document
-
Upload
galdhis-caresya -
Category
Documents
-
view
67 -
download
1
description
Transcript of document
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 5
PENYAKIT INTEGUMENT
oleh
ADE LIDYA SWARA
091610101065
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan hidayah dan inayah-Nya berupa kemampuan berpikir dan analisis
sehingga laporan tutorial yang berjudul “Penyakit Gastrointestinal, urogenital dan
liver” dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan tutorial ini disusun untuk memenuhi tugas tutorial dengan alasan-
alasan penting yang menjadi pendorong untuk pengetahuan berdasarkan referensi-
referensi yang mendukung. Laporan ini juga bertujuan untuk mengantisipasi pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi di lingkungan Universitas Jember dan bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Laporan tutorial ini disusun melalui berbagai tahap baik dari pencarian
bahan, text book dan dari beberapa referensi yang penulis dapat lainnya. Laporan ini
tidak mungkin terwujud tanpa adanya komitmen dan kerjasama yang harmonis
diantara para pihak yang terlibat. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. drg. Nadie Fatimazuhro selaku tutor kelompok tutorial II
2. Teman-teman kelompok tutorial II
Akhirnya tiada suatu usaha yang besar dapat berhasil tanpa dimulai dari usaha
yang kecil. Semoga laporan tutorial ini bermanfaat, terutama bagi mahasiswa
Universitas Jember sendiri dan di luar lingkungan Universitas Jember. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan serta penyempurnaan lebih lanjut
pada masa yang akan datang.
Jember, Desember 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................14
BAB III KESIMPULAN............................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Saat ini, telah berkembang berbagai jenis penyakit di dunia. Penyakit-penyakit
tersebut dapat memberikan gejala klinis yang bervariasi dengan gambaran
histopatologis dan radiografi yang juga bervariasi. Akan tetapi seringkali terdapat
sejumlah penyakit yang memberikan gambaran yang serupa satu sama lain. Hal ini
dapat berpengaruh besar pada hasil diagnosa dan terapi yang akan diberikan oleh
tenaga medis. Dewasa ini tampak bahwa dibutuhkan interaksi yang lebih besar lagi di
antara semua para profesional di bidang kesehatan dalam merencanakan perawatan
gigi sebagian bagian dari perawatan kesehatan yang terpadu dari pasien.
Pemeriksaan klinis secara mendetail pada penderita merupakan cara terbaik
untuk menentukan diagnosa awal. Penyakit autoimun oral mukosa banyak
menunjukkan gambaran gejala yang mirip satu sama lain. Walaupun masing-masing
penyakit memiliki ciri khas sendiri-sendiri, terdapat lesi-lesi yang hampir selalu
muncul pada penyakit autoimun oral mukosa, seperti lepuhan atau bullae.
Vesiculobullous, kelainan ulserasi atau erosi yang terdapat pada mukosa oral atau
gingiva dapat sangat sulit untuk didiagnosa secara klinis. Padahal sangat penting
untuk menetukan diagnosa suatu penyakit seperti pemphigus vulgaris secara tepat dan
secepat mungkin agar dapat diberikan perawatan yang memadai. Biopsi juga sangat
penting bagi diagnosa histopatologis yang tepat. Biopsi dibutuhkan pada kasus yang
meragukan ciri-ciri suatu lesi sehingga memerlukan ciri-ciri secara histopatologis
agar dapat menentukan diagnosa yang benar. Dengan mengamati lesi-lesi penyakit
autoimun oral mukosa seperti pemhigus vulgaris, lichen planus, maupun erythema
multiforme, Systemic lupus eritematosus. Selain itu juga dapat mengetahui
manifestasi klinis dari penyakit dermatosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan
virus.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Macam – macam penyakit Integument ( etiologi pathogenesis, gambaran
klinis pada intra oral dan sistemik, pemeriksaan laboratories dan HPA, beserta
penatalaksanaan penyakit sistemik di bidang kedokteran gigi ).
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui macam – macam penyakit Integument ( etiologi pathogenesis,
gambaran klinis pada intra oral dan sistemik, pemeriksaan laboratories dan
HPA, beserta penatalaksanaan penyakit sistemik pada bidang kedokteran
gigi).
1.4 Maping
Integument disease
Klinis
Etiologi
Patogenesis
Pemeriksaan
Laboratorium HPA
SistemikIntra Oral
Penatalaksanaan di
Kedokteran Gigi
Autoimun Infeksi bakteri Infeksi virus
Phempighoid,
Phemphigus, Erythema
multiformis, Lichen
planus, SLE
Syphilis, GO HIV-AIDS, Herpes
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Autoimun
Kata "autoimmune" berasal dari penggabungan kata auto dan immune. Kata
auto berarti diri sendiri, sedangkan immune dari kata sistem immune yang berarti
suatu sistem komplek pada sel dan komponen sel (yang disebut mollecules) yang
normalnya bekerja untuk mempertahankan ketahanan tubuh dan mengaleminasi
infeksi yang disebabkan oleh bakteria, virus dan mikroba asing lainnya yang
memasuki tubuh. Jika seseorang menderita penyakit autoimmune, maka sistem
kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan
atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh
antibody.
Pada reaksi sistem immune tubuh maka benda asing dikatakan sebagai antigen
dan sistem kekebalan yang terbentuk disebut antibodi. Kejadian Penyakit
Autoimmune memberikan reaksi sistem immune terhadap jaringannya sendiri dimana
antigenyang mendorong kejadian penyakit autoimmune disebut autoantigen
sedangkan antibodi yang dibentuk sebagai autoantibodi. Sel autoreaktif adalah
limfosit (sel darah putih) yang mempunyai reseptor untuk autoantigen sehingga
mampu memberikan reaksi autoimmune (meskipun tidak selalu sel autoreaktif itu
bereaksi dengan autoantigen jika berpapasan). Jika sel autoreaktif (limfosit)
memberikan respon pada autoantigen, maka sel autoreaktif (limfosit) itu disebut
sebagai Sel Limfosit Reaktif (SLR)
2.1.1 Lichen Planus
Lichen Planus merupakan suatu dermatosi yang relatif sering terjadi pada
kulit dan membran mukosa mulut. Lesi ini mungkin hanya terbatas pada salah satu
tempat atau mungkin juga terjadi pada dua lokasi dalam satu pasien. Kurang lebih
50% dari pasien yang memiliki Lichen Planus di mulut memiliki lesi di kulit. Lesi di
kulit ini relatif konstan, dalam bentuk papula yang rata dan berwarna keunguan
dengan sisi yang halus pada permukannya.
Lichen planus, secara klinis merupakan lesi putih. Dimana secara klinis
menunjukkan suatu lapisan putih yang berupa anyaman homogen atau yang tidak
homogen yang tidak terkelupas. Lesi ini secara klinis mempunyai tipe erosi dan non
erosi. Dapat terjadi pada seluruh pemukaan rongga mulut dan erat hubungannya
dengan infeksi jamur atu virus.
Lesi-lesi kulit dari lichen planus pada awalnya terduri dari papula-papula
kecil, puncaknya rata, merah dengan tengahnya berlekuk. Lesi-lesi tersebut dapat
membesar dan bentuknya menjadi segi banyak atau bergabung menjadi plak yang
lebih besar. Papula sedikit demi sedikit mendapat warna ungu dan lichenifikasi
permukaan terdiri dari striae putih kecil. Lesi tersebut biasanya gatal dan dapat
berubah warna menjadi kuning atau coklat sebelum menghilang.
Lesi-lesi oral dari lichen planus dapat mempunyai satu dari empat gambaran :
atrofik, erosif, menyebar (retikuler) atau mirip plak. Daerah yang paling sering
terkena adalah mukosa pipi, lidah, bibir, palatum, gusi dan dasar mulut juga terkena.
Pasien dengan lichen planus oral retikuler secara khas mempunyai banyak garis-garis
atau papula putih halus yang tersusun dalam suatu jaringan mirip jala yang dikenal
sebagai striae Wickham.
2.1.2 Systemic Lupus Eritematus (SLE)
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi
karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan
dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan
ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik
diselangi episode remisi. Insidens SLE pada anak secara keseluruhan mengalami
peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit SLE jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun
dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio
tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia.Prevalensi penyakit SLE di
kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk berkulit putih. Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan
penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian.
Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti
disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai
oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya.
yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa
organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,
bersifat episodik diselangi episode remisi.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi
terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya
titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.Beberapa antibodi
antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan
mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel
sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin.
Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula
autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan
substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi
trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai
pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.Adanya
keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya
kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan
dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen
2.1.3 Pemphigus dan Pemhigoid
1. Pemphigus
Pemphigus diambil dari bahasa Yunani yaitu phempix yang artinya
gelembung atau lepuhan. Pemphigus menggambarkan penyakit bullae
kronis.Pemphigus vulgaris suatu kelainan autoimun dimana melepuhnya lapisan
intradermal kulit dan membran mukosa. 21 Lesi oral dilaporkan merupakan
manifestasi inisial dai penyakit ini dari lima puluh persen kasus yang terjadi. 34
Kenyataan bahwa lepuhan pada mukosa oral merupakan manifestasi awal penyakit
yang menyatakan bahwa para dental professional seharusnya cukup mampu
mengenali manifestasi klinis pemphigus vulgaris supaya dapat memberikan diagnosa
yang benar dan terapi yang tepat.Pemphigus merupakan salah satu penyakit
autoantibody-mediated yang dapat bermanifestasi sebagai lesi pada kulit dan
membran mukosa termasuk oral mukosa. Pemphigus dapat diklasifikasikan menjadi 4
tipe: pemphigus vulgaris (PV), pemphigus vegetans, pemphigus erythematosus, dan
pemphigus foliaceus.
2. Pemphigoid
Penyakit ini dibedakan dari pemphigus vulgaris karena letak bulla
subepidermal dan tidak dijumpai akantolisis pada gambaran histopatolis. Penyakit ini
relatif benigna, menahun dengan adanya remisi dan exaxerbasi yang tebatas, yang
dapat mengalami proses proses penyembuhan. Menyerang orang tua dengan umur 60-
70 tahun, jarang pada anak-anak dan dewasa. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit
autoimun, dengan ditemukan antibodi berupa IgG dalam serum penderita sebagai
autoantibodi, dimana IgG dan komplen terikat pada daerah stratum basalis.
2.1.4 Erythema Multiformis
Eritema multiforme merupakan penyakit kulit akut yang memiliki gambaran
klinis dan tingkat keparahan beragam sesuai dengan namanya. Dari yang hanya
berupa makula atau papula eritematus sampai dengan epidermolisis yang disertai
dengan kelainan mukosa, organ dalam dan gejala sistemik yang berat. Dari penyakit
yang ringan sampai sembuh sendiri sampai dengan penyakit berat yang mengancam
jiwa. Penegakan diagnosis eritema multiforme memerlukan ketelitian yang cukup
tinggi.Eritema multiforme adalah penyakit kulit akut, mengenai kulit dan mukosa,
erupsinya beragam dengan tanda khas berupa lesi target, timbul tiba-tiba, bersifat
simetris dan menetap, serta dapat disebabkan oleh berbagai faktor pencetus.
Erythema multiforme (EM) merupakan sindrom hipersensitivitas khusus yang
ditandai oleh lesi pada kulit dan membran dan, dalam bentuk yang lebih parah, lesi
mukosa dengan gejala konstitusional dan, kadang-kadang, keterlibatan visceral.
Spektrum klinis dari EM dapat berkisar dari berupa erupsi terlokalisasi pada
kulit dan membran mukosa (EM minor) hingga kelainan multisistem lanjutan dengan
lepuhan yang meluas dan erosi berat pada membran mukosa (sindrom Steven-
Johnson).Istilah erythema multiforme sering membingungkan kalangan non-
dermatologis dan sebaiknya tidak digunakan secara sembarangan terhadap berbagai
jenis erupsi polimorfik. Kelainan ini ditandai oleh pola klinis khusus, ciri utamanya
yaitu cincin erythematous (disebut juga iris atau lesi target). Walaupun satu macam
ciri dapat mendominasi selama satu serangan tertentu, akan tetapi lesi dasarnya
makular (datar dan tanpa adanya batasan yang jelas), urtikarial, dan vesicubullous;
diagnosis klinis dapat segera ditentukan apabila ciri-ciri ini diingat dengan baik.
Evolusi dan resolusi dari lesi individual berlangsung selama kurang lebih satu
minggu, tapi erupsi dapat terus muncul selama dua atau tiga minggu, sehingga
berkontribusi terhadap erupsi yang multiform atau bervariasi. Lesi utama dari EM
merupakan makula datar merah kehitaman atau lesi yang berbatas tajam, ditengahnya
berkembang suatu papula atau vesikel, sehingga menciptakan suatu lesi dengan
bentuk beragam (multiform). Area tengah kemudian akan merata dan membuka.
Hasilnya, tidak biasanya terlihat iris atau lesi target terdiri dari lingkaran konsentris
yang memiliki cincin merah dan cyanotic atau violaceous silih berganti. Lesi target
biasanya terlihat pada erythema anular sentrifugum dan penyakit Kawasaki; mereka
merupakan ciri-ciri EM. Inspeksi yang teliti pada erupsi EM mungkin dapat
menyingkap petechiae, gejala klinis yang membedakan lesi EM dengan urtikaria dan
erythema anular sentrifugum.
