alinahrowi4.files.wordpress.com  · Web viewuniversitas islam negeri. maulana malik ibrahim...

43
WALI SUFI, KARAMAH WALI, TAWASUL dan TABARRUK MAKALAH Dosen Pengampu: Ali Kadarisman, M.HI. Oleh: KELOMPOK IX HBS A Ali Nahrowi : 13220214 H. M. Jaini : 13220220 Novi Yuniasari : 13220202 Nurul Islami : 13220068

Transcript of alinahrowi4.files.wordpress.com  · Web viewuniversitas islam negeri. maulana malik ibrahim...

WALI SUFI, KARAMAH WALI,

TAWASUL dan TABARRUK

MAKALAH

Dosen Pengampu:

Ali Kadarisman, M.HI.

Oleh:

KELOMPOK IX

HBS A

Ali Nahrowi : 13220214

H. M. Jaini : 13220220

Novi Yuniasari : 13220202

Nurul Islami : 13220068

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2014

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بسم الله الر

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-

Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Wali Sufi, Karamah

Wali, Tawasul dan Tabarruk

Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf,

dengan dosen pembimbing Bapak Ali Kadarisman, M.HI

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah

ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran

yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan

bermanfaat untuk pengembanngan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan

bagi kita semua.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Malang, 11 November 2014

Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan...........................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................3

A. Wali Sufi.......................................................................................................3

B. Karamah Wali.............................................................................................10

C. Tawasul dan Tabarruk.................................................................................15

PENUTUP..............................................................................................................23

A. Kesimpulan.................................................................................................23

B. Saran............................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

ii

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa

mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah.

Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah

menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin.

Lantas dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap

orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai

permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat

lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-

ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah

sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.

Sekarang, masyarakat islam banyak sekali yang tidak tahu tentang

Tawassul dan Wasilah. Secara umumnya tawassul beerti mengambil sesuatu

sebab yang dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan

perantara untuk mendapat keredhaannya. Tawassul biasanya berkait dengan

doa, dimana seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara

supaya doanya dikabulkan oleh Allah.

Tabarruk adalah diantara amaliyah yang berlaku dalam kalangan ummat

islam khususnya di Indonesia . Dalam kalangan santri tradisi tersebut biasanya

berupa menghabiskan makanan atau minuman dari sisa para kiyai, ada juga

yang bertabarruk dengan baju, sarung, tasbih atau apapun peninggalan dari

orang-orang sholih.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah

yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan Wali Sufi?

1

2. Apa sajakah macam-macam Wali Sufi?

3. Bagaimana urutan Para Wali Sufi?

4. Apa sajakah dari Karamah Wali?

5. Apa yang dimaksud dengan Tawasul?

6. Apa sajakah macam-macam dari Tawasul?

7. Apa yang dimaksud dengan Tabarruk?

8. Apa sajakah macam-macam dari Tabarruk?

C. Tujuan

Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

kelompok mata kuliah Tasawuf yang diampu oleh Bapak Ali Kadarisman,

M.HI. Selain itu, berikut beberapa tujuan penulisan makalah ini:

1. Untuk mengetahui definisi Wali Sufi.

2. Untuk mengetahui macam-macam Wali Sufi.

3. Untuk mengetahui urutan Para Wali Sufi.

4. Untuk mengetahui Karamah Wali.

5. Untuk mengetahui definisi Tawasul.

6. Untuk mengetahui macam-macam dari Tawasul.

7. Untuk mengetahui definisi Tabarruk.

8. Untuk mengetahui macam-macam dari Tabarruk.

2

PEMBAHASAN

A. Wali Sufi

1. Pengetian

Secara etimologis kosa kata “wali”, jamaknya “auliya.” Berasal dari

bahasa Arab yang merupakan siangkatan waliyullah atau auliya’ullah, yang

maknanya orang yang mencintai dan dicintai Allah. Karenanya konsep wali

sering diterjemahkan dengan “kesucian” yang melekat pada seseorang yang

diyakini sebagai sahabat Allah (rafiqy al-a’la). Dalam konsep sufi, wali

diyakini sebagai individu yang memiliki kekuatan supranatural atau berkat

Illahiah (barakah) yang dianugerahkan oleh-Nya. Sehingga ia juga mampu

memiliki karamah (kemuliaan khusus dari Allah yang sering dipahami mampu

melakukan keajaiban-keajaiban (karamah).1

Wali Allah secara umum diartikan sebagai Kekasih Allah. Jamaknya

adalah auliya’ Allah. Jika kata “waliy” disandangkan untuk Allah terhadap

orang beriman, maka artinya Allah pelindung orang beriman, “Allah pelindung

orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan

(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-

pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada

kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di

dalam-nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 257)

Istilah wali bukanlah istilah fiqh atau syari’at bi al-dzawahir (ajaran

keagamaan yang bersifat lahiriah). Wali merupakan istilah sufi dan kerohanian.

Maknanya adalah kekasih yang dicintai Allah. Persoalan “cinta” juga bukan

masalah fiqh, tetapi masalah spiritual atau rohani. Cinta dan “kekasih”

bukanlah memakai alat ukur lahiriah namun dengan tolok ukur nalar hati atau

rasa (dzauq). Ia bukan bunga tetapi nilai keindahan dan pesona dari bunga. Ini

sejalan dengan pengertian walayah dari akar kata yang sama dengan wali yang

bermakna kewalian, atau kecintaan, kekasih. Sehingga dalam hal ini konsep

1Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar (Cet. II; Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 182.

