1. Cerpen Randu Atmaja · PDF fileSementara di bagian ujung rumah ini tepatnya dekat kamar...
-
Upload
dangnguyet -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
Transcript of 1. Cerpen Randu Atmaja · PDF fileSementara di bagian ujung rumah ini tepatnya dekat kamar...
1
Randu Atmaja
Honda Jazz itu meluncur cepat. Bak kilat menyambar pepohonan yang
menjulang ke langit. Tak urung lagi Randu memacu kencang mobilnya. Jalan
pikirannya tertumpah saat Ishya berucap diseberang handphone
genggamnya,“Ran, aku hamil..!!”
Tak pedulikan suasana keramaian kota malam itu. Padahal jalan utama
menuju rumah Ishya di bilangan Jakarta Selatan macet total. Walau sedikit agak
jauh dari jalan biasanya, namun untuk sekarang inilah solusi terbaik mengatasi
kemacetan. Harapan satu-satunya adalah melintasi jalan tikus. Yang nantinya
tembus tepat limapuluh meter sebelah kiri diseberang rumah Ishya. Rumah yang
tak asing lagi bagi Randu untuk menginjakkan kakinya. Rumah mewah dengan
arsitek terkenal di Jakarta turun tangan menyulap lahan 2000 meter persegi
menjadi gedung megah bertingkat satu. Dengan berbagai pernak-pernik untuk
melengkapi sense keindahan. Ukiran Jepara selalu tersaji disetiap sudut ruangan.
Perabotnya pun tak ayal lagi didatangkan dari luar negeri. Yah, penghuninya
memang royal untuk masalah keindahan huniannya. Tak mau kalah seperti
pengusaha ternama saingannya.
Halamannya ditumbuhi bunga warna warni rupannya. Cukup menawan
untuk sebuah istana. Dibelakangnya terdapat taman mini. Dilengkapi dengan
aliran arus sungai buatan yang bermuara di kolam induk. Dipinggirannya dihiasi
dengan pohon palem muda dihiasi lampu-lampu kecil. Kerlap-kerlip seperti
lampu diskotik. Disana ada pondok-pondok kecil beratapkan daun rumbia pilihan
yang langsung diambil dari Papua. Gunanya tempat berteduh, ketika selesai
memanjakan tubuh di kolam renang. Makanan ringan dan setumpuk koran
tersaji di meja minimalis. Cemilan disaat santai sambil membaca surat kabar.
Sementara di bagian ujung rumah ini tepatnya dekat kamar pembantu ada
sebidang tanah dipagari jeruji besi batangan sebesar lengan tangan orang
dewasa. Berjarak tiga meter yang diselimuti kawat-kawat duri. Tingginya sekitar
2,5 meter. Lantainya dipenuhi rerumputan yang masih segar. Ada kubangan
kecil tempat bermainnya anak-anak Rusa. Ternyata penghuni rumah ini
menyukai rusa yang bertanduk cabang. Sangat Privasi, tamupun tak boleh
2
menghampiri atau sekedar melongok, takut karena tahu binatang ini dilindungi
oleh pemerintah.
***
Gerimis rintik-rintik menjadikan jalanan licin. Hawa dingin pun menyeruak
menusuk-nusuk persendian. Tangan Randu gemetaran tak kuasa lagi
mengendalikan bola-bola stir mobilnya. Ah, mungkin saja untuk seberkas
kenangan yang tiba-tiba melintas dibenaknya. Tak ada sedikitpun senyuman
tergeletak di bibirnya. Walau sering berkata gombal pada semua cewek yang
menjadi kekasihnya. Tampang playboy nya pun tak kentara. Kumis tipisnya
dipangkas habis-habisan bebarengan dengan jambang tebalnya. Ini kali
pertamanya. Itupun karena sebuah permintaan maha agung dari sang
kekasihnya ISHYA. Disaat Randu mengutarakan isi hatinya. “Ran, Aku juga
mencintaimu, tapi kamu harus janji untuk hidup bersamaku selamanya. Aku
takut kehilanganmu. Dan satu lagi, kumis ama jambangmu dicukur ya..?”.
