. BERNAS RABU PON, 14 APRIL 1993 Geger Komputerisasi … · akan terbebas dari kasus-kasus yang...

1
. BERNAS 4 . RABU PON, 14 APRIL 1993 Geger Komputerisasi STNKlBPKB DENGAN segal a hormat kita layak berterima kasih kepada beberapa anggota DPR dan sejumlah tokoh lain, yang meng- imbau pemerintah agar menin- jau ulang keputusan kenaikan biaya komputerisasi surat-surat kendaraan bermotor. Tentu saja imbauan itu sendiri tidak men- jamin akan mengubah keputus- an. Bahkan bila imbauan itu dikabulkan, belum berarti kita akan terbebas dari kasus-kasus yang persis sarna di waktu dan bentuk lain. Apa yang aneh? Beberapa hal yang penting dari kasus itu kurang mendapat SOl'Qtan komentator dan liputan media massa. Sorotan bertubi- tubi dipusatkan pad a masalah "kesewenang-wenangan" peme- rintah dan "pelecehan" wibawa dan wewenang DPR. Akibatnya, kita mendapatkan kesan sea- kan-akan hal seperti itu meru- pakan peristiwa ganjil yang langka. Bukan praktek sehari- hari yang dinormalkan. Bukan- kah justru imbauan DPR itu yang menarik karena langka- nya? Soallain yang menarik diper- hatikan ialah kehalusan budi bahasa para anggota DPR itu. Walau pun merasa sudah "dile- cehkan" oleh pemerintah, mere- ka hanya mengimbau peninjau- an ulang, penundaan atau pem- batalan keputusan itu. Bayang- kan seandainya pemerintah yang dilecehkan DPR sejauh itu. Bayangkan, betapa indahnya dunia ini seandainya ada peme- rintahan sebuah negara yang berbudi-bahasa sehalus DPR kita dalarn berpolitik. Kehalusan budi-bahasa DPR kita sudah sangat terkenal di dunia. Mereka tidak pernah berinisiatif dalam perumusan· perundang-undangan, walau inisiatif begitu diamanatkan UUD 1945. Mereka selalu me- ngalah dan memberi kesempat- an kepada pemerintah untuk mcrumuskan bahan perundang- undangan. Dalam sejarahnya DPR tak pernah menolak ratus- an rancangan perundangan yang diajukan pemerintah. Tentu saja kehalusan budi- bahasa DPR ini bukanlah pro- duk "budava Timur" atau "ke- pribadian' nasional". Istilah "budaya" sudah terlalu sering diperkosa dan diperalat politik untuk memalsukan realita dan membungkam perbincangan tentang sebuah masalah. Bila sebuah masalah sudah dibilang sebagai "budaya" maka seakan-akan masalah itu tak dapat dipertanyakan atau digu- gat. Seakan-akan kebudayaan adalah suatu misteri yang tak terjangkau pisau analisa sosial- historis atau bebas hukum. Memahami posisi dan seja- rah DPR yang maha jinak itu, kita layak kaget dan berterima kasih atas komentar kritis bebe- rapa anggotanya. Tapi ini seka- Jigus membawa kita ke persoal- an yang berikut, yakni masalah terbatasnya daya-imbau mere- ka. Betapa berbeda bila ada "imbauan" dari pejabat peme- rintahan. Legalitas dan stabilitas Berbagai kritik terhadap keputusan pemerintah itu dida- sarkan atas pertimbangan "le- galitas" forma! dan "stabilitas" ekonomi-politik. Dengan kata lain, berbagai kritik itu bukan saja masih dalam batas-batas politik-ideologi yang diresmikan, tapi merupakan pendu1(ung tata-politik dan ideologi itu sendiri. Kritik legalitistik menyesal- kan tindakan pemerintah yang Ariel Heryanto membuat keputusan tanpa melibatkan DPR sebagaimana dituntut konstitusi. Implikasi- nya, bila DPR sudah dilibatkan, maka keputusan itu sah-sah saja