3

“maula” menjadi timbal-balik, yakin “yang dicintai” sekaligus “yang

mencintai”.2

Karena sebenarnya “wali” adalah orang yang mencintai Allah dan

dicintai Allah, maka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mengetahui atau

memasuki dunia kewalian, tentu harus memperhatikan kalimat kunci, “Allah

yuhibbu” (Allah mencintainya) yang disebutkan sebanyak 18 kali dalam al-

Qur’an. Dan akan kita temukan bahwa yang dicintai Allah adalah mereka

yang:3

Pertama, al-muhsinin. Suka berbuat baik (Qs. Al-Baqarah/2: 95; Ali

Imran/3: 137; al-Maidah/5: 13, 93). Dalam seluruh peribadatannya, ia selalu

mampu menghadirkan Allah sebagai orientasi serta mampu merasakan

kehadiran-Nya. Sementara itu, Allah hanyalah mencintai orang yang

menghadirkan-Nya dalam semua gerak hidup dan ibadahnya. Pada konteks

kemanusiaan, ia akan selalu bersikap longgar, pemaaf, bahkan terhadap orang

yang telah berbuat salah.

Kedua, al-muqshitin. Berlaku adil dan mampu menjaga keseimbangan

atau harmoni dalam segala hal (Qs. Al-Maidah/5: 42; Al-Hujurat/49: 9; al-

Mumtahanah/60: 8). Ia selalu mampu menjaga posisinya sebagai ‘abidullah

(hamba Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Tuhan) yang mewujudkan

rahmatan lil’alamin di dunia ini.

Ketiga, al-shabirin. Bersabar (Qs. Ali Imran/3: 146). Ia memiliki daya

tahan yang tinggi terhadap resistensi dunia. Ibarat ikan, ia mampu menyelam di

air. Segala kehidupannya memang tergantung kepada air. Tidak seperti katak

yang tidak mampu hidup kecuali dengan darat dan air. Ia hidup di darat, tetapi

untuk eksis sesekali harus berada di air. Sabar adalah daya tahan untuk mampu

dibakar dalam kehidupan dunia sebagai penjaranya. Ia harus mampu menjaga

badan fisik sebagai penjara rohaninya. Pada saat yang sama ia juga harus

mampu mengembangkan daya rohaninya menjelajah menuju Allah.

2Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 184.3Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 188.

4

Konsekuensinya, ia harus memahami bahwa kehidupan dunia meupakan

kematian. Di mana ia harus mencari kehidupan abadi sebelum kematian fisik.

Keempat, al-mutawakkilin. Ber-tawakkal (Qs. Ali Imran/3: 159).

Mengikuti kehidupan dzahir-nya, ia memiliki keinginan. Namun segala

keinginan (‘azam) akan selalu disertai dengan tingkat kepasrahan sejak

keinginan itu muncul sampai mendatangkan hasil. Tawakkal merupakan sikap

kepasrahan yang aktif, produktif, dan kreatif. Dalam tawakkal terdapat dimensi

al-makhluq yang berkembang mendekati persifatan al-Khaliq.

Kelima, al-tawwabin. Bertaubat (Qs. Al-Baqarah/2: 222). Al-tawwwabin

bermakna manusia yang selalu kembali kepada Allah. Yang dicintai Allah

bukan hanya orang yang tidak pernah berbuat keliru atau salah. Tetapi mereka

yang setiap kali melakukan kekhilafan selalu mencoba serta berupaya kembali

kepada Allah. Maka orang ini dicintai Allah. Ia menjadi orang yang banyak

kembali menjadi ada karena tentunya pernah “pergi”, menjauh, atau

menyeleweng, bahkan tersesat, atau pula sengaja pergi. Setelah petualangan itu

terjadi, baik sengaja atau tidak, ia kembali lagi ke asalnya.

Keenam, al-mutathahhirin. Mencintai kesucian atau orang yang selalu

mensucikan diri. (Qs. Al-Taubah/9: 108; al-Baqarah/2: 222). Mensucikan diri

dalam konteks ini adalah tashfiyat al-qulub wa tazkiyatun-nafs. Membeningkan

hati dan mensucikan jiwa atau nafsu. Oleh karenanya konteks nalar dan rasa

serta seluruh perilaku lahiriah menjadi sasaran program penyucian ini. Selain

itu orientasi kesucian bukan hanya untuk dirinya. Ia selalu melakukan proses

penyucian diri dan kemudian berupaya untuk memberikan pencerahan atau

proses pensucian terhadap orang lain.

Ketujuh, al-muttaqin. Orang yang bertaqwa. Ketakwaan adalah

perpaduan antara ihsan, perbuatan baik yang mendatangkan ridha Allah dan

“berpengetahuan”. Kebaikan dan segala kepositifan yang dilakukannya

didasarkan pada cakrawala pengetahuan, bukan sekadar kebaikan itu sendiri.

Perpaduan inilah yang mendatangkan harmoni sekaligus mendatangkan

5

pencerahan rohani. Perpaduan ini akan mengantarkan seseorang menggapai

maqamat ma’rifatullah.

Kedelapan, al-syakirin. Mereka yang selalu bersyukur. Konteks syukur

adalah tindakan responsif yang digerakkan oleh jiwa, karena merasakan

limpahan karunia bagi dirinya. Rasa keterlimpahan karunia juga bukan

persoalan dzahir, namun merupakan spektrum rohani. Bagaimana ia mampu

merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, akan melahirkan daya cengkeram

rasa akan karunia (ni’mat).

Kedelapan perwatakan wali Allah tersebut merupakan hal yang lebih

bersifat operasional dan aplikatif sebagai konsekuensi fisiknya yang menerima

isinya rohani dari musyahadah batinnya.

