1. Pengajaran Ushul Fiqh
Transcript of 1. Pengajaran Ushul Fiqh
1
PENDEKATAN DAN METODOLOGI PENGAJARAN USHUL FIQH DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Berdasarkan beberapa kajian tentang berbagai literatur, Ushul Fiqh pada
umumnya didefinisikan sebagai kumpulan kaidah-kaidah yang digunakan oleh
mujtahid dalam upaya menghasilkan fiqh.1 Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa urgensi mengkaji Ushul Fiqh di antaranya adalah mampu menghasilkan fiqh
dan mengetahui argumen-argumen yang dipakai oleh mujtahid dalam ijtihadnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila terjadi perbedaan fiqh dalam
khazanah pemikiran hukum Islam. Hal ini sangat dimungkinkan karena perbedaan
kaedah ushuliyyah yang dipergunakan oleh masing-masing mujtahid.
Secara geneologis, kegiatan memproduksi hukum dengan ijtihad sebenarnya
telah ada sejak masa Rasulullah Saw. Dan berkembang dengan pesat setelah Rasul
meninggal, di mana daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problema yag
dihadapi masyarakat semakin kompleks . Karena aturan hukumnya tidak dijumpai
dalam al-Quran dan al-Sunnah. Oleh sebab itu para mujtahid merumuskan
seperangkat kaidah2 yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah
yang muncul tersebut.3
1 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushulal- Fiqh, (Beirut: Maktabah al-Bathair, 1976), h. 112 Jalal al-Diin ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu',
(Semarang: PT Abd al-Qadir al-Munawwar, tt), h. 6 3Iskandar Uthman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 4-5
2
Pada periode keemasan Islam muncul beberapa mujtahid4 terkemuka yang
berusaha untuk menyusun kerangka berfikir ushul fiqh (metodologi hukum Islam)
yang dijadikan sebagai metode untuk memecahkan persoalan-persoalan fiqh
kontemporer, akan tetapi menurut Satria Efendi studi hukum Islam di Indonesia tidak
seperti masa keemasan Islam. Sebab lebih banyak ditekankan kepada penguasaan
materi hukum Fiqh sementara metode perumusan hukum fiqh kurang mendapat
perhatian.5
Oleh sebab itu, makalah ini mencoba mengungkapkan bagaimana
sesungguhnya pengajaran Ushul Fiqh di Indonesia dan bagaimana aplikasinya dalam
kehidupan bermasyarakat (misalkan dalam bentuk fatwa kolektif dan personal)
PENGAJARAN USHUL FIQH DI INDONESIA
Ushul Fiqh di Indonesia belum diketahui secara pasti. Menurut salah satu
sumber bahwa ilmu ushul Fiqh dipelajari oleh putra-putra Indonesia bersamaan ketika
mereka menuntut ilmu di tanah suci Makkah al-Mukarramah. Di antara mereka
adalah Syekh Ahmad Chotib, Syekh Muhammad Thayyib Umar, Syekh Abdullah
Karim Amrullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Ibrahim
Musa, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Muhammad Jamil
Djambek, dan Syekh Abdullah Halaban. Setelah mereka menyelesaikan studi di tanah
4 Kamil Musa, al-Madkhal ila Tasyri’ al-Islâmy, (Mesir: PT. Al-Muassasah al-Risalah, tt.) h. 145-160
5Satria Efendi M. Zein, “Metodologi Hukum Islam,” dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona,l (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 117
3
suci Makkah al-Mukarramah mereka pulang ke negeri masing-masing dan mulai
mengembangkan ilmu yang mereka miliki.6
