05 Modul 4 - Prasangka dan Diskriminasi.doc

55
5/25/2018 05Modul4-PrasangkadanDiskriminasi.doc-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/05-modul-4-prasangka-dan-diskriminasidoc 1/55  ADPU4218/MODUL 4  1.1 Modul 4 PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Prof.Dr. M. Enoch Markum Prasangka dan diskriminasi merupakan dua masalah besar yang tidak hanya dialami oleh individu, kelompok, golongan, dan negara tetapi juga merupakan masalah kemanusiaan secara umum. Mengapa prasangka dan diskriminasi ini merupakan fenomen. Kemanusiaan ? Jawabannya adalah  bahwa meskipun manusia memiliki kemampuan otak yang luar biasa, sehingga manusia dianggap sebagai rational animal , namun dalam hal  prasangka dan diskriminasi ternayata manusia menanggalkan rasionalitasnya dan berperilaku melebihi binatang buas. ejarah peradaban manusia menunjukkan betapa canggihnya penemuan manusia di bidang teknologi dengan segala dampaknya. !al ini, antara lain, terlihat dari pesawat terbang yang mampu mengangkut "## penumpang dengan ketinggian $#.### meter di atas laut, pendaratan manusia di bulan, komputer dan teknologi digital, dan lain%lain.  &amun, di balik kehebatan akal manusia itu, terbukti sampai saat ini manusia tidak mampu menghentikan perang Palestina%'srael, pertentangan kaum Protestan dan katolik di 'rlandia (tara, pertempuran Pakistan%'ndia soal Khasmir, kelompok )alibau dan regim pemerintahan *fganistan, dan lain%lain. emua peristiwa itu mengakibatkan kerugian harta%benda dan ribuan korban, baik yang cacad maupun meninggal. +ahkan yang PENDAHULUAN

description

05 Modul 4 - Prasangka dan Diskriminasi.doc

Transcript of 05 Modul 4 - Prasangka dan Diskriminasi.doc

MODUL 1

1.52

Psikologi Sosial((ADPU4218/MODUL 41.51

Modul 4PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

Prof.Dr. M. Enoch Markum

Prasangka dan diskriminasi merupakan dua masalah besar yang tidak hanya dialami oleh individu, kelompok, golongan, dan negara tetapi juga merupakan masalah kemanusiaan secara umum. Mengapa prasangka dan diskriminasi ini merupakan fenomen. Kemanusiaan ? Jawabannya adalah bahwa meskipun manusia memiliki kemampuan otak yang luar biasa, sehingga manusia dianggap sebagai rational animal, namun dalam hal prasangka dan diskriminasi ternayata manusia menanggalkan rasionalitasnya dan berperilaku melebihi binatang buas. Sejarah peradaban manusia menunjukkan betapa canggihnya penemuan manusia di bidang teknologi dengan segala dampaknya. Hal ini, antara lain, terlihat dari pesawat terbang yang mampu mengangkut 300 penumpang dengan ketinggian 10.000 meter di atas laut, pendaratan manusia di bulan, komputer dan teknologi digital, dan lain-lain.

Namun, di balik kehebatan akal manusia itu, terbukti sampai saat ini manusia tidak mampu menghentikan perang Palestina-Israel, pertentangan kaum Protestan dan katolik di Irlandia Utara, pertempuran Pakistan-India soal Khasmir, kelompok Talibau dan regim pemerintahan Afganistan, dan lain-lain. Semua peristiwa itu mengakibatkan kerugian harta-benda dan ribuan korban, baik yang cacad maupun meninggal. Bahkan yang mengerikan adalah prasangka dan diskriminasi ini dilembagakan dan dianggap sah, misalnya, Nazi yang membantai kaum yahudi, politik apartheid regim kulit putih di Afrika Selatan, genocide suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda. Indonesia juga mengalami fenomen prasangka dan diskriminasi ini, misalnya, pada peristiwa Gerakan 30 September, kerusuhan etnis Madura Dayak, kerusuhan di Ambon, kerusuhan di Papua, dan lain-lain yang selain mengakibatkan kerugian harta-benda dan ribuan jiwa melayang, juga tampaknya ke depan akan terus berlangsung . (Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Umum, pembebasan lahan, penggusuran kaki-lima, dan lain-lain).

Maka prasangka dan diskriminasi merupakan fenomena yang melekat pada kehidupan manusia yang perwujudannya bisa dari mulai yang skalanya ringan atau sederhana (perekrutan dan seleksi karyawan) sampai dengan yang skalanya berat dan rumit (genocide yang melembaga). Demikianlah, atas dasar uraian singkat ini dapat dipahami bahwa prasangka dan diskriminasi menjadi pokok bahasan psikologi sosial yang sangat relevan untuk dipelajari. Oleh karenaya setelah mempelajari Modul 4 ini, diharapkan anda mampu :

1. Menjelaskan pengertian prasangka dan diskriminasi.

2. Menjelaskan pembentukan prasangka.

3. Menjelaskan dampak prasangka.

4. Menerapkan cara mengatasi prasangka.

Kegiatan Belajar 1PENGERTIAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASIPaul Keating : Howard sama saja dengan Hitler

Sydney, Kamis Sikap Perdana Menteri Australia John Howard dianggap oleh mantan PM Australia Paul Keating sama berbahayanya dengan sikap diktator Adolf Hitler yang ultra Nasionalis. Howard dan Hitler sama-sama populis dan selalu curiga dan mempunyai prasangka negatif terhadap ras lain.

Pernyataan pedas itu muncul Kamis (12/7), dari Keating, yang terjungkal dari pemerintah setelah partai konservatif Howard menang Pemilu tahun 1996. Selama ini Keating dikenal kerap mengeluarkan komentar-komentar pedas dan menyerang lawan politiknya. Howard dan Hitler dinilai Keating sama-sama nasionalis dan bukan termasuk golongan orang yang patriot.

Patriot tidak akan membeda-bedakan orang berdasarkan ras. Tetapi, seorang nasionalis akan tetap saja curiga satu sama lain kata Keating saat berpidato pada acara penghargaan Sydney Film School pada Rabu malam.

Berang

Selama ini, pemerintahan Howard kerap menghasilkan kebijakan tegas seperti persoalan migran yang masuk ke Australia dan komunitas minoritas Islam kerap dicurigai sejak serangan teroris 11 September 2001 terjadi di AS.

Australia juga pada umumnya menolak imigran asal Timur Tengah, tetapi dengan mudah menerima imigran Eropa.

(Kompas, Jumat, 13 Juli 2007).

Prasangka (prejudice) bisa terjadi terhadap orang, etnis, ras, jender, agama, partai, polisi, pejabat pemerintah, dan lain-lain. Pada ilustrasi di atas Perdana Menteri Australia John Howard dituduh oleh Paul Keating mantan Perdana Menteri Australia sebagai orang yang berprasangka dan bertindak diskriminatif terhadap para imigran asal Timur-Tengah dan kelompok minoritas Islam. Terlepas apakah tuduhan terhadap John Howard ini benar atau salah, namun dari ilustrasi ini kita menemukan istilah prasangka, dan diskriminasi. Apakah perbedaan prasangka dan diskriminasi ? Apakah prasangka itu buruk? Apakah prasangka itu selalu negatif ?

Bila kita kembali pada ilustrasi perseteruan antara Perdana Menteri dan mantan Perdana Menteri Australia, maka tampak bahwa prasangka merupakan bentuk sikap yang negatif; dalam hal ini sikap John Howard dianggap negatif terhadap imigran asal Timur-Tengah dan kelompok minoritas Islam. Memang bila berbicara mengenai prasangka umumnya prasangka itu adalah sikap yang negatif terhadap objek sikap. Definisi yang dikemukan oleh Myers (1999 : 336 secara jelas menunjukkan prasangka sebagai sikap negatif. Prejudice is a negative prejudgment of a group and its individual members.Dari definisi Myers ini dapat difahami bila prasangka itu negatif karena keputusan atau penilaian individu atau kelompok yang berprasangka terhadap kelompok lain, misalnya, tidak didasari oleh suatu analisis yang cermat dan didukung oleh data, melainkan bersikap a priori. Hal ini bukan hanya tampak dari kata negative, tetapi juga ada kata lain yang memperkuat, yaitu prejudgment dalam definisi Myers ini.

Bila prasangka diartikan sebagai sikap negatif, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah berprasangka itu ada manfaatnya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, bayangkan Anda berada di kawasan pelabuhan laut yang terkenal dengan kehidupannya yang keras, mengandalkan otot, dan bila menjadi jagoan akan dihormati dan ditakuti. Saat itu malam hari dan Anda sendirian harus meliwati suatu daerah dan Anda melihat sejumlah orang bergerombol dengan pakaian lusuh dan muka seram. Apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan terus meliwati daerah tersebut, atau menunda sampai ada orang lain, atau memutar ke jalan lain yang lebih panjang?. Menghadapi ketiga pilihan yang harus diputuskan secara cepat dan dalam waktu singkat ini, tentu Anda memilih jalan keluar yang aman. Maka tidak ada jalan lain, kecuali Anda berprasangka buruk terhadap segerombolan orang yang berpakaian lusuh dan berwajah seram, dan mengambil keputusan bahwa mereka itu penjahat. Dengan demikian, keputusan jalan pintas (heuristics) atau bersikap a priori ini ternyata ada manfaatnya. Dengan kata lain, dampak dari prasangka tidak selalu negatif. Namun, dalam pembahasan mengenai prasangka, jarang dibicarakan mengenai prasangka yang positif karena tidak menimbulkan masalah dalam hubungan antar-individu atau hubungan antar-kelompok. Kembali pada ilustrasi terdahulu mengenai Perdana Menteri Australia, John Howard, tampak jelas bahwa ia, menurut Paul Keating, berprasangka buruk (negatif) terhadap imigran yang berasal dari Timur-Tengah, tetapi berprasangka baik (positif) terhadap imigran yang berasal dari Eropa. Bila prasangka John Howard sebagaimana yang dituduhkan oleh Paul Keating ini benar, maka bagi John Howard para imigran asal Eropa dianggap tidak bermasalah, sedangkan imigran asal Timur-Tengah dianggap akan meninggalkan masalah di kemudian hari. Oleh karenanya, pembicaraan mengenai prasangka umumnya tidak membahas prasangka yang positif karena dianggap tidak menimbulkan dampak negatif baik terhadap hubungan antar-pribadi maupun hubungan antar-kelompok. Contoh lain dari prasangka baik atau positif adalah orang Indonesia ramah, suka senyum, dan sopan-sopan; orang Jawa nrimo, pasrah, dan tidak suka protes.