Berbicara tentang waliyullah (wali Allah), maka menurut Ibnu Taimiyah,

adalah seorang mu’min muttaqiy. Syarat dan ciri-ciri waliyullah adalah; ia

melaksanakan apa-apa yang disukai dan diridahi Allah SWT. serta

meninggalkan apa-apa yang dimurkai-Nya.4 Inilah wali yang dikehendaki

dalam surat Yunus (10) ayat 62:

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap

mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Seorang waliyullah tidak takut menghadapi apa yang akan terjadi, dan

tidak pula bersedih karena sesuatu yang telah terjadi. Jikalau ada orang

mengaku, atau dianggap sebagai waliyullah, tetapi perilakunya tidak ta’at

kepada Allah SWT. serta tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw., maka

ia bukan waliyullah namun waliyussyaithan (wali setan).

2. Macam-macam

Auliya’ adalah segilintir manusia dari seluruh lautan manusia yang ada.

Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil menempuh jalan spiritual lebih

tinggi dari sesama manusia. Mereka telah dipenuhi oleh cahaya Tuhan. Dari

kelompok auliya’ ini, terdapat derajat yang bermacam-macam. Yang paling 4Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 300.

6

rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi tingkat

kedekatannya kepada Allah) disebut sebagai autad (tiang-tiang pancang).

Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan

manusia di bumi. Karena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya.

Allah tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.

Ibnu Umar meriwayatkan hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah menolakkan

bencana – karena kehadiran muslim yang shalih – dari seratus keluarga

tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak

menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah

hancurlah bumi” (Qs. Al-Baqarah/2: 251).

Penghulu para auliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan autad

terdapat kelompok peringkat abdal (para pengganti). Disebut demikian karena

bila salah seorang di antara mereka meninggal, Allah menggantikannya dengan

yang baru.5

Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ meriwayatkan sabda Nabi, “karena

merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan,

menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana. “Sabda ini terdengar begitu

berat sehingga Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah

mematikan dan menghidupkan? Rasulullah bersabda, “Karena mereka berdo’a

kepada Allah memperbanyak mereka. Mereka berdo’a agar para tiran

dibinasakan, maka Allah membinasakan mereka. Mereka berdoa agar turun

hujan, maka Allah menurunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah

menumbuhkan tanaman di bumi. Karena do’a mereka, Allah menolakkan

berbagai bencana.”

Pada sejarah kesufian telah banyak para wali yang sampai pada peringkat

quthb al-rabbani, seperti Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Syekh Manshur al-

Hallaj, dan Syekh Siti Jenar. Demikian pula para wali abdal yang meneruskan

perjuangan rohani mereka.

5Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 198.

7

Jadi kunci menjadi wali abdal tak lain adalah kedermawanan dan

kecintaan yang tulus kepada sesama orang muslim. Itulah yang mempercepat

perjalanan kita kepada Allah. Tentu semua didasari dengan pengendalian hawa

nafsu seta pembersihan dan menjaga kesucian hati.6

3. Urutan-urutannya

Wali-wali Allah itu ada dua peringkat:7

a. Sabiqunal Muqarrabun, yakni orang-orang yang paling muka, dan mereka

itu yang dekat kepada Allah.

b. Ashabul yamiin Muqtashidun, yakni golongan kanan. Mereka ahli syurga.

Ibnu Abbas dan sebagian ulama salaf menjelaskan: Bagi Ashabul Yamin

(golongan kanan) mereka disediakan minuman yang dicampur, sedang bagi

golongan muqarrabuun mereka akan minum dengan kepuasan. Demikian

menurut mereka, sebab Allah berfirman: Yasyrabu biha, meminum dengannya,

dan bukan mengatakan Yasyrabu minha, minum darinya. Yang demikian

karena kata Yasyrabu itu identik dengan arti Yarwiya.

Jadi keterangan bahwa golongan Muqarrabun minum dengannya (dengan

puas) artinya mereka tidak membutuhkan yang lain. Maka beda dengan

ashabul yamin, karena minuman yang disediakan bagi mereka dicampur

dengan campuran, ini persis dengan firman Allah SWT. :

Artinya:

“...Yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang

daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya

dengan sebaik-baiknya.”(Q.S. Al-Insan: 5-6).

Adapun hamba-hamba Allah yang tersebut dalam ayat di atas ialah

golongan Muqarrabun. Dengan begitu bisa dimengerti bahwa balasan bagi

6Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 200.7Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan (Cet, I; Solo: CV. Ramadhani, 1989), h. 67.

8

orang itu tergantung jenis amal perbuatan-perbuatan, baik perihal kebaikan

atau keburukan.8

Mengenai Al Abrar (orang-orang yang baik) mereka termasuk dalam

kategori Ashabul Yamin. Sedang pendekatan mereka kepada Allah melalui

kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan. Mereka mengerjakan segala

ketentuan wajib dan meninggalkan apapun yang diharamkan oleh Allah.

Mereka tidak membebani jiwanya dengan ketentuan mandub (amalan yang

menunjukkan sunnah), dan tidak pula mengambil ketentuan tentang keutamaan

yang dimubahkan (amalan yang dibolehkan).

Adapaun As Sabuqunal Muqarrabun, cara mereka mendekatkan diri

kepada Allah melalui amalah sunnah setelah membenamkan diri dalam amalan

wajib, mereka kerjakan bentuk-bentuk wajib dan kesunahan-kesunahan.

Sebaliknya meninggalkan tindakan haram dan yang dibenci oleh Allah.

Manakala mereka mendekatkan diri kepada Allah meliputi segala kemampuan

yang dimiliki mereka, terdiri dari semua apa yang disukai Allah. Maka

Allahpun mencintainya dengan kecintaan sempurna. Ini relevan dengan

firman-Nya dalam Hadits Qudsi:

“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan

amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya.”

