raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan...

23

Click here to load reader

Transcript of raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan...

Page 1: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

PERTEMUAN

9

STATUS OTONOMI DAN DAMPAKNYA

1. PendahuluanKarakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang

sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status otonomi telah diwadahi dalam

baik di dalam Konstitusi, maupun di dalam perundang-undangan lain tentang

otonomi daerah. Artinya negara dalam hal ini pemerintah pusat mengakui

kekhasan daerah-daerah yang berbeda-beda. Dengan demikian, pemberian

status daerah otonom, istimewa, ataupun otonomi khusus bukan merupakan hal

tabu di dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang fair.

Di dalam Undang-undang Dasar 1945 telah diakui keberadaan daerah dengan

beragam corak. Keberagaman tersebut kemudian diakomodasi di dalam

Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999 sampai dengan

perubahannya yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 yang memunculkan

otonomi daerah. Namun demikian, tidak semua daerah puas dengan status

otonomi yang dimilikinya sehingga muncul keinginan daerah untuk selalu

Page 2: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

memekarkan diri.

Sejak tahun 1999, desentralisasi, atau lebih dikenal sebagai otonomi daerah

diimplementasikan di Indonesia, telah terjadi kenaikan tuntutan sangat dramatis

daerah untuk memisahkan diri dari daerah induk, membentuk daerah baru

berdasarkan kebijakan pemekaran daerah provinsi atau kabupaten/kota. Entah

disengaja atau tidak, kenaikan tuntutan tersebut merebak seiring dengan

terbitnya Undang-undang Pemerintahan Daerah.1 Namun sejatinya, para

pembuat kebijakan berkecimpung dalam masalah desentralisasi pada awalnya

tidak pernah bermaksud menciptakan aturan yang dapat mempercepat proses

pemisahan daerah secara instant.2

Pembentukan daerah administratif atau pemekaran wilayah. Menurut evaluasi

dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan UNDP tentang Dampak

Pemekaran dari 2001-2007, sejak tahun 2004 jumlah provinsi di Indonesia telah

bertambah secara pesat, dari 26 menjadi 33 (26,9%) dan kabupaten/kota

bertambah dari 303 to 404 (45.2%). Laporan tersebut juga mengidentifikasi lebih

dari 114 distrik dan 21 provinsi baru yang sedang menunggu untuk disahkan di

Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat nasional maupun daerah.

Tata cara mendefinisikan formula tepat bagi pemekaran provinsi maupun

kabupaten/kota telah menjadi permasalahan cukup rumit bagi pemerintah pusat

dan daerah. Situasi bertambah kompleks ketika pemekaran menjadi proses satu

arah dan tidak ada satupun daerah pemekaran yang secara sukarela

mendukung ide penggabungan daerah kembali.3

1 Made Suwandi, “The Implementation of Regional Autonomy (The Indonesian Experience),” draft paper for a conference sponsored by the International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta (May 1-2, 2002).2 Turner et al., Decentralization in Indoenesia: Redesigning The State (Canberra: Asia Pacific Press, 2003).3 JPPN, “Lima Pemicu Pemekaran Versi Alex Noerdin,” JPPN.com (20 Februari 2009). http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=15133 (accessed March, 2009).

2

Page 3: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

Lebih lanjut, diantara beraneka ragam literatur tentang desentralisasi, hanya ada

beberapa saja yang mengulas tentang kebijakan pemekaran dan penggabungan

daerah. Pada akhirnya, banyak daerah pemekaran baru di Indonesia berdiri

tanpa memiliki kelembagaaan yang memadai, sesuai dengan kebutuhan

masyarakat berlatar belakang etnis religius beragam. Kurangnya studi empiris

dan referensi mengenai pemekaran, dapat berdampak pada kegagalan

pemerintah beradaptasi dengan agenda pemisahan daerah administratif.4

2. Permasalahan Titik Berat Desentralisasi Di Kabupaten/Kota

Permasalahan kerap muncul di dalam pelaksanaan desentralisasi, terutama

menguatnya tarik menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Titik berat

desentralisasi pada daerah yang dulunya bernama tingkat II atau sekarang

disebut hanya sebagai kabupaten/kota saja menyisakan beberapa kegundahan

akan tepatnya pengambilan kebijakan desentralisasi pasca kejatuhan Orde Baru.

