miftahudinalbarbasy.files.wordpress.com · Web viewMenurut Slameto dalam bukunya belajar dan faktor...
Transcript of miftahudinalbarbasy.files.wordpress.com · Web viewMenurut Slameto dalam bukunya belajar dan faktor...
BAB IV
PEMBAHASAN
ETIKA BELAJAR MENGAJAR PERSPEKTIF K.H.M. HASYIM ASY’ARI
A. Etika Belajar Mengajar
Kata etika memiliki banyak pengertian. Secara etimoligis, etika berasal
dari bahasa Yunani kuno ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat; akhlak; watak;
perasaan; sikap; cara berfikir. Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat
kebiasaan, atau akhlak yang baik.1
Jadi secara etimologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu yang menentukan
bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan
apa yang buruk. Sehingga hal ini menjadi pemikiran dan pendirian mereka
mengenai apa yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut untuk dilakukan.2
Etika adalah cabang ilmu filsafat yang fokus perhatian utamanya tingkah
laku manusia terhadap sesama manusia, yang berkaitan dengan nilai baik dan
buruk. Jadi, dengan kata lain etika adalah penilaian baik-buruk mengenai
hubungan antar manusia.3
1 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia 1996), 217.2 Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 91.3 Imam Barnadib, Kode Etik Akademik: Telaah Deskriptif Awal (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Taman Siswa, 2002), 11.
64
Belajar berarti: berusaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu.4
Sedangkan pengertian belajar menurut beberapa ahli pendidikan antara lain
sebagai berikut:
a. Menurut Slameto dalam bukunya belajar dan faktor yang
mempengaruhinya, berpendapat bahwa: ”Belajar ialah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh sesuatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.5
b. Menurut Ahmad Mudzakir dan Joko Sutrisno dalam buku psikologi
pendidikan menyatakan: ”Belajar adalah suatu kegiatan atau usaha yang bertujuan
mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah
laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya”.6
Mengajar berarti: menyampaikan atau menjelaskan bahan ajar serta
melatih siswa untuk mencapai tujuan.7
Menurut Arifin yang dikutip oleh Muhibbin Syah, menyatakan bahwa
mengajar merupakan suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran
kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, dan mengembangkan bahan
pelajaran tersebut.8
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 271.5 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 2.6 Ahmad Mudzakir dan Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 2.7 Vembriato. dkk, Kamus Pendidikan (Jakarta: PT. Grasindo, 1994), 36.8 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 181.
65
Menurut Mustaqim, mengajar adalah suatu proses pengaturan kondisi-
kondisi dengan mana pelajaran membuah tingkah lakunya dengan sadar ke arah
tujuan-tujuan sendiri.9
Jadi, pengertian dari etika belajar mengajar adalah ilmu tentang yang baik
dan buruk dan tentang hak dan kewajiban yang harus dilakukan dan diperhatikan
oleh seorang murid di dalam belajar dan seorang guru di dalam mengajar.
B. Etika Belajar Perspektif K.H.M. Hasyim Asy’ari
Dalam hal ini K.H.M. Hasyim Asy’ari membagi menjadi 3 (tiga) poin
penting bagi seorang murid di dalam belajar, yaitu:
a. Etika Murid Terhadap Dirinya Sendiri
Dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) etika yang ditawarkan oleh K.H.M.
Hasyim Asy’ari, yaitu:
1. Mensucikan hatinya
Sebelum mengawali proses mencari ilmu pengetahuan, seorang
murid hendaknya mensucikan hatinya. Maksud mensucikan hatinya di sini
adalah dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawiaan. Seperti
sesuatu yang mempunyai unsur menipu, kekotoran hati, rasa dendam,
dengki, keyakinan dan budi pekerti yang tidak baik.10
9 Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2004), 91.10 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim: fîmâ yahtâj ilaih al-muta’allim fî Akhwâl ta’allumih wa mâ yatawaqqaf ‘alaih al-mu’allim fî maqâmât ta’lîmih, ed. Muhamad Isham Hadziq (Jombang: Turâts al-Islâmiy, 1415), 24.
66
Hal tersebut dilakukan agar bisa mempermudah dalam proses
penerimaan ilmu, penghafalan ilmu, dan juga pemahaman makna-makna
yang sulit dan yang tersirat.
2. Membangun niat yang luhur
Setelah seorang murid mensucikan hatinya, hendaklah ia memiliki
niat yang baik di dalam mencari ilmu. Di antaranya adalah seorang murid
di dalam mencari ilmu harus berniat untuk mencari ridha Allah SWT,
serta akan mengamalkan dan menghidupkan syariat agama Islam.
Selain dari itu, seorang murid di dalam mencari ilmu bertujuan
untuk menerangi hatinya dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
bukan untuk tujuan yang lain, misalnya supaya menjadi pemimpin,
memperoleh jabatan, mengumpulkan harta benda, mengalahkan orang
lain, mencari reputasi dan lain sebagainya.11
Rasulullah SAW bersabda:
11 Ibid., 25.
67
ب��ه يم��اري او العلم��اء ب��ه ليجاري العلم طلب من في الله ادخله الناس وجوه به يصرف او الفقهاء
12 النار
“Barang siapa yang mencari ilmu dengan tujuan akan mempergunakan ilmu tersebut untuk menjatuhkan alim ulama, atau berdebat dengan ahli agama, ataupun bertujuan untuk memalingkan pandangan manusia, maka Allah SWT akan memasukannya ke dalam api neraka”
Sufyân al-Tsauriy r.a berkata: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari
karena untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kelebihan ilmu
dibandingkan dengan selain ilmu adalah karena dengan ilmu itulah mereka
mendekatkan diri pada Allah SWT”.13
Ketika tujuan itu menjadi cacat, maka niat orang yang mencari
ilmu itu juga menjadi rusak. Hal ini karena ia hanya memakai ilmu itu
sebagai perantara untuk mencari kemewahan dunia yang sifatnya hanya
sementara, baik untuk mengumpulkan harta benda ataupun untuk
memperoleh jabatan. Pahala mencari ilmunya benar-benar telah sirna, dan
amal perbuatannya juga menjadi hilang. Sehingga akhirnya ia menjadi
orang yang sangat merugi.14
3. Tidak menunda-nunda waktu (kesempatan) belajar12 Imam Hafidz Abi Isya Muhamad Isya bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt), 4, 141. 13 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 23.14 Ibid., 24.
68
Seorang murid hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk
memperoleh ilmu ketika masih muda dan mempergunakan waktu sebaik-
baiknya. Jangan sampai seorang murid tertipu dengan menunda-nunda
belajar dan terlalu banyak berangan-angan, karena perjalanan umur
manusia seperti berputarnya waktu, yang tidak mungkin diganti dan
ditukar.
Selain daripada itu, seorang murid hendaknya menghentikan
segala kesibukan dan kegiatan yang akan menghalanginya dari kegiatan
belajar. Ia harus berusaha dengan segenap kemampuan dan bersungguh-
sungguh untuk menggapai keberhasilan di dalam belajar. Sebab bergelut
dengan kesibukan yang bersifat keduniawiaan dapat memalingkan dan
mengganggu konsentrasi belajarnya.15
Mengingat bahwa waktu (kesempatan) belajar yang berlalu
mustakhil akan terulang kembali. Oleh karena itu, seorang murid harus
benar-benar bisa memanfaatkan waktu (kesempatan) itu. Hal ini perlu
diperhatikan agar kelak tidak terjadi penyesalan.
4. Qana’ah dan sabar
15 Ibid., 25.
69
Hendaknya seorang murid itu menerima dengan penuh keikhlasan
hati (qana’ah)16 atas segala sesuatu yang ia terima, baik dalam hal bekal
ataupun pakaian. Ia juga harus bersabar atas kehidupan yang berada
dibawah standar yang di alami ketika sedang berada pada tahap ini (baca:
belajar). Al-Zarnuji di dalam kitabnya juga menjelaskan bahwa seorang
murid di dalam mencari ilmu harus tahan uji dan tabah.17
Dengan menanamkan sikap semacam itu, niscaya seorang murid
akan sukses mengarungi luasnya samudera ilmu pengetahuan, mampu
menata hati dan pikiran, serta memperoleh sumber-sumber hikmah.
Dalam hal ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip pendapatnya
Imam al-Syafi’i r.a yang menyatakan bahwa orang yang mencari ilmu
dengan perasaan hina, mengalami pelbagai kesulitan dan membantu
ulama, maka dialah orang yang akan merasakan keberuntungan yang
sejati”.18
Imam al-Syafi’i r.a juga menyatakan bahwa barang siapa yang
dirinya terkalahkan oleh kuatnya syahwat dunia, maka ia akan senantiasa
menjadi budak ahli dunia. Dan barang siapa yang qana’ah maka akan
hilang ketundukannya pada dunia.19
16 Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tidak ada. Menurut Muhamad bin Ali al-Tirmidzy, qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan. Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury, Risalat al-Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, terj. M. Lukman Hakim (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 174.17 al-Zarnuji, Pedoman Belajar untuk Pelajar dan Santri, terj. Noor Aufa Siddiq (Surabaya: al-Hidayah, tt), 78.18 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 26.19 A’im al-Kailani, Kumpulan Maqolah Imam Syafi’i (Kediri: Poros Dunia, 2009), 58.
70
5. Pandai mengatur waktu
Seorang murid hendaknya pandai di dalam membagi waktunya
baik siang ataupun malam dan mempergunakan setiap kesempatan yang
ada. Sebab waktu yang terbuang percuma itu tidak ada nilainya.
K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan waktu-waktu yang paling
baik untuk digunakan oleh seorang murid di dalam belajar yaitu:
a. Waktu sahur (waktu menjelang subuh) dipergunakan
untuk menghafalkan pelajaran
b. Waktu pagi dipergunakan untuk membahas pelajaran
c. Waktu setengah hari dipergunakan untuk menulis
d. Waktu malam dipergunakan untuk muthala’ah
(mendalami) dan mengingat pelajaran.
Selain soal waktu, seorang murid juga perlu memperhatikan
masalah tempat belajar. Dalam hal ini K.H.M. Hasyim Asy’ari
menyebutkan bahwa tempat yang paling baik untuk dipergunakan
menghafal adalah di dalam kamar dan semua tempat yang jauh dari hal-
hal yang akan bisa membuat lupa. Di antara tempat-tempat yang bisa
membuat lupa adalah di tempat tumbuh-tumbuhan, tanaman-tanaman
yang hijau, di tepi sungai dan di tempat-tempat yang bising.20
6. Menyederhanakan makan dan minum
20 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 26.
71
Hendaknya seorang murid tidak berlebihan (terlampau kenyang)
dalam hal mengkonsumsi makanan dan minuman. Karena, apabila perut
dalam keadaan terlampau kenyang, maka hal ini akan menghalanginya
untuk melakukan ibadah dan membuatnya malas, lebih-lebih di dalam
belajar.
Salah satu faidah dari mengurangi makan dan minum adalah badan
menjadi sehat, terhindar dari penyakit dan penyakit tidak mudah datang.
Karena sebab-sebab datangnya suatu penyakit biasanya adalah karena
terlalu banyak makan dan minum.
Sedangkan sehatnya hati adalah terhindar dari sifat berlebihan dan
sifat sombong. Kita tidak pernah melihat kekasih Allah SWT (wali), para
pemimpin umat, dan para ulama yang terpilih yang mempunyai ciri-ciri di
atas, atau pun sifat banyak makan.21
Imam al-Syafi’i r.a berkata: “Kenyang itu akan membuat badan
menjadi berat, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mengajak
tidur, dan melemahkan ibadah”.22
7. Bersikap wara’ dan berhati-hati dalam setiap tindakan
Hendaknya seorang murid menuntut dirinya sendiri agar bersifat
wira’i23 dan berhati-hati dalam setiap keadaan dan tindakan. Selanjutnya, 21 Ibid., 26-27.22 al-Kailani, Kumpulan, 35.23 Wira’i adalah menjaga diri dari perbuatan yang bisa merendahkan diri sendiri. Wara’ menurut Ibrahim bin Adham adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak
72
seorang murid hendaknya bersungguh-sungguh untuk memperoleh barang
yang halal, baik makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun
segala kebutuhannya.24
Al-Zarnuji menyebutkan sebagian dari sikap wara’ adalah menjaga
diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, banyak bicara (membicarakan
sesuatu yang tidak ada manfaatnya), dan sedapat mungkin menjaga jangan
sampai memakan makanan pasar.25
Hal yang demikian itu, perlu untuk diperhatikan demi menjaga
cahaya hati agar senantiasa cemerlang dalam menerima ilmu pengetahuan
dan kemanfaatannya. Dengan hati yang bercahaya niscaya di dalam
mencari ilmu pengetahuan akan menjadi mudah.
8. Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan
kebodohan
Hendaknya seorang murid pandai mengatur dalam hal pola makan.
Yakni, tidak memperbanyak makan makanan yang akan menjadi
penyebab kesulitan dalam menerima pelajaran dan memperlemah panca
indra. Di antaranya adalah memakan buah apel yang masam, kacang-
kacangan, dan minum cuka.
berarti, dan apapun yang berlebihan. al-Qusyairy al-Naisabury, Risalat al-Qusyairiyyah, 103.24 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 27.25 al-Zarnuji, Pedoman Belajar, 95.
73
Begitupun juga makanan yang menimbulkan banyak dahak, yang
bisa melemahkan akal pikiran dan memperberat badan, seperti terlalu
banyak minum susu, makan ikan, dan lain sebagainya.26
Al-Zarnuji di dalam kitabnya menambahkan tentang makanan dan
hal-hal yang dapat menyebabkan lupa. Di antaranya adalah makan
ketumbar yang masih basah, melihat orang yang disalib, membaca tulisan
yang ada di papan atau batu nisan kuburan, dan berjalan di antara (disela-
sela) dua unta yang digandeng.27
9. Mengurangi waktu tidur
Maksud dari mengurangi waktu tidur yakni selama tidak
menimbulkan bahaya pada diri dan hatinya. Seorang murid hendaknya
ketika beristirahat dalam sehari semalam adalah tidak melebihi 8 (delapan)
jam dan itu sudah sepertiga waktu (dari 24 jam). Apabila seorang murid
mampu beristirahat kurang dari sepertiga waktu dalam sehari semalam,
maka ia dipersilahkan untuk melakukannya.
Selanjutnya, apabila murid merasa terlalu lelah, maka bukanlah
suatu kesalahan jika ia memberikan kesempatan untuk beristirahat
terhadap diri, hati, dan penglihatannya. Yakni dengan cara mencari
hiburan dan bersantai di tempat hiburan (yang tidak melanggar syara’)
26 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 27.27 al-Zarnuji, Pedoman Belajar, 106.
74
sehingga ketika kembali untuk melaksanakan segala aktifitasnya ia sudah
segar kembali.28
Abul Qo’qo menyebutkan dampak dari kebanyakan tidur di
antaranya adalah menyebabkan hati menjadi keras dan lalai, mematikan
semangat yang tinggi dan menjadikan tubuh terbiasa dan menyukai
kemalasan dan menunda-nunda kewajiban.29
10. Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaidah
Seyogyanya seorang murid di dalam mencari ilmu pengetahuan
hendaknya meninggalkan hal-hal yang kurang berfaidah. Di antaranya
adalah menjauhi pergaulan umum, karena menjauhinya itu lebih baik,
terutama bergaul dengan lawan jenis. Hal ini dikarenakan akan
membuatnya banyak bermain dan mengganggu akal pikiran.
Karena di antara watak manusia yang tidak baik adalah suka
mencuri kesempatan. Efek negatif dari pergaulan yang semacam itu
adalah banyaknya waktu yang terbuang sia-sia dan hilangnya rasa
keagamaan.30
Al-Zarnuji juga menambahkan agar seorang murid itu dapat
menjaga dan menjauhi orang yang rusak akhlaknya, orang yang suka
berbuat maksiat, dan orang yang suka menganggur.31
28 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 28.29 Abul Qo’qo Muhamad bin Shalih, 125 Kiat Salaf Menjadikan Waktu Produktif, terj. Izzudin al-Karimi (Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta, 2006), 195. 30 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 28.31 al-Zarnuji, Pedoman Belajar, 97.
75
Dalam hal ini K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan kriteria
seseorang yang baik untuk dijadikan sebagai seorang teman. Di antaranya
adalah seagama, bertaqwa, wira’i, bersih hatinya, banyak berbuat
kebaikan, sedikit berbuat kejelekan, memiliki harga diri yang baik, dan
sedikit berselisih dengan orang lain.32
b. Etika Murid Terhadap Guru
Etika seorang murid terhadap gurunya ada 12 (dua belas) macam,
yaitu:
1. Mempertimbangkan secara mendalam dan melakukan
sholat istikharah.33
Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang murid adalah
mempertimbangkan secara mendalam dan melakukan shalat istikharah di
dalam mencari seorang guru.
Seorang murid hendaknya berangan-angan dan memusyawarahkan
terlebih dahulu kepada yang lebih tahu. Hal ini penting agar tidak salah di
dalam memilih dan mencari seorang guru. Setelah seorang murid
bermusyawarah, ia hendaknya melakukan shalat istikharah agar diberi
petunjuk oleh Allah SWT.
32 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 28.33 Sholat untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT agar diberi jalan keluar yang terbaik.
76
K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan beberapa kriteria seorang
guru yang patut bagi seorang murid untuk dijadikan sebagai gurunya. Di
antaranya: ahli dibidangnya, memiliki kecakapan dan kredibilitas yang
baik, memiliki sifat kasih sayang, mempunyai sifat muru’ah, menjaga diri
dari perbuatan yang merendahkan martabat seorang guru, misalnya
tertawa terbahak-bahak, mempunyai metode pembelajaran yang baik serta
memiliki pemahaman yang mendalam dibidangnya.
Dalam hal ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip pendapat dari
Ibnu Sirrîn rahimahullah ta’ala yang menyatakan bahwa ilmu adalah
agama, maka hendaklah kita melihat (mempertimbangkan terlebih dahulu)
kepada siapakah kita mengambil agama itu (menimba ilmu
pengetahuan).34
2. Berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari
sosok guru.
Menurut K.H.M. Hasyim Asy’ari sosok guru yang baik adalah
yang mempunyai ilmu syariat yang baik, diakui oleh guru-guru yang lain,
banyak melakukan kajian, diskusi, tidak mempelajari ilmu hanya melalui
buku, dan bergaul dengan guru-guru lain yang lebih cerdas.
Dalam hal ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip perkataan dari
Imam al-Syafi’i r.a yang menyatakan bahwa orang yang mempelajari ilmu
34 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 29.
77
pengetahuan yang hanya melalui buku, maka ia telah menyia-nyiakan
ilmu tersebut.35
Oleh karena itu, seorang murid harus benar-benar memperhatikan
kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas. Agar ia dapat memperoleh
ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
3. Mengikuti jejak-jejak seorang guru
Hendaknya selama tidak keluar dari garis-garis ajaran agama
seorang murid harus selalu tunduk, taat dan patuh terhadap gurunya. Ia
tidak diperkenankan keluar dari pendapat dan segala aturan-aturan yang
telah dibuat.
Oleh karena itu, seorang murid hendaknya selalu meminta saran
(petunjuk) terlebih dahulu kepada sang guru atas apapun yang akan
dilakukannya serta berusaha mendapatkan restunya. Ia wajib hormat dan
berbakti kepada gurunya dengan sepenuh hati dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
K.H.M. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa kehinaan seorang
murid di hadapan gurunya merupakan suatu kemuliaan. Ketundukannya
adalah suatu kebanggaan dan kerendahan hati terhadapnya adalah suatu
keluhuran.36
35 Ibid.36 Ibid., 30.
78
Dengan ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kita kepada seorang
guru, niscaya di dalam kita mencari ilmu pengetahuan akan mendapatkan
manfaat dan keberkahan. Karena ilmu pengetahuan itu tidak dapat diraih,
kecuali dengan sikap rendah diri, penuh perhatian, dan mau mendengar
dengan khusu’.
4. Menghormati guru
Hendaknya seorang murid harus selalu berpandangan bahwa guru
adalah sosok yang agung dan terhormat. Sikap yang demikian ini akan
mendekatkan kepada keberhasilan seorang murid dalam meraih ilmu
pengetahuan yang bermanfaat. K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip
pendapatnya Abu Yusuf rahimahullah ta’ala yang menyatakan bahwa
orang yang tidak mempunyai keyakinan kemuliaan gurunya maka ia tidak
akan memperoleh kebahagiaan.
Dalam hal ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan bentuk-
bentuk penghormatan seorang murid terhadap seorang guru, di antaranya
adalah tidak memanggil gurunya dengan panggilan “kamu”, tidak
memanggil dengan nama asli gurunya, tetapi dengan menggunakan
sebutan “wahai Tuanku” atau “wahai Guruku”.
Disamping itu, seorang murid tidak sepatutnya menyebut nama
gurunya di hadapan orang lain kecuali disertai dengan kalimat-kalimat
79
atau sebutan lain atau nama kehormatan, seperti Syekh (tuan guru), Ustâdz
(guru), Syaikhuna (guru kami), dan sebagainya.37
Lebih lanjut, sebagian dari memuliakan seorang guru, ialah tidak
berjalan di depannya, duduk di tempat duduknya, memulai bicara kecuali
mendapat izin darinya, tidak mengajukan pertanyaan jika guru sedang
dalam keadaan tidak enak, jangan sampai mengetuk-ngetuk pintunya,
tetapi sabarlah sebentar tunggu sampai dia keluar.38
5. Memperhatikan apa yang menjadi hak guru
Hendaknya seorang murid mengetahui kewajibannya kepada sang
guru dan tidak pernah melupakan jasa-jasa, keagungan dan kemuliannya,
serta selalu mendo’akan gurunya, baik ketika beliau masih hidup atau
setelah meninggal dunia.
Selalu menjaga keturunannya, kerabat, dan orang-orang yang
beliau kasihi serta selalu menekankan terhadap dirinya sendiri untuk selalu
berziarah ke makam beliau untuk memintakan ampun, memberikan
sadaqah atas nama beliau, selalu menampakan budi pekerti yang baik dan
memberikan petunjuk kepada orang yang membutuhkan.
Selain itu, seorang murid harus selalu menjaga adat istiadat, tradisi
dan kebiasaan yang dilakukan oleh gurunya, baik dalam masalah agama
ataupun dalam masalah keilmuan. Ia juga harus mempergunakan budi
37 Ibid.38 al-Zarnuji, Pedoman Belajar, 26.
80
pekerti seperti apa yang telah dilakukan gurunya, selalu setia, tunduk dan
patuh kepadanya dalam keadaan apapun dan di manapun berada.39
6. Bersabar terhadap kekerasan guru
Seorang murid hendaknya bersabar atas perilaku atau sikap buruk
guru. Hendaknya perilaku atau sikap tersebut tidak menjadi penghalang
bagi seorang murid untuk selalu menimba ilmu dan menyakini
kesempurnaan guru dengan baik. Yaitu, dengan beranggapan bahwa
sesungguhnya perilaku guru, pada hakikatnya, itu bertolak belakang
dengan apa yang tampak.
Apabila seorang guru bersikap keras terhadapnya, akan lebih bijak
jika seorang murid segera mendahului untuk meminta maaf. Hal ini
dilakukan sebagai wujud introspeksi diri dan mengakui kesalahan serta
meminta restunya. Karena sikap yang demikian itu justru akan lebih
memantapkan jiwa gurunya dalam menapaki keutamaan, sehingga ia akan
segera menyadari kesalahannya dalam memberikan bimbingan.
Perlu diperhatikan bahwa teguran guru adalah petunjuk dan
perbaikan untuk sikap seorang murid. Murid hendaknya menyikapi
teguran guru itu sebagai nikmat Allah SWT dalam bentuk perhatian dan
koreksi guru atas dirinya. Hal ini akan bisa mendekatkan dirinya kepada
sang guru dan akan mendorongnya untuk lebih memperhatikan sikap baik
guru.
39 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 30-31.
