akan

berubah lagi, (d) egosentrisme (memikirkan diri sendiri), (e) tumbuh

dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat

umum (the public).

Sejalan dengan pendapat di atas, (Hall dalam Santrock, 2013)

menganggap bahwa pada masa ini, remaja mulai berinteraksi dengan

lingkungannya dan mulai menghadapi berbagai macam problematika

hidup, oleh karena itu Hall memiliki konsep tentang ramaja yang disebut

periode “strom and stress” sebagai masa goncangan yang ditandai dengan

konflik dan perubahan suasana hati. Dalam periode ini, remaja diwarnai

dengan ketidakstabilan emosi dan mudah marah. Ketidakstabilan ini

mempengaruhi perilaku mereka yang terkadang menjadi tidak terkendali

dan memunculkan perilaku menyimpang dalam kehidupan sosial para

remaja (Batubara, 2010). Mengacu pada keadaan tersebut, wajar saja bila

muncul pendapat yang mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa

yang sulit penuh konflik atau disebut dengan masa badai dan stress (Arnett

dalam Nisfiannor dkk, 2004).

Rendahnya subjective well-being remaja akhir, juga telah dijelaskan

oleh berbagai temuan para peneliti yang menyatakan adanya

kecenderungan orang muda (remaja) memiliki tingkat kepuasan hidup

yang rendah (Ehrlich & Isaacowitz dalam Nisfiannor dkk, 2004), lebih

lanjut dijelaskan bahwa usia remaja memiliki level depresi yang lebih

tinggi dari pada usia dewasa. Hal ini dikarenakan para remaja merasakan

self-concious dan kebingungan dua atau tiga kali lebih sering daripada

orang tua dan cenderung merasa lebih canggung, kesepian, cemas dan

diabaikan (Arnett, dalam Nisfiannor dkk, 2004).

Menurut Park (dalam Nisfiannor dkk, 2004) remaja dikatakan

memiliki subbjective well being-yang tinggi apabila memenuhi tiga aspek

yaitu : (a) Memiliki kepuasan hidup yang ditandai : kegiatan yang positif

seperti olahraga, tidak merokok, pola makan yang sehat, tidak

menggunakan alkohol dan obat-obatan, ekstravert (terbuka), ada perasaan

optimis, memiliki internal locus of control (sehingga tidak melakukan

tindakan merugikan), memiliki self efficacy dan self reliance. (b) Jarang

mengalami afek negatif seperti kecemasan, kemarahan, ketakutan, rasa

malu, sedih, marah, kecewa dan depresi. (c). Sering mengalami emosi

positif berupa: sering merasakan kesenangan, enjoy, bangga, aktif dalam

kegiatan yang postif.

Myers & Diener (1995) juga menjelaskan bahwa individu yang

memiliki subjective well being tinggi mampu mengontrol emosinya dan

dapat menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik.

Sebaliknya, individu dengan tingkat kesejahteraan subjektif rendah

menganggap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya sebagai peristiwa

yang tidak menyenangkan sehingga menimbulkan emosi negative, tidak

puas akan hidupnya dan jarang merasakan afek positif (Diener, 2000) .

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja yang memiliki

subjective well-being yang tinggi akan memiliki kualitas hidup yang lebih

baik. Hal ini dibuktikan lewat beberapa penelitian yang telah dilakukan,

seperti penelitian yang dilakukan oleh (Zullig & Frisch dalam Nisfiannor

dkk, 2004) menyebutkan dalam suatu studi yang melibatkan lebih dari

5000 pelajar Sekolah Menengah Atas di U.S. Hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwasanya kepuasan hidup yang tinggi pada remaja

berhubungan dengan penurunan kebiasaan merokok para remaja,

penggunaan alkohol, marijuana dan obat-obatan juga berhubungan positif

dengan kesehatan fisik, tingkah laku dan pola makan yang sehat.

Tidak semua remaja memiliki subjective well-being yang tinggi,

menurut yatim (Teja, 2014) bagi anak remaja panti asuhan akan

mengalami perubahan sumber pemenuhan kebutuhan, adanya adaptasi

dengan lingkungan panti asuhan dan membangun relasi dengan orang yang

baru dikenal ini akan mempengaruhi subjective well-being anak. Selain itu

bagi remaja panti asuhan akan dihadapkan pada dinamika kehidupan yang

jauh lebih rumit dari remaja yang tinggal dengan keluarganya cenderung

akan lebih rentan memiliki afek negatif, seperti depresi (Casares dkk,

2009). Tidak bahagia atau tidak puas dengan kehidupannya karena

mengalami banyak tekanan psikis dan fisik (Hartini, 2000). Hal ini karena

menurut (Dalimunte, 2009) remaja yang terpisah dari orangtuanya atau

keluarganya akan memiliki banyak tekanan psikologis karena harus

mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, pemisahan anak dengan

lingkungan awalnya dapat menimbulkan tekanan akibat perubahan situasi

hidup yang berasal dari situasi baru yang tidak dikenali seperti panti

asuhan, hal tersebut akan berpengaruh pada kehidupan sosial remaja.

Remaja yang tidak mampu beradaptasi akan lebih mudah mengalami

tekanan psikologis.

Telah banyak penelitian yang memberikan gambaran subjective well-

being remaja yang tinggal di panti asuhan, salah satunya penelitian yang

dilakukan di Namibia Afrika Selatan oleh (Casares dkk, 2009) mengenai

keadaan anak dan remaja yatim piatu, ditemukan bahwa lebih dari 19

anak dan remaja yatim piatu mengalami gangguan kesehatan mental dan

mengalami tekanan psikologis. Satu dari 6 anak dan remaja juga rentan

terhadap depresi.

Menurut (Dewi & Utami, 2008) pada masa perkembangan remaja,

mereka akan mulai membandingkan kehidupannya dengan orang-orang di

sekitarnya yang hidup dengan keluarganya secara harmonis, akan muncul

perasan iri hati dan tidak puas terhadap dirinya. Ketidakpuasan tersebut

merupakan salah satu ciri rendahnya subjective well being (Diener, 2003).

Selain itu remaja panti usuhan cenderung memperlihatkan kekecewaan

karena mereka tidak tumbuh dalam keluarga yang utuh, membayangkan

hidupnya akan lebih baik jika mereka bisa hidup dalam keluarga yang utuh

(Santrock, 2013).

Seseorang dikatakan mempunyai tingkat subjective well‐being yang

tinggi jika orang tersebut merasakan kepuasan dalam hidup, sering

merasakan emosi positif seperti kegembiraan dan kasih sayang serta jarang

merasakan emosi negatif seperti kesedihan dan amarah (Diener, 2003).

Subjective well-being yang tinggi penting sekali dimiliki oleh para

remaja, karena hal itu merupakan salah satu prediktor kualitas hidup bagi

setiap remaja (Park (2004). Subjective well-being yang tinggi cenderung

mempunyai emosi yang selalu positif, merasa bahagia, seorang remaja

yang bahagia akan mengetahui bagimana mereka harus menikmati

hidupnya dengan berkualitas, tidak mudah dipengaruhi oleh pemikiran

negatif karena selalu fokus, ikhlas dan lebih bersyukur. Menurut Monks,

Knoers, & Haditono, (2001), pada masa transisi ini, remaja diharapkan

dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki sehingga remaja

dapat melangkah dengan pasti menuju kedewasaan serta berani

menghadapi tantangan dalam kehidupan masyarakat karena hal itu

merupakan jalan menuju kedewasaan.

Dari uraian di atas, dapat dilihat gambaran kondisi subjective well-

being pada remaja pantiasuhan, dimana dijelaskan bahwa remaja yang

terpisah dari orangtuanya atau keluarganya akan memiliki banyak tekanan

psikologis karena harus mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Pada beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa usia remaja mengalami

banyak merasaka ketidak bahagia atau tidak puas dengan kehidupannya

karena mengalami banyak tekanan psikologis, seperti kecemasan dan

depresi. Hal itu dikarenakan remaja panti asuhan mengalami perubahan

sumber pemenuhan kebutuhan, adanya adaptasi dengan lingkungan panti

asuhan dan membangun relasi dengan orang yang baru akan

mempengaruhi subjective well-being anak (Teja, 2014).

3. Komponen-Komponen Subjective Well Being

Diener (dalam Snyder & Lopez, 2006) menyatakan bahwa subjective

well-being memiliki tiga bagian penting, pertama merupakan penilaian

subjektif berdasarkan pengalaman-pengalaman individu, kedua mencakup

penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif, dan ketiga penilaian

kepuasan global. Berikut penjelasan ketiga komponen tersebut:

a. Life satisfaction (Kepuasan Hidup)

Menurut Diener (2000) life satisfaction diartikan sebagai penilaian

individu secara global mengenai kehidupannya. Definisi lain dari life

satisfaction yaitu penilaian kognitif terhadap keseluruhan hidup individu

(Diener, 2003). life satisfaction dapat diungkap melalui kepuasan hidup

secara global maupun kepuasan hidup dalam domain-domain yang lebih

spesifik seperti kepuasan terhadap perkawinan, pendapatan, pekerjaan,

kesehatan serta hubungan sosial (Argyle, 2001).

Lebih lanjut Diener (1999) mengemukakan bahwa kepuasan hidup

merupakan bentuk kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman

disertai dengan kegembiraan. Penilaian kepuasan tersebut didasarkan pada

perbandingan antara kondisi diri tertentu dibandingkan dengan berbagai

standar yang mencakup orang lain, kondisi masa lalu, tingkat aspirasi, ide

dari kepuasan, kebutuhan ataupun tujuan.

b. Afek Positif

Menurut Diener (2003) yang dimaksud dengan afeksi adalah evaluasi

individu mengenai kejadian-kejadian yang dialami dalam hidupnya.

Evaluasi terhadap afeksi ini terdiri atas emosi dan suasana hati. Adapun

yang dimaksud dengan emosi yaitu reaksi sesaat yang berhubungan

dengan suatu kejadian atau suatu rangsangan eksternal, sedangkan yang

dimaksud dengan suasana hati (mood) yaitu suatu perasaan afeksi yang

tidak jelas yang tidak berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu.

Afek positif atau menyenangkan merepresentasikan mood dan emosi

menyenangkan, seperti kasih sayang, emosi positif atau menyenangkan

adalah bagian dari subjective well being, karena emosi-emosi tersebut

merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa yang menunjukkan

bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan (Diener, 2005).

