1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung ...

51
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi ayam buras dijumpai di kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga. Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Bakrie et al.,2003). Hal ini terlihat dari peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2001 – 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (Aman, 2011). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya. Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Kondisi yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam kampung adalah rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi (Gunawan, 2002; Zakaria, 2004a), terutama sekali pemberian pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya informasi

Transcript of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya

sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan

ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat

beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya sangat luas karena populasi

ayam buras dijumpai di kota maupun desa. Potensinya patut dikembangkan untuk

meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga.

Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi.

Hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang

semakin meningkat dari tahun ke tahun (Bakrie et al.,2003). Hal ini terlihat dari

peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun

2001 – 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009

konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton

(Aman, 2011). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar

untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya.

Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena

mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan

perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan

yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang,

tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam

kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi.

Kondisi yang ada terkait dengan masalah utama dalam pengembangan ayam

kampung adalah rendahnya produktifitas. Salah satu faktor penyebabnya adalah

sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan

belum mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu

nutrisi (Gunawan, 2002; Zakaria, 2004a), terutama sekali pemberian pakan yang

belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat

produksi. Keadaan tersebut disebabkan karena belum cukupnya informasi

2

mengenai kebutuhan nutrisi untuk ayam kampung. Peningkatan populasi,

produksi dan efisiensi usaha ayam kampung, perlu ditingkatkan dari tradisional

ke arah agribisnis (Zakaria, 2004b).

Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu awal

(0-8 minggu) dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup

mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang.

Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen

pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan

(Setioko dan Iskandar, 2005; Sapuri, 2006).

Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di

Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut

Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8

minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18% - 21,4%

sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein

masing - masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk

ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung

yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan

protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu diteliti.

Melihat proses metabolisme dan mengadakan pelacakan terhadap nutrien

dalam tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk

pertumbuhan maupun fungsi-fungsi lain, maka kebutuhan nutrien khususnya

energi dan protein pada ayam kampung dapat ditetapkan. Pelacakan terhadap

nutrien tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak

untuk menentukan kebutuhan nutrien, diharapkan dapat meningkatkan

perkembangan serta produktifitas ayam kampung. Berdasarkan kondisi tersebut

maka permasalahan yang dihadapi didalam pengembangan ayam kampung

adalah : belum adanya data tentang kebutuhan nutrien, khususnya energi dan

protein untuk produksi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka telah

dilakukan penelitian “Pengaruh Kandungan Energi dan Protein Ransum Terhadap

Penampilan Ayam Kampung Umur 0 – 10 Minggu”.

3

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penampilan ayam kampung yang diberikan ransum

dengan kandungan energi dan protein yang berbeda.

2. Berapakah kebutuhan energi dan protein pakan ayam kampung fase

pertumbuhan (0 – 10 Minggu).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui penampilan ayam kampung yang diberikan ransum dengan

energi dan protein yang berbeda.

2. Menghitung kebutuhan energi dan protein ransum ayam kampung pada

fase pertumbuhan (0 – 10 minggu).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khasanah ilmiah maupun

penerapannya bagi para petani peternak. Dari aspek ilmiah hasil penelitian ini

diharapkan menambah informasi tentang kebutuhan nutrisi ayam kampung, dan

tentunya yang akan memberikan pengaruh secara ekonomis terhadap peternak

ayam kampung tersebut.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Ayam Kampung

Ayam kampung adalah ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam hutan

merah yang telah berhasil dijinakkan. Akibat dari proses evolusi dan domestikasi,

maka terciptalah ayam kampung yang telah beradaptasi dengan lingkungan

sekitarnya, sehingga lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca dibandingkan

dengan ayam ras (Sarwono, 1991). Penyebaran ayam kampung hampir merata di

seluruh pelosok tanah air.

Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam.

Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan

cermin dari keragaman genetiknya. Disamping itu badan ayam kampung kecil,

mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 1998).

Candrawati (1999) mendapatkan kebutuhan hidup pokok ayam kampung

0 – 8 minggu adalah 103.96 kkal/W0.75 dan kebutuhan protein untuk hidup adalah

4.28 g/W0.75/ hari. Sutama (1991) menyatakan bahwa ayam kampung pada masa

pertumbuhan dapat diberikan pakan yang mengandung energi termetabolis

sebanyak 2700 – 2900 kkal dengan protein lebih besar atau sama dengan 18%.

Ayam buras yang dipelihara secara tradisional di pedesaan mencapai dewasa

kelamin pada umur 6 -7 bulan dengan bobot badan 1.4 – 1.6 kg ( Supraptini,

1985 ). Ayam buras sebagai ayam potong biasanya dipotong pada umur 4 – 6

bulan. Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8

minggu yang dipelihara secara tradisional dan intensif, pada umur yang sama

5

mencapai 1.435,5 g. Aisjah dan Rahmat (1989) menyatakan pertambahan bobot

badan anak ayam buras yang dipelihara intensif rata rata 373,4 g/hari dan yang

dipelihara secara ekstensif adalah 270,67 g/hari. Rendahnya pertambahan bobot

badan pada anak ayam buras yang dipelihara secara ekstensif, karena kurang

terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga menghambat laju pertumbuhan.

2.2 Kebutuhan Energi dan Protein pada Ayam Kampung

Sturkie (1976) menyatakan kebutuhan energi untuk unggas dinyatakan

dengan energi termetabolis (ME). Energi termetabolis diperoleh dengan

mengurangi energi ransum (GE) dengan energi ekskreta (feses dan urine). Dari

sejumlah energi tersebut tidak seluruhnya dapat digunakan langsung tetapi masih

ada yang hilang dalam bentuk panas (heat increment) selama proses metabolisme,

sehingga yang tinggal yaitu energi netto. Heat increment adalah banyaknya energi

yang hilang dalam bentuk panas yang ditimbulkan oleh banyak faktor lain selain

faktor makanan seperti panas yang hilang melalui proses fermentasi, pencernaan,

penyerapan, pembentukan dan pembuangan energi. Pada saat temperatur

lingkungan dingin, panas yang dihasilkan oleh tubuh (heat increment) akan

digunakan untuk maintenance. Pengukuran energi termetabolis pada ternak

unggas dapat menggunakan metode koleksi total (Sibbald, 1982). Kebutuhan

energi termetabolis dipengaruhi oleh genotip, jenis kelamin, umur dan kondisi

lingkungan.

Energi digunakan oleh ayam untuk kebutuhan hidup pokok dan untuk

produksi. Kebutuhan energi untuk hidup pokok meliputi kebutuhan untuk

metabolisme basal, aktivitas, dan pengaturan temperatur/panas tubuh. Kebutuhan

6

energi untuk produksi meliputi untuk pertumbuhan dan produksi telur, bulu,

lemak, dan untuk kerja.

Pengukuran kebutuhan energi pada unggas dapat dilakukan dengan

berbagai metoda, diantaranya : pengukuran gas-gas respirasi, percobaan pakan

yang disertai dengan teknik pemotongan untuk pengukuran kandungan nutrien

pada awal dan akhir percobaan. Tillman et al., (1996) menyatakan bahwa tubuh

ternak dibangun dari zat zat makanan yang diperoleh dari ransum yang

dikonsumsi. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis ternak dan

makanan yang dimakan.

Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam

menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein

dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu

dan pertumbuhan jaringan ( Scott et al., 1982 ). Wahyu (1992) menyatakan bahwa

karkas ayam biasanya mengandung protein 18 % dalam jaringan tubuhnya dan

protein bulu 82 %. Untuk memenuhi kebutuhan protein sesempurna mungkin,

maka asam asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dalam

ransum (Anggorodi, 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat retensi protein adalah konsumsi

protein dan energi termetabolis ransum. Konsumsi protein yang tinggi akan

diikuti dengan retensi protein yang tinggi serta akan terjadi penambahan bobot

badan bila energi dalam ransum cukup, tetapi bila energi ransum rendah tidak

selalu diikuti dengan peningkatan bobot badan. Suatu ransum dengan kandungan

energi yang kurang walaupun kandungan protein tinggi akan memperlihatkan

7

retensi nitrogen yang menurun (Wahyu, 1992). Nieto et al. (1995) menyatakan

besarnya protein yang di retensi tergantung dari banyaknya asam amino yang

diberikan dan tergantung pada kualitas dan kuantitas dari protein ransum.