81
Jika pada suatu kesempatan sang guru memberi petunjuk tentang
etika atau kekurangan yang ada dalam dirinya dan sebenarnya ia sudah
mengetahuinya, maka hendaknya jangan menampakkan bahwa ia sudah
mengetahuinya dan berpura-pura lupa. Akan tetapi, hendaknya seorang
murid berterima kasih terhadap guru atas petunjuk dan perhatiannya
terhadap persoalan tersebut.
Akan tetapi, jika ia (murid) mempunyai alasan terhadap sikap
tertentu, namun ternyata petunjuk guru lebih baik, maka hendaknya
petunjuk itu dilaksanakan. Dan jika ternyata tidak lebih baik maka bisa
ditinggalkan, kecuali jika ada bahaya tatkala mengabaikan petunjuk
tersebut, maka petunjuk guru tetap dilaksanakan.40
7. Berkunjung kepada seorang guru dengan sopan santun
Seorang murid ketika akan berkunjung kepada seorang guru harus
menggunakan etika yang baik. Di antaranya adalah janganlah masuk
menghadap guru di luar majlis umum kecuali setelah meminta izin, baik
terhadap guru secara langsung ataupun lewat orang lain. Jika permohonan
izin itu tidak diterima oleh guru dan tidak diberi izin, maka hendaknya ia
kembali dan jangan mengulang permohonannya.
Akan tetapi, jika ia merasa ragu apakah sang guru telah
mengetahui kedatangannya atau belum, maka hendaknya ia jangan
mengulang permohonannya lebih dari tiga kali atau tiga kali ketukan
40 Ibid., 31-32.
82
pintu. Adapun ketika mengetuk pintu, maka hendaknya ia mengetuk pintu
dengan pelan dan sopan (menggunakan jari tangan).
Apabila guru telah mengizinkannya masuk sedangkan ia bersama
dengan teman-temannya, maka hendaknya orang yang masuk terlebih
dahulu adalah orang yang dianggap paling utama dan lebih tua umurnya,
baru kemudian secara tertib disusul oleh yang lain.
Hal yang perlu diperhatikan juga ketika akan berkunjung ke
kediaman guru, seorang murid hendaknya menyempurnakan perilakunya.
Yakni mensucikan badan serta pakaiannya, termasuk juga membersihkan
kuku dan menghilangkan aroma-aroma yang tidak sedap.
Selain itu, jika pada saat murid berkunjung dan mendapati gurunya
sedang bercakap-cakap dengan orang lain, maka hendaknya ia diam tidak
menyela pembicaraan. Begitupun juga ketika sang guru sedang
melaksanakan shalat, berdzikir, ataupun membaca, maka sebaiknya ia
tidak mengucapkan sepatah kata pun selain menyampaikan salam dan
segera beranjak pergi.
Namun, jika sang guru memintanya agar tetap menunggu, maka
hendaknya murid langsung menemui gurunya dan langsung mengutarakan
maksud kedatangannya. Hal ini diharapkan agar tidak mengganggu
aktifitas yang tengah di lakukan oleh sang guru.
Apabila saat berkunjung murid tidak mendapati gurunya berada di
tempat (kediaman atau tempat mengajar), maka sebaiknya ia bersabar
83
menunggu. Namun demikian, ketika menunggu seorang guru, ia tidak
tidak diperkenankan melakukan hal-hal kegaduhan yang dapat memancing
agar gurunya lekas keluar (menemuinya). Begitupun juga ketika sang guru
sedang tidur, maka ia harus bersabar menunggu sampai gurunya bangun.41
8. Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan
dengan guru
Apabila seorang murid duduk di hadapan guru, maka ia hendaknya
duduk di hadapannya dengan penuh sopan santun. Di antara cara duduk
yang baik adalah duduk bersimpuh di atas kedua lutut (seperti duduk pada
takhiyat awal) atau duduk seperti duduknya orang orang yang melakukan
duduk takhiyat akhir, duduk bersila, dengan rasa tawadhu, rendah hati,
tenang, dan khusu’.
Selain itu, seorang murid hendaknya tidak selalu sering
memalingkan wajahnya di hadapan gurunya tanpa ada kepentingan. Hal
ini dilakukan agar, ketika guru sedang memberi penjelasannya tidak
mengulang-ulangi lagi penjelasannya.
Seorang murid tidak diperbolehkan membuat kegaduhan yang
akan didengar oleh guru dan tidak memperhatikan guru, murid juga tidak
boleh mempermainkan ujung baju, membuka lengan baju sampai kedua
siku, mempermainkan beberapa anggota tubuhnya (kedua tangan, kedua
kaki, membuka mulutnya, menggerak-gerakkan giginya atau yang
41 Ibid., 32-33.
84
lainnya), memukul lantai atau yang lainnya dengan menggunakan telapak
tangannya dan bermain-main dengan menggunakan sarung dan
sebagainya.
Seorang murid ketika berhadapan di hadapan seorang guru
hendaknya jangan menyandarkan diri ke tembok atau bantal. Ia juga tidak
boleh memberikan sesuatu dari samping atau belakang, tidak boleh
berpegangan pada sesuatu yang berada di belakang atau sampingnya.
Seorang murid tidak diperkenankan menceritakan sesuatu yang
lucu yang akan menimbulkan tertawa orang lain, atau cerita yang ada
unsur penghinaan kepada guru, berbicara dengan menggunakan kata-kata
yang jelek, dan menampakkan sikap dan budi pekerti yang kurang baik di
hadapan gurunya.
Selain itu, ketika berada di hadapan guru, seorang murid tidak
boleh mentertawakan sesuatu kecuali hal-hal yang memang sangat
menggelikan, lucu, dan jenaka, ia juga tidak boleh mengagumi sesuatu.
Apabila ada sesuatu hal, peristiwa, kejadian yang lucu, sehingga
membuat murid tertawa, maka hendaknya tertawanya itu tidak terlalu
keras, tidak mengeluarkan suara. Ia juga tidak boleh membuang ludah atau
mendehem selama hal itu bisa ditahan atau memungkinkan, namun
apabila tidak mungkin seyogyanya ia melakukannya dengan santun.
Seorang murid tidak boleh membuang ludah atau mengeluarkan
dahak dari mulutnya, namun yang paling baik adalah seharusnya itu
85
dilakukan dengan menggunakan sapu tangan atau menggunakan ujung
bajunya untuk dipakai sebagai tempat dahak tersebut.
Apabila seorang murid sedang bersin, maka hendaknya berusaha
untuk memelankan suaranya dan menutupi wajahnya dengan memakai
sapu tangan misalnya. Apabila ia membuka mulut karena menahan rasa
kantuk (menguap) maka hendaknya ia menutup mulutnya dan berusaha
untuk tidak membuka mulut.42
9. Berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut
Ketika seorang murid sedang berhadapan atau berbicara dengan
seorang guru, K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Di antaranya adalah tidak bertanya dengan pertanyaan
untuk apa, menurut pendapat saya, ataupun menurut pendapat siapa dari
mana dan sejenisnya.
Selain itu, apabila sang guru sedang menjelaskan suatu keterangan,
seyogyanya ia tidak mengatakan ungkapan-ungkapan yang tidak sopan.
Seperti contoh ungkapan “Demikianlah ucapanmu”, “Saya ragu (tidak
yakin)”, “Sebagaimana (hal itu) telah dikatakan oleh si fulan”, dan lain
sebagainya.
Jika misalnya seorang guru melakukan kekeliruaan ketika
memberikan suatu pernyataan atau saat mengutip suatu dalil, maka
hendaknya ia tidak lekas menampakkan wajah ketidaksetujuaannya. Akan
42 Ibid., 34-35.
86
tetapi, sebaiknya ia tetap tenang demi menjaga perasaan gurunya. Karena
bagaimanapun juga seorang guru adalah manusia biasa yang tidak luput
dari kesalahan dan kekeliruaan.43
10. Mendengarkan segala fatwanya
Jika seorang murid sedang mendengarkan penjelasan guru tentang
hukum suatu masalah atau tentang suatu faidah, atau guru menceritakan
kisah tertentu atau menyanyikan syair yang sudah dihafalkannya, maka
hendaknya ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan penuh antusias
seolah-olah belum pernah mendengarkannya.44
11. Jangan sekali-kali menyela ketika guru sedang
menjelaskan
Ketika seorang guru sedang menjelaskan suatu hal, maka seorang
murid hendaknya tidak mendahului gurunya untuk menjelaskan suatu
masalah atau menjawab suatu pertanyaan. Ia juga hendaknya tidak
membandingkan dan juga tidak menunjukan pengetahuan dan
pemahamannya tentang hal tersebut.
Selain itu, seorang murid hendaknya tidak melakukan pembicaraan
dengan orang lain (ngomong sendiri), akan tetapi ia harus konsentrasi. Hal
ini dimaksudkan, agar ketika sang guru meminta atau memerintahkan
sesuatu kepada murid tidak perlu mengulangi kedua kali.45
43 Ibid., 36.44 Ibid., 37.45 Ibid., 38.
87
12. Menggunakan anggota kanan
Jika seorang guru memberikan sesuatu pada murid, maka
hendaknya di terima dengan tangan kanan. Begitupun juga ketika seorang
murid menyerahkan sesuatu kepada gurunya hendaknya menggunakan
tangan kanan.
Jika sesuatu itu berupa catatan pelajaran, maka hendaknya dibaca.
Jika berupa cerita, buku agama, dan sejenisnya, maka hendaknya
disebarluaskan, lalu membuat laporan kepada guru. Murid tidak boleh
menyerahkan hal-hal di atas kepada guru dengan dilipat, kecuali jika
dikehendaki oleh guru tersebut.
Jika seorang murid akan memberikan buku kepada guru, hendakya
buku tersebut sudah disiapkan sebaik mungkin. Sehingga guru langsung
membuka dan membacanya tidak tersulitkan, bahkan jika perlu buku
tersebut sudah dibuka sesuai yang diinginkan oleh sang guru.
Murid tidak boleh membuang atau menghapus sesuatupun dari
buku, catatan pelajaran, atau sejenisnya dari buku yang diberikan oleh
sang guru. Murid hendaknya mengulurkan tangan tatkala posisi guru jauh
darinya, bahkan kalau perlu berdiri mendekat, sehingga guru tidak perlu
mengulurkan tangan untuk mengambil atau memberikan sesuatu.46
46 Ibid., 39.
88
Adapun di antara beberapa adab (etika) lain yang perlu diketahui
oleh seorang murid ketika sedang bersama gurunya di antaranya posisi
duduk murid hendaknya tidak terlalu dekat dengan guru, karena akan
membari kesan su’ul al-adâb (tidak etis). Murid hendaknya jangan
meletakkan tangan, kaki, anggota badan, atau pakaiannya pada pakaian,
bantal, sajadah, atau tempat tidur milik guru.
Selanjutnya jika guru menyuruh menulis, hendaknya pena (baca:
alat-alat tulis) diambil sebelum guru memberikannya. Jika meletakkan
tempat tinta di hadapan guru, hendaknya tutupnya sudah dibuka dan siap
untuk digunakan menulis. Jika memberikan pisau, hendaknya mata dan
bagian tajam pisau tidak diarahkan ke guru, tetapi dilempangkan sehingga
guru menerima gagang pisau yang tumpul.
Jika memberikan sajadah untuk shalat berjama’ah dengan guru,
hendaknya murid menggelar sajadah tersebut terlebih dahulu. Murid tidak
boleh duduk di hadapan guru dengan beralaskan sajadah tersebut dan juga
tidak boleh shalat di atasnya kecuali jika tempatnya tidak ada yang suci
atau ada ‘uzdur.
Jika guru berdiri setelah menyelesaikan shalat, hendaknya ia
dengan cepat mengambil sajadahnya dengan tangan atau jika perlu
memegangnya erat-erat dan menyiapkan sandalnya. Semuanya itu
dilakukan oleh seorang murid dengan tujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan mencari ridha guru.
89
Jika murid berjalan bersama guru, hendaknya berjalan di depannya
(pada malam hari) dan di belakangnya (pada siang hari) kecuali jika
kondisi menghendaki sebaliknya, seperti berdesakan atau sejenisnya.