Afeksi positif merupakan kombinasi dari dorongan dan hal-hal yang

menyenangkan (Diener, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa afeksi

positif ditandai dengan mengalami emosi-emosi dan suasana hati yang

menyenangkan, afeksi yang menyenangkan dapat dibagi menjadi emosi

yang lebih spesifik seperti kesenangan (joy), kasih sayang (affection), dan

rasa bangga (pride). Afek positif yang dominan dapat direfleksikan

sebagai kesejahteraan subjektif yang tinggi.

c. Afek Negatif

Sama halnya dengan afek positif, afek negatif juga merupakan suatu

bentuk penggambaran pengalaman yang terjadi dalam kehidupan individu.

Afek negatif merupakan kombinasi dari dorongan dan hal-hal yang tidak

menyenangkan. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut terdiri dari

emosi-emosi negatif seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan

(Diener, 2005). Afek negative atau afek tidak menyenangkan

merepresentasikan mood yang dialami seseorang sebagai reaksinya

terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang mereka alami

(Diener, 2005).

Diener (2003) menyebutkan rendahnya afek negatif pada diri individu

ditandai dengan jarangnya individu merasakan emosi-emosi dan suasana

hati yang menyenangkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa afeksi yang tidak

menyenangkan terdiri dari berbagai emosi-emosi tertentu, seperti rasa

malu, rasa bersalah, kesedihan, penyesalan dan kemarahan.

Beberapa emosi negative memang diharapkan terjadi dalam hidup dan

dibutuhkan agar seseorang dapat hidup secara efektif. Namun emosi yang

terjadi secara berkepanjangan mengindikasikan bahwa seseorang percaya

bahwa hidupnya berjalan dengan buruk. Karena menurut (Diener, 2005)

pengalaman seseorang yang merasakan emosi negative yang

berkepanjangan dapat menganggu seseorang dalam bertingkah laku secara

efektif dalam kehidupan sehari-hari dan mengarahkan pada masalah

psikologis seperti depresi bahkan bunuh diri.

Diener (1994) menyatakan ada dua komponen umum dalam subjective

well-being, yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif

diidentifikasikan sebagai kepuasan hidup dan dimensi afektif terdiri dari

afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan yang dikenal dengan

afek positif dan afek negatif.

a. Dimensi Kognitif

Diener (1994) menyatakan bahwa subjective well-being terdiri dari

dua komponen yang terpisah, yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif.

Dimensi kognitif direpresentasikan dalam bentuk kepuasan hidup secara

global/umum (lebih dikenal dengan kepuasan hidup) dan kepuasan

terhadap hal yang lebih spesifik seperti pekerjaan (work satisfaction),

keluarga dst. Dalam hal ini, peneliti hanya menjelaskan tentang kepuasan

hidup secara global/umum. Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan

bagian dari dimensi kognitif dari subjective well-being. Life satisfaction

merupakan penilaian kognitif seseorang mengenai kehidupannya, apakah

kehidupan yanng dijalaninya berjalan dengan baik. Ini merupakan

perasaan cukup, damai, dan puas dari kesenjangan antara keinginan dan

kebutuhan dengan pencapaian dan pemenuhan, Diener (1994).

Diener (1994) mengatakan bahwa komponen kognitif ini merupakan

kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan pencapaiannya

apakah terpenuhi atau tidak. Dimensi kognitif subjective well-being ini

juga mencakup area kepuasan/domain satisfaction individu di berbagai

bidang kehidupannya, seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri,

keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan

waktu luang, artinya dimensi ini memiliki gambaran yang multifacet.

(Andrews & Withey dalam Diener, 1994) juga menyatakan bahwa domain

yang paling dekat dan mendesak dalam kehidupan individu merupakan

domain yang paling mempengaruhi Subjective well being individu

tersebut.

b. Dimensi Afektif

Dimensi afektif merupakan perubahan neuropsikologikal yang sering

dialami sebagai perasaan, mood atau emosi dan dapat diorganisasikan ke

dalam bentuk paling tidak menjadi dua dimensi yaitu valensi dan arousal

(Tsai, 2007). Mood dan emosi yang biasa dikenal dengan afek,

merepresentasikan evaluasi individu terhadap setiap peristiwa yang ada di

dalam hidupnya (Diener dkk, 1999). Terkit afek menyenangkan dan afek

tidak menyenangkan membentuk dua faktor yang independen dan harus

diukur secara terpisah (Bradburn & Caplovitz dalam Diener dkk, 1999).

Selain itu, Watson & Tellegen (1988), juga menyatakan sebuah landasan

model dua faktor yang biasa disebut dengan afek positif dan afek negatif.

a. Afek Positif

Afek positif merupakan refleksi dari perasaan antusias, aktif, dan

siaga. Afek positif yang tinggi berupa energi yang tinggi, konsentrasi

penuh, dan pengalaman yang menyenangkan, sebaliknya afek positif

yang rendah bercirikan kesedihan dan amarah (Snyder & Lopez,

2006). Selain itu, juga dijelaskan bahwa afek positif meliputi

simptom-simptom antusiasme, keceriaan, dan kebahagiaan hidup.

b. Afek Negatif

Afek negatif merupakan dimensi umum dari keadaan yang

menyedihkan dan tidak menyenangkan yang memunculkan berbagai

macam mood yang tidak disukai seperti marah, merasa bersalah, takut,

dan tegang, afek negatif yang rendah akan memunculkan rasa

ketenangan dan ketentraman. Afek negatif merupakan kehadiran

simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan (Snyder

& Lopez, 2006). Dimensi afektif menekankan pada pengalaman emosi

menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang

ataupun hanya berdasarkan penilaiannya.

Keseimbangan tingkat afek merujuk kepada banyaknya perasaan

positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif (Diener, 2003).

Kepuasan hidup dan banyaknya afek positif dan negatif dapat saling

berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian seseorang terhadap kegiatan-

kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya.

Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduannya berbeda, kepuasan

hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh,

sedangkan afek positif dan negatif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan

terhadap kejadian-kejadian yang dialami (Diener, 2003).

Indikator tinggi rendahnya subjective well-being menurut Diener dkk

(2003) dapat dilihat dari kombinasi afek positif dan kepuasan hidup secara

umum serta tidak adanya afek negatif. Untuk mengukur tinggi rendahnya

subjective well-being yang dimiliki, maka dapat menggunakan rumus yang

dikemukakan oleh Eryilmaz (2010), yaitu:

Subjective well being merupakan tolak ukur dari kepuasan hidup

ditambah dengan afek positif dan dikurangi dengan afek negative.

Seseorang dikatakan mempunyai subjective well being yang tinggi jika

orang tersebut merasakan kepuasan dalam hidup, sering merasakan afek

positif dan jarang merasakan afek negative.

Positive affect adalah kombinasi dari dorongan dan hal-hal yang

menyenangkan (pleasanness). Positive affect ditanda dengan : adanya

energi yang tinggi, penuh konsentrasi dan kenyamanan, adanya emosi-

emosi seperti kesenangan (enjoy), kasih sayang (affection) dan rasa

bangga, Diener (2003). Memiliki life satisfaction atau kepuasan hidup

ditandai dengan: adanya internal locus control, ekstrovert (terbuka pada

lingungan sosial) memiliki motivasi internal yang tigggi, memiliki self

efficacy, self reliance, (greenspoon & Saklofske dalam Nisfiannor dkk,

2004). Selain itu ditandai dengan: adanya perasaan mampu memahami

sesuatu dan optimistik, (Ben-Zur dalam Nisfiannor dkk, 2004). Selain itu,

ditandai dengan adanya kemampuan menghadapi situasi stressfull dengan

positif kemudian mengarahkannya pada respon emosional yang positif dan

Subjective well-being = (positive affect + life satisfaction) - negative affect

kemampuan coping yang efektif, mampu menyelesaikan masalah dengan

baik, menunjukkan prestasi kerja yang baik, memiliki hubungan kerja

yang baik, memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan pemaaf, (Park

dalam Nisfiannor dkk, 2004). Negative affect atau Afek negatif adalah

kombinasi hal-hal yang tidak menyenangkan yang terdiri dari emosi

seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan (Diener, 2003), selain itu

juga ditandai dengan munculnya perasaan malu, rasa bersalah, kesedihan,

keletihan, kemarahan dan kekecewaaan (Park dalam Nisfiannor dkk, 2004)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

subjective well-being memiliki tiga bagian penting, pertama merupakan

penilaian subjektif berdasarkan pengalaman-pengalaman individu, kedua

mencakup penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif, dan ketiga

penilaian kepuasan global. Hal tersebut dapat dilihat dari dua dimensi

yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif

diidentifikasikan sebagai kepuasan hidup individu. Dimensi afektif terdiri

dari afek positif dan afek negatif. Individu yang memiki subjective well-

being tinggi ditandai dengan tingginya level afeksi positif, rendahnya level

afeksi negatif yang dirasakan serta adanya kepuasan hidup (life

satisfaction). Sebaliknya individu dengan subjective well-being yang

rendah ditandai dengan rendahnya level afeksi positif, tingginya level

afeksi negatif dan ketidakhadirnya kepuasan hidup pada diri individu.

4. Teori pendekatan subjective well-being

Subjective well-being merupakan persepsi individu terhadap

pengalaman hidupnya yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi.

Terdapat dua pendekatan teori yang dapat digunakan untuk

mempersepsikan subjective well- being bagi diri individu (Ariati, 2010),

yaitu:

a. Bottom Up Theories

Teori ini memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang

dirasakan dan dialami individu tergantung dari banyaknya kebahagiaan

kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara khusus,

subjective well-being merupakan penjumlahan dari pengalaman-

pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan individu. Semakin

banyak peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin bahagia dan

puas pula individu tersebut.

b. Top Down Theories

Teori ini memandang bahwa subjective well-being yang dialami

individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan

menginterpretasi suatu peristiwa atau kejadian dalam sudut pandang yang

positif. Perspektif teori ini menganggap bahwa individulah yang

menentukan atau memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya

akan menciptakan kesejahteraan baginya atau tidak.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua

teori untuk mempersepsikan subjective well-being pada diri individu, yang

pertama yaitu berdasarkan kumpulan-kumpulan pengalaman positif yang

menyenangkan dan yang kedua berdasarkan bagaimana cara individu itu

sendiri mempersepsikan peristiwa yang dialaminya.

5. Upaya untuk Meningkatkan Subjective Well-Being

Ada beberapa tritment psikologi baik berupa terapi maupun bentuk

latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan subjective well-being

menurut Germer, Siegel, & Fulton, (2005), Miller (2007), Emmons &

McCullough (2003), dapat dilihat uraiannya di bawah ini:

a. Mindfulness Based Stress Therapy (MBST).