Selanjutnya, mengapa prasangka negatif (selanjutnya dalam-naskah ini digunakan prasangka saja) berakibat negatif terhadap hubungan antar-pribadi dan hubungan antar-kelompok? Jawabannya adalah karena suatu prasangka didasari oleh stereotipi (stereotype) : sifat yang diyakini melekat pada suatu kelompok atau anggota kelompok. Sebagai sumber prasangka, stereotipi bersifat tidak adil, tidak cermat, dan memukul-rata secara serta-merta (overgeneralization) suatu gejala. Bila kita memiliki stereotipi bahwa orang Ambon pandai menyanyi, misalnya, maka dalam pikiran kita ada anggapan bahwa semua orang Ambon bisa dan pandai menyanyi. Demikian pula kita bisa mempunyai stereotipi mengenai orang Bali, yakni mereka pandai menari, bahkan kita meyakini bahwa bukan orang Bali kalau tidak bisa menari.

Bagaimana terbentuknya stereotipi yang merupakan sumber prasangka itu? Menurut teori psikologi kognitif, terbentuknya stereotipi diawali oleh proses kategorisasi dan pembentukan skema dalam pikiran atau kognisi manusia. Dalam kehidupan nyata sehari-hari manusia selalu berupaya melakukan penggolongan atas obyek yang dilihatnya. Pada saat bertemu dengan orang lain, individu cenderung mengkategorisasikan orang yang baru ditemuinya, misalnya, laki-laki berusia 40 tahunan, suku Jawa, dan pengusaha batik. Dengan kata lain, individu tadi dalam waktu singkat telah mengkategorisasikan orang tersebut atas dasar usia, suku bangsa, dan pekerjaan. Selanjutnya, atas dasar kategorisasi yang sekejap ini, individu tersebut mengambil keputusan (judgement) mengenai orang yang baru dikenalnya itu, yakni etos kerjanya tinggi tidak seperti halnya orang yang berusia lanjut dan pegawai negeri yang etos kerjanya rendah. Kategorisasi yang bisa melahirkan stereotipi bisa juga atas dasar status (militer,sipil), jender, agama, dan kelompok. Misalnya, kalau militer sebagai satu kategori dikontraskan dengan kategori sipil di pihak lain, maka dengan sangat mudah akan terbentuk stereotipi militer, seperti disiplin, suka main pukul, sikapnya kaku, setia dan patuh pada perintah atasan yang kesemua ciri itu berbeda bahkan bertentangan dengan stereotipi orang sipil.

Selain kategorisasi, skema juga dapat menjadi dasar terbentuknya stereotipi. Untuk kepentingan efisiensi kognisi, orang membuat skema, misalnya, skema mengenai resepsi pernikahan. Bagan mengenai resepsi pernikahan adalah sebagai berikut : di pintu gerbang gedung resepsi terdapat meja penerima tamu dan kotak untuk memasukan amplop uang. Para tamu lazimnya mengisi buku tamu, memasukan amplop uang ke kotak yang telah tersedia, menerima cendera mata, kemudian antri sampai ke pelaminan, dan menyampaikan ucapan selamat kepada kedua orangtua mempelai dan kedua mempelai, serta diakhiri dengan mencicipi hidangan yang disediakan. Dengan adanya bagan dan skema resepsi pernikahan ini, berarti kita mempunyai pegangan atau pedoman mengenai bagaimana seharusnya perilaku kita dalam suatu situasi. Kita juga mempunyai skema mengenai upacara agama, perkuliahan, upacara wisuda, pasar swalayan, arisan, berlalu-lintas di jalan umum, dan lain-lain.

Skema tidak hanya berkenaan dengan peristiwa seperti dikemukakan di atas, melainkan kita bisa juga memiliki skema mengenai individu atau kelompok. Sebagai contoh skema orang Amerika adalah berbicara terbuka, terus terang, suka bertolak pinggang dan sangat rasional ; orang Jepang sangat mengutamakan kelompok dan merendahkan wanita; orang Jawa tidak terbuka, perasaannya halus, dan mengutamakan keharmonisan atau menghindari konflik. Atas dasar skema mengenai individu atau kelompok ini, maka perilaku kita tatkala menghadapi orang Amerika berbeda dengan pada saat kita berhadapan dengan orang Jawa. Misalnya, kita akan menyatakan ketidaksetujuan secara terbuka dan tegas terhadap pendapat orang Amerika; sementara tatkala kita tidak setuju terhadap pendapat orang Jawa, apalagi bila orang Jawa itu statusnya lebih senior, maka kita tidak akan terbuka melontarkan kritik, apalagi menyalahkan pendapatnya.

Dari contoh mengenai perilaku kita yang jelas berbeda tatkala berhadapan dengan orang Amerika (melontarkan kritik terbuka) dan pada saat menghadapi orang Jawa (tidak melontarkan kritik secara terbuka), maka sebenarnya kita telah bertindak diskriminatif. Mengapa ? Jawabannya adalah karena kita memiliki skema atau mungkin juga stereotipi (keduanya merupakan landasan prasangka) mengenai orang Amerika dan orang Jawa. Menampilkan perilaku diskriminatif yang didasari oleh skema atau stereotipi dalam contoh ini tidak menimbulkan masalah dalam hubungan kita dengan orang Amerika dan orang Jawa, bahkan berperilaku diskriminatif ini bermanfaat. Namun, bayangkan bila berperilaku diskriminatif itu berkenaan dengan pengambilan keputusan penting atau menentukan nasib seseorang atau suatu kelompok. Misalnya, menyangkut perekrutan dan seleksi karyawan, penerimaan mahasiswa baru, ujian akhir, pemberian beasiswa, pemilihan kepala daerah, dan penyusunan peraturan perundangan, maka jelas akan merugikan banyak pihak. Sebagai contoh perilaku diskriminatif dalam bidang politik bisa dikemukakan pada saat pemilihan Presiden RI yang lalu, seperti jabatan Presiden RI tidak mungkin dipegang oleh wanita (prasangka jender) atau Presiden RI tidak mungkin orang luar Jawa (prasangka etnis). Individu yang berprasangka bahwa jabatan Presiden RI harus pria, maka ia tidak akan memilih calon presiden perempuan; demikian pula individu yang berprasangka bahwa presiden harus berasal dari suku Jawa, maka ia tidak akan memilih calon presiden yang bukan etnis Jawa.

Dari uraian di atas terjawab perbedaan antara prasangka dan diskriminasi. Prasangka merupakan kesiapan atau predisposisi perilaku, sedangkan pengertian diskriminasi merujuk pada tindakan nyata yang didasari oleh prasangka. Meskipun demikian, suatu prasangka mungkin saja tetap sebagai suatu wacana dan tidak diwujudkan dalam tindakan nyata karena alasan tertentu. Sebagai contoh orang kulit putih Amerika tetap saja berprasangka terhadap orang kulit hitam Amerika, meskipun tidak dapat diwujudkan lagi saat ini karena bertentangan dengan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, keadilan, dan all man are born equal yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Amerika. Maka perwujudan prasangka menjadi perilaku diskriminatif tidak lagi dalam bentuk nyata seperti di masa lalu (segregasi sekolah kulit putih dan kulit hitam, rumah makan eksklusif hanya untuk orang kulit putih, pemisahan tempat duduk di bis umum, dan lain-lain), melainkan diwujudkan dalam bentuk terselubung. Sebagai contoh seorang direktur berkulit putih yang tidak menyetujui jabatan manajer diduduki oleh orang kulit hitam karena semata-mata calon manajer tersebut berkulit hitam (stereotipi etnis), maka ia tidak akan secara terbuka menyatakan alasan ketidak setujuannya yang kental dengan stereotipi etnis. Bisa jadi sang direktur tersebut akan mengemukakan alasan yang seolah-olah objektif dan masuk akal. Misalnya, jabatan manajer harus individu yang berpengalaman minimal 10 tahun, alumnus Harvard Business School dan minimal berusia 40 tahun, dan semua persyaratan yang direkayasa ini tentu saja tidak dimiliki oleh calon manajer yang berkulit hitam. Bentuk diskriminasi baru seperti ini disebut sebagai rasisme modern (modern racism). Maka, secara singkat prasangka merupakan sikap negatif, sedangakn diskriminasi merupakan perilaku negatif.Dari uraian stereotipi dan skema terdahulu, maka secara sekilas terkesan bahwa tidak ada perbedaan antara stereotipi dan skema. Oleh karena kedua konsep tersebut mengandung adanya upaya menyederhanakan suatu gejala, peristiwa, individu, dan kelompok. Dengan kata lain, baik pada stereotipi maupun skema berlangsung proses mereduksi objek, peristiwa atau karakteristik kelompok. Orang kulit hitam Amerika yang aspek kehidupannya begitu kompleks, dalam skema orang Amerika kulit putih yang berprasangka cukup direkam dalam skema: bodoh, kotor, dan malas. Skema mengenai orang kulit hitam Amerika ini berlaku untuk semua orang Amerika kulit hitam (over generalization), meskipun kenyataannya ada orang Amerika kulit hitam berstatus jenderal, penyanyi terkenal, juara dunia tinju, pebasket terkenal atau pun duta besar. Bahkan, seandainya orang Amerika kulit putih itu menyadari bahwa terdapat sejumlah orang Amerika kulit hitam yang status sosialnya terhormat, maka ia akan membuat apa yang disebut sebagai subtipe. Yang dimaksud dengan subtipe di sini adalah skema, stereotipi orang Amerika kulit putih mengenai orang Amerika kulit hitam ( bodoh, kotor, malas) tetap tidak berubah atau tidak hilang karena orang Amerika kulit putih ini membuat klasifikasi baru mengenai orang Amerika kulit hitam (subtyping), yakni orang Amerika kulit hitam yang berstatus tinggi itu sebagai perkecualian (orang Amerika kulit hitam menjadi Duta Besar karena peraturan perundangan yang menetapkan perlunya keragaman atau diversity, jadi bukan karena kinerjanya hebat di bidang diplomasi). Dari contoh mengenai hubungan antara orang Amerika kulit hitam dan orang Amerika kulit putih tampak bahwa anggapan orang Amerika kulit putih bahwa orang Amerika kulit hitam itu (bodoh, kotor, dan malas) adalah skema. Sedangkan orang Amerika kulit putih yang menganggap orang Amerika kulit hitam itu bodoh, kotor dan malas semata-mata karena orang Amerika itu kulitnya berwarna hitam merupakan stereotipi.