Tatkala berjalan di daerah yang asing yang tidak diketahui situasi dan
kondisinya atau daerah yang berbahaya, hendaknya murid berjalan di
depannya untuk menjaga guru agar tidak terjatuh atau terkena bahaya, dan
menjaga pakaiannya dari terkena kotoran.
Jika berjalan dikeramaian hendaknya dijaga dengan memegang
tangan guru, baik dari depan ataupun belakang. Jika murid berjalan di
depan maka hendaknya sering menoleh kebelakang. Jika di tengah
perjalanan guru berbicara dengannya, dan keduanya sama-sama berteduh,
hendaknya murid berada di sebelah kanan guru atau sebelah kirinya
dengan posisi lebih maju sambil menoleh ke arah guru.
Murid hendaknya memberi tahu guru orang-orang yang berada di
sekeliling dan yang berkehendak dengan guru, jika guru tidak
mengetahuinya. Murid tidak boleh berjalan di samping guru, kecuali
karena ada kebutuhan atau atas perintahnya, untuk menjaga agar guru
tidak berdesakan atau kendaraan guru, jika keduanya memakai kendaraan,
dan menjaga agar tidak menyenggol pakaian guru.
Murid hendaknya mendahulukan guru ke arah yang teduh pada
musim panas, ke arah matahari pada musim dingin, dan ke arah si mana
muka guru tidak terkena sinar matahari tatkala menoleh ke arahnya.
90
Hendaknya jangan berjalan di antara guru, jika guru sedang
bercakap-cakap dengan seseorang, namun hendaknya berada di
belakangnya. Dan jika guru berbicara atau mendahului, maka janganlah
mendekat, mendengarkan ataupun berpaling. Jika guru mengikutsertakan
dirinya dalam pembicaraan, maka hendaknya murid datang dari sisi lain.
Jika murid berpapasan dengan guru di jalan, maka ucapkanlah
salam. Namun apabila jauh, maka janganlah memanggil ataupun
mengucapkan salam dari jauh ataupun dari kejauhan. Hendaknya ia
mendekat dan maju, baru mengucapkan salam. Janganlah berjalan
mendahuluinya di jalan sehingga akan membelakanginya.
Janganlah bertanya di jalan, dan jika sudah sampai ke kediaman
guru, maka janganlah berhenti di depan pintu karena akan menghalangi
orang yang keluar setelah menghadap guru. Jika murid naik tangga
bersama guru maka hendaknya murid di belakang guru, dan jika turun,
maka hendaknya murid mendahuluinya untuk menjaga agar kaki guru
tidak terjatuh atau tergelincir.
Janganlah berkomentar pada pendapat guru dengan menyatakan
bahwa ini salah dan ini juga salah atau menyatakan ini bukan pendapat
saya, namun katakanlah bahwa fenomena ini mempunyai nilai positif.47
47 Ibid., 40-42.
91
c. Etika Murid Terhadap Pelajarannya
Etika seorang murid terhadap pelajarannya dan hal-hal yang harus ia
pegang ketika bersama guru dan teman-temannya. Mengenai hal ini ada 13
(tiga belas) macam etika yaitu:
1. Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk
dipelajari
Sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lain, hendaknya seorang
murid memulai terlebih dahulu pada pelajaran yang sifatnya fardhu ‘ain,
yaitu belajar empat jenis ilmu. Pertama, ilmu tentang ketauhidan; kedua,
ilmu tentang sifat-sifat Allah SWT; ketiga, ilmu fiqih; keempat, ilmu
tasawuf.48
Jadi, seorang murid harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang
paling pokok dan mulia, kemudian ilmu pengetahuan yang penting, lalu
ilmu pengetahuan yang lain sebagai pelengkap dan seterusnya. Karena
ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lainnya erat sekali dan saling
membantu.
2. Mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu
‘ain
48 Ibid., 43.
92
Setelah mempelajari ilmu yang fardlu ‘ain maka hendaknya
seorang murid melanjutkan dengan mempelajari berbagai ilmu yang
berkaitan dengan kitab Allah SWT sehingga ia mempunyai keyakinan
yang kuat. Mendalami kitab Allah SWT ini amat penting, mengingat
kedudukannya sebagai sumber segala ilmu pengetahuan dan merupakan
ilmu pengetahuan yang paling penting.
Dalam hal ini, K.H.M Hasyim Asy’ari menyebutkan ilmu-ilmu
yang harus dipelajari selain ilmu yang fadhu ‘ain adalah ilmu tafsir, ilmu
hadits, ilmu ushuluddin, ilmu ushul fiqih, serta ilmu nahwu dan shorof.
Perlu diperhatikan juga bahwa kesibukan seorang murid dalam
mencari ilmu jangan sampai melupakan untuk membaca al-Qur’an,
menjaganya, selalu istiqamah membacanya sebagai kegiatan sehari-hari.49
Hal-hal sebagaimana disebutkan di atas hendaknya dilakukan oleh
seorang murid melalui petunjuk dan bimbingan seorang guru yang benar-
benar ahli dibidangnya.
3. Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
Sejak awal seorang murid harus bisa menahan diri dan tidak
terjebak dalam perbedaan pandangan di antara para ulama dan juga
manusia umumnya secara mutlak, baik pada masalah pemikiran ataupun
pendengaran. Karena hal itu akan membuat hatinya menjadi bingung dan
membuat pikiran tidak tenang.
49 Ibid., 44.
93
Imam al-Ghazali r.a pernah berkata: “Berhati-hatilah engkau
terhadap ilmu yang di dalamnya mengandung banyak pertentangan
pendapat, karena bahayanya akan jauh lebih besar ketimbang manfatnya.”
Hal yang perlu dihindari juga oleh seorang murid adalah membaca
(mempelajari) buku atau kitab (ilmu pengetahuan) tidak secara tuntas dan
sistematis. Ini penting diperhatikan agar ia tidak menyia-nyiakan
waktunya dengan membaca buku namun tidak mendapatkan pemahaman
yang benar dan mendalam.
Hal yang lebih penting lagi adalah mengamalkan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari. Karena hal demikianlah seharusnya
maksud dan tujuan dari mempelajari ilmu pengetahuan.50
4. Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada
orang yang dipercayainya
Apabila seorang murid mempunyai niat untuk menghafalkan
sesuatu (teks/bacaan), hendaknya sang murid mentashihkan terlebih
dahulu kepada seorang guru atau orang yang mempunyai kemampuan
dalam ilmu tersebut. Kemudian setelah selesai diteliti dengan benar
barulah ia menghafalkannya dengan baik.
50 Ibid., 45.
94
Hal itu dimaksudkan agar terhindar dari kesalahan-kesalahan
redaksional atau substansial yang dapat berakibat rusaknya makna dan
substansi teks.51
5. Tidak menunda-nunda waktu dalam mempelajari suatu
ilmu, apalagi ilmu tentang hadits
Hendaknya seorang murid dalam mencari ilmu berangkat lebih
pagi, apalagi ilmu hadits. Jangan menyia-nyiakan peluang yang ia miliki
untuk menggali ilmu dan meneliti sanad-sanad hadits, hukum-hukum,
manfaat, bahasa, dan cerita yang terkandung di dalamnya.
Berbicara tentang hadits-hadits Rasulullah SAW, kiranya dapat
dikatakan disini bahwa ia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan
dan syariat yang banyak menjelaskan cabang yang lain, yakni al-Qur’an.
Dalam hal ini, Imam al-Syafi’i r.a mengatakan: “Barang siapa memahami
hadits Rasulullah SAW akan bertambah kuatlah hujjah (dalil)-nya”.52
6. Pancangkan cita-cita yang tinggi
Apabila seorang murid telah benar-benar menguasai pembahasan
yang mudah, hendaknya ia melanjutkannya dengan pembahasan yang
lebih kompleks, luas, dan terperinci. Oleh karena itu, ia dituntut harus
selalu menanamkan semangat belajar yang tinggi dalam mencari ilmu
pengetahuan.
51 Ibid., 46.52 Ibid., 47.
95
Jadi, seyogyanya seorang murid tidak lekas merasa puas dengan
ilmu pengetahuan yang telah dimiliki. Karena untuk menjadi pewaris para
nabi yang sejati tidaklah mudah.53
7. Aktif menghadiri pengajian atau kuliah yang
disampaikan oleh guru
Seorang murid harus selalu mengikuti halaqah gurunya dalam
setiap pelajaran. Kalau memungkinkan ia membacanya (memahaminya),
karena hal itu akan memberi sebuah kebaikan. Sehingga ia akan berhasil
mencapai apa yang di harapkan, dicita-citakan, memiliki sopan santun
yang baik serta kemuliaan.
Tidak hanya itu, seorang murid hendaknya menyimak baik-baik
setiap penjelasan yang disampaikan oleh gurunya serta mencatat beberapa
keterangan yang dirasa penting.
Hal penting lain yang juga perlu dilakukan oleh seorang murid
adalah mengulang-ulang penjelasan yang telah disampaikan oleh guru
seraya melafazhkannya dalam hati. Yang demikian itu demi menjaga ilmu
pengetahuan yang telah diraih agar tertancap kuat di dasar sanubarinya.54
53 Ibid.54 Ibid., 47-48.
96
8. Ucapkan salam bila sampai di tempat majlis ta’lim
(sekolah/madrasah)
Apabila seorang murid menghadiri suatu majlis, hendaklah ia
mengucapkan salam kepada yang hadir dengan suara yang bisa mereka
dengar dengan jelas. Apalagi jika ada gurunya, maka ia harus lebih hormat
dan memuliakan. Begitupun juga ia hendaknya mengucapkan salam ketika
hendak keluar dari majlis tersebut.
Adapun etika seorang murid saat bersama jama’ah di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Tidak mengambil tempat duduk orang lain
b. Tidak berdesak-desakan
c. Tidak duduk di tengah-tengah pertemuan
d. Tidak duduk di depannya orang lain
e. Tidak duduk di antara dua orang teman
f. Tidak duduk di atas orang yang lebih mulia di
banding dirinya.55
9. Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaklah
ditanyakan
Seorang murid hendaknya tidak perlu malu untuk bertanya tentang
kesulitan yang belum bisa dipahami. Namun hendaknya ia bertanya
dengan bertanya yang baik dan sopan. K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip
55 Ibid., 49-50.
97
pendapatnya Mujahid r.a yang menyatakan bahwa orang yang pemalu dan
orang yang sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.
Namun demikian, seorang murid hendaknya tidak menanyakan
kepada gurunya tentang hal-hal yang tidak patut ditanyakan atau tidak
pada tempatnya untuk ditanyakan. Oleh karena itu, apabila misalnya
seorang guru diam atas pertanyaan yang ia ajukan, sebaiknya ia tidak terus
mendesak untuk menjawab pertanyaannya.
Demikian pula ketika misalnya sang guru memberikan jawaban
yang menurutnya keliru, ia hendaknya tidak segera menolaknya atau
membantahnya. Selanjutnya, seorang murid hendaknya mengakui atas
ketidak tahuan dan ketidak mengertiannya tatkala misalnya seorang guru
menanyakan sesuatu yang memang tidak diketahui atau dimengerti.56
10. Disiplin
Maksud disiplin disini adalah dalam kasus mengajukan pertanyaan
kepada seorang guru. Apabila kebetulan bersamaan dengan banyak teman
maka sebaiknya seorang murid tidak mendahului antrian (di dalam
mengajukan pertanyaan) kalau tidak mendapat ijin, kecuali dia
mendapatkan izin.57
11. Agar menjaga kesopanan
56 Ibid., 50-51.57 Ibid., 51.
98
Maksudnya adalah ketika seorang murid duduk di hadapan guru
untuk membacakan suatu kitab (buku) hendaknya dengan sopan santun.
Diantara etika yang perlu diperhatikan adalah murid harus membawa
kitabnya sendiri, tidak boleh meletakkan kitabnya dilantai dalam keadaan
terbuka, meminta izin terlebih dahulu, dan tidak langsung membaca ketika
sang guru sedang sibuk.
Selanjutnya, apabila guru sudah memberikan izin, maka murid
sebelum membaca kitab hendaknya membaca ta’awudz, basmallah,
shalawat kepada Nabi SAW, keluarganya, para sahabatnya. Kemudian
mendo’akan gurunya, orang tua gurunya, dirinya sendiri, kaum muslimin
semuanya, dan memintakan rahmat Allah SWT untuk pengarang kitab
yang sedang di bacanya. Hal yang demikian itu, hendaknya juga dilakukan
ketika ia telah selesai membaca kitab tersebut.