2.2 Penyakit Infeksi bakteri
2.2.1 Syphilis
Sifilis yang mempunyai nama lain Great pox, lues venereum, dan morbus
gallicus merupakan suatu penyakit kronik dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh
Treponema pallidum. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dapat ditularkan melalui
kontak seksual dan dari ibu ke janin.(4) Penyakit ini juga mempunyai stadium remisi
dan eksaserbasi. Di Indonesia insidensinya 0,61% dengan penderita terbanyak adalah
stadium laten, disusul stadium I yang jarang, dan yang langka adalah sifilis stadium
II. Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan akuisita (dapatan).
Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis dini (sebelum 2 tahun), lanjut (setelah
2 tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut 2 cara, yaitu secara klinis
dan epidemiologik. Menurut klinis sifilis dibagi menjadi 3 stadium: Stadium I,
stadium II, dan stadium III. Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi:
Stadium dini menular (dalam dua tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium I (9-90
hari), stadium II (6 minggu-6 bulan atau 4-6 bulan setelah muncul lesi primer, dan
stadium laten dini (dalam 2 tahun infeksi). Stadium lanjut tak menular (setelah dua
tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut (lebih dari 2 tahun), dan stadium
III (3-20 tahun). Ada juga yang memasukkan sifilis kardiovaskular dan neurosifilis
Sifilis primer merupakan stadium dimana organisme penyebab sifilis masuk ke dalam
tubuh. Gejala awal tidak selalu tampak. Setelah mengalami masa inkubasi selama 10-
90 hari, akan terjadi chancre, yaitu lesi lepuh kecil berukuran sekitar 13 mm. Chancre
bisa terdapat pada genital, mulut, dada dan rektal .
Sifilis laten adalah suatu fase yang ditandai dengan ketiadaan relatif gejala
eksternal. Fase laten dibagi menjadi fase laten dini dan laten lanjut. Sifilis yang tidak
diobati akan berkembang menjadi stadium tersier pada sekitar 35-40% pasien yang
ditandai dengan adanya gumma Sifilis juga dapat menyerang kardiovaskular dan SSP
menjadi sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Manifestasi klinik pada sifilis
kardiovaskular ini dimulai dengan terjadinya peradangan pada pembuluh-pembuluh
arteri jantung dan menyebabkan terjadinya serangan jantung, terbentuknya jaringan
parut pada katup aorta, gagal jantung kongestif (CHF), dan terbentuknya aneurisma
aorta. Neurosifilis terbagi menjadi 4 tipe yaitu tipe asimtomatik, meningovaskular,
tabes dorsalis, dan general paresis.
2.2.2 Gonore
Gonore adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum dan
tenggorokan atau bagian putih mata (konjungtiva).Gonore bisa menyebar melalui
aliran darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian.Pada wanita,
gonore bisa naik ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam panggul
sehingga timbul nyeri panggul dan gangguan reproduksi.Penyakit menular seksual ini
juga disebut penyakit venereal merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di
seluruh dunia. Pengobatan penyakit ini efektif dan penyembuhan cepat sekali.
Namun, beberapa kuman yang lebih tua telah menjadi kebal terhadap obat-obatan dan
telah menyebar ke seluruh dunia dengan adanya banyak perjalanan yang dilakukan
orang-orang melalui transportasi udara.Pengendalian penyakit menular seksual ini
adalah dengan meningkatkan keamanan kontak seks dengan menggunakan upaya
pencegahan. Salah satu di antara PMS ini adalah penyakit gonore yang disebabkan
oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi selaput lendir saluran kencing,
leher rahim, dubur dan tenggorokan atau selaput lendir konjungtiva mata.
2.3 Penyakit Infeksi Virus
2.3.1 HIV AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang hidup di dalam
darah manusia, tidak dalam darah setiap orang tetapi hanya dalam darah seseorang
yang terinfeksi. Meskipun begitu, siapa saja bisa terinfeksi, termasuk anda. HIV tidak
membedakan usia, warna kulit, orientasi seksual, agama, kebangsaan ataupun faktor
pembeda lainnya. Sekali saja HIV sudah berada dalam diri anda (artinya anda telah
terinfeksi HIV), tidak ada yang bisa anda lakukan untuk mengeluarkannya. Tetapi ada
banyak cara agar anda bisa menghindarinya. HIV berkembang dari infeksi menjadi
suatu penyakit yang mengancam jiwa manusia, yaitu Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS), dalam 4 fase berikut :
Fase 1, Fase ini dimulai tepat setelah infeksi dan berlangsung selama beberapa
minggu. Fase 1 ini ditandai dengan perasaan “tidak enak badan” seperti flu, meski
pada 20% penderita terjadi flu yang parah. Tes HIV yang dilakukan pada fase ini
mungkin menunjukkan bahwa anda tidak terinfeksi HIV.
Fase 2, Fase ini adalah tahap yang terpanjang diantara keempat fase lainnya,
bahkan dapat berlangsung hingga sepuluh tahun. Selama fase ini hampir tidak ada
gejala serta penderita terlihat dan merasa sehat-sehat saja. Padahal sebenarnya, pada
fase inilah virus sedang berkembang. Pelan-pelan HIV menghancurkan sel-sel CD4
dalam darah, yang berjumlah banyak sekali untuk melawan penyakit. Semakin sedikit
sel CD4 yang anda miliki, sistem kekebalan tubuh anda semakin melemah dan anda
akan semakin sulit untuk menghindari penyakit. Memang tubuh akan melawan
dengan cara mengganti sel CD4 yang rusak atau hilang dengan yang baru sebanyak
mungkin, tetapi selalu kalah cepat dibanding dengan pembiakan HIV dalam tubuh
anda. Untuk membantu tubuh dalam memerangi HIV ini, para peneliti telah
mengembangkan obat-obatan antivirus yang bisa dikonsumsi orang-orang dengan
HIV.
Fase 3, Fase ini dimulai ketika sel CD4 dalam tubuh sudah dikuasai virus yang
pada tahap ini sudah banyak sekalidalam darah. Ketika sistem kekebalan tubuh sudah
gagal, penyakitpun mulai menyerang. Penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang
biasanya dapat dilawan sistem kekebalan tubh dengan mudah, ironisnya penyakit
inilah yang mnguasai dan mengendalikan tubuh yang terinfeksi HIV dan gejala
penyakitpun berkembang. Pada awalnya gejala-gejala ini ringan, misalnya : lelah,
diare, infeksi jamur, demam, berat badan terus menurun, berkeringat pada malam
hari, pembengkakan kelenjar limpa, infeksi pada sekitar area mulut, atau batuk yang
terus-menerus. Tetapi seiring dengan semakin melemahnya sistem kekebalan, gejala-
gejala ini semakin parah.
Fase 4, Ketika gejala-gejala penyakit (seperti tuberculosis atau cancer) menjadi
semakin parah, selanjutnya penderita didiagnosis menderita AIDS. Pada fase ini obat-
obatan antivirus hanya bisa memperlambat perkembangan virus ini.
Penularan HIV (AIDS) terdapat dalam darah, sehingga dapat disimpulkan
bahwa semua spesimen yang berupa cairan tubuh dan berasal dari tubuh penderita
HIV dapat dipastikan infeksius dan sangat potensional untuk menularkan virus ini
pada orang lain, termasuk ketika sorang penderita HIV positif melakukan hubungan
seksual dengan pasangannya maka bukan tidak mungkin bila pasangannya nantinya
akan terinfeksi virus ini juga. Baik penderita HIV wanita maupun pria sangat riskan
untuk menularkan virus ini pada pasangannya ketika berhubungan seksual, yakni
melalui cairan sperma (bagi penderita pria) dan darah menstruasi (bila melakukan
hubungan seksual pada saat menstruasi bagi penderita wanita). Diyakini bahwa
jumlah HIV dalam ludah seseorang yang terinfeksi sangat sedikit, oleh karenanya
anda tidak perlu khawatir dengan ludah penderita HIV. Selain melalui hubungan
seksual, HIV juga bisa disebarkan melalui jarum suntik yang digunakan seseorang
yang telah terinfeksi, atau bahkan bisa juga ditularkan oleh seorang ibu dengan HIV
positif kepada bayinya pada waktu hamil atau menyusui. Jadi dapat disimpulkan
bahwa penyebaran HIV yang infeksius ini dapat melalui perseksual, peroral
(kemungkinan sangat kecil), parenteral (jarum suntik), dan perplasenta.Bila ada
kemungkinan anda terinfeksi HIV, lakukan tes dengan segera.
2.3.2 Herpes
Herpes Simplex merupakan salah satu penyakit menular, yang disebabkan
oleh virus DNA. Virus (Herpes Simplex) ini menyerang pada kulit, mukosa dan
syaraf manusia. Penyakit ini dapat menular melalui sentuhan serta adanya transmisi
kontak langsung (misalnya berciuman)dengan penderita. Bintil herpes simplex virus
ini bila ditemukan pada area sekitar genetalia, transmisi kontak langsung (melalui
hubungan seksual) dengan penderita bukan tidak mungkin menyebabkan anda
terinfeksi. Memakai pakaian penderita (secara bergantian) juga dapat diindikasikan
sebagai media penularan herpes. Waktu yang paling tepat menemui dokter (spesialis
kulit & kelamin) adalah segera setelah muncul bintil. Herpes mungkin saja bisa
diidentifikasi dengan segera, tapi kadang memerlukan tes. Serangkaian tes tersebut
meliputi pengorekan bintil untuk memperoleh lapisan mukosa kulit dalam dan dapat
diperoleh hasil + / - setelah 1-2 minggu. Prosesnya akan menyakitkan. Kekambuhan
dapat dipicu karena demam. Infeksi herpes dapat menimbulkan implikasi serius bila
terjadi pada mata, cervix dan infant.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Macam-macam penyakit Integument
3.1.1 Penyakit Autoimun
3.1.1.1 LICHEN PLANUS
Lichen planus adalah lesi putih ataupun plak pada mukosa rongga mulut yang
tidak dapat dihapuskan dan tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu lesi putih
yang lain. Lesi pada rongga mulut dapat disertai dengan lesi pada membrana mukosa
yang lain ataupun pada kulit terutama pada pergelangan tangan dan kaki. Lesi oral
dari lichen planus cenderung untuk lebih menetap daripada yang ada di kulit. Daerah
yang paling sering terkena adalah mukosa pipi. Lidah, bibir, palatum, gusi dan dasar
mulut juga dapat terkena.
Etiologi
Etiologinya tidak diketahui meskipun bukti menunjukkan bahwa lichen planus
adalah kelainan imunologik, kemungkinan suatu penyakit autoimun, dimana limfosit
T merusak lapisan sel basal dari epitel yang terkena. Subset sel T CD4 maupun CD8
sudah dijumpai dalam popoulasi limfosit submukosa. Orang yang gugup, emosional,
trauma, malnutrisi, dan alergi merupakan predisposisi untuk lichen planus.
Patogenesis
Peningkatan produksi sitokin TH1 merupakan kunci dan penanda awal
terjadinya LP, yang diinduksi secara genetik, dan adanya polimorfisme genetik dari
sitokin yang terlihat mendominasi, baik pada lesi yang berkembang hanya pada mulut
(diasosiasikan dengan interferon-gamma (IFN-γ)) atau pada mulut dan kulit
(diasosiasikan dengan tumor nekrosis faktor-alpha(TNF-α)). Sel T yang teraktivasi
kemudian akan tertarik dan bermigrasi melalui epitelium mulut, lebih jauh akan
tertarik oleh adhesi molekul interseluler (ICAM-1 dan VCAM), regulasi ke atas dari
protein matriks ekstraseluler membran dasar epitelial, termasuk kolagen tipe IV dan
VII, laminin dan integrin, dan kemungkinan oleh jalur sinyal CXCR3 dan CCR5.
Sitokin disekresi oleh keratinosit misalnya TNF-α dan interleukin (IL)-1, IL-8, IL-10,
dan IL-12 yang juga kemotaktik untuk limfosit. Sel T kemudian akan berikatan pada
keratinosit dan IFN-γ, dan regulasi berkelanjutan dari p53, matriks metalloproteinase
1 (MMP1) dan MMP3 memicu proses kematian sel (apoptosis), yang akan
menghancurkan sel basal epitelial.
Perjalanan kronis dari OLP merupakan hasil dari aktivasi faktor nuklear
mediator inflamasi kappa B (NF-κB), dan inhibisi dari jalur pengontrol faktor
pertumbuhan transformasi (TGF-beta/smad) yang menyebabkan hiperproliferasi
keratinosit yang memicu timbulnya lesi putih.
Gambaran Klinis
Lichen planus, secara klinis merupakan lesi putih. Dimana secara klinis
menunjukkan suatu lapisan putih yang berupa anyaman homogen atau yang tidak
homogen yang tidak terkelupas. Lesi ini secara klinis mempunyai tipe erosi dan non
erosi. Dapat terjadi pada seluruh pemukaan rongga mulut dan erat hubungannya
dengan infeksi jamur atu virus.