Pendekatan ini membantu individu agar memiliki kesadaran dan tidak

bersikap reaktif akan apa yang terjadi saat ini. praktek mindfulness adalah

sebuah cara untuk memaknai peristiwa baik positif, negatif, maupun netral

sehingga mampu mengatasi perasaan tertekan dan menimbulkan

kesejahteraan diri (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Perasaan tertekan

tersebut merupakan afek negatif sebagai ciri rendahnya subjective well-

being yang dimiliki, artinya dengan praktek mindfulness dapat membantu

mengatasi perasaan tertekan menjadi perasaan yang lebih bahagia.

Selain itu, Kabat-Zinn (2003) juga menegaskan bahwa praktek

mindfulness dapat meningkatkan regulasi emosi. Artinya dengan melakukan

latihan mindfulness, remaja akan memiliki kesadaran yang benar terkait

peristiwa yang dapat menimbulkan respon terhadap munculnya emosi

negatif mereka. Kesadaran dan pemahaman yang benar terhadap peristiwa

membantu mengurangi reaksi yang bersifat emosional dan spontan terhadap

peristiwa yang memungkinkan akan memunculkan emosi negatif (Kabat-

Zinn, 2003).

Dengan latihan mindfulness setiap hari, akan dapat membantu individu

menstabilkan fungsi-fungsi syarafnya. Efeknya akan mendatangkan

perasaan tenang dan relaks sehingga individu dapat dengan stabil melihat

realitas secara obyektif dan rasional, tidak mudah terputus dengan realitas

dan terombang ambing dengan fantasi. Perasaan ini akan diperoleh ketika

melakukan praktek mindfulness yaitu pada tahap melakukan pernafasan

secara teratur sampai mencapai keadaan alpha. Gelombang otak alpha yaitu

frekuensi gelombang otak yang rendah yang akan meningkatkan keadaan

relaks dan terbebas dari tekanan. Pada kondisi ini, individu akan lebih

menyadari keberadaannya, dapat menerima kondisinya, dapat

mengendalikan dirinya, dan mampu untuk berfikir positif.

b. Forgiveness (Pemaafan)

Miller dkk (2007) menyatakan bahwa dengan pemaafan, seseorang

belajar meningkatkan pemahaman diri terhadap orang lain dan dapat

membebaskan diri dari dominasi pikiran sehingga perasaan negatif menjadi

lebih baik dan perilaku negatif menjadi lebih positif. Artinya dengan terapi

pemaafan dapat meningkatkan afek positif dan meminimalkan afek negatif

serta membantu meningkatkan kepuasan hidup.

Enright (dalam Miller, 2007) mengembangkan empat fase pemaafan

yaitu: tahap mengungkap dan menyadari kemarahan, tahap menyadari

pemaafan sebagai salah satu pilihan untuk memperbaiki hubungan, tahap

mengambil perspektif lain untuk memahami kondisi orang lain, serta tahap

penemuan makna dari penderitaan yang dialami. Sementara (Emmons &

McCullough, 2003) menyebutkan bahwa terapi pemaafan merupakan suatu

motivasi prososial terhadap orang lain seperti hilangnya hasrat untuk

menghindari, membahayakan atau membalas orang yang pernah melukai

serta meningkatnya hasrat untuk berperilaku positif. Hal ini kemudian

menjadi dasar pemaafan merupakan salah satu koping positif yang dapat

digunakan seseorang untuk mengatasi kekecewaan dan rasa sakit yang

difokuskan kepada pikiran, emosi dan tindakan (Miller, 2007). Seseorang

yang telah memaafkan dapat terhindar dari emosi dan fikiran negatif

(subjective well-being rendah)

c. Gratitude

Syukur dalam bahasa Inggris disebut gratitude. Kata gratitude diambil

dari akar latin gratia yang berarti nikmat, kenikmatan, atau kebersyukuran.

Semua kata yang terbentuk dalam akar latin ini berhubungan dengan

kebaikan, kedermawanan, pemberian, keindahan dari memberi dan

menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa tujuan apapun (Pruyser dalam

Emmons & McCullough, 2003).

Latihan kebersyukuran atau terapi syukur telah banyak digunakan

sebagai pendekatan psikologis untuk membantu individu. Hal itu

dikarenakan, bersyukur merupakan salah satu aspek penting dalam

penyembuhan emosi pasca peristiwa menyakitkan (Emmons &

McCullough, 2003). Individu yang selalu merasa puas dan bahagia atas apa

yang diperolehnya merupakan individu yang bersyukur. Penelitian yang

dilakukan oleh (Emmons & McCullough, 2003) menyebutkan bawa rasa

syukur dapat memunculkan emosi positif atau perasaan bahagia. Dengan

cara menghitung berkah yang didapat setiap hari dalam sebuah daily report

artinya dapat digunakan untuk meningkatkan subjective well-being rendah.

Hal tersebut dilakukan untuk menyadarkan individu guna mensyukuri

segala sesuatu termasuk hal yang terkecil maupun kondisi yang kurang

menyenangkan.

Efek psikologis yang ditimbulkan dari rasa syukur adalah memberikan

rasa optimis, percaya diri dan selalu berpikir positif. Rasa syukur

menjadikan hidup manusia tenang, tanpa adanya kekhawatiran ataupun

ketakutan dalam diri yang mencermikan tingginya subjective well-being

yang dimiliki. Sedangkan individu yang lupa bersyukur, muncul rasa kesal,

bersalah, tidak mampu, putus asa dan kehampaan batin tingginya subjective

well-being yang dimiliki.

Ada berbagai macam teknik atau upaya yang dapat meningkatkan

subjective well-being seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu terapi

pemaafan, latihan kebersyukuran dan meditasi mindfulness. Namun dari

beberapa bentuk pendekatan intervensi tersebut, menurut peneliti, latihan

mindfulness lebih efektif diterapkan pada remaja panti asuhan yang

memiliki subjective well-being rendah dari pada pendekatan yang lainnya

karena mindfulness menurut (Haworth, 1997) telah mencakup aspek

kebersyukuran, pemaafan dan control diri. Juga memiliki cakupan yang

sangat luas karena telah melibatkan konsep kognisi, afektif, dan

intrapersonal (Davis, 2007), selain itu, penggunaannya juga lebih sederhana

dan dapat dilakukan secara mandiri oleh setiap remaja dari segala usia.

Pemilihan latihan mindfulness ini juga tidak lepas dari hasil penelitian yang

dilakukan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh (Demarzo dkk, 2015)

telah menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang sangat kuat antara

kesadaran dengan tingkat stress dan korelasi positif dengan subjective well-

being pada perawatan di Brasil. Kelebihan tersebut yang membuat peneliti

memilih latihan mindfulness dalam penelitian ini.

B. Latihan Mindfulness

1. Pengertian Latihan Mindfulness

Secara sederhana latihan dapat dirumuskan sebagai usaha dan segala

upaya untuk meningkatkan kondisi fisik secara menyeluruh dengan proses

yang sistematis dan berulang-ulang dengan kian hari kian bertambah jumlah

beban latihan, waktu atau intensitasnya. Sedangkan menurut (Bompa dalam

Hariono, 2006) menjelaskan latihan sebagai upaya seseorang dalam

meningkatkan perbaikan organisme dan fungsinya untuk mengoptimalkan

prestasi dan penampilan. Pada prinsipnya latihan merupakan proses ke arah

yang lebih baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas fisik, kemampuan

fungsional peralatan tubuh dan kualitas anak latih. Dapat disimpulkan bahwa

latihan merupakan : sebuah proses yang sistematis yang dilakukan secara

berulang-ulang untuk meningkatkan kualitas fisik, prestasi dan penampilan.

Sedangkan mindfulness bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban

manusia, menurut Iskandar & Novianto (dalam Prasetyo, 2014) praktek

mindfulness telah dikenal bahkan ribuan tahun yang lalu atau dikenal dengan

tradisi yang telah ada sejak adanya manusia di muka bumi ini. Meditasi

mindfulness merupakan tradisi yang telah dipraktekkan sejak pada peradaban

tinggi di Mesir, China, peradaban Aztec di Amerika Selatan dan juga di India.

Seorang tokoh spiritual India yang dikenal dengan nama Pantajali (Prasetyo,

2014) telah memiliki pemahaman terhadap mindfulness sejak ribuan tahun

yang lalu. Menurutnya, praktek mindfulness adalah proses aktualisasi diri

(self realization) dimana pada waktu meditasi manusia mengalami kesadaran

penuh sebagai bagian dari sang Maha Pencipta. Mindfulness sering

disamakan dengan kesadaran (awarness), pengalaman kekinian (present

experince) dan (acceptance) atau penerimaan diri (Segell, 2005). Secara

tradisional meditasi mindfulness juga digunakan untuk mencapai transendensi

diri.

Kabet-Zinn (dalam Stanley dkk, 2006) menyatakan bahwa mindfulness

merupakan peningkatan kesadaran dengan berfokus pada pengalaman masa

kini (present-moment awareness) tanpa memberikan penilaian. Goleman &

Schwartz (dalam Kabat-Zinn, 1982) menyatakan bahwa latihan mindfulness

bukan berkaitan dengan “keberadaan di manapun untuk memperbaiki

sesuatu” akan tetapi merupakan pengalaman terhadap peristiwa dari waktu ke

waktu. Kabat-Zinn, (2003) mendefinisikan mindfulness sebagai usaha

memberikan perhatian melalui beberapa cara yaitu dengan tujuan, kekinian

dan tidak ada penilian terhadapnya. Stanley dkk (2006) mendeskrepsikan

mindfulness sebagai kombinsi perhatian terhadap kesadaran tentang

pentingnya peristiwa kekinian baik kejadian internal maupun eksternal.

Aspek terpenting dalam mindfulness adalah kesadaran terhadap peristiwa

yang terjadi tanpa suatu pertimbangan dan harapan terhadap hasil dan tujuan.

Artinya praktek mindfuless ini terjadi dalam kondisi yang bebas dari

gangguan fikiran-fikiran dan emosi.

Menurut Salmon dkk (2004), mindfulness adalah pembelajaran untuk

memfokuskan perhatian terhadap pengalaman kekinian dengan tidak

melakukan kritik terhadapnya. Perhatian terhadap peristiwa kekinian

merupakan alternative menurunkan atau mengatasi kekhawatiran terhadap

peristiwa yang sudah terjadi dan peristiwa yang akan datang Salmon dkk

(2004). Latihan mindfulness juga merupakan salah satu cara untuk menyadari

perilaku, kebiasaan dan reaksi sendiri serta sangat bermanfaat bagi pemberian

pelayanan kesehatan untuk lebih memahami pasien dan bermanfaat dalam

memudahkan hubungan dan komunikasi dalam situasi medis yang komplek

dan sulit (Connlely, 2005).