Tersenyum lembut. Tangannya menggenggaman erat jari-jemari Randu. Lebih
kuat lagi. Tatapan matanya lekat tepat di jidat Randu. Ishya benar-benar tak
ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Karena dulu, dahulu sekali Ishya
pernah disakiti seorang pria yang kini menjadi mantan kekasihnya. Wajahnya
mendekat. Lebih dekat lagi. Keduanya terengah. Randu membalas menatap
gadis itu. Menatapnya tajam. Pipinya yang kemerah-merahan dan rambut
legamnya terurai meliuk-liuk diterpa angin malam. Menjadikan naluri nafsu
lelakinya memuncak. Bibirnya mulai beradu, berpagutan. Lidahnya memelintir.
Turut mengambil peran. Sementara tangannya mulai menggerayangi bagian
sensitif gadis itu. Ishya tak kuasa menahan gejolak penerimaan yang mulai
merasuk meracuni otaknya. Tangannya menggenggam erat pundak Randu.
Bibirnya mendekat ke telinga Randu melontarkan sepatah kata yang terdengar
lirih sekali. “Ran, dikamar saja...”. Keduanya bergumul. Nista. Lebih hina dari
seekor binatang.
***
“Aaaaarrrggghh...!!!” Randu tak kuasa menahan sakit yang dideranya.
Kedua kakinya masih seperti dulu. Ditindihi sebatang balok tebal. Terkunci oleh
gulungan rantai dengan gembok pengunci yang besar. Lidahnya kelu. Tak
mampu berucap. Tak ada yang iba untuk menolongnya. Keluarga, Ayah dan Ibu
serta saudara-saudaranya tak sudi membesuknya. Sepertinya sengaja dilakukan
hanya untuk menjadikannya jera. Dia pun pasrah dengan keadaan seperti itu.
3
Tak ada cara yang lebih baik kecuali terus menghakimi dirinya. Walau terlintas
dibenaknya kesalahan itu bukan tanpa campur tangan kedua orang tuanya. Yang
memaksanya untuk menjadikan Ishya sebagai kekasihnya. Awalnya Randu
menolak keras permintaan orang tuanya. Namun lama-kelamaan benih cinta dan
kasih sayang itu secara ajaib muncul ditengah-tengah kebingungannya mencari
jati diri. “Sudahlah Nak, kamu ikuti saja kata Romo mu itu. Ojo gawe wirange
wong tuo.. (jangan buat marahnya orang tua)”. Pesan ibunya kala itu. Raden
Adyaksa Atmaja. Nama Romo-nya dan menjadi kebanggan Randu ketika
pertama kalinya masuk sekolah menengah. Walau terkadang sering kali jalan
pikirannya tak sependapat dengan Romo-nya. Keturunan darah biru menjadi
andalannya untuk menarik simpati teman perempuan satu sekolahnya.
Sedangkan ibunya Puji Mustika. Asli keturunan Sumatera. Entah tepatnya daerah
mana Randu tak begitu paham.
***
“Beeerrrr...!!!” suara pintu gerbang berderet. Didorongnya perlahan kekiri
oleh Pak Ponir. Satpam penjaga rumah itu. Randu segera memijak pedal gasnya.
Masuk dan memarkirkan mobilnya tepat didepan pintu utama. Tak sabar ingin
segera bertemu Ishya. Untuk mendengarkan kata-katanya langsung dari bibir
Ishya perihal ucapannya di Handphone tadi sore. Didobraknya pintu depan.
Tergesa-gesa Randu masuk dan menuju kamar Ishya di lantai dua. Tak
dijumpainya seorangpun dalam gedung yang mewah ini. Rumah ini sepi. Sunyi
senyap. Kedua orang tua Ishya entah kemana tak tahu rimbanya. Ayahnya pergi
keluar kota dengan alasan ada urusan kantor. Sedangkan ibunya sibuk dengan
urusan pribadinya. Memanjakan tubuhnya dengan pergi kesalon kecantikan. Tak
pernah absen. Sepertinya hal tersebut menjadikannya agenda rutin setiap hari.
Yah, keluarga ini memang broken home. Dan Ishya adalah korban dari keegoisan
kedua orang tuanya yang tak pernah akur. Padahal sudah tujuhbelas tahun
lamanya mengarungi biduk rumah tangga. Sepertinya ada yang disembunyikan
dikeluarga ini. Hingga setiap hari percekcokan adu mulut terus terjadi. Pernah
sekali Ishya mendengar samar-samar Ayahnya memarahi Ibunya dan tak segan-
segan melayangkan tangan kekarnya kearah Ibunya. Waktu itu disiang bolong,
ketika Ishya baru pulang sekolah. “Dasar perempuan malam..!!tak tahu diri.