Lesi-lesi kulit dari lichen planus pada awalnya terdiri atas papula-papula kecil,
puncaknya rata, merah dengan tengah bengkak. Lesi-lesi tersebut dapat membesar dan
begabung menjadi plak yang lebih lebar. Papula sedikit demi sedikit berubah warna
menjadi ungu dan lichenifikasi permukaan terdiri atas striae putih kecil. Lesi tersebut
biasanya gatal dan dapat berubah warna menjadi kuning atau coklat sebelum menghilang.
Distribusi bilateral pada permukan fleksor dari ekstremitas adalah hal yang biasa, kadang-
kadang mengenai kuku jari. Pasien dengan papula tertentu yang ungu, bersegi banyak, gatal
pada kulit seringkali secara serempak mempunyai lesi-lesi intraoral.
Gambar : Tampak lesi kulit dari Lichen planus
Manifestasi Oral
Pada lesi intraoral dapat timbul keluhan rasa tidak nyaman sampai nyeri atau
terbakar ketika makan makanan pedas. Lesi-lesi oral pada lichen planus memiliki 2
tipe :
1. Tipe non erosif
a. Striae
lesi berupa banyak garis-garis atau papula-papula putih halus yang tersusun
dalam suatu jaringan mirip jala.
Gambar : lesi oral dari lichen planus tipe striae
b. Atrofik
akibat dari atrofi epitel dan terutama tampak sebagai bercak-bercak mukosa
yang merah, tanpa ulserasi. Tipe striae seringkali dijumpai di tepi lesinya.
Gambar : lesi oral dari lichen planus tipe atrofik
2. Tipe erosif
a. Plak
Lesi berupa bercak putih padat yang mempunyai permukaan yang licin,
sedikit tidak teratur, dan asimetris. Lesi tersebut umumnya dijumpai pada
mukosa pipi dan lidah. Pasien tidak akan menyadari adanya lesi ini.
Gambar : Lesi oral dari lichen planus tipe mirip plak
b. Erosif
Bila permukaan epitel sama sekali hilang dan mengakibatkan ulserasi.
Mukosa pipi dan lidah adalah daerah yang umum terkena. Pada awalnya
timbul vesikel atau bulla, yang akhirnya tererosi dan menjadi ulserasi. Lesi-
lesi yang matang mempunyai tepi-tepi merah tak teratur, pseudomembran
sentral nekrotik yang kekuning-kuningan dan bercak putih melingkar yang
sering terdapat di perifernya. Keadaan ini sangat sakit dan dapat terjadi cepat
sekali.
Gambar : lesi oral dari lichen planus tipr erosif
Pemeriksaan
Dalam banyak kasus, gambaran klinis saja dapat memastikan diagnosis lichen
planus oral. Biopsi tidak perlu dilakukan. Lesi-lesi intaoral tanpa gejala dapat
dibiarkan. Biopsy dari bentuk atrofik dan erosive harus dilakukan pada tepi lesinya.
Pada gambaran HPA:
Gambaran mikroskopis lesi lichen planus menunjukkan gambaran yang sanagt
spesifik di mana menunjukkan adanya 3 karakter yang khas, yaitu :
1. adanya kerusakan lapisn membran basalis epitelium,
2. adanya infiltrasi sel-sel limfosit yang padat disertai membentuk untaian (band),
3. adanya eosinofilik material pada daerah lamina propia
Gambar: Menunjukkan adanya kerusakan membran basalis, infiltrasi limfosit,
membentuk untaian/band, disertai adanya eosinofilik material pada lamina propia
Penatalaksanaan
1. Istirahat
2. Anxiolitik
3. Steroid dan imunosupresan topical atau sistemik, untuk lichen planus yang kronis,
bergejala dan erosive.
4. Kortikosteroid topical, dipantau dengan cermat untuk melihat perubahan menjadi
keganasan pada tipe erosi
5. Waspadai infeksi kandida yang sering memperparah dan menghambat proses
penyembuhan
3.1.1.2 SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS / S.L.E
Sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh autoantibodi patogen dan
kompleks imun.1,2 Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi
sebagai “lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis,
anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat.
Etiologi dan Predisposisi
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :
- Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang
tinggi untuk penyakit pada jaringan ikat.
- Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada
hipertensi.1,3,4 Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi
selama 3 tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan 200
mg/hari (10,4%).
- Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
- Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau
penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan
antibodi terhadap radiasi ultraviolet.
- Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik
fisik maupun mental.
Patogenesis:
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan
lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini
termasuk :
1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA
dalam RNA/protein self-antigen
2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T
dan Limfosit B)
3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.
Gangguan imunitas yang ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang
bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen
membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan.
Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang
menimbulkan lesi di tempat tersebut.Faktor keluarga yang kuat terutama pada
keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus
disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti
C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis
fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES
bersifat multipel, kompleks dan interaktif.Jumlah sel B meningkat pada pasien
dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan
hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer
berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh
antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas
intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan
karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B
poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi
antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi
disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-
antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan
antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan
antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka
akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur
determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja
salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan
pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen
dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang
kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh
kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara
autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi
yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan
kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh
kompleks imun.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat
ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga
antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa
jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe
1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta
Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan
suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal
menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu
CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus
menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan
target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel
darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun
mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan
enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel
imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan
enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan
produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
Manifestasi klinis
Gambaran klinis terentang mulai dari gangguan yang ringan terutama ditandai
oleh artralgia rekuren atau ruam kulit sampai penyakit fulminan yang berbahaya
dengan gagal ginjal. Onset dapat tiba-tiba tetapi lebih sering terjadi perlahan-lahan.
Perjalanan penyakit yang paling sering adalah satu eksaserbasi dan remisi selama
bertahun-tahun. Keluhan awal biasanya adalah nyeri sendi atau ruam kulit. Gejala
konstitusional seperti kelelahan, malaise dan demam sering ditemukan.
a. Manifestasi muskuloskeletal
- Hampir semua pasien mengalami gangguan sendi, mereka mungkin
mengalami poliartralgia atau artritis. Sendi-sendi kecil di jari tangan , tangan
dan pergelangan tangan adalah yang paling terganggu
- Deformitas ringan seperti jari leher angsa dapat terjadi
- Nekrosis avaskular pada tulangterjadi pada sejumlah kecil pasien
- Nyeri sendi proksimal atau kelemahan kadang-kadang ditemuka
b. Manifestasi mukokutan
- Ruam kupu-kupu yang klasik pada pipi dan punggung hidung, terentang dari
kemerahan malar yang samarsamar sampai ruam makulopapular eritematus
dan bersisik
- Kira-kira sepertiga pasien menunjukkan fotosensitivitas, dengan ruam yang
terlihat setelah terpapar sinar matahari
- Lesi vaskulitik umumya ditemukan pada telapak tangan dan pada banatalan
jari distal
- Fenomena Raynaud terjadi kira-kira 20 %
- Telangiektasia
- Livedo retikularis
- Eritema periungual
- Petekia
- Purpura
- Bula
- Urtikaria
- Daerah hiperpigmentasi dan vitiligo sangat sering ditemukan
- Lesi ulseratif pada mukosa
c. Serositis
Pleuritis atau efusi pleura yang tidak nyeri sering terjadi
d. Penyakit ginjal
Lebih dari 50% pasien menunjukkan tanda-tanda keterlibatan ginjal, keadaan ini
secara klinis dapat dimsnifestasikan
- Sindroma nefrotik
- Nefritis dengan hematuria
- Gangguan fungsi ginjal yang progresif dan akhirnya uremia
e. Sistem saraf
- Kejang
- Psikosis
- Sindroma otak organik
- Koma
- Hemiparesis
- Korea
- Palsi saraf kranial
- Afasia
- Neoropati perifer
f. Manifestasi-manifestasi lain
- Pembesaran kelenjar getah bening
- Nyeri abdomen
Manifestasi Rongga mulut
- Tiga jenis lesi oral yang mungkin berkaitan dengan SLE : 1) mirip diskoid, 2)
eritematus, 3) ulseratif
- Petekia terutama pada langit-langit keras.
- Pasien SLE sering menunjukkan tanda-tanda penyakit kelenjar air liur, termasuk
penurunan aliran saliva dan kenaikan kandungan natrium dan protein.
- Disfungsi TMJ, dengan pendataran dan erosi kondilus.
Pemeriksaan
Laboratorium
- Anemia normokrom ringan sampai sedang adalah umum
- Tes Coobs mungkin positif dengan atau tanpa disertai anemia hemolitik
- Lekopenia terjadi pada kira-kira 50% pasien
- Antikoagulan dalam sirkulasi mungkin ditemukan dan tedeteksi
- Laju endap eritrosit adalah cepat
Diagnosis
Diagnosis penyakit Systemic Lupus Erythematosus ditegakkan apabila
terdapat empat atau lebih kriteria ARA (American Rheumatism Association), sebagai
berikut:
- Malar rash
- Discoid rash
Gambar 1. (a) Malar rash, (b) Discoid rash
- Photosensitivity
- Ulkus nasofaring atau pada mulut
- Non-erosive arthritis
- Serositis-pleuritis atau pericarditis
- Gangguan pada ginjal-persistent proteinuria (>0,5 g/hari) atau cellular casts
yang mencakup eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan semuanya.
- Kelainan neurologis misalnya kejang atau psikosis pada penderita
- Kelainan hematologi, yaitu anemia hemolytic dengan retikulosit atau leukopenia
(<4.000/mm3) atau trombositopenia (<100.000/mm3) atau lymphopenia
(<1.500/mm3).
- Kelainan imunologis dengan ditemukannya sel LE atau anti DNA dalam jumlah
abnormal atau anti Sn atau pemeriksaan serologis untuk syphilis memberikan
hasil positif palsu minimal enam bulan yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
pergerakan treponema pallidum.
- Antinuclear antibodies (ANA), suatu titer abnormal dari antinuclear antibody
melalui pemeriksaan immunofluorescence
Penatalaksanaan
Banyak pasien membaik dengan terapi suportif sederhana. Semua pasien
harus dianjurkan untuk menghindari pemaparan sinar matahari, dilindungi terhadap
infeksi, menghaindari obat-obatan seperti sulfonamide.
Terapi kortikosteroid sistemik di indikasikan untuk penyakit ginjal dan SSP.
Penatalaksanan Kedokteran gigi
- Pemeriksaan laboratorium dasar membanu dokter gigi dalam menilai keparahan
gangguan sistemik. Pemeriksaan termasuk hitung darah lengkap dll
- Lekopenia, penurunan kemampuan fagositosik lekosit dan aksi imunosupresif
dari terapi steroid dosis tinggi menyebabkan pasien SLE lebih rentan terhadap
infeksi. Dengan demikian akan berguna untuk secara profilaktik memberikan
antibiotika untuk semua pasien SLE sebelum dilakukan prosedur dental.
- Terapi steroid sistemik dapat menyebabkan supresi adrenal. Untuk mencegah
krisis tersebut, dosis steroid perlu diberikan untuk pembedahan oral dan prosedur
dental lainnya yang menimbulkan stress
- Gangguan perdarahan biasanya berhubungan dengan trombositopenia. Jika
terdapat trombosit lebih dari 50.000/mm3, prosedur dental rutin, termasuk
ekstraksi biasanya dapat dilakukan dengan aman
3.1.1.3 PHEMPIGUS
DEFINISI
Pemfigus adalah penyakit kulit yang jarang terjadi yang ditandai dengan
adanya lepuhan-lepuhan (bula) dengan berbagai ukuran pada permukaan kulit dan
selaput lendir (selaput mulut, vagina, penis dan selaput lendir lainnya).
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai oleh timbulnya
bula (lepuh) dengan berbagai ukuran (misalnya 1-10 cm) pada kulit yang tampak
normal dan membran mukosa (misalnya mulut, vagina).
Klasifikasi :
1.1 Pemphigus Vulgaris
Pemfigus vulgaris adalah dermatitis vesikulobulosa reuren yang merupakan
kelainan herediter paling sering pada aksila, lipat paha, dan leher disertai lesi
berkelompok yang mengadakan regresi sesudah beberapa minggu atau beberapa
bulan. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai dengan
timbulnya bulla (lepuh) dengn berbagai ukuran (misalnya 1-10 cm) pada kulit yang
tampak normal dan membrane ukosa (misalnya mulut dan vagina). Pemfigus vulgaris
adalah salah satu penyakit autoimun yang menyerang kulit dan membrane mukosa
yag menyebabkan timbulnya bula atau lepuh biasanya terjadi di mulut, idung,
tenggorokan, dan genital. Pada penyakit pemfigus vulgaris timbul bulla di lapisan
terluar dari epidermis klit dan membrane mukosa. Pemfigus vulgaris adalah
“autoimmune disorder” yaitu system imun memproduksi antibody yang menyerang
spesifik pada protein kulit dan membrane mukosa. Antibodi ini menghasilkan reaks
yang menimbulkan pemisahan pada lapisan sel epidermis (akantolisis) satu sama lain
karena kerusakan atau abnormalitas substansi intrasel. Tepatnya perkembangan
antibody menyerang jaringan tubuh (autoantibody) belum diketahui.