Bishop dkk (2004) menyatakan kesadaran penuh merupakan representasi

dari meningkatnya atau dipertahankannya keadaan sadar terjaga dan perhatian

akan peristiwa pengalaman di sini-saat ini. Kesadaran penuh memiliki dua

komponen. Komponen pertama, keadaan sadar terjaga dan perhatian yaitu

bahwa mindfulness dimulai ketika keadaan sadar terjaga dibawa kepada

pengalaman di sini-saat ini, diobservasi dan diperhatikan perubahan

pemikiran, perasaan, dan sensasi sehingga mindfulness merupakan

pengalaman langsung. peristiwa yang terjadi diantara tubuh dan pikiran.

Kedua, penerimaan terjadi ketika individu hanya memperhatikan setiap

pemikiran, perasaan, dan sensasi sebagai pengalaman terbuka akan realitas

saat ini-di sini yang muncul dalam arus kesadaran.

Brown & Ryan (2003) mempertegas bahwa latihan mindfulness didasari

oleh meningkatnya keadaan sadar terjaga (awareness) yang terus-menerus

memonitor keadaan diri dan lingkungan luar serta adanya perhatian

(attention) yang memusat sehingga menghasilkan kesadaran penuh akan

pengalamannya secara lebih terbuka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadaan

sadar terjaga adalah pengalaman subjektif dari phenomena internal dan

eksternal yang merupakan apersepsi dan persepsi murni dari semua realitas

peristiwa yang terjadi setiap saat. Perhatian merupakan pemusatan keadaan

sadar terjaga untuk memperjelas aspek tertentu dari realitas (Brown & Ryan,

2003).

Mindfulness dimulai dengan membawa keadaan sadar terjaga pada

pengalaman di sini-saat ini, dengan meningkatkan fokus perhatian pada

perubaan yang terjadi dalam pikiran, perasaan dan sensasi diamati dari waktu

ke waktu (Kabbat-Zinn dalam Davis dkk, 2007). Menurut Fringer (2002)

kebahagiaan seseorang yang beragama akan didapatkan jika hal-hal yang

paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi bagian disiplin

spiritual jika bertindak dengan hati yang sadar (mindfulness) dan terbuka

maka mata hati juga akan terlihat menjadi terang dan saat itulah seluruh

tubuh dipenuhi cahaya (tercerahkan). Mindfulness melatih remaja untuk

mendengar dengan telinga hati, melihat dengan mata hati (Fringer, 2002).

Artinya, remaja dilatih untuk selalu bekerja dengan hati, termasuk menyadari

apa yang sedang terjadi dalam diri, pikiran, rencana dan kekhawatiran,

senantiasa berpasrah pada Tuhannya. Dengan demikian mindfulness memiliki

cakupan yang sangat luas, bukan saja terkait dengan personal, sosial namun

juga terkait dengan Tuhan (Ilahi).

Dalam latihan berbasis mindfulness klien dilatih untuk hanya melakukan

pengamatan, menyadari, mengetahui, dan menerima aliran pengalaman dari

waktu ke waktu, membiarkan pengalaman itu bergulir apa adanya, tidak

masuk dan terlibat di dalam pengalaman itu, tidak melakukan pembatasan

pada bentuk pikiran, perasaan dan perilaku tertentu (Hall, 1998). Sejalan

dengan itu, (Germer, 2005) juga menjelaskan bahwa praktek mindfulness

(kesadaran penuh) merupakan suatu bentuk intervensi yang melatih individu

meningkatkan kesadaran dan mendapatkan insight tertinggi dengan

mengenalkan keterbukaan terhadap seluruh pengalaman.

Sebagaimana dijelaskan oleh (Albeniz & Holmes, 2000) bahwa dalam

proses ini mengunakan fokus perhatian sebagai jangkar yang membawa

subjek kembali secara konstan pasa saat ini, menjauhi analisis kognitif atau

fantasi yang berkaitan dengan isi kesadaran dan meningkatkan toleransi dan

relaksasi proses berfikir tambahan. Latihan mindfulness berbasis kesadaran

penuh merupakan serangkaian kegiatan berupa pengontrolan dan pengelolaan

stres dengan cara meditasi pikiran yang bertujuan untuk melatih pemusatan

perhatian yang terdiri dari kombinasi dimensi afektif, kognitif, moral,

intrapersonal dan interpersonal.

Keefektifan dan manfaat latihan mindfulness dalam konteks klinis

terletak pada kemampuan kesadaran memutus response set yang

mengendalikan diri individu (Brown dan Ryan, 2003). Response set sendiri

dijelaskan sebagai pola asosiasi terkondisi yang memfasilitasi pola perilaku,

pola pikir, dan respon individu terhadap stimulus atau situasi

tertentu. Response set dapat diaktifkan baik oleh stimuli internal maupun

eksternal, seperti sugesti dan beragam sinyal yang berasal dari lingkungan

(Brown & Ryan, 2003).

Dinamika latihan mindfulness mempengaruhi subjective well-being dapat

dilihat dari perspektif mindfulness dimana pikiran mempengaruhi emosi yang

kuat terkait fenomena mental yang tidak benar-benar perlu ditanggapi, karena

emosi-emosi tersebut hanya bersifat sementara, tidak memiliki hubungan

yang jelas dengan realitas eksternal (Blackledge & Hayes, 2001). Mindfulness

mengarahkan untuk sepenuhnya berhubungan dengan apa yang terjadi pada

saat ini, baik secara internal (tubuh-pikiran-emosi) dan lingkungan eksternal

(Shapiro, 2006). Ketika kesadaran fokus pada saat ini, di sini dan sekarang

maka individu tidak akan mudah dipengaruhi oleh afek negatif dan emosi-

emosi negatifnya karena menurut (Brown & Ryan, 2003) individu yang

memiliki kesadaran penuh akan mampu memutus response set yang

mengendalikan dirinya, response set dapat berupa stimuli internal maupun

eksternal yang berarti berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan dari luar

yang memunculkan perasaan dan emosi negatif, hal itu dapat dikendalikan

dengan kesadaran (Brown & Ryan, 2003).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latihan

mindfulness sebuah proses memfokuskan perhatian dengan penuh kesadaran

(awarness), pengalaman kekinian (present experince) dan penerimaan diri

(acceptance) tanpa penilian, kritik terhadap apapun yang muncul dalam

pikiran dan perasaan namun hanya mengamatan, menyadari, mengetahui,

dan menerima aliran pengalaman dari waktu ke waktu, membiarkan

pengalaman itu bergulir apa adanya, dan tidak masuk dan terlibat di dalam

pengalaman itu.

2. Komponen dan Kualitas yang harus Dipenuhi dalam Latihan

Mindfulness.

Kabat-Zinn (Davis, 2007) mengungkapkan bahwa ada 3 aspek utama

atau komponen dasar dalam praktek mindfulness yaitu: (a). Kesadaran

tertinggi (conciouness), (b). Pengalaman saat ini (Present experience) dan (c).

Penerimaan (Acceptance). Menurut (Kabat-Zinn, dalam Davis, 2007)

mindfulness merupakan latihan untuk fokus pada kesadaran terhadap

pengalaman dari waktu ke waktu yang dilakukan dengan sengaja.

Mindfulness dapat berperan dalam mengatasi gejala-gejala fisik dan psikis

yang didasari pada beberapa kualitas yang harus dipenuhi.

Selain yang dikemukakan oleh Kabbat-Zinn di atas, menurut Garmer,

(2005); Davis dkk (2007) bahwa ada 8 kualitas yang harus dipenuhi dalam

proses mindfulness, yaitu :

a. Nonconceptual yaitu membangun kesadaran tanpa proses pemikiran.

Dalam proses mindfulness mendalam melibatkan pemusatan pikiran pada

setiap perisiwa dari seluruh pengalaman hidup, tanpa memperdulikan

apakah pengalaman tersebut hebat atau biasa-biasa saja.

b. Present-centered (Fokus pada peristiwa sekarang)

Dalam proses ini, subjek dilatih memiliki sikap perhatian, penghargaan

terbuka terhadap seluruh pengalaman hidup yang dialaminya saat ini

(present-experience), serta dilatih untuk fokus dan memberikan perhatian

sepenuhnya terhadap aktifitas yang dijalaninya saat ini tanpa sikap reaktif

dan tidak terjebak pada masa lalu maupun masa yang akan datang.

c. Nonjudgement (Tanpa penilaian)

Dalam proses ini, klien dilatih untuk tidak memihak, mempertahankan

diri atau menolak peristiwa yang dihadapi, subjek hanya menjadi

pengamat.

d. Intentional (Dilakukan dengan sengaja)

Fokus pada kesengajaan atas pengalaman dari waktu ke waktu dengan

kesadaran tertinggi (conciousness) untuk mencapai kebahagiaan dan

menurunkan penderitaan seperti stress kecemasan dan depresi.

e. Participant observation (Observasi partisipan)

Proses mindfulness yang mengajarkan subjek untuk mengobservasi

keadaan mentalnya secara positif namun tidak menghayati (Davis &

Brown, 2007).

f. Nonverbal

Praktek yang dilakukan tanpa ucapan, artinya praktek mindfulness tidak

dapat ditangkap dengan ucapan atau perkataan karena kesadaran terjadi

sebelum muncul perkataan dalam pikiran (Garmer, 2005). Dalam proses

ini juga dikataan sebagai pengalaman batin untuk mencapai sebuah

pencerahan (Fringer, 2002).

g. Exploratory (Eksporasi)

Merupakan proses pengamatan dan pemahaman persepsi tanpa penilaian

apapun (Garmer, 2005).

h. Liberating (Membebaskan)

Keadaan sadar yang membebaskan dan melepaskan segala penderitaan

dengan terkondisikan, individu dilatih mengolah kesadaran mengenai

pengalaman yang dirasakan sekarang dengan sikap yang terbuka dan rasa

keingintahuan yang besar, serta membiarkan pengalaman tersebut hadir

sebagaimana adanya serta melepaskan segala keinginan atau kebutuhan

untuk menilai atau mengubah pengalaman tersebut (Davis dkk, 2007).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan komponen atau

aspek dalam latihan mindfulness melingkupi kesadaan tertinggi

(conciousness), pengalaman saat ini (present experience) dan penerimaan

(acceptance). Sedangkan kualitas yang harus dipenuhi dalam latihan

mindfulness yaitu : Nonconceptual, Present-centered (fokus pada peristiwa

sekarang), nonjudgement (tanpa penilaian), intentional (dilakukan dengan

sengaja), partiticant observation (observasi partisipan), nonverbal,

exploratory (eksporasi), liberating (membebaskan).