Demikian gambaran Al Muqarrabun, amalan-amalan mubah dijadikan

hanya sebagai kepatuhan. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan

kemubahan itu. Maka jadilah seluruh amal perbuatannya sebagai ibadah karena

Allah. Karena itu mereka pun bisa meminum dengan penuh kepuasan seperti

mereka beramal secara puas.9

Maka barangsiapa melaksanakan setiap kewajiban yang telah dibebankan

oleh Allah dan melakukan kemubahan-kemubahan yang disukai Allah berarti

ia termasuk di antara golongan Al Muqarrabun. Tetapi barang siapa hanya

mengerjakan apa yang disukai Allah dan menjadi kerelaannya dan bertumpu

8Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 73.9Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 78.

9

pada pertolongan yang dimubahkan baginya atas perkara yang diperintah

Allah, berarti ia termasuk Ashabul Yamin Al Abrar.10

B. Karamah Wali

Akhir-akhir ini banyak orang yang mempertanyakan tentang karamah.

Apakah dia memang ada dalam syariat? Apakah dia mempunyai dalil dari al-

Qur’an dan Sunnah? Apa hikmah dari diberikannya karamah kepada para wali

yang bertakwa? Dan seterusnya. Gelombang kekafiran dan materialis, serta

aliran-aliran keraguan dan kesesatan yang begitu banyak sekarang ini,

mempengaruhi pemikiran anak-anak kita, menyesatkan banyak orang di antara

para pemikir kita dan mendorong mereka untuk mengingkari adanya karamah,

meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Semua ini

disebabkan oleh lemahnya iman mereka kepada Allah dan kepada takdir-Nya,

serta minimnya kepercayaan mereka kepada para wali dan kekasih-Nya.11

Allah SWT menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karamah)

kepada siapa saja dari kalangan hamba-hamba-Nya yang saleh, menurut

kehendak-Nya, baik mereka yang dari kalangan umat Muhammad SAW.

maupun dari kalangan para pengikut Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelum

beliau. Allah memberi ampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan

pihak yang lain, dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan pihak yang

lain. Menurut salah satu dari hadis tersebut Allah SWT berfirman kepada para

malaikat mengenai orang-orang yang berwuquf di padang ‘Arafat dan berdoa:

“Kukabulkan doa mereka dan Kukarunia maaf orang-orang yang buruk dari

mereka demi kemaslahatan orang-orang yang baik dari mereka” ( اجبت ي انلمحسنيهم مسيئيهم ووهبت هم Demikianlah yang diriwayatkan oleh . ( دعاء

Abu Ya’la.12

Karamah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan, yang tidak

dihubungkan dengan pengakuan kenabian. Karamah adalah suatu pertolongan

10Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 82.11Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Cet. XII; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010), h.316.12 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. (Cet. IV; Bandung:

Pustaka Hidayah, 2008), h. 150.

10

bagi sang wali karena ketaatan, serta sebagai penguat bagi keyakinannya, serta

sebuah keberhasilan atas keistiqamahannya, sebagai tanda yang menunjukkan

kebenaran pengakuan tentang kewaliannya, jika ia memintanya karena

kebutuhan dan didukung oleh syari’at.13 Karamah merupakan aktivitas yang

bertolak belakang dengan adat di saat-saat pemaksaan dan merupakan realitas

sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi (keadaan) nya.14

Dalam “Bustan Al-‘Arifin, “Imam An-Nawawi menulis, “Ketahuilah,

bahwa madzhab ahli kebenaran menetapkan adanya karamah bagi para wali.

Karamah tersebut terjadi, ada, dan berlangsung dalam setiap zaman.Hal

tersebut bisa dibuktikan dengan dalil akal dan dalil naqli.

Adapun dalil akal, karamah adalah hal yang mungkin terjadi.

Kejadiannya tidak akan menyebabkan hilang satu dasar dari berbagai dasar

agama (ushuluddin). Allah wajib disifati dengan kekuasaan. Jika ada hal yang

bisa dilakukan, ia bisa terjadi. Adapun naql, banyak ayat Al-Qur’an dan

hadits.15

Mengenai tentang terjadinya karamah, seperti terdapatnya kisah ashab al-

kahfi dan lamanya tidur mereka dalam keadaan hidup dan sehat, selama tiga

ratus sembilan tahun, sebagaimana terjadi di dalam Al-Qur’an.16

1. Pembuktian Karamah

Keberadaan karamah para wali telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah

Rasulullah SAW, serta atsar sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai

zaman sekarang ini. Keberadaannya juga diakui oleh mayoritas ulama Ahli

Sunnah yang terdiri dari para ahli fikih, para ahli hadits, para ahli ushul dan

para syaikh tasawuf, yang karangan-karangan mereka banyak berbicara

tentangnya. Selain itu, keberadaannya juga telah dibuktikan dengan kejadian-

13Louis Massignon, Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, terj. Irwan Raihan, (Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 81.14Abul Qosim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah; Sumber Kajian Ilmu Tasawuf.terj. Umar Faruq, (Cet. II; Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 525.15Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 250.16Louis Massignon, Mustafa, Islam dan Tasawuf, h. 85.