Etiologi
Pemfigus Vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun, dimana sistem
kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang protein tertentu
dipermukaan kulit dan selaput lendir, antibodi ini menimbulkan suatu reaksi yang
menyebabkan pemisahan sel-sel epidermis kulit (akantolosis), penyebab yang pasti
dari pembentukan antibodi yang melawan jaringan tubuhnya sendiri tidak diketahui,
beberapa kasus terjadi karena adanya reaksi terhadap obat. (Penicilinamin, Katropil)
Patofisiologi
Sampai saat ini penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui tetapi
telah disepakati termasuk dalam autoimun disease. Telah dibuktikan dengan
pemeriksaan imunologi bahwa didapatkan di dalam serum penderita antibodi
terhadap jembatan interseluler dari staratum spinosum kulit/ membran mukosa,
sehingga timbul akantolisis yang ditunjukkan dengan imunofloresensi dan didapatkan
timbunan IgG dan C ( C4, C3, faktor B, dan properdin ).
Karena penyebab yang pasti dari pembentukan antibodi yang melawan
jaringan tubuhnya belum diketahui sendiri tetapi yang disebabkan karena reaksi obat
seperti penicilinamin dan katropil, obat tersebut bagi tubuh dianggap sebagai
antigen / zat asing dalam tubuh sehingga sistem kekebalam tubuh terutama
imunoglobulin G mengadakan suatu reaksi terhadap antigen dimana reaksi tersebut
merusak protein tertentu dipermukaan kulit dan selaput lendir dan menyebabkan
lepuhan-lepuhan pada kulit
Gambaran klinis
Pada pemphigus vulgaris terdapat bulla yang kendor dengan isi cairan yang
jernih (serous), seropurulen atau hemoragis. Lesi bulla timbul diatas kulit yang
normal dan karena bulla terletak intraepidermal, maka mudah pecah sehingga
meninggalkan daerah erosi atau tertutup dengan skuama bila bulla pecah, krusta dapat
timbul bila eksudasi mengering. Biasanya terletak di kulit kepala, dada, perut, dan
daerah intertrigo (lipatan).
Manifestasi oral
Membran mukosa seringkali terserang dan merupakan gejala awal penyakit
yang timbul beberapa minggu/ bulan sebelum muncul lesi kulit. Seringkali lesi
mukosa ini didiagnosa stomatitis apthosa atau erythema multiforme. Lesi ini sering
meluas, sehingga sakit dalam proses mengunyah dan menelan, bahkan mengenai
laryng menyebabkan serak. Mukosa lain yang sering juga terkena antara lain hidung,
vagina, dan anus. Daerah erosi kalau menyembuh meninggalkan hiperpigmentasi dan
gejala gatal jarang ditemukan pada penderita.
Pemeriksaan
Gambaran HPA
Adanya akantolisis yaitu terpisahnya keratinosit satu dengan lainnya akibat
jembatan interseluler mangalami lisis, sehingga membentuk cairan dan timbul bulla.
Akantolisis ini dapat dibuktikan dengan tes Tzanck yaitu memecah bulla yang masih
utuh, kemudian dibuat hapusan dari dasar bulla dan dicat dengan giemsa.
Pemeriksaan di bawah mikroskop terlihat sel dengan inti yang besar hiperkromasi
dikelilingi halo di dalam sitoplasmanya.
Gambar : HPA pemphigus vulgaris
1.2 Pemphigus Vegetans
Penyakit ini dihubungkan dengan daya tahan penderita yang lebih baik
dibandingkan dengan pempigus vulgaris. Ditandai dengan bulla yang kendor
kemudian mengalami erosif dan membentuk jaringan baru atau proliferasi
papilomatosis terutama pada bagian inteertrigo. Penyakit ini dimulai dari insidous
(samar-samar), biasanya treletak di hidung atau mulut seperti halnya pemphigus
vulgaris. Kulit terserang di daerah axilla, lipat paha, genitalia, perineum, extremitas
dan kulit kepala. Walaupun gejala subyektifnya lebih ringan tetapi kadang timbul
adanya panas yang tinggi dengan gejala gejala umum hebat dan kemudian timbul
sepsis. Seperti halnya pada pemphigus vulgaris hanya terdapat proliferasi kapiler dan
hiperplasi epidermis yang nyata.
1.3 Pemphigus Foliaceus
Penyakit ini merupakan bentuk pemphigus yang paling ringan yang ditandai
dengan bulla yang kendor dan eksfoliasi yang terbatas ataupun generalisata. Mula-
mula timbul bulla kemudian pecah meninggalkan erosio dengan skuama atau krusta.
Dalam perjalanan penyakitnya timbul eksfoliativa dengan dengan bulla yang sedikit
atau bahkan tidak didapatkan bulla hanya terdapat erosi sehingga menyerupai
dermatitis seboroika. Bulla tersebar sekitar kepala, muka, dada atau menyebar
simetris keseluruh tubuh.
Lesi dimulut jarang ditemukan atau kadang kadang berupa erosi atau
menyerupai stomatitis. Pada umumnya keadaan umum penderita baik yang tidak
terlihat sakit berat, penderita biasanya hanya mengeluh nyeri, panas dan kadang-
kadang sedikit gatal. Lesinya dapat menetap beberapa bulan/ tahun tanapa
mempengaruhi ukuranya. Seperti pada pemphigus vulgaris biasanya menyerang umur
40-50 tahunan.
Secara histopatologis terdiri dari akantolisis di epidermis bagian atas,
biasanya pada stratum granulosum bahkan kadang-kadang pada subcorneal.
Gambar : HPA dari pemphigus foliaceus, adanya akantolisis di epidermis
bagian atas
1.4 Pemphigus Erytematosus (Senear-Usher Syndrome)
Pada pemphigus erythematosus lesi awal berupa bercak-bercak kemerahan
yang terbatas, tertutup krusta yang secara klinis menyerupai lupus erytematosus.
Biasanya lesi terbatas di hidung, kedua pipi, dan telinga, yaitu tempat predileksi dari
lupus erytematosus. Tetapi disamping lesi itu, tidak jarang juag di dapatkan lesi di
kulit kepala, dada, dan extremitas. Merupakan bentukan pemphigus yang ringan dan
tidak jarang berubah ke pemphigus foliaceus atau pemphigus vulgaris.
Manifestasi klinik
Pada mulanya ditemukan dengan lesi oral yang tampak sebagai erosi yang
bentuk ireguler terasa nyeri, mudah berdarah dan sembuhnya lambat. Bulla pada kulit
akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah-daerah erosi yang lebar serta nyeri
yang disertai dengan pembentukan kusta dan perembesan cairan. Bau yang menusuk
dan khas akan memancar dari bulla dan serum yang merembes keluar.
Jika dilakukan penekanan yang minimal akan terjadi pembentukan lepuh atau
pengelupasan kulit yang normal (tanda Nicolsky) kulit yang erosi sembuh dengan
lambat sehingga akhirnya daerah tubuh yang terkena sangat luas, superinfeksi bakteri
sering yang terjadi. Bakteri kulit mudah mencapai bulla karena bulla mengalami
perembesan cairan, pecah dan meninggalkan daerah terkelupas yang terbuka terhadap
lingkungan. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit karena kehilangan cairan
serta protein ketika bulla mengalami rupture.
Komplikasi
1) Secondary infection salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau local
pada kulit. Mungkin terjadi karena penggunaan immunosupresant dan adanya
multiple erosion. Infeksi cutaneus memperlambat penyembuhan luka dan
meningkatkan resiko timbulnya scar.
2) Malignansi dari penggunaan imunosupresif. Biasanya ditemukan pada pasien
yang mendapat terapi immunosupresif.
3) Growth retardation ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan
dan kortikosteroid.
4) Supresi sumsum tulang dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant.
Insiden leukemia dan lymphoma meningkat pada penggunaan imunosupresif
jangka lama.
5) OsteoporosisTerjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik
6) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolitErosi kulit yang luas, kehilangan
cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture akan menyebabkan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium klorida ini
merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit
dan harus diatasi dengan pemberian infuse larutan salin. Hipoalbuminemia lazim
dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan membrane mukosa yang luas.
Diagnostik
a) Pemeriksaan visual oleh dermatologis
b) Biopsi lesi, dengan cara memecahkan bulla dan membuat apusan untuk diperiksa
di bawah mikroskop atau pemeriksaan immunofluoresent.
c) Tzank test, apusan dari dasar bulla yang menunjukkan akantolisis
d) Nikolsky’s sign positif bila dilakukan penekanan minimal akan terjadi
pembentukan lepuh dan pengelupasan kulit.
Penatalaksanaan
1. Menghentikan pembentukan lepuhan (bulla) yang baru yaitu dilakukan dengan
cara penekanan parsial terhadap sistem imun tubuh dengan obat kortikosteroid
peroral dengan efek samping tubuh menjadi lebih peka terhadap infeksi, obat
lainnya yang bisa menekan sistem imun : methotrexat, lyclophosphamide,
azothioprin, garam emas.
2. Pemberian kortikosteroid, untuk mencegah hilangnya serum dan terjadinya infeksi
sekunder dan meningkatkan pembentukan ulang epitel kulit. Kortikosteroid
diberikan dengan dosis tinggi untuk mengendalikan penyakit dan menjaga kulit
dari bulla. Kadar dosis yang tinggi dipertahankan sampai kesembuhan terlihat
jelas. Pada sebagian kasus, terapi kortikosteroid harus dipertahankankan seumur
hidup penderitanya.Kortikosteroid diberikan bersama makanan atau segera
sesudah makan dan dapat disertai dengan pemberian antacid sebagai profilaksis
untuk mencegah komplikasi lambung. Yang penting pada penatalaksanaan
terapeutik adalah evaluasi berat badan, tekanan darah, kadar glukosa darah dan
keseimbangan darah setiap hari.
3.1.1.4 PHEMPIGOID
Keadaan pemphigoid pada umumnya penderita tetap baik, gejala permulaan
tidak spesifik yaitu berupa urtica atau exema sebelum bulla terbentuk. Bulla
berdinding tegang, kecil-kecil, dengan tempat predileksi di daerah ketiak, lengan
bagian flexor, dan lipat paha. Bila pecah terbentuk erosi yang basah dengan tendensi
cepat sembuh. Bulla dapat timbul diatas kulit yang nampak normal atau diatas
erytematosus. Pada pemeriksaan Nikolsky sign dan Tzanck test didapatkan hasil yang
negatif. Secara histopatologis letak bulla subepidermis dan tidak terdapat akantolisis
dengan disertai keradangan pada dernmis yang mengandung eosinofil.
Klasifikasi
1. Pempigoid bulosa
Pemfigoid bulos ialah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya
bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan
imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal
basement membrane zone.
Etiologi
Etiologinya ialah autoimunitas, tetapi perebab yang menginduksi produksi
autoantibodi ida pemfigoid bulosa masih belum diketahui.
Patogenesis
Antigen Phempighoid bulosa/PB merupakan protein yang terdapat pada
hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z.
(basal membrane zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah
melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis, strukturnya ijerbeda dengan
desmosom.
Terdapat 2 jenis antigen phempigoid bulosa ialah yang de-jhgan berat molekul
230 kD disebut PBAgl (P.B. /Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2
atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan daripada PB180.
Terbentuknya bulla akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik
dan alternatif kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga
terjadi pemisahan epidermis dan dermis.
Gejala klinis
Keadaan umumnya baik. Terdapat pada semua umur terutama pada orang tua.
Kelainan kulit terutama terdiri atas bula dapat bercampur dengan vesikel, berdinding
tegang, sering disertai eritema. Tempat predileksi ialah di ketiak, lengan bagian
fleksor, dan lipat paha. Jika bula-bula pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi
tidak bertambah seperti pada pemfigus vulgaris. Mulut dapat terkena kira-kira pada
20% kasus.
Gambar : Pemfigoid Bulosa
Histopatologi
Kelainan yang dini ialah terbentuknya celah di perbatasan dermalepidermal.
Bulla terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama ialah eosinofil.
Gambar : HPA dari pemphigoid bullous
Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di B.M.Z. (Basement Membrane Zone).
Diagnosis banding
Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis
herpetiformis. Pada pemfigus keadaan umumnya buruk, dinding bula kendur,
generalisata, letak bula intraepidermal, dan terdapat IgG di stratum spinosum.
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, iruam yang utama ialah vesikel
berkelompok, terdapat IgA tersusun granular.
Penatalaksanaan
Pengobatannya dengan kortikosteroid. Dosis prednison 40 - 60 mg sehari, jika
telah tampak perbaikan dosis diturunkan periahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat
disembuhkan dengan kortikosteroid saja.
Jika dengan kortikosteroid belum tampak srbaikan, dapat dipertimbangkan
pemberian jitostatik yang dikombinasikan dengan kortikoiteroid. Cara dan dosis
pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan pemfigus.
Obat lain yang dapat digunakan ialah DOS dengan dosis 200-300 mg sehari,
seperti pada pengobatan dermatitis herpetiformis, bila sel intlltratnya lebih banyak
neutrofil. Pengobatan kombinasi tetrasikiin (3 x 500 mg sehari) dikombinasikan
dengan niasinamid (3 x 500 mg sehari) memberi respons yang baik pada sebagian
kasus, terutama yang tidak berat. Bila tetrasikiin merupakan kontraindikasi dapat
diberikan eritromisin.
Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimunitas, oleh karena itu
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek
samping kortikosteroid sistemik. Untuk mencegahnya dapat diberikan kombinasi
tetrasiklin eritromlsin dan niasinamid setelah penyakitnya membaik. Efek samping
kedua obat tersebut lebih sedikit daripada kortikosteroid sistemik.