Demikianlah kita dapat mengambil contoh lain yang menunjukkan sifat tertentu individu atau kelompok semata-mata karena orang atau kelompok tadi tergolong dalam kategori tertentu. Individu dianggap tidak pantas dan tidak mampu menjadi manajer semata-mata karena individu tersebut perempuan (prasangka jender). Selain ini terdapat prasangka etnis, misalnya, individu dianggap tidak pantas dan tidak mampu menjadi manajer semata-mata karena berasal dari etnis tertentu. Selanjutnya, apabila seorang individu dianggap tidak pantas dan tidak mampu sebagai manajer dengan alasan karena ia menganut agama tertentu, maka yang terjadi adalah bias agama dan akibatnya terjadi prasangka agama. Selain prasangka jender, etnis, dan agama seperti dikemukakan di atas, bentuk prasangka juga bisa prasangka status (orang kaya sombong), homoseksual (pembawa HIV/AIDS), pejabat (pejabat itu koruptor), ibu tiri (ibu tiri kejam), dan lain-lain.

.

Di Amerika Serikat bentuk atau perwujudan prasangka dan diskriminasi saat ini tidak lagi nyata dan terbuka, melainkan mengambil bentuk terselubung, sehingga dalam psikologi sosial disebut sebagai gejala rasisme modern (modern racism).

Coba Anda diskusikan apakah di Indonesia terdapat gejala rasisme modern ? Bila ada mohon dikemukakan bentuk nyatanya seperti apa dan apakah rasisme modern itu melembaga ?Petunjuk Jawaban LatihanPelajari dengan cermat perbedaan pengertian prasangka dan diskriminasi serta bagaimana bentuk prasangka dan diskriminasi yang skalanya ringan dan yang skalanya berat.

Prasangka dan diskriminasi merupakan dua konsep yang pengertiannya berbeda, namun berkaitan erat. Orang atau kelompok yang berprasangka terhadap kelompok tertentu bisa mewujudkan prasangkanya dalam tindakan nyata (perilaku diskriminatif) atau prasangkanya itu tetap sebagai kesediaan untuk bertindak (readiness to act). Dengan demikian, prasangka adalah sikap negatif, sedangkan diskriminasi adalah perilaku negatif yang didasari oleh sikap negatif .

Menurut psikologi kognitif, terjadinya prasangka diawali oleh proses kategorisasi, dan selanjutnya diikuti oleh pembentukan stereotipi dan skema mental. Baik stereotipi maupun skema mental merupakan proses penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebihan (over-generalization) mengenai objek prasangka.

1. Prasangka merupakan :A. sikap tidak tegas

B. sikap negatif

C. sikap tidak terarah

D. sikap faktual

2. Diskriminasi adalah :

A. sikap negatif

B. prasangka negatif

C. sikap a priori

D. perilaku negatif

3. Dampak dari prasangka :

A. cenderung positif

B. selalu negatif

C. tidak selalu negatif

D. cenderung negatif

4. Bila kita beranggapan bahwa orang Padang itu pebisnis yang gigih, maka pada kita sudah terbentuk :

A. prasangka positif

B. sikap otomatis

C. stereoptipi etnis positif

D. diskriminasi positif

5. Pada pemilihan umum di Indonesia ada sekelompok warga yang berasal dari agama tertentu menentang dicalonkannya perempuan sebagai Presiden RI. Gejala ini disebut :

A. prasangka agama

B. stereotipi negatif

C. prasangka jender

D. stereotipi jender

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.Kegiatan Belajar 2PEMBENTUKAN PRASANGKATelah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa seperti halnya sikap, obyek prasangka pun bisa sangat beragam bisa menyangkut ras atau etnis, jender, status, agama, dan lain-lain. Telah dikemukakan juga bahwa prasangka merupakan fenomen yang kompleks dan tidak mudah dihilangkan. Di Amerika Serikat yang konon kampiun demokrasi dan hak asasi manusia di dunia, sampai saat ini prasangka masih terus berlangsung, meskipun perwujudannya sudah berbeda dari wujud awalnya, yakni tidak seperti saat perang saudara antara Utara dan Selatan di Amerika. Prasangka yang perwujudannya adalah perilaku diskriminatif ini tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, tetapi berlangsung juga di belahan bumi lainnya. Pada dasarnya hal ini dapat kita saksikan pada pertikaian atau peperangan yang dilandasi oleh kepentingan golongan, etnis, agama, dan lain-lain, seperti pemerintah Filipina dengan kelompok Moro, pemerintah Sri Lanka dengan kelompok macan Tamil, Hindu-Muslim di India, pemerintah Indonesia dengan GAM, dan lain-lain.

Mengapa orang berprasangka ? Gordon W. Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice (1958) mengemukakan enam penyebab atau pendekatan prasangka mulai dari yang sifatnya makro sampai dengan yang sifatnya mikro. (Lihat Gambar Pendekatan Prasangka). Selanjutnya, meskipun masing-masing pendekatan prasangka ini berbeda penekanannya, namun untuk memahami fenomena prasangka secara utuh, Allport beranggapan bahwa keenam pendekatan ini saling melengkapi.

Gambar: Pendekatan Prasangka

Sumber: Allport, G.W (1958 : 202)

1. PENDEKATAN SEJARAHTerkesan oleh perjalanan sejarah yang panjang mengenai terjadinya prasangka saat ini, para sejarawan menekankan bahwa pemahaman prasangka tidak dapat dilepaskan dari latarbelakang sejarah hubungan antara dua kelompok di masa lalu. Sebagai contoh prasangka orang kulit putih Amerika terhadap orang kulit hitam Amerika bersumber pada jaman perbudakan yang pernah terjadi di Amerika dan perlakuan kejam para tuan tanah terhadap budak kulit hitam dan keluarganya. Demikian pula berbagai prasangka lain di belahan bumi ini (India-Pakistan, Katolik-Protestan di Irlandia, Hindu-Muslim di India, Palestina-Israel di Timur Tengah, Pribumi-Non pribumi di Indonesia, dan lain-lain) tidak dapat lepas dari latar belakang sejarah hubungan antara dua kelompok yang saling berprasangka. Secara lebih mendalam latar belakang sejarah prasangka satu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lainnya ini ditentukan oleh bagaimana hubungan awal antara kedua etnis tersebut dan sifat imigrasi yang terjadi (Paris, 1950).

Pendekatan sejarah atau historis ini juga memberi penekanan pada faktor ekonomi. Sebagai contoh para pakar yang menekuni teori Karl Marx memandang prasangka sebagai cara para pemilik modal atau kaum kapitalis mengeksploitasi kelas buruh.

Kritik terhadap pendekatan historis dan ekonomis ini adalah tidak cukup kuat dalam menjelaskan prasangka jender, mengapa kaum laki-laki berprasangka terhadap kaum perempuan. Demikian pula di Amerika, cukup banyak orang Amerika berkulit putih yang dieksploitasi oleh sesama orang Amerika berkulit putih, tetapi tidak mucul gejala prasangka. Allport juga mengemukakan studi sosiologi di komunitas Selatan di Amerika yang terbukti tidak ada perbedaan kelas, khususnya tingkat kondisi ekonomi antara orang Amerika kulit putih dan orang Amerika kulit hitam. Dengan kata lain, baik orang Amerika kulit putih maupun orang Amerika kulit hitam tidak berbeda dalam hal penghasilan, rumah, dan fasilitas rumah-tangga. Maka prasangka terhadap orang Amerika kulit hitam itu dasarnya adalah bahwa orang Amerika kulit hitam itu, dalam pandangan orang Amerika kulit putih adalah bahwa secara psikologis dan sosial posisi mereka di masyarakat tergolong rendah.

2. PENDEKATAN SOSIOKULTURALPenekanan pada aspek sosiokultural dalam menjelaskan prasangka dikemukakan oleh para pakar sosiologi dan antropologi. Seperti halnya para pakar sejarah, mereka meyakini bahwa terjadinya prasangka tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultural. Konteks sosiokultural dimaksud meliputi :1. Fenomena urbanisasi, mekanisasi pekerjaan, dan kehidupan yang makin sulit. Meningkatnya jumlah penduduk dihadapkan pada keterbatasan fasilitas yang layak (perumahan, pendidikan, dan kesehatan).

2. Mobilitas sosial, kelompok masyarakat yang mengalami penurunan status sosial (mobilitas sosial ke bawah) dan terkejar oleh kelompok masyarakat yang semula status sosialnya rendah (mobilitas sosial ke atas) menyalahkan kelompok yang mobilitas sosialnya naik tanpa mencari alasan penyebab sesungguhnya dari pengalaman penurunan mobilitas sosial mereka.