2.2.1 Pengaruh Energi dan Protein Secara Umum

Sampai saat ini patokan kebutuhan zat zat nutrisi untuk ayam kampung

belum tersedia seperti yang digunakan untuk ayam ras pedaging dan ayam ras

petelur. Pemeliharaan ayam kampung secara tradisional erat kaitannya dengan

cara dan kebiasaan petani memberikan pakan. Ayam kampung dibebaskan

berkeliaran di sekitar rumah untuk mencari makan sendiri. Ternak ayam

dikandangkan atau dikurung hanya pada sore dan malam hari. Pemeliharaan

secara alamiah tersebut, ayam-ayam akan mencukupi kebutuhan zat-zat nutrisi

dari sumber tersedia di lingkungannya.

Menurut Wihandoyo dan Mulyadi (1986), kandungan nutrisi pada

tembolok ayam kampung yang dipelihara secara traditional disajikan pada Tabel

2.1. Bila Tabel 2.1 tersebut ditelaah lebih jauh dapat diketahui bahwa kandungan

zat zat nutrisi yang dimakan dan terdapat didalam tembolok ayam kampung belum

memenuhi patokan kebutuhan untuk meningkatkan penampilan produksi daging

maupun telur.

Tabel 2.1 Komposisi Zat-Zat Nutrisi pada Tembolok Ayam Kampung Pada Umur 6 - 9 Bulan

Zat zat Nutrisi 6 bulan 7 bulan 8 bulan 9 bulan

Protein kasar (%) 9.71+1.95 9.31+1.59 9,74+1.35 11.38+1.43

Lemak (%) 2.89+2.15 4.28+2.22 6.51+6.18 8.13+2.06

Serat Kasar (%) 6.56+3.79 9.90+5.59 7.12+4.22 9.74+5.15

Calcium(%) 1.81+0.76 1.32+0.61 1.47+1.15 1.38+0.74

Phospor (%) 0.43+0.07 0.53+0.21 0.48+0.17 0.53+0.18

Sumber :Wihandoyo dan Mulyadi (1986)

8

Pakan yang diberikan peternak ayam kampung bervariasi menurut

pengalaman dan kondisi daerah setempat. Beberapa susunan pakan yang biasa

digunakan untuk ayam kampung antara lain adalah : (1) pakan terdiri dari

campuran dedak halus dengan hijauan dari hasil limbah dapur; (2) campuran 3

bagian konsentrat, 6 bagian bekatul, 4 bagian jagung giling, ditambah grit dan Vit

B12; (3) campuran 1 bagian konsentrat, I bagian dedak halus dan 1 bagian jagung;

(4) campuran 3 bagian konsentrat, 4 bagian dedak halus dan 3 bagian jagung; (5)

campuran 1 bagian konsentrat ,4 bagian dedak halus , 3 bagian jagung; dan (6)

campuran 0.8 bagian konsentrat, 6 bagian dedak halus dan 2 bagian jagung.

Semua susunan pakan tersebut mengandung protein 12,8 – 16,8% dengan energi

metabolis 2614 – 2750 kkal/kg pakan (Iskandar et al.,1991).

2.2.2 Pemeliharaan Secara Intensif

Beberapa hasil penelitian menggambarkan bahwa kebutuhan zat-zat nutrisi

untuk ayam kampung lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras pedaging

maupun ras petelur (Sarwono, 2005). Pemberian ransum komersial ayam ras

untuk ayam kampung merupakan pemborosan, ditinjau baik dari segi teknis

maupun ekonomis. Resnawati et al. (1998) melaporkan bahwa imbangan protein

dan energi dalam pakan ayam kampung yang dibutuhkan selama masa

pertumbuhan adalah 14% protein dan 2600 kkal/kg energi termetabolis.

Sedangkan ayam kampung pada periode bertelur membutuhkan protein 17% dan

energi metabolis 3200 kkal/kg ransum (Nataamidjaja, 1998). Keadaan ini

menggambarkan bahwa kebutuhan protein dan energi untuk ayam kampung

cenderung lebih rendah dibandingkan dengan untuk ayam ras. Menurut NRC

9

(1984) untuk ayam pedaging dibutuhkan protein 23% pada umur 0 – 3 minggu,

protein 20% pada umur 6 -8 minggu dengan 3200 kkal/kg energi metabolis.

Sedangkan Iskandar et al. (1991 dan 1998) melaporkan bahwa kebutuhan protein

ayam kampung pedaging (ayam sayur) adalah 15 % pada umur 0 – 6 minggu dan

19% pada umur 6 – 12 minggu dengan energi metabolis 2900 kkal/kg. Sementara

untuk ayam kampung sedang bertelur membutuhkan 15% protein pada umur 0-12

minggu, protein 14% pada umur 12-22 minggu dan protein 15% pada umur > 22

minggu dengan 2600 kkal/kg energi metabolis.

Pembatasan pemberian pakan dapat mempengaruhi performans ayam

kampung. Husmaini (1994) melaporkan bahwa pertumbuhan ayam kampung

dapat ditingkatkan dengan pertumbuhan kompensasi. Pembatasan pakan sebanyak

40% selama satu minggu kepada ayam berumur dua minggu menyebabkan

pertumbuhan meningkat dengan tajam pada minggu berikutnya pada saat ransum

diberikan secara ad libitum. Bobot akhir pada umur 12 minggu sangat nyata lebih

berat dibandingkan dengan bobot ayam kampung tanpa pembatasan pemberian

pakan pada umur yang sama. Menurut Plavnik dan Hurtwitz (1989) kemampuan

ternak untuk mengejar pertumbuhan yang tertunda (compensatory growth) akibat

pembatasan pakan dipengaruhi oleh kualitas ransum yang diberikan pada saat

refeeding.

Imbangan protein dan energi metabolis ransum pada saat refeeding

(pemberian pakan kembali) dapat mempengaruhi performans ayam kampung,

seperti dicantumkan pada Tabel 2.2 dari Tabel 2.2 terlihat bahwa pemberian

10

protein 20 % dan energi metabolis 3100 kkal/kg setelah pembatasan pakan dapat

meningkatkan performans ayam kampung pada umur 8 minggu (Husmaini, 2000).

Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Faktor lingkungan yang paling berpengaruh adalah pakan. Hafez dan Dryer

(1969) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah

hereditas, pakan dan kondisi lingkungan. Penurunan bobot badan akan terjadi

pada ternak pada fase pertumbuhan bila diberikan pakan dengan kandungan

nutrisi yang rendah. Sutardi (1995) menyatakan bahwa ternak ayam kampung

akan dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila

mendapat zat zat makanan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Ayam yang beratnya 40 g memerlukan energi untuk hidup pokok sebesar

8 kkal/ekor/hari, sedangkan energi untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara

1,5 – 3,0 kkal setiap kenaikan 1 g berat badan (Scott et al, 1982). Kebutuhan

energi untuk hidup pokok pada ayam kampung umur 0 - 4 minggu dan 0 - 8

minggu masing-masing 204,95 kkal/W0,75/ hari dan 127 kkal/W0,75/hari (Asnawi,

1997). Geraert et al. (1987) yang dikutip oleh Leclercq dan Whitehead (1988)

menyatakan bahwa ayam galur kurus (lean line) umur 7 minggu, kebutuhan

energi untuk hidup pokoknya adalah 153,58 kkal/W0,75/hari. Kebutuhan energi

hidup pokok pada ayam broiler umur 8 – 22 hari sebesar 152 kkal/W0,75/Hari,

sedangkan untuk ayam Leghorn umur 14 – 28 hari sebesar 200 kkal/W0,75/hari dan

umur 28 – 42 sebesar 190 kkal/W0,75/hari.

11

Tabel 2.2 Rataan Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Konversi Pakan pada Ayam Kampung Umur 8 Minggu

Protein (%) EM (kkal/kg) Performans

Konsumsi Pakan (gram)

Bobot Badan ( gram) Konversi pakan

17 2900 1234,48 431,60 2,89 3100 1383,08 492,83 2,80

20 2900 1777,44 400,16 3,02 3100 1333,84 520,57 2,60

Sumber : Husmaini (2000)

12

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Ayam kampung mempunyai peran yang sangat penting didalam

meningkatkan gizi masyarakat maupun dalam peningkatan pendapatan. Cara

pemeliharaannya yang tidak memerlukan persyaratan berat, karena telah

beradaptasi dengan lingkungan dan memiliki daya tahan terhadap penyakit yang

lebih besar dibandingkan dengan ayam ras. Sebagai sumber protein hewani ayam

kampung mempunyai kelebihan seperti dagingnya lebih disukai masyarakat dan

harga daging dan telurnya lebih mahal dibanding dengan ayam ras.