2. Pempigoid sikatrisial
Pemfigoid sikatrisial/phempigoid okular ialah dermatosis autoimun bulosa
kronik yang terutama ditandai oleh adanya bula yang menjadi sikatriks terutama
dimukosa mulut dan konjungtiva.
Etiopatologi
Penyakit ini berhubungan dengan autoimun, berkaitan dengan HLA-DR4,
HLA-DQw7, dan HLA-DQB 1*0301. Patogenesisnya serupa dengan pemfigoid
bulosa. Tentang timbulnya sikatriks belum jelas.
Gejala klinis
Keadaan umum penderita baik. Pemfigoid sikatrisial jarang mengalami
remisi. Permulaan penyakit mengenai mukosa bukal dan gingiva, palatum mole dan
durum biasanya juga terkena, kadang-kadang lidah, uvula, tonsil, dan bibir ikut
terserang. Bula umumnya tegang, lesi biasanya tertihat sebagai erosi. Lesi di mulut
jarang mengganggu penderita makan.
Simtom okular meliputi rasa terbakar, air mata yang berlebihan, fotofobia, dan
sekret yang mukoid. Kelainan mata ini dapat diikuti simblefaron, dan berakhir dengan
kebutaan disebabkan oleh kekeruhan kornea akibat kekeringan, pembentukan
jaringan parut oleh trikiasis, atau vaskularisasi epitel kornea.
Mukosa hidung dapat terkena dan dapat mengakibatkan obstruksi nasal. Jika
farings terkena, dapat terjadi pembentukan jaringan parut dan stenosis tarings. Lesi di
vulva dan penis biasanya berupa bulla atau erosi, sehingga dapat mengganggu
aktivitas seksual. Kelainan kulit berupa bula tegang di daerah inguinal dan
ekstremitas, dapat pula generalisata. Jarang sekali timbul kelainan tanpa disertai lesi
di membran mukosa.
Histopatologi
Gambaran histopatatoginya sama dengan pemfigoid bulosa.
Imunologi
Pemeriksaan imunofluoresensi langsung dari lesi atau perilesi pada kulit atau
mukosa menunjukkan adanya antibodi dan komplemen di daerah membrana basalis
secara linear. Ig yang umumnya terdapat ialah IgG. IgG autoantibodi ini akan
mengikat antigen yang pada kebanyakan kasus merupakan BPAG2, yang tertetak di
bagian epidermal pada IM NaCI split skin.
Diagnosis
Pada permulaan perjalanan penyakit, P.S. dibedakan dengan pemfigus
vulgaris, liken planus oral, eritema multiforme, penyakit Behcet, dan ginggivitis
deskuamativa. Bila terdapat manifes-tasi alat lainnya, seperti kelainan mata, maka
diagnosisnya tidak sulit. Pemeriksaan imunofluoresensi dari lesi di mulut dapat
menyokong diagnosis.
Penatalaksanaan
Hasil pengobatan penyakit ini kurang memuaskan. Kortikosteroid sistemik
mungkin merupakan obat terbaik, dengan prednison dosisnya 60 mg. Oleh karena
terbentuk jaringan parut dan sekuele lainnya, steroid sistemik untuk jangka waktu
yang lama mungkin mempunyai alasan yang tepat, meskipun ada efek sampingnya.
Obat imunosupresif, termasuk metotreksat, siklofos-famid, dan azatioprin pernah
dicoba, hasiinya menguntungkan pada sebagian penderita, se-dangkan pada sebagian
penderita yang lain hanya memperiihatkan sedikit kemajuan.
3. Pempigoid gestationis
Pemfigoid getationis adalah dermatosis autoimun dengan ruam polimorf yang
berkelompok dan gatal, timbul pada masa kehamilan, dan masa pascapartus.
Etiologi
Etiologinya ialah autoimun. Sering bergabung dengan penyakit autoimun
yang lain, misalnya penyakit Grave, vitiligo, dan alopesia areata.
Patogenesis
Mekanisme imunologik memegang peranan yang penting pada patogenesis.
Akhirnya dapat disusun postulat sebagai berikut: Antigen khusus untuk suatu
kehamilan akan menimbulkan antibodi, macam antigen belum dapat diketahui, tetapi
pada reaksi imunologik berikutnya sudah dapat dibuktikan.
IgG (subklas IG1) yang mengendap pada membran basal akan mengaktifkan
sistem komplemen, yang selanjutnya memberikan respons peradangan pada kulit
dengan gambaran morfologik sebagai yang kita kenal seperti Pemfigoid getationis.
Pada pemeriksanaan imunofluoresensi langsung secara tepat ditemukan endapan C3
pada membran basal kulit normal dan perilesi. Karena pada beberapa penderita
didapatkan juga endapan Ciq, C4, C5, dan properdin, maka diambil kesimpulan bahwa
kedua jalur komplemen secara klasik maupun alternatif diaktifkan. Paling sering
ditemukan endapan IgG, tetapi kadang-kadang juga IgA, IgM, dan IgE.
Autoantibodi ditujukan ke antigen hemidesmoson yang serupa dengan
pemfigoid bulosa ialah PB180 dan PB230, tetapi umumnya PB180 lebih banyak
ditemukan (lihat bab mengenai "Pemfigoid bulosa").
Pada Pemfigoid getationis. terjadi ekspresi abnormal entigen M.H.C. kelas II
di dalam plasenta, rupanya sebagai faktor pencetus timbulnya kelainan di B.M.Z. juga
terbentuknya lepuh.
Ibu dengan Pemfigoid getationis. sering berkaitan dengan HLA-BS, HLA-
DR3, dan HLA-DR4. IgG dapat menembus plasenta. Hal ini dapat menerangkan
mengapa, pada beberapa bayi, vesikel atau papul sebentar saja timbul. Mekanisme
katabolik bayi akan segera meniadakan serangan IgG transplasenta dari ibu. Dengan
mikroskop elektron terbukti bahwa endalapan LgG dan C3 ada di bagian dermis lamia
lusida. Lagi pula didapatkan nekrosis sel basal pada kulit normal dan yang sakit.
Gejala klinis
Gejala prodromal, kalau ada, berupa demam malese, mual, nyeri kepala, dan
rasa panas dingin silih berganti. Beberapa hari sebelum timbul erupsi dapat didahului
dengan perasaan sangat gatal seperti terbakar.
Biasanya tertihat banyak papulo-vesikel yang sangat gatal dan berkelompok.
Lesinya polimorf terdiri atas eritema, edema, papul, dan bula tegang. Bentuk
intermediate juga dapat ditemukan, misalnya vesikel yang kecil, plakat mirip urtika,
vesikel berkelompok, erosi. dan krusta. Kasus yang berat menunjukkan semua unsur
polimorf, tetapi terdapat pula kasus yang ringan yang hanya terdiri atas beberapa
papul eritematosa, plakat yang edematosa, disertai gatal ringan.
Tempat predileksi pada abdomen dan ekstremitas, termasuk telapak tangan
dan kaki dapat pula mengenai seluruh tubuh dan tidak si metrik. Selaput lendir jarang
sekali terkena. Erupsi sering disertai edema di muka dan tungkai. Kalau melepuh
pecah, maka lesi akan menjadi lebih merah ; dan terdapat ekskoriasi dan krusta.
Sering pula diikuti radang oleh kuman. Jika lesi sembuh akan meninggalkan
hiperpigmentasi, tetapi kalau ekskoriasinya dalam akan meninggalkan jaringan parut.
Kuku kaki dan tangan akan mengalami lekukan melintang sesuai waktu terjadinya
eksaserbasi. Kadang-kadang didapati leukositosis dan eosinofilia sampai 50%.
Histopatologi
Meskipun terdapat gambaran khas, tetapi tidak diagnostik. Terdapat sebukan
sel radang di Sekitar pembuluh darah pada pleksus permukaan dan dalam didermis,
terdiri atas histiosit, limfosit, dan eosinofil. Bulla yang banyak berisi eosinofil
terdapat pada lapisan subepidermal.
Gambar : HPA dari phempigoid gestationis
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan ialah menekan terjadi nya bula dan mengurangi gatal yang
timbul. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian prednison 20 - 40 mg per hari dalam
dosis terbagi rata. Takaran ini periu dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan keadaan
penyakit yang meningkat pada waktu melahirkan dan haid, dan akan menurun pada
waktu nifas.
komplikasi
Komplikasi yang timbul pada ibu hanyalah rasa gatal dan infeksi sekunder.
Kelahiran mati dan kurang umur akan meningkat. Jika penyakit timbul pada masa
akhir kehamilan maka akan lama sembuh dan seringkali timbul pada kehamilan
berikutnya.
3.1.1.5 ERYTHEMA MULTIFORMIS
Eritema Multiformis adalah suatu penyakit akutdengan kelainan kulit dan
mukosa yang ditandai oleh adanya bercak-bercak kemerahan yang menonjol dan
biasanya tersebar secara simetris di seluruh tubuh.
Etiologi
Penyebab tdk diketahui
Faktor penyebab :
1. Infeksi : Virus (HSV, vaksin), fungi (Koksidioidomikosis, histoplasmosis),
bakteri, parasit
2. Ingestan : Obat (penisilin, barbiturat, sulfonamid, hidantoin, fenolftalein),
food additives & z warna
3. Kontaktan : krem mafenid asetat (sulfamilin) & 9 bromofluoren
4. Faktor fisik
5. Penyakit kolagen vaskular
6. Keganasan
7. Kehamilan
Patofisiologi
Gambaran klinis Erythema multiformis menggambarkan hasil akhir dari
reaksi hipersensitivitas terhadap sejumlah infeksi dan agen lainnya, seperti virus,
bakteri, protozoa, fungi, atau infeksi Mycoplasma pneumoniae (agen Eaton),
makanan dan obat-obatan, imunisasi dan variasi penyakit sistemik lain dan agen fisik.
Sedangkan reaksi obat dan malignansi merupakan penyebab EM pada orang tua,
penyakit infeksi merupakan presipitan umum pada anak-anak dan dewasa muda.
Penyebab umum EM nampaknya virus herpes simplex.Penderita seringkali nampak
mengubah metabolisme dari obar yang bersangkutan, dan diduga sebagai asetilator
pelan, baik secara genotip maupun fenotip. Hal ini berarti peningkatan proporsi
metabolisme obat akan akan langsung menuju jalur alternatif oksidasi oleh sistem
sitokrom P-450, menghasilkan peningkatan produksi metabolit yang toksik dan
reaktif. Individu yang terpengaruh menderita kerusakan dalam kemampuan untuk
mendetoksikasi metabolit reaktif, yang mungkin nantinya akan bertindak sebagai
hapten dengan mengikat protein ke permukaan sel epitel secara kovalen. Hal ini dapat
menginduksi respon imun, yang memicu reaksi kulit berat.Imunitas sel termediasi
nampak bertanggung jawab atas kerusakan sel epitel yang terdapat dalam EM. Pada
awalnya, epidermis terinfiltrasi dengan CD8 limfosit T dan makrofag, sementara
dermis menunjukkan sedikit influks limfosit CD4. Sel-sel yang aktif secara
imunologis ini tidak terdapat dalam jumlah yang cukup untuk bertanggung jawab
secara langsung terhadap kematian sel epitel. Sebaliknya, mereka melepas sitokin
yang mampu berdifusi, yang memediasi reaksi inflamasi dan menyebabkan apoptosis
sel epitel. Pada beberapa penderita, sirkulasi sel T secara temporer
mendemonstrasikan respon sitokin TH1 (interferon gamma, tumor necrosis factor
(TNF) alpha, IL2). Hasil dari analisis imunohistochemical menunjukkan cairan
lepuhan lesi berisi TNF, suatu sitokin proinflamatori penting.
Gejala klinis
Lesi mulai : makula ® papel eritematosa ® meluas secara lambat (24 – 48
jam) dengan diameter 1-2 cm
Tengah lesi pucat atau purpurik, tepi merah terang ® lesi iris atau target
Kadang-kadang tengah lesi : bulla, tepi berupa cincin terdiri dari vesikel
Lesi mulai dr. tangan, lengan ® menyebar simetris ® ekstremitas distal, sisi
ekstensor, telapak tangan, kaki dll.
Erythema multiformis minor biasanya sembuh dalam waktu 4 minggu, tapi
dapat rekurens
Gejala lainnya adalah cold sore (luka di dekat mulut akibat demam),
kelelahan, demam dan nyeri persendian
bercak-bercak kemerahan dan lepuhan-lepuhan yang paling sering ditemukan
di telapak tangan. telapak kaki dan wajah.
Gambar : Eritema multiformis di tangan
Pemeriksaan
- Pemeriksaan fisik dan melihat gejala-gejala
- Laboratorium : Tidak spesifik
- Histopatologis :
Epidermis : Nekrosis keratinosit, spongiosis, degenerasi hidropik sel basal
Dermis : Udem papila dermis. Serbukan limfohistiosit perivaskular & kdg2
terjd ekstravasasi eritrosit
Pem. imunofluoresensi direk ® dijumpai IgM & C3 – lamina pembuluh darah
superfisial. Namun ini tidak khas
Penatalaksanaan
- Pemakaian obat yang dicurigai segera dihentikan.