Sedangkan menurut Martin Van Bruinessen bahwa kitab-kitab ushul fiqh sudah
diajarkan di pesantren-pesantren sekitar penghujung abab ke-19. Hal ini terungkap
dengan adanya penyebutan oleh Van Ronkel dalam katalog perpustakaan musium
Jakarta (1913) beberapa naskah Syarah Waraqot dan Jami al Jawami.7
Ushul fiqh baru mendapat perhatian serius pertama kali dari kaum muda, yang
sering menggunakannya sebagai penyanggah dalam berjuang melawan apa yang
dianggap bid’ah, pada dasawarsa 1920-an majalah kaum muda al-Ittifaq wa al-Iftiraq
banyak menulis tentang ushul fiqh, dengan mengutip al-Asybah al-Nazairnya al-
Suyuthi, al-Risalah Imam Syafii dan Bidayah al-Mujtahid Ibnu Rusyd.8
Di samping itu, munculnya minat untuk mempelajari dan mengkaji ushul fiqh
lebih serius, dengan keyakinan bahwa pintu ijtihad tidak perlu ditutup dan taqlid buta
tidak layak bagi orang yang berakal. Dalam perkembangan selanjutnya banyak kitab-
kitab fiqh yang diterbitkan, baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia,
atau karangan orang Indonesia sendiri. Di antara kitab-kitab ushul fiqh yang beredar
di Indonesia adalah: al-Asbah wa al-Nazair karya al-Suyuthi, al-Risalah karya Imam
Syafii, al-Ihkam fi al-Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Ushul Fiqh Khudari Bek,
Ushul Fiqh Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh Abu Zahrah, Ushul Fiqh Wahbah al-
Zuhaili, al-Wajiz fi al-Ushul Fiqh karya Abdul Karim Zaidan, Ushul Fiqh
6Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 817Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantern dan Tarikat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 1238 Ibid
4
Departemen agama, Ushul Fiqh Hanafi, Amir Syarifuddin 2 Jilid, Ushul Fiqh Nasrun
Haroen 2 Jilid.
Karena begitu pentingnya ilmu ushul fiqh tersebut maka dewasa ini ushul fiqh
yang merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan ajaran Islam menjadi
mata pelajaran wajib disetiap lembaga pendidikan keagamaan untuk madrasah
Tsanawiyah, Aliyah,9 STAIN, IAIN, dan UIN.10
Untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah pelajaran ushul fiqh diberikan dalam
bentuk sederhana berupa pokok-pokok ilmu ushul fiqh.11 Buku-buku yang
dipergunakan adalah buku-buku ushul fiqh berbahasa Indonesia oleh Tim Penyusun
Direktoral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Sedangkan untuk perguran tinggi
dan sederajat menurut kurikulum yang ditetapkan Direktur Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Depag RI, ushul fiqh merupakan mata kuliah dasar
keahlian (MKDK) dan diberikan kepada semua fakultas, jurusan, dan program studi
dengan perbedaan bobot SKSnya.12 Disajikan bahasan yang meliputi:
1. Pendahuluan
a. Ushul Fiqh, Pengertian, obyek, tujuan, ruang lingkup (sistematika) dan
perbedaannya dengan fiqh.
b. Sejarah dan perkembangan ushul fiqh dari masa Rasulullah, Sahabat, dan
Tabiin.
9Ibid10Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. ix11Proyek Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Ditjen Binbaga Islam Depag RI, Pedoman
Pelaksanaan Mata Pelajaran Fiqh, (Jakarta: Departemen Agama, 1998), h. 5-812 Lihat Kurikulum dan Silabus STAIN Samarinda Tahun 1999 dan Silabus IAIN Sunan Ampel
Surabaya Tahun 2000.
5
c. Munculnya Ushul Fiqh, aliran-aliran dan karya-karya ilmiah.