Rendahnya produktivitas ayam kampung disebabkan pemeliharaan yang

masih bersifat tradisional, jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan

pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi, belum

memperhitungkan kebutuhan zat zat makanan untuk berbagai tingkat produksi.

Penyusunan ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan

untuk rekomendasi untuk standar ayam ras menurut Scott et al. (1982) dan NRC

(1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe

ringan umur 2-8 minggu antara 2600 – 3100 kkal/kg dan protein pakan antara

18% - 24%, sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan

protein masing masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar kebutuhan energi dan

protein untuk ayam kampung yang dipelihara didaerah tropis belum ada, oleh

sebab itu kebutuhan protein dan energi untuk ayam kampung di Indonesia perlu

ditetapkan.

13

Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam menentukan energi netto

pada unggas diantaranya :1) “respiratoy gaseus exchange” yaitu selisih antara

energi termetabolis yang dikonsumsi dengan total produksi panas. Produksi panas

ditentukan dengan mengukur banyaknya oksigen yang dikonsumsi dan

karbondioksida yang diproduksi, dan 2) “ comparative slaughter technique”

dengan cara pemotongan terhadap ternak pada awal dan akhir penelitian (Sibbald,

1982) dan menurut Iskandar (1982) akan diketahui jumlah energi yang diretensi.

Dengan melihat proses metabolisme dan mengadakan pelacakan terhadap nutrien

dalam tubuh ternak yang disertai dengan mengukur komposisi tubuh ternak untuk

pertumbuhan maupun fungsi-fungsi lain, maka kebutuhan nutrien khususnya

energi dan protein pada ayam kampung dapat ditetapkan.

Sehubungan dengan permasalahan di atas maka perlu dilakukannya

penelitian ayam kampung dari aspek faal metabolik nutrisi terhadap peningkatan

produktivitas ayam kampung melalui kebutuhan energi ransum dan protein.

3.2 Hipotesis Penelitian

Pemberian ransum dengan kandungan energi termetabolis dan protein

kasar yang lebih tinggi akan meningkatkan produktivitas pada ayam kampung

umur 0 – 10 minggu.

14

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian

SKEMA KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Ayam kampung 0 – 10 Minggu - Pemeliharaan secara tradisional - Pemberian pakan yang tidak

sesuai

Kondisi Ayam kampung saat ini : - Produksi rendah - Pertumbuhan lambat - Penyakit timbul jika dipelihara

dalam jumlah massal

- Kebutuhan nutrisi ayam kampung terpenuhi

- Standard kebutuhan untuk pakan ayam

Penampilan ayam kampung meningkat Memberikan pengaruh ekonomis terhadap masyarakat

Ransum dengan imbangan energi dan protein

15

BAB IV

MATERI DAN METODA

4.1 Materi

4.1.1 Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak ayam kampung

umur 1 hari, sebanyak 48 ekor dengan rata rata berat badan 54,17 – 54,25 g/ekor

yang diperoleh dari peternak di Desa Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.

4.1.2 Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ayam kampung ini adalah

kandang system batteray terdiri dari 16 petak, yang dindingnya terbuat dari kawat.

Sekat sampingnya menggunakan bilah bambu, dan lantai dasarnya terbuat dari

bambu untuk meletakkan tempat makan. Tempat minum diletakkan di dalam bilik

kandang. Setiap petak berukuran panjang 65 cm, lebar 50 cm dan tinggi 75 cm. Di

bagian bawah kandang diletakkan plastik untuk menampung ransum yang jatuh.

Di bawah petak kandang dialasi dengan kertas koran untuk menampung kotoran

yang jatuh.Kandang juga dilengkapi dengan bola lampu untuk pemanas dimalam

hari.

Gambar 4.1 Kandang System Batteray

16

4.1.3 Ransum dan Air Minum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan

perhitungan menurut Scott et al. (1982). Ransum ini terdiri dari bahan - bahan

sebagai berikut: jagung kuning, kacang kedelai, bungkil kelapa, dedak padi,

tepung ikan, minyak kelapa, premix dan garam. Komposisi ransum dapat dilihat

pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Susunan Ransum Percobaan

Perhitungan berdasarkan Standar Scott et al. (1982)

Komposisi Bahan Perlakuan (%) A B C D

Jagung Kuning 48.15 50,70 50,80 54,00 Kacang Kedelai 27,70 20,00 14,00 6,90 Bungkil Kelapa 8,88 12,00 11,90 16,20 Tepung Ikan 7,95 7,40 6,59 5,60 Dedak Padi 6,53 9,05 15,91 16,40 Minyak Kelapa 0,35 0,40 0,30 0,30 Premix 0,25 0,25 0,30 0,40 Garam Dapur 0,20 0,20 0,20 2,20 Komposisi Zat Zat Makanan ME (kkal/kg) 3100 3000 2900 2800 Protein Kasar (%) 22 20 18 16 Serat Kasar (%) 4,73 5,02 5,33 5,63 Kalsium (%) 0,58 0,53 0,47 0,40 Pospor (%) 0,47 0,44 0,40 0,36 Arginin(%) 1,78 1,64 1,50 1,38 Sistin (%) 0,37 0,32 0,30 0,28 Glisin (%) 1,28 0,96 0,87 0,76 Histidin (%) 0,59 0,54 0,49 0,44 Isoleusin (%) 1,25 1,09 0,95 0,78 Leusin (%) 2,05 1,85 1,69 1,49 Lisin (%) 1,52 1,31 1,13 0,90 Metionin (%) 0,44 0,38 0,34 0,30

17

Gambar 4.2 Ransum Ayam Kampung Umur 0 – 10 minggu

Air minum diberikan secara ad libitum. Menghindari tercecernya ransum,

pada tempat ransum diisi setengah dari kapasitas tampungnya. Penambahan

ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi pada pukul 07.00 wita dan sore pukul

16.00 wita.

4.1.4 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Timbangan

merek Nagata- EK-15000 kepekaan 0,05 g dengan kapasitas 0,6 g untuk

menimbang ayam, timbangan Soehnle kepekaan 1 g dengan kapasitas 2 kg, untuk

menimbang ransum, ember, nampan plastik, tempat ransum, alat-alat tulis dan alat

kebersihan.

4.2 Metode

4.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Bapak Ir. I Wayan Wijana,

MSi. di Desa Peguyangan, Denpasar Timur, Kota Denpasar Bali, selama 10

minggu kalender atau selama 2,5 bulan.

4.2.2 Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan empat (4) perlakuan dan empat (4) ulangan, masing -

18

masing unit percobaan terdiri dari 3 ekor ayam, sehingga jumlah ayam kampung

yang dipergunakan adalah 48 ekor (unsex).

Perlakuan yang diberikan adalah :

Perlakuan A : ransum dengan kandungan energi termetabolis

3100 kkal/kg dan protein kasar 22%,

Perlakuan B : ransum dengan kandungan energi termetabolis

3000 kkal/kg dan protein kasar 20%,

Perlakuan C : ransum dengan kandungan energi termetabolis

2900 kkal/kg dan protein kasar 18%,

Perlakuan D : ransum dengan kandungan energi termetabolis

2800 kkal/kg dan protein kasar 16%.

4.2.3 Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah penampilan ayam yang

meliputi: berat badan awal, berat badan akhir, pertambahan berat badan, konsumsi

pakan, Feed Convertion Ratio (FCR), kecernaan pakan, neraca energi, neraca

protein, serta kebutuhan protein dan energi untuk hidup pokok dan pertumbuhan.

4.2.3.1 Penampilan Ayam

Penampilan ayam meliputi atau terdiri atas : konsumsi ransum,

pertambahan berat badan, berat badan akhir dan Feed Convention Ratio (FCR).

a. Konsumsi Ransum : konsumsi ransum diukur setiap minggu sekali yaitu,

selisih antara jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum

b. Berat badan akhir : berat badan ini didapat dari penimbangan berat badan

pada akhir penelitian.

c. Pertambahan Berat Badan : pertambahan berat badan diperoleh dengan

mengurangi berat badan akhir dengan berat badan awal penelitian.

d. Feed Convertion Ratio (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah

ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan. FCR

merupakan tolak ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan ransum.