Mengingat pentingnya hal ini, seorang guru juga hendaknya
mengingatkan muridnya apabila murid itu, misalnya lupa atau bahkan
belum mengerti sama sekali akan pentingnya melakukan hal-hal
sebagaimana tersebut di atas setiap kali ia hendak membaca ataupun
selesai membaca kitab.58
12. Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan
istiqamah
58 Ibid., 52.
99
Seorang murid hendaknya tekun pada satu pelajaran dan tidak
berpindah pada pelajaran yang lain sebelum ia bisa memahami dengan
baik. Ia juga tidak boleh berpindah dari suatu tempat belajar ke tempat
belajar lain kecuali sangat terpaksa. Hal ini karena akan menimbulkan
berbagai persoalan, membuat hati menjadi resah, dan menyia-nyiakan
waktu.
Hendaknya seorang murid selalu bersikap tawakal kepada Allah
SWT, tidak memusingkan dirinya dengan masalah rizki, dan tidak
bermusuhan dengan orang lain. Karena hal itu akan mendatangkan
kebencian dan iri hati. Murid hendaknya menjauhkan diri dari pergaulan
dengan pembual, perusak, tukang maksiat, dan pengangguran. Karena
bergaul dengan orang-orang itu hanya akan menimbulkan dampak negatif
yakni murid akan ikut-ikutan (terpengaruh) oleh orang tersebut.
Selain dari itu, hendaknya seorang murid ketika sedang belajar
menghadap kiblat, banyak mengamalkan sunnah-sunnah Nabi SAW,
mengikuti ajakan ahli kebaikan, menjaga diri dari ajakan orang-orang
zhalim dan ahli ghibah, serta memperbanyak shalat (shalat sunah) dengan
penuh khusu’.59
13. Semangat di dalam belajar.
Seorang murid harus memiliki jiwa semangat di dalam belajarnya
agar mendapatkan keberhasilan. Jiwa optimis yang diwujudkan dengan
59 Ibid., 53-54.
100
kegiatan yang positif dan bermanfaat serta menghindari keresahan yang
menganggu.
Selain itu, seorang murid hendaknya membantu (mendukung)
keberhasilan teman-temannya sesama pelajar dalam meraih ilmu
pengetahuan. Di antaranya adalah memberi petunjuk (nasihat) kepada
mereka ihwal pentingnya menyibukkan diri dalam meraih faidah,
meringankan kesusahan mereka, mempermudah mereka dalam menggapai
prestasi, serta saling memberikan nasihat dan peringatan.
Semua hal di atas amat penting diperhatikan oleh seorang murid
demi meraih pancaran hati, berkah ilmu pengetahuan, dan tentunya pahala
yang sangat agung. Oleh karena itu, barangsiapa kikir kepada teman-
temannya akan hal-hal di atas, maka jika Allah SWT menghendaki ilmu
pengetahuan yang telah ia miliki tidak akan kokoh terpatri di dalam hati
dan tidak pula berbuah manfaat.
Selanjutnya, setelah seorang murid mendapatkan ilmu, hendaknya
tidak menjadikannya bersikap sombong dan membanggakan kekuatan
akalnya. Akan tetapi, dia harus bersyukur kepada Allah SWT dan
memohon tambahan ilmu kepada-Nya.
Selain itu, seorang murid hendaknya menyebarluaskan kedamaian,
menunjukan sifat kasih sayang dan penghormatan, serta menjaga hak yang
dimiliki teman, saudara, baik seagama ataupun seaktifitas.60
60 Ibid., 54.
101
C. Etika Mengajar Perspektif K.H.M. Hasyim Asy’ari
Dalam hal ini K.H.M. Hasyim Asy’ari membagi menjadi 3 (tiga) poin
penting bagi seorang guru di dalam mengajar, yaitu:
a. Etika Guru Terhadap Dirinya Sendiri
Etika seorang guru kepada dirinya sendiri ada 20 (dua puluh), yaitu:
1. Senantiasa mendekatkan diri (muraqabah) kepada
Allah SWT
Menurut bahasa, muraqabah berarti mengamati tujuan. Sedangkan
secara terminologi, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah SWT
dengan hatinya. Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-
hukum-Nya, dan dengan penuh perasannya, Allah SWT melihat dirinya
dalam gerak dan diamnya.
Menurut Abdullah al-Murta’isy rahimahullah ta’ala, muraqabah
adalah menjaga diri atas batin sendiri dikarenakan kesadaran akan Yang
Ghaib dalam setiap pandangan dan ucapan.
Salah satu ciri muraqabah menurut Dzun Nuun al-Mishry
rahimahullah ta’ala adalah memilih apa yang dipilih oleh Allah SWT,
menganggap besar apa yang dipandang besar oleh-Nya dan menganggap
remeh apa yang apa yang dipandang-Nya remeh.61
2. Senantiasa takut (khauf) kepada Allah SWT
61 al-Qusyairy al-Naisabury, Risalat al-Qusyairiyyah, 218-221.
102
Senantiasa berlaku khauf (takut kepada Allah SWT) dalam segala
ucapan dan tindakan, karena guru adalah orang yang dipercaya untuk
menjaga amanat, baik itu berupa ilmu, hikmah, dan perasaan takut kepada
Allah SWT.
Sedangkan kebalikan dari hal tersebut disebut khianat. Dalam al
Qur’an Allah SWT beriman yang artinya; “Janganlah kalian semua
mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya dan kamu semua telah
mengkhianati amanat-amanat kalian sedangkan kamu mengetahuinya”.62
Maksud khauf di sini adalah takut terhadap kemungkinan azab
Allah SWT, di dunia atau di akhirat. Tujuannya adalah agar manusia
selalu mempertimbangkan tingkah lakunya. Abu Qasim al-Hakim
rahimahullah ta’ala berkata: “Orang yang takut kepada sesuatu akan lari
darinya, tapi orang yang takut kepada Allah SWT justru semakin
mendekati-Nya”.63
3. Senantiasa bersikap tenang (sakînah)
Sahabat Umar bin Khatab r.a berkata: “Pelajarilah oleh kalian ilmu
pengetahuan dan pelajarilah juga bersamanya sikap tenang dan
kewibawaan”.
4. Senantiasa berhati-hati (wara’)
62 al-Qur’an, 8: 27.63 al-Qusyairy al-Naisabury, Risalat al-Qusyairiyyah, 123-125.
103
Wira’i adalah menjaga diri dari perbuatan yang bisa merendahkan
diri sendiri. Wara’ menurut Ibrahim bin Adham rahimahullah ta’ala
adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang
tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.64
5. Senantiasa tawadhu’
Tawadhu’ menurut al-Junayd rahimahullah ta’ala adalah
merendahkan diri terhadap makhluk dan bersikap lembut kepada mereka.
Menurut Ibnu Atha’ rahimahullah ta’ala, tawadhu’ adalah menerima
kebenaran dari siapapun datangnya, sedangkan menurut Hamdun al-
Qashshar rahimahullah ta’ala, tawadhu’ adalah engkau tidak memandang
dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di dalam
agama.65
Imam al-Syafi’i r.a juga mengatakan bahwa rendah hati merupakan
akhlak orang-orang mulia, sedangkan sombong merupakan kebiasaan
orang-orang tercela. Rendah hati mudah menumbuhkan kecintaan kepada
Allah SWT, sedangkan lapang dada menerima pemberian Allah SWT
akan melahirkan ketenangan jiwa.66
6. Senantiasa khusyu’
Selalu bersikap khusyu’ kepada Allah SWT. Khusyu’ menurut
Hasan al-Bashry rahimahullah ta’ala adalah rasa takut yang terus
64 Ibid., 103.65 Ibid., 155-159.66 al-Kailani, Kumpulan, 28.
104
menerus dalam hati. Tanda-tanda kekhusyu’an seorang hamba menurut
Sahl bin Abdullah rahimahullah ta’ala adalah manakala ia diprovokasi,
disakiti hatinya atau ditolak, maka semua itu akan diterimanya.67
7. Menjadikan Allah SWT sebagai tempat meminta
pertolongan dalam segala keadaan
Hendaknya seorang guru di dalam kehidupannya senantiasa
menjadikan Allah SWT sebagai tempat meminta pertolongan dalam segala
keadaan. Hal ini dilakukan agar dalam setiap gerak langkahnya mendapat
perlindungan dan ridha dari Allah SWT.
8. Tidak menjadikan ilmunya sebagai tangga untuk
mencapai keuntungan
Hendaknya seorang guru tidak menjadikan ilmunya untuk
bertujuan mencari keuntungan yang sifatnya duniawi. Misalnya untuk
mendapatkan jabatan, harta, publisitas, atau agar lebih maju dibanding
temannya yang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
ا علما تعلم من تع���الى الل���ه وج���ه ب���ه يبتغى مم اليتعلمه يب اال ا ب��ه ليص�� يج��د لم ال��دنيا من غرض��
68 الجنة عرف
67 al-Qusyairy al-Naisabury, Risalat al-Qusyairiyyah, 152.68 al-Imâm al-Hafîzh Abû Dâwud Sulaiman ibn al-‘Asy’âts al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (t.t: Dâr al- Fikr, 1990), 32.
105
“Barang siapa mencari ilmu bukan karena mencari ridha Allah SWT, namun karena harta dunia, maka Allah SWT tidak akan memberinya ilmu dan ia juga tidak akan mendapat semerbaknya harum surga”
9. Tidak selalu memanjakan anak didiknya
Seorang guru hendaknya tidak bersikap diskrimatif di antara murid
yang berasal dari anak penguasa dunia, seperti dengan mendatangi
mereka. Kecuali jika ada kemaslahatan yang melebihi kehinaan ini, yaitu
jika seorang guru harus pergi ke tempat muridnya yang dididiknya karena
murid tersebut mempunyai kedudukan yang tinggi.69
10. Berlaku zuhud dalam kehidupan dunia
Bersikap zuhud70 dalam urusan dunia sebatas apa yang ia
butuhkan, yang tidak membahayakan dirinya sendiri, keluarga, bersikap
sederhana dan bersifat qana’ah.
Derajat orang yang paling rendah adalah jika ia mempunyai ikatan
yang kuat dengan keduniawian. Karena sebenarnya ia telah tahu bahwa
harta dunia itu rendah, menimbulkan fitnah, bisa hilang dalam sekejap,
dan susah payah mencarinya. Sebagai orang alim ia lebih berhak, dan
lebih berkewajiban agar tidak memperhatikan, dan disibukkan oleh hal
dunia.71
69 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 56.70 Yahya bin Mu’adz menyebutkan tiga karakter zuhud, yaitu: berbuat tanpa disertai keterikatan, berbicara tanpa disertai ambisi, dan kemuliaan tanpa adanya kekuasaan atas orang lain. al-Qusyairy al-Naisabury, Risalat al-Qusyairiyyah, 113.71 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 58.
106
Imam al-Syafi’i r.a berkata: “Engkau harus berlaku zuhud,
sesungguhnya zuhudnya orang yang zuhud itu lebih baik dari perhiasan
yang ada pada tubuh wanita yang menawan”.72
11. Menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah
Seorang guru hendaknya menjauhkan diri dari tempat-tempat yang
rendah dan hina menurut manusia, juga hal-hal yang dibenci oleh syari’at
maupun adat setempat. Misalnya, berbekam (mengeluarkan darah
biasanya dari tengkuk bagian belakang), menyamak kulit binatang, tukar
menukar uang, tukang sepuh emas, dan sebagainya.73
12. Menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat
maksiat
Hendaknya seorang guru menghindari tempat-tempat yang dapat
menimbulkan fitnah, serta meninggalkan hal-hal yang menurut pandangan
umum dianggap tidak patut dilakukan. Meskipun dalam hal ini tidak ada
larangan atasnya dalam syariat Islam, misalnya makan di pasar.
