umpalangkaraya.ac.idumpalangkaraya.ac.id/dosen/.../uploads/...BERKEMAJUAN-Ady-FN_… · Web...

68
FILSAFAT PENDIDIKAN YANG BERKEMAJUAN A. Perkenalan Filsafat Filsafat adalah pandangan menyeluruh manusia melalui cara berpikir untuk melihat kebenaran dengan suatu cara yang berasal dari teori dan pengalaman empiris. Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul di kepala kita ketika akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a). Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’= cinta, suka (loving), dan ’sophia’ = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat diharapkan menjadi bijaksana. b). Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang 1

Transcript of umpalangkaraya.ac.idumpalangkaraya.ac.id/dosen/.../uploads/...BERKEMAJUAN-Ady-FN_… · Web...

FILSAFAT PENDIDIKAN YANG BERKEMAJUAN

A. Perkenalan Filsafat

Filsafat adalah pandangan menyeluruh manusia melalui cara berpikir untuk

melihat kebenaran dengan suatu cara yang berasal dari teori dan pengalaman

empiris. Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul di kepala kita ketika akan

mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a). Segi

semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa

yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’= cinta, suka (loving), dan ’sophia’ =

pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan

atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat diharapkan

menjadi bijaksana. b). Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti

‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak

semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan

sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”.

Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum

semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.

Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu

kebenaran dengan sedalam-dalamnya (Kristiawan, 2016).

Gambaran ini menunjukkan bahwa dalam berpikir, manusia terlihat dari aspek

kemanusiaannya jika dia memikirkan kemajuannya dan kemajuan kemajuan inilah salah

satu isyarat bahwa dalam proses berpikir manusia senangtiasa berupaya berbenah diri

untuk hari esok lebih baik dari hari ini, demikian pula pendidikan., pendidikan tidak akan

selangkah lebih maju jika hanya diterima apa adanya, namun perlu adanya perbaikan

dalam bentuk suatu upaya untuk proses berpikir secara mendalam.

1

Oleh karenanya dengan memahami filsafat dengan baik maka orang akan dapat

mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari. Filsafat

mengkaji dan memikirkan tentang hakikat segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis,

terpadu, universal dan radikal yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari

perkembangan ilmu-ilmu yang bersangkutan. Oleh karenanya yang membantu filsafat

pendidikan terlaksanan dengan baik, maka terdapat beberapa teori yang menjadi acuan

dalam menopang terselenggaranya pendidikan yang maksimal (Tola, 2014).

Filsafat adalah kecenderungan. Kecenderungan dapat dipahami dengan

Penomenologi Reduksionisme. Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia

lengkap dengan unsur-unsur dan puncak atau pusatnya. Mudah dipahami pula

bahwa pada akhirnya kesadaran kita akan sampai pada kesimpulan bahwa, dengan

filsafat kita akan menemukan dunia yang plural, artinya banyak Dunia dan setiap

yang ada dan yang mungkin ada merepresentasikan Dunianya masing-masing.

Filsafat Esensialisme mengejar kebenaran dari segala esensi yang ada; maka

mudah dipahami bahwa hakekat Esensi adalah pusat atau sentralnya Filsafat

Esensialisme. Sementara Filsafat Spiritualisme mengejar Kebenaran Absolut yang

diyakini berada di tangan Tuhan (Marsigit, 2014).

Muhmidayeli (2011: 1) filsafat bukanlah sekedar kebenaran, hikmah dan atau

kebijaksanaan itu sendiri, tetapi lebih pada cinta akan kebenaran atau

kebjaksanaan yang tentu ditunjukkan pada upaya hati-hati dan serius yang

dilakukan oleh seseorang melalui tata cara yang dapat dipertanggungjawabkan

dalam menggunakan daya pikir kritisnya guna meraih kebenaran, kebaikan dan

atau kebijaksanaan sejati. Jadi Filsafat adalah upaya berpikir dan bertindak benar

dengan menggunakan rasio sebagai instrumen utama untuk mengetahui secara

2

murni berbagai ragam realitas yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini dan

nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan manusia.

Beberapa definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak

mustahil kalau banyak di antara para filsuf memberikan definisinya secara berbeda-beda.

Obyek material filsafat yang diteliti adalah segala sesuatu, sedangkan Subyek materialnya

yaitu mencari hakekat. Maka dari itu berfilsafat berarti mempertanyakan dasar dan asal-

usul dari segala-galanya; untuk mencari orientasi dasar bagi kehidupan manusia. Adapun

pengertian Filsafat menurut beberapa ahli, yaitu:

1. Plato (428-348 SM): Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.

2. Aristoteles (384-322 SM): Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.

3. Francis Bacon: Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat

menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.

4. Al Farabi: Filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat sebenarnya.

5. Rene Descartes: Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan,

alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

6. Cicero (106-43 SM): Filsafat adalah “ibu” dari semua seni (The mother of all the arts). Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai art vitae (seni kehidupan).

7. Johann Gotlich Fickte (1762-1814): Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan suatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.

3

8. Paul Nartorp (1854-1924): Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar) yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukkan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.

9. Immanuel Kant (1724 – 1804): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:

Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya metafisika)

Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)

Sampai di manakah harapan kita? (jawabannya Agama)

Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi)

10. Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan dengan berfikir radikal, sistematis dan universal.

11. Harold H. Titus (1979): (1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2). Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3). Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); dan (4). Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat.

12. Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.

13. Hasbullah Bakry: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.

14. Mr. Muhamadd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya di dalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan.

4

15. Ismaun: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati).

16. Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.

17. Seorang filsuf, N. Driyarkara S.Y., mengatakan: Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinyayang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sosiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ke ‘mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.

18. Endang Saifuddin Anshari (1987:85), mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud itu di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat juga dikatakan sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat segala yang ada: (a) hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada paham (pemahamnnya) tersebut.

19. Marsigit (2014), Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya.

Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang

mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya

5

agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada zaman

modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu

dengan dua cara, yaitu dengan mempelajari sejarah perkembangan sejak dahulu

kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau

lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode

sistematis) (Kristiawan, 2016).

KategoriPertanyaan filosofis dapat dikelompokkan ke dalam kategori. Pengelompokan ini

memungkinkan para filsuf untuk fokus pada serangkaian topik serupa dan

berinteraksi dengan pemikir lain yang tertarik dengan pertanyaan yang sama.

Pengelompokan juga membuat filosofi lebih mudah bagi siswa untuk didekati.

Siswa dapat mempelajari prinsip-prinsip dasar yang terlibat dalam satu aspek

lapangan tanpa terbebani dengan keseluruhan teori filosofis.

Berbagai sumber menyajikan beragam skema kategoris. Kategori yang diadopsi

dalam artikel ini bertujuan untuk keluasan dan kesederhanaan.

Kelima cabang utama ini dapat dipisahkan menjadi sub cabang dan masing-

masing sub cabang memiliki banyak bidang studi yang spesifik.

Metafisika dan epistemologi Teori nilai Sains, logika dan matematika Sejarah filsafat barat Tradisi filosofis

6

Perpecahan ini tidak lengkap, tidak saling eksklusif atau berdiri sendiri-sendiri.

(Seorang filsuf mungkin mengkhususkan diri pada epistemologi kantian, estetika

platonik, atau filsafat politik modern.)

Metafisika

Metafisika adalah studi tentang ciri-ciri paling umum dari realitas, seperti

eksistensi, waktu, objek dan properti mereka, keseluruhan dan bagiannya,

kejadian, proses dan sebab akibat, serta hubungan antara budi dan tubuh.

Metafisika mencakup kosmologi, studi tentang dunia secara keseluruhan dan

ontologi, studi tentang realitas.