11

kejadian nyata di berbagai masa. Dengan demikian, karamah tetap (terbukti)

secara mutawatir maknawi, meskipun rinciannya diriwayatkan secara ahad

(sendiri-sendiri). Karamah tidak diingkari kecuali oleh ahli bid’ah dan

kesesatan yang imannya kepada Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-

perbuatan-Nya lemah.17

2. Dalil Karamah dari al-Qur’an18

a. Cerita Ashabul Kahfi yang tertidur panjang dalam keadaan hidup dan

selamat dari bencana selama 309 tahun, dan Allah menjaga mereka dari

panasnya matahari. Allah berfirman, “Dan kamu akan melihat matahari

ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila

matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri.” (QS. Al-Kahfi: 17)

“Dan kamu mengira mereka itu bangun, Padahal mereka tidur; dan Kami

balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka

mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.” (QS. Al-Kahfi: 18)

“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah

sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25)

b. Kisah Maryam yang menggoyang pohon kurma yang kering. Seketika itu

juga, pohon tersebut menjadi rindang dan berjatuhanlah kurma yang sudah

masak di luar musimnya. “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke

arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak

kepadamu.” (QS. Maryam: 25)

c. Apa yang diceritakan Allah dalam al-Qur’an kepada kita bahwa setiap kali

Zakaria masuk ke mihrab Maryam, dia menemukan rezeki di dalamnya,

padahal tidak ada yang masuk ke situ selain dia. Lalu dia berkata, “Wahai

Maryam, dari manakah engkau memperoleh ini?” Maryam menjawab, “Ini

semua dari Allah.” “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di

mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam

dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab:

"Makanan itu dari sisi Allah". (QS. Ali Imran: 37)

17Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 317.18Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 317.

12

d. Cerita Ashif ibn Barkhiya bersama Sulaiman a.s., sebagaimana dikatakan

oleh mayoritas mufassirin, “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu

dari AI Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum

matamu berkedip". (QS. An-Naml: 40) Maka di pun membawa singgasana

ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina sebelum mata berkedip.

3. Dalil Karamah dari Sunnah19

a. Kisah Juraij al-Abid yang berbicara dengan bayi yang masih dalam

buaian. Ini adalah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari dan

Muslim dalam ash-Shahihain.

b. Kisah seorang anak laki-laki yang berbicara ketika masih dalam buaian.

c. Kisah ketiga orang laki-laki yang masuk ke dalam gua dan bergesernya

batu besar yang sebelumnya menutupi pintu gua tersebut. Hadits ini yang

sepekati keshahihannya.

d. Kisah lembu yang berbicara dengan pemiliknya. Hadits ini adalah hadits

shahih yang masyhur.

4. Dalil Karamah dari Atsar Para Sahabat20

Diceritakan banyak hal dari para sahabat tentang karamah.

a. Kisah Abu Bakar r.a bersama para tamunya tentang bertambah banyaknya

makanan. Sampai setelah mereka selesai makan, makanan tersebut

menjadi lebih banyak dari sebelumnya.

b. Kisah Umar r.a. ketika dia berada di atas mimbar di Madinah dan dia

memanggil panglima perangnya yang sedang berada di Persia, “Wahai

Sariah, gunung!”

c. Kisah Utsman r.a. bersama seorang laki-laki yang datang kepadanya, lalu

Utsman memberi tahu tentang apa yang terjadi ketika dia sedang dalam

perjalanan melihat seorang perempuan asing.

d. Kisah Ali ibn Abi Thalib yang mampu mendengarkan pembicaraan orang-

orang yang sudah mati, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Baihaqi.

19Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 318.20 Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 320.

13

e. Kisah Abbad ibn Basyar dan Asid ibn Hadhir ketika tongkat salah seorang

di antara mereka mengeluarkan cahaya sewaktu mereka keluar dari

kediaman Rasulullah SAW pada malam yang gelap. Ini adalah hadits

shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari.

f. Kisah Khabib r.a. dan setandan anggur yang ada di tangannya. Dia

memakannya di luar musimnya. Ini adalah hadits shahih.

g. Kisah Sa’ad dan Said r.a. ketika masing-masing dari keduanya

memohonkan azab atas orang yang telah berdusta atasnya. Doa tersebut

lalu dikabulkan. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.

h. Kisah Abur al-Alla’ ibn al-Hadhrami yang membelah laut di atas kudanya,

dan air muncul berkat doanya. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad

dalam ath-Thabaqat al-Kubra.

i. Kisah Khalid ibn Wali r.a ketika meminum racun. Kisah ini dikeluarkan

Baihaqi, Abu Nuaim, Thabrani dan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih.

j. Jari-jari tangan Hamzah al-Aslami yang bercahaya ketika malam gelap

gulita. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari.

k. Kisah Ummu Aiman dan bagaiman dia kehausan ketika hijrah. Lalu turun

kepadanya ember dari langit, dan dia pun minum. Kisah ini diriwayatkan

oleh Abu Nuaim dalam al-Hilyah.

l. Kisah seorang sahabat yang bisa mendengarkan suara orang yang

membaca surah al-Mulk dari kuburan setelah tenda dipasang di atasnya.

Kisah ini diriwayatkan oleh Tirmidzi.

m. Bertasbihnya piring besar yang dipakai untuk makan oleh Salman al-Farisi

dan Abu Darda r.a. dan mereka berdua mendengar tasbih tersebut. Hadits

ini diriwayatkan oleh Abu Nuaim.

n. Kisah Safinah r.a., budak laki-laki Rasulullah dan seekor singa. Kisah ini

diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustdarak dan Abu Nuaim dalam al-

Hilyah.

Ini hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian tentang karamah para

sahabat Rasulullah SAW. Kemudian, karamah juga banyak terjadi pada para

14

wali di masa tabiin dan para pengikut tabiin, sampai saat sekarang ini, sehingga

sangat sulit untuk dihitung jumlahnya. Para ulama telah mengarang berjilid-

jilid buku tentang hal itu. Dan para-para imam besar juga menulis buku-buku

yang membuktikan adanya karamah bagi para wali.