Pada awalnya, Departemen Dalam Negeri dengan Undang-undang Nomor

22/1999 merancang devolusi kekuasaan agar pemerintah lebih dekat dengan

rakyat dan memperbesar tingkat transparansi. Hal ini serupa dengan Undang-

undang Nomor 1/1957, dimana ketika itu pemerintah berpikiran bahwa para

gubernur, bupati dan walikota tidak lagi ditunjuk pusat, akan tetapi dipilih oleh

parlemen daerah. Bahkan rencananya, pemerintah daerah selanjutnya akan

dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undang Nomor 1/1957 memperbolehkan

adanya partai politik di daerah, membuka kesempatan para pemain politik lokal

untuk masuk ke dalam pemerintahan. Sedangkan Undang-undang Nomor

22/1999 tidak menyinggung masalah partai politik daerah.

Sedikit demi sedikit Undang-undang Nomor 22/1999 memunculkan persoalan

antara lain adalah besarnya kesempatan terjadinya money politics, karena

kepala daerah yang otonom akan leluasa menggunakan kekuasaannya untuk 4 Sidney Jones, “What’s Indonesia Going to Look Like in Five Years?” paper untuk International Crisis Group (25 August 2004).

3

Page 4: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

korupsi dan DPRD sebagal lembaga perwakilan daerah memiliki kekuasaan

mengganti kepala daerah menurut seleranya. Kedua kewenangan elit lokal ini

menjadi pangkal penyakit desentralisasi di tahun 1999.

Oleh karena itu pula, pemerintahan Presiden Megawati memandang bahwa

desentralisasi dalam keadaan yang membahayakan sehingga Undang-undang

Nomor 22/1999 harus dirubah (diganti) dengan Undang-undang baru yang

selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 32/2004. Malley (2004)

mengatakan bahwa pemerintahan Megawati “tidak hanya sekedar

mengamanemen tapi mengganti sama sekali” perundangan tentang

desentralisasi, dengan melakukan: pelucutan terhadap kekuasaan bupati yang

dapat diberhentikan oleh pusat bila terbukti korupsi atau membahayakan

keamanan dan DPRD sehingga tidak dapat mengganti bupati/walikota sesuka

hatinya.”5

Titik berat desentralisasi pada daerah kabupaten/kota menyisakan persoalan

antara lain yaitu:

1. munculnya ketegangan horizontal daerah kaya Vs. miskin karena masing-

masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu

sama lain dalam mengumpulkan PAD misalnya;

2. perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat Vs. daerah;

3. banyak birokrat daerah yang pasif menunggu instruksi atasan ketimbang

berinisiatif menjalankan pekerjaannya;

4. DPRD menjadi sangat lamban dalam bekerja, terlebih lagi mereka

memprioritaskan gaji sendiri untuk kepentingan pengembalian dana ke kas

partai dan juga memperbesar anggaran perjalanan dinas;

5 Michael S. Malley, “The Origins if Indonesian Decentralization,” makalah, KITLV/LIPI conference, “Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto Indonesia,” (Jakarta 20-22 Desember 2004). Seperti dikutip dalam Henk Schultze Nordholt dan Gerry v.K., “Pendahuluan,” dalam Politik Lokal di Indonesia, diedit oleh Henk Schultze Nordholt dan Gerry van Klinken (Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 20.

4

Page 5: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

5. Pemerintah daerah menjadi mesin pembelanjaan6 (Ray dan Good Paster,

2005);

6. Beban keuangan daerah dari pajak ekstra tidak memperhatikan lingkungan;

7. Tidak adanya koordinasi di tingkat supra-regional, garis batas tanggung

jawab antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangat kabur;

8. Merebaknya politik identitas yang ditandai dengan menguatnya egoisme

sektoral karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan

bersifat sektoral.