Pokok perdebatan utamanya adalah antara realisme, yang berpendapat bahwa ada

entitas yang independen terlepas dari persepsi mental dan idealisme mereka, yang

berpendapat bahwa realitas tersebut dibangun secara mental atau immaterial.

Metafisika membahas topik identitas. Esensi adalah himpunan atribut yang

membuat objek sebaimana dasarnya dan tanpa esensi objek itu akan kehilangan

identitasnya, sementara aksiden adalah properti yang dimiliki objek, yang

tanpanya objek masih tetap dapat mempertahankan identitasnya. Partikular adalah

objek yang dikatakan ada di ruang dan waktu, berlawanan dengan benda abstrak,

seperti angka, dan universal, yang merupakan sifat yang dimiliki oleh beberapa

hal khusus, seperti warna kemerahan suatu benda atau jenis kelamin. Jenis

eksistensi (jika ada) benda universal dan abstrak adalah isu perdebatan dalam

metafisika.

7

Epistemologi

Dignaga pendiri aliran epistemologi dan logika Buddhis.

Ahli epistemologi mempelajari sumber pengetahuan, termasuk intuisi, argumen a

priori, ingatan, pengetahuan perseptual, pengetahuan diri dan kesaksian. Mereka

juga bertanya: Apa itu kebenaran? Apakah pengetahuan itu benar-benar keyakinan

sejati? Apakah ada kepercayaan yang dibenarkan? Pengetahuan empiris

mencakup pengetahuan proposisional (pengetahuan bahwa ada sesuatu yang

terjadi), kecakapan (pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu) dan

pengenalan (familiaritas dengan seseorang atau sesuatu). Ahli epistemologi

memeriksa hal ini dan bertanya apakah pengetahuan itu benar-benar layak.

Teori nilai

Teori nilai (atau aksiologi) adalah cabang utama filsafat yang membahas topik

seperti kebaikan, keindahan dan keadilan. Teori nilai meliputi etika, estetika,

filsafat politik, filsafat feminis, filsafat hukum dan yang lainnya.

8

Etika

Akademi kekaisaran Beijing adalah pusat intelektual untuk etika Konfusianisme dan klasik selama dinasti Yuan, Ming dan Qing.

Etika, atau "filsafat moral", mempelajari dan mempertimbangkan perilaku yang

baik dan yang buruk, nilai yang benar dan salah, serta kebaikan dan kejahatan.

Penyelidikan utamanya meliputi bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan

mengidentifikasi standar moralitas. Ini juga mencakup meta-investigasi tentang

apakah cara terbaik untuk hidup atau standar terkait yang ada. Cabang utama etika

adalah etika normatif, meta-etika dan etika terapan.

Area perdebatan utamanya meliputi konsekuensial, dimana tindakan dinilai

berdasarkan hasil potensial dari tindakan tersebut, seperti misalnya untuk

memaksimalkan kebahagiaan, yang disebut utilitarianisme, dan deontologi,

dimana tindakan dinilai sesuai dengan bagaimana mereka mematuhi prinsip,

terlepas dari tujuan negatif (Wikipedia, 2018).

Para ahli memiliki berbagai pendapat tentang cabang-cabang filsafat di

antaranya sebagai berikut (Surajiyo, 2005: 19-20):

1. Lousis O. Kattsoff menyebutkan cabang filsafat adalah logika, metodologi,

metafisika, epistemologi, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat

antropologi, filsafat sosial, etika, estetika dan filsafat agama.

9

2. The Liang Gie membagi filsafat menjadi: metafisika, epistemologi,

metodologi, logika, etika, estetika dan sejarah filsafat.

3. Harry Hamersma membagi cabang fisafat menjadi: Filsafat tentang pengetahuan (meliputi epistemologi, logika, kritik ilmu-ilmu); Filsafat keseluruhan kenyataan (meliputi metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus meliputi teologi metafisik, antropologi dan kosmologi); Filsafat tentang tindakan (meliputi etika dan estetika); Sejarah filsafat.

4. Poedjawijatna membagi filsafat atas: ontologia, theodicea, antropologia, metaphysica, ethica, logica (mayor dan minor), aesthetica.

5. Plato membedakan filsafat pada tiga cabang yaitu dialetika, fisika, dan etika.6. Aristoteles merumuskan filsafat kedalam empat cabang yaitu: logika, filsafat

teoretis (mencakup 3 ilmu yaitu: ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu metafisika). Menurut Aristoteles ilmu metafisika merupakan inti dari filsafat. Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat praktis (mencakup 3 ilmu yaitu ilmu etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik). Cabang terakhir adalah filsafat poetika atau kesenian (Kristiawan, 2016).

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM mengemukakan bahwa dari cabang filsafat

menurut beberapa tokoh tersebut, persoalan kefilsafatan meliputi bidang yang

sangat luas, sehingga sulit untuk membahasnya karena mempunyai argumentasi

masing-masing. Persoalan filsafat di samping dapat dideskripsikan ciri-cirinya,

juga dapat dibagi menurut jenis-jenisnya. Jenis-jenis persoalan filsafat bersesuaian

dengan cabang-cabang filsafat. Ada tiga jenis persoalan filsafat yang utama yaitu

persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan dan persoalan

tentang nilai-nilai (Kristiawan, 2016).

Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi bersangkutan dengan cabang

filsafat metafisika. Persoalan pengetahuan (knowledge) ditinjau dari segi isinya

bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi sedangkan kebenaran (truth)

ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.

Persoalan nilai-nilai (values) terbagi atas nilai-nilai tingkah laku dan nilai-nilai

10

keindahan. Nilai-nilai tingkah laku berkaitan dengan cabang filsafat etika,

sedangkan nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.

1. Metafisika

Istilah metafisika berasal dari Bahasa Yunani meta la physica yang

dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-

benda fisik. Aristoteles menggunakan istilah proto philosiphia (filsafat

pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di

belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, mati. Metafisika

dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam

(ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Persoalan-persoalan

metafisika dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologi, persoalan

kosmologi, dan persoalan antropologi (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM: 31).

Ontologi membahas tentang “ada”. Pertanyaan yang diajukan: apa yang

dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu. Bagaimana

penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi, dan apa sifat dasar

kenyataan atau keberadaan. Segala sesuatu yang ada, secara khusus dibagi

dalam tiga substansi yaitu kosmos, manusia, dan Tuhan. Pada metafisika

khusus terdapat gagasan atau ide para pemikir. Oleh sebab itu, sebagian orang

beranggapan bahwa epistemologi adalah bagian dari metafisika, karena

epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan metafisis.

Muhmidayeli (2011: 10) Metafisika merupakan cabang kajian filsafat

yang mengkaji persoalan yang berkenaan dengan hakikat realitas. Konsentrasi

filsafa disini diarahkan fokus untuk menelaah dan atau mengkaji secara

11

mendalam dan menyeluruh (holistik) tentang hakikat yang ada dan yang

dianggap ada.

2. Epistemologi

Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Kebenaran

pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemologi karena tepat

susunannya atau logis. Meskipun logika dan epistemology merupakan dua hal

yang berbeda, keduanya memiliki kaitan yang sangat kuat, logika menjadi

prasyarat yang mendasari epistemologi. Epistemologi membicarakan secara

rinci dasar, batas dan objek pengetahuan. Oleh sebab itu epistemologi oleh

sebagian orang disebut juga filsafat ilmu. Epistemologi mempersoalkan

kebenaran pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu (philosophy of science)

secara khusus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan. Epistemologi

berasal dari Bahasa Yunani yaitu episteme = pengetahuan dan logos = teori.

Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari

asal mula atau sumber, struktur, dan metode yang sah tentang pengetahuan.