Di antara mereka adalah Fakhruddin ar-Razi, Abu Bakar al-Baqilani,

Imam Haramain, Abu Bakar ibn Faurak, al-Ghazali, Nasiruddin al-Baidhawi,

Hafiduddin an-Nasafi, Tajuddin as-Subki, Abu Bakar al-Asy’ari, Abu Qasim

al-Qusyairi, Nawawi, Abdullah al-Yaffi, Yusuf an-Nabhani dan ulama lainnya

yang tidak terhitung jumlahnya. Maka jadilah hal tersebut ilmu yang kuat,

meyakinkan dan tetap. Tidak ada lagi keraguan atau syubhat di dalamnya.

Sebagian orang barangkali bertanya, “Kenapa karamah yang ada pada

sahabat yang lebih sedikit daripada karamah yang ada pada para wali yang

muncul setelah mereka?” dalam ath-Thabaqat, Tajuddin as-Subki menjawab

pertanyaan ini dengan berkata, “Jawabannya adalah jawaban Ahmad ibn

Hanbal ketika ditanya tentang hal tersebut. Dia berkata, ‘Para sahabat adalah

orang-orang yang telah kuat imannya. Oleh karena itu, mereka tidak

membutuhkan sesuatu untuk menguatkan iman mereka. Sementara orang-orang

selain sahabat, iman mereka masih lemah dan belum sampai pada tingkat iman

para sahabat. Oleh karena itu, iman mereka dikuatkan dengan karamah yang

diberikan kepada mereka.

C. Tawasul dan Tabarruk

1. Pengertian Tawasul

Tawasul berasal dari bahasa Arab: wasala-yasilu-wasilatan, yang berarti

jalan. Wasilah biasa dimaknai sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri

kepada Tuhan. Atau dengan kata lain mengerjakan sesuatu amal kebaikan,

yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.21

Dalil (alasan) yang biasa digunakan unutk menunjukkan kebolehan

bertawasul adalah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman,

21Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam (Cet. I; Yogyakarta: LPK-2, Suara Merdeka, 2006), h. 157.

15

bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-

Nya (al wasilah), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat

keberuntungan.” (QS. al-Maidah/5:35).

Berdoa dengan tawasul juga didasarkan pada hadits Nabi saw: “Adalah

Sayyidina Umar bin Khaththab ra, apabila terjadi kemarau beliau berdoa

dengan bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muthathlib (paman Nabi). Umar

bin Khathathab berdoa: Ya Allah... Bahwasanya kami pernah berdoa dengan

bertawasul kepada Engkau dengan Nabi, maka Engkau turunkan hujan, dan

sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka Ya Allah, turunkan

hujan. Anas berkata: Maka turunlah hujan kepada kami (HR. Bukhari dari

Anas bin Malik).

Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, maka yang dimaksud dengan

berdoa secara bertawasul adalah berdoa kepada Tuhan (bukan kepada yang

lain-Nya), dengan memperingatkan sesuatu yang dikasihi Allah. Ulama

berbeda pendapat tentang kebolehan berdoa dengan cara bertawasul ini.

Menurut mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama’ah, berdoa dengan cara

yang demikian diperbolehkan, bahkan nilai sebagai suatu kebaikan dan

memiliki nilai pahala. Dasar yang dipakai oleh ulama ahlus sunnah adalah ayat

dan hadits yang disebutkan.22

Wasilah tak ubahnya meminta pertolongan kepada seseorang yang dekat

dengan pimpinan. Berdoa kepada Tuhan juga dapat dilakukan dengan jalan

bertawasul, baik dengan orang yang masih hidup atau pun yang sudah

meninggal. Contoh berdoa dengan bertawasul, sebagai berikut:

Kita datang kepada seorang ulama yang kita anggap mulia dan dikasihi

Tuhan, lalu kita katakan kepada beliau: “Saya akan berdoa, memohon sesuatu

kepada Tuhan, tetapi saya meminta ‘tuan guru’ juga berdoa kepada Allah

bersama saya, supaya permintaan saya dikabulkan oleh Allah.” Lalu keduanya

berdoa bersama-sama. Ini cara bertawasul dengan orang yang masih hidup.

22Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam, h. 158.

16

Sedangkan jika bertawasul dengan orang yang sudah meninggal, caranya

seperti ini:

Kita berziarah ke suatu makam seorang ulama besar, lalu kita berdoa

kepada Tuhan: “Ya Allah, Ya Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, saya

mohon ampunan dan keridhaan-Mu, atas kemuliaan Nabi dan kekasih-Mu.

Kabulkanlah permohonan saya, Ya Allah yang Rahman dan Rahim.”

Atau kita bertawasul atas nama amal baik yang pernah kita lakukan,

seperti berikut ini: “Ya Allah, saya telah mengerjakan amalan yang baik, yakni

saya tetap hormat kepada kedua orang tuaku, tidak pernah saya durhaka

kepadanya, dan Engkau pun tahu hal ini ya Allah. Kalau amal itu Engkau

terima, maka kabulkanlah permohonan saya.” Cara yang demikian juga berdoa

dengan cara bertawasul.

Orang Islam yang berdoa dengan cara seperti itu, pada dasarnya tidak

meminta kepada Nabi, wali, atau ulama, tetapi semata-mata hanya kepada

Allah SWT.23

2. Macam-macam Tawasul

a).Tawassul kepada Dzat Allah

Tawassul kepada Dzat Allah seperti ucapan “Laa Haula wa laa Quwwata

billah.” Seperti ayat,

(QS. Al-Kahfi: 39)

Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu

"maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah.