9. Peranan polisi sebaga penjaga keamanan dan ketertiban dan tentara sebagai

penjaga persatuan dan kesatuan di daerah terabaikan.

3. Tinjauan Kritis Pada Pergeseran Titik Berat Desentralisasi

Desentralisasi ternyata tidak membuat birokrasi pemerintahan kabupaten/kota

belajar, terbukti dari banyaknya bupati/walikota yang tidak memiliki kemampuan

teknis menyusun Propeda (Program Pembangunan Daerah).7 Banyak diantara

mereka harus mengontrak konsultan, yang pada akhirnya membengkakkan

biaya pengeluaran, untuk merancang visi, misi, dan strategi daerah sesuai

dengan potensi, sumberdaya, dan masalah daerah. Terlebih lagi kuallitas SDM

di daerah masih rendah sehingga tidak mampu mendongkrak penguatan

kelembagaan daerah.

Kedua Undang-undang berbicara tentang desentralisasi yang menitikberatkan

pada daerah kabupaten/kota dengan pertimbangan:

1. mendekatkan pelayanan publik pemerintah kepada rakyatnya;

2. cakupan wilayah provinsi terlalu luas dan kelembagaannya terlalu besar

dalam mendorong roda ekonomi menuju pasar bebas;

6 Ray dan Good Paster, 2005

7Mudrajad Kuncoro, “Otonomi Daerah, Siapa Punya?” http://www.mudrajad.com/upload/magazine_otonomi-daerah-siapa-punya.pdf (diakses, 9 September 2008).

5

Page 6: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

3. demokrasi dapat tumbuh lebih baik bila pemerintahannya berskala kecil;

4. partisipasi masyarakat sipil dalam pembangunan dapat lebih aktif karena

dekat dengan pemerintah dan pengusaha (good governance);

5. daerah kabupaten/kota biasanya, walau tidak semuanya, memiliki sentra-

sentra kekuatan ekonomi yang sudah dikelola dengan baik, seperti halnya

sumber daya alam, kebudayaan, dan lainnya;

6. kesejahteraan rakyat dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah;

7. penciptaan lapangan pekerjaan di daerah terutama di bidang administrasi

pemerintahan dapat menyerap angkatan kerja berasal dari putra daerah.

Sebaliknya bila titik berat desentralisasi diberikan kepada provinsi, ada beberapa

pertimbangan pemerintah pusat bahwa:

1. desentralisasi pada daerah berskala luas akan menjauhkan kontrol pusat

terhadap daerah;

2. pusat akan kesulitan mengintervensi kebijakan provinsi yang sudah demikian

otonomnya sehingga memungkinkan mempertajam keinginan berpisah dari

NKRI;

3. pertimbangan politis bahwa provinsi akan mengalami kendala

mendistribusikan kewenangan dan kesejahteraan secara adil terhadap

kabupaten/kota di bawahnya karena demikian luasnya cakupan kewenangan

yang dimilikinya;

4. adanya kekhawatiran tidak meratanya distribusi sumber daya manusia yang

dapat mengelola daerah karena terpusat di provinsi;

5. masyarakat akan dirugikan karena pemerintah provinsi akan fokus dalam

membagi-bagi kewenangan ketimbang memperhatikan aspirasi masyarakat

dan pertumbuhan demokrasi di tiap bagian penyusun provinsi.

Memang kesimpulan yang kita dapat dari penitikberatan desentralisasi pada

kabupaten/kota masih belum mengembirakan. Banyak sekali persoalan yang

harus dibenahi bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi, dan

6

Page 7: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

kabupaten/kota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena

tidak serta merta membuahkan demokratisasi, good governance, dan penguatan

masyarakat sipil di tingkat daerah.