Yang demikian itu demi menjaga martabat dan harga diri seorang
guru serta agar terhindar dari prasangka-prasangka kurang baik di depan
umum.74 Karena biasanya masyarakat akan lebih condong melihat perilaku
seorang guru pada sisi luarnya saja.
13. Menghidupkan syiar dan ajaran-ajaran Islam
72 al-Kailani, Kumpulan, 53.73 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 59.74 Ibid.
107
Seorang guru hendaknya selalu menghidupkan syiar dan ajaran-
ajaran Islam. Seperti mendirikan shalat berjamaah di masjid, menebarkan
salam, amar ma’rûf nahi munkar, serta senantiasa bersabar terhadap setiap
musibah yang menimpanya.75
14. Menegakkan sunnah Nabi SAW
Seorang guru hendaknya menegakkan sunnah Nabi SAW dan
memerangi bid’ah serta memperjuangkan kemaslahatan umat Islam
dengan jalan yang dibenarkan syariat, dengan cara yang baik dan lemah
lembut.
Selain itu, guru hedaknya selalu melakukan hal-hal yang terbaik
dan berusaha mengerjakannya dengan sempurna. Misalnya dalam
menyempurnakan dalam berpakaian, berbicara yang baik dan sopan, dan
lain sebagainya. Hal ini sangat penting, mengingat seorang guru adalah
figur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh umatnya dalam masalah-
masalah hukum.76
15. Membiasakan melakukan hal sunnah yang bersifat
syariat
Seorang guru hendaknya membiasakan dirinya untuk selalu
menjaga (mengamalkan) hal-hal kesunnahan yang bersifat syariat, baik
bersifat qauliyyah ataupun fi’liyyah.
75 Ibid., 60.76 Ibid., 61.
108
Di antara kesunnahan-kesunnahan tersebut adalah hendaknya
seorang guru membiasakan diri membaca al-Qur’an, berzikir dengan hati
ataupun lisan, berdo’a di siang dan malam hari, memperbanyak ibadah
shalat dan puasa, bersegera menunaikan ibadah haji selagi mampu, dan
membaca shalawat kepada Nabi SAW.77
16. Bergaul dengan akhlak yang baik
Seorang guru hendaknya ketika bergaul dengan orang lain dengan
menggunakan akhlak yang baik. Di antaranya adalah guru hendaknya
menampakkan wajah berseri, menebarkan salam, berbagi makanan, dan
menahan rasa emosi.
Selain dari itu, guru hendaknya tidak menyakiti orang lain,
bersabar menerima cobaan dari orang lain, mendahulukan orang lain
namun tidak minta di dahulukan, membantu tetapi jangan minta di bantu,
pandai bersyukur, selalu berusaha memberikan pertolongan kepada orang
lain, bersikap lembut kepada orang fakir, mengasihi tetangga, kerabat,
murid, dan mau menolong mereka.78
17. Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai
Allah SWT
Seorang guru hendaknya membersihkan hati dan tindakannya dari
akhlak tercela dan menghiasi dengan akhlak terpuji. Termasuk akhlak
77 Ibid., 62.78 Ibid., 63.
109
yang tercela adalah berprasangka buruk kepada orang lain, dengki, marah
bukan karena Allah SWT, menipu, sombong, kikir, angkuh, tamak, suka
menyombongkan diri, belomba-lomba dalam harta dunia, bermegah-
megahan, suka dipuji orang lain, dan lain sebagainya.
Semua sifat-sifat di atas hendaknya di jauhi oleh seorang guru.
Karena sesungguhnya sifat-sifat tersebut merupakan pintu dari setiap
keburukan, bahkan merupakan keburukan itu sendiri.
Adapun yang termasuk akhlak-akhlak terpuji di antaranya adalah
memperbanyak taubat, ikhlas, yakin, takwa, sabar, ridha, qana’ah, zuhud,
tawakal, mensyukuri nikmat, kasih sayang terhadap makhluk Allah SWT,
takut kepada Allah SWT, mengharapkan rahmat Allah SWT, dan lain
sebaginya.79
18. Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
pengetahuan
Seorang guru hendaknya senantiasa bersemangat untuk menambah
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan bersungguh-sungguh dalam
setiap aktifitas ibadah. Seperti halnya membaca, menelaah, menghafal,
dan membahas ilmu pengetahuan sehingga tidak ada waktu yang terbuang
kecuali untuk mencari ilmu pengetahuan dan mengamalkannya.80
19. Mau belajar kepada orang lain
79 Ibid., 63-66.80 Ibid., 67.
110
Seorang guru hendaknya tidak boleh membedakan status, nasab,
dan usia dalam mengambil hikmah (ilmu pengetahuan) dari semua orang.
Sebab hikmah (ilmu pengetahuan) itu ibarat sesuatu yang hilang dari diri
orang mukmin yang kemudian diambilnya tatkala ia menemukannya
kembali.81
Dalam hal ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip pendapatnya
Imam Waqi’ r.a yang berkata: “Seseorang tidak akan dikatakan sebagai
orang yang pandai (‘âlim) sampai ia mau mendengarkan orang yang
berada di atasnya dalam segi umurnya (lebih tua), mau mendengar orang
yang sebanding dengannya (sebaya), dan orang yang berada di bawahnya
(lebih muda)”.82
20. Produktif
Seorang guru hendaknya meluangkan sebagian waktunya untuk
menulis, mengarang, dan meringkas. Hal ini sangat penting dilakukan oleh
seorang guru untuk mengasah ketajaman dan kematangan intelektualnya.
K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip pendapatnya al-Khatib al-
Bagdadi rahimahullah ta’ala menyatakan bahwa hal tersebut diatas dapat
menguatkan hafalan, mencerdaskan akal pikiran dan mempertajam daya
nalar.
81 Ibid., 68.82 Ibid., 21.
111
Selanjutnya, ketika seorang guru akan menulis hendaknya memilih
tema-tema atau persoalan yang kiranya manfaatnya akan dirasakan secara
universal. Selain itu, hendaknya di dalam menulis tidak menggunakan
ungkapan-ungkapan yang terlalu panjang ataupun terlalu pendek. Sebelum
tulisannya di terbitkan hendaknya di teliti dan di koreksi terlebih dahulu.83
b. Etika Guru Dalam Mengajar
Seorang guru ketika hendak akan mengajar dan ketika mengajar perlu
memperhatikan beberapa etika, diantaranya:
1. Mempersiapkan diri baik lahir maupun batin
Seorang guru ketika akan menghadiri ruangan (kelas) hendaknya
mensucikan dirinya dari hadats dan kotoran, memakai harum-haruman,
dan memakai pakaian yang layak sesuai mode zamannya. Hal tersebut
dilakukan dengan maksud untuk mengagungkan ilmu dan menghormati
syari’at.
Selain itu, hendaknya guru berniat menyebarkan ilmu untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengembangkan ilmu pengetahuan,
dan menegakkan agama Allah SWT serta menyampaikan hukum-hukum
Allah SWT yang diamanatkan dan diperintahkan untuk menjelaskannya.
Sebaiknya juga berniat untuk menunjukan kebenaran dan kembali
kepada kebajikan. Berkumpul bersama untuk berdzikir kepada Allah SWT
83 Ibid., 69-70.
112
dan menyebarkan kedamaian kepada sesama muslim serta mendo’akan
ulama terdahulu.84
2. Berdo’a dan berdzikir
Apabila keluar dari rumah (menuju tempat mengajar) seorang guru
sebaiknya berdo’a dan berdzikir sampai ke tempat pengajaran.
Sebagaimana do’a yang diajarkan Nabi Muhammad SAW :
ل ان ب��ك اع��وذ انى اللهم ل او اض�� او ازل او اض�� ع��ز على يجهل او اجهل او اظلم او اظلم او ازل
ثناؤك وجل جارك غيرك اله وال“Ya Allah... aku berlindung kepaa-Mu dari tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, mendzalimi atau di dzalimi, bodoh atau dibodohi, maha mulia kekuasaan-Mu dan maha agung pujian-Mu, tiada Tuhan selain Engkau”.
Kemudian berdo’a:
على وتوكلت بالله اعتصمت بالله امنت الله بسم الله حول وال ة وال ق��و جن��انى ثبت اللهم بالل��ه اال لسانى على الحق وادر
“Dengan menyebut nama Allah SWT, aku beriman kepada Allah SWT dan berpegang teguh kepada-Nya, tawakal kepada-Nya tiada kekuatan daya upaya kecuali dari Allah SWT. Ya Allah tetapkanlah hatiku, tunjukkanlah kebenaran pada lisanku”.85
84 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 81.85 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 81.
113
Imam al-Syafi’i r.a berkata: “Suatu keharusan bagi orang yang
alim (mengerti agama) adalah berdzikir dari setiap aktifitasnya yang akan
terjalin komunikasi antara dirinya dengan Allah SWT”.86
3. Memasuki ruangan (kelas) dengan sopan santun
Seorang guru ketika telah sampai di hadapan hadirin (murid) maka
hendaknya ia mengucapkan salam, lalu duduk menghadap kiblat jika
memungkinkan dengan berwibawa, tenang dan tawadhu’ serta khusu’
baik dengan bersila atau yang lainnya yang penting sopan.
Kemudian, saat berada di dalam majlis hendaknya seorang guru
menjaga badannya dari desak-desakkan, bermain-main atau memandang
kesana kemari tanpa tujuan. Hendaknya juga menjauhi gurauan atau
banyak tertawa, karena akan mengurangi wibawa dan menghilangkan
kehormatan. Selain itu, hendaknya tidak mengajar ketika sangat lapar,
haus, susah, marah, mengantuk, sangat dingin atau sangat panas.87
4. Menghadapi seluruh hadirin (murid) dengan penuh perhatian
Hendaknya seorang guru ketika menghadapi seluruh hadirin
mengambil tempat duduk yang bisa dilihat oleh seluruh hadirin. Dengan
tetap menghormati hadirin yang lebih senior, baik dari segi keilmuan,
umur, ataupun kedudukan, serta menempatkannya sesuai jenjang
kepemimpinan.
86 al-Kailani, Kumpulan, 50.87 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 82.
114
Hendaknya seorang guru juga bersikap lemah lembut kepada yang
lain dan menghormatinya dengan tutur kata yang lembut, wajah yang
berseri-seri dan hormat. Selain itu, ketika misalnya datang kepadanya
orang yang mempunyai kedudukan mulia dalam Islam, hendaknya seorang
guru berdiri untuk menyambut kedatangannya sebagai wujud
penghormatan.
Seorang guru juga hendaknya melayani setiap orang yang bertanya
atau berbicara kepadanya dengan baik. Yakni dengan cara menatap wajah
orang yang diajak bicara walaupun dia lebih rendah. Karena jika tidak
demikian, maka termasuk orang yang sombong.88
5. Sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan berdo’a
Seorang guru ketika akan memulai pengajaran hendaknya terlebih
dahulu dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan maksud untuk
mencari barokah. Setelah itu berdo’a kepada Allah SWT untuk dirinya,
hadirin dan juga seluruh muslimin dan orang yang mewaqafkan. Jika
ternyata tempat belajarnya adalah tanah wakaf sebagai balasan kebaikan
perbuatannya dan agar tercapai cita-citanya.
Selesai memanjatkan do’a, hendaknya seorang guru meminta
perlindungan kepada Allah SWT dari setan yang terkutuk, menyebut nama
88 Ibid.
115
Allah SWT dan memuji-Nya, bershalawat kepada Nabi SAW, keluarga,
serta sahabatnya serta meminta ridha kepada kaum muslimin terdahulu.89
6. Mendahulukan materi-materi yang lebih penting
Apabila seorang guru hendak menyampaikan pelajaran lebih dari
satu materi, hendaknya ia memulai dengan materi yang lebih penting
dahulu. Dimulai dari tafsir al-Qur’an kemudian Hadits, Usulluddin, Usul
Fiqih, kitab-kitab madzhab, dan nahwu.
Sedangkan untuk materi terakhir (penutup), hendaknya diakhiri
dengan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang bisa dimanfaatkan
oleh hadirin (murid) untuk membersihkan hatinya, misalnya berupa
nasihat-nasihat.