2. Sumber-sumber Hukum Islam baik yang disepakati maupun yang tidak.
3. Hukum-hukum Syar’i
4. Kaidah-kaidah Ushuliyyah.
5. Kaidah Fiqhiyyah.
Akhmad Minhaji dalam makalahnya yang berjudul Reorientasi Kajian Ushul
Fiqh mengungkapkan bahwa ada anggapan ushul fiqh itu selalu dikaitkan dengan
persoalan hukum Islam, dan seolah-olah disiplin ilmu diluar ushul fiqh tidak
memerlukan ushul fiqh.13 Hal itu terlihat banyaknya persoalan-persoalan
kemasyarkatan yang terjadi, dalam penyelesaiannya tidak merujuk kepada ushul fiqh
misalnya persengketaan perwatasan tanah, perselisihan antar etnis. Oleh sebab itu
untuk menepis anggapan harus kembali pada kedua model pendekatan ushul fiqh,
dokriner-normatif-deduktif dan empiris-historis-induktif.
Model pendekatan doktriner-normatif-deduktif adalah model pendekatan yang
mendasarkan segala aktivitas kehidupan berdasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah.
Misalnya pembahasan suatu masalah biasanya dimulai dengan mengutip suatu ayat
atau hadits dan dijelaskan arti kandungan makna dan ilustrasi lain yang terkait.
Penjelasan seperti ini sangat memperhatikan realitas sosial. Oleh sebab itu agar
pemahaman suatu masalah dapat dilakukan secara komperensif maka diperlukan
13Akhmad Minhaji, “Reoreintasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Journal Al-Jami’ah IAIN Jogjakarta No. 63/VI/1999, h. 15
6
model pendekatan empiris-historis induktif. Untuk menjelaskan sekaligus menjawab
persoalan-persoalan hukum atau persoalan lainnya.Pendekan seperti ini memaksa si
pemikir untuk melihat realitas sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat
dilanjutkan dengan mengindentifikasi masalah sekaligus menawarkan alternatif yang
dibutuhkan.14
Secara doktriner-normatif-deduktif kita menerima al-Quran, al-Sunnah, Ijma
dan Qiyas (atau versi Muh. Syaltut: al-Quran, al-Sunnah, dan ijtihad) sebagai sumber
hukum Islam. Namun bagaimana memahami al-Quran dan al-Sunnah, hubungan
antara keduanya apalagi jika terjadi pertentangan dalil, sejarah munculnya ijma,
bagaimana proses ijtihad dan bagaimana pula memahami hasil-hasil ijtihad itu
sendiri? Semua itu memerlukan penelitian yang mendalam, dan di sinilah model
pendekatan yang pertama tidak dapat menerima persoalan-persoalan tersebut. Maka
pendekatan model kedua sangat diperlukan untuk menjelaskannya secara rinci.
Aplikasi kedua model pendekatan tersebut diatas dapat dilacak pada model
pemahaman al-Quran Abu Ishaq al-Syatibi,15 double movement-nya Fazlur Rahman,
konsep nasakh model Mahmud Muhammad Thaha, ijtihad intiqoi dan insyai yang
ditawarkan Yusuf Qordawi dan Teori Batas (Thoery of limits, hudud) yang
dianjurkan Muhammad Syahrur.16
14Ibid15Al-Syathiby, al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syari’ah Vol. 2, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah
Al-Kubro, tt), h. 391-393 16
? Ibid, h. 17
7
Oleh sebab itu menurut penulis, pengajaran ushul fiqh di Indonesia agar tidak
dikatakan ketinggalan zaman dan dapat merespon permasalahan baru yang muncul
dalam masyarakat, maka metodologi hukum Islam yang ditawarkan seperti di atas
saat ini perlu dikaji secara mendalam oleh mahasiswa perguruan tinggi agama Islam.
APLIKASI USHUL FIQH DALAM BERBAGAI KEPUTUSAN HUKUM
Setelah mengetahui pengajaran ushul fiqh di Indonesia terutama di Perguruan
Tinggi Agama Islam, maka di sini diungkap beberapa keputusan hukum yang telah
ditetapkan berdasarkan penalaran ushul fiqh, baik secara kelembagaan maupun secara
personal.