3. Kompetisi, persaingan yang semakin ketat dalam lapangan kerja yang menuntut kompetensi, pendidikan dan pelatihan yang tidak mudah dipenuhi.

4. Konflik antar-kelompok, pada peristiwa konflik antara dua kelompok, misalnya suku Madura dan Dayak, biasanya muncul perasaan in-group dan out-group baik pada suku Madura maupun suku Dayak. Dilihat dari suku Madura, maka dirinya adalah in-group sedangkan Suku Dayak adalah out-group. Demikian pula dilihat dari suku Dayak (Dayak = in-group, Madura = out-group). Bila polarisasi in-group dan out-group makin kuat, maka akan hidup sikap saling berprasangka.

5. Perubahan peran dan fungsi keluarga dan hubungannya dengan perubahan standar moralitas.

Sebagai ilustrasi dari kelima faktor yang mempengaruhi terbentuknya prasangka akan dikemukakan hubungan antara mobilitas sosial dengan prasangka. Kelompok yang kehidupannya semula mapan dan nyaman (misalnya kaum bangsawan) akan merasa terancam tatkala anak-anak dari kelas sosial rendah meningkat statusnya sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat yang egaliter dan demokratis. Perubahan ini diekspresikan oleh kaum bangsawan dengan berprasangka atau mengkambinghitamkan kelompok yang secara sosial lebih rendah statusnya.

3. PENDEKATAN SITUASIONALBila pada pendekatan historis mengenai prasangka, penekanannya pada kondisi masa lalu, maka penekanan pendekatan situasional adalah pada kondisi saat ini. Dalam menjelaskan prasangka, pendekatan situasional memusatkan perhatian pada kekuatan yang berasal dari lingkungan sebagai penyebab prasangka.

Konformitas yang diartikan sebagai berubahnya pendirian atau sikap sebagai akibat tekanan tidak langsung dari masyarakat, merupakan salah satu mekanisme terjadinya prasangka. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an di Amerika, banyak pemilik restoran yang menyatakan bahwa mereka tidak berprasangka terhadap orang Amerika kulit hitam, namun para pelanggan restoran mereka yang berkulit putih berkeberatan apabila pemilik restoran melayani orang berkulit hitam.

Selain itu, dengan berjalannya waktu, terjadi pula perubahan sosial yang menyebabkan berubahnya stereotipi dan prasangka terhadap suatu kelompok. Pada waktu Perang Dunia II meletus, warganegara Amerika dipengaruhi oleh propaganda pemerintahnya yang mengarah kepada prasangka negatif terhadap Jepang dan Jerman, sementara prasangka mereka terhadap negara sekutu, termasuk Rusia, sangat positif. Namun, tatkala Jepang dan Jerman kalah, Rusia yang menjadi kekuatan baru di dunia dianggap sebagai lawan (rival) oleh Amerika. Saat itu walaupun orang-orang Rusia dianggap sebagai pekerja keras, namun orang-orang Amerika di tahun 1950-an meyakini bahwa orang-orang Rusia itu kejam.

4. PENDEKATAN KEPRIBADIAN dan PSIKODINAMIKABila pada pendekatan terdahulu sejarah, sosiokultural, dan situasional penjelasan prasangka bersifat makro dan di luar diri individu yang berprasangka, maka pendekatan kepribadian dan psikodinamika tergolong penjelasan mikro dan menekankan proses internal yang terjadi pada diri individu.

Pendekatan kepribadian dan psikodinamika memandang prasangka sebagai hasil konflik internal dan ketidakmampuan individu menyesuaikan diri. Selain ini pendekatan psikodinamika mengemukakan dua alasan.

Pertama, prasangka berakar pada kondisi manusia karena dalam kehidupan sehari-hari, frustrasi tidak dapat dihindari. Sebagai akibatnya, kondisi frustrasi cenderung mengarahkan individu untuk berperilaku agresif (hipotesis frustrasi - agresi). Dalam kaitan dengan hubungan antar-kelompok, maka bila dorongan atau impuls agresif ini tidak dapat dikendalikan, sasaran agresifitas akan terarah pada kelompok etnis minoritas atau kelompok yang lemah. Menurut hipotesis frustrasi-agresi ada kalanya individu atau kelompok mengalami frustrasi, namun bila dirinya atau kelompoknya tidak dapat melakukan perlawanan terhadap atasannya atau kelompok mayoritas, maka ia akan mengalihkan agresinya ke kelompok yang tidak membahayakan kelompoknya (displacement) atau mengkambing-hitaman kelompok lain (scape-goating). Penganiayaan terhadap orang Amerika kulit hitam, membakar rumah ibadah, dan lain-lain merupakan bentuk agresifitas sebagai akibat dari kondisi frustrasi.

Kedua, prasangka hanya berkembang pada orang-orang yang kepribadiannya lemah. Dengan kata lain, pendekatan kepribadian tidak dapat menerima bahwa prasangka yang dimiliki oleh individu merupakan kondisi normal, melainkan merupakan hasil dari kondisi kecemasan dan ketidakamanan yang kuat yang dialami oleh orang-orang yang neurotik. Berbagai penelitian awal yang berkenaan dengan tipe kepribadian otoriter didasarkan pada model psikoanalisis. Salah satu hasil penelitian yang terkenal adalah bahwa orang berprasangka memiliki tipe kepribadian otoriter (Adorno, dkk : authoritarian personality ). Hasil penelitian Sanford (1965, dalam Vaughn dan Hogg, 2005) menunjukkan bahwa kepribadian otoriter dihasilkan dari super-ego yang kaku dan keras serta ego yang lemah yang kemudian mengarah ke pola perilaku menyerang terhadap kelompok minoritas.

5. PENDEKATAN FENOMENOLOGISPendekatan fenomenologis menekankan penyebab prasangka bukan pada dunia objektif, melainkan lebih jauh lagi ke dalam persepsi individu mengenai dunianya. Bagaimana cara pandang atau mempersepsikan orang atau kelompok lain akan menjadi dasar prasangkanya. Jika ia mempesepsikan kelompok minoritas sebagai ancaman dan cenderung menunjukkan permusuhan, maka ia cenderung memberikan respons atau sikap negatif atau berprasangka terhadap kelompok tersebut.

Selanjutnya dengan pendekatan fenomenologis akan diperoleh gambaran sebab-akibat dari perilaku prasangka. Namun pendekatan ini diangap belum lengkap tanpa mempertimbangkan stimulus prasangka itu sendiri.

6. PENDEKATAN STIMULUS OBJEKSemua pendekatan penyebab prasangka yang telah diuraikan terdahulu menyoroti faktor luar dan kepribadian individu yang berprasangka. Pendekatan stimulus objek menekankan pada objek prasangka. Dengan kata lain, sumber prasangka bukan terletak pada pengamat atau orang yang berprasangka, melainkan pada karakteristik dan perilaku yang ditampilkan oleh objek prasangka itu sendiri. Objek prasangka dengan segala karakteristiknya merupakan stimulus yang patut (atau tidak patut) diprasangkai. Misalnya, orang Amerika kulit hitam wajar menjadi objek prasangka karena orang Amerika kulit hitam memiliki karakteristik (stimulus) yang mau tidak mau menyebabkan orang Amerika kulit putih berprasangka atau tidak menyukai mereka.

Secara singkat, pendekatan stimulus objek membuat postulat bahwa kelompok minoritas memiliki karakteristik yang memicu ketidaksukaan dan permusuhan di kalangan kelompok mayoritas. Ilustrasi berikut ini memperlihatkan postulat pendekatan stimulus objek. Daniel P. Moynihan, penasehat urusan kemasyarakatan Presiden Nixon mengemukakan sebuah pemikiran bahwa orang Amerika kulit putih mempunyai berbagai alasan mengenai sikap negatif mereka terhadap orang Amerika kulit hitam. Dalam memonya, Moynihan mengemukakan bahwa keberadaan orang Amerika kulit hitam kelas bawah ini dengan segala ketergantungannya, ketidakpatuhannya, dan pelanggaran atau tindak kejahatannya yang tinggi menyebabkan orang Amerika kulit putih merasa terancam dan takut terhadap mereka. Oleh karenanya orang Amerika kulit putih mencari berbagai cara untuk menghindar dari mereka dan menciptakan berbagai tekanan terhadap mereka.

Indonesia yang masyarakatnya multi-etnis sangat potensial untuk terjadainya prasangka dan diskriminasi satu suku terhadap suku lainnya. Coba temukan gejala prasangka dan diskriminasi di Indonesia, dan selanjutnya jelaskan bagaimana terbentuknya gejala ini dilihat dari pendekatan terbentuknya prasangka.

Petunjuk Jawaban Latihan

Pelajari dengan seksama enam pendekatan terbentuknya prasangka (pendekatan historis dan seterusnya)

Prasangka sebagai fenomen yang majemuk tampaknya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan telah berlangsung sejak lama. Itulah sebabnya pendekatan terbentuknya prasangka menurut Allport diawali oleh pendekatan historis. Prasangka orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di Amerika, misalnya, berakar dari sejarah didatangkannya orang Afrika ke Amerika berstatus sebagai budak belian.Pendekatan kedua adalah pendekatan sosiokultural yang pada intinya mengemukakan bahwa terjadinya prasangka tidak dapat dilepaska dari konteks sosiokultural, seperti urbanisasi, mobilits sosial, kompetisi yang ketat di dunia kerja, dan konflik antar kelompok.Pendekatan ketiga menenai terbentuknya prasangka adalah pendekatan situasional yang menekankan bahwa kondisi masyarakat saat inilah sebagai penyebab prasangka. Sebagai contoh orang Dajak dan orang Madura yang sebelumnya hidup berdampingan dengan damai dan rukun, tiba-tiba tatkala meletus kerusuhan di antara mereka, terjadilah saling prasangka di antara kedua kelompok yang bermusuhan itu.Pendekatan kepribadian dan dinamika kepribadian merupakan pendekatan ke-empat yang beranggapan bahwa kondisi internal dari orang berprasangka merupaka penyebab terbentuknya prasangka. Salah satu studi yang terkenal dalam hubungan ini adalah sstudi Adorno, dkk (1995) yang menemukan bahwa kepribadian otoritarian (authoritarian personality) sebagai faktor penyebab prasangka.