Ketika dalam menyampaikan pelajaran, hendaknya tidak
menyebutkan pelajaran yang masih diragukan dan menunda jawaban ke
pertemuan lain. Bahkan kalau mungkin hendaknya disebutkan atau
ditinggalkan keduanya. Karena hal itu akan merusak, baik pelajaran itu di
hadapan orang khusus ataupun orang umum.
Selain itu, hendaknya tidak memperpanjang pelajaran sehingga
membosankan atau meringkasnya sehingga menjadi kurang jelas.
Selanjutnya seorang guru hendaknya tidak membahas satu bab yang tidak
pada tempatnya. Karena itu, maka jangan mendahulukan atau
89 Ibid., 83.
116
mengakhirkan dalam menyampaikan materi pelajaran, kecuali jika
dipandang ada baiknya.90
7. Mengatur volume suara di dalam menyampaikan pelajaran
Seorang guru di dalam menyampaikan pelajaran hendaknya bisa
mengatur volume suaranya. Yaitu, tidak mengeraskan suara secara
berlebihan ataupun memelankannya sehingga tidak terdengar. Namun
sebaiknya suara itu tidak melebihi majlis dan tidak kurang dari
pendengaran hadirin.
Di samping itu, seorang guru hendaknya tidak terlalu cepat
(tergesa-gesa) dalam menyampaikan penjelasan. Akan tetapi seyogyanya
dengan pelan-pelan agar seorang murid dapat berpikir dan
mendengarkannya dengan baik. Dan apabila telah selesai pada suatu
permasalahan, maka hendaknya diam sejenak baru kemudian mulai
berbicara lagi.91
8. Menciptakan ketenangan dalam ruangan (kelas) belajar
Seorang guru hendaknya menjaga (mengendalikan) majlis dari
kegaduhan, kebisingan, dan segala sesuatu yang dapat mengganggu
kelancaran (konsentrasi) proses belajar mengajar.92 Hal ini dilakukan agar
dalam proses belajar mengajar tercipta suasana yang menyenangkan.
90 Ibid., 84.91 Ibid.92 Ibid., 85.
117
9. Mengingatkan kepada para murid akan pentingnya menjaga
kebersamaan dan persaudaraan
Seorang guru hendaknya mengatakan kepada para hadirin (murid)
bahwa berdebat itu tidak baik apabila sudah jelas kebenarannya. Tujuan
dari berkumpul adalah untuk mencari kebenaran, membersihkan hati dan
mencari faidah.
Oleh karena itu, maka tidak pantas bagi para ahli ilmu untuk
berdebat karena hanya akan menimbulkan permusuhan dan kemarahan.
Seharusnya pertemuan itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT
untuk mendapatkan faidah di dunia dan kebahagiaan di akhirat
Karena itu, dapat dipahami yang bertujuan melenyapkan
kebenaran dan menampakkan kebathilan adalah sifat orang yang berdosa.
Oleh karenanya, seorang guru hendaknya menjaga diri dari hal seperti
itu.93
10. Menegur dan menasihati dengan baik bila terdapat murid yang bandel
Seorang guru hendaknya memberi peringatan terhadap murid yang
melakukan hal-hal di luar batas etika yang semestinya dijaga di saat
mereka berada di dalam majlis. Misalnya, mengabaikan peringatan dan
petunjuk, melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat, bersikap kurang
93 Ibid., 86.
118
baik terhadap murid lain, tidak menghargai orang yang lebih tua, tidur,
mengobrol, dan bercanda.94
11. Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-persoalan
yang ditemukan
Seorang guru apabila ditanya tentang sesuatu yang belum
diketahui, maka hendaknya dijawab: “Saya tidak tahu, atau saya tidak
mengerti”. Karena sebagian dari ilmu adalah menyatakan saya tidak tahu,
dan bahwa sebagian dari ilmu adalah saya tidak mengerti.
Ketahuilah bahwa perkataan “saya tidak tahu” dari orang yang
ditanyai tidaklah mengurangi derajat orang tersebut, sebagaimana
prasangka orang-orang bodoh, bahkan hal itu mengangkat derajatnya.
Karena hal itu adalah pertanda keagungan pengetahuan dan kekuatan
agama serta ketaqwaan kepada Tuhan, kebersihan hati dan kebaikan
argumentasinya.95
12. Berilah kesempatan kepada seorang murid yang datangnya ketinggalan
dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud
Hendaknya seorang guru menunjukan sikap kasih sayang kepada
orang baru yang hadir di majlis dan memberi kesempatan dengan lapang
dada, karena orang yang baru biasanya masih bingung. Dan hendaknya
94 Ibid.95 Ibid., 77.
119
tidak terlalu banyak dipandang, karena hal itu akan membuat dia merasa
tercela.
Apabila hendak menerima tamu sedangkan ia sedang menjelaskan
suatu masalah, maka hendaklah berhenti terlebih dahulu sampai tamunya
duduk dan setelah itu baru dilanjutkan menjelaskannya.
Apabila ia menerima tamu pada waktu luang setelah mengajar di
majlis maka hendaknya ia meninggalkan majlis. Hal ini agar tidak
meremehkan tamu yang datang dan juga tetap menjaga kebaikan majlis.
Yaitu dengan tetap mendahulukan yang awal dan mengakhirkan yang
akhir kecuali jika ada yang mendesak.96
13. Menyebut dan menyertakan asma (nama) Allah SWT di dalam
membuka dan menutup pelajaran
Setiap akan menyampaikan pelajaran hendaknya seorang guru
mengawali dengan bacaan basmalah. Dan ketika pelajaran usai hendaknya
mengatakan ‘Wallahu A’lam (Allah SWT lebih mengetahui). Ini penting
dilakukan agar momentum sepanjang itu berlangsung tidak pernah lepas
dari maksud dan tujuan karena Allah SWT.
Kemudian, sebelum beranjak meninggalkan majlis, seorang guru
sangat dianjurkan untuk membaca do’a. Sebagaimana do’a yang telah
diajarkan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut:
96 Ibid., 78.
120
بحا هد وبحم���دك اللهم ن���ك س��� ان اش��� ال���ه ال انت اال
اليك واتوب استغفرك
“Maha suci Engkau ya Allah SWT, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain engkau dan aku mohon ampunan serta bertaubat kepada-Mu”.
14. Mengajar secara profesional sesuai dengan bidangnya
Hal yang terakhir yang perlu diperhatikan oleh seorang guru
adalah jika tidak menguasai materi, maka hendaknya jangan mengajar
atau mengajarkan sesuatu yang tidak tahu. Karena hal itu termasuk
mempermainkan agama dan merendahkan diri di hadapan manusia.
Dalam hal ini. K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip pendapat ulama
yang menyatakan bahwa orang yang menampakkan sesuatu yang belum
waktunya sama juga dia menampakkan nafsunya.97
c. Etika Guru Terhadap Murid
Ada 14 (empat belas) macam etika seorang guru terhadap murid-
muridnya, yaitu:
1. Berniat mendidik, menyebarkan ilmu serta
menghidupkan syariat Islam
Dalam menjalankan profesi sebagai guru yang tugas utamanya
adalah memberikan pengajaran dan pendidikan kepada murid, sudah
97 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 79-80.
121
seharusnya seorang guru membangun niat dan tujuan yang luhur. Yakni di
dalam mengajar dan mendidik itu karena berharap untuk memperoleh
ridha Allah SWT dan untuk menyebarkan ilmu.
Di samping itu juga seorang guru di dalam mengajar bertujuan
untuk menegakkan syari’at, kebenaran dan mencegah kebatilan.
Melestarikan kebaikan umat dengan memperbanyak ulama dan mencari
pahala dari orang yang belajar kepadanya dan mengharap barokah do’a
dan kasih sayang mereka kepadanya. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan masuknya ilmu pengetahuan.98
Penanaman niat dan motivasi semacam ini, sangat penting
dilakukan. Mengingat aktifitas mendidik dan mengajarkan ilmu
pengetahuan adalah salah satu amal terpenting dalam agama Islam dan
merupakan derajat orang mukmin yang paling luhur.
2. Menghindari ketidak ikhlasan
Di dalam kegiatan pembelajaran sering kali ditemukan murid
(terutama murid pemula) yang tidak serius serta memiliki niat yang
kurang tulus. Terhadap hal itu, hendaknya seorang guru bersabar dan tidak
berhenti dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
Sesungguhnya, niat yang baik itu diharapkan akan memperoleh
barokah ilmu. K.H.M. Hasyim Asy’ari mengutip pendapat ulama yang
98 Ibid., 81.
122
mengatakan bahwa jika menuntut ilmu karena selain Allah SWT, maka
ilmu itu menolak, namun tidak menolak jika karena Allah SWT.
Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa ilmu harus diperoleh
dengan niat hanya karena Allah SWT. Karena niat ikhlas itu menjadi
syarat ketika mengajar para pemula dengan pelbagai kesulitan yang ada
dalam mengembangkan ilmu kepada seluruh manusia.
Selain itu, seorang guru hendaknya memberikan nasihat kepada
murid akan pentingnya memiliki niat yang tulus di dalam belajar. Karena
dengan niat semacam itu mereka akan memperoleh derajat yang tingi
dalam ilmu dan amal, memperoleh pelbagai macam hikmah, hati yang
terang, kelapangan dada, mendapat kebaikan dan keadaan yang
menyenangkan, ucapan yang lurus serta derajat yang tinggi di hari kiamat.
Seorang guru hendaknya menumbuhkan rasa senang terhadap ilmu
dan berupaya untuk mencari ilmu sepanjang waktu dengan mengingat apa
yang telah dijanjikan Allah SWT kepada ulama berupa derajat mulia.
Karena sesungguhnya mereka adalah pewaris para nabi dan di atas mereka
adalah cahaya yang memancar dari para nabi dan syuhada.
Selanjutnya, seorang guru hendaknya menumbuhkan rasa senang
terhadap ilmu pengetahuan dengan mencontohkan apa yang menyakinkan
pada pelbagai kemudahan yang nanti akan diperolehnya. Sehingga ia
mampu mencukupi masalah keduniaannya dan juga menata hati agar tidak
123
tergantung dan terganggu pikirannya oleh pelbagai hal yang
disebabkannya.
Jika hati telah berpaling dari ikatan keserakahan pada harta dunia
dan merasa susah berpisah dengannya, maka hendaknya ia menyatukan
hati dan ruhnya. Yang mana tujuannya hanya untuk agamanya saja atau
untuk kemuliaan diri atau kedudukannya dan mengurangi rasa iri dan yang
lebih penting untuk menjaga dan menumbuhkan kembangkan ilmu.
Oleh karena itu, sedikit sekali orang yang mendapatkan ilmu
secara sempurna kecuali orang-orang yang mempunyai sifat faqir,
qana’ah dan berpaling dari mencari dunia dan harta benda yang fana ini.99
3. Hendaknya selalu melakukan introspeksi diri
Maksudnya adalah hendaknya seorang guru mencintai muridnya
seperti dia mencintai dirinya sendiri, berusaha memenuhi kemaslahatan
murid, dan memperlakukannya dengan baik.
Selain itu, seorang guru hendaknya bersabar dalam menghadapi
kekurangan dan ketidak sempurnaan murid dalam beretika. Karena
bagaimanapun juga murid adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, seorang guru hendaknya memberikan nasihat kepada
murid dengan lembut dan penuh kasih sayang.100
99 Ibid., 82-83.100 Ibid., 83-84.
124
Semua hal di atas hendaknya dilakukan dengan maksud mendidik
dan memperbaiki akhlak dan perilaku murid. Hal ini dimaksudkan agar
pendidikan menjadi baik dan begitu juga akhlak dan budi pekertinya.
4. Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid
Seorang guru hendaknya di dalam menyampaikan materi pelajaran
menggunakan metode yang mudah di pahami oleh murid. Karena apabila
terdapat murid yang memang ahli dalam hal itu, maka tentu ia akan
mempunyai sopan santun yang baik sebagai perwujudan dari hasil dan
juga upaya untuk menjaga berbagi faidah ilmunya.
Hendaknya seorang guru tidak menyimpan pelbagai ilmu yang
ditanyakan kepada dirinya jika ia memang mengetahuinya. Karena hal itu
akan membuat bingung, bimbang hati, dan akan mewariskan kebingungan
pada muridnya. Demikian juga hendaknya guru jangan menyampaikan
sesuatu yang bukan ahlinya, karena hal itu dapat membekukan hati dan
mengacaukan pemahaman.
