1. Pengajaran Ushul Fiqh

17
1 PENDEKATAN DAN METODOLOGI PENGAJARAN USHUL FIQH DI INDONESIA PENDAHULUAN Berdasarkan beberapa kajian tentang berbagai literatur, Ushul Fiqh pada umumnya didefinisikan sebagai kumpulan kaidah-kaidah yang digunakan oleh mujtahid dalam upaya menghasilkan fiqh. 1 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa urgensi mengkaji Ushul Fiqh di antaranya adalah mampu menghasilkan fiqh dan mengetahui argumen- argumen yang dipakai oleh mujtahid dalam ijtihadnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila terjadi perbedaan fiqh dalam khazanah pemikiran hukum Islam. Hal ini sangat dimungkinkan karena perbedaan kaedah ushuliyyah yang dipergunakan oleh masing-masing mujtahid. Secara geneologis, kegiatan memproduksi hukum dengan ijtihad sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah Saw. 1 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushulal- Fiqh, (Beirut: Maktabah al- Bathair, 1976), h. 11

Transcript of 1. Pengajaran Ushul Fiqh

Page 1: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

1

PENDEKATAN DAN METODOLOGI PENGAJARAN USHUL FIQH DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Berdasarkan beberapa kajian tentang berbagai literatur, Ushul Fiqh pada

umumnya didefinisikan sebagai kumpulan kaidah-kaidah yang digunakan oleh

mujtahid dalam upaya menghasilkan fiqh.1 Dari definisi tersebut dapat dipahami

bahwa urgensi mengkaji Ushul Fiqh di antaranya adalah mampu menghasilkan fiqh

dan mengetahui argumen-argumen yang dipakai oleh mujtahid dalam ijtihadnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila terjadi perbedaan fiqh dalam

khazanah pemikiran hukum Islam. Hal ini sangat dimungkinkan karena perbedaan

kaedah ushuliyyah yang dipergunakan oleh masing-masing mujtahid.

Secara geneologis, kegiatan memproduksi hukum dengan ijtihad sebenarnya

telah ada sejak masa Rasulullah Saw. Dan berkembang dengan pesat setelah Rasul

meninggal, di mana daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problema yag

dihadapi masyarakat semakin kompleks . Karena aturan hukumnya tidak dijumpai

dalam al-Quran dan al-Sunnah. Oleh sebab itu para mujtahid merumuskan

seperangkat kaidah2 yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah

yang muncul tersebut.3

1 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushulal- Fiqh, (Beirut: Maktabah al-Bathair, 1976), h. 112 Jalal al-Diin ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu',

(Semarang: PT Abd al-Qadir al-Munawwar, tt), h. 6 3Iskandar Uthman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1994), h. 4-5

Page 2: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

2

Pada periode keemasan Islam muncul beberapa mujtahid4 terkemuka yang

berusaha untuk menyusun kerangka berfikir ushul fiqh (metodologi hukum Islam)

yang dijadikan sebagai metode untuk memecahkan persoalan-persoalan fiqh

kontemporer, akan tetapi menurut Satria Efendi studi hukum Islam di Indonesia tidak

seperti masa keemasan Islam. Sebab lebih banyak ditekankan kepada penguasaan

materi hukum Fiqh sementara metode perumusan hukum fiqh kurang mendapat

perhatian.5

Oleh sebab itu, makalah ini mencoba mengungkapkan bagaimana

sesungguhnya pengajaran Ushul Fiqh di Indonesia dan bagaimana aplikasinya dalam

kehidupan bermasyarakat (misalkan dalam bentuk fatwa kolektif dan personal)

PENGAJARAN USHUL FIQH DI INDONESIA

Ushul Fiqh di Indonesia belum diketahui secara pasti. Menurut salah satu

sumber bahwa ilmu ushul Fiqh dipelajari oleh putra-putra Indonesia bersamaan ketika

mereka menuntut ilmu di tanah suci Makkah al-Mukarramah. Di antara mereka

adalah Syekh Ahmad Chotib, Syekh Muhammad Thayyib Umar, Syekh Abdullah

Karim Amrullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Ibrahim

Musa, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Muhammad Jamil

Djambek, dan Syekh Abdullah Halaban. Setelah mereka menyelesaikan studi di tanah

4 Kamil Musa, al-Madkhal ila Tasyri’ al-Islâmy, (Mesir: PT. Al-Muassasah al-Risalah, tt.) h. 145-160

5Satria Efendi M. Zein, “Metodologi Hukum Islam,” dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona,l (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 117