Namun demikian, desentralisasi bukanlah proses irreversible atau proses yang

tidak dapat dikembalikan. Pergeseran kewenangan antara pusat dan daerah

akan selalu berjalan bolak balik seperti bandul. Sehingga, agar desentralisasi

sukses, hal yang perlu dilakukan adalah menata kembali kelembagaan

desentralisasi beserta kewenangan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat

bukan semata-mata kepentingan pemerintah saja.

4. Dasar Kebijakan Pemberian Status Otonomi Di IndonesiaBerbeda halnya dengan permasalahan titik berat desentralisasi, pemberian

status otonomi juga memunculkan polemik tersendiri. Permasalahan timbul

ketika daerah menginginkan kewenangan lebih untuk membentuk daerah sendiri.

Titik berat otonomi daerah di daerah tingkat II selevel kabupaten/kota ketika

Undang-undang Nomor 22/1999 diterbitkan telah menimbulkan permasalahan

instabilitas politik di daerah yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Sejak Undang-undang Nomor 32/2004

menggantikan Undang-undang lama, provinsi mendapatkan porsi

kewenangannya kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur, daerah

kabupaten/kota tidak menginginkan kekuasaannya tercerabut begitu saja.

Mereka terus melanjutkan usaha mereka memperluas kekuasaan dan

kewenangan dengan jalan pemekaran.

Pada dasarnya, penyelenggaraan pemerintahan daerah mendasarkan dirinya

pada Konstitusi, yaitu pada Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945, dimana dalam amandemen ke-2, pasal 18, 18A dan 18B, terutama Pasal

18 ayat (1) mengamanatkan bahwa negara kesatuan republik Indonesia dibagi

atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

7

Page 8: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Sedangkan pola penyelenggaraan pemerintahan Indonesia, terbagi atas pusat

dan daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa). Daerah dalam hal ini

mendapatkan kewenangan dari pemerintah pusat untuk menyelenggarakan

tugas pemerintahannya termasuk urusan rumah tangga daerah berdasarkan

kapasitas yang dimiliki. Artinya satuan-satuan pemerintahan di bawah

pemerintah pusat tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan tanpa mendapat

persetujuan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah dalam wadah negara

kesatuan tetap masih harus mengikuti arah kebijakan pemerintah pusat

berkaitan dengan urusan-urusan seperti, kebijakan fiskal/moneter, pertahanan

dan keamanan, urusan luar negeri, agama, dan pertanahan. Di dalam Konstitusi

pasal 18B juga diamanatkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-

satuan pemerintahan yang bersifat khsusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang. Berdasarkan pasal 18B tersebut, maka terbentuklah

daerah-daerah yang selanjutnya dapat disebut sebagai otonom. Definisi otonom

artinya dapat melaksanakan pemerintahan sendiri.

Selanjutnya pengertian lebih mendetail tentang daerah otonom dapat dilihat

pada Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang

selanjutnya diubah dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32

Tahun 2004, dimana pemerintah daerah dapat menjalankan pemerintahan

sendiri berdasar kepada penyerahan sebagian kewenangan yang telah diberikan

oleh pemerintah pusat ataupun dilimpahkan sebagian pemerintah pusat kepada

daerah. Ataupun pemerintah daerah dapat menjalankan kewenangan tugas

pembantuan yang diserahkan pemerintah daerah dengan cakupan lebih luas

seperti daerah provinsi kepada kabupaten/kota, tugas pembantuan

kabupaten/kota yang dikerjakan oleh desa (desentralisasi, dekonsentrasi, dan

tugas pembantuan).

8

Page 9: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

Menurut perundangan Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut sebagai

Otonomi Daerah (Otda), pemekaran daerah seharusnya memenuhi beberapa

kriteria seperti: jumlah kabupaten atau kota bagi sebuah provinsi dan jumlah

kecamatan untuk sebuah kabupaten/kota. Lebih lanjut, sebagai pelaksanaan dari

Undang-undang Nomor 22/1999, Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000

menyatakan beberapa persyaratan pembentukan daerah baru, yang harus

memenuhi beberapa persyaratan secara agregat, seperti: kapasitas ekonomi,

kapasitas kewilayahan, latar belakang sosial budaya, situasi sosial politik,

jumlah populasi penduduk, luas wilayah, dan lainnya, kesemuanya bermanfaat

bagi masa depan daerah baru selanjutnya.