Pertanyaan dalam epistemologi adalah “apa yang dapat saya ketahui?” (Tim

Dosen Filsafat Ilmu UGM: 32). Persoalan-persoalan dalam epistemologi

adalah: bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu?; Dari mana

pengetahuan itu diperoleh?; Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat

dinilai?; Apa perbedaan pengetahuan apriori dengan pengetahuan posteriori?.

Epistemologi membicarakan pengetahuan dan susunannya. Ilmu atau science

adalah pengetahuan-pengetahuan yang gejalanya dapat diamati berulang-

ulang melalui eksperimen sehingga dapat dipelajari oleh orang yang berbeda

12

dalam waktu yang berbeda. Epistemologi membahas hakikat ketepatan

susunan berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah

yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataannya.

Isi pernyataannya adalah sesuatu yang ingin diketahui. Secara umum terdapat

empat jenis kebenaran yang dikenal orang, yaitu kebenaran religius,

kebenaran filosofis, kebenaran estetis, dan kebenaran ilmiah. Kebenaran

religius, adalah kebenaran yang dibangun atas dasar kaidah-kaidah agama

atau keyakinan tertentu yang tidak dapat dibantah. Kebenaran religius disebut

juga kebenaran mutlak.

Bentuk pemahamannya dogmatis. Kebenaran filosofis adalah kebenaran

hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau

the nature, meskipun bersifat subjektif dan relatif, namun mendalam karena

melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran

intelektual semata. Kebenaran filosofis berguna untuk menyadarkan kita pada

relatifnya pengetahuan yang kita miliki, karena pengetahuan itu terus berubah

dalam arti berkembang. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah

berpikir, sedangkan dasarnya adalah rasio. Kebenaran estetis, ialah kebenaran

berdasarkan indah dan tidak indah. Keindahan yang dimaksud adalah

berdasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa senang,

tenang dan nyaman. Wiramihardja (2007: 32-33) mengemukakan kebenaran

ilmiah ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama

menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti (fakta),

sama halnya dengan kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji lapangan

yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoritis adalah kebenaran yang

13

berdasarkan rasio atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang

menunjangnya. Pengertian bukti disini adalah bukti empiris, yaitu hasil

pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang

melalui eksperimen, sesuai dengan apa adanya, bukan apa yang seharusnya,

dan merupakan ciri-ciri pengetahuan (Kristiawan, 2016).

Capaldi (1981: 12) dalam bidang epistemologi, konsentrasi filsafat tertuju

pada pembicaraan problem pengetahuan. Secara akademis, epistemologi

merupakan kajian yang berkaitan tentang persoalan dasar ilmu pengetahuan

yang meliputi: 1. Hakikat ilmu; 2. Jenis ilmu pengethuan yang mungkin dapat

diraih manusia; 3. Sumber ilmu pengetahuan itu; dan 4. Batas-batas ilmu

pengetahuan manusia (Muhmidayeli, 2011: 12).

3. Aksiologi

Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan penilaian atau

yang berhubungan dengan nilai guna. Gagasan mengenai aksiologi dipelopori

oleh Lozte, kemudian Brentano, Husserl, Scheller dan Nicolai Hatmann

(Wiramihardja A. S., 2007: 36-37). Menurut Scheller ada dua bidang yang

paling populer terkait penilaian yaitu tingkah laku dan keadaan atau tampilan

fisik, sehingga aksiologi dibagi dalam 2 jenis yaitu etika dan estetika. Etika

adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia

dari sudut baik dan buruk. Mudah bagi seseorang dalam menilai arti baik,

tetapi mengapa sebaliknya disebut buruk bukan tidak baik. Etika dalam

Bahasa Yunani berasal dari ethos = kebiasaan, habit, atau custom. Hampir

tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik dan buruk, oleh karena

14

itu istilah etis dan tidak etis kurang tepat, yang lebih tepat adalah etika baik

dan etika buruk/ jahat. Estetika merupakan bagian filsafat yang

mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan tidak indah/ jelek.

Secara umum estetika disebut sebagai kajian filsafat mengenai apa yang

membuat rasa senang, puas yang dinikmati seseorang ketika mengamati suatu

benda estetis (Surajiyo, 2005: 107). Secara visual dan imajinasi, estetika

disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan

kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam

bidang ini adalah Alexander Baumgarten yang dianggap sebagai awal

diwacanakannya estetika (Kristiawan, 2016).

Muhmidayeli (2011: 14) dalam bidang aksiologi, pemikiran filsafat

diarahkan pada persoalan nilai, baik dalam konteks estetika, moral maupun

agama. Persoalannya apakah nilai itu absolut atau relatif. Artinya ujung dari

keseluruhan aktivitas berpikir filsafat dalam bidang metafisika maupun

epistemologi ialah terwujudnya tingkah laku dan perbuatan-perbuatan

manusia yang mengandung nilai.

B. Pendidikan yang Berkemajuan: Filsafat, Politik, dan Ideologi

Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan

merupakan aktivitas belajar yang sadar dilakukan menurut akal pikiran.

Mudyahardjo (2010: 45-46) pendidikan yaitu objek formal ilmu pendidikan,

yang dapat diartikan secara luas, sempit, luas terbatas. Dalam pengertian luas,

pendidikan samadengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup

yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman

15

belajar. Oleh karena itu, pendidikan didefinisikan sebagai keseluruhan

pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya (lifelong).

Filsafat pendidikan yang berkemajuan berarti bagaimana cara berpikir

tentang menyadarkan manusia bahwa belajar dari teori dan pengalaman dalam

mencari kebenaran pernyataan-pernyataan yang masuk akal dan dan melampui

alam pikiran baik negatif maupun positif melalui fenomena yang saling

berhubungan sehingga mampu membangkitkan potensi diri untuk dapat

bersosialisasi dan hidup bersama masyarakat pada era revolusi industri 4.0

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama,

yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Kemajuan dalam

pandangan Islam bersifat multiaspek baik dalam kehidupan keagamaan

maupun dalam seluruh dimensi kehidupan, yang melahirkan peradaban utama

sebagai bentuk peradaban alternatif yang unggul secara lahiriah dan ruhaniah.

Adapun da’wah Islam sebagai upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan

diproyeksikan sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya

kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat

manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan sekat-sekat

sosial lainnya (Nashir, 2018).

Pendidikan menciptakan manusia menjadi manusia seutuhnya.

Muhmidayeli (2011: 36) pendidikan sangat terkait aktivitas mulia manusia

yang tugas utamanya adalah membantu pengembangan humanitas manusia

untuk menjadi manusia yang berkepribadian mulia dan utama menurut

16

karakteristik idealitas manusia yang diinginkan atau sesuai potensi kodratnya

masing-masing (human dignity). Kualitas suatu masyarakat memliki hubungan

strategis dengan kualitas dunia pendidikan, utamanya pendidikan persekolahan,

karena didalamnya ada upaya yang sunguh-sunguh tentang kependidikan untuk

mempersiapkan generasi yang terampil dan memiliki ilmu pengetahuan dengan

dilandasi pada iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam konteks

yang luas.