Page 3: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

3

suci Makkah al-Mukarramah mereka pulang ke negeri masing-masing dan mulai

mengembangkan ilmu yang mereka miliki.6

Sedangkan menurut Martin Van Bruinessen bahwa kitab-kitab ushul fiqh sudah

diajarkan di pesantren-pesantren sekitar penghujung abab ke-19. Hal ini terungkap

dengan adanya penyebutan oleh Van Ronkel dalam katalog perpustakaan musium

Jakarta (1913) beberapa naskah Syarah Waraqot dan Jami al Jawami.7

Ushul fiqh baru mendapat perhatian serius pertama kali dari kaum muda, yang

sering menggunakannya sebagai penyanggah dalam berjuang melawan apa yang

dianggap bid’ah, pada dasawarsa 1920-an majalah kaum muda al-Ittifaq wa al-Iftiraq

banyak menulis tentang ushul fiqh, dengan mengutip al-Asybah al-Nazairnya al-

Suyuthi, al-Risalah Imam Syafii dan Bidayah al-Mujtahid Ibnu Rusyd.8

Di samping itu, munculnya minat untuk mempelajari dan mengkaji ushul fiqh

lebih serius, dengan keyakinan bahwa pintu ijtihad tidak perlu ditutup dan taqlid buta

tidak layak bagi orang yang berakal. Dalam perkembangan selanjutnya banyak kitab-

kitab fiqh yang diterbitkan, baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia,

atau karangan orang Indonesia sendiri. Di antara kitab-kitab ushul fiqh yang beredar

di Indonesia adalah: al-Asbah wa al-Nazair karya al-Suyuthi, al-Risalah karya Imam

Syafii, al-Ihkam fi al-Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Ushul Fiqh Khudari Bek,

Ushul Fiqh Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh Abu Zahrah, Ushul Fiqh Wahbah al-

Zuhaili, al-Wajiz fi al-Ushul Fiqh karya Abdul Karim Zaidan, Ushul Fiqh

6Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 817Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantern dan Tarikat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 1238 Ibid

Page 4: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

4

Departemen agama, Ushul Fiqh Hanafi, Amir Syarifuddin 2 Jilid, Ushul Fiqh Nasrun

Haroen 2 Jilid.

Karena begitu pentingnya ilmu ushul fiqh tersebut maka dewasa ini ushul fiqh

yang merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan ajaran Islam menjadi

mata pelajaran wajib disetiap lembaga pendidikan keagamaan untuk madrasah

Tsanawiyah, Aliyah,9 STAIN, IAIN, dan UIN.10

Untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah pelajaran ushul fiqh diberikan dalam

bentuk sederhana berupa pokok-pokok ilmu ushul fiqh.11 Buku-buku yang

dipergunakan adalah buku-buku ushul fiqh berbahasa Indonesia oleh Tim Penyusun

Direktoral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Sedangkan untuk perguran tinggi

dan sederajat menurut kurikulum yang ditetapkan Direktur Jendral Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Depag RI, ushul fiqh merupakan mata kuliah dasar

keahlian (MKDK) dan diberikan kepada semua fakultas, jurusan, dan program studi

dengan perbedaan bobot SKSnya.12 Disajikan bahasan yang meliputi:

1. Pendahuluan

a. Ushul Fiqh, Pengertian, obyek, tujuan, ruang lingkup (sistematika) dan

perbedaannya dengan fiqh.

b. Sejarah dan perkembangan ushul fiqh dari masa Rasulullah, Sahabat, dan

Tabiin.

9Ibid10Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. ix11Proyek Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Ditjen Binbaga Islam Depag RI, Pedoman

Pelaksanaan Mata Pelajaran Fiqh, (Jakarta: Departemen Agama, 1998), h. 5-812 Lihat Kurikulum dan Silabus STAIN Samarinda Tahun 1999 dan Silabus IAIN Sunan Ampel

Surabaya Tahun 2000.