Amat disayangkan, ketika implementasi secara mendadak dari Undang-undang

Nomor 22/1999 dan peraturan turunan setelahnya ternyata tidak memberikan

cukup banyak waktu untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang

sudah terbiasa dengan pola kekuasaan sentralistis selama 32 tahun di bawah

pemerintahan Orde Baru, untuk menyesuaikan diri pada perubahan. Sebagai

akibatnya, banyak dari daerah-daerah tersebut kurang persiapan untuk menjadi

daerah pemekaran baru, karena mereka tidak memiliki pegawai pemerintahan

dengan kemampuan kerja cukup dan kelembagaan yang memang mendukung

tugas pemerintahan mereka.

Ketika Undang-undang Nomor 22/1999 dirubah dengan Undang-undang Nomor

32/2004, permasalahan tidak juga selesai begitu saja, akan tetapi berlanjut

dengan memberikan peluang terbentuknya daerah-daerah pemekaran baru. Kali

ini, perundangan baru memberikan beberapa persyaratan lain tentang jumlah

dan luas daerah yang akan dimekarkan. Di masa lalu, melalui Undang-undang

Nomor 22/1999 mempersyaratkan adanya 3 kecamatan untuk membentuk 1

kabupaten/kota dan 3 kabupaten/kota untuk membentuk 1 provinsi. Dengan

Undang-undang Nomor 32/2004, jumlah minimun daerah bertambah dari 3 ke 5

kecamatan untuk satu kabupaten/kota dan dari 3 menjadi 5 kabupaten/kota

untuk membentuk 1 provinsi. Bab II, pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor

9

Page 10: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

32/2004 juga secara khusus memberikan periode waktu untuk menurunkan

kecepatan pemekaran dengan membatasi lamanya suatu daerah boleh

memekarkan diri, yaitu bagi suatu provinsi baru sekurang-kurangnya sudah

berdiri selama 10 tahun; kabupaten/kota baru sekurang-kurangnya selama 5

tahun; dan kecamatan sekurangnya 5 tahun.

Periode waktu begitu cepat dari implementasi Undang-undang Nomor 22/1999

ke Undang-undang Nomor 32/2004 telah memberikan pijakan kelembagaan

sangat lemah bagi daerah. Di sisi lain, perundangan baru mengamanatkan

terselenggaranya pemilihan kepala daerah secara langsung ketimbang memilih

mereka secara tidak langsung seperti masa lalu. Maksud dari perundangan baru

adalah menguatkan demokrasi lokal, namun gagal dalam menengahi problem

lebih mendasar yaitu meningkatnya konflik antar kelompok etnis dan religius

serta melebarnya jurang kemiskinan di daerah.

Pemberian status otonomi terhadap satu daerah pada akhirnya menimbulkan

masalah baru, terutama bagi daerah-daerah yang belum siap secara matang

baik dalam hal sumber daya dan kelembagaan. Status otonomi khusus seperti

di Aceh dan Papua pada akhirnya mendorong daerah lain menuntut hal sama, di

saat masalah konflik dan kesejahteraan belum tertangani secara adil di kedua

daerah khusus tersebut.