Berdasarkan realitas-realitas kependidikan yang menjadi objek kajian

filsafat pendidikan antara lain menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan:

1. Hakikat manusia ideal sebagai acuan pokok bagi pengembangan dan

penyempurnaan;

2. Pendidikan dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu landasan berpikir dan

berbuat dalam tatanan hidup suatu masyarakat;

3. Hakikat tujuan kependidikan sebagai arah bangun pengembangan pola

dunia pendidikan;

4. Hakikat pendidik dan anak didik sebagai subjek-subjek yang terlihat

langsung dalam pelaksanaan proses edukasi;

5. Hakikat pengetahuan dan nilai sebagai aspek penting yang dikembangkan

dalam aktivitas pendidikan;

6. Hakikat kurikulum sebagai tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam proses

kependidikan menuju peraihan tujuan-tujuan;

7. Hakikat metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan

penumbuhkembangan potensi subjek didik;

17

8. Alternatif-alternatif yang mungkin dilalui dalam pengembangan sumber

daya manusia baik menyangkut prinsip-prinsip, metode maupun alat-alat

pendukung peraihan tujuan;

9. Keterkaitan dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga laind alam lingkup

masyarakat, seperti pendidikan dan dunia politik, pendidikan dan sistem

pemerintahan, pendidikan, tata hukum, dan adat dalam masyarakat; dan

10. Keterkaitan dunia pendidikan dengan perubahan-perubahan taraf hidup

dalam masyarakat (Muhmidayeli, 2011: 41).

1. Ontologis

Dimulai dari menyikapi masalah kebenaran dalam filsafat dan kebanaran

Agama pada umumnya dimaknai di satu sisi agama ber-alat-kan kepercayaan, di

lain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi,

jika kebenaran yang dibicarakan dengan mempergunakan alat yang sama seperti

akal manusia dan terdapat perbedaan yang gambarannya tidak bisa dipertemukan,

pada dasarnya hal yang kita cari dapat dikatakan bukan kebenaran. Karena

namanya kebenaran walaupun bagaimana wujudnya tetap mengandung makna

(kebenaran) (Tola, 2014).

Pendidikan Spiritualisme Mutlak akan bersifat Puritanisme, Akhiran-

tertutup (Closed-ended) Mutlak. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa jika

Filsafat Spiritualisme adalah tesis, maka Filsafat Esensialisme, Filsafat

Eksistensialisme, Filsafat Materialisme, dst dapat dipandang sebagai anti-

tesis nya. Di sinilah semestinya Karakter Timur atau Karakter Indonesia

berhati-hati dalam mengklaim suatu Filsafat justifikasi pandangannya

(Marsigit, 2014).

18

Landasan filosofis pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik,

adapun alasannya antara lain: Pertama, karena pendidikan bersifat normatif,

maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi yang bersifat normatif

pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat

bersumber dari filsafat. Landasan filosofis pendidikan yang bersifat

preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang

seharusnya di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam

pendidikan. Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui

pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu

dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan secara holistik

dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.

Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme,

Realisme, Pragmatisme, dsb. Namun demikian, bangsa Indonesia

sesungguhnya memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat

pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini

berbagai aliran filsafat pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian

bahwa pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan

Pancasila. Pemahaman atas berbagai aliran filsafat pendidikan akan dapat

membantu Anda untuk tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain. Di

samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, kita

pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran filsafat pendidikan

lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis pendidikan kita.

Dengan memahami landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi

kesalahan konsep tentang pendidikan yang akan mengakibatkan terjadinya

kesalahan dalam praktek pendidikan (Tatang, 2018).

19

Hypothetical analyses memberikan petunjuk bahwa keadaan

ontologis krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini

berelasi linear dengan forma, wadah, bentuk atau struktur kehidupan

Indonesia secara menyeluruh yang dapat digambarkan sebagai bentuk

yang belum berbentuk, forma yang belum berforma, dan struktur yang

belum berstruktur. Kondisi forma yang belum berforma tersebut secara

kebetulan dan secara tidak kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma

eksternal bersubstansial dalam waktu (kala) terbuka (baik atau buruk).

Sebagaian forma eksternal bersubstansial mempunyai dimensi lebih

tinggi sehingga forma Indonesia yang belum berforma tidak mampu

mengendalikannya.

Apapun penyebabnya, yang pasti forma Indonesia yang belum

berforma lebih banyak menimbulkan ketidakpastian, merugikan,

melemahkan, dan merongrong jati diri bangsa dari dalam diri sendiri.

Sedangkan segenap komponen dan komponen kunci terlibat dalam pusaran

krisis multidimensi forma yang belum berforma, sehingga meraka tidak

mampu dan tidak akan mampu mengatasi persoalan internal bangsa, jika

mereka tidak mampu keluar dari dimensi forma yang belum berforma.

Sebagian komponen kunci malah terpancing untuk mengambil peruntungan

pribadi dan kelompok dari krisis multidimensi, dengan cara mencari dan

memperkuat potensi multifacet (termasuk potensi negatif). Alhasil, krisis

multidimensi forma yang belum berforma diperdalam, diperkuat dan

diperluas dengan adanya interaksi potensi-potensi negatif komponen kunci.

Potensi-potensi negatif komponen kunci telah memberikan pengaruh dan

20

memperbesar daya ontologis krisis multidimansi bangsa untuk menjadi bola

liar tak terkendali menuju subordinat potensi negatif dominan dunia di

bawah pengendalian Power Now. Sebagian pendidikan telah digunakan

potensi negatif dunia untuk memperkokohkan kedudukannya dengan

membuka cabang di tiap-tiap pintu peradaban bangsa-bangsa dunia

(Marsigit, 2014). Potensi negatif dunia dapat menjadi satu pembelajaran

bahwa pendidikan yang berkemajuan memerlukan tantangan tersebut.

Peradaban dunia mempengaruhi pendidikan di berbagai negara. Peradaban

menciptakan tesis dan anti tesis terhadap apa yang telah dihasilkannya.

2. Epistemologi

Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan sebagai upaya merefleksikan

kondisi faktual pendidikan dan harapan di waktu yang akan datang,

berbasis pada asumsi bahwa sekiranya kita menyetujui suatu tesis bahwa

sebagai bangsa kita masih belum terlepas dari krisis multidimensi.

Sekiranya kita semua memaklumi bahwa kondisi faktual kita dalam

berbangsa, bernegara, bermayarakat, berpolitik, bergaul dengan bangsa-

bangsa lain, menunjukan evidensi bahwa krisis multidimensi tersebut

masih bersifat laten dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai

dengan beragam konflik dalam dimensi kehidupan; centang perenang dan

kekisruhan bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya; dekadensi moral;

missing link berbagai peristiwa atau kejadian sehingga tidak dapat

dijelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi dan perilaku warga yang

mencari solusi dengan cara-cara irasional; menonjolnya primordialisme,

egosektoral dan egosentrisisme; sikap dan berpikir parsial, tidak konsisten,

21

klaim sepihak, mementingkan golongan; budaya instant dan hedonisme;

kebijakan diambil tidak berdasarkan data empiris melainkan atas dasar

kepentingan sesaat dan golongan; dan merajalelanya kolusi, korupsi dan

nepotisme. Untuk mampu melihat secara jernih segala unsur yang

terkandung di dalam krisis multidimensi tersebut, kita perlu melakukan

kajian secara mendasar meliputi kajian filsafat, politik dan ideologi

khususnya bidang pendidikan.

Telaah filsafat telah memberi petunjuk adanya aliran-aliran pemikiran

dalam sejarahnya; sedangkan politik dan ideologi telah memberikan

konteks, persoalan dan solusi-solusinya. Terdapat benang merah secara

filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan multidimensi bangsa

Indonesia secara hermeneutika dapat didekati menggunakan narasi-narasi

besar dunia di satu sisi, dan di sisi lain dapat didekati menggunakan dialog

kecerdasan lokal atau kearifan lokal.

Pendidikan terdiferensiasi dari Politik, Ideologi dan Filsafatnya.