- Untuk kasus yang ringan: Kelainan kulit dikompres dengan kain basah
- Antihistamin untuk mengurangi gatal-gatal
- Analgesik-antipiretik untuk mengatasi demam dan rasa tidak enak badan
- Obat bius topikal (terutama untuk luka di mulut) untuk mengurangi rasa sakit
ketika penderita makan atau minum.
Untuk kasus yang berat:
- Penderita dirawat di rumah sakit dan ditempatkan di unit perawatan intensif
- Untuk mengendalikan peradangan diberikan corticosteroid
- Untuk menghentikan proses penyakit diberikan immunoglobulin intravena
- Untuk mengatasi infeksi sekunder diberikan antibiotik.
- Jika diduga penyebabnya adalah herpes simpleks, biasanya diberikan acyclovir
per-oral (melalui mulut).
- Jika kelainan di mulut menyebabkan penderita mengalami kesulitan makan
ataupun minum, maka cairan dan zat gizi diberikan melalui infus.
3.1.2 Penyakit Infeksi bakteri
3.1.2.1 SYPHILIS
Etiologi : Treponema pallidum (Spirochaeta, bentuk spiral)
Penularan :
- Kontak secara seksual dengan partner dengan lesi yang aktif
- Transfusi darah yang terinfeksi
- Transplacental → (ibu terinfeksi-–-janin)
Stadium :
I (primer) → chancre
Stadium Dini (primer) Tiga minggu setelah infeksi, timbul lesi pada tempat
masuknya Treponema pallidum. Lesi pada umumnya hanya satu. Terjadi afek primer
berupa penonjolan-penonjolan kecil yang erosif, berkuran 1-2 cm, berbentuk bulat,
dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tampak meradang, dan bila diraba ada
pengerasan. Kelainan ini tidak nyeri. Dalam beberapa hari, erosi dapat berubah
menjadi ulkus berdinding tegak lurus, sedangkan sifat lainnya seperti pada afek
primer. Keadaan ini dikenal sebagai ulkus durum. Sekitar tiga minggu kemudian
terjadi penjalaran ke kelenjar getah bening di daerah lipat paha. Kelenjar tersebut
membesar, padat, kenyal pada perabaan, tidak nyeri, tunggal dan dapat digerakkan
bebas dari sekitarnya. Keadaan ini disebut sebagai sifilis stadium 1 kompleks primer.
Lesi umumnya terdapat pada alat kelamin, dapat pula di bibir, lidah, tonsil, putting
susu, jari dan anus. Tanpa pengobatan, lesi dapat hilang spontan dalam 4-6 minggu,
cepat atau lambatnya bergantung pada besar kecilnya lesi.
II (sekunder) → Mucous patches
Stadium II (sekunder) Pada umumnya bila gejala sifilis stadium II muncul,
sifilis stadium I sudah sembuh. Waktu antara sifilis I dan II umumnya antara 6-8
minggu. Kadang-kadang terjadi masa transisi, yakni sifilis I masih ada saat timbul
gejala stadium Sifat yang khas pada sifilis adalah jarang ada rasa gatal. Gejala
konstitusi seperti nyeri kepala, demam, anoreksia, nyeri pada tulang, dan leher
biasanya mendahului, kadang-kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit.
Kelainan kulit yang timbul berupa bercak-bercak atau tonjolan-tonjolan kecil. Tidak
terdapat gelembung bernanah. Sifilis stadium II seringkali disebut sebagai The
Greatest Immitator of All Skin Diseases karena bentuk klinisnya menyerupai banyak
sekali kelainan kulit lain. Selain pada kulit, stadium ini juga dapat mengenai selaput
lendir dan kelenjar getah bening di seluruh tubuh.
III (tertier) → Gumma
Sifilis Stadium III Lesi yang khas adalah gumma yang dapat terjadi 3-7 tahun
setelah infeksi. Guma umumnya satu, dapat multipel, ukuran milier sampai
berdiameter beberapa sentimeter. Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ,
termasuk tulang rawan pada hidung dan dasar mulut. Guma juga dapat ditemukan
pada organ dalam seperti lambung, hati, limpa, paru-paru, testis dll. Kelainan lain
berupa nodus di bawah kulit, kemerahan dan nyeri. Sifilis Tersier Termasuk dalam
kelompok penyakit ini adalah sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis (pada jaringan
saraf). Umumnya timbul 10-20 tahun setelah infeksi primer. Sejumlah 10% penderita
sifilis akan mengalami stadium ini. Pria dan orang kulit berwarna lebih banyak
terkena. Kematian karena sifilis terutama disebabkan oleh stadium ini. Diagnosis
pasti sifilis ditegakkan apabila dapat ditemukan Treponema pallidum. Pemeriksaan
dilakukan dengan mikroskop lapangan gelap sampai 3 kali (selama 3 hari berturut-
turut). Tes serologik untuk sifilis yang klasik umumnya masih negatif pada lesi
primer, dan menjadi positif setelah 1-4 minggu. TSS (tes serologik sifilis) dibagi dua,
yaitu treponemal dan non treponemal. Sebagai antigen pada TSS non spesifik
digunakan ekstrak jaringan, misalnya VDRL, RPR, dan ikatan komplemen
Wasserman/Kolmer. TSS nonspesifik akan menjadi negatif dalam 3-8 bulan setelah
pengobatan berhasil sehingga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Pada TSS spesifik, sebagai antigen digunakan treponema atau
ekstraknya, misalnya Treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA) dan TPI.
Walaupun pengobatan diberikan pada stadium dini, TSS spesifik akan tetap positif,
bahkan dapat seumur hidup sehingga lebih bermakna dalam membantu diagnosis.
Pengobatan dilakukan dengan memberikan Antibiotika seperti Penisilin atau
turunannya. Pemantauan serologik dilakukan pada bulan I, II, VI, dan XII tahun
pertama dan setiap 6 bulan pada tahun kedua. Selain itu, kepada penderita perlu
diberikan penjelasan yang jelas dan menyeluruh tentang penyakitnya dan
kemungkinan penularan sehingga turut mencegah transmisi penyakit lebih lanjut.
Bagi penderita yang tidak tahan dengan penisilin dapat diganti dengan tetrasiklin atau
eritromisin, yang harus dimakan 15 hari. Sifilis yang telah menyebabkan penderita
lumpuh dan gila biasanya tidak dapat diobati lagi.
Patogenesis
Bakteri Treponema masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir
(misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Treponema pallidum masuk ke
dalam tubuh sewaktu terjadi hubungan kelamin melalui luka-luka goresan yang amat
kecil pada epitel, dengan cara menembus selaput lendir yang utuh ataupun mungkin
melalui kulit yang utuh lewat kantung rambut. Dalam beberapa jam, bakteri akan
sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Umumnya 10 - 90 hari atau 3 - 4 minggu setelah terjadi infeksi
ditempat Bakteri Trepoma Pallidum timbul lesi primer yang bertahan 1 - 5 minggu
dan kemudian hilang sendiri. Kurang lebih 6 minggu (2 - 6 minggu) setelah lesi
primer terdapat kelainan kulit dan selaput lendir. Masa inkubasi sifilis berkisar 10-90
hari (rata-rata 21 hari) setelah infeksi. Bila tidak diobati, sifilis dapat timbul dalam
beberapa stadium penyakit:
Gambaran klinis
Manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis secara umum, yaitu:
Keluarnya cairan dari vagina, penis, atau dubur yang berbeda dari biasanya. Dapat
berwana putih susu, kekuningan, kehijauan, atau disertai berak darah dan bau yang
tidak enak.
Perih, nyeri, atau panas saat BAK atau setelah BAK atau menjadi sering BAK.
Adanya luka terbuka (luka basah disekitar alat kemaluan atau mulut). Dapat terasa
nyeri atau tidak.
Tumbuh sesuatu seperti jengger ayam atau kutil di sekitar kemaluan.
Pada pria, skrotum menjadi bengkak dan nyeri.
Sakit perut bagian bawah, terkadang timbul, terkadang hilang.
Secara umum merasa enak badan atau demam.
Manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis secara khusus, antara lain:
1. Stadium I (Syphilis primer)
Ulser kronis pada tempat infeksi, keras, indurasi, tidak sakit → chancre
Lesi → tidak ada eksudat
Lokasi; genital (umumnya), bibir, rongga mulut, jari.
Lymphadenopathy regional
Lesi sembuh 3-12 minggu dengan sedikit atau tidak tjd jar parut → periode
latent
2. Stadium II (Syphilis sekunder)
Mulai setelah 2-10 minggu
Mocous patches (Ulser mukosa yang ditutupi oleh eksudat)
Rash makulopapular berwarna coklat kemerahan.
Condyloma latum pd permukaan kulit dan mukosa
Lymphadenopathy.
demam, flulike symptoms.
Tahap ini jg dapat sembuh spontan (periode latent)
3. Stadium III (Syphilis tertier)
Timbul bbrp tahun sth infeksi
Gumma (ulser destruktif) pada berbagai organ
IO; khas pada palatal → perforasi palatal.
Glositis dengan mukosa atropi
4x beresiko terjadi squamous sel carcinoma
Melibatkan sistem kardiovaskular dan CNS
Tahap ini jarang, krn tx antibiotik yang efektif.
Diagnosa:
Scrap eksudat lesi aktif
Biopsi
Test serologi antibodi yaitu VDRL/RPR dan TPHA.
Pencegahan
Tidak ada vaksin terhadap sifilis. Untuk perseorangan penggunaan kondom
sangat efektif. Untuk masyarakat, cara utama pencegahan sifilis ialah melalui
pengendalian yang meliputi pemeriksaan serologis dan pengobatan penderita. Sifilis
bawaan dapat dicegah dengan perawatan prenatal (sebelum kelahiran) yang
semestinya.
Terapi;
Penisilin → drug of choice
Erytromycine
Tetracycline
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan untuk Penyakit Sifilis, antara lain:
Untuk sifilis fase primer, diberikan suntikan procaine penisilin melalui kedua
bokong, masing-masing 1 kali. dosis harus diberikan setengah di setiap pantat
karena bila dijadikan satu dosis akan menyebabkan rasa sakit.
Untuk sifilis fase sekunder, diberikan suntikan procaine penisilin kemudian
diberikan juga suntikan tambahan dengan selang waktu.
Penisilin juga diberikan kepada penderita sifilis fase laten dan semua bentuk
sifilis fase tersier, meskipun mungkin perlu diberikan lebih sering dan lebih lama.
Jika penderita alergi terhadap penisilin, bisa diberikan doksisiklin, eritromisin
atau tetrasiklin per-oral selama 2-4 minggu.
Cara lain adalah memberikan kapsul azithromycin lewat mulut (memiliki durasi
yang lama) dan harus diamati.
Perawat kesehatan profesional mengusulkan seks aman dilakukan dengan
menggunakan kondom bila melakukan aktivitas seks.
Istirahat yang cukup.
Diet gizi seimbang.
Rawat di ruang isolasi.
3.1.2.2 GONORRHOEA
Gonorea adalah penyakit bernanah yang sagat menular. Sering kali disebut
pula uretritis spesifik (radang aliran kandung kemis khusus). Gejala penyakit ini
tergantung pada situs infeksi, jenis kelamin dan umur korban, lamanya menderita
infeksi, serta terjadinya penyebab sel-sel bakteri penyebab.
Pada laki-laki gonorea menyebabkan uretritis (infeksi pada uretra, yaitu
saluran tempat lewatnya air seni dari kandung kemih ke luar tubuh) akut. Tanda
pertama diawali dengan gangguan ringan pada saluran kencing diikuti berupa rasa
panas mendadak pada waktu kencing, diikuti dengan rasa nyeri dalam berbagai
tingkatan ketika kencing dan keluarnya cairan bernanah pada 2-8 hari setelah
tereksposi. Muara saluran kencing pada penis dapat berwarna merah dan mengalami
pembengkakan.
Pada wanita biasanya terjadi infeksi pada uretra dan mulut rahim. Hal ini
dapat menyebabkan rasa sakit pada waktu kencing dan keluarnya cairan dari vagina,
walaupun kebanyakan wanita (cukup banyak pria) tidak memperlihatkan gejala yang
kentara pada infeksi dini. Infeksi tanpa gejala semacam itu. mungkin merupakan
suatu sebab bagi penyebaran penyakit ini.
Pada awalnya wanita tidak memperlihatkan gejala-gejala. Biasanya gejala
pada mereka malah timbul berbulan-bulan setelah terjadinya infeksi. Penyakit ini
kemungkinan dapat ditemukan hanya pada satu pasangan walaupun sudah mengenai
keduanya. Namun pada memperlihatkan gejala seperti: ingin buang air kecil, nyeri
waktu kencing, keputihan dan demam. Gonore dapat menyebabkan infeksi pada
indung telur, saluran telur dan saluran kencing dan menyebabkan nyeri hebat dalam
panggul. Jika cairan tubuh yang mengandung kuman ini mengenai mata seseorang
dapat timbul konjuntivitis gonore (radang mata kencing nanah).
Penyakit ini terutama menyerang saluran kemih kelamin. Namun, kontaminasi
pada bayi waktu dilahirkan dapat menimbulkan radang selaput mata gonokokal, yang
mempengaruhi mata. Dapat juga timbul berbagai komplikasi gonorea diantaranya
adalah endokarditis (radang pada lapisan dalam jantung) dan meningitis (radang
selaput otak).