5. Imbas Status Otonomi Khusus pada Dinamika Politik Lokal NAD dan Papua Pada tahun 2001 diberlakukan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dinyatakan dengan

nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pertimbangan pemerintah

pusat dalam melahirkan undang-undang ini antara lain8.

a. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

menurut Undang-undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-

8 Konsideran UU No. 18 Tahun 2001

10

Page 11: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

yang diatur dengan Undang-undang;

b. bahwa salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan

rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang

bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan kemasyarakatan

dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah

modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan

kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan

pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu

memberikan otonomi khusus;

d. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah serta undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang

belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Aceh;

e. bahwa pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu

diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pemberian status otonomi khusus bagi Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam

(NAD) tidak berhenti sampai disitu, karena pada tahun 2006 lahir Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai konsekuensi

dari MoU Helsinki Finlandia. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa

Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

Berbeda dengan status otonomi khusus dimiliki oleh Provinsi NAD, Papua atau

Irian Jaya mendapatkan status otonomi khusus didasari atas pertimbangan

11

Page 12: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

bahwa masyarakat Papua sangat kecewa dengan kebijakan dalam

penyelenggaraan pemerintahan pada masa Orde BAru yang menitikberatkan

pada sistem yang terpusat (sentralistik), dengan menggunakan pendekatan

keamanan sangat represif. Kebijakan pemerintah pusat tidak berpihak pada

masyarakat Irian Jaya merupakan salah satu pemicu munculnya pergolakan

di masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai bentuk reaksi, antara lain,

munculnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI (Organisasi

Papua Merdeka atau OPM).

Tuntutan masyarakat Papua sangat kencang untuk memisahkan diri dari NKRI

serta guna mempercepat pembangunan di Papua dan memperkecil

kesenjangan, Pemerintah mulai memberikan perhatian yang sungguh-sungguh

kepada Provinsi Papua dan Papua Barat agar dapat tumbuh dan berkembang

sebagaimana wilayah lain di tanah air. Di tahun 1999, Pemerintah menerbitkan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pengaturan dalam Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas

kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri.

Namun, ruang yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu

dianggap masih belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat

istiadat masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun

pembangunan di wilayah Papua.

Banyaknya ketidaksesuain terjadi dalam implementasi pelaksanaan otonomi

khusus di Papua menyebabkan masyarakat apatis terhadap janji-janji

pemerintah pusat yang dianggap kekurang serius dalam menangani masalah-

masalah di papua. Ketidakseriusan tersebut dikhawatirkan akan membangkitkan

kembali gerakan separatis yang mulai redam dengan pemberian otonomi khusus

bagi Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Provinsi Papua. Beberapa pertimbangan pemberian status Otonomi

Khusus antara lain:

a. Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan menghargai

12

Page 13: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

kesetaraam dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya

melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-

undang.

b. Menyelesaikan kasus pelanggaran hak azasi manusia di Irian Jaya melalui

proses pengadilan jujur dan bermartabat.9

Sedangkan Papua Barat kemudian menyusul dengan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua

yang ditandatangani Presiden tanggal 16 April 2008. Pemerintah pusat

menjanjikan berbagai bentuk perundangan lain selain Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perppu), antara lain Peraturan Presiden tentang

pembentukan badan koordinasi pengelolaan dana otonomi khusus dan sumber

dana lainnya yang belum terealisir.

Permasalahan status otonomi khusus Provinsi NAD terutama muncul ketika

kekhususan Aceh membedakannya dengan daerah lain. Secara hirarkhis

Daerah Aceh sama dengan daerah lain di Indonesia. Dengan kebijakan otonomi

daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 seharusnya ia juga dapat

melaksanakannya sama dengan daerah lainnya, tidak perlu otonomi khusus.

Namun pemerintah justru mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi

NAD yang lahir dua tahun setelah lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Terlebih lagi sejak Undang-undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diberlakukan, kekhususan status

otonomi NAD semakin tidak terbendung, menimbulkan kecemburuan daerah lain

dan kecurigaan akan praktek negara dalam negara.

9 Bambang Wibiono, “Otonomi Khusus Sebagai Solusi Masalah Desentralisasi”

13

Page 14: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

Sedangkan di Papua, hampir tujuh tahun telah diberlakukan  Otonomi Khusus

(2001-2008), namun kebijakan ini belum mampu diimplementasikan secara

efektif dan masih terdapat kesenjangan dalam realitas. Pemberlakuan kebijakan

ini belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi

pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan

memberdayakan (empowerment) masyarakat. Akibat belum berjalannya

Otonomi Khusus secara serius. Kemudian, otonomi khusus Papua tidak serta

merta memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat adat Papua. Sebagai

konsekuensi dari penilaian ini, Dewan Adat Papua (DPA) pada bulan Agustus

2004 atas nama masyarakat adat, menyatakan menolak dan mengembalikan

Otonomi Khusus Papua.