3. Tahapan dan Prosedur Latihan Mindfulness.

Berdasarkan konstruk mindfulness yang disampaikan (Kabat-Zinn,

2003) di atas dalam Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) kemudian

oleh Santorelli (2014) diimplementasikan dalam beberapa teknik latihan

mindffulness, yaitu:

a. “Meditasi Pernapasan” (Breathing Meditation)

Teknik ini merupakan latihan dasar dari teknik mindfulness. Subjek

dilatih untuk memusatkan perhatian terhadap pernapasan. Teknik menyadari

pernapasan melatih subjek untuk fokus hadir di sini dan sekarang. Sehingga

subjek dapat memulai fokus dan berkonsentrasi pada hanya pada nafas

sebelum masuk pada tahap berikutnya. Proses bernafas merupakan

pengalaman manusia paling alami serta terjadi di saat ini. Teknik

pernapasan dapat melatih subjek untuk hadir di saat ini karena tidak terikat

kenangan di masa lalu atau rencana-rencana di masa depan.

b. “Menyadari sensasi tubuh” (Body Sensation).

Teknik ini mengajarkan subjek untuk fokus atau memberi perhatian

terhadap sensasi tubuh dari telapak kaki hingga kepala. Saat fokus terhadap

sensasi tubuh, perhatikan sensasi tubuh yang halus seperti gatal atau

kesemutan, suara, bau, rasa frustrasi sukacita, marah, membiarkannya hadir

tanpa penghakiman (Hall, 1998). Dalam tahap ini, pikiran yang menjadi

sumber cemas atau stres dapat dialihkan dengan menerima sensasi yang

dirasakan. Pada tahap ini subjek juga menjadi lebih peka terhadap situasi

saat ini, yaitu menyadari sensasi tubuh yang muncul. Subjek dalam posisi

berbaring atau duduk di dalam posisi yang nyaman sambil memperhatikan

sensasi yang dirasakan dari tubuh.

c. “Pendeteksian Tubuh dengan Sikap Penghargaan” (Compassionate

Body Scan).

Compassionate body scan bertujuan untuk menumbuhkan sikap

menghargai terhadap diri sendiri dan orang lain, mengurangi perasaan

menderita serta untuk mencapai perasaan nyaman dan sejahtera pada setiap

situasi dan kondisi. Sebelum latihan, subjek diminta untuk melakukan

pengenalan emosi dengan cara memikirkan emosi tersebut dan

mengekspresikannya, setelah itu subjek akan beralih pada penerimaan atas

sensasi apapun yang muncul tanpa penilaian, analisis dan berfikir. Pada

tahap ini, peserta hanya fokus pada sensasi yang muncul, membiarkannya

dan menerimanya.

d. “Membuka Kesadaran dan Menerima Pikiran dan Perasaan”

(Open Awareness & Accepting Minds and Thoughts).

Teknik ini bertujuan untuk menerima pikiran dan perasaan dan

meningkatkan kemampuan empati, karena dalam latihan ini individu belajar

untuk hadir di sini dan sekarang, tidak memberikan penilaian apapun

terhadap setiap pengalaman yang dirasakan, menghadirkan dan

mendengarkan apapun yang muncul, serta mempertahankan sikap fokus dan

relaks.

Pada tahapan ini, subjek dilatih membuka kesadaran dan menerima

fikiran dan perasaan apapun yang muncul, dimana sebelumnya subjek telah

dilatih mengenal emosi dan pikiran dari pendeteksian tubuh, kemudian

kesadaran sujek dibawah pada tahap membuka kesadaran dan menerima,

serta berdamai dengan bentuk pikiran atau perasaan apapun secara sadar,

relaks dan fokus pada saat ini dan di sini.

e. “Melepaskan Hasrat” (Wanting Release).

Melepaskan Hasrat berfungsi untuk melatih peserta lebih menyadari

hasrat (wanting) yang mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku. Hasrat

adalah keinginan kuat untuk mencapai tujuan yang dapat mengakibatkan

individu menjadi kecanduan (habit), bergairah dan bernafsu. Hasrat dapat

terakumulasi menjadi tamak karena hasrat tidak pernah akan terpuaskan

sehingga apabila seseorang telah dapat memenuhi suatu hasrat maka akan

diganti oleh hasrat lain yang lebih besar.

Pada tahap ini, subjek berada pada kesadaran yang lebih tinggi dari

tahap sebelumnya, dimana subjek diminta melepas pesarasaan, emosi,

fikiran apapun yang sebelumnya ada dan disadari. Subjek akan dilatih untuk

tidak lekat pada perasaan apapun, baik emosi negatif ataupun emosi postif

dengan landasan berfikir bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup

akan berlalu dan tidak ada yang tetap. Dengan melepas hasrat, subjek tidak

akan mudah dipengaruhi oleh pikiran dan peristiwa apapun yang muncul,

pada tingkatan ini subjek berada pada tingkatan ihlas, memaafkan dan

pasrah (Silarus, 2015).

f. “Mindfulness dalam Kehidupan Sehari-Hari” (Mindfulness is a

Way of Life).

Dalam sesi ini juga peserta mampu menerima semua objek sensoris,

sensasi tubuh, perasaan dan pikiran yang muncul pada dirinya saat

melakukan meditasi sadar diri. Sesi ini diawali dengan pembelajaran

terhadap lembar instruksi latihan meditasi mindfulness. Kemudian sesi

dilakukan dengan praktek meditasi mindfulness dengan panduan dari

fasilitator. Agar peserta lebih mahir dalam melakukan meditasi mindfulness,

fasilitator meminta peserta membuat kelompok guna berlatih memberikan

instruksi kepada teman yang lainnya.

Menurut Brahm (2007) tahapan dalam latihan mindfulness terbagi

dalam:

a. Tahapan kesadaran saat ini

Kesadaran dimana individu tidak lagi terfokus pada masa lalu, pada

emosi masa lalu yang dianggap sebagai „peti mati‟ oleh Ajahn Brahm. Hal

ini dikarenakan atas dasar bahwa pikiran itu begitu mengagumkan dan aneh,

dengan begitu fikiran dapat melakukan hal-hal yang mengagumkan saat ini

tidak terkait dengan masa lampau ataupun masa depan.

b. Tahapan kesadaran hening saat ini

Keheningan yang dimaksud adalah keheningan tanpa komentar,

menjernihkan perbedaan antara mengalami kesadaran hening akan momen

saat ini dan memikirkan tentang hal itu. Salah satu metode megatasi

komentar dalam hati adalah mengembangkan kesadaran saat ini yang

semakin murni. Dengan mengamati momen saat ini dan begitu dekat

dengannya maka pikiran akan semakin sadar pada momen saat ini, tidak

memiliki waktu untuk berkomentar terhadap apapun yang tidak

berhubungan dengan saat ini.

c. Tahapan kesadaran hening saat ini dan pada nafas

Dalam tahapan ini, kesadaran hening saat ini memilih pada satu hal

saja, satu hal itu bisa berupa pengalaman bernafas, gagasan tentang cinta

kasih, lingkaran warna yang divisualisasikan dalam fikiran atau beberapa

titik pusat kesadaran lainnya.

d. Tahapan perhatian sinambung penuh pada nafas

Tahap ini terdiri dari menyingkir dari jalan yaitu : mengalami setiap

bagian dari masing-masing penarikan dan penghembusan nafas secara

sinambung selama melakukan pernafasan berturut-turut. Lalu setelah itu

dilakukan dengan permulaan nafas dengan indah, tahap ini bertujuan untuk

menyelami sukacita.

e. Perhatian sinambung penuh pada nafas yang indah

Tahap ini biasanya akan mengalir secara murni dari tahap sebelumnya.

Ketika perhatian terkukuhkan terus menerus pada pengalaman bernafas

tanpa suatu apapun yang mengusik arus kesadaran, nafas menjadi tenang,

nafas biasa menjadi nafas indah. Dalam tahap ini, kita tidak perlu berbuat

apa-apa atau jangan melakukan apa-apa, dan hanya keindahan yang tersisa

dan teralami.

f. Mengalami nimitta yang indah

Tahap ini akan tercapai ketika melepaskan tubuh, pemikiran, dan

kelima indra (termasuk kesadaran nafas) sedemikian penuhnya sehingga

hanya tanda batin yang indah.

g. Jhana

Pada tahapan ini dikenal dengan tahapan tertinggi dalam meditasi, hal

itu dikarenakan meskipun seseorang mencapai tahapan ini dengan kesadaran

penuh/sepenuhnya sadar akan tetapi kendali berada di luar jangkauan.

Kemampuan telah dibekukan, mengalami kesadaran sukacita dalam tahap

ini tidak untuk ditakuti atau dihidari namun hanya perlu dikembangkan dan

dilatih dengan cara memasrahkan kepercayaan penuh pada sukacita yang

dialami dan mempertahankannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada beberapa teknik

mindfulness yaitu: breathing meditation, body sensation, compassionate

body scan, open awareness & accepting minds and thoughts, wanting

release, dan mindfulness is a way of life. Tahap lainnya yang sebenarnya

memiliki aspek yang sama antara lain : Tahapan kesadaran saat ini, tahapan

kesadaran hening saat ini, tahapan kesadaran hening saat ini dan pada nafas,

tahapan perhatian sinambung penuh pada nafas, perhatian sinambung penuh

pada nafas yang indah, mengalami nimitta yang indah, tahap jhana,

mengalami nimitta yang indah. Penelitian ini akan memodifikasi teknik-

teknik yang telah dijelaskan di atas dalam sebuah modul agar lebih mudah

dipahami dan sesuai dengan subjek penelitian.

C. Pengaruh Latihan Mindfulness terhadap Peningkatan Subjective Well-

Being pada Remaja Panti Asuhan

Sebagaimana dijelaskan oleh (Hurlock, dalam Supradewi & Mazaya,

2011 ) bahwa perawatan remaja di panti asuhan masih sangat kurang layak

karena remaja dipandang sebagai mahluk biologis bukan sebagai mahluk

sosial dan mahluk psikologis. Sementara masyarakat sering memberi cap

negatif pada mereka, karena pandangan dan stigma tersebut tidak tertutup

kemungkinan akan menimbulkan efek negatif seperti kemarahan dan

kekecewaan, iri dan perasaan tidak puas atas kehidupannya. Hal ini

menyebabkan mereka memiliki deskripsi atau gambaran kebutuhan

psikologis seperti kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri,

mudah putus asa, ketakutan cemasan, (Hartini, dalam Supradewi & Mazaya,

2011).