Bagaimana individu mempersepsikan dunianya merupakan pendekatan kelima dari terbentuknya prasangka (pendekatan fenomenologis). Sebagai contoh sering kelompok minoritas dianggap atau dipersepsikan sebagai ancaman oleh kelompok mayoritas.

Akhirnya, terbentuknya prasangka didekati dengan menyoroti objek prasangka (pendekatan stimulus-objek, sebagai ilustrasi orang kulit putih berprasangka terhadap orang kulit hitam di Amerika karena baik penampilan maupun perilaku orang kulit hitam itu pantas menjadi objek prasangka (kulit hitam, lusuh, banyak yang menganggur, malas, berperilaku kriminal, dan seterusnya).

1. Pendekatan historis dalam menjelaskan prasangka dianggap lemah karena tidak dapat menjelaskan :A. prasangka jender

B. prasangka etnis

C. prasangka diskriminatif

D. prasangka rasial

2. Persaingan ketat di dunia kerja merupakan salah satu penyebab prasangka menurut pendekatan :

A. psikodinamika

B. situasional

C. sosio-kultural

D. historis

3. Dalam menjelaskan prasangka, pendektan situasional menekankan

pada :

A. kondisi ekonomi

B. kondisi masa lalu

C. kondisi masyarakat

D. kondisi saat ini.

4. Penjelasan prasangka atas dasar hipotesis frustrasi agresi

tergolong pada pendekatan : A. situasional

B. fenomenologis

C. psikodinamika

D. historis-kultural

5. Kelompok A berprasangka terhadap kelompok B karena

kelompok B bukan darah biru, pendidikannya rendah, dan

umumnya bekerja sebagai buruh kasar. Penjelasan yang tepat

untuk penyebab prasangka di sini adalah pendekatan :

A. historis

B. sosio kultural

C. fenomenologis

D. stimulus objectCocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.Kegiatan Belajar 3DAMPAK PRASANGKA

Dampak prasangka terhadap individu sebagai korban prasangka bermacam-macam, berkisar mulai dari ketidaknyamanan yang dirasakan tidak terlalu mengganggu sampai dengan penderitaan hebat. Secara umum, prasangka berbahaya karena memberikan label buruk (stigma) pada kelompok dan individu-individu yang merupakan anggota dari kelompok tersebut. Allport (1954) menemukan 15 kemungkinan konsekuensi bagi individu yang dikenai prasangka. Berikut ini dikemukakan uraian mengenai dampak prasangka.

1. STIGMA SOSIALMelalui definisinya mengenai stigma sosial, Crocker dan kawan-kawan menerangkan bahwa individu-individu yang terkena stigma sosial memiliki (atau dipercayai memiliki) atribut atau karakteristik tertentu yang dianggap rendah dalam konteks sosial (Crocker, Major & Steele, 1998 :. 505) Individu mengalami stigma sosial kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, yakni stigma sosial yang tampak secara fisik (visible) dan stigma sosial yang tersembunyi (conceal).

Individu yang terkena stigma sosial yang tampak secara fisik, berarti bahwa individu tersebut tidak dapat menghindar dari sasaran prasangka. Maka individu yang menjadi anggota kelompok yang terkena stigma sosial ini membuat pengalaman prasangka tidak terhindarkan. Stigma sosial yang tersembunyi (conceal) seperti homoseksual, penyakit-penyakit tertentu, ideologi tertentu, dan afiliasi kegiatan agama tertentu masih memungkinkan individu yang dikenai stigma sosial menghindar dari pengalaman prasangka. Namun, di sisi lain harga yang harus dibayar untuk menyembunyikan atrribut-atribut ini boleh jadi sangat tinggi (Goffman, 1963). Mereka menjadi bukan diri mereka sendiri dan bersikap sangat hati-hati agar atribut diri mereka yang dikenai stigma sosial itu tidak muncul ke permukaan atau tidak diketahui umum.

Stigma sosial tersembunyi adalah hal-hal yang dipercayai umum dapat dikendalikan (homoseksual, obesitas, perokok, dsb) dibandingkan dengan stigma sosial bawaan atau terberi (tidak dapat dikendalikan) seperti ras, gender, dan penyakit. Masyarakat cenderung memberikan respons yang lebih keras terhadap individu yang terkena stigma sosial yang dapat dikendalikan. Hal ini karena khalayak menganggap bahwa stigma sosial tersebut bisa tidak ada karena dapat dikendalikan oleh individu, dan sebaliknya untuk stigma sosial yang dapat dikendalikan respons masyarakat umum cenderung tidak sekeras stigma sosial terkendali. Selanjutnya, stigma sosial menjadi masalah ketika stigma sosial yang dipercayai umum dapat dikendalikan, ternyata sama sekali tidak dapat dikendalikan atau sangat sulit untuk dikendalikan. Hal itu membuat kerugian yang cukup besar bagi individu-individu yang berada atau terkena stigma sosial ini.

Ketika mereka menemui kegagalan dalam usaha mencoba untuk mengendalikannya, mereka menjadi rendah diri, merasa tidak adekuat yang akan berpengaruh besar terhadap diri mereka. Namun, ada beberapa individu yang mampu memusatkan energi mereka untuk memerangi prasangka dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap kelompoknya (Crocker & Major, 1994). Sebaliknya, individu yang memberikan stigma sosial merasakan suatu hal yang positif pada diri mereka dengan melakukan perbandingan dengan orang lain yang terkena stigma sosial (Hogg, 2000c). Tidak hanya itu, stigma sosial dapat melegitimasikan ketidaksetaraan status demi mempertahankan status quo (Jost & Banaji, 1994; Jost & Kramer, 2002). Akhirnya, masyarakat perlu memberikan stigma sosial terhadap individu lain karena mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam berbagai hal yang diangap prinsip oleh individu. Sebab, jika hal itu tidak dilakukan, mereka akan kehilangan rasa percaya diri dan kendali terhadap hidup mereka beserta keyakinan terhadap apa yang mereka percayai yang pada gilirannya mengakibatkan hidup mereka berantakan (Solomon, Greenberg, & Pyszynski, 1991). Beberapa hal terakhir merupakan alasan mengapa stigma cenderung bertahan dalam masyarakat.

2. DIRI BERMAKNA, HARGA DIRI, dan SEJAHTERA SECARA PSIKOLOGISIndividu yang dikenai stigma sosial biasanya berasal dari status sosial ekonomi yang rendah dan dari kelompok minoritas, namun juga bisa sebaliknya, menjadi korban prasangka karena status rendah dan keminoritasan itu. Hal ini berdampak dan secara bergantian menguatkan pengaruh negatif terhadap harga diri (self-esteem) dan atau sejauh mana individu memandang dirinya penting atau bermakna (self-worth).

Dalam kehidupan nyata sehari-hari prasangka dapat berbahaya terhadap harga diri seseorang, namun walaupun prasangka mengarah pada rendahnya harga diri, frustasi dan bahkan depresi, pada beberapa individu acapkali mereka dapat menghilangkan prasangka dan mempertahankan perasaaan positif terhadap diri mereka. Diskriminasi terbalik juga dapat mempengaruhi harga diri. Makna dari diskriminasi terbalik ini adalah ketika individu-individu sasaran diskriminasi dinilai lebih positif dan lebih baik dari kenyataan yang ada. Fajardo (1985) melakukan eksperimen yang meminta guru-guru berkulit putih untuk menilai kualitas sebuah karangan (essay) yang kualitasnya dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: buruk, rata-rata, dan baik. Karangan-karangan tersebut kemudian diberi atribut kedua yaitu kepemilikan berdasarkan ras, atau dengan kata lain, guru-guru itu mengetahui bahwa karangan-karangan tersebut dibuat oleh orang kulit hitam atau kulit putih. Temuan memperlihatkan bahwa guru-guru cenderung memberikan nilai yang baik untuk karangan-karangan yang dibuat oleh murid berkulit hitam dibandingkan dengan karangan murid berkulit putih. Hal ini terutama tampak pada karangan-karangan yang dirancang hanya berkualitas rata-rata. Dampak dari perlakuan diskriminatif seperti ini adalah bahwa dalam jangka pendek, hal ini menyuburkan kepercayaan diri murid-murid dari kelompok minoritas. Namun, dalam jangka panjang, beberapa murid akan mengembangkan pendapat yang tidak realistis mengenai kemampuan mereka dan menyalahartikan prospek-prospek masa depannya sehingga menjatuhkan harga diri mereka ketika menemukan bahwa harapan mereka tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

3. ANCAMAN STEREOTIPIIndividu yang menjadi sasaran stereotipi sedikit banyak memahami atribut atau label yang dikenakan kepadanya dan atau kelompoknya terkait dengan stigma sosial yang ada. Seringkali hal ini menyebabkan korban menjadi cemas dan sangat hati-hati ketika berhadapan dengan sebuah tugas yang terkait erat dengan stigma sosial yang melekat padanya. Mereka paham bahwa orang lain akan memperlakukan mereka sesuai stereotipi mengenai mereka, dan takut perilaku mereka pada tugas-tugas terkait akan mencerminkan dan mengkonfirmasi stereotipi yang ada tersebut. Hal ini dinamakan ancaman stereotipi (stereotipe). Masalahnya adalah hal ini meningkatkan kecemasan dan selanjutnya menghambat kinerja mereka.

Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Steele dan Aronson (1995) adalah melibatkan siswa berkulit putih dan berkulit hitam dalam sebuah test dan memastikan semua partisipan bahwa test itu sangat penting karena bertujuan untuk mendiagnosis kemampuan intelektual (pada kelompok eksperimen), dan sebaliknya bahwa test hanyalah merupakan latihan biasa (pada kelompok kontrol). Bentuk test itu adalah melengkapi kata-kata yang tidak utuh dan tidak jelas seperti __CE atau ___ERIOR. Hasil test memperlihatkan bahwa partisipan kulit hitam banyak mengisi dengan kata RACE dan INFERIOR pada kelompok eksperimen. Hal ini mencerminkan kecemasan akibat dari ancaman stereotipi.

Dewasa ini ancaman stereotipi banyak ditemukan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Sebagai contoh, wanita dan matematika, status sosial ekonomi dan inteligensi, manula dengan ingatan, wanita dan keahlian negosiasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk beradaptasi dengan ancaman stereotipi adalah dengan domain disidentification, yaitu mengurangi derajat identitas kita yang terkait dengan performa yang dapat memancing umpan balik negatif.

4. PERASAAN GAGAL yang MENDARAH - DAGINGIndividu yang menjadi korban prasangka biasanya tergolong pada kelompok yang tidak mempunyai atau dikondisikan tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan oleh mereka agar bisa sukses dan hidup sejahtera, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang layak. Perlakuan diskriminatif ini, membuat kerugian yang jelas dan nyata bagi kehidupan seseorang yang terkait dengan pemenuhan kehidupan dengan standar baku yang dianggap layak oleh masyarakat. Perasaan gagal ini diinternalisasikan oleh korban prasangka, sehingga mereka menjadi tidak peduli atau apatis dan tidak memiliki motivasi. Dengan kata lain, mereka menjadi tidak mempunyai kemauan lagi untuk berusaha karena kemungkinan untuk bisa berhasil dianggap sangat kecil. Terdapat berbagai temuan yang memperlihatkan bahwa wanita mempersepsikan kegagalan dan kurang motivasi ini lebih tinggi dibandingkan pria.

6. KETIDAKJELASAN ATRIBUSIProses atribusi dapat mempengaruhi individu yang dikenai stigma dengan cara-cara yang tidak biasa melalui ambiguitas (ketidakjelasan) dari atribusi itu sendiri. Individu yang terkena stigma menjadi lebih sensitif terhadap penyebab perlakuan orang lain terhadap mereka (Grocker & Major, 1989). Sebagai contoh, ketika terjadi keterlambatan datangnya pesanan makanan pada sebuah restoran, individu yang bersangkutan bertanya-tanya: apakah pelayan itu terlambat memberikan makanan karena saya berkulit hitam atau karena ada pelangan lain yang berteriak lebih keras? Bahkan ketika pesanan makanan individu datang lebih dahulu dari pesanan makanan pelanggan lain, orang yang dikenai stigma bertanya-tanya apakah itu akibat dari kulitnya berwarna hitam dan sang pelayan sebenarnya seorang rasis yang berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya? Pertanyaan-pertanyaan lain seperti apakah saya dipromosikan hanya karena sekadar kepatuhan atasan pada kebijakan ketenagakerjaan ataukah karena memang kemampuan saya yang tinggi?.

Ambiguitas ini dapat mengarahkan seseorang pada ketidakpercayaan dan kecurigaan dalam hubungan antar-pribadi. Ambiguitas atribusi ini juga mempengaruhi harga diri seorang individu. Individu yang terkena stigma cenderung seringkali gagal melihat hal-hal positif sebagai sesuatu yang berasal dari kerja keras mereka dan dengan demikian tidak menganggap hal itu sebagi pujian atas diri mereka serta hasil jerih payahnya sendiri. Mereka cenderung menganggap hasil-hasil postitif itu sekadar merupakan akibat dari kebijakan, atau pun diskriminasi terbalik.

7. PEMENUHAN HARAPAN DIRI (Self - Fulfilling Prophecies)

Sikap prasangka individu baik yang tampak maupun yang tidak tampak menyebabkan individu yang bersangkutan berperilaku diskriminatif dan seiring dengan berlalunya waktu akan makin menumpuk pada diri individu korban prasangka, sehingga menimbulkan berbagai kerugian. Keyakinan yang bersifat stereotipi (orang berkulit hitam hidup dilingkungan kumuh, tidak sopan dan kotor) menentukan realitas materi sasaran prasangka dan membatasi ruang gerak korban prasangka (orang berkulit putih tidak mau duduk satu meja dengan mereka; memperlakukan orang berkulit hitam sebagai warga negara kelas tiga dan karena itu menetapkan standar yang tidak layak; tidak mau berbagi lingkungan dengan orang berkulit hitam dan mempraktikkan segregasi terhadap kawasan perumahanBronx, Pecinan, dan lain sebagainya) sehingga individu yang dikenai prasangka mau tidak mau akan bersikap dan memberikan respons sedemikian rupa (tidak bersusah payah menjaga kesopanan terhadap orang-orang yang menolak duduk satu meja dengan mereka) yang secara keseluruhan mengonfirmasi keyakinan stereotipi individu-individu yang memegang prasangka.

Untuk membuktikan hal ini, Eden (1990), membuat eksperimen dengan cara mengkondisikan pemimpin pleton tentara Israel dengan harapan yang tinggi. Hasil eksperimen memperlihatkan bahwa kinerja pemimpin-pemimpin pleton yang mempunyai ekspektasi tinggi mengalahkan kinerja pemimpin yang tidak memiliki ekspektasi sama sekali.

Studi lain mengenai self-fulfilling prophecy dilakukan oleh Rosenthal dan Jacobson yang mengukur IQ siswa-siswa pada akhir tahun pertama mereka dan pada permulaan dari tahun kedua. Sebelum tes IQ dimulai mereka memberitahukan para guru dari siswa mereka bahwa tes ini merupakan peramal yang dapat diandalkan terhadap anak-anak yang akan maju dengan pesat (memperlihatkan kemajuan perkembangan intelektual yang pesat) di kemudian hari. Kepada para guru ini kemudian disampaikan sejumlah nama siswa yang akan maju itu (20 siswa) yang sebenarnya hanya merupakan rekayasa peneliti (ke-20 nama yang diberikan itu dipilih secara acak dan tidak menunjukkan perbedaan IQ yang bermakna dengan siswa lain yang tidak terpilih). Dengan cepat para guru ini menilai dan memprediksi bahwa siswa lain yang tidak terpilih sebagai siswa yang kurang mempunyai motivasi, kurang tertarik terhadap kegiatan akademis, kurang bahagia dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa para guru telah mengembangkan semacam harapan stereotipi mengenai kedua kelompok siswa peserta penelitian. Hasil dari penelitian ini selanjutnya menunjukkan bahwa pada tahun kedua, siswa yang dikenai label lebih tinggi menunjukkan perkembangan IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak dikenai label.

Melalui penelitian-penelitian yang ada, dibuktikan bahwa fenomena Self-fulfilling prophecy ini nyata dan dibuktikan melalui one-on-one influence (dyadic interaction). Namun dalam keseharian, individu biasanya memperlihatkan persepsi ekspektasi semacam ini pada konteks kepribadian dibandingkan konteks sosial. Satu hal yang patut diwaspadai adalah, dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai ancaman stereotipi, fenomen self-fulfilling prophecy ini dapat membahayakan dengan cara membuat realitas materi yang tidak tepat yang dibawa oleh ancaman stereotipi menjadi kenyataan.

8. KEKERASAN dan PEMUSNAHAN (Genocide)

Pembahasan dampak prasangka sejauh ini menekankan pada bentuk tidak langsung dan tersembunyi dari prasangka beserta dampaknya. Hal ini nyata terlihat pada negara-negara Barat yang umumnya memegang demokrasi dan mempunyai undang-undang anti-diskriminasi. Penting untuk mengetahui dan tidak kehilangan perspektif pada perilaku prasangka yang ekstrim. Sikap prasangka individu atau kelompok cenderung mempunyai satu tema umum, yaitu sasaran prasangka dipandang sebagai individu yang kotor, bodoh, tidak sensitif, repulsif, agresif, dan secara psikologis tidak stabil. (Brigham, 1971; Katz & Braly, 1933). Ini berarti bahwa pada diri individu ada sebuah konstelasi yang menilai individu lain sebagai manusia yang tidak berharga tidak dibutuhkan atau tidak pantas untuk diperlakukan secara wajar, berharga, dan terhormat. Bersama dengan rasa takut dan benci, hal ini merupakan campuran yang berbahaya dan mengkerdilkan orang lain serta mengijinkan kekerasan individual, agresi massal atau bahkan pemusnahan secara sistemik terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Dengan tidak adanya dukungan institusi atau perundangan, maka pengkerdilan individu atau kelompok lain (dehumanisasi) ini menjadi penggerak terjadinya berbagai tindakan kekerasan individual.

Sebagai contoh, Klu Klux Klan di Amerika Serikat yang dikenal sangat kejam dalam melakukan kekerasan terhadap orang-orang kulit hitam. Di Australia terdapat serangan-serangan yang terisolasi terhadap imigran Asia tenggara.. Di Jerman, baru-baru ini, terdapat semacam serangan yang mengambil bentuk seperti Nazi terhadap imigran Turki.

Ketika prasangka secara moral diterima dan secara hukum didorong dalam sebuah masyarakat, tindakan sistematis terhadap diskriminasi massal dapat muncul. Ini mengambil bentuk dalam sistem apartheid, di mana di dalamnya kelompok sasaran diskriminasi diisolasi dari masyarakat umum. Kondisi Afrika Selatan beberapa tahun yang lalu merupakan contoh yang tepat mengenai diskriminasi, namun sistem segregasi yang serupa dipraktikkan dalam konteks pendidikan di Amerika sampai pertengahan 1950-an.