karena proses legalitas yang resmi itu dianggap konsti- tusional. Kritik stabilitas ingin memberikan peringatan kepada pemerintah akan potensi kema- rahan rakyat bila keputusan itu dipaksakanjuga. Bila ini terjadi maka stabilitas kekuasaan negara (termasuk pemerintah dan DPR) dan seluruh kepen- tingan aparatnya bisa teran- cam. Mungkin di antara kita ada yang bisa "memahami" pemerin- tah atas tindakannya meleceh- kan DPR dan prosedur legal yang diresmikan pemerintah itu sendiri. Bukankah selama se- perempat abad ini DPR tidak pernah mempersulit apalagi menolak apa yang sudah diran- cang oleh pemerintah? Bukan- kah selama ini DPR selalu me- nunjukkan dukungan, kesetiaan mesra dan "pengertian penuh" pada kemauan pemerintah? Manusia "normal" yang terbiasa dalarn hubungan kerja demiki- an akan merasa bahwa konsul- tasi dengan DPR hanya basa- basi ritual yang membuang- buang waktu dan tenaga. Selarna ini DPR tidak pernah "mengajar" pemerintah untuk menghargai lembaga legislatif itu. Ini masuk akal dan tidak aneh. Kini mendadak beberapa anggota DPR meminta penghar- gaan selayaknya. Ini baru "aneh!" Bila peraturan tentang surat kendaraan bermotor itu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh pemerintah, apakah kon- sultasi dengan DPR baka! mengakibatkan banyak peru· bahan substansinya? Bukankah mayoritas anggota DPR terdiri dari anggota partai pemerintah? Anggota dari partai lain telah dilitsus oleh pemerintah bukan oleh pengusaha atau pemilik kendaraan-bermotor. Dari mana sih datangnya gaji para anggota DPR? Perdebatan seru perihal keputusan pemerintah itu juga menunjukkan satu hal lain kepada kita, yakni elitisme kehidupan berbangsa-bernegara kita. Keputusan itu mendapat peluang dan keabsahan untuk diperdebatkan hanya gara-gara ada tokoh elit yang berminat memperdebatkannya. Dengan cepat dan mudah para komenta- tor elit ini tampil sebagai pahla- wan bagi masyarakat luas. Seandainya pahlawan ini berha- sil menjinakkan keputusan pemerintah, masyarakat masih tidak beranjak dari kedudukan sebagai konsumen pasif, pena- dah nasib baik yang menetes dari kemurahan hati kaum elit bangsanya. Dalam skala dan bentuk yang beraneka ragam, peratur- an seperti komputerisasi STNK atau KTP merupakan menu se- hari-hari bangsa kita. Di berba- gai desa hingga kelurahan ada berbagai kewajiban yang me- nuntut pengorbanan rakyat tanpa perdebatan. Ada berbagai mekanisme orang mengembang- biakkan usaha dagangnya tidak dengan berproduksi, tapi de- ngan menyusup masuk birokra- si negara. Biasanya tidak terjadi perdebatan. Rakyat kita patuh. Kasus seperti i tu baru menj a- di gem par bila ada 'Jempol kaki gajah" di pusat ibu kota yang terinjak kaki "gajah" lain. Keti- ka petani cengkeh diperas pa- brik rokok dunia ini terasa tenang dan darnai. Tapi ketika BPPC ikut arnbil bagian, mun- cullah kegemparan. lni bukan berarti kontroversi antargajah itu harus dilarang. lni hanya mengingatkan para semut supaya tidak usah berilu- si yang muluk-muluk. Sesudah kasus komputerisasi STNK atau KTP, mungkin akan muncul lagi sejumlah kewajiban baru. Mungkin kasus-kasus baru itu akan diikuti kontroversi di anta- ra kaum elit. Mungkin juga tidak. Terpusatnya perhatian kha- layak pada aspek legal dan aspek