19

4.2.3.2 Kecernaan Bahan Kering Pakan dan Kecernaan Protein

Kecernaan bahan kering pakan dan kecernaan nutrien dihitung dengan

metode Koleksi Total (Tillman et al., 1989). Koleksi Total dilakukan pada ayam

yang berumur 10 minggu yang diletakkan pada kandang metabolik yang

dilengkapi tempat makan, minum dan penampung kotoran. Ekskreta ditampung

dan dijemur dibawah sinar matahari sampai kering udara, kemudian dioven pada

suhu 600 C selama 24 jam. Kandungan energi ekskreta dapat ditentukan dengan

bomb calorimeter dan protein ekskreta ditentukan dengan analisa kjelldhal

menurut metoda AOAC (1984). Kecernaan bahan kering dihitung dengan :

100%x A

BAKCBK

Dimana :

KCBK : Kecernaan bahan kering pakan (%)

A : Konsumsi bahan kering pakan (g)

B : Jumlah bahan kering ekskreta (g)

Koefisien cerna protein dihitung dengan :

100% x protein konsumsi

ekskretaprotein protein konsumsiprotein cernaKoefisien

4.2.3.3 Neraca Energi

Pengamatan terhadap neraca energi meliputi total energi ransum (GE),

konsumsi energi bruto, konsumsi energi termetabolis (ME), energi teretensi (RE),

produksi Panas (PP) dan efisiensi pemanfaatan energi.

Kandungan energi ransum (GE) ditentukan dengan bomb calorimeter dan

komposisi zat-zat makanan pada ransum ditentukan dengan analisis proksimat

menurut metode AOAC (1984). Banyaknya energi bruto yang dikonsumsi

ditentukan dari konsumsi ransum dikalikan dengan kandungan energi bruto dari

ransum.

Energi ekskreta (FE) ditentukan dengan bomb calorimeter, sedangkan

protein ekskreta dengan analisa kjelldhal menurut AOAC (1984).

20

Energi termetabolis dilakukan dengan metode “koleksi total” yakni dengan

menentukan energi total yang terkandung dalam pakan dan ekskreta. Energi

termetabolis ditentukan dengan rumus : (Sturkie, 1976)

Energi termetabolis = Energi dikonsumsi – Energi yang hilang melalui

ekskreta

Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi kandungan energi

tubuh pada akhir penelitian dengan kandungan energi tubuh pada awal penelitian.

Produksi panas dihitung dengan cara:

PP = ME – RE

Dimana :

PP : Produksi panas (kkal)

RE : Retensi Energi (kkal)

ME: Energi termetabolis (kkal)

Kebutuhan energi untuk hidup pokok adalah kebutuhan energi oleh ayam

pada saat ayam tersebut tidak mengalami pertumbuhan (RE = 0). Bila konsumsi

energi metabolis (ME) meningkat sebesar ∆ ME, maka akan terjadi peningkatan

retensi energi (RE) sebesar ∆ RE. Perbandingan antara ∆ RE/∆ ME disebut

“parsial efisiensi” yaitu suatu nilai konversi ME menjadi RE di atas kebutuhan

hidup pokok. Kebutuhan energi untuk hidup pokok dapat dihitung dengan cara :

E Hp = ME – RE/Ef

Dimana :

EHp : Kebutuhan energi untuk hidup pokok (kkal)

ME : Energi termetabolis (kkal)

RE : Energi teretensi (kkal)

Ef : Parsial efisiensi ( ∆ RE/∆ ME) (Mount, 1979)

Kebutuhan energi termetabolis untuk tumbuh adalah jumlah energi yang

diretensi dalam tubuh yang dikoreksi dengan parsial efisiensi. Total kebutuhan

energi oleh ayam tersebut adalah energi untuk hidup pokok ditambah dengan

kebutuhan energi untuk tumbuh.

21

4.2.3.4 Neraca Protein

Neraca Protein meliputi : konsumsi protein, protein tercerna, retensi

protein dan efisiensi pemanfaatan protein. Konsumsi protein dihitung dengan

mengalikan banyaknya konsumsi ransum dengan kandungan protein ransum.

Protein tercerna dihitung dengan :

Protein tercerna = Konsumsi protein – protein ekskreta

Protein teretensi dihitung dengan :

Jumlah protein tubuh akhir penelitian – protein tubuh awal

penelitian

Efisiensi pemanfaatan protein dihitung dari banyaknya protein yang

diretensi dikoreksi dengan data - data kecernaan protein, dan nilai biologis

protein.

Protein untuk hidup pokok dihitung dengan :

Banyaknya protein yang dikonsumsi – Protein untuk tumbuh

Total kebutuhan protein untuk pertumbuhan oleh ayam tersebut adalah

protein untuk hidup pokok ditambah dengan kebutuhan protein untuk tumbuh.

4.3 Analisis Statistika

Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis sidik ragam, apabila

diantara perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda

dari Duncan (Steel and Torrie, 1980). Dari semua data yang diperoleh kemudian

dihitung kebutuhan energi dan protein untuk hidup pokok dan untuk

pertumbuhan.

22

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Berat Badan

Berat badan ayam pada umur 1 hari untuk semua perlakuan adalah sama

yaitu 54,17 – 54,25 g/ekor, sedangkan berat badan ayam setelah berumur 10

minggu menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan. Berat badan

ayam umur 10 minggu pada perlakuan A adalah: 620,75 g/ekor, sedangkan berat

badan ayam umur 10 minggu pada perlakuan B, C dan D berturut-turut: 583,33 g;

544,01 g dan 456,59 g nyata lebih rendah dari ayam pada perlakuan A (P <0,05),

ini dapat dilihat pada Gambar 5.1. Penurunan berat badan akhir ini disebabkan

oleh menurunnya konsumsi nutrien (energi dan protein) pada perlakuan B, C dan

D yang diakibatkan oleh menurunnya kandungan energi dan protein ransum.

Energi dan protein merupakan nutrien utama yang mempengaruhi pertumbuhan

ayam. Penurunan konsumsi nutrien ini akan menyebabkan penurunan

pertumbuhan ayam. Candrawati dan Mahardika (1999) mendapatkan bahwa ayam

kampung yang diberikan ransum dengan kandungan energi 3100 Kkal/kg dan

protein kasar 22% berat badannya selama 8 minggu adalah 542 g/ekor sedangkan

yang mendapat ransum dengan energi 2823 Kkal/kg dan protein kasar 15,33%

adalah 391 g/ekor.

Gambar 5.1 Grafik Pertumbuhan Ayam Kampung Umur 0 – 10 Minggu

0

100

200

300

400

500

600

0 I II III IV V VI VII VIII IX X

Ber

at b

adan

(g)

Umur (minggu)

Perlakuan A Perlakuan BPerlakuan C Perlakuan D

23

Tabel 5.1 Konsumsi Ransum, Berat Badan, dan Kenaikan Berat Badan dan Konversi Ransum (FCR) Pada Ayam Kampung Umur 0 – 10 Minggu.

Peubah Perlakuan1 A B C D

Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Berat badan awal (g/ekor) Berat badan akhir (g/ekor) Kenaikan berat badan (g/ekor/hari) Konversi ransum (FCR)

22,17a

54,17 a

620,75 a

0,5666a

2,19a

21,45 a

54,17 a

583,33b

0,5292b

2,27b

21,43 a

54,17 a

544,01 b

0,4898b

2,45b

19,12 a 2

54,25 a

456,59c

0,4023c

2,66c

Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg

B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg.

2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

5.2 Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum oleh ayam kampung yang mendapat ransum yang

mengandung 22% protein dan energi 3100 kkal/kg (Perlakuan A) adalah: 1241,41

g/ekor selama 10 minggu atau 22,17 g/ekor/hari, sedangkan ayam yang mendapat

ransum yang mengandung 20% protein dan energi 3000 kkal/kg (perlakuan B),

ayam yang mendapat ransum yang mengandung protein 18% dan energi 2900

kkal/kg (perlakuan C) dan ayam yang mendapat ransum yang mengandung 16%

protein dan 2800 kkal/kg (perlakuan D) berturut-turut: 21,45; 21,43 dan 19,12

g/ekor/hari. (Tabel 5.1). Walaupun terlihat adanya perbedaan konsumsi ransum,

tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05).

Konsumsi protein ayam pada perlakuan A adalah: 5,11 g/ekor/hari, dan

konsumsi protein ayam pada perlakuan B, C dan D berturut-turut: 4,37; 4,11 dan

3,31 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi energinya berturut-turut: 117,88; 108,13;

102,88 dan 86,99 kkal/ekor/hari.