(An-Nahl: 127)

bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan

dengan pertolongan Allah.

(Al-A’raf: 128)

"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.”

(Al-Fatihah: 5)

23Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam, h. 159.

17

Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.

Ketika kita memohon pertolongan kepada Allah, kita bertawassul dengan

Dzat-Nya.hal tersebut seperti sabda Nabi ketika dalam doa bepergian:

Ya Allah, dengan kamu aku mendobrak, berkeliling, dan berjalan.

b).Tawasul dengan Nama dan sifat Allah

Tawasul dengan nama-nama terbaik Allah (Asmaul Husna) dan sifat-

sifatnya yang Maha Tinggi adalah salah satu syariat yang disepakati. Allah

telah berfirman, (QS. Al-A’raf :180)

Hal tersebut diterangkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan

lainnya,

“Ya Allah, aku adalah Hambamu, anak hambamu, anak budak

perempuan, ubun-ubunku ada dalam genggamanmu, hukummu tajam dan

keputusanmu adil. Aku meminta kepadamu dengan setiap nama yang Engkau

miliki, yang Engkau namakan untuk dirimu, atau Engkau turunkan di dalam

Kitabmu atau Engkau ajarkan kepada salah satu seorang makhlukMu, atau

Engkau istimewaan di alam ghaib. Agar Engkau menjadikan Al-Qur’an

sebagai kebun hatiku, cahaya dadaku, pengobat sedihku, dan pelipur laraku.”

c). Tawassul dengan Amal Shaleh

Salah satu tawassul yang disyari’atkan dan tidak ada perselisihan adalah

tawassul denga amal shaleh. Terutama, dengan amal ikhlasa yang mengharap

ridha Allah, yang belum dikotori oleh tujuan-tujuan dunia, mengharapkan

manfaat, syahwat, atau pujian dari manusia.

Al-Qur’an telah menyebutkan banyak sekali doa orang-orang beriman

dan orang-orang shaleh yang bertawassul kepada Allah denga iman dan amal

shaleh. Seperti firman Allah SWT

(QS. Al-Imran:16)

(QS.Al-Imran: 193)

(QS.Ali-Imran :53)

18

Dalil paling jelas dari hal itu adalah, kisah orang-orang goa yang

diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Dari Ibnu Umar ra. Dia

berkata bahwa Rasulullah SAW pernahbersabda ada tiga orang sebelum kalian

yan sedang berjalan, tiba-tiba mereka terkena hujan. Lalu, mereka berlinding

ke sebuah goa tetapi mereka terkunci. Lalu, mereka berkata satu denga yang

lain; “Demi Allah, tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali

shadaqah, hendaklah salah seorang dari kalian berdoa dengan hal yang telah

dishadaqahkannya. Lalu, salah seorang diantara mereka berkata; “Ya Allah,

Engkau mengetahui bahwa aku mempunyai seorang pekerja yang bekerja

untukku sebanyak 1 faraq beras. Lalu, orang tersebut datang kepadaku

meminta upahnya. Aku berkata; “Ambillah sapi tersebut dan giringlah dia.”

Dia berkata kepadaku; “Aku meninggalkan satu faraq beras kepadamu. Aku

berkata:”Ambil sapi tersebut, karena ia adalah faraq tersebut, kemudian

kirimlah ia. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut

kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka.

Lelaki yang lain berkata; “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa

sayamempunyai dua orang tua yang sangat tua. Setiap malam saya

memberinya susu dari kambing milik saya. Pada suatu malam saya datang

terkambat. Ketika tiba,mereka berdua telah tidur, sedangkan keluargaku

menangis karena rasa lapar. Aku tidak memberi mereka minum kecuali setelah

kedua orang tuaku minum. Aku tidak ingin membangunkan dan mengajak

mereka. Lalu, kami diam hingga mereka minum. Akupun menunggu hingga

terbit fajar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut

kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka hingga

mereka bisa melihat langit.

Lelaki yang berkata;” Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa pamanku

mempunyai seorang anak perempuan yang sangat aku cintai. Aku pernah

menggodanya, tetapi dia menolak kecuali jika aku memberinya seratus dinar.

Lalu, akupun memintanya hingga mampu. Akupun mendatanginya dengan

uang itu dan memberikan kepadanya. Diapun memberikan dirinya kepadaku.

Ketika aku hendak menggaulinya, dia berkata :”Bertakwalah kepada Allah,

19

jangan memecahkan cincin kecuali dengan haknya. Lalu, akupun berdiri dan

meninggalkan seratus dinar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu

karena takut kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun

terbuka hingga mereka keluar.

3. Pengertian Tabarruk

Tabarruk berasal dari kata barakah.Makna tabarruk ialah mengharapkan

keberkahan dari Allah SWT dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan

Allah.24 Sebelum dikemukakan dalil mengenai diperbolehkannya tabarruk,

berikut adalah penjelasan ringkas mengenai tabarruk.

Tabarruk mengandung pengertian yang sama dengan tawassul, yaitu

tawassul kepada Allah SWT dengan harapan akan memperoleh berkah-Nya.

Tabarruk boleh dilakukan orang dengan barang-barang pusaka, tempat ataupun

orang dengan syarat sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam

pandangan Allah SWT. Misalnya pribadi Rasulullah SAW, pusaka-pusaka

peninggalannya, makam dan lain sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan

dengan pribadi para waliyullah, para ulama dan orang-orang shaleh lainnya,

termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakaman

atau tempat-tempat lain yang pernah mereka jamah atau pernah mereka jadikan

tempat bertaqarrub kepada Allah SWT.25

Syarat lainnya lagi ialah, orang yang ber-tabarruk harus mempunyai

keyakinan penuh, bahwa sarana yang dijadikan tabarruk ini tidak dapat

mendatangkan manfaat maupun mudharat tanpa seizin Allah SWT. Sebab,

bagaimanapun juga setiap Muslim harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu

berada di dalam kekuasaan Allah SWT.