finansial dalarn komputerisasi STNKIBPKB, mengorbankan perhatian kita pada akar masalah yang lebih mendasar. Maka kita hanya berulang-ulang memperdebat- kan ,kasus demi kasus. Bukan sumber pokok yang memung- kinkan terjadinya kasus-kasus tersebut. Hal itu tampak lagi pada kecemasan sebagian pihak atas rencana komputerisasi KTP. Yang dipersoalkan berapa besar kenaikan biaya yang bam. Atau, siapa pihak swasta yang mengelolanya. Seakan-akan pihak swasta yang satu lebih baik daripada yang lain, Kom- puterisasi itu sendiri dianggap sebagai "tuntutan teknologi" yang wajar .. Bukan sebagai lahan persaingan antarpengusa- ha yang membuahkan rezeki berlimpah. Atau, sebagai pe- ningkatan kecanggihan sistem pengawasan dan pengekangan gerak hidup warga bangsa ini oleh aparat Negara. Daya kritik terhadap negara Apal!:ah karen a desakan kritik masyarakat, keputusan nguntungkan, bila tekanal1 pemerintahituakandibatalkan, moluas dari rakYat masih da- ditunda atau bahkan dicabut? lam bentuk dan isi yang'lneng- Tentu saja sulit dipastikan. hormati batas-batas politik- Tapi kita pasti belum melupa- ideologi yang diresmikan peme- kankasus-kasusRUUperzinah- rintah, Juga bila apa yang di- an (1993) atau UU Lalu Lintas tuntut bukan bagian-bagian (1992). Karena kritik masyara- mendasar dari tata-sosial itu kat, yang peltama kini telah sendiri. Tapi soal-soal yang direvisi. Sedang yang kedua relatif ringan seperti legalitas telah ditunda. formal atau tawar-menawar Negara kita bukannya nega- jumlah biayaadministrasi nega- ra yang lemah dan bisa selalu ra. W501am" SkaiadanbentUk-yangMberaneka- ragam, peraturan seperti komputerisasi STNK atau KTP merupakan menu sehari- hari bangsa kita. Di berbagai desa hingga kelurahan ada berbagai kewajiban yang menuntut pengorbanan rakyat tanpa perdebatan. Ada berbagai mekanisme orang mengembangbiakkan usoha dagangnya 1idak dengan berproduksi, tapi dengan menyusup masuk birokrasi negara. Biasanya 1idak perdebatan. Kasus seperti itu baru menjadi gempar bila ada jempol kaki gajah di pusat ibukota yang terinjak kaki gajah lain. ,.; ..... .... •• ;.;q;O'.;....,. •• ;Y.. •• .;.YX. ........ ;O;'O; ...... ;.;.; ........... • .;,.;......... ; ..... ;.; ..... " •••• ;,-; •••••••; ••• ; ...... ,,0; ••• ;.;.;0 .. ;.; ••• ; ............... ,?.;,...;.;.; ••• ; ••• ; ••••••••••••••••••••••• ;....................... . didikte. Tapi juga bukan negara yang kekuatannya tanpa batas. Kekuatan negara ini sedikit banyak ditentukan oleh keJjasa- rna baik dari masyarakat yang pada: hakikatnya sudah sangat patuh. Protes masyarakat tcr- bukti sesekali manjur. Pemerin- tah cukup cerdas mempeltahan- kan stabilitas status-quo dan kepentinganjangka-panjnngnya dengan mengalah. Tindakan mengnlah itu me- Yang menjadi pertanyaan kita ialah, masih berapa lama lagi tawar-menawar dengan protes masyarakat dapat diper- tahankan dalam batas-batas yang aman itu. Sebab, Negara juga harus menghadapi desakan semakin kuat dari logika kese- rakahan kapitalisme. *** *) Ariel Heryanto, star penga- jar Pasca Sarjana Universitas 'KriBten Satya. Wacan.a. Salatiga Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of . BERNAS RABU PON, 14 APRIL 1993 Geger Komputerisasi … · akan terbebas dari kasus-kasus yang...