Patogenesis
Tidak semua orang yang tereksposi pada gonorea menjadi terinfeksi oleh
penyakit tersebut. Apa sebabnya masih bel urn jelas. Mikrobiota normal yang
terdapat pada alat kelamin mungkin turut menimbulkan kekebalan terhadap infeksi
oleh gonokokus. Juga masih belum diketahui apakah oleh gonorea secara alamiah
dapat menimbulkan kekekerasan terhadap reinfeksi (infeksi ulang) oleh galur-galur
Ngonorrhoeae yang sama ataupun yang berbeda.
Menempelnya gonokokus dengan bantuan pili telah diperkirakan merupakan
faktor virulensi. Setelah pelengketan pada mukosa (selaput lendir), gonokokus tiba
pada jaringan penghubung subepitel denga cara menembus ruang-ruang epitel
interseluler. Gonokokus mengandung endotoksin, dan juga dapat mengekskresikan
toksin yang dapat merembes yang menginduksi terjadinya kerusakan pada selaput
lendir. Sel-sel gonokokus juga terdapat pada dan di dalam leukosit polimorfonuklir.
Walaupun kebanyakan gel gonokokus yang tetrelan (oleh leukosit itu) terbunuh tetapi
banyak mikrobiologiwan berpendapat bahwa beberapa gonokokus dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dalam fagosit. Telah diamati pula bahwa gel-gel
gonokokus yang tidak mempunyai pili mudah ditelan dan dibunuh, sedangkan yang
mempunyai pili tetap hidup ekstraselular (di luar gel). Bayi yang melewati saluran
lahir seorang ibu yang terinfeksi dapat menderita infeksi yang dapat menyebabkan
kebutaan (ophthalmia neonatorum). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
infeksi semacam ini dapat dicegah dengan meneteskan larutan perak nitrat pada mata
bayi segera setelah lahir.
Pada pria maupun wanita, infeksi dapat menyebab di sepanjang saluran
kelamin. Pada pria bila infeksi meluas sampai ke prostat, epididimis (bagian saluran
mani yang terletak buah zakar), dan buah zakar, maka dapat mengakibatkan
kemandulan. Pada wanita, penyebaran lebih umum terjadi dan akibat lanjutannya
lebih gawat. Pada lebih kurang 15% wanita yang terinfeksi, infeksi menjalar sampai
ke tuba falopii (saluran yang membawa telur dari kandung telur ke rahim). Dan
menyebabkan peradangan (salpingitis). Pada masa haid yang pertama, timbul rasa
sakit dibagian perut sebelah bawah. Salpingitis menyebabkan penyumbatan tuba
falopii yang mengakibatkan kehamilan dalam tuba atau kemandulan. Tertanamnya
telur yang telah dibuahi di dalam tuba falopii dapat mematikan dan biasanya
membutuhkan pembedahan secepatnya.
Gonorea tidak selalu terbatas pada saluran kelamin dan kemih. Pada beberapa
penderita, bakteri penyebabnya masuk ke dalam darah dan menyebab ke seluruh
tubuh sehingga menginduksi demam, rasa menggigil, serta hilangnya nafsu makan.
Bakteri-bakteri tersebut kemudian berkumpul diberbagai bagian tubuh; mereka
menyebabkan bisul merah kecil pada kulit atau artritis pada persendian (lutut,
pergelangan tangan serta sendi-sendi pada jari dan tangan). Komplikasi endokarditis
dan meningitis dapat pula terjadi. Infeksi oleh gonokokus juga mungkin terjadi di
dalam dubur dan tenggorokaan dan mungkin disebabkan oleh berubahnya preferensi
dan cara-cara melakukan hubungan kelamin.
Gambaran Klinis
Gonorea adalah penyakit bernanah yang sagat menular. Sering kali disebut
pula uretritis spesifik (radang aliran kandung kemis khusus). Gejala penyakit ini
tergantung pada situs infeksi, jenis kelamin dan umur korban, lamanya menderita
infeksi, serta terjadinya penyebab sel-sel bakteri penyebab.
1. Pada laki-laki gonorea menyebabkan uretritis akut.
Tanda pertama dapat berupa rasa panas mendadak pada waktu kencing dan
keluarnya cairan bernanah pada 2-8 hari setelah terinfeksi. Biasanya penderita
menderita sakit waktu kencing.
Uretritis
2. Pada wanita biasanya terjadi infeksi pada uretra dan mulut rahim.
Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit pada waktu kencing dan keluarnya cairan
dari vagina, walaupun kebanyakan wanita tidak memperlihatkan gejala yang
kentara pada infeksi dini. Infeksi tanpa gejala semacam itu. mungkin merupakan
suatu sebab bagi penyebaran penyakit ini. Infeksi dapat menyerang leher rahim,
rahim, saluran telur, indung telur, uretra, dan rektum serta menyebabkan nyeri
pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual. Infeksi yang kronis umum
terjadi dan bisa menyebabkan kemandulan
3. Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubungan seks melalui anus (anal
sex) dapat menderita gonore pada rektumnya. Penderita akan merasakan tidak
nyaman di sekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah di sekitar
anus tampak merah dan kasar, serta tinjanya terbungkus oleh lendir dan nanah.
Rectal gonorrhea : Cairan keluar dari rectum
4. Hubungan seksual melalui mulut (oral sex) dengan seorang penderita gonore
biasanya akan menyebabkan gonore pada tenggorokan (Pharyngeal gonorrhoea).
Umumnya infeksi tersebut tidak menimbulkan gejala, namun terkadang
menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan untuk menelan.
Pharyngeal gonorrhoea
5. Bayi yang baru lahir juga bisa terinfeksi gonore dari ibunya selama proses
persalinan, waktu dilahirkan dapat menimbulkan radang selaput mata gonokokal.
Matanya merah dan bengkak dan dalam waktu 1-5 hari setelah kelahiran, mata itu akan
mengeluarkan cairan yang kental. Kebutaan bisa terjadi bila pengobatan khusus tidak
segera diberikan.
6. Dapat juga timbul berbagai komplikasi gonorea diantaranya adalah endokarditis
(radang pada lapisan dalam jantung) dan meningitis (radang selaput otak).
Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan hematologi:
a) Hitung leukosit menunjukkan adanya lekositosis
b) Hitung jenis leukosit menunjukkan adanya peningkatan gel-gel tembereng.
2. Pemeriksaan bakteriologis :
Sediaan gram dari sekret mukopurulen (uretra, serviks dan lain-lain)
menunjukkan adanya diplokokus gram negatif yang berada dalam gel leukosit gel
tembereng. Tehnik antibodi fluoresensi dapat dipergunakan dan merupakan cara yang
khas dan peka. Pada laki-laki mulut uretra dibersihkan dengan kain kasa yang
dicelupkan lebih dahulu dalam air garam fisiologis dan contoh sekret diambil dengan
menggunakan sengkelit platina yang biasa digunakan untuk pembiakan dan
pembuatan sediaan. Pada wanita, disamping sekret uretra, diperiksa juga usap serviks.
Pada lnfeksi kronis, mungkin tidak ada sekret uretra. Disini eksudatnya diambil
melalui masase prostat.
Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis bakteri penyebabnya di
dalam spesimen dari penglepasan atau discharge dengan cara menumbuhkan serta
mengamati gonokokus di dalam bahan-bahan yang diperoleh dari bagian dalam uretra
pada pria, dari mulut rahim dan uretra pada wanita, dan dari situs lain manapun yang
dicurigai. Pewarnaan gram eksudat dari uretra dan endoserviks diangkat diagnostik
bagi gonorea bila teramati adanya diplokokus yang khas gram negatif di dalam
leukosit.
Gonokokus dibiakkan pada medium agar coklat atau medium Thayer dan
Martin. Biakan harus diinkubasikan pada 36C C selama 48jam dengan CO2 (5-10%).
Koloni gonokokus yang khas diperkuat oleh reaksi oksidase, perwamaan gram dan uji
peragian gula. (Reaksi oksidase dilakukan dengan dengan menggenangi koloni
dengan 1% tetrametil-p- fenilendiamin; koloni-koloni Neisseria akan berubah dari
putih jemih menjadi ungu.
Penatalaksanaan
Biasanya pengobatan dengan suntikan tunggal atau dosis tungal ceftriaxona
yang diminum. Jika infeksi menular melalui darah biasanya pasien dirawat untuk
mendapat obat antibiotika melalui suntikan intravena.
Pencegahan
Sekarang ini belum ada vaksin terhadap gonorea. Kondom dan spermisida
(pembunuh sperma) yang dimasukkan ke dalam vagina tetap merupakan cara terbaik
untuk mengurangi resiko infeksi.
3.1.3 Penyakit infeksi virus
3.1.3.1 HIV-AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV,
FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu
virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia.
HUBUNGAN TERHADAP PENYAKIT LAINNYA
HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh
(sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk
mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang
positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana
seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang
lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun.
Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat
berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Struktur virus HIV
Daur hidup virus HIV
HIV merupakan suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam
ribonukleat) yang dibungkus oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas
protein. Untuk tumbuh, materi genetik ini perlu diubah menjadi DNA (asam
deoksiribonukleat), diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya mengalami
proses yang akhirnya akan menghasilkan protein. Protein-protein yang dihasilkan
kemudian akan membentuk virus-virus baru.
PENULARAN
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung
antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh
yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan
air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun
oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan
tubuh tersebut.
Gejala Klinis AIDS
AIDS mempunyai spectrum yang luas pada gambaran klinis. Pada awal
permulaan terdapat gejala-gejala seperti terkena flu. Penderita merasa lelah yang
berkepanjangan dan tanpa sebab, kelenjar-kelenjar getah bening dileher, ketiak,
pangkal paha membengkak selama berbulan bulan, nafsu makan menurun/hilang,
demam yang terus menerus mencapai 39 derajat Celcius atau berkeringat pada malam
hari, diarrhea, berat badan turun tampa sebab, luka-luka hitam pada kulit atau selaput
lendir yang tidak bias ssembuh, batuk-batuk yang berkepanjangan dan dalam
kerongkongan, mudah memar atau pendarahan tanpa sebab. Gejala-gejala awal ini
sering disebut AIDS Related Complex (ARC). Bila keadaan penyakit ini meningkat,
penyakit ganas lain berkembang seperti: radang paru (penumocytis carinii), kandiasis
oesophagus, cytomegalovirus atau herpes, sarcoma kaposi, tumor ganas pembuluh
darah.
Manifestasi AIDS dirongga mulut Sekitar 95% penderita AIDS mengalami
manifestasi pada daerah kepala dan leher sebagaimana juga menurut Shiod dan
Pinborg 1987. Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV
Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis). Kandiasis mulut sejauh ini merupakan tanda
di dalam mulut yang paling sering dijumpai baik pada penderita AIDS maupun AIDS
related complex (ARC) dan merupakan tanda dari manifestasi klinis pada penderita
kelompok resiko tinggi pada lebih 59% kasus.
Kandiasis mulut pada penderita AIDS dapat terlihat berupa oral thrush, acute
atrophic candidiasis, chronic hyperplastic candidiasis, dan stomatis angularis
(Perleche).
Infeksi karena virus
Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada penderita
AIDS dan ARC. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa stomatis
herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus.
Infeksi karena bakteri
Infeksi karena bakteri dapat berupa HIV necrotizing gingivitis maupun HIV
periodontitis.
a) HIV necrotizing gingivitis HIV necrotizing gingivitis dapat dijumpai pada
penderita AIDS maupun ARC. Lesi ini dapat tersembunyi atau mendadak disertai
pendarahan waktu menggosok gigi, rasa sakit dan halitosis. Necrotizing gingivitis
paling sering mengenai gingival bagian anterior. Pada situasi ini, pabila
interdental dan tepi gingiva akan tampak berwarna merah, bengkak, atau kuning
keabu-abuan karena nekrosis, bakan sering terjadi necrotizing ulcrerative
gingivitis yang parah dan penyakit periodontal yang progresif sekalipun
kebersihan mulut terjaga dengan baik dan walaupun telah diberikan antibiotika.
b) HIV periodontitis Penyakit periodontal yang berlangsung secara progresif
mungkin merupakan indicator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV.
Dokter gigi seyogyanya mendiagnosa secara dini proses kerusakan tulang alveolar
tersebut dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan adnya infeksi HIV. Hal
ini disebabkan terutama oleh adanya fakta bahwa sejumlah penderita AIDS yang
mengalami kerusakan tulang alveolar yang cepat.
Neoplasma
Sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS tampak sebagai penyakit
yang lebih ganas dan biasanya telah menyebar pada saat dilakukan diagnosa awal.
Kira-kira 40% penderita AIDS dengan sarcoma kaposi akn meninggal dalam waktu
kurang lebih satu tahun dan biasanya disertai dengan infeksi opotunistik yang lain
(misalnya pneumocystic carinii, jamur, virus, bakteri).
Manifestasi mulut sarcoma kaposi biasanya merupakan tanda awal AIDS dan
umumnya (50%) ditemukan dalam mulut pria homoseksual. Selain mulut, sarcoma
ini juga dapat ditemukan dikulit kepala dan leher. Sarkoma kaposi pada mulut
biasanya terlihat mula –mula sebagai macula, nodul dan plak yang datar atau
menonjol, biasanya berbewntuk lingkaran dan berwarna merah atau keunguan.