Satu hal yang perlu ditentangkan, bahwa barang-barang pusaka ataupun

tempat-tempat apa saja nilai kemuliaannya bukan karena substansinya sendiri,

melainkan karena kaitannya dengan kemuliaan orang atau pribadi yang pernah

memanfaatkannya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan

24 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 240.25 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 240.

20

dimanfaatkannya barang-barang pusaka itu atau tempat-tempat itu oleh para

hamba Allah yang shaleh untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, maka

dengan sendirinya pada barang-barang atau tempat-tempat itu pernah turun

rahmat Allah, dijamah atau didatangi oleh malaikat Allah hingga menjadi

sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tentram. Itulah

keberkahan yang diminta oleh orang-orang yang bertabarruk dari Allah SWT.

Di tempat-tempat itulah, atau dengan barang-barang pusaka itulah orang yang

ber-tabarruk menghadapkan diri kepada Allah SWT dengan memanjatkan doa

dan beristighfar serta merenungkan peristiwa-peristiwa besar di tempat-tempat

itu, atau dengan benda-benda pusaka itu. Yaitu peristiwa dan kejadian yang

pernah menggerakkan jiwa umat manusia ke arah kebajikan dan keberuntungan

, hingga orang yang ber-tabarruk itu tergerak pula jiwanya untuk berteladan

kepada pribadi mulia yang pernah memanfaatkan benda-benda pusaka dan

tempat-tempat itu.26

4. Macam-macam Tabarruk

Ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan

ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:27

a). Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah

Al Bahili Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa

Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat

pembacanya pada hari kiamat.”

b). Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan

hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Muslim

bahwa beliau (Utsman bin ‘Affan) berkata: “Aku mendengar Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

”Barang siapa yang berwudhu untuk menunaikan sholat lalu dia

menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu 26 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 241.27http://salafy.or.id/blog/2005/05/14/mengais-berkah-para-wali-dalam-tinjauan-islam/ diakses pada tanggal 09 November 2014 pukul 10.00 WIB

21

sholat bersama manusia atau jama’ah atau di dalam masjid maka Allah ampuni

dosa-dosanya.”

c). Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Allah Subhanahu wa

Ta’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di

dalamnya. Diantaranya Masjid-Masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala terkhusus

Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah

dan Syam.

d). Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan

anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari

terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap

harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi

dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.

22

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah wali bukanlah istilah fiqh atau syari’at bi al-dzawahir (ajaran

keagamaan yang bersifat lahiriah). Wali merupakan istilah sufi dan kerohanian.

Maknanya adalah kekasih yang dicintai Allah. Persoalan “cinta” juga bukan

masalah fiqh, tetapi masalah spiritual atau rohani.

Karamah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan, yang tidak

dihubungkan dengan pengakuan kenabian. Karamah adalah suatu pertolongan

bagi sang wali karena ketaatan, serta sebagai penguat bagi keyakinannya, serta

sebuah keberhasilan atas keistiqamahannya, sebagai tanda yang menunjukkan

kebenaran pengakuan tentang kewaliannya, jika ia memintanya karena

kebutuhan dan didukung oleh syari’at.

Tawasul berasal dari bahasa Arab: wasala-yasilu-wasilatan, yang berarti

jalan. Wasilah biasa dimaknai sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri

kepada Tuhan. Atau dengan kata lain mengerjakan sesuatu amal kebaikan,

yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tabarruk berasal dari kata barakah.Makna tabarruk ialah mengharapkan

keberkahan dari Allah SWT dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan

Allah.

Tabarruk mengandung pengertian yang sama dengan tawassul, yaitu

tawassul kepada Allah SWT dengan harapan akan memperoleh berkah-Nya.

Tabarruk boleh dilakukan orang dengan barang-barang pusaka, tempat ataupun

orang dengan syarat sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam

pandangan Allah SWT.

B. Saran

Kami sadar betul dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata

sempurna, oleh karena itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan

kritik dan saran yang membangun, supaya kami bisa berbuat lebih baik lagi

selanjutnya.

23

DAFTAR PUSTAKA

Solikhin, Muhammad. Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar. Cet. II. Yogyakarta:

Narasi, 2007.

Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Taimiyah, Ibnu. Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan. Cet. I. Solo: CV.

Ramadhani, 1989.

Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf. Cet. XII. Jakarta Timur: Qisthi Press,

2010.

Al-Husaini, H.M.H. Al-Hamid. Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Cet. IV.

Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.

Massignon, Louis dan Raziq, Mustafa Abdur. Islam dan Tasawuf. terj. Irwan

Raihan. Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

An-Naisaburi, Abul Qosim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi. Risalah

Qusyairiyah; Sumber Kajian Ilmu Tasawuf.terj. Umar Faruq. Cet. II.

Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Al-Qaradhawi, Yusuf. Akidah Salaf dan Khalaf. terj. Arif Munandar Riswanto,

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.

Syukur, Amin. Tasawuf Bagi Orang Awam. Cet. I. Yogyakarta: LPK-2, Suara

Merdeka, 2006.

http://salafy.or.id/blog/2005/05/14/mengais-berkah-para-wali-dalam-tinjauan-

islam/ diakses pada tanggal 09 November 2014 pukul 10.00 WIB

24