. BERNAS 4 . RABU PON, 14 APRIL 1993

Geger Komputerisasi STNKlBPKB DENGAN segal a hormat kita

layak berterima kasih kepada beberapa anggota DPR dan sejumlah tokoh lain, yang meng­imbau pemerintah agar menin­jau ulang keputusan kenaikan biaya komputerisasi surat-surat kendaraan bermotor. Tentu saja imbauan itu sendiri tidak men­jamin akan mengubah keputus­an. Bahkan bila imbauan itu dikabulkan, belum berarti kita akan terbebas dari kasus-kasus yang persis sarna di waktu dan bentuk lain.

Apa yang aneh? Beberapa hal yang penting

dari kasus itu kurang mendapat SOl'Qtan komentator dan liputan media massa. Sorotan bertubi­tubi dipusatkan pad a masalah "kesewenang-wenangan" peme­rintah dan "pelecehan" wibawa dan wewenang DPR. Akibatnya, kita mendapatkan kesan sea­kan-akan hal seperti itu meru­pakan peristiwa ganjil yang langka. Bukan praktek sehari­hari yang dinormalkan. Bukan­kah justru imbauan DPR itu yang menarik karena langka­nya?

Soallain yang menarik diper­hatikan ialah kehalusan budi bahasa para anggota DPR itu. Walau pun merasa sudah "dile­cehkan" oleh pemerintah, mere­ka hanya mengimbau peninjau­an ulang, penundaan atau pem­batalan keputusan itu. Bayang­kan seandainya pemerintah yang dilecehkan DPR sejauh itu.

Bayangkan, betapa indahnya dunia ini seandainya ada peme­rintahan sebuah negara yang berbudi-bahasa sehalus DPR kita dalarn berpolitik.

Kehalusan budi-bahasa DPR kita sudah sangat terkenal di dunia. Mereka tidak pernah berinisiatif dalam perumusan·

perundang-undangan, walau inisiatif begitu diamanatkan UUD 1945. Mereka selalu me­ngalah dan memberi kesempat­an kepada pemerintah untuk mcrumuskan bahan perundang­undangan. Dalam sejarahnya DPR tak pernah menolak ratus­an rancangan perundangan yang diajukan pemerintah.

Tentu saja kehalusan budi­bahasa DPR ini bukanlah pro­duk "budava Timur" atau "ke­pribadian' nasional". Istilah "budaya" sudah terlalu sering diperkosa dan diperalat politik untuk memalsukan realita dan membungkam perbincangan tentang sebuah masalah.

Bila sebuah masalah sudah dibilang sebagai "budaya" maka seakan-akan masalah itu tak dapat dipertanyakan atau digu­gat. Seakan-akan kebudayaan adalah suatu misteri yang tak terjangkau pisau analisa sosial­historis atau bebas hukum.

Memahami posisi dan seja­rah DPR yang maha jinak itu, kita layak kaget dan berterima kasih atas komentar kritis bebe­rapa anggotanya. Tapi ini seka­Jigus membawa kita ke persoal­an yang berikut, yakni masalah terbatasnya daya-imbau mere­ka. Betapa berbeda bila ada "imbauan" dari pejabat peme­rintahan.

Legalitas dan stabilitas Berbagai kritik terhadap

keputusan pemerintah itu dida­sarkan atas pertimbangan "le­galitas" forma! dan "stabilitas" ekonomi-politik. Dengan kata lain, berbagai kritik itu bukan saja masih dalam batas-batas politik-ideologi yang diresmikan, tapi merupakan pendu1(ung tata-politik dan ideologi itu sendiri.