Terletak pada palatum dan besarnya dari hanya beberapa millimeter sampai
centimeter. Bentuknya tidak teratur, dapat tunggal atau multiple dan biasanya
asintomatik, sehingga baru disadari oleh pasien bila lesi sudah menjadi agak besar.
Kelainan lain didalam mulut Kelainan-kelainan ini tidak diketahui sebabnya,
dapat timbul berupa :
a. Stomatis aphtosa rekuren, terutama tipe mayor.
b. Ulkus nekrotik yang meluas sampai ke fausia.
c. Xerostomia
d. Pembesaran kelenjar parotis, terutama penderita AIDS anak-anak.
e. Idiophatic thrombocytopenia purpura.
f. Palsi wajah
g. Addisonian mucosal hyperpigmentation
h. Limfadenopati submandibula.
i. Hiperpigmentasi melanotik
j. Penyembuhan luka yang lama
k. Bayi yang lahir dengan infeksi AIDS dapat mengalami deformasi wajah.
TEST HIV
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah
kering, atau urin pasien. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen
HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi
Terdapat dua jenis tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi HIV dalam
darah manusia, yaitu :
1. Tes melalui sampling darah, Tes ini adalah tes yang paling mudah didapatkan.
Petugas kesehatan mengambil sejumlah kecil darah dari lengan anda dengan
menggunakan jarum, kemudian mengirimkan sampel darah anda ke laboratorium
untuk diperiksa apakah terdapat antibodi untuk melawan virus atau tidak.
Hasilnya dapat dilihat setelah 1-2 minggu, untuk memastikan apakah anda HIV
positif atau negatif.
2. Tes melalui spesimen saliva / ludah (Tes Oral),Tes yang dilakukan untuk
memeriksa apakah ada antibodi HIV di dalam ludah anda. Pada pelaksanaan tes
ini, anda perlu membuka mulut lebar-lebar dan membiarkan petugas kesehatan
menyeka lidah dan rongga dalam pipi anda dengan kapas. Hasilnya baru bisa
terlihat setelah 1-2 minggu. Bila hasil tes anda dinyatakan HIV positif, yang
berarti terdapat virus dalam darah anda, akan sangat sulit diterima. Dan akan
sangat membantu bila anda mendapatkan dukungan keluarga dan teman-teman
anda. Tetapi mungkin saja bahkan orang-orang yang paling menyayangipun tidak
bisa memberikan solusi terbaik untuk menghadapi situasi sulit yang sedang anda
hadapi. Disinilah peran konselor sangat diprioritaskan, untuk menjelaskan apa
yang bisa dan seharusnya anda lakukan untuk mencegah virus ini menyebar dan
menjelaskan pilihan-pilihan caring and curing serta memberikan informasi
tentang pilihan gaya hidup yang akan menjaga kondisi anda tetap sehat selama
mungkin.
Diagnosis
Sejak tanggal 5 juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization
tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya
ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis
pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-
negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan
dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju
digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
Sistem tahapan infeksi WHO
Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi
HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orangjumlah
limfosit T CD4+ (sel/mm³) jumlah RNA HIV per mL plasma
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan
berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk
pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September
tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah
ditangani pada orang sehat.
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran
pernafasan atas yang berulang
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih
dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea,
bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah
indikator AIDS.
Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers
for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama
resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang
berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan
pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan
kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.
Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua
orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh
limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju
menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993.
Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+
meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit
tanda AIDS yang ada telah sembuh.
Terapi
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat
bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah
ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik
HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang
terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi
yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor
(atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya
pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun
lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara
berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta
kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya
jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV
ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten
terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula,
dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi
HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV
mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka,
sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan
tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya
infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara
sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit
AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu
bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang
jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan
hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak
bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV
tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan
terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan
atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu
psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya
dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART
juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis,
pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai efek
samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan
HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko
sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Penatalaksanaan
Karena ganasnya penyakit ini, maka berbagai usaha dilakukan untuk
mengembangkan obat-obatan yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang
berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang dihasilkan oleh HIV dan
diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat dengan
menggunakan inhibitor yang nantinya akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut
dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV. Obat-obatan yang
telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA menjadi DNA dan
menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan
RNA menjadi DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu
pembentukan protein-protein aktif disebut protease.
Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan
pada RNA virus harus diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase
membantu proses pengubahan RNA menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA
dihambat, maka proses pembentukan protein juga menjadi terhambat. Oleh karena
itu, pembentukan virus-virus yang baru menjadi berjalan dengan lambat. Jadi,
penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas
menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini
hanya menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun
tidak dapat menghentikan proses pembentukan virus baru secara total.
Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah
penggunaan penghambat enzim protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus,
akan dibentuk protein-protein yang nantinya akan berperan dalam proses
pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang dibentuk
berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein
yang dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan
protease. Protease akan memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein
yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan menghasilkan protein yang nantinya
akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein struktural) ataupun
protein fungsional yang berperan sebagai enzim.
Gambar 2
Gambar 2: menunjukkan skema produk translasional dari gen gag-pol dan daerah di
mana produk dari gen tersebut dipecah oleh protease. p17 berfungsi sebagai protein
kapsid, p24 protein matriks, dan p7 nukleokapsid. p2, p1 dan p6 merupakan protein
kecil yang belum diketahui fungsinya. Tanda panah menunjukkan proses pemotongan
yang dikatalisis oleh protease HIV (Flexner, 1998).
Menurut Flexner (1998), pada saat ini telah dikenal empat inhibitor protease
yang digunakan pada terapi pasien yang terinfeksi oleh virus HIV, yaitu indinavir,
nelfinavir, ritonavir dan saquinavir. Satu inhibitor lainnya masih dalam proses
penelitian, yaitu amprenavir. Inhibitor protease yang telah umum digunakan,
memiliki efek samping yang perlu dipertimbangkan. Semua inhibitor protease yang
telah disetujui memiliki efek samping gastrointestinal. Hiperlipidemia, intoleransi
glukosa dan distribusi lemak abnormal dapat juga terjadi.
Gambar 3
Gambar 3 menujukkan lima struktur inhibitor protease HIV dengan aktivitas
antiretroviral pada uji klinis. NHtBu = amido tersier butil dan Ph = fenil (Flexner,
1998).
Uji klinis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan menggunakan inhibitor
protease saja dapat menurunkan jumlah RNA HIV secara signifikan dan
meningkatkan jumlah sel CD4 (indikator bekerjanya sistem imun) selama minggu
pertama perlakuan. Namun demikian, kemampuan senyawa-senyawa ini untuk
menekan replikasi virus sering kali terbatas, sehingga menyebabkan terjadinya suatu
seleksi yang menghasilkan HIV yang tahan terhadap obat. Karena itu, pengobatan
dilakukan dengan menggunakan suatu terapi kombinasi bersama-sama dengan
inhibitor reverse transcriptase. Inhibitor protease yang dikombinasikan dengan
inhibitor reverse transkriptase menunjukkan respon antiviral yang lebih signifikan
yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama (Patrick & Potts, 1998).
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada
obat yang benar-benar dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Obat-obatan yang
telah ditemukan hanya menghambat proses pertumbuhan virus, sehingga jumlah virus
dapat ditekan.
3.1.3.2 Herpes
Herpes Simpleks
Etiologi
Terdapat 2 jenis virus herpes simpleks yang menginfeksi kulit, yaitu
HSV-1 dan HSV-2. HSV-1 merupakan penyebab dari luka di bibir (herpes
labialis) dan luka di kornea mata (keratitis herpes simpleks); biasanya ditularkan
melalui kontak dengan sekresi dari atau di sekitar mulut. HSV-2 biasanya
menyebabkan herpes genitalis dan terutama ditularkan melalui kontak langsung
dengan luka selama melakukan hubungan seksual.
Gejala Klinis
Herpes simpleks yang kambuh ditandai dengan adanya kesemutan, rasa
tidak nyaman atau rasa gatal, yang dirasakan beberapa jam sampai 2-3 hari
sebelum timbulnya lepuhan. Lepuhan yang dikelilingi oleh daerah kemerahan
dapat muncul di mana saja pada kulit atau selaput lendir, tetapi paling sering
ditemukan di dalam dan di sekitar mulut, bibir dan alat kelamin. Lepuhan (yang
bisa saja terasa nyeri) cenderung membentuk kelompok, yang begabung satu
sama lain membentuk sebuah kumpulan yang lebih besar.
Beberapa hari kemudian lepuhan mulai mengering dan membentuk keropeng
tipis yang berwarna kekuningan serta ulkus yang dangkal. Penyembuhan
biasanya dimulai dalam waktu 1-2 minggu kemudian dan biasanya sembuh total
dalam waktu 21 hari. Tetapi penyembuhan di bagian tubuh yang lembab berjalan
lebih lambat. Jika erupsi tetap berkembang pada tempat yang sama atau jika
terjadi infeksi bakteri sekunder, maka bisa timbul beberapa jaringan parut.
Manifestasi oral
Gingivostomatitis herpetic primer
Gingivostomatitis herpetic primer merupakan salah satu virus yang
dikenal sering menimbulkan infeksi dalam rongga mulut. Kira – kira 60 % orang
dewasa menunjukkan bukti infeksi awal dalam bentuk antibody pada usia 16
tahun. Diperkirakan kira – kira 5 % penderita ini memperlihatkan gejala-gejala
penting seperti ulserasi oral,lidah berselaput, demam, dan limfadenopati regional.
Pemeriksaan
Tanda – tanda klinis biasanya sudah dapat menunjukkan diagnosisnya,
tetapi konfirmasi dapat diperoleh dengan adanya peningkatan empat kali lipat
dari titer antibody serologi atau isolasi virus pada kultur jaringan. Kotak
penggunaan imunofluoresen juga dapat dengan cepat mendeteksi adanya virus
herpes simpleks.
Penatalaksanaan
Pasien harus diinstruksikan untuk tidak menyentuh daerah yang terinfeksi
pada bibir dan mulut guna mengurangi resiko penyebaran infeksi ke daerah
mulut lainnya.Acyclovir merupakan sebuah obat yang efektif terhadap herpes
simpleks. Dosis standar adalah tablet 200 mg atau 5 ml 5 kali sehari selama 5
hari.
Infeksi Herpes Simpleks Berulang ( sekunder )
Infeksi herpes simpleks yang berulang secara khas menimbulkan herpes
labialis. Gejala- gejala herpes labialis diawali oleh perasaan menusuk atau perasaan
terbakar pada satu tempat dibibir. Dalam 24 jam timbul vesikel yang akan pecah
dalam waktu 48 jam dan akan menimbulkan erosi epitel yang selanjutnya akan
menjadi kerak dan sembuh.Faktor-faktor bpredisposisi yang dapat menimbulkan
herpes labialis pada individu yang rentan adalah sinar matahari, trauma, stress,
demam, haid dan imunosupresi.
Pemeriksaan
Dapat diperiksa dengan mengisolasi virus dalam kultur jaringan atau
menggunakan imunofluoresen pada hapusan lesi baru.
Penatalaksanaan
Penggunaan acyclovir pada tahap prodormal efektif untuk menghilangkan
herpes labialis.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Didapatkan beberapa penyakit sistemik tentang integument
a. Penyakit yang berkaitan dengan Autoimun
- Lichen planus
- SLE
- Phempigoid / phempigus
- Erythema multiformis
b. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi Bakteri
- Syphilis
- G.O
c. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi Virus
- HIV – AIDS
- Herpes
2. Manajemen penatalaksanaa penyakit tersebut di bidang kedokteran gigi
Bila pasien datang ke dokter gigi di dalam tubuhnya menderita
penyakit systemic seperti penyakit pada integument, kita sebagai dokter gigi
penting sekali diharapkan harus berhati-hati di dalam melakukan suatu
tindakan kedokteran gigi dan pemberian obat kepada pasien, karena hal ini
sangat berpengaruh bahkan dapat memperparah terhadap systemik pasien.
Oleh sebab itu lebih baik pasien tersebut dirujuk terlebih dahulu ke dokter
umum atau spesialist yang memang menangani bagian penyakit tersebut
sebelum kita melakukan suatu tindakan kedokteran gigi dan harap berhati-hati
dalam memberikan obat terhadap pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Langlais, P.Robert., Miller, S.Craig. 2000. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut
Yang Lazim. Jakarta: Hipokrates
Bayle, T.J. 1995. Ilmu penyakit dalam untuk profesi Kedokteran Gigi. Alih bahasa :
dr. Iyan Darmawan. Jakarta :EGC
Oswari, E. 1995. Penyakit dan Penanggulangannya 236-237. Jakarta : Gramedia
PustakaUtama.
Price, Sylvia Anderson. 1994. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta : EGC
Rose, Louise. 1997. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam untuk Kedokteran Gigi, jilid 1.
Jakarta : Binarupa Aksara
Scully, Crispian., Carrozzo, Marco. 2007. Journal of Oral mucosal disease: Lichen
planus
http://www.calicutmedical.org
http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia2.pdf
www.sexuallytransmitteddiseases