Dimensi pengalaman hipotesis intuisi mengidentifikasikan bahwa

Pendidikan Esensialisme Mutlak dengan demikian akan bersifat Anti-

Spiritualisme dengan sifat-sifat ikutan lain yang dapat diturunkan bahwa

diapun pada akhirnya bersifat Materialisme, Realisme, dan

Eksistensialisme. Di sisi lain, Pendidikan Eksistensialisme mengejar

kebenaran kepada yang Ada dan yang Mungkin Ada, dan dengan sendirinya

sekaligus sebagai pusatnya. Jika diekstensikan maka dengan mudah dapat

dipahami bahwa Pendidikan Eksistensialisme pada akhirnya juga bersifat

Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai

22

sejalan dengan Humanisme,Empirisisme, Nihilisme, Reduksionisme, dan

Resionalisme. Dikarenakan bersifat Anti-Spiritualisme, maka Pendidikan

Esensialisme dan Pendidikan Eksistensialisme akan menghasilkan

Hedonisme.

Secara normatif, Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka

Pendidikan Realisme Mutlak bersifat Anti-Idealisme, namun sejalan dengan

Materialisme, Empirisisme dan Eksistensialisme. Rasionalisme mengejar

hakekat kebenaran pada Rasio; maka Pendidikan Rasionalisme Mutlak

berpusat pada Rasio, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia

adalah juga Anti-Spiritualisme, beserta sifat-sifat ikutan yang dapat

diturunkan yaitu Egosentris, Eksploitasi Vital, Dunia yang terbelah, dan

bersifat Laskar Pendidikan. Anti-tesis diametris dari Rasionalisme adalah

Empirisisme; maka Pendidikan Empiris Mutlak mengejar hakekat

kebenaran pada Pengalaman Manusia, dan dengan demikian bersifat Anti-

Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan bersifat

Materialisme, Eksploitasi Vital, Saintisisme Mutlak, Hedonisme, dan

Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak. Pendidikan Relativisme Mutlak

mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan demikian maka

bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat diturunkan

sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial, Berakhiran Terbuka

(Open-ended) Mutlak, dan Hedonisme. Pendidikan Positivisme yang

bersifat Saintisisme Mutlak, Anti-Spiritualisme, Pendidikan Laskar,

Kapitalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme, Materialisme, Liberalisme,

Open-ended Mutlak (Marsigit, 2014).

23

3. Aksiologi

Peran pendidikan dimulai dari aspirasi masyarakat yang

menginginkan kecerdasan dalam kehidupan berbangsa (Pembukaan UUD

NRI Tahun 1945). Kehidupan berbangsa harus dijalani masyarakat

Indonesia dengan mempunyai kemampuan kognitif, afektif, dan

psikomotor berbasis kearifan lokal (local wisdom) dan penguasaan

teknologi informasi komunikasi.

Pendidikan yang Berkemajuan akan menjamin masyarakat menjadi melek

teknologi, informasi, dan komunikasi sehingga mampu beradaptasi.

C. Filsafat Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

Pengembangan pendidikan tidak akan sukses selama pelaku-pelaku yang

berkompeten untuk menunjang pendidikan tersebut tidak saling bekerja sama.

Oleh karena itu, pengembangan pendidikan perlu dilakukan di luar sekolah atau

pada masyarakat secara umum sesuai dengan kearifan lokal masing-masing

(Yunus, 2014: 6).

1. Ontologi

Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh

pendidikan yang berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan

kebudayaan di dalam kurikulum pendidikan. Mulai dari TK (Taman

Kanak-kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah unsur-unsur

kebuda-yaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca

indera jasmani, kecerdasan dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti.

Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,

24

mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara lagu, cerita

dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran

dan budi pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar, misalnya di Sekolah

Menengah Pertama (Taman Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah

Menengah Madya), diberikan pelajaran olah gendhing (Suparlan, 2015).

2. Epistemologi

Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar telah

mengakibatkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya

mencerdaskan kehi-dupan bangsa dan proses pemerdekaan manusia,

tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas. Untuk

menangkal model pendidikan sebagai komoditas maka konsep

pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap

distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat pendidikan adalah sebagai usaha

untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak,

sehingga anak menjadi manusia yang utuh baik jiwa dan rohaninya.

Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut dengan filsafat

pendidikan among yang di dalamnya merupakan konvergensi dari

filsafat progresivisme tentang kemam-puan kodrati anak untuk

mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi deng-an memberikan

kebebasan berpikir seluas-luasnya, dipadukan dengan pemikir-an

esensialisme yang memegang teguh kebudayaan yang sudah teruji

selama ini. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara menggunakan

25

kebudayaan asli Indonesia sedangkan nilai-nilai dari Barat diambil

secara selektif adaptatif sesuai dengan teori trikon (kontinyuitas,

konvergen dan konsentris). Tiga kontribusi filsafat pendidikan Ki Hadjar

Dewantara terhadap pendidikan Indonesia adalah penerapan trilogi

kepemimpinan dalam pendidikan, tri pusat pendidikan dan sistem

paguron. Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan

untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat

Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam per-

guruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat

(Suparlan, 2015).

Dwiarso (2010) mengemukakan Ki Hadjar Dewantara

memasukkan kebudayaan dalam diri anak dan memasukkan

diri anak ke dalam kebudayaan mulai sejak dini, yai-tu

Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri No,

yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton

di sini adalah secara pasif dengan segenap panca indera.

Niteni (affective) adalah menandai, mem-pelajari,

mencermati apa yang ditangkap panca indera, dan nirokke

(psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk bekal

menghadapi perkembangan anak (Suparlan, 2015).

Selain Ki Hadjar Dewantara, di Kalimantan Tengah juga ada Huma

Betang, Abubakar HM (2016) mengemukakan Huma Betang mememiliki

filosofis secara sosiologi pada kehidupan masyarakat dan diatur dalam

Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 10 tahun 2010 Tentang

26

Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16

Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah .

Huma Betang adalah rumah adat khas yang dihuni oleh masyarakat

Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat

pemukiman suku Dayak Kalimantan Tengah. Hal inilah yang melandasi

adanya Huma Betang bila dilihat dari konteks sejarah maka tidaklah heran

bahwa Huma Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi masyarakat

Kalimantan Tengah. Mengenai model bangunan perlu disampaikan bahwa

Huma Betang menyerupai rumah panggung yang apabila dilihat dari

model dan kontruksi bangunan Huma Betang tersebut tinggi dan

memanjang, secara tidak langsung hal tersebut merujuk kepada maksud

dan tujuan. Secara garis besar tinggi dari pada Huma Betang tersebut

berkisar tiga sampai lima meter dari permukaan tanah dan panjang

bangunan diperkirakan mencapai 150 dan lebar sampai dengan 30

meter(4).

Huma Betang di Kalimantan Tengah adalah perilaku hidup yang

menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta

taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam). Dalam

Huma Betang tersebut terdapat empat pilar falsafah hidup utama yaitu:

Kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan menjunjung tinggi Hukum adat

dan Hukum nasional dengan menjunjung tinggi prinsip hidup “Belom

Bahadat” (artinya hidup bertata krama dan beradab) dan “Belom Penyang

Hinje Simpei” (hidup dalam kedamaian, kebersamaan, kesetaraan,

27

keharmonisan, toleransi, menjunjung tinggi hukum dan kerja sama untuk

meraih kesejahteraan bersama).

Falsafah Huma Betang yang merupakan pilar kehidupan masyarakat

Dayak kalimantan Tengah berkaitan erat dan sesuai dengan falsafah

Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia yaitu Bhineka

Tunggal Ika. Interkoneksi nilai-nilai Huma Betang dengan falsafah

Pancasila meliputi nilai untuk hidup

saling tolong menolong, rukun, saling menjaga keamanan dan pertahanan,

serta saling menghargai dan memberi kebebasan beragama dalam konteks

kehidupan berbangsa dan bernegara (Pelu dan Tarantang, 2018).