Berdasarkan pemaparan di atas, baik landasan konsep dan kebijakan mengenai

titik berat desentralisasi maupun pemberian status otonomi, memiliki

permasalahan masing-masing pada saat implementasi di lapangan.

Permasalahan tersebut menandakan bahwa otonomi merupakan suatu

dinamika, terutama berdampak pada level lokal.

Kebijakan politik desentralisasi tingkat nasional akan selalu mewarnai tarik

menarik kepentingan di tingkat lokal. Segala perubahan aturan kebijakan di

pusat mengenai daerah akan berimbas kepada masyarakat di daerah. Baik

buruknya pemberian status otonomi baik berupa pemekaran ataupun lainnya,

akan selalu berkaitan dengan baik buruknya pelayanan pemerintah daerah

kepada rakyatnya dan juga besar kecilnya ruang partisipasi bagi rakyat terlibat

dalam proses pembangunan daerahnya.

Hendaknya, kebijakan pemberian status otonomi terhadap suatu daerah

merupakan pencerminan atas kebutuhan sosial ekonomi dan politik rakyat

setempat. Kebijakan pemberian status otonomi bersifat universal atau seragam

hendaknya perlu ditinjau kembali, karena pemberian status otonomi khusus

14

Page 15: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

semisal di NAD dan Papua sendiri masih menimbulkan konflik kesenjangan di

berbagai sektor. Tidak ada resep desentralisasi bagi seluruh penyakit

pemerintah daerah, akan tetapi kajian mendalam tentang kebutuhan masyarakat

di suatu daerah akan bentuk kelembagaan yang cocok dapat dilakukan, guna

menentukan apakah suatu daerah cukup diberikan status administratif, otonomi,

ataupun otonomi khusus.

15

Page 16: raconquista.files.wordpress.com  · Web view1. Pendahuluan. Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status

Bibliografi

World Bank. “The World Bank and Indonesia: Our Dream Is a World Free from Poverty,” A World Bank's East Asia and Pacific Report. .Washington, D.C.:The World Bank, N.D.

Ndegwa, Stephen N. “Decentralization in Africa: Emerging Trends and Progress,” The World Bank Findings Reports. Washington, DC.: The World Bank, August 2003.

Suwandi, I Made. “The Implementation of Regional Autonomy (The Indonesian Experience),” draft paper for a conference sponsored by the International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta (May 1-2, 2002).

Turner et al. Decentralization in Indonesia: Redesigning The State. Canberra: Asia Pacific Press, 2003.

JPPN. “Lima Pemicu Pemekaran Versi Alex Noerdin,” JPPN.com (20 Februari 2009). Diakses Maret 2009 di http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=15133.

Jones, Sidney. “What’s Indonesia Going To Look Like In Five Years?” International Crisis Group. Pdf Copy (25 August 2004). Lihat di www.knaw.nl/indonesia/pdf/keynote_jones.pdf

Malley, Michael S. “The Origins if Indonesian Decentralization.” makalah, KITLV/LIPI conference. “Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto Indonesia.” (Jakarta 20-22 Desember 2004).

Nordholt, Henk S. dan Klinken, G. v. Politik Lokal di Indonesia. Editor Anies Baswedan. Jakarta: KILTV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Kuncoro, Mudrajad. “Otonomi Daerah, Siapa Punya?” pdf file. Diakses 9 September 2008 pada http://www.mudrajad.com/upload/magazine_otonomi-daerah-siapa-punya.pdf

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001

Wibiono, Bambang. “Otonomi Khusus Sebagai Solusi Masalah Desentralisasi.”

16