Mengacu pada keadaan tersebut, menurut (Diener, 2003) Subjective

well-being rendah akan mengalami berbagai macam afek negatif seperti

inferior, pasif, apatis, menarik diri dst, serta tidak puas akan hidupnya dan

jarang merasakan afek positif. Sementara remaja yang memiliki subjective

well-being yang tinggi juga dapat melindungi para remaja dari efek negative

dan situasi stress seperti kekerasan remaja, merokok dan minum-minuman

keras, menggunakan obat-obatan terlarang, depresi, kecemasan, dan

permasalahan psikologis lainnya (Joronen, 2005).

Subjective well being tinggi ditandai dengan tiga aspek yaitu

meningkatnya kepuasan hidup, menurunnya afek negatif dan meningkatnya

afek positif. Kepuasan hidup ditandai dengan: sikap ekstrovert, memiliki

motivasi internal, optimis, memiliki kemampuan menyelesaikan masalah,

memiliki hubungan kerja yang baik, berprestasi, pemaaf dst. Afek negatif

ditandai, adanya perasaan cemas, depresi, stres, malu, rasa bersalah, sedih,

marah, kecewa, tidak menerima (tidak ikhlas) dengan kehidupannya saat ini.

Afek positif ditandai dengan adanya kesenangan (enjoy) rasa bangga, kasih

sayang, rasa syukur dst.

Dalam proses latihan mindfulness, individu dilatih untuk tidak

terpengaruh dengan afek negatif yang muncul baik terkait masa kini ataupun

masa lalu. Subjek hanya dilatih untuk meningkatkan kemampuan untuk

tetap terlibat dalam peristiwa saat ini tanpa memberikan penilaian yang

berlebihan terhadap peristiwa tersebut sebagaimana (Kabat-Zinn, 1998).

Sejalan dengan hal di atas, untuk terhindar dari afek negatif seperti

kesedihan, depresi dan bunuh diri maka remaja juga memerlukan control

diri terhadap emosinya (Shapiro, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

mindfulness dapat digunakan untuk meningkatkan kontrol terhadap rasa

sakit atau untuk eksplorasi diri atau terapi diri dengan jalan relaksasi.

Relaksasi dengan menarik nafas secara berlahan akan meningkatkan fungsi

syaraf untuk membantu individu menghindari reaksi yang berlebihan

karena adanya stress (Utami, 2002). Menurut Weiss (2012) mindfulness

merupakan awareness, attentiveness dan penerimaan peristiwa pada saat ini,

dan dengan mindfulness seseorang akan belajar untuk menentukan strategi

coping untuk menghadapi peristiwa yang sedang dihadapi, belajar untuk

melihat keadaan emosional tanpa melakukan apapun untuk mencoba

mengubah emosi mereka.

Secara global pengaruh mindfulness terhadap subjective well-being

remaja dapat dijelaskan berdasarkan konsep dasar dari latihan mindfulness

dimana subjek dilatih untuk fokus pada keadaan sadar terjaga (awareness)

yang terus-menerus memonitor keadaan diri dan lingkungan luar serta

adanya (attention) atau perhatian (Brown & Ryan (2003). Dalam proses itu,

mindfulness mendorong pergeseran perhatian secara global, mengganti

perhatian yang sebelumnya melekat erat pada pengalaman, perasaan, bentuk

pikiran tertentu (Silarus, 2015). Bentuk fikiran tertentu seperti perasaan

cemas, depresi dan ketidakbahagiaan (subjective well-being rendah) dengan

perspektif mindfulness yang diungkapkan oleh (Blackledge & Hayes, 2001)

maka pikiran negatif yang muncul tidak benar-benar ditanggapi oleh

individu namun menerimanya dan hanya fokus pada saat ini, karena emosi-

emosi tersebut hanya bersifat sementara, tidak memiliki hubungan yang

jelas dengan realitas eksternal (Blackledge & Hayes, 2001).

Mindfulness mengarahkan sepenuhnya pada apa yang terjadi saat ini,

baik secara internal (tubuh-pikiran-emosi) dan lingkungan eksternal

(Shapiro, 2006). Ketika kesadaran fokus pada saat ini, di sini dan sekarang

maka individu tidak akan mudah dipengaruhi oleh afek negatif dan emosi-

emosi negatifnya karena menurut (Brown dan Ryan, 2003) individu yang

memiliki kesadaran penuh akan mampu memutus response set yang

mengendalikan dirinya, response set dapat berupa stimuli internal maupun

eksternal yang berarti berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan dari luar

yang memunculkan perasaan dan emosi negatif, hal itu dapat dikendalikan

dengan kesadaran (Brown dan Ryan, 2003).

Perspektif ini memungkinkan para remaja dapat mengalihkan peristiwa

yang menyakitkan seperti kehilangan orangtua, perasaan malu karena

menganggap dirinya sebagai anak buangan (Teja, 2016). Remaja akan

tumbuh dan melihat perasaan yang dialaminya sebagai hal yang lebih positif

(Silarus 2016). Sejalan dengan pendapat (Robin dkk, 2012) yang

menjelaskan bahwasanya dengan kesadaran penuh seseorang akan mampu

melihat peristiwa yang dihadapi sebagai pengalaman emosional yang lebih

besar kasih sayangnya dari pada sesuatu yang harus dirubah sesuai dengan

emosi diri sendiri.

Latihan mindfulness dengan teknik MBSR (Mindfulness-Based Stress

Reduction) merupakan pendekatan sistem terapi yang berhubungan dengan

meditasi kesadaran penuh (mindfulness) dengan tujuan mengajarkan klien

untuk memusatkan perhatian ke dalam diri sebagai regulasi emosi dan

memberikan ketrampilan agar dapat menjaga diri dan sadar pada kondisi di

luar yang bersifat negatif ataupun positif (Cayoun, 2011).

Mindfulness-Based Stress Reduction terdiri atas enam teknik yang

terdiri dari: breating meditation (meditasi pernafasan), body sentation

(menyadari sensasi tubuh), compasionate body scan (pendeteksian tubuh

dengan sikap penghargaan), open awarness & acepting minds and thoughts

(membuka kesadaran dan menerima pikiran dan perasaan), wanting relase

(melepas hasrat), serta mindfulness is a way of life atau mindfulness dalam

keseharian (Santorelli, 2014).

Selain itu, pelaksanaan latihan mindfulness (mindfulness-based stress

reduction) akan menambahkan elemen tradisional seperti psikoedukasi

untuk membedakan pikiran dan fakta. Peserta latihan dilatih untuk tidak

terlibat dengan emosi dan pemikiran negatif mereka serta perasaan dan

sensasi tubuh yang muncul, dan hanya melihat pengalamannya tersebut

sebagai sebuah peristiwa mental yang dapat dilewati (Segal dkk, 2002).

Latihan mindfulness juga tidak mengajarkan klien untuk mengubah pikiran,

melainkan mengarahkan diri untuk terpisah dari pengalaman internal

tersebut (Fielding, 2009). Adanya proses tersebut menghasilkan perubahan

pada diri klien dan mencegah kekambuhan gangguan psikologis

Pengaruh latihan mindfulness terhadap SWB dapat dilihat secara

terperinci pada setiap tahapan-tahapan dalam proses pelaksanaan

mindfulness. Dalam hal ini, praktek mindfullness akan melibatkan

pernafasan. Bernafas adalah kebutuhan paling utama manusia untuk

bertahan hidup. Seseorang yang hidup dengan berbagai macam tekanan

hidup dan membuatnya cemas, depresi, stress, takut (afek negatif) secara

otomatis akan berpengaruh pada sistem kerja tubuh. Hall (1998)

berpendapat bahwa seluruh sistem tubuh manusia dipengaruhi oleh stress

dan reaksi emosional yang didapatkan dari berbagai macam kondisi yang

tidak menyenangkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seseorang yang

dipengaruhi tekanan emosi negatif seperti takut, stress, cemas jantung akan

bekerja secara tidak beraturan, berdegup lebih cepat, nafas tersenggal-

senggal dan juga akan berpengaruh pada sistem pencernaan, jika pencernaan

terganggu maka semua aktifitas manusia juga terganggu karena pencernaan

merupakan sumber utama pemprosesan energi agar manusia bisa bertahan

hidup. Hal ini dapat dicegah dengan latihan pernafasan dalam prakek

mindfulness.

Tahap menyadari nafas adalah proses awal dalam latihan midnfulness.

Menurut Utami (2002) dengan teknik pernafasan dan menyadari nafas, akan

berpengaruh pada optimalisasi fungsi-fungsi sistem syaraf seperti Syaraf

otonom. Syaraf otonom berfungsi sebagai sistem simpatesis yang bekerja

meningkatkan ransangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu

meningkatkan denyut jantung dan pernafasan, serta mencegah penyempitan

pembuluh darah tepi dan mencegah pembesaran pembuluh darah pusat.

Dengan menyadari bahwa nafas telah berubah dari aliran alaminya dan

telah menjadi tertekan, maka dapat mengubahnya kembali dan menguraikan

ketegangan itu (Hall, 1998). Dengan menyadari nafas dalam proses relaksasi

pernafasan saat memulai meditasi maka dapat membantu individu menjadi

relaks dan mencegah individu memunculkan kesalahan dalam berfikir dan

mengurangi reaksi impulsif terhadap suatu peristiwa sehingga diharapkan

individu mampu mengendalikan kondisi internal ataupun eksternal yang

sedang terjadi (Utami, 2002).

Selain itu, menyadari nafas erat kaitannya dengan reaksi emosi. Hal ini

dijelaskan oleh (James & Lange dalam Sarlito 2000) dinyatakan bahwa

emosi dipengaruhi sistem limbik yang berkaitan dengan amigdala dan

hipotalamus, prefrontal cortex, dan hormon. Bagian hipotalamus ini sendiri

juga dapat mempengaruhi sistem hormonal. Markam & Markam (2003)

menyatakan bahwa thalamus berfungsi menyampaikan sinyal sensoris dari

bagian-bagian lain sistem saraf ke cerebral cortex. Prefrontal cortex

berperan dalam menghambat respon emosional, prefrontal cortex terletak di

bagian depan bawah belahan otak, berfungsi menerima masukan langsung

dari thalamus dorsomedial, korteks temporal, daerah tegmental ventral,

sistem penciuman, dan amygdala (Markam & Markam, 2003). Output

menuju ke beberapa daerah otak, termasuk korteks cingulate, pembentukan

hippocampus, korteks temporal, hipotalamus lateral, dan amigdala.