Di lain daerah, Fakta sejarah bahwa masyarakat Gorontalo memiliki

tradisi yang jika diperhatikan dengan baik akan melahirkan kondisi

kolektif di masyarakat. Pengakuan dan pelaksanaan nilai kolektifitas inilah

sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara ini

sesulit apapun kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat jika

dihadapi dengan rasa kebersamaan tentu masalah itu dapat diatasi. Dan

sarana yang dapat menciptakan rasa kolektifitas masyarakat Gorantalo

adalah Huyula (Yunus, 2014: 8).

Huyula dapat pula disebut sebagai karakter lokal Gorontalo yang

terwariskan secara turun temurun. Menurut Noor (Mohammad, 2005:376-

377) karakter masyarakat adat Gorontalo adalah; penganut agama Islam

yang taat (100% orang Gorontalo) kecuali pendatang dan yang pindah

agama, tetapi masyarakat Gorontalo yang beragama Islam tidak fanatik,

menghormati pemimpin yang sering mengarah pada kultus individu

28

selama pemimpin tersebut memihak kepada kepentingan rakyat yang

diperkuat oleh ajaran Islam, dan masyarakat Gorontalo sangat familiar,

menghargai kebersamaan, terdiri dari rumpun keluarga yang sangat erat

hubungannya satu sama lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan budaya

Huyula sebagai modal masyarakat Gorontalo membangun daerahnya.

Tetapi, dengan hadirnya globalisasi yang kurang terfilterisasi dengan baik

menyebabkan budaya Huyula sedikit demi sedikit hilang dalam kebiasaan

masyarakat Gorontalo (Yunus, 2014: 8).

3. Aksiologi

Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan kepada anak didik karena

merupakan kesenian yang amat indah yang mengandung rasa kebatinan,

rasa kesucian, dan rasa keindahan (Suparlan, 2015). Peran Seni tari

melalui makna tari itu sendiri yang harus diterapkan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Makna dari seni tari itulah yang salah satunya

melandasi filosofi Ki Hadjar Dewantara.

Ketika anak didik sudah menginjak pada pendidikan Taman Muda

(Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka konsep

pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan Nglakoni.

Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik

intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara 'ngerti',

melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta

nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah anak

menjalani proses belajar mengajar dapat mengerti dengan akalnya,

29

memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau

melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan

masyarakat (Suparlan, 2015).

Di Kalimantan Tengah, Huma Betang sebagai filosofi masyarakat.

Farada (2015) mengemukakan filosofi dari Huma Betang merupakan

nilai-nilai yang akan selalu melekat pada diri setiap masyarakat

Kalimantan Tengah dalam arti kata, nilai-nilai yang ada didalam Huma

Betang tersebut bukan hanya sekedar warisan akan tetapi untuk dikelola

oleh masyarakat Kalimantan Tengah. Walaupun tidak dapat dipungkiri

lagi bahwa Huma Betang akan punah seiring berjalannya waktu dan arus

globalisasi dan modernisasi (Pelu dan Tarantang, 2018).

Di Gorontalo, budaya Huyula merupakan budaya Gorontalo

yang diwariskan oleh leluhur yang memiliki nilai-nilai seperti

kerja sama, tanggung jawab dan toleransi yang mulai

dilupakan oleh masyarakat Gorontalo sehingga kondisi ini jika

tidak mendapat perhatian dari seluruh elemen masyarakat

Gorontalo akan menyebabkan hilangnya budaya Huyula di

Gorontalo (Yunus, 2014: 9).

D. Filsafat Pendidikan dalam Pembelajaran abad 21

1. Ontologi

Globalisasi merupakan era dimana tidak ada lagi batas antara

negara-negara dalam menjalani kerjasama dalam berbagai bidang yaitu

ekonomi, sosial budaya, politik, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan

30

perdamaian dunia (Ben-Peretz, 2009). Pengaruh globalisasi yang sedang

dan akan berlangsung akan berpengaruh terus-menerus sampai waktu

yang tidak ditentukan dan ini semakin sulit untuk diatasi. Melihat

kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan

datang, rasanya sangat berat sehingga bangsa Indonesia harus secara

serius menangani masalah ini (Suparlan, 2015).

Harari (2018) mengemukakan tentang bagaimana pikiran manusia

menghadapi masa kini. Pikiran kita saat ini adalah akumulasi perjalanan

budaya sapiens selama 2,5 juta tahun. Jadi otak manusia adalah biologis,

tetapi pikiran adalah budaya. Karena pikiran adalah produk budaya, ia

rentan terhadap relasi kekuasaan sama seperti bentuk-bentuk budaya

lainnya. Maka itu akan memengaruhi cara kita melihat 'kebenaran'.

Setelah berevolusi selama 2,5 juta tahun, apakah kita semakin pintar?

Sepertinya tidak. Produk utama pikiran manusia pada abad 21 adalah

kebodohan. Dia memperingatkan bahwa, "Kita seharusnya tidak

meremehkan kebodohan manusia.” Ada dua produk utama pikiran

manusia 'bodoh' pada abad ke-21: yang pertama adalah Artificial

Intelligence (AI). Produk kedua adalah serangkaian logika manusia yang

terpelintir.

AI tidak bodoh. Sebaliknya, itu cukup cerdas seperti namanya. Namun AI

menampilkan paradoks dari kecerdasan kita. Pikiran manusia begitu

pintar sehingga mampu menciptakan sesuatu yang bahkan lebih pintar

daripada manusia itu sendiri. Tunggu dulu, ini tidak terdengar pintar

31

sama sekali. Mungkin ini bodoh. Mengapa pikiran manusia menciptakan

sesuatu yang akan membuat pikiran manusia itu sendiri usang? Ini cukup

merusak diri jika Anda memikirkannya. Bunuh diri penuh kesadaran,

dalam setiap arti kata. Disimpulkan bahwa manusia menggunakan

kecerdasan mereka untuk menciptakan hal-hal yang pada akhirnya akan

membuat pikiran mereka sendiri tidak berguna. Alasannya adalah karena

manusia menyerahkan kekuasaan mereka untuk membuat keputusan

untuk Artificial Intelligence. Pikiran tidak dapat memutuskan video

Youtube mana yang harus ditonton tanpa melihat bagian yang

direkomendasikan. Rekomendasi ini adalah algoritma, yang pada

dasarnya AI secara halus membuat keputusan atas nama saya. Harari

mengatakan bahwa di masa lalu, "... massa memberontak melawan

eksploitasi." Di masa sekarang, "... massa takut tidak relevan." Manusia

dibuat berlebihan oleh AI. Orang-orang diberhentikan dari pekerjaan

mereka karena keputusan yang dibuat oleh bos AI mereka yang dapat

menghitung efisiensi kerja lebih akurat daripada bos manusia. Di mana

manusia kurang? Pada dasarnya kita kekurangan kecepatan. Sekali lagi,

ini adalah kesalahan dan kebodohan kita sendiri untuk menciptakan

sesuatu yang sangat cepat seperti komputer. Era digital kekuatan yang

paling penting diperoleh melalui "konektivitas dan kemampuan

pembaruan". Sayangnya, manusia sangat lambat untuk terhubung dan

memperbarui diri, meskipun nama-nama mewah yang kami berikan

untuk dua keterampilan ini, yaitu sosialisasi dan pendidikan. Untuk

terhubung, kita hanya manusia perlu bersosialisasi untuk membuat

32

jaringan. Ini membutuhkan banyak waktu dan kesabaran, terutama untuk

mendapatkan kepercayaan orang lain. Untuk memperbaharui diri kita,

kita memiliki institusi mewah yang disebut pendidikan dan proses mewah

yang disebut pembelajaran. Pendidikan formal dari playgroup ke program

doktor membutuhkan rata-rata 26 tahun. Sebaliknya, apa yang harus

dilakukan AI untuk menghubungkan dan memperbarui sendiri? Hanya

satu hal: colokkan. Ini akan menghubungkan dirinya dengan AI lain dan

menyerap data dalam hitungan detik. Hanya itu saja. Tidak repot. Tidak

berantakan. Dibandingkan dengan AI, manusia hanyalah sekumpulan

saraf yang tidak efisien. Tidak heran kita dibuat berlebihan.