24

5.3 Konversi Ransum (FCR)

Konversi ransum pada perlakuan A adalah: 2,19, sedangkan pada

perlakuan B, C dan D berturut-turut: 2,27; 2,45 dan 2,66. Efisiensi penggunaan

ransum semakin rendah dengan menurunnya kandungan energi dan protein

ransum. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya secara nyata konversi ransum

(FCR) dengan menurunnya kandungan energi dan protein ransum. Menurunnya

kandungan energi dan protein akan menyebabkan semakin rendahnya protein

yang dapat dicerna dan menurunnya retensi protein sehingga akan menurunkan

pertumbuhan. Soeharsono (1976) mendapatkan bahwa ransum dengan energi dan

protein yang tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki

konversi ransum.

5.4 Kecernaan Ransum dan Kecernaan Nutrien

Kecernaan bahan kering ransum ayam pada perlakuan A adalah: 77,58%,

B: 76,93%, C: 75,24% dan D: 74,11% sedangkan kecernaan protein pada

perlakuan A adalah 91,94%, B: 91.06%, C: 90,50% dan D: 90,12% (Tabel 5.2).

Tabel 5.2 Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Protein dan Jumlah Protein Tercerna

Peubah Perlakuan1 A B C D

Kecernaan bahan kering (%) Kecernaan protein (%) Jumlah protein tercerna (g/ekor/hari)

77,58a 91,94a

4,69a

76,93a 91,06a

3,98b

75,24a 90,50a

3,73c

74,11a2 90,12a

2,98d

Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg

B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg

2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Menurunnya kandungan energi termetabolis dari 3100 Kkal/kg menjadi

2800 Kkal/kg dan menurunnya kandungan protein ransum dari 22% menjadi 16%

tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan protein pakan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Candrawati (1999) yang mendapatkan

bahwa tidak ada perbedaan kecernaan bahan kering dan kecernaan protein akibat

penurunan kandungan energi dan protein ransum. Walaupun tidak terjadi

perbedaan kecernaan, namun jumlah protein yang tercerna akan meningkat

25

dengan meningkatnya kandungan protein pakan. Jumlah protein tercerna pada

perlakuan A adalah: 4,69 g/ekor/hari, sedangkan jumlah protein tercerna pada

perlakuan B, C dan D menurun sebesar 3,98; 3,72 dan 2.98.

5.5 Neraca Protein

Neraca protein meliputi konsumsi protein, protein yang hilang dalam

feses, protein tercerna dan protein yang diretensi dalam tubuh. Meningkatnya

kandungan protein ransum menyebabkan meningkatnya jumlah protein yang

dikonsumsi oleh ayam. Konsumsi protein pada perlakuan A adalah: 5,11

g/ekor/hari, sedangkan konsumsi protein pada perlakuan B, C dan D berturut-

turut: 4,37; 4,12 dan 3,31 g/ekor/hari (Tabel 5.3). Meningkatnya retensi protein

menyebabkan meningkatnya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena semakin

banyaknya protein yang digunakan untuk menyusun komponen tubuh ayam.

Meningkatnya retensi protein juga didukung oleh meningkatnya kandungan energi

metabolis ransum. Wahyu (1992) menyatakan bahwa tingkat retensi protein

dipengaruhi oleh konsumsi protein dan energi termetabolis ransum. Selanjutnya

Lloyd et al. (1978) menyatakan bahwa jumlah protein yang diretensi akan

menentukan tinggi rendahnya produksi atau pertumbuhan ayam.

Tabel 5.3 Neraca Protein Pada Ayam Kampung Umur 0 – 10 Minggu

Peubah Perlakuan1 A B C D

Konsumsi protein (g/ekor/hari) Protein dalam feses (g/ekor/hari) Jumlah protein tercerna (g/ekor/hari) Protein retensi (g/ekor/hari)

5,11a

0,52a

4,69a

2,54a

4,37b

0,44b

3,93b

2,33b

4,12c

0,41b

3,71b

2,01c

3,31d2

0,33c

2,98c

1,75d

Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg

B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg.

2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

26

Bila dihitung efisiensi penggunaan protein untuk pertumbuhan yang

didasarkan pada jumlah protein yang dikonsumsi, maka ayam pada perlakuan A

mempunyai efisiensi yang paling baik, yaitu setiap 1 g protein yang dikonsumsi,

kenaikan berat badannya adalah 5,1 g, sedangkan pada perlakuan B, C dan D

berturut-turut 4,4 g ; 4,1 g dan 3,3 g. Candrawati (1999) mendapatkan bahwa

retensi protein pada ayam kampung yang mendapat ransum dengan kadar protein

kasar 21,58% dan ME: 3164 kkal/kg adalah 101,90 g/ekor selama 8 minggu,

sedangkan menurunnya kandungan protein menjadi 15,33% dan ME: 2823

kkal/kg menyebabkan penurunan retensi protein menjadi 79,24 g/ekor selama 8

minggu.

5.6 Neraca Energi

Ayam pada perlakuan A mengkonsumsi energi sebanyak 177,88

kkal/ekor/hari (Tabel 3.4.), sedangkan ayam pada perlakuan B, C dan D konsumsi

energinya berturut-turut: 108,13; 102,88 dan 86,99 kkal/ekor/hari (Tabel 5.4).

Penurunan kandungan energi ransum menyebabkan menurunnya konsumsi

ransum sehingga, konsumsi energi juga mengalami penurunan.

Tabel 5.4 Neraca Energi Pada Ayam Kampung Umur 0 –10 Minggu

Peubah Perlakuan1 A B C D

Konsumsi energi (kkal/ekor/hari) Energi feses (FE) (kkal/ekor/hari) Energi termetabolis (ME) (kkal/ekor/hari) Energi retensi retensi(RE) (kkal/ekor/hari) Produksi panas (PP) (kkal/ekor/hari) Produksi panas (PP) (kkal/gW0,75/hari)

117,88a

18,25a

99,63a

19,36a

71,98 a

71,98 a

108,13b

19,02a

89,10b

18,08bb

63,28 b

63,28 a

102,88b

18,3a

84,59b

16,74b

60,68 b

60,68 a

86,99c2

17,39a

69,60c

13,75c

49,96 c

49,96 a

Keterangan: 1. A: Ransum dengan kandungan protein 22% dan 3100 Kkal ME/kg

B: Ransum dengan kandungan protein 20% dan 3000 Kkal ME/kg C: Ransum dengan kandungan protein 18% dan 2900 Kkal ME/kg D: Ransum dengan kandungan protein 16% dan 2800 Kkal ME/kg.

2. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

27

Energi termetabolis juga mengalami penurunan akibat menurunnya

kandungan energi dan protein ransum, sedangkan energi yang hilang melalui feses

tidak dipengaruhi oleh penurunan kandungan energi dan protein pakan. Sekitar

76,09 sampai 78,83% dari total energi yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan

sebagai energi termetabolis, sedangkan yang dieretensi dalam tubuh adalah 24,52

sampai 26,77% dari jumlah energi termetabolis, sedangkan yang hilang sebagai

panas adalah: 61,75 sampai 63,12% dari total energi termetabolis. Perbandingan

antara konsumsi energi dengan energi feses, energi termetabolis dan energi yang

diretensi dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Kurva Perbandingan Antara Konsumsi Energi, Energi Feses, Energi

Termetabolis dan Energi Teretensi.

Peningkatan jumlah energi dan protein ransum menyebabkan

meningkatnya jumlah energi yang diretensi oleh ayam. Hal ini menunjukkan ayam

yang mendapatkan pakan dengan kandungan energi dan protein yang lebih tinggi

mempunyai pertumbuhan yang lebih baik.

Bila dicari hubungan antara retensi energi dengan energi termetabolis ,

maka diperoleh persamaan: Y = - 3,99 + 0,33 X dimana Y adalah energi yang

diretensi dan X adalah jumlah energi termetabolis. Persamaan itu menunjukkan

bahwa setiap kenaikan 1 kkal ME maka akan terjadi peningkatan 0,33 kkal energi

yang diretensi. Jadi efisiensi penggunaan ME untuk pertumbuhan hanya 33%,

sedangkan 67% hilang sebagai panas.