Masih untung aku mau menikahimu. Jika tidak, kau akan menjadi perempuan
binal. Pelacur, pezina..!! Uruslah anak perempuanmu itu Anggraini..!!”. Ishya
hanya tertunduk sedih. Berlalu melewati kedua orang tuanya. Buliran air
4
matanya pun terkadang habis hanya untuk meratapi nasib masa depannya.
Bagaimana mungkin bisa meraih cita-cita agungnya, sementara keadaanya
seperti ini terus menerus? Namun Ishya berusaha tegar menghadapi kenyataan
ini. Walau tekanan batin yang amat dahsyat bertubi-tubi menghantamnya.
Randu masih membisu dalam keadaan kaki terpasung. Dipondok tua
belakang rumahnya. Tangannya kini mulai liar. Mengorek-ngorek sesuatu di balik
saku celananya. Tak tahu apa yang dicarinya. Gerimis masih menghiasi sore itu.
Bahkan kini berganti kabut tipis. Guratan awannya mulai pudar. Pertanda hari
menjelang malam. Samar-samar diantara cahaya temaram dari sebuah lampu
teplok yang bersandar didinding yang terbuat dari anyaman bambu. Terlihat
Randu memegang sesuatu yang didapat dari sakunya. Pisau lipat kecil!
Sepertinya pikirannya mulai keruh. Mengingat-ingat cercaan orang-orang yang
lewat didepannya.
“.......pemuda tak berbudi! Mana jiwa gentle-mu? Berani berbuat tak
sanggup bertanggung jawab!”
“.......tak ku sangka kau akan sebejat itu! Anak orang kau hamili, tanpa
memikirkan masa depannya!”
“........cowok brengsek lo! Gara-gara kamu, dia nekat bunuh diri tuh!”
Kata-kata itu terus terngiang ditelinganya. Seakan tak kuasa mendengar,
Randu pun menyumpal telinganya dengan kedua tangannya. Tangannya
gemetaran. Wajahnya dibanjiri genangan air mata. Menangis karena menyesali
perbuatannya atau sekedar basa-basi saja. Dia tampak kurus. Raut wajahnya
kusut. Tak terurus oleh pemiliknya.
***
“Shya...!!”
“Shya...!!, Dimana kamu..?” Randu terus mengintari rumah itu. Masuk
kamar satu ke kamar lainnya. Ishya pun tak kunjung jua ditemukan. Panik,
hampir setengah ruangan seisi rumah itu sudah di jelajahi. Tak ada tanda-tanda
keberadaan Ishya. Randu pun kemudian turun masuk kekamar Ishya satunya
lagi di lantai dasar. “Shya, ini aku Randu....!!” kembali berteriak. Diketuknya
pintu kamar berkali-kali. Namun tak kunjung dibuka. Tak sabar ingin bertemu,
didobraknya pintu itu. Jebol juga pertahanan kamar yang sengaja dikunci rapat-
rapat oleh Ishya. Tak ingin diganggu atau sekedar bertemu menatap saja.
Tekanan batin begitu dahsyat mengguncang gadis yang masih duduk di bangku
kelas 3 sekolah menegah atas. Cobaan itu tak selayaknya di pikul oleh putri
5
tunggal seorang pengusaha terkenal Pramana Wijaya. Tapi, desakan lingkungan
yang selalu memberi peluang. Keluarga yang tak kunjung harmonis.
Menjadikannya jalan hitam tempat pelariannya. Sesegukan, menangis, dan
menyesali keadaan. Nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin keadaan ini diubah
menjadi apa yang diinginkannya. Kejadian malam minggu setengah tahun yang
lalu dikemas jadi kenangan terindah namun begitu kelabu. Ishya akan sangat
terpukul, suatu saat ketika teman-teman sekolahnya mengetahui perihal
kehamilannya. “Cewek murahan, hamil diluar nikah..” kata-kata yang selalu
menyelimuti pikirannya.
“Shya..?” sapa Randu pelan mendekati duduk disampingnya. Ishya masih
termenung disudut kamarnya. Duduk bersandar di tempat tidurnya. Dengan rok
abu-abu yang masih dipakainya. Tak bergeming. Tatapannya kosong
menerawang kedepan. Tangannya masih memegangi taspek. Pikirannya masih
kelabu. Mengumpulkan segenap kekuatan untuk meluapkan keberaniannya.