Bentuk paling ekstrim dari prasangka yang dilegitimasi adalah pembantaian etnis (genocide) di mana kelompok sasaran prasangka secara sistematis dan besar-besaran dimusnahkan. Proses dehumanisasi ini membuat tindakan kekerasan dan degradasi terhadap kelompok lain menjadi sesuatu yang dianggap sah dan wajar.

Contoh yang paling dikenal dan mengerikan adalah pada saat partai Nazi di Jerman melakukan pembantaian sistemik terhadap orang-orang Gypsi, Protestan dan Yahudi. Selain itu terdapat juga pembantaian terhadap bangsa Armenia yang dilakukan oleh orang-orang Turki, ladang pembantaian oleh Pol Pot di Kampuchea, 1970; Pembantaian suku kurdi oleh Saddam Husein di bagian utara Irak dan pemusnahan Hutu dan Tutsi di Rwanda.

Genocide juga mempunyai bentuk lain yang dipraktekan secara tidak langsung. Pada bentuk ini, diciptakan sebuah kondisi yang menyebabkan kelompok sasaran tidak mendapatkan keuntungan materi atau dikondisikan untuk mengalami kerugian secara materiil sehingga kelompok sasaran dengan efektif menghancurkan diri sendiri melalui sakit penyakit, bunuh diri, dan pembunuhan melalui alkohol, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan keputusasaan akut. Bentuk lain dari kematian etnis adalah ketika sebuah kelompok diasingkan dari sejarah formal mereka sendiri. Pilger (1989) mencatat bahwa hal ini terjadi pada aborigin di Australia.

Pada KB 3 ini dikemukakan delapan delapan dampak prasangka. Coba diskusikan dari delapan dampak prasangka ini, menurut Anda mana yang paling ringan dan mana yang paling berat dampaknya terhadap kehidupan manusia.Petunjuk Jawaban Latihan

Pelajari dengan cermat kedelapan dampak prasangka dan bandingkan satu sama lain buatlah bobot atas dasar banyaknya orang yang dirugikan dan tingkat kerugian yang terjadi (seriousness).

Dampak prasangka terhadap individu atau kelompok sangat beragam dari mulai yang ringan sampai yang berat. Ada delapan dampak dari sikap prasangka, yakni stigma social, harga-diri negative dan tidak bermakna, ancaman stereotipi, internalisasi perasaan gagal, ketidak jelasan atribusi, dan pemenuhan harapan diri, serta genocide.

1. Orang yang berbadan gemuk sering dipanggil si gendut oleh teman-temannya. Ini merupakan bentuk dari dampak prasangka yang disebut :

A. stereotipi sosial

B. atribusi sosial

C. stigma sosial

D. stigma tersembunyi.

2. Individu atau kelompok yang dikenai stigma sosial umumnya memiliki status sosial-ekonomi :

A. rendah

B. setara

C. menengah

D. sebanding

3. Orang yang merasa tidak nyaman dalam pergaulan karena akan diketahui stigma sosial yang melekat pada dirinya, berarti ia mengalami :

A. atribusi sosialB. stereotipi sosial

C. diskriminasi sosial

D. ancaman stereotipi

4. Pemenuhan harapan diri yang dimiliki seseorang biasanya diikuti oleh tindakan :

A. kekerasan

B. tidak sopan

C. diskriminatif

D. mengabaikan moral

5. Di antara dampak prasangka berikut ini, mana yang dampaknya nyata atau langsung :

A. stereotype

B. genocide

C. conceal

D. internalization

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.Kegiatan Belajar 4MENGATASI PRASANGKASeperti sudah dibahas sebelumnya, secara singkat dipahami bahwa prasangka adalah sikap, kepercayaan yang biasanya merupakan pandangan negatif terhadap sekelompok orang yang mempunyai karakteristik tertentu (out-group) oleh kelompok lain (in-group).

Pada dasarnya, berbicara mengenai mengurangi prasangka berarti berbicara mengenai mengurangi kompetisi antar kelompok-kelompok yang berseteru. Hal ini dapat dicapai jika kebutuhan-kebutuhan tiap kelompok terpuaskan dengan baik. Namun, tampaknya berbagai solusi mengenai prasangka masih sangat jauh dari selesai jika dibahas dalam kerangka pemuasan kebutuhan masing-masing kelompok. Hal ini terutama disebabkan oleh:

a. Konflik kepentingan antar kelompok sudah pasti tak terhindarkan.

b. Usaha untuk menolong atau memperhatikan suatu kelompok dengan risiko mengabaikan kelompok lain akan meningkatkan kecemburuan dan pandangan negatif kelompok lain

c. Berbicara mengenai pemuasan kebutuhan, akhirnya, tidak cukup sumber daya yang tersedia untuk memuaskan setiap kelompok

Mengingat beberapa alasan itu, pakar-pakar psikolog beralih pada teknik-teknik lain, yaitu:1. SOSIALISASITerdapat indikasi bahwa prasangka sepertinya dipelajari pada usia-usia awal dalam kehidupan dan pandangan itu menjadi stabil atau mapan seiring perkembangan usia.

Melalui penelitiannya, Firebaugh dan Davis (1988) memperlihatkan bahwa prasangka secara spontan berkurang. Perubahan besar yang terjadi ini karena orang-orang yang lebih muda tumbuh dengan prasangka yang lebih sedikit dibandingkan dengan generasi sebelumnya, sehingga perlahan-lahan prasangka memudar. Pendidikan juga berkaitan dengan prasangka. Semakin terdidik seseorang, terutama ketika ia mengenyam pendidikan tinggi, semakin kecil kemungkinan prasangka.

Hal ini memperlihatkan bahwa di satu sisi prasangka ditularkan dari generasi ke generasi, dan di sisi lain menimbulkan pertanyaan sejauhmana prasangka dapat dicegah melalui pendidikan. Sebab, bahwa pendidikan mempunyai efek mengurangi prasangka belumlah dapat ditemukan jawabannya. Namun, ada indikasi bahwa prasangka dapat dikurangi dengan cara melakukan pengajaran secara langsung (direct teachings).

Rudman et. al (2001) memperlihatkan bahwa siswa yang mengikuti seminar tentang prasangka dan konflik menunjukkan pengurangan prasangka dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti seminar itu. Beberapa alasan mengenai terjadinya pengurangan prasangka ini adalah karena siswa yang menjadi sasaran prasangka berubah dan sudah tidak cocok dengan stereotipi yang ada. Tidak hanya itu, tidak jarang norma dari toleransi yang dipelajari oleh seseorang bertolak belakang dengan stereotipi yang mereka dapatkan pada usia-usia awal.

Temuan temuan lain memperlihatkan bahwa ada beberapa orang yang dapat mengendalikan prasangka mereka secara sadar dan sukarela serta mengikuti pelatihan secara langsung dan ekstensif dalam menegasikan stereotipi terbukti efektif dalam mengendalikan prasangka. Namun tidak hanya itu, beberapa temuan juga memperlihatkan bahwa tidak jarang konfrontasi secara langsung mengenai prasangka yang dimiliki subjek malah mengakibatkan efek negatif, mereka menjadi terganggu dan cenderung meningkatkan antagonisme mereka terhadap sasaran prasangka.

2. KONTAK ANTARKELOMPOKPandangan ini berawal mula dari pemikiran bahwa ketidaktahuan atau ketidaksadaran mengakibatkan stereotipi antar kelompok. Tidak jarang ketidaktahuan ini diakibatkan oleh sedikit atau minimnya interaksi atau kontak antarkelompok. Sebagai contoh, sejumlah kompleks tempat tinggal yang tersegegrasi (pecinan, ghetto, kawasan negro, dan lain sebagainya) berkontribusi menciptakan minimnya kontak antar-ras (interracial contact) yang menyebabkan minimnya pengetahuan satu kelompok mengenai kelompok lain yang pada akhirnya merupakan lahan subur bagi berkembangnya stereotipi. Jika ini masalahnya, maka seharusnya, dengan mengusahakan lebih banyak kontak atau interaksi antarkelompok dapat menciptakan persepsi yang akurat terhadap kelompok lain dan dengan sendirinya mereduksi prasangka.

Penelitian klasik memperlihatkan hal ini dan mengkonfirmasi pandangan ini. Beberapa survey di Eropa juga menunjukkan bahwa subjek yang mempunyai lebih banyak teman dari golongan minoritas memiliki prasangka yang lebih rendah.

Satu masalah dari solusi ini adalah seringkali orang yang sudah mempunyai prasangka menghindari kontak dan dengan sendirinya tidak memperoleh manfaat dari interaksi tersebut. Juga, sedikitnya pengalaman positif yang dipunyai seseorang ketika bergaul dengan out-group akan mengakibatkan harapan-harapan negatif pada interaksi selanjutnya dan menjadi kecemasan antar- ras (interracial anxiety) (Plant & Devine 2003).

Tapi seandainya terjadi interaksi, beberapa ahli melihat bahwa yang paling penting adalah tipe interaksi tertentu dan bukan sekadar interaksi saja. Gordon Allport (1954) melalui teorinya yang disebut contact theory mengidentifikasikan empat kondisi penting yang dapat membantu mengurangi prasangka:a. Kerjasama saling ketergantunganJenis interaksi efektif yang dapat mengurangi prasangka adalah interaksi yang mempunyai tujuan bersama. Dalam hubungan ini ada dua butir penting yang berperan:

Pertama, interaksi setara, anggota dari kedua kelompok yang berinteraksi harus setara untuk mencapai sebuah tujuan yang bergantung pada usaha dari masing-masing kelompok daripada berkompetisi antar kelompok memperebutkan sumber daya.