Kritik legalitistik menyesal­kan tindakan pemerintah yang

Ariel Heryanto membuat keputusan tanpa melibatkan DPR sebagaimana dituntut konstitusi. Implikasi­nya, bila DPR sudah dilibatkan, maka keputusan itu sah-sah saja karena proses legalitas yang resmi itu dianggap konsti­tusional. Kritik stabilitas ingin memberikan peringatan kepada pemerintah akan potensi kema­rahan rakyat bila keputusan itu dipaksakanjuga. Bila ini terjadi maka stabilitas kekuasaan negara (termasuk pemerintah dan DPR) dan seluruh kepen­tingan aparatnya bisa teran­cam.

Mungkin di antara kita ada yang bisa "memahami" pemerin­tah atas tindakannya meleceh­kan DPR dan prosedur legal yang diresmikan pemerintah itu sendiri. Bukankah selama se­perempat abad ini DPR tidak pernah mempersulit apalagi menolak apa yang sudah diran­cang oleh pemerintah? Bukan­kah selama ini DPR selalu me­nunjukkan dukungan, kesetiaan mesra dan "pengertian penuh" pada kemauan pemerintah? Manusia "normal" yang terbiasa dalarn hubungan kerja demiki­an akan merasa bahwa konsul­tasi dengan DPR hanya basa­basi ritual yang membuang­buang waktu dan tenaga.

Selarna ini DPR tidak pernah "mengajar" pemerintah untuk menghargai lembaga legislatif itu. Ini masuk akal dan tidak aneh. Kini mendadak beberapa anggota DPR meminta penghar­gaan selayaknya. Ini baru "aneh!"

Bila peraturan tentang surat kendaraan bermotor itu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh pemerintah, apakah kon­sultasi dengan DPR baka!

mengakibatkan banyak peru· bahan substansinya? Bukankah mayoritas anggota DPR terdiri dari anggota partai pemerintah? Anggota dari partai lain telah dilitsus oleh pemerintah bukan oleh pengusaha atau pemilik kendaraan-bermotor. Dari mana sih datangnya gaji para anggota DPR?

Perdebatan seru perihal keputusan pemerintah itu juga menunjukkan satu hal lain kepada kita, yakni elitisme kehidupan berbangsa-bernegara kita. Keputusan itu mendapat peluang dan keabsahan untuk diperdebatkan hanya gara-gara ada tokoh elit yang berminat memperdebatkannya. Dengan cepat dan mudah para komenta­tor elit ini tampil sebagai pahla­wan bagi masyarakat luas. Seandainya pahlawan ini berha­sil menjinakkan keputusan pemerintah, masyarakat masih tidak beranjak dari kedudukan sebagai konsumen pasif, pena­dah nasib baik yang menetes dari kemurahan hati kaum elit bangsanya.

Dalam skala dan bentuk yang beraneka ragam, peratur­an seperti komputerisasi STNK atau KTP merupakan menu se­hari-hari bangsa kita. Di berba­gai desa hingga kelurahan ada berbagai kewajiban yang me­nuntut pengorbanan rakyat tanpa perdebatan. Ada berbagai mekanisme orang mengembang­biakkan usaha dagangnya tidak dengan berproduksi, tapi de­ngan menyusup masuk birokra­si negara. Biasanya tidak terjadi perdebatan. Rakyat kita patuh.

Kasus seperti i tu baru menj a­di gem par bila ada 'Jempol kaki gajah" di pusat ibu kota yang terinjak kaki "gajah" lain. Keti-

ka petani cengkeh diperas pa­brik rokok dunia ini terasa tenang dan darnai. Tapi ketika BPPC ikut arnbil bagian, mun­cullah kegemparan.

lni bukan berarti kontroversi antargajah itu harus dilarang. lni hanya mengingatkan para semut supaya tidak usah berilu­si yang muluk-muluk. Sesudah kasus komputerisasi STNK atau KTP, mungkin akan muncul lagi sejumlah kewajiban baru. Mungkin kasus-kasus baru itu akan diikuti kontroversi di anta­ra kaum elit. Mungkin juga tidak.