Apabila seorang murid bertanya sesuatu hal yang tidak baik maka
hendaknya janganlah dijawab ataupun diberi tahu, karena hal itu akan
membahayakan dirinya. Jika mencegah hal tersebut pada murid bukanlah
karena bakhil, tetapi karena kasih dan sayangnya.
125
Hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah hendaknya seorang
guru mendorong kepada murid-muridnya supaya bersungguh-sungguh
agar berhasil menguasai suatu ilmu dan juga lainnya.101
5. Membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya
Hendaknya seorang guru selalu menjaga agar tetap bersungguh-
sungguh dalam mengajar dan memberi pemahaman kepada murid dan
mendekati makna secara tidak berlebihan atas sesuatu yang tidak diketahui
ataupun dalam menjelaskan hal yang tidak dikuasai.
Hendaknya menjelaskan dengan bahasa yang sesuai dengan
kemampuan akal, dan kalau bisa dengan mengulang-ulang kembali
penjelasannya.
Hendaknya di dalam mengajar memulai dengan penggambaran
persoalan dan kemudian menjelaskan dengan contoh-contoh dan dalil-
dalilnya. Dan bagi yang sukar untuk memahaminya, maka hendaknya
dibuatkan penggambaran dan perumpamaan yang pendek.
Setelah itu, baru kemudian disebutkan pelbagai dalil dan
kandungan yang ada di dalamnya, menjelakan pelbagai rahasia hukum dan
101 Ibid., 84-85.
126
alasan serta pelbagai hal yang terkait dengan masalah tadi baik cabang
maupun pokoknya.
Di antara kesulitan dalam hal ini adalah menetapkan hukum atau
mengeluarkan hukum dan menukilnya dengan bahasa yang baik, dan ini
adalah salah satu kekurangan pada diri ulama.
Hendaknya kesulitan ini di jelaskan dengan pertimbangan dan
definisi penukilan yang shahih. Hendaknya guru menyebutkan apa yang di
kehendaki oleh masalah itu, dengan menyebutkan apa yang menjadi titik
perbedaan dan titik persamaannya. Hendaknya juga ia menjelaskan hukum
dari kedua masalah itu.
Seorang guru tidak dilarang menyebutkan hal yang jorok dalam
pergaulan umum, jika hal itu dibutuhkan. Karena penjelasannya tidak akan
menjadi jelas kecuali dengan menyebutkan hal jorok tadi. Namun, jika
menggunakan kiasan sudah cukup jelas, maka guru tidak menggunakan
kata jorok itu, karena sudah cukup dengan bahasa kiasan.
Demikian juga apabila dalam majlis ada yang merasa malu maka
hendaknya seorang guru membuat kiasan lafadz itu dengan istilah lain.
Karena adanya pelbagai makna dan pelbagai keadaan, maka ia suatu saat
bisa di ungkapkan dengan bahasa jelas dan saat lain di ungkapkan dengan
kiasan.
Apabila guru sudah memberikan pelajaran, maka tidak ada ruginya
jika guru mengajukan berbagai masalah (pertanyaan) yang terkait dengan
127
hal tersebut kepada para murid sebagai ujian pemahaman dan penguasaan
mereka terhadap apa yang sudah di jelaskan.
Apabila sudah jelas pemahaman pada murid, yakni jika sudah bisa
mengulang jawaban dengan benar, maka bersyukurlah. Jika ada murid
yang belun memahami, maka hendaklah guru mengulanginya dengan
lemah lembut.
Adapun maksud dari pengajuan masalah terhadap murid adalah
karena murid biasannya merasa malu untuk mengakui belum paham
ataupun karena berat bagi guru untuk mengulanginya karena waktu yang
terbatas atau karena merasa malu terhadap hadirin atau karena ia
terlambat.102
6. Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu
Seorang guru hendaknya mencarikan waktu luang bagi murid
untuk mengulangi pelajaran dan menguji kemampuannya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman mereka
dalam menyerap materi yang telah disampaikan.103
Metode latihan ini sangat penting diberikan kepada murid sedini
mungkin, karena hal itu akan memberikan pengaruh yang positif dalam
perkembangan murid selanjutnya.
7. Selalu memperhatikan kemampuan peserta didik
102 Ibid., 85-87.103 Ibid., 88.
128
Seorang guru hendaknya tidak terlalu memberati murid dengan
memberikan materi yang terlalu banyak atau diluar porsi pemahaman
mereka. Jadi, hendaknya seorang guru mampu memahami dan menyelami
kondisi dan pemahaman serta perkembangan pemikiran murid sebelum
memberikan materi lebih lanjut.
Apabila ada murid yang melakukan sesuatu yang belum waktunya
atau mempelajari pelajaran yang dirasa berat dan mengkhawatirkan, maka
hendaknya ia dinasihati dengan lemah lembut dan diingatkan agar ia tetap
sabar dan semangat.104
8. Tidak diskriminasi
Hendaknya guru tidak menampakkan kelebihan salah satu murid di
hadapan kawan-kawannya dengan menunjukan kasih sayang dan perhatian
yang berbeda. Padahal dalam hal sifat, umur, atau pengalaman ilmu
agamanya mereka sama, karena hal itu akan menyakitkan hati mereka.
Demikian juga, seorang guru hendaknya tidak pilih kasih dan
semaunya sendiri dalam menentukan giliran dan pilihan diantara para
murid, kecuali jika hal itu akan memberi kebaikan pada yang diambil
gilirannya.
Namun demikian, seorang guru diperkenankan memberikan
perlakuan istimewa (penghargaan) kepada murid yang berprestasi dan
berperangai luhur. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan semangat dan
104 Ibid., 89.
129
dorongan kepada murid tersebut dan tentunya juga bagi murid-murid yang
lain.105
9. Perhatian dan kasih sayang terhadap murid
Salah satu bentuk perhatian dan kasih sayang seorang guru
terhadap murid adalah dengan cara berusaha sebaik mungkin mengenal
kepribadian dan latar belakang murid serta berdo’a utuk kebaikan mereka.
Selain itu, seorang guru hendaknya memperhatikan setiap akhlak dan
perilaku murid. Sehingga apabila guru mendapati muridnya berbuat tidak
baik, ia dapat menegur dan mengingatkannya.106
10. Memberikan contoh (uswah) yang baik
Seorang guru hendaknya membiasakan diri dan sekaligus
memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya. Misalnya,
mengucapkan salam, berbicara dengan baik dan sopan, kasih sayang,
tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan lain sebagainya.107
Dengan upaya pembiasaan semacam itu, diharapkan setiap murid
dapat memahami pentingnya menjaga hubungan dengan sesama manusia
termasuk hubungan dengan Allah SWT.
11. Membantu memecahkan masalah dan kesulitan murid
Hendaknya seorang guru senantiasa berusaha untuk membantu
kebaikan muridnya, baik dengan jabatan ataupun harta semampunya tanpa
105 Ibid., 90.106 Ibid., 91.107 Ibid., 91-92.
130
ada keterpaksaan. Sesungguhnya Allah SWT akan senantiasa menolong
hamba-Nya selama hamba itu bersedia menolong saudaranya.
Oleh karena itu, barang siapa memenuhi hajat (kebutuhan)
saudaranya, maka Allah SWT pun akan memenuhi hajatnya. Dan barang
siapa membantu (memudahkan) orang yang sedang dalam kesulitan, maka
Allah SWT akan memudahkan baginya proses hisab (perhitungan) kelak
pada hari kiamat.108
12. Memperhatikan terhadap ketidak hadiran seorang
murid
Apabila ada seorang murid yang tidak masuk lebih dari biasanya,
maka hendaknya guru bertanya tentang keadaannya kepada kawan yang
biasa bersamanya. Apabila kawannya tidak tahu, maka hendaknya guru
mengutus kawannya atau lebih baik lagi jika guru yang mendatanginya
sendiri.
Jika ternyata murid tersebut sedang sakit, hendaknya guru
menjenguknya. Jika murid sedang menghadapi musibah suatu masalah,
hendaknya guru membantu meringankan masalahnya. Dan jika murid
sedang bepergian, hendaknya guru menanyakan kepada keluarga atau
teman karibnya.
108 Ibid.
131
Hal ini sebagai salah satu bentuk upaya seorang guru dalam rangka
mendidik dan memperhatikan muridnya agar kelak menjadi insan yang
sholeh dan bermanfaat bagi orang lain.
Oleh karenanya, dalam hal ini, banyak atau sedikitnya jumlah
siswa tidak menjadi persoalan bagi seorang guru. Justru hal terpenting
adalah bagaimana seorang guru dapat mencetak muridnya agar dapat
sukses meraih ilmu pengetahuan serta mengamalkannya hingga akan
memberikan manfaat untuk orang lain.109
13. Bersikap tawadhu’
Meskipun berstatus sebagai guru yang berhak dihormati oleh
murid-muridnya, hendaknya guru bersikap rendah hati kepada mereka dan
semua orang yang bertanya dengan menegakkan hak-hak Allah SWT dan
hak-hak dirinya sendiri.110
14. Memperlakukan murid dengan baik
Di antara cara guru memperlakukan murid dengan baik adalah
bertutur kata dengan tutur kata yang baik, apalagi terhadap murid yang
baik. Selain itu hendaknya seorang guru memanggil muridnya dengan
nama dan sebutan yang baik, menyambut murid dengan baik apabila
bertemu atau menerima mereka.
109 Ibid., 93.110 Ibid., 94.
132
Hendaknya juga guru memuliakan mereka ketika duduk
bersamanya dengan menanyakan kabar dan kondisi ataupun orang-orang
dekatnya. Dan yang lebih penting lagi adalah dalam menerima murid,
guru bersikap dengan wajah yang berseri, senang, ramah dan penuh kasih
sayang.111
D. Pentingnya Etika Di Dalam Belajar Dan Mengajar
K.H.M. Hasyim Asy’ari tidak menyebutkan secara pasti tentang pengertian
dari etika, akan tetapi beliau memandang bahwa sebuah etika itu sangat penting.
Mengutip dari hadits Nabi SAW dan pendapat para ulama di dalam kitabnya
Adâb al-’Âlim wa al-Muta’allim, K.H.M. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa
kedudukan etika itu sangat tinggi (mulia) di dalam ajaran agama Islam.112
Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa tanpa etika, maka apa pun amal
ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima disisi Allah SWT, baik
menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun
fi’liyah (perbuatan).113
Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal
ibadah seseorang diterima atau tidak disisi Allah SWT, adalah melalui sejauh
mana aspek etika disertakan dalam amal perbuatan yang dilakukannya.
111 Ibid., 95.112 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 11.113 Ibid.
133
Dalam konteks ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari tampaknya berkeinginan bahwa
dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan itu disertai oleh perilaku sosial
yang santun (al-akhlâq al-karîmah). Beliau cenderung lebih menekankan pada
unsur hati sebagai titik tolak pendidikannya. Sebab, hatilah yang mendorong
sebuah etika itu muncul.114
Lebih lanjut K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa menuntut ilmu
merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur, sehingga orang yang mencarinya
harus memperhatikan etika-etika yang luhur pula. Dengan demikian, literatur
yang menyajikan etika-etika belajar merupakan keniscayaan.115
K.H.M. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa etika yang baik itu perlu
dipelajari oleh seorang pelajar ketika ia sedang belajar, demikian juga guru perlu
mengetahui etika ketika sedang mengajar.116
Menurut penulis sendiri, bahwa segala tindakan, ucapan, dan tingkah laku
akan memiliki etika yang menuntunnya. Dimana etika ini dimaksudkan sebagai
pedoman dalam mempraktikkannya. Shalat misalnya, tentu mempunyai etika
yang khusus untuk shalat. Begitu pula dengan belajar dan mengajar, akan
mempunyai etika yang berbeda dalam pelaksanaannya.
114 Suwendi, “Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari”, http://suwendi2000.wordpress.com, 22 Juni 2009 diakses tanggal 14 Juli 2009.115 A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia (Yogyakarta: Kutub, 2008), 228.116 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 11.
134