020406080

100120

Perlk A Perlk. B Perlak. C Perlk. D

(K.c

al)

Konsumsi energi Energi feses Energi termetabolis Energi retensi Produksi panas

28

5.7 Kebutuhan Energi dan Protein Pada Ayam Kampung

Perhitungan kebutuhan nutrien dengan pendekatan metabolisme kuantitatif

yang menekankan kepada perhitungan-perhitungan kuantitatif suatu proses

produksi, dipercaya dapat memunculkan suatu penemuan tentang mekanisme

proses produksi yang terjadi di dalam tubuh ternak. Pendekatan metabolisme

kuantitatif meliputi pencernaan, metabolisme dan efisiensi pemanfaatan nutrien

untuk proses produksi, pengamatan komposisi tubuh ternak pada berbagai tingkat

pertumbuhan untuk mengetahui besarnya simpanan nutrien di dalam tubuh serta

pengamatan terhadap efisiensi pengubahan nutrien untuk proses produksi (partial

efficiency). Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dipakai untuk menghitung

kebutuhan nutrien pada berbagai tingkat produksi baik untuk hidup pokok

maupun petumbuhan. Data tentang kebutuhan nutrien ini akan dapat dipakai

sebagai patokan di dalam menyusun ransum pada berbagai tingkat produksi, baik

untuk pertumbuhan, laktasi, produksi telur maupun untuk kerja.

Energi untuk hidup pokok dihitung dengan cara mengurangi jumlah energi

termetabolis yang dikonsumsi oleh ayam dengan energi yang diretensi yang telah

dikoreksi dengan parsial efisiensi. Parsial efisiensi (RE/ME) adalah

peningkatan jumlah energi yang diretensi dibagi dengan peningkatan jumlah

energi termetabolis. Mount (1979) mendapatkan bahwa RE/ME adalah 0,70

yang artinya hanya 70% dari kenaikan ME (energi termetabolis) di atas kebutuhan

hidup pokok akan disimpan sebagai energi yang diretensi (RE), dan sisanya hilang

sebagai panas. Hasil perhitungan pada ayam kampung pada penelitian ini

mendapatkan bahwa produksi panas yang dihitung dengan formula HP = ME –

RE/0,70 adalah: 0,53 kkal/gW0,75/hari, dimana W adalah berat badan ayam (g).

Hal ini berarti bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam kampung

umur 0 – 10 minggu adalah: 95,88 W0,75 kkal/hari (W: berat badan ayam dalam

kg). Penelitian Candrawati (1999) mendapatkan bahwa kebutuhan energi untuk

hidup pokok pada ayam kampung umur 0 – 8 minggu adalah: 103,96 kkal

ME/W0,75/hari, sedangkan Asnawi (1997) mendapatkan 127,75 kkal

ME/W0,75/hari, pada ayam kampung umur 0 – 8 minggu. Sementara itu Robbins

dan Ballew (1984) mendapatkan bahwa kebutuhan energi untuk hidup pokok pada

29

ayam broiler umur 8 – 22 hari adalah 152 kkal ME/W0,75/hari, sedangkan untuk

ayam White Leghorn umur 14 – 28 hari adalah 200 kkal ME/W0,75/hari dan umur

28 – 24 hari adalah 190 kkal ME/W0,75/hari. Hasil ini menunjukkan bahwa

kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam buras lebih rendah dari ayam ras.

Sturkie (1976) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk pokok dipengaruhi

oleh: bangsa ayam (varietas) dan lingkungan.

Kebutuhan energi untuk pertumbuhan dihitung dengan cara menghitung

jumlah energi termetabolis untuk meningkatkan 1 g berat badan. Hasil penelitian

ini mendapatkan bahwa ayam kampung memerlukan energi sebesar 3811 kkal ME

untuk menaikkan 533 g berat badan. Jadi ayam kampung memerlukan energi 7,15

kkal ME untuk menaikkan 1 g berat badan. Energi ini akan digunakan untuk

kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan energi hidup

pokok didapatkan 4,42 kkal sehingga kebutuhan energi untuk pertumbuhan atau

kenaikan berat badan pada ayam kampung umur 0 – 10 minggu diperoleh 2,73

kkal/1 g kenaikan berat badan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Scott

et al. (1982) yang mendapatkan bahwa kebutuhan energi untuk tumbuh pada

ayam 1,5 – 3,0 kkal ME/1 g pertambahan berat badan, sedangkan penelitian

Candrawati mendapatkan 3,26 kkal ME/1 g kenaikan berat badan.

Berdasarkan perhitungan di atas dapat dihitung kebutuhan energi pada

ayam kampung umur 0 – 10 minggu. Bila berat badan ayam kampung umur 10

minggu rata-rata 500 g dengan kenaikan berat badan rata-rata 9 g/hari, maka

kebutuhan energi untuk hidup pokoknya: 35,95 kkal/hari dan kebutuhan energi

untuk tumbuh: 24,57 kkal/hari. Jadi total kebutuhan energinya adalah: 60,52

kkal/hari. Bila dikonversi ke dalam kandungan energi ransum maka ayam tersebut

memerlukan ransum yang mengandung energi sebesar : 3026 kkal ME/kg.

Protein dibutuhkan oleh ayam untuk kebutuhan hidup pokok dan

kebutuhan untuk pertumbuhan. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa ayam

kampung yang dipelihara selama 10 minggu mengkonsumsi rata-rata 236 g

protein untuk meningkatkan rata-rata 470 g berat badannya atau 4,22 g protein

setiap hari untuk meningkatkan berat badan 8,40 g. Sebanyak 4,22 g protein yang

30

dikonsumsi tersebut, sebanyak 2,04 g disimpan dalam tubuh untuk tumbuh dan

sisanya hilang melalui feses dan digunakan/dimetabolis sebagai sumber energi.

Berdasarkan data-data perhitungan dalam penelitian ini diperoleh

kebutuhan protein untuk pertumbuhan adalah: 0,31 g protein setiap kenaikan 1 g

berat badan, sedangkan protein untuk hidup pokok diperoleh 2,91 g/W0,75/hari,

dimana W adalah berat badan (kg). Hasil penelitian ini lebih rendah dari yang

didapat oleh Candrawati (1999) yang mendapatkan 0,44 g protein setiap kenaikan

1 g berat badan, sedangkan Scott et al. (1982) mendapatkan total kebutuhan

protein pada ayam White Leghorn adalah 7,1 g/ekor/hari.

Kebutuhan protein untuk hidup pokok pada penelitian ini adalah 2,91

g/W0,75/hari, sedangkan Candrawati (1999) mendapatkan 3,51 g/W0,75/hari.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka ayam kampung yang berumur 8

minggu yang beratnya 500 g dengan kenaikan berat badan 9 g/hari membutuhkan

protein untuk hidup pokok 1,79 g dan untuk pertumbuhan 2,79 g, sehingga total

kebutuhan proteinnya 4,58 g. Bila dikonversi ke dalam ransum, maka ransum

ayam kampung umur 0 – 10 minggu sebaiknya mengandung 20 - 22% protein.

31

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan :

1. Tidak ada perbedaan konsumsi ransum pada ayam kampung yang

diberikan pakan dengan kandungan energi dan protein yang berbeda,

sedangkan penampilan ayam kampung yang mendapatkan energi dan

protein yang lebih tinggi lebih baik dari ayam kampung yang mendapat

ransum dengan energi dan protein yang lebih rendah.

2. Kebutuhan energi untuk hidup pokok pada ayam kampung adalah: 95,88

W0,75 kkal/hari (W: berat badan ayam dalam kg), sedangkan kebutuhan

protein untuk hidup pokok pada penelitian ini adalah 2,91 g/W0,75/hari.

3. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan atau kenaikan berat badan pada

ayam kampung umur 0 – 10 minggu diperoleh 2,73 kkal/1 g kenaikan

berat badan sedangkan kebutuhan protein untuk pertumbuhan adalah:

0,31 g protein setiap kenaikan 1 g berat badan

6.2 Saran

1. Agar dapat tumbuh secara baik maka, ayam kampung umur 0 – 10 minggu

hendaknya diberikan ransum yang mengandung energi sebesar : 3026 kkal

ME/kg dan mengandung protein 20 - 22%.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghitung kebutuhan energi

dan protein pada ayam kampung pada fase pertumbuhan kedua dan phase

peneluran.

32

DAFTAR PUSTAKA

Aman, Y. 2011. Ayam Kampung Unggul. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta

Aisyah,T. dan Rachmat E. 1989. Pengaruh pemberian ransum starter terhadap pertambahan bobot badan anak ayam buras. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Semarang

Asnawi. 1997. “Kinerja Pertumbuhan dan Fisiologi Ayam Kampung dan Hasil Persilangannya dengan Ayam Ras Tipe Pedaging” (tesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia.

Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methode of Analysis Vol. 2 Ed. 15. Washington.

Direktorat Jendral Peternakan, 2010. Pedoman Umum Restrukturisasi Perunggasan Melalui Pengembangan Budidaya Unggas di Pedesaan. Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia.

Candrawati, D.P.M.A. 1999. “Pendugaan Kebutuhan Energi dan Protein Ayam Kampung Umur 0-8 minggu” (tesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Gunawan. 2002. “Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya “. (disertasi). Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Husmaini, 1994. Pengaruh cara pembatasan pemberian ransum pada ayam kampung periode kutuk terhadap penampilan ayam kampung. Prosiding Seminar hasil penelitian Fakultas Peternakan UNAND. Padang.

Husmaini, 2000. Pengaruh peningkatan level protein dan energi ransum saat refeeding terhadap performans ayam buras, Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Vol.6 (01).

Iskandar, S. Dan H. Resnawati.1999. Potensi daging ayam silangan (F1) Pelung x kampung yang diberi ransum berbeda protein pada dua masa starter. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Universitas Diponegoro, Semarang.

Iskandar, S., E, Juarini, D. Zainuddin, H. Resnawati, B. Wibowo dan Sumanto. 1991. Teknologi tepat guna ayam buras. Balai Penelitian Ternak Bogor.

Iskandar, S., D. Zainuddin, S. Sastrodihardjo,T. Sartika, P. Stiadi dan T. Sutanti. 1998 Respon pertumbuhan ayam kampung dan ayam silangan pelung terhadap ransum berbeda kandungan protein, JITV,3:1-14. Puslitbang Peternakan Bogor

33

Leclercq, B. And CC. Whitehead. 1988. Genetic, Metabolic and Hormonal Aspec; Leannes in Domestic Birds. Institut National de la Recherche Agronomique. Butterworths London.

Lloyd, L.E., B.E. Mc.Donald and E.W. Crampton. 1978. Fundamental of

Nutrition. 2nd Ed. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Margawati, E.T. 1989. Efisiensi penggunaan ransum oleh ayam kampung jantan

dan betina pada periode pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. 28 Sept. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang. Hal. 127-132.

Mount, L. E. 1979. Adaptation to Thermal Enviromant. Man and His Productive Animals. (Contemporary Biology). Edward Arnold (Publishers) Limited. London.

Nataamidjaja, A.G 1998. Produktifitas ayam buras di kandang litter pada berbagai imbangan kalori protein. Prosiding Nasional Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

National Research Council. 1984. Nutrients Requairement of Poultry. Eight Revised Ed. National Academy Press, Washington, D.C.

Nieto, R.C. Prieto, I Fernandez-Figarez and J.F. Augilera. 1995. Effect of Dietary protein Quality on Energy Metabolism in Growir Chickens. British Journal of Nutritions.

Plavnik, I and Hurtwitz., 1989. Effect of dietary protein, energy and feed pelleting on response of chick to early feed restriction. Poultry Science. 08:1118-1125

Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya.Jakarta

Resnawati, H., A. Gozali, I Barchia, A. P. Sinurat, T. Antawidjaja. 1998. Penggunaan berbagai tingkat energi dalam ransum ayam buras yang dipelihara secara intensif. Laporan penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Robbins,K.R., and J.E. Ballew. 1984. Utilization of energy for maintenance and gain in broiler and leghorn at two ages. Poultry Science 63: 1419-1424.

Sapuri, A. 2006. “Evaluasi Program Intensifikasi Penagkaran Bibit Ternak Ayam Buras di Kabupaten Pandeglang” (sekripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

34

Sarwono, B. 1991. Beternak Ayam Buras. Cetakan ke 3. Penebar Swadaya, Jakarta

Sarwono. B. 2005. Beternak Ayam Buras Pedaging dan Petelur. Edisi Revisi. Jakarta

Soeharsono. 1976. “Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan”. (Disertasi). Bandung : Universitas Padjajaran Bandung.

Scott, M. L., M.C, Nesheim and R.J.Young. 1982. Nutritions of The Chickens. Second Ed. M. L. Scott and Associates Ithaca, New York.

Setioko, A.R. dan S. Iskandar. 2005. Review Hasil Hasil Penelitian dan dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Ayam Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 September 2005. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 10 – 19.

Sibbald, 1982. Metodology, Feed Compositions Dash and Bibliography. Agricultur Canada : Research Branch.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book. Co New York.

Sturkei, P.D. 1976. Avian Physiology. Third Edition. Heidelberg Berlin.

Sutama, S.I.N. 1991. “Pengaruh Berbagai Tingkat Energi dan Protein terhadap Performans Ayam kampung”. (tesis), Bogor. Instituti Pertanian Bogor

Supraptini, M.S. 1985. “Pengkajian Sifat-Sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangannya dengan Rhode Island Red” (Disertasi) Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Sutardi,T. 1995. Landasan Ilmu Nutrisi, Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan , Institut Pertanian Bogor.

Tillman., A.D. H. Hartadi., S Reksohardiprodjo, P. Soeharto dan L. Soekamto. 1996. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press . Yogyakarta.

Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ke 3, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Wihandoyo dan H. Mulyadi. 1986. Ayam buras pada kondisi pedesaan (tradisional) dan pemeliharaan yang memadai. Temu tugas sub-sektor Peternakan di Sub-Balai Penelitian Ternak Klepu, Bekerjasama dengan Balai Informasi Pertanian Ungaran Serat Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah.

35

Zakaria, S. 2004a. Pengaruh luas kandang terhadap produksi dan kualitas telur ayam buras yang dipelihara dengan system litter. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1); 1-11.

Zakaria, S. 2004b. Performans ayam buras fase dara yang dipelihara secara intensif dan semi intensif dengan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 5 (1): 41 – 51

36

Lampiran 1. Analisis Statistik Berat Badan Awal (g) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu

Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 54,00 54,33 54,33 54,33 216,99 2 54,33 54,00 54,33 54,00 216,66 3 54,00 54,00 54,00 54,33 216,33 4 54,33 54,33 54,00 54,33 216,99

Total 216,66 216,66 216,66 216,99 866,97 Rataan 54,165 54,165 54,165 54,2475

Faktor Koreksi = 46977,31 JK Total = 0,428794 JK Perlakuan = 0,020419 JK Galat = 0,408375 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 325,11 108,37 0,999985ns 3,49

Galat 12 1300,46 108,3717

Total 15 1625,57

ns = berbeda tidak nyata (p>0,05)

37

Lampiran 2. Analisis Statistik Berat Badan Akhir (g) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 600 580,33 543,5 439,67 2163,5 2 628 582,67 550,5 446 2207,17 3 602 595 537,7 449 2183,7 4 653 575,33 544,33 491,67 2264,33

Total 2483 2333,33 2176,03 1826,34 8818,7 Rataan 620,75 583,333 544,008 456,585

FK = 4860592 JKT = 63347 JKP = 59493,7 JKG= 3853,32 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 59493,7 19831,2 61,7584** 3,49 Galat 12 3853,32 321,11 Total 15 63347 F. hit> F. tab = Significant

38

Lampiran 3. Analisis Statistik Pertambahan Berat Badan (kg) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan

Perlakuan Total

A B C D

1 0,546 0,526 0,4892 0,3853 1,9465 2 0,5737 0,5287 0,4962 0,392 1,9906 3 0,548 0,541 0,4837 0,3947 1,9674 4 0,5987 0,521 0,4903 0,4373 2,0473

Total 2,2664 2,1167 1,9594 1,6093 7,9518 Rataan 0,5666 0,52918 0,48985 0,40233

FK= 3,95195 JKT= 0,0634 JKP= 0,05958 JKG= 0,00382 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 0,05958 0,01986 62,3056** 3,49

Galat 12 0,00382 0,00032

Total 15 0,0634

F. hit > F. tab. = Significant

39

Lampiran 4. Analisis Statistik Konsumsi Ransum (g/ekor/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 20,8 22,15 21,49 18,21 82,65 2 22,52 20,74 21,64 18,75 83,65 3 22,6 22,39 21,34 19,32 85,65 4 22,75 20,53 21,27 20,2 84,75

Total 88,67 85,81 85,74 76,48 336,7 Rataan 22,1675 21,4525 21,435 19,12

FK= 7085,43 JKT= 28,6326 JKP= 21,1351 JKG= 7,49745 Daftar Sidik Ragam

SK Db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 21,1351 7,04504 11,2759** 3,49 Galat 12 7,49745 0,62479 Total 15 28,6326 F. hit. > F. tab = Significant