Setelah AI, yang kedua pada daftar kebodohan manusia adalah

logika bengkok. Kami berpikir bahwa manusia tumbuh lebih bijak setelah

total 2,5 juta tahun berlatih menjadi manusia. Tetap cerdas dan sehat di

tengah-tengah cara berpikir yang tidak konsisten bahwa manusia

mengabadikan untuk menghibur baik secara temporal dan spasial.

2. Epistemologi

Pendidikan adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap mansuia

yang dilakukan di sekolah. Pembelajaran mengajarkan keterampilan

mengerjakan aktivitas tertentu berdasarkan teori dan pengalaman. Zubaidah

(2016) mengemukakan kehidupan di abad ke-21 menuntut berbagai

keterampilan yang harus dikuasai seseorang, sehingga diharapkan

pendidikan dapat mempersiapkan siswa untuk menguasai berbagai

keterampilan tersebut agar menjadi pribadi yang sukses dalam hidup.

Keterampilan-keterampilan penting di abad ke-21 masih relevan dengan

33

empat pilar kehidupan yang mencakup learning to know, learning to do,

learning to be dan learning to live together. Empat prinsip tersebut masing-

masing mengandung keterampilan khusus yang perlu diberdayakan dalam

kegiatan belajar, seperti keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah,

metakognisi, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, inovasi dan

kreasi, literasi informasi, dan berbagai keterampilan lainnya. Pencapaian

keterampilan abad ke-21 tersebut dilakukan dengan memperbarui kualitas

pembelajaran, membantu siswa mengembangkan partisipasi, menyesuaikan

personalisasi belajar, menekankan pada pembelajaran berbasis

proyek/masalah, mendorong kerjasama dan komunikasi, meningkatkan

keterlibatan dan motivasi siswa, membudayakan kreativitas dan inovasi

dalam belajar, menggunakan sarana belajar yang tepat, mendesain aktivitas

belajar yang relevan dengan dunia nyata, memberdayakan metakognisi, dan

mengembangkan pembelajaran student-centered. Berbagai keterampilan

abad ke-21 harus secara eksplisit diajarkan. Secara singkat, pembelajaran

abad ke-21 memiliki prinsip pokok bahwa pembelajaran harus berpusat

pada siswa, bersifat kolaboratif, kontekstual, dan terintegrasi dengan

masyarakat. Peran guru dalam melaksanakan pembelajaran abad ke-21

sangat penting dalam mewujudkan masa depan anak bangsa yang lebih

baik.

US-based Partnership for 21st Century Skills (P21), mengidentifikasi

kompetensi yang diperlukan di abad ke-21 yaitu “The 4Cs”communication,

collaboration, critical thinking, dan creativity. Kompetensi-kompetensi

tersebut penting diajarkan pada siswa dalam konteks bidang studi inti dan

34

tema abad ke-21. Assessment and Teaching of 21st Century Skills

(ATC21S) mengkategorikan keterampilan abad ke-21 menjadi 4 kategori,

yaitu way of thinking, way of working, tools for working dan skills for

living in the world (Griffin, McGaw & Care, 2012). Way of thinking

mencakup kreativitas, inovasi, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan

pembuatan keputusan. Way of working mencakup keterampilan

berkomunikasi, berkolaborasi dan bekerjasama dalam tim. Tools for

working mencakup adanya kesadaran sebagai warga negara global maupun

lokal, pengembangan hidup dan karir, serta adanya rasa tanggung jawab

sebagai pribadi maupun sosial. Sedangkan skills for living in the world

merupakan keterampilan yang didasarkan pada literasi informasi,

penguasaan teknologi informasi dan komunikasi baru, serta kemampuan

untuk belajar dan bekerja melalui jaringan sosial digital (Zubaidah, 2016).

3. Aksiologi

Setiap siswa belajar dengan cara yang berbeda-beda, sehingga guru

ditantang untuk menemukan cara membantu semua siswa belajar secara

efektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat bentuk-bentuk

pedagogi yang secara konsisten lebih berhasil dari yang lain dalam

membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang

keterampilan abad ke-21. Wagner (2010) dan Change Leadership Group

dari Universitas Harvard mengidentifikasi kompetensi dan keterampilan

bertahan hidup yang diperlukan oleh siswa dalam menghadapi kehidupan,

dunia kerja, dan kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada tujuh

(7) keterampilan berikut: (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan

35

masalah, (2) kolaborasi dan kepemimpinan, (3) ketangkasan dan

kemampuan beradaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) mampu

berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) mampu

mengakses dan menganalisis informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu

dan imajinasi.

Di antara ragam kompetensi dan keterampilan yang diharapkan

berkembang pada siswa sehingga perlu diajarkan pada siswa di abad ke-

21 di antaranya adalah personalisasi, kolaborasi, komunikasi,

pembelajaran informal, produktivitas dan content creation. Elemen

tersebut juga merupakan kunci dari visi keseluruhan pembelajaran abad

ke-21. Dunia kerja juga sangat memerlukan keterampilan personal

(memiliki inisiatif, keuletan, tanggung jawab, berani mengambil resiko,

dan kreatif), keterampilan sosial (bekerja dalam tim, memiliki jejaring,

memiliki empati dan rasa belas kasih), serta keterampilan belajar

(mengelola, mengorganisir, keterampilan metakognitif, dan tidak mudah

patah semangat atau merubah persepsi/sudut pandang dalam menghadapi

kegagalan) (Zubaidah, 2016). Keterampilan abad 21 perlu dikuasai oleh

manusia yang tidak ingin kesejahteraannya akan berkurang atau

pembelajarannya akan tertinggal jauh.

E. Strategi Filsafat Pendidikan Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0

Sistem pendidikan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman,

baik kurikulum, metode dan model, konten, sarana dan prasana, dan media

pembelajaran. Perkembangan zaman saat ini telah memasuki revlosi industri

4.0. Shcwab (2006: 11) mengemukakan.

36

The word “revolution” denotes abrupt and radical change. Revolutions have occurred throughout history when new technologies and novel ways of perceiving the world trigger a profound change in economic systems and social structures. Given that history is used as a frame of reference, the abruptness of these changes may take years to unfold.

Artinya "revolusi" menunjukkan perubahan yang tiba-tiba dan radikal.

Revolusi telah terjadi sepanjang sejarah ketika teknologi baru dan cara baru

memahami dunia memicu perubahan besar dalam sistem ekonomi dan struktur

sosial. Mengingat bahwa sejarah digunakan sebagai kerangka acuan, maka

perubahan yang mendadak ini mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun

untuk berkembang. Sekarang telah memasuki revolusi industri keempat. Itu

dimulai pada pergantian abad ini dan dibangun di atas revolusi digital. Ini

ditandai dengan lebih banyak di mana-mana internet seluler, dengan sensor

yang lebih kecil dan lebih kuat telah menjadi lebih murah, dan dengan

kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin. Teknologi digital yang memiliki

perangkat keras komputer, perangkat lunak, dan jaringan di inti mereka

bukanlah hal baru, tetapi tidak berhubungan dengan revolusi industri ketiga,

mereka menjadi lebih canggih dan terintegrasi dan, sebagai akibatnya,

mentransformasikan masyarakat dan ekonomi global.