Page 5: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

5

c. Munculnya Ushul Fiqh, aliran-aliran dan karya-karya ilmiah.

2. Sumber-sumber Hukum Islam baik yang disepakati maupun yang tidak.

3. Hukum-hukum Syar’i

4. Kaidah-kaidah Ushuliyyah.

5. Kaidah Fiqhiyyah.

Akhmad Minhaji dalam makalahnya yang berjudul Reorientasi Kajian Ushul

Fiqh mengungkapkan bahwa ada anggapan ushul fiqh itu selalu dikaitkan dengan

persoalan hukum Islam, dan seolah-olah disiplin ilmu diluar ushul fiqh tidak

memerlukan ushul fiqh.13 Hal itu terlihat banyaknya persoalan-persoalan

kemasyarkatan yang terjadi, dalam penyelesaiannya tidak merujuk kepada ushul fiqh

misalnya persengketaan perwatasan tanah, perselisihan antar etnis. Oleh sebab itu

untuk menepis anggapan harus kembali pada kedua model pendekatan ushul fiqh,

dokriner-normatif-deduktif dan empiris-historis-induktif.

Model pendekatan doktriner-normatif-deduktif adalah model pendekatan yang

mendasarkan segala aktivitas kehidupan berdasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah.

Misalnya pembahasan suatu masalah biasanya dimulai dengan mengutip suatu ayat

atau hadits dan dijelaskan arti kandungan makna dan ilustrasi lain yang terkait.

Penjelasan seperti ini sangat memperhatikan realitas sosial. Oleh sebab itu agar

pemahaman suatu masalah dapat dilakukan secara komperensif maka diperlukan

13Akhmad Minhaji, “Reoreintasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Journal Al-Jami’ah IAIN Jogjakarta No. 63/VI/1999, h. 15

Page 6: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

6

model pendekatan empiris-historis induktif. Untuk menjelaskan sekaligus menjawab

persoalan-persoalan hukum atau persoalan lainnya.Pendekan seperti ini memaksa si

pemikir untuk melihat realitas sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat

dilanjutkan dengan mengindentifikasi masalah sekaligus menawarkan alternatif yang

dibutuhkan.14

Secara doktriner-normatif-deduktif kita menerima al-Quran, al-Sunnah, Ijma

dan Qiyas (atau versi Muh. Syaltut: al-Quran, al-Sunnah, dan ijtihad) sebagai sumber

hukum Islam. Namun bagaimana memahami al-Quran dan al-Sunnah, hubungan

antara keduanya apalagi jika terjadi pertentangan dalil, sejarah munculnya ijma,

bagaimana proses ijtihad dan bagaimana pula memahami hasil-hasil ijtihad itu

sendiri? Semua itu memerlukan penelitian yang mendalam, dan di sinilah model

pendekatan yang pertama tidak dapat menerima persoalan-persoalan tersebut. Maka

pendekatan model kedua sangat diperlukan untuk menjelaskannya secara rinci.

Aplikasi kedua model pendekatan tersebut diatas dapat dilacak pada model

pemahaman al-Quran Abu Ishaq al-Syatibi,15 double movement-nya Fazlur Rahman,

konsep nasakh model Mahmud Muhammad Thaha, ijtihad intiqoi dan insyai yang

ditawarkan Yusuf Qordawi dan Teori Batas (Thoery of limits, hudud) yang

dianjurkan Muhammad Syahrur.16

14Ibid15Al-Syathiby, al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syari’ah Vol. 2, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah

Al-Kubro, tt), h. 391-393 16

? Ibid, h. 17

Page 7: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

7

Oleh sebab itu menurut penulis, pengajaran ushul fiqh di Indonesia agar tidak

dikatakan ketinggalan zaman dan dapat merespon permasalahan baru yang muncul

dalam masyarakat, maka metodologi hukum Islam yang ditawarkan seperti di atas

saat ini perlu dikaji secara mendalam oleh mahasiswa perguruan tinggi agama Islam.