40

Lampiran 5. Analisis Statistik Konversi Ransum (FCR) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 2,13 2,36 2,46 2,65 9,6 2 2,2 2,2 2,44 2,68 9,52 3 2,31 2,32 2,47 2,74 9,84 4 2,13 2,21 2,43 2,59 9,36

Total 8,77 9,09 9,8 10,66 38,32 Rataan 2,1925 2,2725 2,45 2,665

FK= 91,7764 JKT= 0,5812 JKP= 0,52775 JKG= 0,05345 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 0,52775 0,17592 39,4949** 3,49 Galat 12 0,05345 0,00445 Total 15 0,5812 F. hit.> F. tab = Significant

41

Lampiran 6. Analisis Statistik Kecernaan Bahan Kering (KCBK, %) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 76,86 76,16 69,52 75,31 297,85 2 79,52 76,9 77,15 74,05 307,62 3 76,77 77,95 77,63 73,75 306,1 4 77,18 76,7 76,67 73,31 303,86

Total 310,33 307,71 300,97 296,42 1215,43 Rataan 77,5825 76,9275 75,2425 74,105

FK= 92329,4 JKT= 83,219 JKP= 30,0973 JKG= 53,1217 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 30,0973 10,0324 2,26629ns 3,49 Galat 12 53,1217 4,42681 Total 15 83,219 ns = berbeda tidak nyata (p>0,05)

F.hit.< F. tab = Non Significant

42

Lampiran 7. Analisis Statistik Kecernaan Protein (%) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 91,27 91,41 90,67 89,31 362,66 2 92,5 91,54 90,49 90,2 364,73 3 91,99 90,65 90,26 90,54 363,44 4 91,98 90,64 90,57 90,41 363,6

Total 367,74 364,24 361,99 360,46 1454,43 Rataan 91,935 91,06 90,4975 90,115

FK= 132210 JKT= 9,97844 JKP= 7,50017 JKG= 2,47828 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 7,50017 2,50006 12,1055** 3,49 Galat 12 2,47828 0,20652 Total 15 9,97844 F. hit > F. tab = Significant

43

Lampiran 8. Analisis Statistik Retensi Protein (g/ekor/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 2,44803 2,30914 1,99896 1,6432 8,39933 2 2,56594 2,32728 2,04564 1,74832 8,68718 3 2,457 2,37499 1,97661 1,68299 8,49159 4 2,67777 2,29352 2,02156 1,95054 8,94339

Total 10,1487 9,30493 8,04277 7,02505 34,5215 Rataan 2,53719 2,32623 2,01069 1,75626

FK= 74,4833 JKT= 1,51801 JKP= 1,4207 JKG= 0,09731 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 1,4207 0,47357 58,4005** 3,49 Galat 12 0,09731 0,00811 Total 15 1,51801 F. hit > F. Tab = Significant

44

Lampiran 9. Analisis Statistik Konsumsi Protein (g/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 4,787 4,526 4,191 3,155 16,659 2 5,2 4,609 4,114 3,238 17,161 3 5,219 4,182 4,017 3,355 16,773 4 5,212 4,166 4,147 3,495 17,02

Total 20,418 17,483 16,469 13,243 67,613 Rataan 5,1045 4,37075 4,11725 3,31075

FK= 285,72 JKT= 6,94374 JKP= 6,5689 JKG= 0,37485 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 6,5689 2,18963 70,0964** 3,49 Galat 12 0,37485 0,03124 Total 15 6,94374 F.hit. > F. tab = Significant

45

Lampiran 10.Analisis Statistik Protein Tercerna (g/e/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 4,369 4,137 3,8 2,818 15,124 2 4,81 4,219 3,723 2,921 15,673 3 4,801 3,791 3,626 3,037 15,255 4 4,794 3,776 3,756 3,16 15,486

Total 18,774 15,923 14,905 11,936 61,538 Rataan 4,6935 3,98075 3,72625 2,984

FK= 236,683 JKT= 6,35652 JKP= 5,97519 JKG= 0,38133 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 5,97519 1,99173 62,6776** 3,49 Galat 12 0,38133 0,03178 Total 15 6,35652 F. hit. > F. tab = Significant

46

Lampiran 11.Analisis Statistik Konsumsi Energi (Kkal/e/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 110,43 111,65 99,94 82,87 404,89 2 119,83 104,53 104,96 85,31 414,63 3 120,23 112,84 103,48 87,89 424,44 4 121,04 103,49 103,16 91,89 419,58

Total 471,53 432,51 411,54 347,96 1663,54 Rataan 117,883 108,128 102,885 86,99

FK= 172960 JKT= 2203,26 JKP= 2001,36 JKG= 201,902 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 2001,36 667,12 39,6501** 3,49 Galat 12 201,902 16,8252 Total 15 2203,26 F. hit > F. tab = Significant

47

Lampiran 12. Analisis Statistik Energi Feses (Kkal/e/h)Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 17,69 20,3 22,58 15,78 76,35 2 16,95 18,42 17,04 17,08 69,49 3 19,29 18,98 16,45 17,8 72,52 4 19,08 18,39 17,1 18,92 73,49

Total 73,01 76,09 73,17 69,58 291,85 Rataan 18,2525 19,0225 18,2925 17,395

FK= 5323,53 JKT= 41,4533 JKP= 5,31697 JKG= 36,1363 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 5,31697 1,77232 0,58855ns 3,49 Galat 12 36,1363 3,01136 Total 15 41,4533 ns = berbeda tidak nyata (p>0,05)

F. hit < F. tab = Non Significant

48

Lampiran 13. Analisis Statistik Energi termetabolis (Kkal/e/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 92,75 91,35 77,36 67,09 328,55 2 102,88 86,11 87,91 68,23 345,13 3 100,94 93,86 87,02 70,09 351,91 4 101,96 85,1 86,05 72,97 346,08

Total 398,53 356,42 338,34 278,38 1371,67 Rataan 99,6325 89,105 84,585 69,595

FK= 117592 JKT= 2074,09 JKP= 1865,28 JKG= 208,808 Daftar Sidik Ragam

SK Db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 1865,28 621,759 35,732** 3,49 Galat 12 208,808 17,4006 Total 15 2074,09 F. hit > F. tab = Significant

49

Lampiran 14. Analisis Statistik Retensi Energi (RE) Kkal/e/h Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 18,65 17,97 16,71 13,16 66,49 2 19,6 18,06 16,95 13,39 68 3 18,72 18,48 16,53 13,48 67,21 4 20,45 17,8 16,75 14,94 69,94

Total 77,42 72,31 66,94 54,97 271,64 Rataan 19,355 18,0775 16,735 13,7425

FK= 4611,77 JKT= 74,0119 JKP= 69,5462 JKG= 4,46575 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 69,5462 23,1821 62,2929** 3,49 Galat 12 4,46575 0,37215 Total 15 74,0119 F.hit > F. tab = Significant

50

Lampiran 15. Analisis Statistik Produksi Panas (Kkal/e/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 66,1 65,67 53,49 48,28 233,54 2 74,88 60,31 63,7 49,1 247,99 3 74,19 67,46 63,42 50,83 255,9 4 72,74 59,67 62,12 51,63 246,16

Total 287,91 253,11 242,73 199,84 983,59 Rataan 71,9775 63,2775 60,6825 49,96

FK= 60465,6 JKT= 1158,09 JKP= 987,099 JKG= 170,989 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 987,099 329,033 23,0915** 3,49 Galat 12 170,989 14,2491 Total 15 1158,09 F. hit > F. tab = Significant

51

Lampiran 16.Analisis Statistik Produksi Panas (Kkal/gW0,75/h) Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu Data

Ulangan Perlakuan

Total A B C D

1 0,5452 0,5554 0,4752 0,5028 2,0786 2 0,5969 0,5085 0,5605 0,5059 2,1718 3 0,6104 0,5599 0,5679 0,5211 2,2593 4 0,5631 0,5079 0,5512 0,4944 2,1166

Total 2,3156 2,1317 2,1548 2,0242 8,6263 Rataan 0,5789 0,53293 0,5387 0,50605

FK= 4,65082 JKT= 0,0219 JKP= 0,01086 JKG= 0,01105 Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit Ftabel (5%)

Perlakuan 3 0,01086 0,00362 3,93197** 3,49 Galat 12 0,01105 0,00092 Total 15 0,0219 F.hit > F. tab = Significant