1. Ontologis

Jika kita menuju hilirnya Filsafat, kita akan menemukan Pendidikan

Berbasis Rasio atau Berbasis Kognitif, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat

diturunkan sebagai atau berbentuk Cognitive-Based Education, Anti-

Spiritualisme, Dunia Parsial dan Hedonisme. Dalam era Kontemporer

(Revolusi Industri 4.0), terdapat main-set yang cukup kuat dan signifikan

37

bahwa semua pengambil kebijakan Pendidikan di Indonesia akan

mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Pasar, yang dengan sendirinya

akan mencari hakikat kebenaran ada di dalam Pasar. Dengan metode yang

sama seperti sudah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan

Berbasis Pasar dengan sendirinya bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-

sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai Reduksionisme, Eksploitasi Vital,

Kompetisi Mutlak, Egosentrik, Hegemoni, Dunia Terpotong, Materialisme,

ragmatisme, Hedonisme, dan Pendidikan Laskar. Pendidikan Konseratif

Mutlak mempunyai sifat Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Monokulturisme,

Egosentrik, dan Ethical Closed-ended Mutlak (Nilai Budaya Tertutup Mutlak).

Dari Narasi Besar nya Dunia Kontemporer, kita menjumpai adanya

Pendidikan Liberalisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-ended

Mutlak, Kebebasan Mutlak, Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi.

Pendidikan Kapitalisme yang bersifat Anti-Spiritualisme, Eksploitasi Vital,

Materialisme, Pragmatisme, Hedonisme, Kapital Mutlak, Kompetisi Mutlak,

Reduksionisme, Sosialisme, Dunia Terpotong, Closed-ended, dan Alienisasi.

Pendidikan Humanisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Hedonisme,

Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Konstruksi Sosial dengan sifat

Eksploitasi Vital, Kolaborasi, Heterogonomous, Egosentris, dan Open-ended.

Pendidikan Pragmatisme Mutlak yang bersifat Praktis (budaya instant), Anti-

Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-Idealsime. Pendidikan Sentralistik yang

bersifat Monokultur, Eksploitasi vital, Pendidikan Laskar, Closed-ended

Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia Terbelah, Sosialisme,

Kapitalisme, De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan Formalisme yang

38

bersifat Top-Down, Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme,

Sentralistik, Eksploitasi Vital, Pendidikan Laskar, Egosentris, dan Dunia

Terbelah. Pendidikan Demokrasi Pancasila yang seyogyanya bersifat

Spiritualsme, Mono-Dualis (Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-

tertutup, Demokratis, Public Educator, Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal

Ika (monokultur-heterogonomous), dan Dunia-Akhirat (seutuhnya) (Marsigit,

2014).

2. Epistemologis

Bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada pembangunan

mengedepankan infrastruktur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur

tetapi lupa bahwa sekarang memasuki era modernisasi dan industrialisasi

berbasis sains dan teknologi sebagai indikator utamanya. Mahfud (2016)

mengemukakan kemajuan sains dan teknologi memang telah mampu

membuka lebar rahasia alam semesta. Komunikasi dan infromasi semakin

dekat antara negara-negara di dunia. Pergesekan akibat berbagai kebudayaan,

tata nilai, dan norma saling bertemu membawa konflik dan menjadi beban

pergeseran tata nilai yang dapat menghancurkan manusia, misalnya dengan

tidak percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta dunia.

Kebudayan dan teknologi sering bergeseran satu sama lainnya yang

menyebabkan berbagai patologi sosial di masyarakat. Sebab akibat yang

dirasakan oleh masyarakat juga telah menjadi lahan untuk terus berupaya

berkembang dalam mempertahankan diri. Pendidikan merupakan sistem

pertahanan diri untuk tetap hidup berdampingan dengan era revolusi industri

4.0.

39

3. Aksiologis

Implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia berbasis Disiplin

Ilmu Egosentris dengan Epistemologi Pendidikan berupa Pendidikan

Laskar dan Metode Pendidikan melalui cara Indoktrinasi untuk menuju

Masyarakat Terdealienasi (Uniformitas) sebagai prasyarat terwujudnya

hilirnya bagi Karakter Kontemporer Global (Power Now-

(Neo)Kapitalisme). Oleh karena ini Politik Pendidikan Kontemporer

Indonesia sejalan dengan Politik Pendidikan Kapitalisme dan Politik

Pendidikan Saintisisme; bahkan untuk aspek tertentu bersinggungan

dengan Politik Pendidikan Sosialisme yaitu pada Epistemologi Dealienasi

(Uniformitas). Perlu dicatat bahwa Ontologi Dealienasi merentang pada

kesamaan sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada; sehingga terdapat

wacana bagi diperolehnya Uniformitas hak dan kewajiban (Marsigit, 2014).

Strategi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan revolusi

industri 4.0 sehingga masyarakat mampu hidup dalam pergaulan dan

interaksi. Nils A. Shapiro mengemukakan ada enam strategi untuk

mengahdapi tantangan revolusi industri 4.0, yaitu:

a. Perencanaan yang cermat (carefull planning);

b. Latihan dan Pengalaman (training and experince);

c. Bersedia belajar dari orang lain (willingness to learn from others);

d. Bersedia bekerjasama selama dan sekeras diperlukan (commitment

to working as long and as hard as necessary); and

e. Tabah menghadapi kekecewaan dan kemunduran (courage to

overcome disappointed and setbeacks) (Mahfud, 2016: 112-115).

Enam hal tersebut merupakan hasil pengalaman di lapangan atau sesuai realitas

empirik. Enam hal tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi dan

40

karakteristik masing-masing orang sehingga strategi itu dapat berhasil guna sesuai

tujuan dan prosedur yang berlaku.

F. Referensi

Abubakar HM. (2016). Huma Betang dan Aktualisasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya Dayak. Humanika 1(2). 259-294. http:// garuda. ristekdikti. go. id / journal/article/508819

Ben-Peretz, M. (2009). Policy-making in education : a holistic approach in response to global changes. Maryland-The United States of America: Rowman & Littlefield Education

Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. London: Jonathan Cape-Penguin Random House LLC. Direview: Suzie Handajani (2018): Jurnal Humaniora 30(3). 342-344. http://doi.org/10.22146/jh.v30i3.39310

https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Kristiawan, M. 2016. Filsafat Pendidikan “The Choice is Yours”. Jogyakarta: Valia Pustaka

Marsigit. (2014). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan. Orasi Ilmiah pada Rapat majelis Guru Besar. Yogyakarta: UNY. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd

Mahfud, C. (2016). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama

Mudyahardjo, R. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nashir, H. (2018). Muhammadiyah dan Kehadiran Islam Berkemajuan di Indonesia. Makalah ini disampaikan dalam kuliah umum di Monash University, 16 Februari 2018. http://www.suaramuhammadiyah.id/ 2018/02/16/muhammadiyah-dan-kehadiran-islam-berkemajuan-di-indonesia/

Pelu, I.E.AS. dan Tarantang, (2018). Interkoneksi Nilai-Nilai Huma Betang Kalimantan Tengah dengan Pancasila. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 14(2). 119-126. DOI: htpps://10.23971/jsam.v14i2.928

Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat 25(1). 56-74. https://doi.org/10.22146/jf.12614

41

Tatang. 2018. Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: UPI. http:// file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/...PENDIDIKAN/BBM_2.pdf diakses tgl 19 Desember 2018

Tola, B. (2014). Fungsi Filsafat Pendidikan Terhadap Ilmu Pendidikan. Jurnal Irfani 10(1). 54-62. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ir

Yunus, R. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish

Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan Yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21, tanggal 10 Desember 2016 di Program Studi Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa Sintang – Kalimantan Barat

42