Dipalingkannya wajah ayu itu kearah Randu. Bibir merah merekah gemetar
seperti hendak mengeluarkan sesuatu. Ishya tetap manis, cantiknya tak pudar.
Masih seperti dulu, walau kini sudah berbadan dua. “Kau harus menikahiku, Ran!
Kau harus menikahiku!!” ucapnya meledak-ledak. Air mata diatas pipinya
berderai. Memikirkan nasib calon bayi yang lahir tanpa seorang ayah. “Aku telat
Ran, kau harus bertanggungjawab!”. Mendongakkan kepalanya memaksa Randu
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tatapannya berat. Sepertinya
Ishya tahu akan menerima sesuatu yang bakal merugikan dirinya. Randu tak
mau bertanggung jawab.
“Gila kamu ya Shya..!, masa aku harus bertanggung jawab, sementara
hanya satu kali aku berbuat? Kamu ini cewek malam Shya, yang mau kencan
dengan siapapun. Entah berapa pria yang telah bergumul denganmu. Aku
menyesal jadi pacarmu. Kalau saja orang tuaku tak memaksaku, tak sudi
kulabuhkan hati ini untukmu. Cewek kotor. Kita putus, mulai detik ini jalan kita
berbeda”
***
“Anak Bapak harus bertanggungjawab setelah diketahui penyebab utama
Ishya bunuh diri karena masalah percintaan”. Samar-samar terdengar. Randu
bangun dari tidurnya. Ayah Ishya berbincang diruang tamu dengan Romo-nya.
“Begini saja Pak, kita selesaikan masalah ini sesuai adat yang berlaku, kami
6
sekeluarga sangat terpukul dengan kejadian ini”. Bisa saja hukum negara
berlaku. Menjerat pemuda tak berbudi. Berbuat tanpa dipikirkan akibatnya.
Namun karena kedua keluarga ini sudah lama saling mengenal. Dan walau harus
kehilangan anaknya, Pramana Wijaya pun dengan berbesar hati menerima.
Randu dipasung...!
“Tidaaak......!” Randu berteriak hingga terdengar sejauh mata memandang.
Masih seperti dulu. Tubuhnya tergolek lemah. Bermandikan tanah yang mulai
basah oleh tetesan air hujan. Atap alang-alangnya bocor. Air matanya
membuncah. Membanjiri kelopaknya. Tak ada gunanya meratapi pebuatan
bejatnya. Memorinya tertutup awan hitam pekat. Dulu mengapa berucap
semena. Tak mau menikahi Ishya. Walau dengan sadar Randu memang sangat
sayang dengannya. Tidak siap untuk menikah. “Randu, masih ingin sekolah
Romo..!” ucapannya ketika diinterogasi oleh kedua orangtuanya. Pandangannya
pun mulai samar-samar. “Ha..ha...ha..!”Randu tertawa lepas diantara tangisnya
yang menderu-deru. Akalnya lepas. Randu gila!
Dini hari. Bintang tak kunjung membuka matanya. Bulanpun sama, tak mau
menampakkan senyumnya. Benar-benar terpenjara. Hanya suara binatang
malam yang leluasa bebas bernyanyi. Hujan makin lebat. Sementara langit
mengeram-geram. Larikan petir menyambar-nyambar. Dinginnya angin malam
tidak mampu menyelusup ke pikirannya. Otak Randu panas. Terbakar emosi.
Tangannya masih sedari tadi menggenggam sebilah pisau lipat. Kini diarahkan
untuk sedetak nyawa. Seikat tumpuan hidupnya. Tubuhnya gemetar. Dan...
Craat..!
“Arrghhhh............!!!”
Darah segar mengalir deras, melingkari pergelangan tangan kirinya.
Perlahan tubuh gempalnya tersuruk. Rebah begitu saja. Pandangannya kabur.
Semuanya menjadi gelap. Sangat gelap. Randu ingin menyusul kekasihnya. Di
alam lain untuk menyatakan penyesalannya. Detak jantungnya melemah. Dan
Randu Atmaja meninggal. (Tamat)
Ditulis di Alai Ilir, 21 Januari 2011. jam 13.00 wib