APLIKASI USHUL FIQH DALAM BERBAGAI KEPUTUSAN HUKUM

Setelah mengetahui pengajaran ushul fiqh di Indonesia terutama di Perguruan

Tinggi Agama Islam, maka di sini diungkap beberapa keputusan hukum yang telah

ditetapkan berdasarkan penalaran ushul fiqh, baik secara kelembagaan maupun secara

personal.

1. Fatwa-fatwa MUI

Dalam upaya Pemerintah untuk meratakan konsumsi protein hewani dan

perbaikan gizi keluarga, serta menggalakkan pengembangan peternakan kelinci

sebagian besar masyarakat luas, khususnya masyarakat tani di pedesaan adalah

ummat Islam, Majlis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan hukum dan

memfatwakan, bahwa memakan daging kelinci hukumnya halal, berdasarkan

Hadis dari Anas ia berkata, “melintas di depan kami seekor kelinci di Marri

Zahran, maka orang-orang mengejar dan menangkapnya, dan aku dapatinya,

maka aku memberikan kepada Abu Thalhahlalu disembelihnya. Dan ia mengirim

kepada Rasulullah kedua pahanya dan beliau menerimanya” (Diriwayatkan oleh

Jamaah-Nail al-authar Juz 7 hl.137)17 Menurut Atho Mudzhar bahwa untuk

17MUI, Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (Jakarta: PT. MUI, 1997), h. 156-157

Page 8: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

8

melihat tingkat keabsahan fatwa-fatwa MUI dari segi syari, diperlukan

pengamatan ushul fiqh terhadap proses perumusan fatwa-fatwa itu. 18Secara

teoritis MUI mempunyai pedoman bahwa dasar mengeluarkan suatu fatwa ialah

setelah meneliti secara tuntas dasar-dasr atau argumen-argumen dari al-Quran ,

al-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dengan urutan seperti itu menurut Atho Mudzhar

bahwa MUI tidak konsisten mengikuti urutan itu secara prosedur. 19Ada fatwa

yang langsung melihat hadis tanpa meninjau argumen al-Quran terlebih dahulu,

ada juga yang langsung saja mengutip teks suatu kitab fiqh tanpa melihat tiga

sumber sebelumnya.

Sebagai contoh fatwa tentang halalnya daging kelinci tersebut di atas,

ditetapkan atas dasar sebuah hadis yang dikutip dari kitab Nayl al-Awtar karya

Imam Syaukani tanpa terlebih dahulu melihat dari keumuman ayat al-Quran20

tentang halalnya daging hewan. Sebaliknya, fatwa tentang keikutsertaan orang

Islam dalam suatu perayaan Natal atau fatwa lainnya yang menyangkut

hubungan antar agama sarat dengan kutipan-kitipan ayat al-Quran.21

2. Fatwa Personal

Sebagai contoh nikah via telpon yang dikeluarkan A Hasan yang

berkesimpulan bahwa tidak dapat dipersalahkan yang menerima perkawinan

dengan perantaraan telpon atau sebagainya, sepanjang persyaratan-persyaratanya

terpenuhi, oleh karena via telepon suara seseorang dapat dikenal. Contoh di

18Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 13419Ibid20QS. Al-Maidah ayat, h. 4-521 Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa MUI, (Jakarta: INIS, 1993), h. 17-123

Page 9: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

9

Indonesia persaksian melihat hilal ntuk menetapkan awal ramadhan dan syawal

disampaikan via telepon dapat diterima.22

Sebelum sampai pada kesimpulan itu A. Hasan mengutip beberapa hadis atau

riwayat yng menerangkan cara perkawinan yang pernah berlaku pada zaman nabi

Muhammad Saw, yaitu

a. dengan cara berhadapan pada waktu ijab qabul laki-laki dan perempuan, dan

lain-lainnya hadir.

b. Laki-laki, perempuan ditanya sendiri-sendiri oleh nabi dengan tidak

berhadap-hadapan sesudah keduanya suka maka nabi menikahkannya.

c. Raja Habsyah pernah mengawinkan seorang perempuan kepada nabi denga

tidak setahu dan seizin nabi tetapi beliau terima.