Akhirnya, berkomunikasi dengan daerah lain dari prefrontal cortex.

Prefrontal cortex mempengaruhi berbagai respon emosional yang

diselenggarakan oleh amigdala. Respon yang baik dari sistem syaraf akan

menghasilkan emosi yang positif yang ditandai meningkatnya perasaan

senang (enjoy), kasih sayang terhadap dirinya dan orang lain, rasa bangga

tanpa harus memiliki afek negatif seperti perasaan malu, kecewa (Markam

& Markam, 2003). .

Tahap selanjutnya adalah teknik body sensation (menyadari sensasi

tubuh). Tahapan ini merupakan lanjutan dari menyadari nafas, artinya

kesadaran remaja akan berpindah dari menyadari nafas ke kesadaran body

sensation. Dalam tahapan ini, tidak ada penilian ataupun penolakan terhadap

sensasi yang bergulir. Perhatikan sensasi tubuh yang halus seperti

munculnya perasaan gatal atau kesemutan terjadi tanpa penilaian dan

membiarkan perasaan itu berlalu. Perhatikan terus berfokus pada setiap

bagian dari tubuh dari kepala sampai kaki. Fokus pada sensory yaitu

perhatikan pada pemandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan tanpa

penilaian dan membiarkannya berlalu. Begitupun saat emosi negatif hadir

dan reaksi tubuh menjadi berubaha maka subjek dilatih untuk menyadari

dan menerima sensasi tersebut, membawa perasaan indah dan damai pada

seluruh tubuh, tanpa beban dan tanpa dicemari oleh fikiran negatif lainnya

namun hanya menyadarinya (Brahm, 2007).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Goldin (2010) menyatakan

bahwa dalam tahapan ini, Goldin mendapatkan waktu reaksi 6 detik lebih

lama setelah melewati praktek mindfulness untuk memberikan kemampuan

mengarahkan perhatian pada pikiran, emosi, dan sensasi fisik. Kemampuan-

kemampuan tersebut memungkinkan jeda 6 detik untuk melaksanakan

penyebaran atensi dan meregulasi emosi. Dengan kata lain, dalam teknik ini

remaja akan belajar meregulasi emosi negatif seperti mudah marah kecewa,

stress karena keadaan menuju afek yang lebih positif (SWB tinggi) seperti,

lebih sabar, lebih menerima, lebih penyayang dan lebih puas terhadap

hidupnya.

Teknik selanjutnya yaitu open awareness & accepting minds and

thouhts (membuka kesadaran serta menerima fikiran dan perasaan). Pada

tahapan ini, individu akan dilatih ke tahap yang lebih dalam dari

sebelumnya, dimana dalam tahapan ini, ada proses membuka kesadaran

secara penuh dan menerima apapun yang muncul, dalam tahapan ini

mungkin saja akan muncul perasaan marah, benci ketika bayangan tentang

kilas balik peristiwa yang menyakitkan di masa lalu, maka individu dilatih

untuk menerima dan berdamai dengan rasa sakit itu. Ketika dalam proses

ini, afek negatif muncul maka individu dilatih untuk menerima tanpa kritik.

Dalam tahapan ini, menurut, Shapiro (1998) akan membantu individu

menyeimbangkan emosi dengan meluangkan waktu menyadari diri sendiri

dan akan membantu mengurangi terjadinya kesalahan, membantu dalam

mengambil keputusan serta meningkatkan kepedulian terhadap orang lain.

Selain itu juga adalah melatih individu untuk lebih memiliki sensitifikasi

kesadaran dalam mengalami semua peristiwa yang sedang dialaminya.

Dengan berlatih menerima emosi dan perasaan, remaja akan terlatih untuk

lebih ikhlas, memaafkan, berpasrah pada sang Ilahi, bersabar menjalani

hidup dan remaja akan merasa puas menjalani hidup (Silarus, 2015).

Teknik wanting relase (melepas hasrat) dan mindfulness is a way of life,

tahap ini akan tercapai ketika individu sudah melebur dan melepaskan

tubuh, pemikiran, dan kelima indra (termasuk kesadaran nafas) sedemikian

penuhnya sehingga hanya tanda batin yang indah (Brahm, 2007). Pada

tahapan ini, individu dilatih untuk tidak lagi fokus pada nafas tapi berpindah

pada pelepasan kesadaran nafas dan tidak terikat apapun lagi. Dari tahap ini,

individu bisa dilatih ke tahap Jhana, dimana dalam tahapan ini mereka

sepenuhnya sadar namun kendali sudah di luar jangkaun. Remaja akan

dilatih untuk memasrahkan kepercayaan penuh pada suka cita yang

dialaminya dan mempertahankannya, (Brahm, 2007). Untuk mencapai

tahapan ini tidaklah mudah, memerlukan latihan yang sangat ketat, karena

pada tahapan ini, individu yang mampu melebur dengan sukacitanya,

terlepas dari sensasi indera yang dialaminya ditahap sebelumnya maka

individu tersebut dapat mencapai pencapaian tertinggi dalam meditasi

mindfulness yaitu mencapai “pencerahan/tercerahkan”.

Berbagai penelitian lain terkait teknik mindfulness dapat meningkatkan

SWB salah satunya dilakukan oleh (Kirby, 2007), menurutnya setelah

individu menjadi sadar maka akan lebih mudah untuk melepaskan diri dari

hal negatif dan membantu menurunankan siklus negatif dari pemikiran yang

berkontribusi terhadap kecemasan, stres dan suasana hati yang rendah.

Menurutnya hanya dengan mengakui, menyadari dan menerima pemikiran

tersebut maka akan memberikan rasa mendalam dan mendapatkan kembali

kontrol dari pikiran yang terlalu sibuk dengan tekanan stres (Kirby, 2007)

Pendapat tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh

carmody & Bear (2008) yang melihat bahwa dengan praktek mindfulness

dalam keseharian dapat meningkatkan kemampuan dalam menyadari gejala-

gejala gangguan psikologi dan kesejahteraan fisik yang mengganggu.

Keadaan sadar yang membebaskan dan melepaskan segala penderitaan

dengan terkondisikan, individu dilatih mengolah kesadaran mengenai

pengalaman yang dirasakan sekarang dengan sikap yang terbuka dan rasa

ingin tahu yang besar, serta membiarkan pengalaman tersebut hadir

sebagaimana adanya serta melepaskan segala keinginan atau kebutuhan

untuk menilai atau mengubah pengalaman tersebut (Davis dkk, 2007).

Selain itu, penelitian yang dilakukan Fox dkk (2014) menjelaskan

bahwa perubahan sifat otak telah diamati dalam studi pencitraan

saraf/neuroimaging dengan menggunakan MRI. Dalam meta-analisis

terhadap 21 studi pencitraan saraf, delapan daerah otak daitemukan secara

konsisten mengalami perubahan, termasuk wilayah-wilayah yang menjadi

kunci untuk perubahan-kesadaran (frontopolar cortex), dan pengaturan diri

dan emosi (singular anterior cortex dan orbitofrontal cortex). Dalam hal ini,

latihan mindfulness akan memberikan asupan oksigen pada bagian tersebut

untuk memperlancar jalur stimulus emosi sehingga tidak muncul perilaku

reflektif yang cenderung dipengaruhi oleh situasi emosi yang muncul dari

amigdala karena informasi diinterpretasi dengan baik oleh lobus frontalis.

D. Landasan Teoritik

Menurut Dalimunthe, (2015) pemisahan anak dari lingkungan asuhnya

dapat menimbulkan tekanan akibat perubahan situasi hidup yang bersumber

dari: pengalaman kehilangan figur dekat, situasi baru yang tidak dikenali,

tak dapat memperkirakan apa yang akan dihadapi selanjutnya, perubahan

kebiasaan, terpisah dari “secure base”. Tidak semua individu dapat

memaknai dan melewati peristiwa hidupnya dengan baik, itu karena

penilaian terhadap apa yang dialami pada setiap individu sangatlah

subyektif, dan pengalaman tersebut akan dievaluasi secara subyektif

(Diener, 2002). Evaluasi yang dilakukan setiap individu secara subyektif

itulah yang dinamakan subjecctive well-bein (Diener, 2003).

Subjective well-being diturunkan dari konsep filsafat (Diener dkk,

2008). Memahami bagaiman perasaan seseorang dan bahagaimana pendapat

seseorang tentang kehidupannya merupakan hal yang penting dalam

memahami well-being (Diener & Suh, 1997). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

subjective well-being sebagai salahsatu pengukuran kualitas hidup individu

dan masyarakat.

Diener & Suh (1997) mengajukan tiga komponen yang terpisah dari

subjective well-being, yaitu : Kepuasan hidup, perasaan menyenangkan

(afek positif) dan perasaan tidak menyenangkan (afek negatif). Kepuasan

hidup (life satisfaction) yaitu penilaian kognitif terhadap keseluruhan hidup

individu. Afek positif merupakan dorongan dan perasaan yang

menyenangkan, sementara afek negatif merupakan suatu bentuk

penggambaran pengalaman yang terjadi dalam kehidupan individu. Afek

negatif merupakan kombinasi dari dorongan dan hal-hal yang tidak

menyenangkan. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut terdiri dari

emosi-emosi negatif seperti kecemasan, kemarahan dan ketakutan (Diener,

2005). Ketiga aspek di atas merupakan komponen dasar dari subjective well-

being yang dikemukakan oleh Diener (2005).

Menurut Siener & McGaran (2008), bagia individu, keluarga

merupakan sumber kepuasasan hidup yang sangat penting. Secara

psikologis ketidakhadiran keluarga akan berpengaruh pada setiap individu

(Teja, 2004). Salah satu masalah psikologis adalah renahnya subjective well-

being yang dimiliki, hal ditunjukkan dalam beberapa penelitian bahwa

remaja panti asuhan cenderung memiliki subjective well-being rendah yang

didandai dengan adanya (afek negatif) seperti perasaan marah, sedih, iri dan

tidak optimis (Imelda, 2015). Munculnya afek negative menurut Dewi &

Utami (2008) dikarenakan adanya harapan atau keinginannya yang tidak

sesuai dengan kondisi yang dihadapinya sehingga menimbulkan reaksi

psikologis tertentu.