1. Fatwa-fatwa MUI
Dalam upaya Pemerintah untuk meratakan konsumsi protein hewani dan
perbaikan gizi keluarga, serta menggalakkan pengembangan peternakan kelinci
sebagian besar masyarakat luas, khususnya masyarakat tani di pedesaan adalah
ummat Islam, Majlis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan hukum dan
memfatwakan, bahwa memakan daging kelinci hukumnya halal, berdasarkan
Hadis dari Anas ia berkata, “melintas di depan kami seekor kelinci di Marri
Zahran, maka orang-orang mengejar dan menangkapnya, dan aku dapatinya,
maka aku memberikan kepada Abu Thalhahlalu disembelihnya. Dan ia mengirim
kepada Rasulullah kedua pahanya dan beliau menerimanya” (Diriwayatkan oleh
Jamaah-Nail al-authar Juz 7 hl.137)17 Menurut Atho Mudzhar bahwa untuk
17MUI, Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (Jakarta: PT. MUI, 1997), h. 156-157
8
melihat tingkat keabsahan fatwa-fatwa MUI dari segi syari, diperlukan
pengamatan ushul fiqh terhadap proses perumusan fatwa-fatwa itu. 18Secara
teoritis MUI mempunyai pedoman bahwa dasar mengeluarkan suatu fatwa ialah
setelah meneliti secara tuntas dasar-dasr atau argumen-argumen dari al-Quran ,
al-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dengan urutan seperti itu menurut Atho Mudzhar
bahwa MUI tidak konsisten mengikuti urutan itu secara prosedur. 19Ada fatwa
yang langsung melihat hadis tanpa meninjau argumen al-Quran terlebih dahulu,
ada juga yang langsung saja mengutip teks suatu kitab fiqh tanpa melihat tiga
sumber sebelumnya.
Sebagai contoh fatwa tentang halalnya daging kelinci tersebut di atas,
ditetapkan atas dasar sebuah hadis yang dikutip dari kitab Nayl al-Awtar karya
Imam Syaukani tanpa terlebih dahulu melihat dari keumuman ayat al-Quran20
tentang halalnya daging hewan. Sebaliknya, fatwa tentang keikutsertaan orang
Islam dalam suatu perayaan Natal atau fatwa lainnya yang menyangkut
hubungan antar agama sarat dengan kutipan-kitipan ayat al-Quran.21
2. Fatwa Personal
Sebagai contoh nikah via telpon yang dikeluarkan A Hasan yang
berkesimpulan bahwa tidak dapat dipersalahkan yang menerima perkawinan
dengan perantaraan telpon atau sebagainya, sepanjang persyaratan-persyaratanya
terpenuhi, oleh karena via telepon suara seseorang dapat dikenal. Contoh di
18Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 13419Ibid20QS. Al-Maidah ayat, h. 4-521 Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa MUI, (Jakarta: INIS, 1993), h. 17-123
9
Indonesia persaksian melihat hilal ntuk menetapkan awal ramadhan dan syawal
disampaikan via telepon dapat diterima.22
Sebelum sampai pada kesimpulan itu A. Hasan mengutip beberapa hadis atau
riwayat yng menerangkan cara perkawinan yang pernah berlaku pada zaman nabi
Muhammad Saw, yaitu
a. dengan cara berhadapan pada waktu ijab qabul laki-laki dan perempuan, dan
lain-lainnya hadir.
b. Laki-laki, perempuan ditanya sendiri-sendiri oleh nabi dengan tidak
berhadap-hadapan sesudah keduanya suka maka nabi menikahkannya.
c. Raja Habsyah pernah mengawinkan seorang perempuan kepada nabi denga
tidak setahu dan seizin nabi tetapi beliau terima.