d. Suruh orang lain mengawinkan diri kepada seorang perempuan dengan

sama-sama tidak hadir.23

Dari fatwa A. Hasan tersebut tidak disertakan dalil nash yang menceritakan

tentang keempat cara perkawinan yang menurut A. Hasan sudah pernah berlaku pada

zaman nabi, dan juga tidak mengajukan argumen dari naskah-naskah argumen dari

naskah-naskah fiqh klasik yang berkaitan dengan cara-cara perkawianan yang layak

atau diperbolehkan oleh syaraiat Islam. Diduga A. Hasan hanya menyandarkan

keputusannya itu pada keberagamana cara untuk melangsungkan perkawinan yang

menurutnya pernah terjadi pada masa nabi.24

22 A. Hasan, Soal Jawab Masalah Agama IV, (Bangil: Pustaka, 1985), h. 140723 Ibid, h. 140824Muhammad Mukhtar Husain, Zawâlah ibn Majah ‘Ala Al-Kitb al-Khamsah (Bairut: Daar al-

Kutub al-‘Alamiyah, tt), 269, lihat Jalal al-Dîn al-Suyuthy, Syarah Sunan al-Nasai, (Semarang : PT.

Page 10: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

10

PENUTUP

Dari penjelasaan diatas dapat disimpulkan bahwa pengajaran ushul fiqh di

Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda walaupun tidak seintensif

seperti zaman sekarang. Gairah pembelajaran ushul fiqh mulai nampak pada masa

modern karena mereka sadar persoalan yang muncul dalam masyarakat terus

berkembang dan ushul fiqh merupakan alat untuk menjawab persoalan-persoalan fiqh

tersebut. Untuk menjawab tantangan zaman diperlukan model-model pendekatan

ushul fiqh yang mapan, seperti kedua pendekatan yang dijelaskan diatas. Semenatra

aplokasinya dapat menetapkan hukum Islam penalaran ushul fiqh sudah mulai

digunakan sejak zaman daluhu dan berkembang sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasan, Soal Jawab Masalah Agama IV, (Bangil: Pustaka, 1985), h. 1407

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushulal- Fiqh, (Beirut: Maktabah al-Bathair, 1976), h. 11

Akhmad Minhaji, “Reoreintasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Journal Al-Jami’ah IAIN Jogjakarta No. 63/VI/1999, h. 15

Al-Syathiby, al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syari’ah Vol. 2, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubro, tt), h. 391-393

Toha Putra, 1930), h. 93 dan lihat juga dalam Syarah Al-Zurqani ‘ala Muwatha Imam Malik Vol. 3, (Mesir ; Dar al-Fikr, tt.), h. 126-127

Page 11: 1. Pengajaran Ushul Fiqh

11

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. ix

Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa MUI, (Jakarta: INIS, 1993), h. 17-123

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 134

Iskandar Uthman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 4-5

Jalal al-Diin ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu', (Semarang: PT Abd al-Qadir al-Munawwar, tt), h. 6

Kamil Musa, al-Madkhal ila Tasyri’ al-Islâmy, (Mesir: PT. Al-Muassasah al-Risalah, tt.) h. 145-160

Kurikulum dan Silabus STAIN Samarinda Tahun 1999 dan Silabus IAIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2000.

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantern dan Tarikat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 123

Muhammad Mukhtar Husain, Zawâlah ibn Majah ‘Ala Al-Kitb al-Khamsah (Bairut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, tt), 269, lihat Jalal al-Dîn al-Suyuthy, Syarah Sunan al-Nasai, (Semarang : PT. Toha Putra, 1930), h. 93 dan lihat juga dalam Syarah Al-Zurqani ‘ala Muwatha Imam Malik Vol. 3, (Mesir ; Dar al-Fikr, tt.), h. 126-127

MUI, Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (Jakarta: PT. MUI, 1997), h. 156-157

Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 81

Proyek Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Ditjen Binbaga Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Mata Pelajaran Fiqh, (Jakarta: Departemen Agama, 1998), h. 5-8

Satria Efendi M. Zein, “Metodologi Hukum Islam,” dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona,l (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 117