Kedua, berbagi hasil, keberhasilan merupakan sesuatu yang dibagi dan menjadi milik bersama.

b. Kontak antarpribadi dengan status yang setara

Individu-individu antarkelompok yang berinteraksi harus mempunyai kesamaan status. Jika terjadi diskrepansi yang tajam antar status individu, maka stereotipi pada individu sulit dihilangkan.c. Kedekatan

Interaksi antar kelompok akan berhasil ketika terdapat potensi hubungan dekat antarkelompok. Kedekatan itu harus terbentuk melalui frekuensi, durasi waktu, dan kedekatan yang cukup untuk menampakkan perkembangan hubungan.d. Dukungan institusi

Untuk menjamin interaksi, dibutuhkan dukungan institusi yang jelas dan terbuka. Sebagai contoh, jika seorang manajer cabang memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap karyawan wanita, sementara di sisi lain Direktur Bank memerintahkan untuk menerima wanita, maka tetap saja sexism (salah satu bentuk prasangka) akan terjadi.

Selain hal-hal di atas, beberapa hal penting yang perlu ditambahkan adalah melalui contoh usaha ahli-ahli sosial dalam mengintervensi prasangka pada sekolah-sekolah yang tersegregasi. Mereka mengusahakan sebuah kegiatan kelompok dengan metode Jigzaw. Dengan metode ini anak-anak dikumpulkan dalam sebuah kelompok kecil yang berasal dari berbagai etnis untuk membahas sebuah topik tertentu. Setiap individu diberikan informasi yang berbeda dan informasi-informasi itu dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Hal itu menyebabkan ketergantungan kelompok dan penyelesaian tugas terhadap setiap individu yang memegang kunci informasi yang berbeda-beda. Dengan mengusahakan interaksi seperti ini, dan pemahaman bahwa setiap individu harus bekerjasama dan bukan berkompetisi untuk menyelesaikan tugas, diharapkan prasangka dapat dikurangi.

3. KATEGORISASI ULANGSalah satu pendekatan utama lain yang memusatkan pada basis kognitif dari stereotipi adalah melakukan kategorisasi ulang (recategorization). Walaupun sudah terdapat kontak atau interaksi antar in-group dan out-group yang bertikai dan ketika out-group ditemukan tidak lagi cocok dengan stereotipi yang dimiliki in-group, tetap saja, kecenderungan terhadap pengkategorisasian dan stereotipi masih kuat.

Kategorisasi ulang adalah sebuah strategi yang melibatkan anggota-anggota in-group dan out-group dikategori-ulang pada sebuah identitas kelompok yang lebih besar dan inklusif. Contoh yang dapat diambil adalah ketika pemain sepak bola dari kedua kelompok yang bermain melakukan doa bersama setelah pertandingan. Ketika berdoa, identitas kelompok-kelompok dilebur dan menyatu dalam identitas kelompok baru yang lebih besar seperti umat Islam, Kristen atau umat beragama dan lain sebagainya. Kelompok baru ini disebut superordinate group (Gaertner et al., 1989).

Temuan Dovidio, Gaertner, Isen, dan Lawrence (1995) menunjukkan gejala superordinate group. Dalam eksperimen mereka, digunakan dua kelompok yang menunjukkan perbedaan nyata, yakni mengenakan pakaian laboratorium pada setengah partisipan dan membiarkan setengah lainnya mengenakan pakaiannya masing-masing. In-group (kelompok yang memakai pakaian laboratorium) merasakan bahwa mereka terpisah dan menunjukkan evaluasi negatif terhadap out-group (kelompok yang berpakaian biasa). Selanjutnya dari setengah partisipan dari setiap kelompok dimasukkan ke dalam daftar dan dibagikan permen/gula-gula (sebagai petanda superordinate group). Temuan ini memperlihatkan bahwa in-group yang diberikan permen tersebut melihat teman-teman out-group-nya lebih positif.

Pengkategorisasian ulang juga dapat mengurangi prasangka dengan membuat kategori yang menjembatani kedua kelompok yang bermusuhan. Sebagai contoh, jika anggota pengajian pesantren Muhammadiyah merupakan anggota kontingan olimpiade fisika yang sama yang diikuti oleh anggota pesantren Nahdlatul Ulama, maka batasan antara kedua kelompok (Muhammadiyah dan NU) tidak terlalu kelihatan dan anggota kedua kelompok mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk jatuh dalam efek in-group favoritism.

Dunia dewasa ini banyak berkonsentrasi pada isu seputar pertikaian kelompok dan pembentukan identitas dalam skala nasional. Hal ini terlihat terutama melalui konflik Israel-Palestina, pembentukan kawasan Uni Eropa, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat sporadis pada negara-negara berkembang, dan lain sebagainya. Hal ini mensinyalir isu penting dan mendasar berkenaan dengan usaha membangun dan mempertahankan keberlangsungan sebuah negara.

Salah satu isu penting dalam usaha membangun sebuah negara adalah tensi antara harapan sub-sub kelompok terhadap pengakuan dan kemandirian pada satu sisi dihadapkan pada integrasi dan loyalitas nasional di sisi lain. Antagonisme antar kelompok tampaknya merupakan aspek fundamental dari kondisi manusia. Namun, dalam kasus negara demokrasi modern, sangat penting untuk memberi perhatian pada toleransi dan harmoni antar kelompok yang mengijinkan kemanusiaan untuk dapat berbagi dan bekerjasama dengan baik.

Ada fenomen yang menarik dalam hubungan antar siswa di Jakarta, yakni tawuran antar pelajar yang sudah berlangsung puluhan tahun, dengan akibat tidak saja kerusakan fasilitas kota tetapi juga korban baik yang luka maupun meninggal dunia di kalangan pelajar. Untuk mengatasi tawuran ini, salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah mengurangi atau menghilangkan prasangka di antara pelajar yang terlibat tawuran, cobalah diskusikan cara mengatasi prasangka mana yang akan Anda terapkan untuk mengatasi tawuran ini.Petunjuk Jawaban Latihan

Kuasailah ketiga cara mengatasi prasangka kemudian bandingkanlah ketiganya, mana cara yang paling tepat untuk mengatasi prasangka. Mungkinkah menggunakan ketiga cara sekaligus ?

Mengatasi prasangka bukanlah hal yang mudah karena di dalamnya selalu ada kepentingan kelompok, sulitnya memenuhi harapan masing-masing kelompok yang bertikai, dan terjadinya risiko yang menguntungkan salah satu kelompok. Ada tiga cara untuk menangani prasangka, yakni sosialisasi, kontak antar kelompok, dan melakukan kategorisasi ulang atau baru.

1. Jalur pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengurangi prasangka merupakan upaya :A. tidak langsung

B. kontak langsung

C. pendidikan berbasis siswa

D. sosialisasi.

2. Kelemahan kontak antar kelompok dalam mengatasi prasangka adalah bahwa kontak antar kelompok :A. bersifat sementara

B. sulit diciptakan kesetaraan status di antara kelompok.

C. sulit mempertemukan pemimpin kelompok yang bertikai.

D. sulit diukur kriteria keberhasilannya.

3. Yang dimaksud dengan superordinate-group dalam upaya mengatasi prasangka adalah : A. kelompok yang anggotanya toleran

B. kelompok yang anggotanya mengutamakan keunggulan.

C. Kelompok baru yang anggotanya berasal dari dua kelompok yang bertikai.

D. Kelompok yang anggotanya menuntut pembaharuan.

4. Inti dari metode jigzaw dalam mengatasi prasangka adalah :A. membaurkah dua kelompok yang bertikai

B. meningkatkan frekuensi pertemuan dua kelompok yang bertikai.

C. mencari akar masalah prasangka

D. metode pembauran yang memanfaatkan permainan yang membuat saling ketergantungan antar anggota.5. Yang dimaksud dengan in-group favouritism adalah :

A. kelompok favorit yang banyak pegnagumnya.

B. kelompok yang merasa kelompoknya sendirilah yang paling baik dan benar.

C. kelompok yang dijadikan rujukan oleh kelompok lain.

D. Kelompok yang anggotanya tidak berprasangka.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1

1)

2)

3)

4)

5)Tes Formatif 21)

2)

3)

4)

5)Tes Formatif 31)

2)

3)

4)

5)

Tes Formatif 41)

2)

3)

4)

5)

Daftar Pustaka

1. Allport, G.W. 1958. The Nature of Prejudice. New York :A Doubleday Anchor Books.

2. Deaux, k., & Wrightsman, L.S. 1984. Social psychologyin the 80 S .4th edition. California : Books/cole Publishing company.

3. Myers, D.G. 1999. Social psychology. 6th edition. Boston :

McGraw-Hill College.

PENDAHULUAN

LATIHAN

Setelah membaca materi kegiatan belajar 1 di atas dengan cermat, untuk memantapkan pemahaman anda, cobalah kerjakan latihan berikut. Anda dapat mengerjakannya berama-sama dengan teman-teman kelompok belajar sehingga Anda dapat saling bertukar pendapat.

Coba diskusikan dengan teman-teman Anda persamaan dan perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Buatlah daftar persamaan dan perbedaan tersebut.

Di sekitar Anda tentu banyak fakta, atau konsep yang secara turun-temurun dipercaya kebenarannya. Pilihlah satu saja, kemudian cobalah kaji, apakah fakta atau konsep tersebut merupakan hasil suatu kajian ilmiah atau pemikiran non-ilmah.

Petunjuk Jawaban Latihan

Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat pengetahuan.

Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat ilmu pengetahuan

RANGKUMAN

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Tingkat penguasaan = EMBED Equation.DSMT4

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

RANGKUMAN

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Tingkat penguasaan = EMBED Equation.DSMT4

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

RANGKUMAN

TES FORMATIF 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Tingkat penguasaan = EMBED Equation.DSMT4

Pendekatan

sosiokultural

Pendekatan Sejarah

Pendekatan

situasional

Pendekatan kepribadian dan psiko-dinamik

Pendekatan

Fenomeno-logis

Pendekatan

Stimulus objek

Objek prasangka

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

RANGKUMAN

TES FORMATIF 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Tingkat penguasaan = EMBED Equation.DSMT4

_1203939902.unknown