d. Suruh orang lain mengawinkan diri kepada seorang perempuan dengan
sama-sama tidak hadir.23
Dari fatwa A. Hasan tersebut tidak disertakan dalil nash yang menceritakan
tentang keempat cara perkawinan yang menurut A. Hasan sudah pernah berlaku pada
zaman nabi, dan juga tidak mengajukan argumen dari naskah-naskah argumen dari
naskah-naskah fiqh klasik yang berkaitan dengan cara-cara perkawianan yang layak
atau diperbolehkan oleh syaraiat Islam. Diduga A. Hasan hanya menyandarkan
keputusannya itu pada keberagamana cara untuk melangsungkan perkawinan yang
menurutnya pernah terjadi pada masa nabi.24
22 A. Hasan, Soal Jawab Masalah Agama IV, (Bangil: Pustaka, 1985), h. 140723 Ibid, h. 140824Muhammad Mukhtar Husain, Zawâlah ibn Majah ‘Ala Al-Kitb al-Khamsah (Bairut: Daar al-
Kutub al-‘Alamiyah, tt), 269, lihat Jalal al-Dîn al-Suyuthy, Syarah Sunan al-Nasai, (Semarang : PT.
10
PENUTUP
Dari penjelasaan diatas dapat disimpulkan bahwa pengajaran ushul fiqh di
Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda walaupun tidak seintensif
seperti zaman sekarang. Gairah pembelajaran ushul fiqh mulai nampak pada masa
modern karena mereka sadar persoalan yang muncul dalam masyarakat terus
berkembang dan ushul fiqh merupakan alat untuk menjawab persoalan-persoalan fiqh
tersebut. Untuk menjawab tantangan zaman diperlukan model-model pendekatan
ushul fiqh yang mapan, seperti kedua pendekatan yang dijelaskan diatas. Semenatra
aplokasinya dapat menetapkan hukum Islam penalaran ushul fiqh sudah mulai
digunakan sejak zaman daluhu dan berkembang sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan, Soal Jawab Masalah Agama IV, (Bangil: Pustaka, 1985), h. 1407
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushulal- Fiqh, (Beirut: Maktabah al-Bathair, 1976), h. 11
Akhmad Minhaji, “Reoreintasi Kajian Ushul Fiqh” dalam Journal Al-Jami’ah IAIN Jogjakarta No. 63/VI/1999, h. 15
Al-Syathiby, al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syari’ah Vol. 2, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubro, tt), h. 391-393
Toha Putra, 1930), h. 93 dan lihat juga dalam Syarah Al-Zurqani ‘ala Muwatha Imam Malik Vol. 3, (Mesir ; Dar al-Fikr, tt.), h. 126-127
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. ix
Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa MUI, (Jakarta: INIS, 1993), h. 17-123
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 134
Iskandar Uthman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 4-5
Jalal al-Diin ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu', (Semarang: PT Abd al-Qadir al-Munawwar, tt), h. 6
Kamil Musa, al-Madkhal ila Tasyri’ al-Islâmy, (Mesir: PT. Al-Muassasah al-Risalah, tt.) h. 145-160
Kurikulum dan Silabus STAIN Samarinda Tahun 1999 dan Silabus IAIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2000.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantern dan Tarikat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 123
Muhammad Mukhtar Husain, Zawâlah ibn Majah ‘Ala Al-Kitb al-Khamsah (Bairut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, tt), 269, lihat Jalal al-Dîn al-Suyuthy, Syarah Sunan al-Nasai, (Semarang : PT. Toha Putra, 1930), h. 93 dan lihat juga dalam Syarah Al-Zurqani ‘ala Muwatha Imam Malik Vol. 3, (Mesir ; Dar al-Fikr, tt.), h. 126-127
MUI, Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (Jakarta: PT. MUI, 1997), h. 156-157
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 81
Proyek Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Ditjen Binbaga Islam Depag RI, Pedoman Pelaksanaan Mata Pelajaran Fiqh, (Jakarta: Departemen Agama, 1998), h. 5-8
Satria Efendi M. Zein, “Metodologi Hukum Islam,” dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona,l (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 117