Sejalan dengan pendapat Teja (2016) yang menyatakan bahwa kondisi

psikologis anak panti asuhan sangat dipengaruhi atas adanya keterikatan

emosional (attachment) dengan pengasuh awal (orangtua/keluarga

dekatnya), kondisi pengasuh baru, pengalaman terdahulu anak dengan

separasi, jumlah dan lamanya perpisahan terdahulu, pelayanan dan adanya

berbagai macam masalah sosial lainnya, yang memungkinkan munculnya

berbagai tekanan psikologis. Peran pengasuh menurut (Teja, 2004) cukup

berpengaruh pada perkembangan psikologis anak, hal ini diperkuat oleh

pendapat (Dalimunthe, 2015) yang menyatakan bahwa pengasuh panti

usuhan umumnya tidak dapat melibatkan diri secara makimal terhadap

perkembangan anak hal ini dikarenakan pengetahuan pengasuh yang

terbatas, kesenjangan jumlah pengasuh dan anak asuh serta banyak kendala

lainnya. Menurut Rose (1994). Subjective well being rendah cenderung

memiliki perasaan minder dan menutup diri karena tidak percaya diri akan

statusnya sebagai anak panti asuhan. Kesadaran menyadari reaksi psikologis

sangat dibutuhkan untuk meminimalkan munculnya reaksi psikologis akibat

stresor yang terjadi (Smith dalam Prawitasaei dkk, 2002).

Kualitas kesadaran diri muncul sebagai mindfulness (kesadaran penuh)

yang didasari pada meningkatnya keadaan sadar terjaga dan perhatian di

sini-saat ini (Kabbar-Zin, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa mindfulness

merupakan peningkatan kesadaran dengan berfokus pada pengalaman masa

kini (present-moment awareness) tanpa memberikan penilaian Kabet-Zinn

(dalam Stanley dkk, 2006). Konsep kesadaran penuh atau mindfulness

merupakan teknik atau metode latihan yang digunakan untuk melatih

perhatian untuk meningkatkan taraf kesadaran, yang selanjutnya dapat

membawa proses-proses mental agar terkontrol secara sadar (Smith dalam

Prawitasaei dkk, 2002).

Menurut Walsh (dalam Prawitasari dkk, 2002) latihan mindfulness

merupakan tradisi spiritual budaya Timur, yang dipengaruhi oleh adanya

human potential movement dan penilaian-penilaian tentang adanya

kesadaran lain di luar kesadaran normal sehari-hari yang disebut dengan

ASC (Altered Stattes Of Conciousness). Dalam pendekatan transpersonal

sebagai mashab ke empat dalam dunia psikologi yang memfokuskan diri

pada bentuk-bentuk kesadaran manusia khususnya taraf kesadaran ASC,

yang kemudian taraf ASC ini dapat dicapai melalui latihan mindfulness

(Walsh dalam Prawitasari dkk, 2002).

Memiliki kesadaran penuh merupakan hal yang sangat penting sebagai

jangkar utama untuk meningkatkan kesejahteraan subjective (Davidson

dalam Siegel, 2015). Ketika kesadaran seseorang muncul maka akan

mempunyai perasaan mengetahui dan mengenal keberadaannya, sehingga

memungkinkannya untuk mampu mengontrol emosinya dengan

pemahamannya (Damasio, 2000).

Dengan latihan menerima dan melepas dalam tahapan latihan

maindfulness, individu akan berlatih untuk menahan perasaan yang selama

ini dihentikan dan ditahan kemudian mengisinkannya untuk pergi, tujuannya

adalah untuk mendapatkan kebebasan dari emosi apapun (Dwoskin, 2009).

Individu akan dilatih untuk fokus pada kesadarannya saat ini, kemudian

kesadaran tersebut serta merta akan bergeser dari perasaan yang awalnya

dipenuhi dengan afek negatif seperti apatis, sedih, takut, nafsu, marah dan

bangga akan dilepaskan kemudian akann tergantikan dengan perasaan yan

lebih positif seperti perasaan bersemangat, menerima, memaafkan dan

secara berlahan akan bergeser pada tingkat yang lebih tinggi yaitu ikhlas

menerima (Dwoskin, 2009).

Efek latihan midnfulenss pada aspek psikologis telah banyak dilaporkan

kedalam beberapa penelitian, anatara lain penelitian yang dilakukan oleh

(Hjelee dalam Walsh dalam Prawitasari dkk, 2002), ditemukan bahwa orang

yang melaksanakan latihan mindfulness lebih rendah taraf kecemasannya,

dan lebih tinggi taraf kontrol dirinya, lebih internal dan lebih tinggi

aktualisasi dirinya. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Berg & Mulder

dalam Prawitasari dkk, 2002) melaporkan bahwa subjek yang melaksanakan

teknik trancendental meditation menunjukkan peningkatan harga diri,

kekuatan ego, kepuasan aktualisasi diri dan kepercayaan pada orang lain.

Selain itu juga disebutkan bahwa bahwa orang-orang yang melaksanakan

latihan mindfulness cukup lama menunjukkan tingkat neurotik depresi dan

sesnsitivitas terhadap kritik yang rendah. Selain itu mindfulness juga efektif

untuk menurunkan afek negatif seperti stress, kecemasan, depresi, phoia dan

insomnia (Walsh dalam Prawitasari dkk, 2002).

Sebuah studi University of California menemukan bahwa pasien yang

melakukan program meditasi mindfulness dalam 8 minggu mengalami

penurunan depresi dan gejala kecemasan, memiliki kontrol diri lebih baik

dan kesejahteraan yang lebih tinggi (Locklear, 2011). Depresi dan

kecemasan merupakan aspek dari afek negatif sebagai ciri rendahnya

subjetive well-being yang dimiliki seseorang (Diene, 2003). Berdasarkan

studi tersebut membuktikan bahwa latihan mindfulness efektif diberikan

untuk meningkatkan kesejahteraan individu dan menurunkan berbagai

macam afek negatif. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Cayoun, (Afandi,

2011) yang mengatakan bahwa mindfulness merupakan jalur untuk

mempermudah seseorang melakukan kontrol diri dalam menghadapi

masalah seperti kecemasan, depresi dan gejala traumatik. Penelitian

dilakukan oleh (Demarso dkk, 2015) membuktikan bahwa dengan latihan

mindfulness selama 6 bulan, individu dapat menurunkan tingkat stres yang

dialaminya oleh perawat di Brasil dan juga dapat menaikkan tingkat

kesejahteraan subjectivenya para perawat.

Selain itu, dijelaskan bahwa meditasi mindfulness merupakan salah

satu pendekatan yang efektif untuk memampukan individu melalui penyakit

dan rasa sakit (Smith, 2008), meningkatkan afek positif, menurunkan stres

(Vieten & Astin, 2008), kecemasan, depresi, mempengaruhi penerimaan

diri, serta regulasi emosi dan kesejahteraan diri pada populasi klinis maupun

nonklinis. Kesadaran penuh juga mampu meningkatkan kesehatan fisik dan

mental melalui relaksasi dan pengurangan reaktivitas stres secara fisik

(Branstrom dkk, 2010).

Proses latihan mindfulness dengan teknik MBSR (Mindfulness-Based

Stress Reduction) terdiri dari enam tahapan atau teknik yaitu: meditasi

pernafasan, menyadari sensasi tubuh, pendeteksian tubuh dengan

penghargaan, membuka kesadaran dan menerima pikiran dan perasaan

dengan penghargaan, melepas hasrat serta mindfulness sehari-hari Kabat-

Zinn (1998).

Pada dimensi interpersonal, menurut (Walsh dalam Prawitasari dkk,

2002) individu dilatih untuk menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar

dirinya sehingga individu harus berlatih untuk tidak terpengaruh dan tetap

teguh pada kesadaran. Kesadaran penuh dalam teknik latihan mindfulness

menekankan pada penerimaan dan pelepasan dengan menggunakan

kesadaran sebagai jangkar utama (Kabat-Zinn, 1998). Proses pelaksanaan

latihan mindfulness yaitu subjek berlatih untuk menyadari ketegangan,

perasaan berat yang muncul dalam dirinya, ketegangan dan rasa berat

tersebut kemudian dilepaskan dan menggantinya dengan perasaan tenang

dan perasaan yang lebih ringan, selain itu perasaan tidak bahagia, bingung

dan emosi lainnya akan disadasari dengan cara menerima kemudian

melepasnya dan menggantikannya dengan perasaan bahagia, jelas dan lebih

ringan (Dwoskin, 2009). Pada dasarnya teknik pelepasan dalam mindfulness

melatih individu bagaimana pikiran dan perasaannya tidak lagi terbelenggu

dengan afek yang tidak menyenangkan dengan cara menerima dan melepas

dengan penuh kesadaran(Kabat-Zinn (1998). Dalam proses pelepasan

subjek tetap terlibat dalam peristiwa saat ini tanpa memberikan penilaian

yang berlebihan terhadap peristiwa yang muncul, proses ini mengacu pada

teori yang dijelaskan oleh Kabat-Zinn (1998).

Berdasarkan paparan berbagai teori dan hasil-hasil penelitian yang

diuraikan di atas, diperoleh bukti empiris bahwa latihan mindfulness

berperan secara langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan

subjective well-being remaja. Harapannya, dengan memberikan latihan

mindfulness pada remaja panti asuhan akan lebih mampu untuk mengontrol

emosinya, lebih bersyukur dengan kehidupannya meskipun harus tinggal di

panti asuhan, lebih mencintai dirinya dan menerima apa adanya, lebih

mampu melakukan kegiatan yang positif dan penuh penghargaan tanpa rasa

malu dan tidak percaya diri, yang kemudian secara umum akan

meningkatkan subjective well-being yang dimiliki

Dari urain di atas maka kerangka berfikir dalam penelitian ini akan

dijelaskan dalam bagan di bawah ini :

Gambar 1 : Kerangka Berfikir Peneliti

Keterangan :

: Menyebabkan: : Intervensi; : Ranah Intervensi

1. Breathing meditation

2. Body Sensation

3. Compassionate Body Scan

4. Open Awareness &

Accepting Minds and

Thoughts

5. Wanting Release

6. Mindfulness is a Way of

Life

Pelatihan Mindfulness

Merasakan berbagai emosi

negatif

Ketidak puasan hidup

Emosi positif rendah

Ketidakhadiran orangtua saat masa remaja

+

Perasaan terbuang dan terabaikan karena tinggal

di panti.

Subjective well being rendah

Subjective well-being

meningkat

Emosi negatif berkurang bahkan normal

Kepuasan hidup meningkat

Emosi positif meningkat

E. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat

subjective well-being pada remaja yang tinggal di panti asuhan antara

sebelum dan sesudah latihan mindfulness diberikan. Subjective well-being

setelah latihan mindfulness lebih tinggi dibandingkan sebelum latihan

mindfulness.