Terpusatnya perhatian kha­layak pada aspek legal dan aspek finansial dalarn lo,"n~ komputerisasi STNKIBPKB, mengorbankan perhatian kita pada akar masalah yang lebih mendasar. Maka kita hanya berulang-ulang memperdebat­kan ,kasus demi kasus. Bukan sumber pokok yang memung­kinkan terjadinya kasus-kasus tersebut.

Hal itu tampak lagi pada kecemasan sebagian pihak atas rencana komputerisasi KTP. Yang dipersoalkan berapa besar kenaikan biaya yang bam. Atau, siapa pihak swasta yang mengelolanya. Seakan-akan pihak swasta yang satu lebih baik daripada yang lain, Kom­puterisasi itu sendiri dianggap sebagai "tuntutan teknologi" yang wajar .. Bukan sebagai lahan persaingan antarpengusa­ha yang membuahkan rezeki berlimpah. Atau, sebagai pe­ningkatan kecanggihan sistem pengawasan dan pengekangan gerak hidup warga bangsa ini oleh aparat Negara.

Daya kritik terhadap negara

Apal!:ah karen a desakan

kritik masyarakat, keputusan nguntungkan, bila tekanal1 pemerintahituakandibatalkan, moluas dari rakYat masih da­ditunda atau bahkan dicabut? lam bentuk dan isi yang'lneng­Tentu saja sulit dipastikan. hormati batas-batas politik­Tapi kita pasti belum melupa- ideologi yang diresmikan peme­kankasus-kasusRUUperzinah- rintah, Juga bila apa yang di­an (1993) atau UU Lalu Lintas tuntut bukan bagian-bagian (1992). Karena kritik masyara- mendasar dari tata-sosial itu kat, yang peltama kini telah sendiri. Tapi soal-soal yang direvisi. Sedang yang kedua relatif ringan seperti legalitas telah ditunda. formal atau tawar-menawar

Negara kita bukannya nega- jumlah biayaadministrasi nega­ra yang lemah dan bisa selalu ra.

W501am" SkaiadanbentUk-yangMberaneka-ragam, peraturan seperti komputerisasi STNK atau KTP merupakan menu sehari­

hari bangsa kita. Di berbagai desa hingga kelurahan ada berbagai kewajiban yang

menuntut pengorbanan rakyat tanpa perdebatan. Ada berbagai mekanisme

orang mengembangbiakkan usoha dagangnya 1idak dengan berproduksi, tapi dengan menyusup masuk birokrasi

negara. Biasanya 1idak te~adi perdebatan. Kasus seperti itu baru menjadi

gempar bila ada jempol kaki gajah di pusat ibukota yang terinjak kaki gajah lain.

,.; ..... ;q~.""';o. .... ~~ •• ;.;q;O'.;....,. •• ;Y.. •• .;.YX. ........ ;O;'O; ...... ;.;.; ...........• .;,.; ......... ; ..... ;.; ..... " •••• ;,-; ••••••• ; ••• ; ...... ,,0; ••• ;.;.;0 .. ;.; ••• ; ............... ,?.;,...;.;.; ••• ; ••• ; ••••••••••••••••••••••• ; ....................... .

didikte. Tapi juga bukan negara yang kekuatannya tanpa batas. Kekuatan negara ini sedikit banyak ditentukan oleh keJjasa­rna baik dari masyarakat yang pada: hakikatnya sudah sangat patuh. Protes masyarakat tcr­bukti sesekali manjur. Pemerin­tah cukup cerdas mempeltahan­kan stabilitas status-quo dan kepentinganjangka-panjnngnya dengan mengalah.

Tindakan mengnlah itu me-

Yang menjadi pertanyaan kita ialah, masih berapa lama lagi tawar-menawar dengan protes masyarakat dapat diper­tahankan dalam batas-batas yang aman itu. Sebab, Negara juga harus menghadapi desakan semakin kuat dari logika kese­rakahan kapitalisme. ***

*) Ariel Heryanto, star penga­jar Pasca Sarjana Universitas

'KriBten Satya. Wacan.a. Salatiga

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>